Bab V Analisa dan Diskusi - digilib.itb.ac.id · Perhitungan curah hujan wilayah pada tiap sub das...
Transcript of Bab V Analisa dan Diskusi - digilib.itb.ac.id · Perhitungan curah hujan wilayah pada tiap sub das...
V-1
Bab V
Analisa dan Diskusi
V.1 Pemilihan data
Pemilihan lokasi studi di Sungai Citarum, Jawa Barat, didasarkan pada
kelengkapan data debit pengkuran sungai dan data hujan harian. Kalibrasi
pemodelan debit akan dilakukan dengan menggunakan data dari sungai tersebut
pada Stasiun Debit Nanjung.
Pada DAS Citarum terdapat 11 stasiun pengamatan curah hujan jam-jaman yang
digunakan untuk menghitung debit aliran Sungai Citarum, sehingga dapat
dihitung nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai curah hujan wilayah pad atiap sub
das. Perhitungan curah hujan wilayah pada tiap sub das di DAS Citarum
dilakukan dengan menggunakan Poligon Thiessen. Letak dan daerah pengaruh
dari masing-masing pos pengamatan curah hujan DAS Citarum dapat dilihat pada
Gambar III.9. Pos Hujan DAS Citarum.
Perhitungan hujan-limpasan adalah penyederhanaan dari proses terjadinya debit
pada suatu DAS. Debit merupakan fungsi dari hujan, tanpa adanya tampungan.
Dengan demikian, jika hujan = 0, maka debit hasil perhitungan pun akan = 0. Hal
seperti ini tidak terjadi di lapangan. Dalam kondisi aktual di lapangan, data debit
pengamatan di Nanjung menunjukkan bahwa meskipun tidak terjadi hujan, debit
sungai tidak pernah menunjukkan harga nol. Selain itu, dalam kondisi aktual di
lapangan, suatu kejadian hujan tidak selalu diikuti oleh timbulnya debit, dan
demikian pula sebaliknya.
Perhitungan curah hujan wilayah untuk tiap sub das didasarkan pada kejadian
hujan yang berbeda-beda untuk tiap sub das dan disediakannya input hujan untuk
tiap sub das dalam model penelitian ini.
V-2
V.2 Analisa Topografi
V.2.1 Pendekatan DEM
Dari analisa data topografi berdasarkan peta titik elevasi, elevasi lahan di
catchment area DAS Citarum dengan outlet di Stasiun Debit Nanjung bervariasi
antara sekitar +2400 hingga + 600 di atas permukaan laut rata-rata.
a) Gambar 3D Kondisi Topografi DAS Citarum
b) Topografi DAS Citarum dalam format DEM
Gambar V.1. Kondisi Topografi DAS Citarum
V-3
V.2.2 Analisa Outlet, dan Pit
Pemodelan dalam penelitian ini tidak mengakomodasi adanya detensi aliran pada
anak sungai. Hal tersebut disebabkan penyederhanaan yang dilakukan dan untuk
penyesuaian terhadap skema teoritis yang digunakan dalam pemodelan.
Skema teoritis Kinematic Wave tidak mengakomodasi adanya detensi aliran.
Ketidakmampuan skema Kinematic Wave dalam perhitungan aliran dinamis
seperti fenomena backwater menjadi kelemahan dari skema ini. Pertimbangan
pemakaian skema Kinematic Wave dalam perhitungan overland flow dan channel
flow pada anak sungai disebabkan oleh faktor kemiringan lahan yang sangat
dominan dalam perhitungan aliran pada anak-anak sungai di lokasi studi.
Selain itu, penyederhanaan yang dilakukan dalam pemodelan ini berkaitan dengan
keterbatasan data elevasi yang tersedia sehingga ukuran grid terkecil yang bisa
dihasilkan adalah 1 km2. Apabila diterapkan mass balance equation akan
terhambat pada ukuran grid yang ada. Akumulasi aliran dari grid sebelumnya
hanya akan mengisi genangan pada grid yang ditinjau dan tidak sampai mengalir
ke arah grid terendah di sekeliling grid yang ditinjau.
Dua hal tersebut di atas menyebabkan perlunya penghilangan pit atau grid yang
memiliki elevasi terendah dibandingkan dengan delapan grid yang
mengelilinginya. Grid ini menyebabkan putusnya akumulasi aliran ke hilir.
Sebagai contoh penyesuaian elevasi untuk menghilangkan pit digunakan Sub Das
Cimahi yang mempunyai dua buah pit. Dari analisa data DEM, didapatkan arah
aliran sebagai berikut:
V-4
6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 2.00
6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00
6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00
6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00
6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00
6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00
6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00
6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00
6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00
6.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00
4.00 5.00 6.00 3.00 3.00 3.00
3.00 9.00 7.00 4.00 5.00 6.00
5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00
9.00 7.00 4.00 5.00 6.00 6.00
5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 4.00
5.00 6.00 6.00 5.00 4.00 5.00
5.00 6.00 4.00 4.00 5.00 6.00
Gambar V.2. Arah aliran hasil analisa DEM
Pada Gambar V.2. Arah aliran hasil analisa DEM terlihat bahwa terdapat dua
titik pada ruang lingkup data yang menunjukkan kode arah aliran yang bernilai 9
yang merupakan jalur channel flow dari Sungai Cimahi.
V-5
Karena dua titik tersebut berada dalam jalur channel flow Sungai Cimahi, maka
titik-titik tersebut merupakan pit, yang terjadi pada proses perata-rataan harga
elevasi pada saat pembentukan DEM.
6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 2.00
6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00
6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00
6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00
6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00
6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00
6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00
6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00
6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00
6.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00
4.00 5.00 6.00 3.00 3.00 3.00
3.00 9.00 7.00 4.00 5.00 6.00
5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00
9.00 7.00 4.00 5.00 6.00 6.00
5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 4.00
5.00 6.00 6.00 5.00 4.00 5.00
5.00 6.00 4.00 4.00 5.00 6.00
Gambar V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m x 1000 m)
Pada Gambar V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m
x 1000 m) terlihat jelas dua titik tersebut merupakan pit. Pada gambar di atas,
secara sederhana terlihat bahwa pit dapat teridentifikasi melalui letak dalam
daerah pemodelan.
V-6
Untuk menghilangkan pit tersebut dilakukan beberapa prosedur sebagai berikut:
1. Cek elevasi lahan berdasarkan analisa DEM.
2. Cek peta elevasi berdasarkan peta sub das dan cek kemungkinan arah aliran
berdasarkan peta tersebut.
3. Penyesuaian harga elevasi lahan pada DEM untuk menghilangkan pit.
Berikut ditampilkan penyesuaian data elevasi pada titik DEM (i=2, j=12) dan
(i=1, j=14).
a) Sebelum modifikasi b) Setelah modifikasi
Gambar V.4. Ilustrasi penyesuaian data DEM (i=2, j=12) dan (i=1, j=14)
Sesuai prosedur sederhana yang telah disebutkan sebelumnya, maka penyesuaian
data untuk menghilangkan pit tersebut dilakukan sebagai berikut untuk titik (i=2,
j=12):
1. Cek elevasi lahan berdasarkan analisa DEM.
Dari Gambar V.4. a). terlihat bahwa pada titik (i=2, j=12) terjadi akumulasi
aliran yang diidentifikasi sebagai pit. Elevasi lahan pada titik tersebut adalah
+689,00 yang merupakan titik terendah dibandingkan dengan delapan titik
yang terdapat di sekelilingnya. Aliran pada titik tersebut tidak dapat mengalir
ke titik di sekelilingnya dan seakan-akan aliran air terkumpul dalam suatu
sumur atau pit.
1 2 3 4 5 6
10 724.00 719.00 726.00 743.00 725.00 742.00
11 711.00 708.00 706.00 726.00 705.00 704.00
12 702.00 689.00 707.00 717.00 716.00 715.00
13 692.00 691.00 696.00 697.00 695.00 706.00
14 677.00 685.00 688.00 690.00 703.00 697.00
15 678.00 680.00 681.00 679.00 685.00 690.00
16 672.00 674.00 677.00 673.00 679.00 679.00
17 665.00 667.00 671.00 668.00 670.00 668.00
ij 1 2 3 4 5 6
10 724.00 719.00 726.00 743.00 725.00 742.00
11 711.00 708.00 706.00 726.00 705.00 704.00
12 702.00 698.50 707.00 717.00 716.00 715.00
13 692.00 691.00 696.00 697.00 695.00 706.00
14 684.50 685.00 688.00 690.00 703.00 697.00
15 678.00 680.00 681.00 679.00 685.00 690.00
16 672.00 674.00 677.00 673.00 679.00 679.00
17 665.00 667.00 671.00 668.00 670.00 668.00
ij
V-7
2. Cek peta elevasi berdasarkan peta sub das dan cek kemungkinan arah aliran
berdasarkan peta tersebut.
Dari peta titik elevasi yang dioverlapkan dengan peta sub das pada Gambar
V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m x 1000 m)
titik (i=2, j=12) merupakan bagian dari sub das Sungai Cimahi, dengan
kecenderungan bergerak ke arah selatan.
3. Penyesuaian harga elevasi lahan pada DEM untuk menghilangkan pit.
Penyesuaian dilakukan untuk mengakomodasi kondisi yang lebih mungkin
terjadi di lapangan, yakni arah aliran dari titik (i=2, j=12) menuju selatan. Dari
Gambar V.4. a) terlihat bahwa di sekeliling titik (i=2, j=12) kita tinjau dua
titik yang berpengaruh terhadap arah aliran yakni:
Titik (i=3, j=11), dengan elevasi lahan +706,00
Titik (i=2, j=13), dengan elevasi lahan +691,00
Diperkirakan air dari titik (i=2, j=12) akan mengalir menuju titik (i=2, j=13).
Dengan demikian, penyesuaian elevasi lahan DEM dilakukan pada titik (i=2, j
=12) yakni dengan memberi nilai elevasi dengan ketentuan +691,00< elevasi
< +706,00. Secara sederhana, elevasi titik (i=2, j=12) diambil dari harga rata-
rata antara +691,00 dan +706,00, yakni +698,50.
Hasil penyesuaian ini dapat dilihat pada Gambar V.4. b), dimana arah aliran dari
titik (i=15, j =10) mengarah ke barat daya, dan sudah tidak terdapat lagi pit.
V.2.3 Karakteristik Sub Das/Pengaruh Parameter DAS
Parameter utama yang digunakan dalam perhitungan model penelitian ini antara
lain persamaan dan perbedaan karakteristik antara sub das yang terlihat pada
aspek-aspek sebagai berikut:
1. Pengaruh jaringan sungai pada sub das
Model yang disusun ini dapat mengakomodasi pengaruh jaringan sungai pada
suatu sub das. Pengaruh adanya beberapa cabang akumulasi aliran sebelum
outlet terlihat dari adanya beberapa puncak pada hidrograf akhir.
V-8
Sementara itu pada outlet sub das dimana mempunyai jaringan sungai yang
lebih sederhana menghasilkan hidrograf outlet dengan jumlah puncak debit
satu buah akibat akumulasi aliran yang relatif terus-menerus dalam satu
cabang aliran.
2. Pengaruh kondisi topografi
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, model ini menggunakan
Metoda Kinematic Wave sebagai aplikasi untuk menghitung overland flow dan
channel flow pada anak sungai. Sementara untuk perhitungan channel flow di
sungai utama digunakan dynamic wave. Beberapa asumsi yang digunakan
sehubungan dengan perhitungan overland flow dan channel flow pada anak
sungai serta channel flow di sungai utama dalam penelitian ini antara lain
adalah:
Koefisien aliran (C) yang berupa harga konstan, merupakan perbandingan
antara hujan yang menjadi limpasan dan hujan yang jatuh tidak digunakan
dalam model ini. Hujan yang terjadi sudah diperhitungkan sebagai hujan
efektif yang akan menjadi limpasan.
Harga koefisien kekasaran lahan untuk overland flow (N) diakomodasi
sebagai input untuk tiap grid.
Harga koefisien kekasaran saluran untuk channel flow (n) di anak sungai
maupun sungai utama digunakan harga rata-rata untuk kekasaran dasar
sungai di lokasi studi yang berupa saluran alami berkecenderungan lurus
berbatu dan banyak tumbuhan.
Harga koefisien kemiringan lahan untuk overland flow (S0) diakomodasi
sebagai input untuk tiap grid.
Harga koefisien kemiringan dasar saluran untuk channel flow (S0) di anak
sungai digunakan harga rata-rata pada kemiringan dasar saluran tiap anak
sungai.
Harga koefisien kemiringan dasar saluran untuk channel flow (S0) di
sungai utama digunakan harga rata-rata pada kemiringan dasar saluran
pada sungai utama.
V-9
Pada model ini, penggunaan Metoda Kinematic Wave sebagai metoda routing
terdistribusi antar grid pada anak sungai memberikan volume kumulatif yang
tidak selalu sama dengan volume hujan efektif yang turun. Faktor-faktor yang
mengakibatkan selisih jumlah volume antara hasil perhitungan model dengan
volume hujan efektif antara lain adalah sebagai berikut:
Debit perhitungan Metoda Kinematic Wave merupakan fungsi dari besaran
intensitas hujan dan durasi hujan.
Routing Kinematic Wave pada overland flow maupun channel flow
merupakan fungsi dari kondisi topografi/kemiringan lahan/saluran. Untuk
ukuran grid yang sama, semakin besar kemiringan lahan/saluran, semakin
kecil pula harga waktu travel time yang berkaitan dengan waktu
konsentrasi. Secara umum, pada grid dengan harga kemiringan
lahan/saluran tinggi (curam) perhitungan menghasilkan debit puncak yang
besar. Begitu pula sebaliknya, pada grid dengan harga kemiringan
lahan/saluran rendah (landai) perhitungan menghasilkan debit puncak yang
kecil.
Faktor kekasaran Manning (n) untuk overland flow dan (N) untuk channel
flow sangat berpengaruh terhadap kecepatan aliran dan debit yang
dihasilkan. Kondisi lahan/saluran yang kasar dan berisikan benda-benda
yang dapat menghalangi aliran seperti sampah, potongan dahan-dahan, dan
lain sebagainya dapat mengurangi kecepatan aliran sehingga menghasilkan
nilai debit yang relatif rendah.
3. Pengaruh Koefisien Corak
Koefisien corak merupakan perbandingan antara luas DAS dengan panjang
sungai. Secara umum koefisien corak menggambarkan proporsi overland flow
dibandingkan dengan channel flow. Semakin besar proporsi overland flow
dibandingkan dengan channel flow, harga debit puncak semakin kecil, namun
waktu resesi hidrograf semakin panjang. (hidrograf lama naik dan lama turun).
Sementara itu, semakin kecil proporsi overland flow dibandingkan dengan
channel flow, harga debit puncak semain besar, dan waktu resesi hidrograf
semaikin pendek (hidrograf cepat naik dan cepat turun).
V-10
Pada model ini tiap sub das perhitungan debit dilakukan dengan overland flow
sebagai lateral inflow untuk tiap grid dan dirouting dengan channel flow sampai
dengan muara tiap anak di sungai utama. Kemudian routing dilakukan sepanjang
sungai utama (Citarum) sebagai channel flow.
Berikut adalah hasil model untuk visualisasi 2-D, 3-D, dan arah aliran untuk
masing-masing sub das.
Gambar V.5. Kondisi 3-D Sub Das Cimahi
Gambar V.6. Kondisi 2-D Sub Das Cimahi Gambar V.7. Arah aliran di Sub Das Cimahi
V-11
Gambar V.8. Kondisi 3-D Sub Das Cibeureum
Gambar V.9. Kondisi 2-D Sub Das Cibeureum
Gambar V.10. Arah aliran di Sub Das Cibeureum
V-12
Gambar V.11. Kondisi 3-D Sub Das Citepus
Gambar V.12. Kondisi 2-D Sub Das Citepus
Gambar V.13. Arah aliran di Sub Das Citepus
V-13
Gambar V.14. Kondisi 3-D Sub Das Cikapundung
Gambar V.15. Kondisi 2-D Sub Das Cikapundung
Gambar V.16. Arah aliran di Sub Das Cikapundung
V-14
Gambar V.17. Kondisi 3-D Sub Das Cicadas
Gambar V.18. Kondisi 2-D Sub Das Cicadas
Gambar V.19. Arah aliran di Sub Das Cicadas
V-15
Gambar V.20. Kondisi 3-D Sub Das Cidurian
Gambar V.21. Kondisi 2-D Sub Das Cidurian
Gambar V.22. Arah aliran di Sub Das Cidurian
V-16
Gambar V.23. Kondisi 3-D Sub Das Cipamokolan
Gambar V.24. Kondisi 2-D Sub Das Cipamokolan
Gambar V.25. Arah aliran di Sub Das Cipamokolan
V-17
Gambar V.26. Kondisi 3-D Sub Das Cikeruh
Gambar V.27. Kondisi 2-D Sub Das Cikeruh
Gambar V.28. Arah aliran di Sub Das Cikeruh
V-18
Gambar V.29. Kondisi 3-D Sub Das Ciwidey
Gambar V.30. Kondisi 2-D Sub Das Ciwidey
Gambar V.31. Arah aliran di Sub Das Ciwidey
V-19
Gambar V.32. Kondisi 3-D Sub Das Cibolerang
Gambar V.33. Kondisi 2-D Sub Das Cibolerang
Gambar V.34. Arah aliran di Sub Das Cibolerang
V-20
Gambar V.35. Kondisi 3-D Sub Das Cisangkuy
Gambar V.36. Kondisi 2-D Sub Das Cisangkuy
Gambar V.37. Arah aliran di Sub Das Cisangkuy
V-21
Gambar V.38. Kondisi 3-D Sub Das Citarum Hulu
Gambar V.39. Kondisi 2-D Sub Das Citarum Hulu
Gambar V.40. Arah aliran di Sub Das Citarum Hulu
V-22
Gambar V.41. Kondisi 3-D Sub Das Citarik
Gambar V.42. Kondisi 2-D Sub Das Citarik Gambar V.43. Arah aliran di Sub Das
Citarik
V-23
Berikut adalah rekapitulasi luas masing-masing sub das berdasarkan pemodelan
dalam penelitian ini dalam format DEM yang telah dibuat.
Tabel V.1. Perbandingan luas sub das existing dan pemodelan
V.3 Kalibrasi dan Verifikasi Model
V.3.1 Kalibrasi dan Verifikasi I (dengan 1 orde sungai dynamic wave)
Koefisien-koefisien dalam aliran, seperti N kekasaran lahan, C koefisien
pengaliran lahan, dan n Manning kekasaran dasar saluran, mempunyai range nilai
untuk suatu kondisi. Misalnya koefisien kekasaran dasar saluran n, pada kondisi
sungai kecil, berkelok-kelok, bertebing, dengan tanaman pengganggu dan berbatu,
mempunyai nilai antara 0,06 sampai dengan 0,08.
Pada tahap ini dilakukan running model untuk mendapatkan koefisien-koefisien
dalam aliran yang sesuai sehingga debit model yang didapat sesuai dengan hasil
debit observasi.
NO SUB DAS Luas Existing (km2)
Luas dalam pemodelan (km2)
1 CIMAHI 32,61 31 2 CIBEUREUM 61,31 70 3 CITEPUS 36,52 38 4 CIGEDE/CIKAPUNDUNG 145,40 142 5 CICADAS 29,72 27 6 CIDURIAN 33,95 33 7 CIPAMOKOLAN 42,23 42 8 CIKERUH 190,33 194 9 CIWIDEY 228,37 227 10 CIBOLERANG 60,87 60 11 CISANGKUY 280,95 277 12 CITARUM HULU 363,44 364 13 CITARIK 257,49 260
TOTAL 1.763,19 1.765
V-24
Berikut adalah data koefien-koefisien dalam aliran yang dihasilkan:
Tabel V.2. Nilai-nilai koefisien lahan yang dipakai
Pada tahap ini dilakukan running model selama 15x24 jam sesuai dengan data
hujan dan debit observasi. Data intensitas hujan yang digunakan sebagai input
adalah data hujan jam-jaman tiap sub das.
Hasil pemodelan dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini.
Inflow Lateral Masing-masing Sub DAS
02468
10121416
0 2 4 6 8 10 12 14
Waktu (jam)
Q (m
3/s)
Q1Q2Q3Q4Q5Q6Q7Q8Q9Q10Q11Q12Q13
Gambar V.44. Inflow lateral dari masing-masing sub das hasil verifikasi
NO Kondisi lahan Kekasaran lahan (N)
Koefisien Pengaliran (C)
1 PEMUKIMAN 0,04 0,80 2 PERKEBUNAN 0,10 0,52 3 KEBUN CAMPUR 0,10 0,52 4 HUTAN PRIMER 0,60 0,25 5 HUTAN SEKUNDER 0,60 0,25 6 SAWAH 0,20 0,50 7 TANAH KOSONG 0,09 0,60 8 LADANG 0,20 0,50 9 PERTAMBANGAN 0,08 0,80 10 KAW. INDUSTRI 0,06 0,60 11 PADANG RUMPUT 0,20 0,51 12 SEMAK BELUKAR 0,20 0,51
V-25
Pada Gambar V.44. terlihat inflow lateral yang terjadi dari Sungai Citarik jauh di
atas anak-anak sungai lainnya. Hal ini dikarenakan selain luas sub das Citarik
yang besar (260 km2), hujan yang terjadi di sub das ini jauh di atas hujan yang
terjadi di sub das-sub das lain.
Hasil Debit Perhitungan dan Observasi
050
100150200250300350400450500
0 5 10 15
Waktu (hari)
Q (m
3/s) Perhitungan
Observasi
Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi I
Terlihat pada Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum hasil debit di Nanjung
mempunyai nilai debit yang secara keseluruhan lebih kecil dari debit observasi.
Perbedaan yang terjadi disebabkan oleh pemakaian kinematic wave pada
perhitungan di tiap sub das. Slope dari alur anak sungai di daerah mendekati
muara tiap sub das di Sungai Citarum (sungai utama) cenderung datar. Skema
kinematic wave yang mengabaikan suku-suku dinamis menyebabkan momentum
yang membawa massa dari air cenderung kecil (hanya mengandalkan slope, suku-
suku dinamis diabaikan). Volume DRO hasil perhitungan adalah 1,87x107 m3 atau
sekitar 44% dari volume DRO debit observasi yaitu 4,25x107 m3.
Menurut Woolhiser dan Liggett (1967) yang menganalisa karakteristik dari
hidrograf naik hasil kinematic wave dan memberikan suatu kajian bahwa suku-
suku dinamis dari dynamic wave dapat diabaikan jika:
V-26
0 02 210, 10S L S Lgk atau
yFr v= > >
dimana:
L = panjang dari bidang grid,
Fr = bilangan Froude,
y = kedalaman air di akhir grid,
S0 = kemiringan lahan/saluran,
k = bilangan aliran kinematis tak berdimensi.
Gambar V.46. Efek nilai k pada hidrograf naik (Woolhiser dan Liggett, 1967)
Untuk routing DAS besar seperti Citarum dengan jumlah grid perhitungan yang
besar, error perhitungan akan terakumulasi dari tiap grid ke grid seterusnya
sampai ke grid paling hulu menghasilkan debit hasil perhitungan seperti pada
Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum.
Selain itu perbedaan bentuk hidrograf hasil model dan observasi disebabkan
bentuk aliran sungai di masing-masing sub das yang kurang sesuai kondisi
existing akibat grid yang diaplikasikan dalam model terlalu besar (1x1 km) dan
juga pada model ini tidak memperhitungkan debit yang diambil atau ditambahkan
pada sungai selain dari hujan.
V-27
Pengambilan atau penambahan debit pada sungai sebagai lokasi studi dapat
menyebabkan perubahan debit pada suatu saat di titik tertentu sepanjang sungai.
V.3.2 Kalibrasi dan Verifikasi II (dengan 2 orde sungai dynamic wave)
Untuk mengatasi permasalahan slope yang kecil di daerah muara, dilakukan
penambahan 1 orde sungai lagi yang dihitung menggunakan dynamic wave.
Hasil pemodelan dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini.
Debit Hasil Perhitungan dan Observasi
050
100150200250300350400450500
0 5 10 15
Waktu (hari)
Q (m
3/s) Perhitungan
Observasi
Gambar V.47. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi II
Terlihat pada Gambar V.47. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi II hasil
debit di Nanjung dengan penambahan 1 orde sungai yang dihitung dengan
dynamic wave mempunyai nilai debit yang mirip dengan debit observasi.
Slope dari alur anak sungai di daerah mendekati muara tiap sub das di Sungai
Citarum (sungai utama) yang cenderung datar tidak terlalu berpengaruh lagi
karena suku-suku dinamis dari persamaan momentum diperhitungkan semua.
V-28
Volume DRO hasil perhitungan adalah 3,51x107 m3 atau sekitar 83% dari volume
DRO debit observasi yaitu 4,25x107 m3. Pengaruh pengabaian suku-suku dinamis
untuk perhitungan grid di luar orde ke-2 masih terlihat dengan adanya deviasi
volume DRO hasil perhitungan dan observasi.
V-29
Bab V ...................................................................................................................... 1 Analisa dan Diskusi ............................................................................................... 1
V.1 Pemilihan data ....................................................................................... 1 V.2 Analisa Topografi .................................................................................. 2
V.2.1 Pendekatan DEM .......................................................................... 2 V.2.2 Analisa Outlet, dan Pit .................................................................. 3 V.2.3 Karakteristik Sub Das/Pengaruh Parameter DAS .................... 7
V.3 Kalibrasi dan Verifikasi Model ......................................................... 23 V.3.1 Kalibrasi dan Verifikasi I (dengan 1 orde sungai dynamic wave) 23 V.3.2 Kalibrasi dan Verifikasi II (dengan 2 orde sungai dynamic wave) 27
Gambar V.1. Kondisi Topografi DAS Citarum ....................................................... 2 Gambar V.2. Arah aliran hasil analisa DEM ......................................................... 4 Gambar V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m x
1000 m) ........................................................................................................... 5 Gambar V.4. Ilustrasi penyesuaian data DEM (i=2, j=12) dan (i=1, j=14) ......... 6 Gambar V.5. Kondisi 3-D Sub Das Cimahi .......................................................... 10 Gambar V.6. Kondisi 2-D Sub Das Cimahi Gambar V.7. Arah aliran di Sub Das
Cimahi 10 Gambar V.8. Kondisi 3-D Sub Das Cibeureum .................................................... 11 Gambar V.9. Kondisi 2-D Sub Das Cibeureum .................................................... 11 Gambar V.10. Arah aliran di Sub Das Cibeureum ............................................... 11 Gambar V.11. Kondisi 3-D Sub Das Citepus ........................................................ 12 Gambar V.12. Kondisi 2-D Sub Das Citepus ........................................................ 12 Gambar V.13. Arah aliran di Sub Das Citepus .................................................... 12 Gambar V.14. Kondisi 3-D Sub Das Cikapundung .............................................. 13 Gambar V.15. Kondisi 2-D Sub Das Cikapundung .............................................. 13 Gambar V.16. Arah aliran di Sub Das Cikapundung ........................................... 13 Gambar V.17. Kondisi 3-D Sub Das Cicadas ....................................................... 14 Gambar V.18. Kondisi 2-D Sub Das Cicadas ....................................................... 14 Gambar V.19. Arah aliran di Sub Das Cicadas ................................................... 14 Gambar V.20. Kondisi 3-D Sub Das Cidurian ..................................................... 15 Gambar V.21. Kondisi 2-D Sub Das Cidurian ..................................................... 15 Gambar V.22. Arah aliran di Sub Das Cidurian .................................................. 15 Gambar V.23. Kondisi 3-D Sub Das Cipamokolan .............................................. 16 Gambar V.24. Kondisi 2-D Sub Das Cipamokolan .............................................. 16 Gambar V.25. Arah aliran di Sub Das Cipamokolan ........................................... 16 Gambar V.26. Kondisi 3-D Sub Das Cikeruh ....................................................... 17 Gambar V.27. Kondisi 2-D Sub Das Cikeruh ....................................................... 17 Gambar V.28. Arah aliran di Sub Das Cikeruh .................................................... 17 Gambar V.29. Kondisi 3-D Sub Das Ciwidey ....................................................... 18 Gambar V.30. Kondisi 2-D Sub Das Ciwidey ....................................................... 18 Gambar V.31. Arah aliran di Sub Das Ciwidey ................................................... 18 Gambar V.32. Kondisi 3-D Sub Das Cibolerang .................................................. 19 Gambar V.33. Kondisi 2-D Sub Das Cibolerang .................................................. 19 Gambar V.34. Arah aliran di Sub Das Cibolerang .............................................. 19
V-30
Gambar V.35. Kondisi 3-D Sub Das Cisangkuy ................................................... 20 Gambar V.36. Kondisi 2-D Sub Das Cisangkuy ................................................... 20 Gambar V.37. Arah aliran di Sub Das Cisangkuy ................................................ 20 Gambar V.38. Kondisi 3-D Sub Das Citarum Hulu ............................................. 21 Gambar V.39. Kondisi 2-D Sub Das Citarum Hulu ............................................. 21 Gambar V.40. Arah aliran di Sub Das Citarum Hulu .......................................... 21 Gambar V.41. Kondisi 3-D Sub Das Citarik ........................................................ 22 Gambar V.42. Kondisi 2-D Sub Das Citarik ........................................................ 22 Gambar V.43. Arah aliran di Sub Das Citarik ..................................................... 22 Gambar V.44. Inflow lateral dari masing-masing sub das hasil verifikasi ....... 24 Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi I ............................. 25 Gambar V.46. Efek nilai k pada hidrograf naik (Woolhiser dan Liggett, 1967) .. 26 Gambar V.47. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi II ............................ 27
Tabel V.1. Perbandingan luas sub das existing dan pemodelan .......................... 23 Tabel V.2. Nilai-nilai koefisien lahan yang dipakai ............................................. 24