BAB IV USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN A. Negara ...repository.radenintan.ac.id/3624/5/11....
Transcript of BAB IV USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN A. Negara ...repository.radenintan.ac.id/3624/5/11....
BAB IV
USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN
A. Negara Yordania
1. Profil Singkat Negara Yordania
Kerajaan Hasyimiyah Yordania, yang biasanya disebut Yordania,
ialah sebuah negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Suriah di
sebelah utara, Arab Saudi di timur dan selatan, Irak di timur laut, serta
Israel dan tepi barat di barat. Yordania menerima arus pengungsi Palestina
selama lebih dari 3 dasawarsa, menjadikannya sebagai salah satu
penampung pengungsi terbesar di dunia. Negara yang miskin bahan
tambang ini mengimpor minyak bumi dari negara-negara tetangga.1
Sekitar 95% penduduknya beragama Islam dengan menganut Madzhab
Hanafi dan beraliran Sunny. Selainnya 4 % beragama kristen dan 1% lagi
gabungan Druze dan Bahni. 2
Penduduk Yordania menurut data yang dilaporkan Inggris kepada
PBB tahun 1924 berjumlah sekitar 900.000 jiwa dengan 90% Arab
Muslim, 10.000 jiwa Cireassian dan Cherchen, serta 15.000 jiwa Arab
Kristen. Cireassian dan Cherchen adalah kelompok imigran dari Rusia.3
Jumlah ini diperkirakan naik sampai 3,8 juta jiwa pada bulan September
1991 akibat aliran pengungsi Palestina pada saat pembagian wilayah
Palestina pada tahun 1948 dan pendudukan Israel di wilayah tepi sungai
barat tahun 1967 serta kembalinya lebih dari 300.000 orang Palestina dan
Yordania dari Kuwait selama perang teluk 1990-1991.4
Berdasarkan jumlah tersebut sebagaimana yang dikemukakan
Ahmad al-Usairi yang dikutip oleh Amin Suma, bahwa dunia Islam adalah
1 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004) h. 156 2 Khoiruddin Nasution, dkk., Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern
(Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012) h. 65 3 Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the
Arab World (London: CIMEL and Kluwer Law International, 1996) h. 4 4 Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: tp, 1987), h. 271
143
negeri-negeri atau negara-negara yang persentase penduduk muslimnya
lebih 50% dari keseluruhan jumlah penduduk. Dengan demikian, Yordania
menjadi salah satu negara yang ikut mengambil bagian menjadi salah satu
negara dalam dunia Islam. Pertimbangan jumlah ini merupakan
pertimbangan pertama dan terpenting. Selain pertimbangan jumlah
penduduk, pertimbangan Undang-undang yang terkait dengan
pemberlakuan Undang-undang Islam di Yordania juga merupakan salah
satu ciri dari sebuah negara Islam.5
Negara modern Yordania pertama kali muncul pada tahun 1921
sebagai Emirat (keemiran atau keamiran) Transyordan. Hingga
penghujung Perang Dunia I wilayah ini merupakan bagian dari Suriah
yang lebih besar di bawah kekuasaan Utsmaniyah. Setelah kekalahan
Kesultanan Utsmaniyah pada 1918, sekutu membagi Timur Tengah
menjadi kawasan-kawasan di bawah pengaruh mereka, dengan Transyor
dan Palestina berada dalam mandat dan perwalian Inggris. Pada tahun
1946, Transyor mencapai kemerdekaannya untuk kemudian menjadi
kerajaan Hasyimiyah Yordania dengan Pangeran Abdullah Ibn al-Husein
sebagai raja pertamanya. Nama Hasyimiyah menunjukkan kepada Hasyim,
yang merupakan moyang Nabi Muhammad saw.6
Peta politik Yordania dapat dilihat dari dominannya partai
Ikhwanul Muslimin karena dukungan partainya dalam perang Arab-Israel
dan dukungan terbukanya kepada Raja Abdullah dan terus berlanjut
sampai pada pemerintahan Raja Hussein. Hubungan manis itu semakin
jelas ketika kedua rezim dan partai itu bersama-sama menghadapi
serangan berbagai rezim Arab dan gerakan pan-Arab sekuler terutama
pada tahun 1950-1960-an. Akibatnya selama hampir empat dekade
Ikhwanul Muslimin mampu mengonsolidasikan posisinya dengan pesan
religius politik dan memperkuat dukungan melalui kontrolnya yang luas
5 Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 65-66
6 John L. Eposito, Ensiklopedia Hukum Islam Modern (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1995), h. 176
144
terhadap organisasi dan institusi yang memberi pelayanan terhadap
masyarakat.7
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga Di Yordania
Reformasi substansi hukum dilakukan dengan cara takhayyur
(pemilihan pendapat hukum), talfiq (amalgamasi mazhab hukum), dan
ijtihad (inovasi/penemuan hukum). Takhayyur dilakukan dengan
mengadopsi ketentuan dari pendapat hukum yang ada yang dinilai sesuai
dengan masyarakat. Talfiq dilakukan dengan cara eklektik, dengan
mengkombinasikan beberapa pendapat hukum yang ada sehingga
didapatkan ketentuan hukum yang sesuai dengan masyarakat. Ijtihad
dilakukan dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap teks-teks
keagamaan. Ijtihad dilakukan jika takhayyur dan talfiq tidak bisa
dilakukan.8
Negara Yordania dalam membuat aturan perundangan mengambil
model talfiq atau mencampurkan aturan-aturan hukum dari mazhab-
mazhab yang ada yang kemudian dijadikan undang-undang yang dapat
diterima masyarakat. Hal ini disebabkan karena di antara mazhab fikih
yang ada, tidak banyak perbedaan yang sangat signifikan. Sebelum adanya
pembaharuan Undang-undang Hukum Keluarga Muslim No. 61 Tahun
1976, negara Yordania lebih cenderung mengambil pendapat mazhab
Hanafi dalam pembuatan Undang-undang.9
Mengenai sejarah pembentukan hukum di Yordania, awal mulanya
negara ini menggunakan aturan hukum yang disebut dengan Ottoman Law.
Hal ini disebabkan karena Yordania merupakan bagian dari negara yang
dikuasai oleh kerajaan di masa Bani Turki Utsmani. Sistem hukum yang
diterapkan salah satunya mengenai aspek hukum di bidang hukum
keluarga yang aturan tersebut dinamai Ottoman Law of Family Rights
7 Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 271
8 Ahmad Bunya Wahib, Reformasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim, (Jurnal Ijtihad:
IPI, Vol. 14, No1, Juni 2014) h. 10 9 Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 64
145
1917. Yordania menerapkan aturan hukum Islam secara utuh dengan
melandasinya kepada hasil pemikiran mazhab Hanafi.10
Pada tahun 1947, Yordania menerapkan aturan hukum sementara
dalam memberlakukan hukum keluarga. Hal ini tetap berlaku sampai
diubah pada tahun 1951 dengan undang-undang yang baru, sebagian besar
aturan di dalamnya mengikuti bentuk Ottoman Law of Family Rights.
Jordania Law of Family Rights 1951 adalah aturan hukum yang pertama
dalam serangkaian kodifikasi Hukum Keluarga Islam yang diresmikan
pada tahun 1950 oleh badan legislatif nasional. Sebuah konstitusi baru
diadopsi pada tahun 1952, dengan mempertahankan dasar agama dan
kekuasaan peradilan dalam menyelesaikan sengketa perdata.11
Ottoman Law of Family Right terus diterapkan sampai hukum
keluarga Yordania No. 26 Tahun 1947 dikeluarkan. Aturan hukum ini
sementara diterapkan selama empat tahun sampai dikeluarkannya hukum
keluarga Yordania No. 92 Tahun 1951, yang kemudian diubah dan diganti
dari kedua aturan yaitu Ottoman Law dan UU Yordania No. 26. UU serta
No. 92 tahun 1951 yang berlaku selama dua puluh lima tahun lalu
kemudian diterbitkanlah aturan hukum keluarga No. 61 tahun 1976.
Undang-undang ini didasarkan pada pemikiran selain pemikiran Hanafi,
ketentuan ini dibuat dalam 180 pasal sebagai landasan yang paling tepat
dari berbagai pendapat Imam Abu Hanifah dalam kasus di mana tidak ada
ketentuan tekstual tertentu ditemukan.12
Mengenai aspek hukum keluarga di Yordania yang terbentuk pada
tahun 1951, pada perjalanannya mengalami perubahan secara rinci dari
aturan hukum yang sebelumnya yaitu Ottoman Law of Family Rights
1917, adapun poin-poin yang diubah adalah, sebagai berikut:
a. Pencatatan Pernikahan,13
10
Abdullahi A. An-Na‟im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global
Resource Book (London: Zed Books, 2002), h. 119 11
Ibid. 12
Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the
Arab World (London: CIMEL and Kluwer Law International, 1996) h. 79 13
Ottoman Law, Pasal 13 sampai 19; Jordanian Law, Pasal 9 sampai 16
146
b. Walimatul „Ursy,14
c. Hak wali mengenai pernikahan seorang perempuan,15
d. Akibat dari pernikahan yang sah,16
e. Kewajiban suami mengenai mahar,17
f. Kewajiban dan hak suami istri,18
g. Perceraian,19
h. Rujuk,20
dan
i. Hak dan kewajiban seorang istri selama masa iddah.21
Undang-undang yang diterapkan di Yordania adalah Undang-
undang tentang hukum perdata dan hukum-hukum tambahan 1976 (The
Code of Personal Status and Supplementary Laws 1976) sebagai undang-
undang hukum keluarga Islam. Undang-undang ini merupakan hasil
perjuangan yang panjang para ahli hukum dengan melakukan
pengkodifikasian berbagai macam sumber hukum. Nampaknya dengan
kelahiran undang-undang ini merupakan awal dari langkah sebuah
pembaruan hukum yang relevan dengan perkembangan zaman.22
Landasan yang diambil sebagai pemikiran pokok para ahli hukum
lebih banyak merujuk langsung pada mazhab Hanafi sebagaimana yang
disinggung sebelumnya karena mazhab Hanafi mempunyai pengaruh yang
sangat dominan di negara Yordania. Akan tetapi, ketika dilakukan
pembaharuan hukum, beberapa mazhab selain mazhab Hanafi juga
dijadikan sumber rujukan untuk memperbaiki materi hukum keluarga yang
sudah ada.23
14
Ottoman Law, Pasal 35-36; Jordanian Law, Pasal 18-19 15
Ottoman Law, Pasal 48-49; Jordanian Law, Pasal 25-26 16
Ottoman Law, Pasal 69-70, 73-74; Jordanian Law, Pasal 31-32, 35-36 17
Ottoman Law, Pasal 80 sampai 89; Jordanian Law, Pasal 40 sampai 42, 44 sampai 50,
52 sampai 54 18
Ottoman Law, Pasal 93 sampai 100; Jordanian Law, Pasal 57 sampai 63 19
Ottoman Law, Pasal 102-103; Jordanian Law, Pasal 66-67 20
Ottoman Law, Pasal 112 sampai 124; Jordanian Law, Pasal 78 sampai 88 21
Ottoman Law, Pasal 139 sampai 147, 151-152; Jordanian Law, Pasal 101-112. 22
Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 64 23
Ibid., h. 67
147
Untuk lebih jelasnya, kami paparkan tahun-tahun penting periode
perkembangan hukum keluarga di Yordania:
a. Tahun 1917, diberlakukannya hukum keluarga Turki “Qanun qarar al
Huquq al-„Ailah al Utsmaniyyah (The Ottoman Law of Family Rights)
selama 4 tahun. Hukum ini diberlakukan karena Yordania masih di
bawah kekuasaan Turki Usmani.
b. Pemberlakuan perundangan-undangan hukum keluarga negara
Yordania dimulai dari terbentuknya UU No. 26 Tahun 1947.
c. Tahun 1951, UU No. 92 yang mulai berlaku bulan 15 Agustus
1951.”Qanun al Huquq al „Ailah” ( The Yordania Law of Family
Rights ) Lahirnya UU ini menghapus Undang-Undang yang terdahulu.
Mencakup 132 Pasal, yang dibagi dalam 16 bab. Isi UU ini sangat
mirip dengan UU Turki tahun 1917, baik dari strukturnya maupun
aturan rinciannya.
d. Tahun 1976, UU. No.61 merevisi UU No. 92 Tahun 1951 dengan
nama Undang-undang Hukum status perorangan atau yang disebut
dengan Qanun al Ahwal al Shakhsiyyah (Comprehensive Law of
Personal Status ). UU ini mempunyai cakupan yang lebih luas dalam
membahas perkawinan.24
3. Hukum Keluarga di Yordania Tentang Batas Usia Nikah
Pada tahun 1917 Yordania memberlakukan Ottoman Law of
Family Rights sebelum lahirnya Undang-undang No. 92 tahun 1951.
Namun menurut catatan Dawoud El-Alami, sebelum lahirnya undang-
undang tersebut, Yordania pernah memberlakukan Qanun al-Huquq al-
„A`ilah al-Urduniah No. 26 tahun 1947. Oleh karenanya, dengan lahirnya
undang-undang No. 92 tahun 1951 maka semua undang-undang terdahulu
sudah terhapuskan.
24
Mardani, Hukum perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha ilmu 2011)
h. 98
148
Undang-undang No. 92 tahun 1951 ini mencakup 132 pasal yang
dibagi dalam 16 bab.25
Konon undang-undang ini sangat mirip dengan
undang-undang Turki tahun 1917, baik dari segi strukturnya maupun
aturan rinciannya.26
Kemudian undang-undang ini diperbaharui dengan
undang-undang yang lebih lengkap (comprehensive) dengan lahirnya Law
of Personal Status atau yang lebih dikenal dengan istilah Qanun al-Ahwal
al-Syakhshiyyah No. 61 Tahun 1976 yang mencakup 187 pasal dan terbagi
dalam 19 bab.27
Reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania
salah satunya terkait dengan masalah usia menikah. Mengenai usia
pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 17 tahun bagi
laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.28
Hal ini merupakan ketentuan
yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 92 Tahun 1951.
Sebelumnya, ketentuan usia nikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 17
tahun untuk perempuan. Jika melanggar ketentuan tentang usia tersebut,
maka pelanggaran akan dikenai hukum pidana.29
Akan tetapi, apabila
perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk
menikah sementara walinya tidak mengizinkan tanpa alasan yang sah,
maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar prinsip-
prinsip kafa`ah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan.
Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 18 tahun dan
walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan
25
Bab yang dimaksud adalah : (I) Peminangan, (II) Syarat-syarat Mempelai, (III) Akad
Nikah, (IV) Kafa‟ah, (V) Pembatalan Perkawinan, (VI) Hakam, (VII) Mahar, (VIII) Nafkah, (IX)
Aturan Tentang Perceraian, (X) Pilihan untuk Cerai, (XI) „Iddah, (XII) Nafkah Keluarga, (XIII dan
XIV) Pemeliharan Anak, (XV) Orang Hilang / mafqud, (XVI) Aturan Umum. Lihat, Khoiruddin
Nasution, Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Islam, dalam M. Atho‟ Mudzhar dan
Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Modern Studi Perbandingan
dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h. 14 26
Anderson, Recent Development in Shari‟a Law VIII: The Yordanian Law of Family
Rights 1951 (The Muslim World, No. 42, 1952), h. 190 27
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim Marriage (New Delhi: t.p., 1972)
h. 74 28
Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 70; Lihat Pasal 5 UU Yordania No. 61 Tahun
1976 29
Abdullah Ahmad An-Na‟im, Op.Cit., h. 120
149
dapat memberi izin pernikahan. Ketentuan ini merupakan langkah maju
jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fikih mazhab. Sebab
batasan yang dijelaskan dalam kitab fikih mazhab cukup dengan batasan
bahwa laki-laki atau perempuan yang akan menikah itu telah baligh.
Syafi‟i dan Hanbali menyatakan usia baligh untuk anak laki-laki dan
perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya 17 tahun.
Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18
tahun dan anak perempuan 17 tahun.30
Tampaknya pembaharuan peraturan
tentang usia menikah tidak lagi merujuk pada satu mazhab tertentu akan
tetapi disesuaikan dengan kondisi di mana pada batasan usia tersebut laki-
laki atau perempuan Yordania dalam kondisi siap untuk menikah.
B. Negara Tunisia
1. Profil Singkat Negara Tunisia
Secara geografis, Tunisia terletak di bagian utara benua Afrika. Di
sebelah utara dan timur berbatasan dengan Laut Mediterania, di sebelah
selatan dan tenggara berbatasan dengan Libya, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Aljazair. Tunisia berjarak 137 km dari Sicilia, Italia.
Cukup waktu 45 menit penerbangan dari Roma dan 2 jam dari Paris.31
Tunisia memiliki luas wilayah 164.150 km2 dan garis pantai
sepanjang 1.298 km yang terbentang di sebelah barat serta daerah
pegunungan di sepanjang perbatasan Aljazair.32
Dalam hal kependudukan menurut Institusi Statistik Nasional
Tunis data terbaru tercatat populasi Tunisia saat ini mencapai 10.982.754
Juta Jiwa. Untuk pertama kalinya juga jumlah perempuan lebih banyak
30
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Alih Bahasa. Maskur A.B. dkk.,
(Jakarta: Lentera Basritama, 2001), Cet. Ke-7, h. 317-318 31
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tunis dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)
Tunisia, Tunisia Selayang Pandang, (Tunisia: KBRI Tunis, 2006), h. 1 32
Ibid.
150
dibandingkan pria, seperti dikutip Middle East Online.33
Dengan
persentase pemeluk Islam 99,5 %.34
Pada pertengahan abad ke-19 dalam kondisi kekuatan ekonomi
Eropa yang semakin meningkat dan lemahnya kekuatan ekonomi dalam
negeri, para penguasa Tunisia telah mencoba melakukan modernisasi di
berbagai bidang. Ini dilakukan ketika Tunisia masih berada di bawah
pengawasan protectorate Perancis (tahun 1884)
Dari tahun 1880-an sampai 1930-an bermunculan para pemimpin
Tunisia baik berlatar belakang ulama maupun birokrat. Pada umumnya
mereka menerima kekuasaan Perancis di Tunisia dan berkonsentrasi pada
bidang pendidikan dan budaya. pada tahun 1888 para alumni Zaetuna dan
college Sadiqi mengeluarkan surat kabar mingguan al-Hadira yang
digunakan sebagai media untuk mengomentari tentang Eropa dan
peristiwa-peristiwa dunia, dan untuk mendiskusikan isu-isu politik,
ekonomi dan sastra.35
Para alumni itu juga mensponsori pendirian sekolah Khalduniyah
pada tahun 1896. Pendirian ini untuk menyuplai pendidikan Zaetuna
dengan subyek-subyek modern. Hasil dari dua lembaga pendidikan ini
adalah: pemuda-pemuda Tunisia yang berenergikan Arab Timur. Mereka
mempromosikan modernisasi dan westernisasi masyarakat Tunisia dan
kebangkitan Arab.36
Kelompok pemuda itu melakukan berbagai reformasi. Mereka
mensponsori reformasi hukum Islam, pendidikan, dan administrasi wakaf.
Mereka juga mensponsori sekolah al-Qur‟an yang di dalamnya diajarkan
aritmatika, geografi, sejarah, dan bahasa Perancis di samping subyek al-
33
Dalam http://news.okezone.com/read/2014/09/12/412/1038411/, Diakses tanggal 05
Oktober 2015 34
Dalam http://www.religion-facts.com/id/255, Diakses tanggal 05 Oktober 2015 35
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (New York: Cambridge University
Press, 1988) h. 699 36
Ibid.
151
Qur‟an dan bahasa Arab. Pada tahun 1907 untuk mengekspresikan aspirasi
politiknya, kelompok pemuda ini membuat jurnal: The Tunisian.37
Pada tahun 1932, Bourguiba menuntut kemerdekaan Tunisia dan
menawarkan perjanjian persahabatan untuk menjamin kepentingan
Perancis. Pada tahun 1934, Bourguiba dan kelompoknya mengambil alih
pimpinan partai dan membuat partai Neo-Destour dengan Materi sebagai
presiden dan Bourguiba sebagai sekretaris jenderalnya. Selanjutnya pada
tahun 1938, pemberontakan terhadap penguasa Perancis terjadi, dan
Bourguiba dimasukkan dalam penjara. Akhirnya pada tahun 1956, Tunisia
resmi merdeka dan protectorate Perancis di Tunisia dihapus.38
Bentuk pemerintahan Negara Tunisia adalah republik yang
dipimpin oleh seorang presiden dengan presiden pertamanya Habib
Bourguiba. Undang-undang Dasarnya disahkan pada tanggal 1 Juni 1959,
yang secara tegas dalam pasal 1 menyebutkan bahwa Tunisia adalah
Negara yang berdasarkan agama Islam. Bahkan lebih jauh lagi, dalam
pasal 38 dinyatakan bahwa presiden Republik Tunisia haruslah seorang
muslim.
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia
Islam masuk dan berkembang di Tunisia pada masa Khilafah
Bani Umayyah hingga Khilafah Turki Utsmani (1574-1591). Di masa
Khilafah Utsmaniah ini, Tunisia menjadi wilayah otonom di bawah
pemerintahan Dinasti Dey (1591-1659), Mouradi (1659-1705) dan
Huseini (1705 –1957) mayoritas penduduknya menganut mazhab
Maliki. Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi
sebagai konsekuensi dari posisinya yang merupakan salah satu daerah
otonom dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574). Karena itu Tunisia bisa
dikata sebagai salah satu wilayah penopang peradaban Islam ketika itu.
Seluruh aktivitas masyarakat di atur ketat dengan prinsip syariat Islam,
37
Ibid., h. 700 38
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (New York: Cambridge University
Press, 1988) h. 700
152
mulai dari sistem politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum termasuk
dalam persoalan hukum keluarga.
Ketika Prancis menguasai Tunisia pada rentang abad ke 19 dan
20 masehi, mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-
hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus
perkawinan, perceraian, warisan dan kepemilikan tanah. Imbas dari
pendudukan Prancis atas Tunisia mengakibatkan sistem hukum Prancis
memiliki tempat dalam kebijakan politik pengadopsian sistem hukum di
Tunisia. Tidak jauh berbeda seperti Indonesia yang pernah dijajah
Belanda cukup lama. Posisi Sistem Hukum Pidana (Wetboek Van
Straprecht) dan hukum perdata (Burgelijk Wetboek) warisan belanda
masih digunakan hingga saat ini.
Secara umum sistem hukum di Tunisia berasal dari sistem
hukum sipil prancis dan hukum Islam. Sebab Tunisia menjadi negara
protektorat Prancis pada tahun 1881. Hukum Keluarga di Tunisia
dominan terinspirasi dari Hukum keluarga madzhab Maliki dan
Madzhab Hanafi.39
Dalam konstitusi pasal 1 dijelaskan: Islam adalah agama negara,
kemudian pasal 38 ditetapkan bahwa President harus seorang Muslim.
Konstitusi semacam ini jarang ditemukan di negara-negara Islam lain
yang dahulu pada umumnya berada dalam pendudukan negara-negara
barat Eropa yang sekuler. Walaupun dalam konstitusi tersebut Islam
nampaknya memiliki tempat yang sangat istimewa, namun Hukum
Islam tidak sepenuhnya diterapkan selain pada ranah keperdataan atau
Hukum Keluarga (The Law of Personal Status).
Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga
mengadopsi prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga output sistem
hukum yang dihasilkan merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-
prinsip hukum Islam (Maliki dan Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum
39
Abdullahi A. An-Na‟im, Op.Cit., h. 182
153
sipil Prancis (French civil law). Inilah yang mereka namakan upaya
reformasi atau pembaruan hukum Islam di negara mereka.
Setelah kemerdekaan pemerintah Tunisia memberlakukan
undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan dengan perubahan-
perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Upaya pembaharuan ini
didasarkan kepada penafsiran liberal terhadap syari„ah terutama yang
berkaitan dengan hukum keluarga.
Undang-undang tersebut bernama Majallat al-Ahwal al-
Syakhshiyah Nomor 66 tahun 1956. Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah
(Code of Personal Status)40
mencakup materi hukum perkawinan,
perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan
hukum Islam Klasik.
Pada tanggal 1 Januari 1957 negara ini resmi memberlakukan
Code of Personal Status (Majallat al-ahwal al-syakhshiyah) No. 66
tahun 1956 sebagai UU keluarga pertama, baik di Pengadilan Negeri
maupun pengadilan Agama. UU ini hasil perpaduan konsep Hanafi dan
Maliki yang dituangkan dalam kitab berjudul Laihat Majallat Al-Ahkam
Al-Syakhshiyah oleh sekelompok ahli Hukum.41
Usaha ini sangat
direspon baik oleh pemerintah sehingga dibentuklah komisi dibawah
pimpinan Syekh Islam Muhammad Ja‟it untuk membuat UU keluarga
dengan merujuk kepada kitab tersebut dan UU keluarga Maroko,
Yordani, syiria, serta Turki. UU ini diperbaharui (diamandemen)
beberapa kali dengan keluarnya Law No. 70 tahun 1958, No. 77 tahun
1959, No. 61 tahun 1961, dan No. 7 tahun 1980.42
Pembaruan Hukum keluarga yang kemudian berdampak pada
hukum perkawinan di Tunisia tidak jauh berbeda dengan negara-negara
timur tengah yang lain. Masyarakat Tunisia pada umumnya bermadzhab
Maliki, saat Turki utsmani menjadikan Tunisia bagian dari wilayah
40
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia & Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2009) h. 172 41
Ibid. 42
Ibid., h. 173
154
Kekhilafahan, masyarakat Tunisia berada dalam dua madzhab. Sebab
saat itu Khilafah Utsmani (Ottoman Empire) menjadikan madzhab
Hanafi sebagai madzhab resmi negara, yang di kemudian hari kedua
madzhab tersebut turut mempengaruhi proses pembaruan hukum
perkawinan.
Penerapan hukum keluarga Islam di Tunisia terkhusus dalam
bidang perkawinan dan pembaruannya melewati proses yang cukup
panjang sebagaimana di alami negeri-negeri Islam lainnya saat
memisahkan diri dari kesatuan wilayah Turki Utsmani dan memutuskan
menjadi negara independen. Setelah memerdekakan diri menjadi negara
republik, beberapa ahli hukum Tunisia mulai memikirkan tentang
sebuah kesatuan perundangan hukum keluarga yang diadopsi dari
madzhab Maliki. Di saat yang bersamaan mereka terinspirasi dari
kodifikasi dan pembaruan hukum keluarga di Mesir, Sudan, Jordan dan
Syria. 43
Dalam perkembangannya Hukum Keluarga di Tunisia telah
mengalami empat kali amandemen, yakni pada tahun 1962, 1964, 1966,
1981 sumber lain menyebutkan enam kali amandemen.44
3. Hukum Keluarga di Tunisia Tentang Batas Usia Nikah
Ketentuan batas usia perkawinan pertama kali sebelum diperbarui
yaitu wanita 15 tahun dan pria 18 tahun.45
Setelah dilakukan perubahan
laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah
berusia minimal 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi
pasal 5 UU 1956 yang mana sebelum diubah, ketentuannya adalah 17
tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan ketentuan
tersebut, untuk dapat melangsungkan perkawinan, pasangan yang berusia
di bawah 20 tahun harus mendapat izin dari wali. Jika wali tidak
memberikan izin, perkara tersebut dapat diputus oleh pengadilan.46
43
Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 99 44
Ibid., h. 152-153 45
Abdullah A. An-Na‟im, Op.Cit., h.158 46
Dawoud El-Alami dan Doreen Hinchcliffe, Op.Cit., h. 240
155
Bunyi pasal 5 dan 6 dalam The Code of Personal Status yang
mengatur tentang batas usia pernikahan dapat dilihat di bawah ini, sebagai
berikut:
Pasal 5
a. Pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan harus bebas dari
halangan pernikahan
b. Seseorang laki-laki yang belum berumur 20 tahun dan seorang wanita
yang belum berumur 17 tahun tidak dapat melakukan kontrak
pernikahan
c. Pernikahan seseorang di bawah umur tersebut harus mendapatkan izin
dari pengadilan. Izin tersebut tidak diberikan kecuali ada alasan yang
kuat dan ada kepentingan yang jelas dari kedua belah pihak.
Pasal 6
Pernikahan seseorang yang tidak sampai umur dewasa harus mendapatkan
izin dari wali. Jika wali menolak untuk memberikan izin terhadap
pernikahan tersebut, maka persoalan tersebut diputuskan oleh
pengadilan.47
Penelusuran aturan-aturan hukum fikih menunjukkan kemajuan
baru dalam hukum keluarga Islam dengan ditetapkannya batas usia
pernikahan dalam The Code of Personal Status. Seluruh mazhab hukum
fikih mengakui adanya hak wali untuk menikahkan putrinya tanpa adanya
izin dari kedua belah pihak. Dengan hak ini, maka orang tua dapat
menikahkan putra atau putrinya walaupun ia masih berumur belum
baligh.48
Al-Kasani mendasarkan pendapatnya bahwa boleh menikahkan
anak-anak yang belum dewasa, pada sebuah hadis yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad menikahi „Aisyah r.a yang ketika itu dalam suatu
riwayat masih berumur enam tahun dan pada riwayat yang lain berumur 9
47
Rahmat Arijaya, Hukum Perkawinan Tunisia (Studi Pemikiran Hukum Islam di
Tunisia) (Tesis: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h.109-110 48
Muhammad bin Abi Sahal Al-Sarakhsi Abu Bakar, Al-Mabsut (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
1406), h. 212
156
tahun. Berbeda dengan pendapat ini, Ibnu Syabramah berpendapat lain
bahwa tidak boleh menikahkan anak kecil kecuali ia telah sampai umur
baligh (dewasa). Ibnu Syabramah kemudian menjelaskan bahwa apabila
boleh pernikahan anak kecil maka tidak ada gunanya ditetapkannya
perwalian bagi anak kecil. Apabila suatu pernikahan bertujuan
menyalurkan kebutuhan biologis (pleasure) dan untuk mendapatkan
keturunan (recreation) maka pernikahan anak kecil tidak dapat
mewujudkan tujuan tersebut.49
Melihat keberadaan pendapat-pendapat ulama fikih tentang nikah
anak-anak menunjukkan bahwa penetapan umur sebagai sebuah kapasitas
seseorang baik laki-laki atau perempuan adalah suatu aturan yang maju.
Bagi wanita khususnya, demikian juga halnya laki-laki, aturan hukum ini
akan memungkinkan mereka mendapatkan kesempatan menikmati
pendidikan, kerja yang lebih luas. Dengan pendidikan yang lebih baik,
memungkinkan wanita dapat menunjukkan jati diri dan kemampuannya.50
C. Negara Pakistan
1. Profil Negara Pakistan
Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan
kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa merupakan
negara muslim terbesar kedua di dunia. Negara ini dihuni oleh beragam
kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan
secara damai di bawah panji agama yang beragam pula. Islam tercatat
sebagai agama terbesar yang dianut oleh 97 % jumlah penduduk Pakistan.
Sementara agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya, hidup secara
damai di negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afghanistan di
Barat Laut, India di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut.51
49
Ibid. 50
Rahmat Arijaya, Op.Cit., h. 111 51
Miftahul Huda, "Ragam Argumentasi Ketentuan Wali Nikah Dan Poligami: Studi atas
Hukum Keluarga Negara-Negara Muslim Modern", dalam https://www.academia.edu/, makalah
diakses pada tanggal 08 Desember 2015
157
Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris
ketika menjadi bagian dari wilayah India. Sejarah kontemporer anak benua
India dan Pakistan bermula dari hancurnya Imperium Mughal dan
pendudukan Inggris di India. Penjajahan Inggris telah menghancurkan
posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi,
pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita.52
Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik,
kolonisasi ini juga mempunyai dampak dan kerugian lebih jauh pada
budaya (kultural) di mana pada awalnya mereka bersikap simpatik
terhadap program pendidikan tradisional Muslim dan terhadap kultur
klasik bangsa India. Namun lambat laun mereka mulai menindas praktek
keagamaan di mana mereka sering menjatuhkan hukuman secara sadis dan
kejam. Adapun bahasa Inggris menjadi bahasa pemerintahan dan
pengajaran dan bahasa Mughal dihapus sebagai bahasa resmi di
pengadilan. Islam merupakan agama mayoritas di Pakistan. Dalam
kehidupan keagamaan, di mana yang berbahasa resmi Urdu ini tumbuh
beberapa aliran mazhab, mazhab Hanafi dikenal sebagai mazhab
mayoritas, ditambah mazhab lain seperti Syi‟ah dan Hambali.53
Toleransi antara umat beragama terjalin baik di Pakistan. Mereka
yang minoritas seperti Hindu, Kristen dan Budha hidup dalam alam
demokrasi dan toleransinya yang menjunjung tinggi kebebasan beragama
dan lebih dari itu mereka dianggap sahabat. Kehidupan keberagamaan di
Pakistan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan
keberagamaan di negara muslim lainnya. Islam menjadi jalan hidup (way
of life) yang mereka anut secara mendalam. Pandangan hidup, rasa dan
kecenderungan mereka sepenuhnya adalah Islam, sementara tradisi dan
budaya tidak berpengaruh pada karakteristik Islam secara esensial.54
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Pakistan
52
Ibid. 53
Ibid. 54
Ibid.
158
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Zamroni
menyatakan bahwa Pakistan memiliki tradisi teo-demokrasi constitutional
yang sudah berjalan cukup lama ketika dipengaruhi Inggris, terlihat dari
kurikulum pendidikan hukum dan praktik perundang-undangan yang
berlaku. Konstitusi 1956 yang didasari atas pemikiran Abu A‟la Al-
Maududi dan Muhammad Assad menyatakan sebagai Republik Islam
dapat dirasakan sebagai sebuah karakter religius sampai tahun 1962. 55
Pada waktu yang bersamaan kekuatan Islam politik bersaing
dengan kekuatan yang memperjuangkan Republik Pakistan (tanpa kata
“Islam”) berusaha mengganti frase “Al-Quran dan Sunnah”. Perebutan
kekuasaan antara semangat Negara Islam dengan Negara sekuler
tergambar dalam Pasal 1 Konstitusi 1956 yang inti bunyinya bahwa
Pakistan akan menjadi republik federal yang dikenal sebagai republik
Islam Pakistan.56
Lanjutnya dalam penelitian menyatakan bahwa dalam amandemen
ketiga yang terjadi pada 1973 melahirkan konstitusi pertama yang
disahkan melalui sebuah majelis nasional dengan menempatkan dasar-
dasar pemerintahan Islam dengan prinsip demokrasi seperti dinyatakan
pada mukadimah konstitusi yang inti bunyinya bahwa dalam prinsip-
prinsip keadilan demokrasi, kebabasan, kesertaraan, toleransi dan sosial
sebagaimana yang diutarakan dalam Islam harus sepenuhnya diamati
secara seksama. Yang mana pada setiap umat Islam haruslah diterapkan
untuk menata hidup mereka baik idividu maupun secara bersama sesuai
dengan ajaran Islam dan pula yang disyaratkan dalam Al-Quran dan
Sunnah.57
Inilah yang menjadi gambaran tradisi yang diterapkan sejak lama
oleh Negara Pakistan dan menjadi sebuah aturan dalam menetapkan
55
Muhammad Zamroni, Sumber Hukum dan Konstitusionalitas Undang-undang:
Perbandingan Indonesia dengan Beberapa Negara Muslim (Pakistan, Mesir dan Iran), (Skripsi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 78 56
Lihat, Constitution of Pakistan 1956, Chapter 1 57
Preamble Constitution Islamic Republic of Pakistan 1973
159
sebuah hukum yang ingin diterapkan oleh Negara tersebut. Sehingga kita
pun akhirnya tahu bahwa Pakistan merupakan Negara yang memilki
karakteristik sangat kental dengan nuansa religius dalam menetapkan
pasal-pasalnya. Hal ini pun juga tentutnya yang menjadikan corak hukum
keluarga Islam yang diterapkan di Negara Pakistan pun pastinya
berasaskan tradisi teo-demokrasi.
Sejarah hukum di Pakistan hingga 14 Agustus 1947 berbagi dengan
India. Pada saat pembentukan negara ini pada tanggal tersebut, ia mewarisi
dari negara induknya India. Untuk lebih jelasnya tentang sejarah
terbentuknya UU Hukum Keluarga di Pakistan, seperti berikut ini:
a. UU Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Kasta Sosial Tahun 1850;
b. UU Perceraian tahun 1869 dan UU Perkawinan Kristen Tahun 1872;
c. UU Orang Dewasa Tahun 1875;
d. UU Perwalian dan Orang yang di Bawah Perwalian Tahun 1890;
e. UU Validasi Wakaf Tahun 1913-1930;
f. UU Wakaf tahun 1923 (diamandemen di Propinsi Sind oleh UU lokal,
yakni UU No.18/1935);
g. UU Pencegahan Perkawinan Anak Kecil tahun 1929;
h. UU Hukum Keluarga Islam (Syariah) Tahun 1937; dan
i. UU Perceraian Islam Tahun 1939. 58
Pada tahun 1961, Komisi Nasional negara Pakistan
merekomendasikan beragam masalah keluarga bagi penyempurnaan UU
Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat Komisi
tersebut, suatu ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga
Islam disahkan pada tahun 1961. Konstitusi pertama Republik Islam
Pakistan yang diresmikan pada tahun 1956 menetapkan bahwa tidak satu
pun UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam akan
diberlakukan, dan UU yang demikian harus ditinjau ulang dan direvisi
agar sejalan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Akan tetapi konstitusi ini
58
Mufti, "Hukum Keluarga Islam di Pakistan", dalam http://www.scribd.com/, Artikel
diakses pada tanggal 08 Desember 2015
160
dicabut pada tahun 1958. Ketika Konstitusi 1956 dicabut, pemerintah
Pakistan meresmikan Ordonansi Hukum Keluarga Islam 1961 yang
didasarkan pada rekomendasi yang disampaikan dalam laporan Komisi
Nasional.59
Suatu konstitusi baru disahkan di Pakistan pada tahun 1962, yang
sekali lagi memberi mandat atau amanat kepada negara untuk tidak
memberlakukan UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam
dan konstitusi ini mengakomodasi kembali ajaran-ajaran dasar Islam
seperti yang terdapat dalam konstitusi terdahulu.
Bidang hukum Islam seperti didefinisikan dalam UU Hukum
Keluarga 1961 itu adalah lebih luas dibanding yang ada di bawah UU
Syariat 1937. Pada tahun 1964 UU Peradilan keluarga mengamanatkan
pembentukan peradilan keluarga di seluruh wilayah Pakistan, yang
tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang berkenaan dengan
perselisihan keluarga dan perkawinan.
Konstitusi Pakistan yang baru, yang diumumkan pada tahun 1973,
menyatakan bahwa semua UU yang ada harus disesuaikan dengan ajaran-
ajaran dasar Islam seperti ditetapkan Al-Quran dan Sunnah serta tidak satu
pun UU yang diberlakukan bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.
Pada 1979 Pemerintah Pakistan memutuskan untuk kembali
menegakkan supremasi Syariah dalam semua bidang hukum. Sepanjang
1980-1985, Konsitusi 1973(sejak mengalami sejumlah amandemen)
diamandemen kembali, yakni berkenaan dengan perihal norma-norma
Syariah. Dalam UU Hukum Keluarga yang berlaku di Pakistan yaitu The
Muslim Family Laws Ordinance, kita akan mendapatkan ketentuan-
ketentuan penting mengenai intisari dari undang-undang tersebut, berikut
penjelasannya:
a. Ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan;
59
Ibid.
161
b. Ketentuan keharusan adanya persetujuan lebih dahulu dari Majelis
Arbitrase bagi perkawinan bigami atau poligami;
c. Ketentuan keharusan pemberitahuan perceraian yang diberikan kepada
pegawai negeri sipil yang berkompeten membentuk Majelis Arbitrase
dan ketentuan perdamaian selama tiga bulan dalam perceraian;
d. Ketentuan hukuman bagi perbuatan melawan hukum tentang
maskawin dan pembatasan biaya serta hadiah perkawinan;
e. Pengenalan prinsip reperesentasi dalam hukum kewarisan bagi
kemaslahatan ahli waris, yakni ahli waris pengganti;
f. Ketentuan penanganan sengketa atau perselisihan perkawinan oleh
pengadilan keluarga secara khusus.60
3. Hukum Keluarga di Pakistan Tentang Batas Usia Nikah
Materi hukum keluarga terkait dengan batas usia pernikahan di
Pakistan, dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki
sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Hal tersebut
termaktub dalam Ordonansi No. 8 Tahun 1961 pasal 4, 5 dan 6 ayat 1.
Maka jika terjadi pernikahan antara pria yang berusia diatas 18 tahun
terhadap perempuan di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara
maksimal 1 bulan atau denda maksimal 1000 rupee ataupun keduanya
sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang
menyelenggarakan, memerintahkan atau memimpin pernikahan mempelai
di bawah umur.61
D. Negara Malaysia
1. Profil Singkat Negara Malaysia
Berbicara tentang Negara Malaysia ada keunikan tersendiri.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia menyuguhkan suatu
pengalaman Islam yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat yang
multi-etnik, multi-komunal dan multi-agama tempat bangsa Melayu yang
60
Ibid. 61
Miftahul Huda, Loc.Cit.
162
merupakan 45% dari seluruh penduduknya. Namun demikian bangsa
melayu mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya
terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan yang terbesar
adalah komunitas Cina (35%) dan India (10%). Tidak dapat dielakkan
bahwa keberadaan dua etnik tersebut di Malaysia merupakan produk
sejarah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia (Melayu) berada pada
persimpangan jalur perdagangan Asia Tenggara, Semenananjung Melayu
menjadi pusat berkumpulnya berbagai pengaruh Agama dan Kebudayaan
karena disinilah para pedagang dari India, Arab, dan Cina serta kaum
penjajah Portugis, Belanda dan Inggris membawa serta ajaran Hindu,
Budha, Kristen dan Islam ke Asia sehingga membentuk mozaik
kebudayaan yang sangat kaya warna. Dua proses kebudayaan yang paling
kuat membentuk wilayah tersebut adalah Indianisasi yang berlangsung
selama berabad-abad yang kemudian disusul dengan Islamisasi dari abad
keempatbelas disaat para pedagang Muslim dan para Sufi dari Arab dan
India mengajak para penguasa (sultan) Melayu untuk memeluk Agama
Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara.62
Karena Negara Malaysia juga merupakan bekas daerah jajahan
Portugis dan Belanda yang kemudian disusul dengan kedatangan Inggris
pada akhir abad ke-18. Tentunya hal tersebut nantinya akan berpengaruh
terhadap produk hukum yang dibuat Malaysia, karena tidak menutup
kemungkinan hukum yang dibawa penjajah juga membumi di Malaysia.
Dari beberapa uraian diatas merupakan pijakan penulis untuk membahas
Hukum Keluarga Islam di Malaysia karena disamping menengok sejarah
Malaysia ke belakang tentunya juga harus melihat kondisi sosio politik
yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya itu merupakan faktor
penentu dari produk hukum yang dihasilkan.
Malaysia merupakan Negara bagian yang memiliki tiga belas
Negara Federasi diantaranya Johor, Kedah, Kelantan, Malaka,
62
John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim (Jakarta:
Penerbit Mizan, 1999), h. 165
163
Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak,
Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuan63
diantaranya Kuala
Lumpur, Labuan dan Putra Jaya. Negara Malaysia pernah berada di bawah
kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris
sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada
tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang
sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini
adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits
Settlement ( Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States (
Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States
(Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak
yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan
Malaysia.64
Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal
31 Agustus 1957. Penganut Agama Islam pada tahun 2004 sekitar 60
persen dari keseluruhan jumlah penduduk, sebagian besar umat Islam di
Malaysia bermazhab Syafi'I sekalipun ada juga yang menganut mazhab
Hanafi walau dalam jumlah sedikit. Agama-agama lain yang ada di
Malaysia diantaranya Budha (Cina dan India), Hindu dan Kristen.
Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3
dinyatakan bahwa “Islam adalah agama Federasi”, tetapi agama-agama
lain diterima dan diperkenankan. Dalam konstitusi Malaysia juga
menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam.
Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip
kebebasan beragama.65
63
Wilayah persekutuan adalah salah satu negeri atau wilayah yang membentuk
persekutuan tanah Melayu (Malaysia). Wilayah persekutuan diperintah secara langsung oleh
kerajaan persktuan dibawah kekuasaan Perdana Mentri. Lihat, Taufik Adnan Kamal dan Samsu
Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam Dari Indonesia Hingga Negeria (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2004) h. 156 64
Ibid. 65
Ibid., h. 157
164
Hal yang menarik dari Konstitusi Malaysia sebagaimana dikatakan
John L. Esposito66
adalah bahwa konstitusi tersebut mengabadikan
identifikasi agama dan etnik (kedudukan istimewa bagi Islam, Sultan dan
kaum Muslim Melayu). Menurutnya konstitusi tersebut mendefinisikan
orang melayu sebagai “Orang yang mengaku memeluk agama Islam,
terbiasa berbicara dengan bahasa melayu, dan menyesuaikan diri dengan
adat-isitiadat Melayu”. Orang-orang melayu menikmati hak istimewa yang
mencakup system kuota Melayu dalam pendidikan, pemerintahan, dan
bisnis.
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Malaysia
Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia merupakan Negara
multikomunal, Sejak awalnya dengan adanya dua etnis yakni Cina dan
India merupakan masa di mana Malaya dalam proses Indianisasi, yang
kemudian disusul pula upaya Islamisasi dari beberapa pedagang muslim
dan para Sufi dari Arab. Atas dasar itu maka John L. Espositro67
menganggap bahwa sejak periode paling awal di Malaysia, Islam
mempunyai ikatan erat dengan politik dan masyarakat, secara tradisional
di Negara-negara bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan, jika tidak
diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh aura
kesucian agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan
Melayu, memberikan kesadaran tentang agama, nilai-nilai tradisional,
kehidupan pedesaan dan kehidupan keluarga secara terpadu. Lebih jauh
lagi dikatakan bahwa Islam merupakan sumber legitimasi para sultan,
yang memegang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan
pelindung hukum Islam, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai adat. Islam
dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan, menjadi orang Melayu
berarti menjadi Muslim.
Pada saat Melayu dijajah oleh Inggris nilai-nilai Islam sebagaimna
tersebut diatas menjadi terusik, karena memang watak kolonialisme
66
John L. Esposito, Op.Cit., h. 167 67
Ibid., h. 166
165
Inggris adalah politik pecah belah, di samping itu juga adanya upaya
Inggris untuk memisahkan antara agama dan Negara. Hal ini terwujud
dengan diperkenalkannya administrasi sipil dan sistem hukum yang
berbeda dengan sistem hukum dan peradilan Islam. Pada saat yang sama,
masyarakat juga menjadi lebih pluralistis yang disebabkan adanya imigrasi
besar-besaran orang-orang non- Muslim Cina dan India. Usulan –usulan
Inggris kepada serikat Melayu untuk bersatu dengan kesamaan hak warga
negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, karena
dikhawatirkan adanya pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta
pengaruh komunitas Cina dan India.
Dari serentetan gejolak politik bangsa Melayu maka pada saat yang
sama yakni pada tahun 1951 munculah Partai Islam pan Melayu (PMIP :
Pan Malaya Islamic Party) yang kini dinamakan dengan PAS (Partai
Islam Se-Malaysia) yang menawarkan pesan dan program partai yang
menggabungkan nasionalisme Melayu dan Islam.68
Menurut Taufik Adnan
bahwa partai ini lebih bersifat konservatif karena ingin menjadikan Islam
sebagai landasan perjuangannya serta menjadikan Islam yang mereka
pahami sebagai sistem cara hidup sempurna, yang mencakup aturan-aturan
pidana Islam, sebagai konstitusi dan hukum yang berlaku di Malaysia.69
Sementara UMNO (United Malaya National Organization) yang didukung
oleh ABIM70
(Angkatan Belia Islam Malaysia) lebih kepada menggunakan
pendekatan akomodatif dan moderat tetapi tidak kaku dalam memaknai
Islam. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa dalam kancah
perpolitikan nasional Malaysia terdiri dari dua kubu yang bersimpangan
pendangan mengenai Islam. PAS lebih cendurung untuk menjadikan
Negara Islam dalam arti Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai
68
Ibid. 69
Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Loc.Cit 70
ABIM adalah gerakan pemuda Islam yang lebih mendukung UMNO dipimpin oleh
oleh aktivis muda Anwar Ibrahim almunus Universitas Malaysia, diantara pemikirannya adalah dia
tidak sepakat dengan adanya usaha pembentukan undang-undang yang ditawarkan PAS mngenai
khalwat yang dan bagian-bagian kecil lain dari ajaran Islam. Menurutnya bahwa hal yang perlu
mendapat perhatian pada persoalan hubungan komunal, politik dan ekonomi. Lihat, John L.
Esposito, Op.Cit., h. 261
166
hukum yang berdaulat yang berarti syariat Islam menjadi konstitusi
Negara. Sedangkan UMNO dan ABIM lebih kepada upaya menghidupkan
nilai-nilai Islam dalam konteks masyarakat yang pluralis serta bersikap
akomodatif terhadap dua etnis (Cina dan India) yang ada di Malaysia.
a. Sebelum Kekuasaan Inggris
Sebelum datangnya penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia
adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Ada dua bentuk hukum
adat yang berlaku di Malaysia, yakni: (1) Adat Perpateh, yang
mengandung struktur matrilineal, dan (2) Adat Temanggung, yang
mengandung struktur bilateral. Adat Perpateh yang aslinya dibawa
oleh para imigran Minangkabau ke Malaysia sekitar abad 16 berlaku di
wilayah negeri sembilan, Melaka dan daerah Naning.71
Dengan ungkapan lain oleh Abdul Monir bin Yaacob, seorang
yang banyak menulis tentang Perundang-undangan Keluarga Malaysia,
Undang-undang yang berlaku di negara-negara Melayu sebelum
campur tangan Inggris adalah Adat Perpateh untuk kebanyakan orang-
orang Melayu di Negeri Sembilan dan beberapa kawasan Naning di
Melaka, dan Adat Temanggung di bagian-bagian lain Semenanjung.
Sedang orang Melayu di Sarawak mengikuti UU Mahkamah Melayu
Sarawak. UU tersebut sangat dipengaruhi Hukum Islam, khususnya
dalam masalah perkawinan dan perceraian.72
Lebih rinci Yacoob
menulis, pada masa kesultanan Melayu sebelum datangnya pengaruh
Barat, UU yang berlaku di samping hukum Kanun Malaka terdapat
juga beberapa teks Undang-undang Melayu Lama yang dipakai di
beberapa Negeri Melayu, seperti UU Pahang, UU Kedah, UU Johor.
UU Pahang juga dipakai di Negeri Perak dan Johor. Teks Undang-
71
Ismail bin Mat, Adat and Islam in Malaysia: Study in Legal Conflict and Resolution
(Philadelpia: Dissertation di Temple University, 1985) h. 30, 35-37, 50; Abdul Monir b. Yaacob,
An Introduction to Malaysian Law (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1989) h. 27 72
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata…op.cit., h. 101-102; Lihat, Abdul Munir
Yacoob, Pelaksanaan Undang-undang Islam dalam Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil di
Malaysia (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 1995) h. 8-9
167
undang Melayu tersebut dipengaruhi Hukum Kanun Melaka.73
Kanun-
kanun tersebut dapat disimpulkan bersumber pada Adat dan Islam
(Syari‟ah). Bagian-bagian yang dipengaruhi Islam adalah pada bab-bab
perkawinan, jual beli, dan pengadilan.74
Sementara Islam
diimpelementasikan di Malaysia sejak Sultan Malaka pertama
memeluk Islam. Buku yang dipakai ketika itu adalah Fath al-Qarib
oleh al-Qasim al-Ghazi dan Mejelle, yang lahir semasa kekuasaan
Ottoman Turki. Mejelle digunakan pula di beberapa waktu di Johor
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan diberlakukan di
beberapa pengadilan di negera Johor. Namun perlu dicatat pula bahwa
dalam bidang hukum perdata, telah dilaksanakan oleh sekelompok
pedagang muslim sebelum Sultan Malaka memeluk Islam. Sebab
sultan memberi mereka yurisdiksi untuk melaksanakannya di kalangan
mereka.75
Disebutkan pula bahwa Sultan Malaka melahirkan dua buku
hukum tertulis, yakni Hukum Kanun Melaka dan Risalah Hukum
Kanun, di samping masih ada Undang-undang Laut Melaka. Hukum
Kanun Melaka dan Risalah Kanun Melaka didasarkan pada pandangan
mazhab Syafi‟i.76
Adapun penegak keadilan sebelum masuknya pengaruh Inggris
di Negara Melayu diserahkan kepada raja-raja, orang-orang besar
negeri dan ketua-ketua kampung. Ada bukti seperti di Trengganu dan
Perak yang menunjukkan bahwa Sultan sendiri yang menjalankan
tugas kehakiman sebagai Mahkamah Agung (Mahkamah Rayuan). Di
Kelantan, Mufti dan Kadi menjalankan tugas pengadilan di Pengadilan
Agama (PA) atau Mahkamah Syari‟ah tingkat satu.77
Hal ini berbeda
dengan Negara-negara Selat. Dicatat juga, Kadi dan Mufti diangkat di
73
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 102; Abdul Monir Yacoob, Undang-undang Keluarga
Islam di Malaysia: Perlaksanaan dan Penyeragaman, Paper Seminar Serantau UU Keluarga Islam
dan Wanita, 9-10 Maret 1998, oleh Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), h. 3-4 74
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 102 75
Ibid., h. 102-13 76
Lihat, Sharifah Suhana Ahmad, Malaysian Legal System (Kuala Lumpur: Malayan Law
Journal Sdn Bhd., 1999) h. 3 77
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata… Op.Cit., h. 103
168
Kelantan sejak awal tahun 1830-an. Sebelumnya tugas ini dijalankan
oleh raja.78
Rekaman terawal UU Islam di Malaysia adalah Batu Surat di
Trengganu, yang bertuliskan tahun 702/1303. Undang-undang Batu
Bersurat Trengganu ini memuat sembilan atau sepuluh aturan, yakni
diawali dengan Mukaddimah disertai dengan penetapan pada bulan
Rajab 702 H. Tiga undang-undang pertama hilang karena serpihan batu
tersebut hilang. Aturan keempat berhubungan dengan hutang-piutang
(tetapi agak samar), demikian juga aturan kelima hilang. Aturan
keenam adalah tentang hukuman bagi pelaku zina, yaitu rajam dengan
batu bagi orang yang sudah nikah, dan rotan seratus kali bagi orang
belum nikah. Aturan ketujuh tentang aturan bagi wanita yang kurang
sopan, aturan kedelapan tentang hukuman tuduhan zina antara suami
dan istri, dan aturan kesembilan tentang penetapan, bahwa undang-
undang ini berlaku bagi semua tanpa pandang bulu.79
Dengan
demikian, isi Undang-undang Batu Bersurat ini adalah hukuman bagi
orang-orang yang melakukan kesalahan. Adapun hukuman yang
tertulis dalam Batu Surat ini adalah hukuman bagi orang-orang yang
melakukan kesalahan. Adapun hukuman yang tertulis dalam Batu
Surat ini mengikuti al-Quran dan Sunnah Nabi.80
Yacoob menyebut
bahwa keberadaan Batu Tertulis ini sebagai bukti adanya pengaruh
Islam di Malaysia.81
Sedang Kanun Melaka (disebut juga Undang-
undang Melaka), merupakan UU tertulis kedua, setelah Batu Surat
Trengganu. Meskipun ada yang berpendapat isi Kanun Melaka sebagai
Undang-undang Negara dalam lingkungan Temanggung, tetapi
78
Lihat, Abdullah Alwi Haji Hassan, The Adminstration of Islamic Law in Kelantan
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996) h. 2-3 79
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 103-104; Lihat, Abdul Karim bin Haji Muhammad,
Sejarah Penulisan Hukum Islam di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996)
h. 2-3 80
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 104; Lihat, Tan Sri Datuk Ahmad Muhamed Ibrahim,
Penghakiman UU Keluarga Islam, Paper Seminar Serantau Undang-undang Keluarga Islam dan
Wanita, tanggal 9-10 Maret 1998, oleh Institut Kesefahaman Islam Malaysia (IKIM), h. 5 81
Khoiruddin Nasution, Loc.Cit.
169
mayoritas berpendapat bahwa Kanun Melaka mengandung unsur
Islam, yang bercampur dengan hukum Adat. Misalnya Abu Hassan
Syams berpendapat Kanun Melaka adalah UU Negara dalam
lingkungan Adat Temanggung. Dasar kajian Abu Hassan adalah
“Risalah Hoekoem Kanoen” edisi S. van Roukel, naskah yang lebih
awal. Menurut Azizah Abdel Razak, kanun ini mengandung hukum
Islam dan Adat, tetapi unsur Islamnya lebih banyak. R.O. Winstedt
mengatakan naskah tersebut mengandung unsur Islam. Menurut Liaw
Yock Fang, S. van Roukel telah menghilangkan empat bab yang
berbicara nikah, dan 13 bab yang menguraikan jual beli. Roukel tidak
menjelaskan sebab-sebab hilangnya. Roukel hanya mencatat bahwa
pasal 24 edisinya adalah pasal 29 dalam naskah lain, dan pasal 27
edisinya adalah pasal 44 dalam naskah lain. Adapun pasal-pasal yang
dihilangkan Roukel, menurut Liaw Yock Fang adalah:
1) Pasal 25 tentang Hukum Perempuan,
2) Pasal 26 tentang Saksi dan Nikah,
3) Pasal 27 tentang Khiyar,
4) Pasal 28 tentang Talak,
5) Pasal 30 tentang Orang Berdagang Dan Mengambil Riba,
6) Pasal 31 tentang Berdagang Tanah,
7) Pasal 32 tentang Muflis,
8) Pasal 33 tentang Hukum Memberi Modal Kepada Seseorang,
9) Pasal 34 tentang Amanah,
10) Pasal 35 tentang Ikrar,
11) Pasal 36 tentang Orang Murtad,
12) Pasal 37 tentang Saksi,
13) Pasal 38 tentang Menuntut dan Yang Dituntut,
14) Pasal 39 tentang Jenayah Membunuh,
15) Pasal 40 tentang Zina, dan
170
16) Pasal 41 tentang Memaki Anak Haram (Anak Zina).82
Sejalan dengan pandangan Azizah Abdel Razak dan Liaw Yock
Fang, adalah pendapat Abu Bakar Abdullah, bahwa Kanun Melaka
mengandung unsur Undang-undang Islam. Kesimpulan diambil setelah
mempelajari tiga naskah Kanun Melaka, yakni: (1) naskah van Roukel,
yang mengandung 17 pasal, (2) naskah dari Musium British yang
berisi 40 pasal, dan (3) naskah Liaw Yock Fang yang berisi 44 pasal.
Adapun pasal-pasal yang mengandung unsur Islam menurut Abu Bakar
Abdullah, adalah:
1) Undang-undang tentang Jenayah,
2) Undang-undang tentang Muamalah,
3) Undang-undang tentang Keluarga, dan
4) Undang-undang tentang Hukum Acara, yang jumlahnya 28 pasal.83
M. B. Hooker, yang juga mendasarkan kajiannya pada versi
Liaw Yock Fang, membagi isi Undang-undang Melaka kepada enam
kelompok, yakni:
1) Hukum Umum [pasal 1 s/d 23 (1)];
2) Hukum Kelautan [pasal 23 (2-5) s/d 24 (1-2) + 29];
3) Hukum Perkawinan [pasal 25 s/d 28];
4) Muamalat dan Acara [pasal 30 s/d 43 (1)];
5) Hukum Tatanegara [pasal 43 (2) s/d 44 (1-8); dan
6) Hukum Johor [pasal 44 (9-11)].
Sebenarnya di kelompok Muamalat dan Acara dimasukkan juga
hukum Jinayat, yakni pasal 39 s/d 42. Pada bagian pertama pun
menurut Hooker ada unsur ajaran Islam, yakni pada pasal 5 (1) s/d 16
(1).84
Karena itu Yacoob mengatakan, pada masa kesultanan Melayu
sebelum datangnya pengaruh Barat, kerjaan Melaka memerintah
82
Ibid. 83
Ibid., h. 105-106 84
Ibid., h. 106
171
mengikuti Hukum Kanun Malaka yang bercampur antara Islam dan
Adat.85
Hukum Kanun Pahang adalah Undang-undang Islam tertulis
ketiga. Adapun kegiatan penulisan Hukum Kanun Pahang menurut
para sejarawan, dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Ghafur Muhayyudin Shah Pahang (1592-1614). Kanun ini merupakan
lanjutan dari Hukum Kanun Melaka. Namun Hukum Kanun Pahang
diketahui dari dua naskah yang tersimpan di negeri Perak. Atas usaha
British kedua naskah itu disalin, yang kemudian salinannya dibawa ke
Inggris. Kedua peninggalan Maxwell dan tersimpan di perpustakaan
Royal Asiatic London. Manuskrip pertama dikenal dengan halaman 17,
sedangkan manuskrip kedua dikenal dengan halaman 20.86
Manuskrip 17 disalin tahun 1926/1879, untuk Maxwell yang
menjadi Residen British di Larut, Perak. Manuskrip ini disalin dari
manuskrip yang dimiliki bendahara, yang kemudian dikenal dengan
Sultan Idris ibn Raja Iskandar, dan disalin oleh seseorang yang
bergelar Fakih Si Raja Mantri dari Melaka tahun 1234/1819.
Penyalinan untuk Maxwell tidak dinyatakan. Sementara naskah kedua
disalin tahun 1300/1884 oleh Luakang bin Muhammad Rasyid yang
bertuliskan (tercatat) 1248/1832, milik Dato Sri Adika Raja.87
Hukum Kanun Pahang ini mempunyai pasal yang lebih banyak
dari Hukum Kanun Melaka, yakni 93 pasal. Namun menurut Abu
Bakar Abdullah, Hukum Kanun Pahang ini hanya memuat 65 pasal.88
Sayangnya belum ada data pembanding untuk menentukan mana di
antara kedua pendapat ini yang sesuai dengan fakta sejarah.
Undang-undang berikutnya yang mengandung unsur Islam di
Malaysia adalah Undang-undang Sembilan puluh Sembilan. Undang-
85
M.B. Hooker, Islamic Law in South-East Asia (Oxford, New York, Singapore: Oxford
University Press, 1984) h. 9-15 86
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 108 87
Ibid., h. 108-109 88
Ibid., h. 109
172
undang ini terdapat di Perak. Menurut J. Rigby, undang-undang ini
dibawa oleh Syed Hasan ke Perak ketika negeri itu berada di bawah
pemerintahan Sultan Ahmad Tajuddin Shah dan Tuan Syed Abdul
Majid sebagai menterinya. J. Rigby yang bertanggung jawab
menerjemahkan Undang-undang Sembilan puluh Sembilan ke dalam
bahasa Inggris tidak menyatakan dengan tepat tahun penetapan
undang-undang ini dibawa ke Perak. Hanya saja disebutkan undang-
undang ini dibawa masuk pada masa pemerintahan Sultan Ahmad
Tajuddin Shah dan Tuan Syed Abdul Majid sebagai menterinya.
Sementara berdasar sejarah Sultan Ahmad Tajuddin Shah memerintah
pada tahun 1577 sampai dengan 1584 ketika Perak berada di bawah
kekuasaan (takluk) Aceh, dan merupakan Sultan Perak ke-3. Karena
itu mestinya undang-undang ini disalin dan digunakan tidak lebih dari
tahun 1584. Dengan demikian, pernyataan buku ini dibawa ke Melayu
pada abad ke-17, dan dilaksanakan pada abad ke-18 tidak sejalan
dengan fakta sejarah.89
Menurut R.O. Wistedt undang-undang ini dibawa ke Perak oleh
Syed Husein pada abad ke-17 selanjutnya dicatat:
“The fullest and most interesting of these laws the Ninety nine law of
Perak, purport to have been brought to Malay in the seventeenth
century by a Sayyid Husein al-Faradz of the great Hadramaut house of
Ahmad bin Isa al-Muhajir and to have been used by his descendants,
who form the middle of the eighteenth century held the post of Mantri
in Perak for several generations.”90
Meskipun ada pendapat yang mengatakan undang-undang ini
secara tidak langsung dipengaruhi oleh undang-undang Melaka dan
undang-undang negeri Melayu lainnya, akan tetapi undang-undang ini
89
Ibid., h. 109 90
Ibid., h. 110
173
ditulis dalam bentuk soal jawab antara Raja Nushirwan dengan
menterinya Buzurjumhur.91
Menurut Abu Bakar Abdullah, bentuk susunan undang-undang
ini kira-kira sama dengan isi kitab al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatwa al-
Ahkam wal Tasarrufat al-adi wal Imam, karangan Imam al-Qarafi,
pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Hanya saja kitab ini berisi 40
soal jawab, semntara undang-undang Perak berisi Sembilan puluh
Sembilan soal jawab.92
Dengan demikian, Hukum Kanun Pahang dan Undang-undang
Sembilan puluh Sembilan termasuk di antara undang-undang Melayu
lama, di samping undang-undang Kedah dan Undang-undang Johor.
Sayang tidak ditemukan penjelasan tentang keberadaan undang-undang
Kedah dan Undang-undang Johor.
Kemudian Perundang-undangan Islam ini diikuti dengan kitab
Shirot al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniry,93
kemudian kitab
Syekh Abdul Rauf al-Fansury yang berjudul Mira‟atul al-Thulab li
Ma‟rifati asy-Syari‟ati al-Maliki al-Wahab.94
Sepanjang kekuasaannya di Semenanjung Melayu (dengan
ditaklukkannya Melaka pada tahun 1511)95
, Portugis mengambil dan
menggunakan Undang-undang Melaka dengan beberapa perbaikan ke
negeri-negeri Melayu, seperti Pahang, Johor, Kedah dan Berunai.96
Pada kesempatan lain Yacoob menulis, penjajah Portugis dan Belanda
(1641) tidak begitu jelas (maksudnya barang kali tidak begitu banyak)
merubah undang-undang dan adat Melayu, bahkan menjadi kebijakan
bagi keduanya untuk memperlakukan dan mengamalkan undang-
undang dan adat Melayu. Berbeda dengan Inggris yang sangat
91
Ibid. 92
Ibid. 93
Abdul Kadir bin H. Muhammad, Op.Cit., h. 22 94
Khoiruddin Nasution, Loc.Cit. 95
Richard O. Wintedt, A history of Melaya (Singapore: Marican & Sons, 1962) h. 56 96
Ahmad Muhammad Ibrahim, Op.Cit., h. 6
174
mempengaruhi Perundang-undangan Malaysia.97
Hanya saja seperti
dicatat Yacoob pada masa penjajahan Portugis hubungan Islam dengan
Kerajaan terputus.98
Dengan demikian dapat disimpulkan, baik Belanda maupun
Portugis tidak melakukan perubahan yang berarti terhadap undang-
undang dan adat yang sudah berlaku di Malaysia selama ke dua Negara
ini menjajah Malaysia.
b. Masa Kekuasaan Inggris
Berbeda dengan Portugis dan Belanda yang tidak banyak
mempengaruhi UU dan Adat Malaysia, Inggris99
sangat mempengaruhi
perundang-undangan dan hukum adat Malaysia. Ketika berkuasa di
Malaysia, Inggris memperkenalkan dan menggunakan UU Inggris
secara berangsur-angsur, yang akhirnya menggantikan UU Islam.100
Untuk mempermudah pembahasan tentang perkembangan Perundang-
undangan Perkawinan dan Perceraian pada masa penjajahan Inggris ini
diurutkan sesuai dengan pembagian Malaysia di bawah kekuasaan
Inggris sebelum merdeka, yakni (1) Negara-negara Selat; (2) Negara-
negara Melayu Bersatu; dan (3) Negara-negara Melayu Tidak
Bersatu.101
1) Negara-negara Selat
Negara-negara Selat terdiri dari tiga wilayah jajahan
Inggris, yaitu: (1) Pulau Pinang, (2) Melaka, dan (3) Singapura.
Penyatuan ketiga negara ini menjadi satu, dengan nama Negara-
negara Selat terjadi pada tahun 1826, yang dikepalai oleh
Governor. Pada tahun 1826 tiga negara; Pulau Pinang, Melaka dan
Singapura, disatukan dengan nama Negara-negara Selat, dengan
97
Ibid. 98
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 111 99
Meskipun secara resmi Inggris berkuasa di Malaysia tahun 1786, tetapi sejak abad ke-
16 sudah banyak pelancong-pelancong Inggris yang berkmukim di Malaysia. Isma‟il bin Mat,
op.cit., h. 46-47 100
Ahmad Muhamed Ibrahim, Op.Cit., h. 6 101
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 112
175
ibukota Goerge Town (Pulau Pinang). Negara Singapura akhirnya
dipindah ke Singapura pada tahun 1832 sebagai akibat dari
semakin berkembangnya. Termasuk juga negara-negara Selat
adalah: (i) Dinding, (ih) Labuan, (iii) Pulau Kukus, dan (iv) Pulau
Chritsmas.102
Tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum
perkawinan dan perceraian Islam dalam Mohammedan Marriage
Ordinance, No. V tahun 1880. Isi Undang-undang ini, bahwa
perkawinan dan perceraian di kalangan orang Islam harus
didaftarkan, dan yang berkuasa mendaftar adalah kadi, meskipun
keputusan kadi dan pendaftar boleh direvisi atau dimodifikasi atau
dirubah Governor, sebab Governor adalah pemegang Mahkamah
Agung. Undang-undang ini terdiri dari 4 bab dan 33 pasal.103
Undang-undang ini diperbarui pertama kali tahun 1894,
Mohammedan Marriage Ordinance (Amandement), No. XIII tahun
1894. Kemudian diperbarui lagi tahun 1902, dengan Ordinance
No. XXXIV tahun 1902. Isi Ordinance ini adalah memberikan
kuasa kepada Governor untuk melantik pendaftaran perkawinan di
masing-masing Negara-negara Selat. Kemudian Ordinance No.
XXXIV tahun 1902 diperbarui lagi tahun 1908, dengan The
Mohammaden Marriage Ordinance tahun 1908. Ordinance
XXV/1908 yang memperbaiki Ordinance No. V, 1880, berisi:
a) Mewajibkan suami-istri membuat pendaftaran perkawinan dan
perceraian dalam tempo tujuh hari setelah akad nikah, yang
kalau dilanggar dapat dihukum dengan denda 25 ringgit;
b) Memberikan kuasa kepada Governor melantik dan memecat
kadi;
102
Ibid., h. 113 103
Ibid., h. 114; Lihat juga Ahmed Mohamed Ibrahim & Abdul Monir Yaacoob, The
Administration of Islamic Laws (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Undestanding Malaysia
(IKIM), 1997) h. 24
176
c) Melantik kadi sebagai pembantu Pendaftaran Perkawinan dan
Perceraian;
d) Memberikan kuasa kepada kadi untuk menyelesaikan masalah
nafkah yang tidak melebihi dari 50 ringgit; dan
e) Masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan dan
perceraian.104
Perbaikan berikutnya dilakukan dengan lahirnya The
Muhammaden Marriage Ordinance No. XVII tahun 1909, yang
isinya memberikan kekuasaan kepada Governor Negeri-negeri
Selat untuk melantik dua orang kadi atau lebih bagi setiap daerah
untuk mengurus masalah perkawinan dan perceraian. Pada tahun
1917 diperbarui lagi dengan The Muhammaden Marriage
Ordinance No. 4 tahun 1917, yang isinya memberikan
kemungkinan kepada pendaftar untuk memutuskan hal-hal yang
berhubungan dengan: (i) taklik, (ii) mas kawin, dan (iii) nafkah.105
The Mohammaden Marriage Ordinance tahun 1908, dengan
segala pembaruannya akhirnya dimasukkan ke dalam Ordinance
No. 26 tahun 1920. Kemudian diperbarui lagi dengan Ordinance
No. 26 tahun 1923, yang berisi tentang diberlakukannya hukum
waris Islam. Undang-undang ini diperbarui dan direvisi yang
kemudian melahirkan Ordinance No. 26, Revised Law 1926. Isi
undang-undang ini lebih banyak dibandingan dengan isi undang-
undang 1908, yakni 51 masalah banding 30. 106
Pada tahun 1934 Ordinance 1926 diperbarui lagi, dengan
(1) membuang kata “Mohamedan” dan “Mohamedans” dengan
“Mohammedan” dan “Mohammedans”, di samping juga (2)
memberikan kuasa kepada kadi untuk menyelesaikan masalah
nafkah dalam perceraian tanpa batas. Akhirnya semua aturan
dengan pembaruannya dimasukkan dalam chapter 57 Resived Law
104
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 115 105
Abdul Kadir bin Haji Muhammad, Op.Cit., h. 103 106
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 116
177
of Straits Settlements tahun 1936. Chapter ini dikenal dengan
Mohammedans Ordinance tahun 1936. Ordinance baru ini berisi 4
bab (bagian) da 51 masalah (peruntukan). Ordinance ini dipakai
sampai akhirnya lahir undang-undang baru tahun 1959, yaitu
dengan merdekanya Negeri-negeri Selat (Melaka dan Pulau
Pinang) bersama dengan Negeri Melayu lainnya. Melaka membuat
Undang-undang sendiri, yang dikenal dengan The Administration
of Muslim Law Enactment No. 1 tahun 1959. Demikian juga Pulau
Pinang dengan The Administration of Muslim Law Enactement No.
3 tahun 1959.107
Kedua undang-undang baru ini mempunyai 10
bab, tetapi mempunyai jumlah pasal berbeda, di mana Pulau
Pinang mempunyai 172 pasal, sementara Melaka mempunyai 171
pasal. Adapun isinya secara garis besar, adalah:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Majlis;
Bab III : Mahkamah Agung;
Bab IV : Keuangan;
Bab V : Masjid;
Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;
BabVII : Nafkah;
Bab VIII : Orang-orang yang memeluk Islam;
Bab IX : Kesalahan-kesalahan; dan
Bab X : Ketentuan Umum.108
2) Negara-negara Melayu Bersekutu
a) Perak
Sejak lahirnya Majlis Mesyuarat Negeri, semua
peraturan UU dikeluarkan dengan kuasa raja-raja dalam
mesyuarat termasuk masalah-masalah penetapan Persoalan
Agama Islam, pelantikan Hakim, serta penetapan Pengadilan
107
Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 199 108
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 116-117
178
Agama (Mahkamah Syariah). Perkembangan ini menunjukkan
bahwa pemakaian hukum Islam mulai dibuat dalam bentuk
Perundang-undangan, sama seperti UU Inggris yang dipahami
di Negeri-negeri Melayu, yaitu lewat penetapan Pengadilan.109
Dengan nasihat pihak Inggris, raja-raja Melayu
mengangkat hakim-hakim Inggris yang berpengalaman dalam
UU Inggris menjadi ketua-ketua Pengadilan. Apabila para
hakim ini menemukan masalah yang tidak dapat diselesaikan
(dengan UU tertulis) mereka sering merujuk pada UU Inggris.
Akhirnya dalam prakteknya dapat dikatakan UU Inggris
mengambil alih UU Islam sebagai UU Negeri. Ordinance UU
Sivil 1956, adalah Ordinance yang menetapkan Pengadilan
Umum mungkin (boleh) menggunakan Common Law Inggris
terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukum tertulis.110
UU Islam diserahkan kepada Pengadilan Agama kecuali
masalah warisan. Karenanya tetap terjadi dualisme dalam
sistem UU di Malaysia. Tetapi dalam praktiknya penggunaan.
Common Law Inggris bukan saja dalam masalah-masalah yang
tidak tertulis, tetapi juga dalam menafsirkan UU tertulis.111
Akibat dari lahirnya Akta 1956 (Ordinance UU Sivil
1956) UU Inggris menjadi UU Pokok dan mengambil alih UU
Islam. UU Islam hanya dikenakan kepada orang Islam dan
pada kasus-kasus yang sangat terbatas, yaitu Hukum Keluarga
dalam pengertian yang sangat sempit.112
Enakmen yang diperkenalkan kepada Negara-negara
Selat (Pulau Pinang dan Melaka) kemudian diperkenalkan juga
kepada Negara-negara Melayu Bersekutu. Undang-undang
pertama yang diperkenalkan Inggris tentang perkawinan di
109
Ibid., h. 118-119 110
Ibid., h. 119 111
Ibid. 112
Ibid., h. 119-120
179
Negara-negara Melayu Bersekutu adalah pada tahun 1885,
dengan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces
Enactment 1885. Pada tahun 1900 kerajaan Negeri-negeri
Melayu Bersekutu menetapkan Undang-undang The
Muhammadan Marriages and Divorce Registration Enactment
1900, yang disahkan di Perak dengan Enakmen No. 2 tahun
1900 Negeri Perak.113
Dengan demikian, sejak kedatangan
Inggris Mohammadan Marriage and Divorce Registration
Enactment 1900 adalah UU Islam pertama yang asli dibuat dan
disahkan untuk Negeri-negeri Melayu Bersekutu (Yakni Perak,
Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang). Sebelumnya UU bagi
orang Islam adalah Registration of Mohammaden Marriage and
Divorce Ordinan in Council of Perak 1885.114
Enactment 1900 diperbarui tahun 1915 oleh Negeri-
negeri Melayu Bersekutu, yang disahkan di Negeri Perak lewat
Enakmen No. 2 tahun 1915, Negeri Perak. Kemudian pada
tahun 1927 Negeri Perak memperbarui The Mohammadan
Marriage and Divorce Registration Enactment 1900, yang
disebut dengan The Muhammadan Marriage and Divorce
Registration (Amandment) Enactment No. 1 tahun 1927.115
Pada tahun 1954 Enakment Chapter 197 yang telah
melalui pengubahan nama pada tahun 1935 dirubah lagi, yang
disebut The Muslim Marriage and Divorce Registration
(Amandment) Enactment 1954 No. 2. Perbaikannya adalah
dengan memasukkan kata “two dollars” sebagai ganti “twenty
Ice cents”, di pasal 3 dan 4, dan menambah tiga sub bab pada
pasal 5, yaitu bayaran satu ringgit mesti dibayar kepada kadi
atau naib untuk setiap surat perceraian yang dikeluarkan.116
113
Abdul Kadir bin Haji Muhammad, Op.Cit., h. 107 114
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 120 115
Ibid. 116
Ibid.
180
Akhirnya pada tahun 1965 UU No. 2 tahun 1954 diganti
dengan UU Pentadbiran Agama Islam 1965, yang ditetapkan
dengan No. 11 tahun 19 Negeri Perak, yang dalam bahasa
Inggrisnya disebut The Administration of Muslim Law
Enactment No. 11 of 1965. UU ini berisi 10 bab dan 192
pasal.117
b) Selangor
Enakmen terawal tentang perkawinan dan perceraian
yang diperkenalkan di Selangor118
adalah Order in Council of
June 14, 1884, yang berisi: (1) pelantikan kadi, (2) pendaftaran
perkawinan, perceraian dan kematian di kalangan orang Islam.
Tahun 1900 The Muhammadan Marriage and Divorce
Registration yang dilakukan oleh Negara Federal Malaysia ikut
ditetapkan di Selangor, dengan Enactment No. 8 tahun 1900
dan dilaksanakan melalui Enakmen No. 3 tahun 1915, yang
berarti menghapus The Registration of Muhammadan Merriage
and Divorce Enactment 1885. Enakment 1900 diganti lagi
tahun 1924, dengan The Muhammadan Marriage and Divorce
Registration (Amandment) Enactment No. 1 tahun 1924, yang
isinya kadi dapat mengubah atau memperbaiki kesalahan pada
buku pendaftaran perkawinan dan perceraian.119
Undang-undang No. 1 tahun 1924 ini dihapus lagi
dengan lahirnya The Muhammadan Marriage and Divorce
Registration Enactment 1930. Enakmen ini berisi 12 pasal,
yang secara umum hanya mengatur tentang pendaftaran
perkawinan. Kemudian disebutkan dalam pasal 3 bahwa juru
117
Ibid., h. 122 118
Pada abad ke-18 Selangor mempunyai raja sendiri. Sejarah Selangor penuh dengan
rekaman perang saudara dan diserang oleh bajak laut. Selangor akhirnya mendapat perlindungan
dari Inggris, dan tahun 1882 Frank Sweltenham diangkat menjadi Residen Inggris, setelah
sebelumnya bertugas sebagai penasehat dan hakim Mahkamah sejak tahun 1873. Salleh Abbas,
op.cit., h. 18 119
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 121
181
nikah tidak boleh melakukan akad nikah sebelum dapat izin
dari wali perempuan. Jadi baru dalam undang-undang ini
ditemukan aturan tentang materi hakum perkawinan. Adapun
isi lebih rinci Enakmen ini ditulis Abdul Monir Yaacob:
Bab I : Pendaftaran Perkawinan dan Perceraian,
Bab II : Pengadilan Agama (Mahkamah Syari‟ah),
Bab III : Hukum bagi orang yang melanggar ketentuan yang
ada dalam UU.120
Abdul Monir Yaacob menambahkan isi lain dari UU
ini, yakni aturan tentang pengesahan perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan syari‟ah meskipun caranya
bertentangan dengan aturan UU Pendaftaran perkawinan dan
perceraian (chapter 197). Dengan demikian isi chapter 197
tahun 1935 berbeda antara satu negara dengan negara lain.121
Akhirnya Undang-undang Islam yang dibuat di masa
kekuasaan Inggris, dengan segala perbaikannya, dimasukkan
kepada The Administration of Muslim Law Enactment No. 3
Tahun 1952, yang terdiri dari 10 bab dan 180 pasal sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan (beberapa istilah penting yang ada
dalam Enakmen);
Bab II : Majlis dan Tugasnya;
Bab III : Mahkamah Agama (jenis dan bidang
kekuasaannya);
Bab IV : Keuangan (Baitul Mal, Wakaf dan Zakat);
Bab V : Masjid;
Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;
120
Ibid., h. 122-123 121
Ibid., h. 123-124. Perlu dicatat, Abdul Monir Yaacob menunjuk UU ini dengan
Mohammaden Marriage and Divorce Enactment 1936, dan tetap mencantumkan chapter 197.
Maka tidak diragukan maksud Yaacob adalah Enactment Chapter 197 tahun 1935. Lihat, Abdul
Monir Yaacob, UU Keluarga Islam, h. 11-12
182
Bab VII : Nafkah (dalam perkawinan atau pasca perkawinan,
termasuk nafkah anak);
Bab VIII : Orang yang Memeluk Islam;
Bab IX : Hukuman bagi Pelanggar; dan
Bab X : Ketentuan Umum.122
c) Negeri Sembilan
The Muhammadan Marriage and Divorce Registration
1900 diperkenalkan di Negeri Sembilan123
dengan Enakment
No. 5 tahun 1900, yang kemudian diperbaiki tahu 1925, yang
dilaksanakan melalui Enakment No. 1 tahun 1925, dan
disatukan dalam Chapter 197 of The Revised Law of The
Federated Malay States, yang kemudian diperbarui lagi pada
tahun 1952, di mana kata “Muhammadan” diganti “Muslim
Law”, ditambah perbaikan kecil. Akhirnya semua Undang-
undang tersebut disatukan menjadi satu undang-undang yang
disebut The Administration of Muslim Law Enactment No. 15
tahun 1960,124
yang berisi 10 bab dan 174 pasal. Adapun
isinya, sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Majlis;
Bab III : Mahkamah;
Bab IV : Keuangan;
Bab V : Masjid;
Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;
Bab VII : Nafkah;
Bab VIII : Orang Memeluk Islam;
122
Khoiruddin Nasution, op.cit., h. 121; Lihat, Abdul Kadir bin Haji Muhammad, Op.Cit.,
h. 121; Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 199 123
Negeri Sembilan, awalnya tunduk di bawah pemerintahan Melaka. Ketika Melaka
jatuh di tangan Portugis, Negeri Sembilan masuk ke Johor. Karena di negara ini selalu perang
saudara sejak abad ke-18 dan 19, tahun 1889 negara ini mendapat perlindungan dari Inggris. Lihat,
Salleh Abas, Op.Cit., h. 18 124
Tahir Mahmood, op.cit., h. 199; Mrs. M. Siraj, Op.Cit., h. 222
183
Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan
Bab X : Ketentuan Umum.125
d) Pahang
Pahang126
yang dikuasai Inggris sejak tahun 1888,
diperkenalkan The Muhammadan Marriage and Divorce
Registration 1900 dengan Enakment No. 13 tahun 1900, dan
merupakan Enakmen terawal diperkenalkan di Pahang, yang
kemudian diperbaiki tahun 1920 dengan No. 1 tahun 1920.
Perbaikannya adalah tentang masa melaporkan akad nikah, di
mana dalam Enakmen 1900 mesti dilaporkan dalam masa tujuh
hari, sementara dalam Enakmen 1920 harus dilaporkan dalam
masa tiga hari. Enakmen ini diperbaiki lagi tahun 1922, dengan
Enakmen No. 1 tahun 1922, dan lagi pada tahun 1924, dengan
Enakmen No. 1 tahun 1924, yang kemudian menjadi Undang-
undang Pendaftaran perkawinan dan perceraian chapter 197.
Kemudian diperbaiki lagi tahun 1949, lewat Enakmen No. 3
Tahun 1949. Aturan ini salah satunya membahas soal
pemungutan biaya untuk surat perkawinan dan perceraian.127
Pada tahun 1951 diperbaiki lagi dengan Enakmen No. 2
tahun 1951, di mana kata “Muhammadan” diganti dengan
“Muslim”, yang akhirnya disatukan dalam The Administration
of The Law of The Religion of Islam Enactment No. 5 tahun
1956, yang diperbarui dengan No. 12 tahun 1963. Enakmen
tersebut berisi 10 bab dan 178 pasal, perinciannya sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Majlis;
125
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 121 126
Awalnya Pahang ada di bawah pemerintahan Melaka. Ketika Melaka dijajah oleh
Portugis, Pahang masuk menjadi bagian dari Johor. Sejak mempunyai raja sendiri tahun 1882,
Pahang memisahkan diri dari Johor. Pada tahun 1888 Pahang mendapat perlindungan dari Inggris.
Lihat, Salleh Abas, Op.Cit., h. 19 127
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 125-126
184
Bab III : Mahkamah;
Bab IV : Keuangan;
Bab V : Masjid;
Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;
Bab VII : Nafkah;
Bab VIII : Orang Memeluk Islam;
Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan
Bab X : Ketentuan Umum.128
3) Negara-negara Melayu Tidak Bersekutu
Keberadaan Undang-undang perkawinan dan perceraian di
Negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu (Kelantan, Terengganu,
Kedah, Perlis dan Johor)129
, disebut juga Negara-negara Bernaung,
pada prinsipnya sama dengan Negeri-negeri Selat dan Negeri-
negeri Melayu Bersekutu.
a) Kelantan
Undang-undang pertama yang mengatur tentang
perkawinan dan perceraian di Kelantan130
adalah The Divorce
Regulation of 1325 H. (1907), yang bertanggal 2 Rabiu al-
Awwal 1325 H. Kemudian pada tahun 1909 diadakan undang-
undang baru, dengan nama Undang-undang Orang Yang
Hendak Bercerai laki-bini dan lain-lainnya, 1327 H No. 6
tahun 1327. Lahir lagi tentang pendaftaran perkawinan pada
128
Ibid., h. 126-127 129
Kelompok Negara-negara Melayu tidak Bersekutu adalah Kedah, Perlis, Kelantan dan
Terengganu. Sebelum berlindung di bawah kekuasaan kerajaan Inggris, negara-negara ini
berlindung di bawah kekuasaan kerajaan Siam. Berdasar Perjanjian Bangkok, negara-negara ini
diserahkan kerajaan Siam kepada Inggris. Negara Johor juga mendapat perlindungan dari Inggris
pada tahun 1885, dan tahun 1914 Johor menerima Pegawai Penasehat Inggris. Kekuasaan
memerintah berada di tangan Sultan masing-masing, tetapi roda pemerintahan dijalankan oleh
seorang pegawai Melayu yang bergelar Menteri Besar. Sistem pemerintahan seperti ini berjalan
sampai perang dunia kedua, tahun 1940. Salleh Abas, Op.Cit., h. 23 130
Kelantan dan Terengganu awalnya tunduk kepada Melaka. Ketika Melaka jatuh,
Kelantan dan Terengganu masuk perlindungan Siam. Setiap tahun kedua negara ini mengantar
upeti atau bunga mas kepada Kerajaan Siam. Akhirnya sama dengan Kedah dan Perlis, pada tahun
1909 kedua negara ini mendapat perlindungan dari Inggris. Karena itu, satu perjanjian
ditandatangani kerajaan Siam dan Inggris tahun 1910. Ibid., h. 19
185
tahun 1911, yang dikenal dengan nama An Enactment of
Provide for The Regulation of Marriage and Divorces of
Muhammadans, No. 1 tahun 1911. Kemudian lahir Undang-
undang tentang poligami, yakni Notice No. 15 tahun 1914.
Adapun isinya, sebagai berikut:
i. Siapa yang akan melakukan poligami kecuali keluarga
raja, harus lebih dahulu membuat surat pernyataan di
depan Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah), bahwa
yang bersangkutan akan berlaku adil kepada semua
istrinya serta menanggung nafkah mereka;
ii. Bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum denda
100.00 ringgit atau penjara dua bulan;
iii. Orang yang hadir dan kadi dalam perkawinan tersebut
dapat dihukum denda 200.00 ringgit atau tiga bulan
penjara.131
Kemudian pada tahun 1916 muncul lagi aturan baru,
The Notice on Matters Relating to Marriage, Divorce,
Recohabitation and Ta‟lik, yakni Notice No. 18 tahun 1916,
yang diikuti dengan The Marriage and Divorce Muslims 1917
(Amandment) No. 21 tahun 1917. Pada tahun 1919 muncul
undang-undang perkawinan orang Kelantan dengan orang
India, The Regulation of Marriage Between Kelantanese and
Indian, UU No. 27 tahun 1919. Undang-undang ini dilengkapi
dengan undang-undang tentang pembagian harta antara suami
dan istri, Muhammadan Devision of Property Between
Husband and Wife of 1919 Notification No. 33 of 1919.132
Kemudian semua undang-undang digabungkan ke
dalam Enactment No. 21 tahun 1938, yang bertanggal 16
Agustus 1938, yang ditetapkan oleh A.C. Baker, seorang
131
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 128-129 132
Ibid., h. 129-130
186
penasehat Inggris di Kelantan, yang di dalamnya diatur nafkah
istri dan anak dari suami, baik selama masih kawin atau masa
iddah. Enactment ini kemudian diikuti dengan Enactment No.
22 tahun 1938, yang dikenal dengan The Moslem Marriage and
Divorce Enactment 1938, yang terdiri dari 4 bab dan 30 pasal,
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Perkawinan;
Bab III : Perceraian;
Bab IV : Ketentuan Umum
Pada bagian perkawinan disebutkan:
i. Hanya orang yang sudah dilantik yang dapat melakukan
akad nikah (pasal 4);
ii. Perkawinan harus dengan persetujuan perempuan dan
walinya (pasal 5);
iii. Perkawinan harus didaftarkan dalam tempo tujuh hari
dari akad nikah, dan bagi yang melanggar dapat dihukum
denda maksimal 25.00 ringgit atau penjara maksimal
satu bulan (pasal 8).
Dalam Enakment 1938 ini diatur juga tentang:
i. Perkawinan orang Kelantan dengan bukan orang
Kelantan (pasal 11);
ii. Rujuk (pasal 12);
iii. Mengingkari pertunangan (pasal 13);
iv. Perceraian talak tiga (pasal 14).
Dalam hubungannya dengan perceraian, disebutkan:
i. Suatu perceraian harus dilaporkan dalam masa tujuh hari
untuk perceraian hidup, empat puluh lima hari untuk
perceraian mati (pasal 16);
ii. Mengenai fasakh atau tebus talak (pasal 17);
iii. Permohonan cerai dalam masa nikah taklik (pasal 18);
187
iv. Mut‟ah kepada istri yang dicerai (pasal 19);
v. Pelantikan orang yang akan menyelesaikan perselisihan
(pasal 20);
vi. Peraturan dan tanggung jawab pendaftar dalam
menjalankan tugasnya yang melibatkan pendaftar (pasal
21 s/d 28).
Kemudian ada Enakmen No. 8 tahun 1950, The Married
Women and Children (Maintenance) Exemption Enactment.
Sesudah itu muncul penyatuan Perundang-undangan dengan
lahirnya The Council of Religion and Malay Custom and
Kathis Court Enactment No. 1 tahun 1953, yang berisi 10 bab
dan 206 pasal, sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Majlis;
Bab III : Mahkamah;
Bab IV : Keuangan;
Bab V : Masjid;
Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;
Bab VII : Nafkah;
Bab VIII : Orang Memeluk Islam;
Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan
Bab X : Ketentuan Umum.133
b) Terengganu
Undang-undang pertama tentang perkawinan
diperkenalkan di Terengganu adalah undang-undang
pendaftaran perkawinan dan perceraian, yang dikenal dengan
Undang-undang Mendaftarkan Nikah dan Cerai Orang-orang
Islam, Bil. 6 Tahun 1340 H. (1922). Undang-undang yang
ditulis dalam bahasa Melayu (Jawi dan Rumi) ini berisi 11
133
Ibid., h. 131-132; Abdullah Alawi, Op.Cit., h. 49
188
pasal dan hanya berlaku bagi Muslim (pasal 2). Di antara
isinya adalah: (1) Sultan berhak melantik Pendaftar dan Naib
Pendaftar nikah dan cerai di antara orang Islam; (2) bagi yang
melanggar dapat dihukum maksimal 50.00 ringgit; dan (3)
memuat aturan pendaftaran danjumlah bayaran pendaftaran
(pasal 3-11).134
Kemudian pada tahun 1345 H. (1926) lahir Undang-
undang Nusyuz, dan Mahkamah Kadi dengan peraturan Bil. 2
Tahun 1348 H, bertepatan dengan 1 Januari 1930. Peraturan ini
memuat tanggung jawab suami istri sesuai dengan ajaran
Islam. The Muhammadan Marriage and Divorce Registration
Enactment 1937, yang kemudia dimasukkan dalam chapter 91
Undang-undang Terengganu, adalah Undang-undang
perkawinan yang datang kemudian. Undang-undang ini
memuat 16 pasal, yang secara ringkas berisi:
i. Bahwa sultan berhak melantik juru nikah (selain kadi);
ii. Wali diberi kekuasaan menikahkan anak yang ada di
bawah perwaliannya;
iii. Pernikahan, perceraian dan rujuk harus dilaporkan
kepada pendaftar;
iv. Mereka yang melanggar dapat dihukum denda atau
penjara.135
Kemudian setelah 10 tahun dari Enakmen 1937, lahir
Undang-undang Nikah Balik (rujuk) pada tahun 1947.
Akhirnya semua perundang-undangan yang pernah berlaku di
Terengganu dikumpulkan menjadi satu pada tahun 1955, yang
kemudian ditetapkan satu undang-undang yang disebut dengan
Undang-undang Pentadbiran Hukum Syara‟ No. 4 tahun 1375
H (1955) (The Administration of Muslim Law Enactment),
134
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 132 135
Ibid., h. 132-133
189
yang diperbarui dengan Enactment No. 2 Tahun 1964. Dengan
kehadiran Enakmen ini berarti mengahapus semua undang-
undang yang ada sebelumnya. Enakmen ini berisi 11 bab dan
164 pasal, sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Pejabat Hal Ehwal Agam;
Bab III : Majlis;
Bab IV : Mahkamah Syariah;
Bab V : Masalah Keuangan;
Bab VI : Masjid;
Bab VII : Perkawinan dan Perceraian;
Bab VIII : Nafkah, dan Orang-orang yang Harus Ditanggung;
Bab IX : Orang-orang yang Masuk Islam;
Bab X : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan
Bab XI : Ketentuan Umum.136
c) Kedah
Undang-undang pertama di bidang perkawinan dan
perceraian yang berlaku di Kedah137
adalah Muhammadan
Marriages (Separation) Enactment 1332 H. (1913). Undang-
undang yang ditulis teks dalam bahasa Melayu (Jawi) ini
disebut dengan Undang-undang Syiqaq 1332 (1913).
Kemudian diperbarui dengan Enakment No. 10 tahun 1337 H.
(1918), yang berlaku sampai 30 Rabiul Awal 1353 (13 Juli
1934). Enakmen ini berisi 13 pasal, yakni memberikan kuasa
kepada kadi untuk melantik perundingan sebagai perantara
untuk menyelesaikan perselisihan antara suami dan istri, baik
untuk berdamai, tebus talak atau yang lainnya. Akhirnya
136
Ibid., h. 133-134 137
Awalnya Kedah tunduk pada Melaka. Ketika Melaka jatuh Kedah berlindung di bawah
kerajaan Aceh. Perang hebat antara Kedah dan Siam terjadi beberapa kali. Akhirnya tahun 1909
Kedah mendapat perlindungan dari Inggris, Lihat, Salleh Abas, Sejarah Perlembagaan, h. 19.
Kedah sekarang terdiri dari 11 daerah, yaitu: 1. Baling, 2. Bandar Bahru, 3. Kota Setar, 4. Kuala
Muda, 5. Kubang Pasu, 6. Kulim, 7. Langkawi, 8. Padang Terap, 9. Pendang, 10. Sik, dan 11. Yan
190
undang-undang ini dimasukkan menjadi satu dengan undang-
undang lain yang pernah berlaku, yang disebut dengan
Undang-undang Negeri Kedah, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Mahkamah Syariah Undang-undang No. 109, yang
berisi 29 pasal, diantaranya mengenai pendaftaran perkawinan
dan peceraian. Kemudian undang-undang terakhir ini
diperbaiki pada tahun 1952, yang kemudian disebut dengan
The Syariah Courts (Amandment) Enactment No. 4 tahun 1371
(1952). Undang-undang ini akhirnya disatukan dengan undang-
undang lain yang pernah berlaku, yang disebut The
Administration of Muslim Enactment No. 9 tahun 1962.
Undang-undang ini menghapus semua undang-undang yang
ada sebelumnya. Undang-undang ini pun berisi 10 bab dan 174
pasal, sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Majlis;
Bab III : Mahkamah;
Bab IV : Keuangan;
Bab V : Masjid;
Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;
Bab VII : Nafkah;
Bab VIII : Orang Memeluk Islam;
Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan
Bab X : Ketentuan Umum.138
d) Perlis
Sama dengan Kedah, undang-undang pertama yang
berlaku tentang perkawinan di Perlis139
adalah Undang-undang
138
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 134-135 139
Awalnya Perlis merupakan bagian dari negara Kedah. Pada 1821-1842 Kedah berada
di bawah pemerintahan Siam. Tetapi 1842 Siam mengakui Raja Kedah memerintah negara sendiri.
Perlis juga menjadi negara sendiri dan mempunyai raja sendiri. Perlis pada tahun 1909 mendapat
perlindungan dari Inggris. Salleh Abas, Op.Cit., h. 19
191
Syiqaq No. 9 tahun 1332 (1913), yang kemudian diikuti
dengan The Muhammadan Marriage and Divorce
(Registration) Enactment, No. 9 tahun 1919, yakni undang-
undang utama tentang perkawinan dan perceraian di Perlis.
Kemudian digantikan dengan Undang-undang Mahkamah
Syariah 1340 atau Undang-undang No. 5 tahun 1340 (1921),
yang diberlakukan pada tanggal 24 Jumadil Awal 1340 (1921),
yaitu undang-undang yang membatalkan semua undang-
undang pendaftaran nikah dan cerai orang-orang Islam
sebelumnya. Undang-undang No. 5 tahun 1340 (1921) yang
ditulis dengan tulisan Jawi ini berisi 22 pasal tentang
perkawinan dan perceraian, serta hukuman bagi yang
melanggar hukum Ibadat. Di antara isi utamanya adalah:
i. Pendaftaran perkawinan dan perceraian (pasal 3-7);
ii. Pelanggaran mereka yang ingin kawin tanpa izin wali
lebih dahulu (pasal 8);
iii. Kesalahan rujuk setelah talak tiga (pasal 9);
iv. Rujuk dalam talak raj‟i tanpa lebih dahulu memberitahu
Imam atau kadi (pasal 10);
v. Durhaka kepada suami (pasal 12).140
Pada tahun 1951 diperkenalkan hanya satu undang-
undang, yakni The Muslim Laws (Amandment) Enactment No.
7 tahun 1951. Kemudian dibatalkan lagi dengan Enakmen
Pentadbiran Agama Islam No. 3 tahun 1964.141
e) Johor
Undang-undang pertama tentang perkawinan dan
perceraian yang diperkenalkan di Johor142
adalah The
140
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 136 141
Ibid., h. 136-137 142
Johor dibuka oleh Sultan Melaka yang lari karena kalah dari Portugis. Tahun 1885
Temanggung Abu Bakar dilantik menjadi sultan dan tahun itu juga Johor mendapat perlindungan
dari Inggris. Tetapi pegawai penasehat Inggris datang ke Johor hanya tahun 1914. Salleh Abas,
192
Muhammadan Marriage and Divorce Registration Enactment
No. 15 tahun 1914, yang berisi:
i. Pelantikan hakim atau naib (pasal 4 dan 5);
ii. Pendaftaran perkawinan, perceraian dan rujuk (pasal 7
[i]);
iii. Denda bagi yang melanggar aturan tersebut (pasal 7 [ii]);
iv. Jumlah bayaran dalam pendaftaran tersebut (pasal 16).
Kemudian undang-undang ini dirubah tahun 1934
dengan The Muhammadan Marriage and Divorce Registration
Enactment (Amandment) No. 13 tahun 1934. Dalam undang-
undang ini ditentukan bayaran pendaftaran perkawinan,
perceraian dan rujuk, yakni 75 cent sampai satu ringgit (pasal
2), yang kemudian dirubah lagi tahun 1935, yang akhirnya
dimasukkan ke dalam Enakment No. 17 Undang-undang
Tambahan (Supplement) 1939 Negeri Johor.143
Disebutkan, di samping The Muhammadan Marriage
and Divorce, pada tahun 1935 disusun Undang-undang tentang
perkawinan dan perceraian, yang dinamakan Ahkam Syari‟ah
Johor. Ahkam ini diterbitkan dalam dua jilid. Jilid pertama
memuat 468 pasal, sedangkan jilid kedua memuat 460 pasal,
yakni dimulai dari pasal 469 s/d 928. Majalah Ahkam Syari‟ah
ini diterjemahkan dari kitab Mazhab Hanafi, al-Ahkam al-
Syari‟ah fi al-Ahwal al-Syakhsiyyah, karya Muhammad Ibn
Zayd al-Abyani, yang disesuaikan dengan mazhab Syafi‟i.
Sedang dalam perbaikannya dirujuk pada kitab-kitab al-
Syafi‟iyah, seperti Tuhfatu al-Muhtaj karya Ibnu Hajar al-
Haytami, kitab al-Anwar karya al-Ardabili, Syarh Raudhatu al-
Talibin oleh Zakariya al-Ansari, Fatawa karya Ibnu Hajar, dan
Sejarah Perlembagaan, h. 19. Johor Semarang terdiri dari delapan daerah, yaitu: 1. Johor Bahru, 2.
Pontian, 3. Kota Tinggi, 4. Kluang, 5. Segamat, 6. Muar, 7. Batu Pahat, 8. Mersing 143
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 126-127
193
Bughyatu al-Mustarsyidin karya al-Alawi. Kemudian ada lagi
perubahan setelah merdeka dengan lahirnya Enakmen
Pentadbiran Agama Islam No. 14 tahun 1978.144
c. Masa Kemerdekaan
Setelah Malaysia merdeka upaya pembaruan hukum keluarga
sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan
dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan perceraian
seperti pada undang-undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada
tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri Sembilan yang
kemudian diikuti oleh Negara-negara bagian lain. Undang-undang
perkawinan Islam yang berlaku sekarang di Malaysia adalah undang-
undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan dari masing-masing
negeri. Adapun Undang-Undang Keluarga tersebut di antaranya: UU
Keluarga Islam Melaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri
Sembilan 1983, UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 (
No.1), UU Kedah 1979, UU Pulau Pinang 1985, UU Trengganu 1985,
UU Pahang 1987, UU Selangor 1989, UU Johor 1990, UU Serawak
1991, UU Perlis 1992, dan UU Sabah 1992.145
3. Hukum Keluarga di Malaysia Tentang Batas Usia Nikah
Menurut catatan Joned, sebelum munculnya undang-undang baru
di bidang pernikahan di Malaysia, hanya Johor yang membuat ketentuan
tentang umur minimum boleh nikah. Menurut Undang-undang Perkawinan
Johor, umur minimum bagi wanita 16 tahun dan 18 untuk pria. Sebaliknya,
setelah adanya pembaruan, hanya Perak yang tidak mengatur. Alasannya
barangkali karena dianggap bertentangan dengan Syari‟ah. Sedangkan
bagi wilayah Persekutuan, Kelantan, Kedah, Melaka, Negeri Sembilan,
Selangor dan Pulau Pinang, mengatur minimum 18 untuk pria dan 16
untuk wanita. Sekarang memang angka perkawinan kanak-kanak
cenderung menurun di Malaysia, tetapi diasumsikan penurunan tersebut
144
Ibid. 145
Ibid., h. 139-156
194
bukan karena faktor undang-undang tetapi hanya karena faktor pendidikan
dan peluang kerja.146
Adapun bunyi pasal yang menjelaskan tentang ketentuan umur
minimal boleh nikah, misalnya dalam Undang-undang Keluarga Islam
Negeri Pulau Pinang 1985, pasal 8 disebutkan; Tiada sesuatu perkahwinan
boleh diakadnikahkan atau didaftarkan di bawah Enakmen ini jika lelaki
itu berumur kurang daripada lapan belas tahun dan perempuan itu berumur
kurang daripada enam belas tahun kecuali jika Hakim Syari‟ah telah
memberi kebenarannya secara bertulis dalam hal keadaan tertentu.
Hanya saja ada sedikit perbedaan istilah, dalam UU Persekutuan
disebut “Akta” sebagai ganti dari “Enakmen” yang ada dalam UU Negeri
Sembilan, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Kelantan.
Demikian juga UU Serawak menggunakan istilah “Ordinan”. Maka
bunyinya menjadi “di bawah Akta ini” dan “di bawah Ordinan ini” sebagai
ganti “di bawah Enakmen ini”.147
Adapun bagi mereka yang belum mencapai umur minimal yang
ditentukan boleh nikah dengan catatan harus mendapatkan izin dari
Pengadilan. Seperti disebutkan pada pasal 18 ayat (1) UU Negeri
Sembilan; Dalam mana-mana kes berikut, iaitu- (a) jika salah satu pihak
kepada perkahwinan yang dicadangkan itu adalah di bawah umur yang
dinyatakan dalam seksyen 8; atau (b) jika pihak perempuan adalah seorang
janda yang tersabit oleh seksyen 14 (3); atau (c) jika pihak perempuan
tidak mempunyai wali daripada masa mengikut Hukum Syara‟, maka
Pendaftar hendaklah, sebagai ganti bertindak di bawah seksyen 17,
merujuk permohonan itu kepada Hakim Syari‟ah yang mempunyai bidang
kuasa ditepat perempuan itu bermustautin.
146
Ibid., h. 375; Lihat pula Ahilemah Joned, Keupayaan dan Hak Wanita Islam Untuk
Berkahwin: Indah Khabar daripada Rupa, dalam Fakulti Undang-Undang Universiti Malaya,
“Makalah Undang-Undang Menghormati Ahmad Ibrahim” (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988) h. 8-9 147
Khoiruddin Nasution, op.cit., h. 375-376; Lihat juga, pasal 8 UU Negeri Sembilan
1983, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Persekutuan; pasal 7 UU Serawak, dan pasal
14 UU Kelantan
195
Pada ayat (2) disebutkan:
Hakim Syari‟ah, apabila berpuas hati tentang kebenaran perkara-perkara
yang disebut dalam permohonan itu dan tentang sahnya perkahwinan yang
dicadangkan itu dan bahawa kes itu adalah kes yang mewajarkan
pemberian kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 8, atau kebenaran bagi
maksud-maksud seksyen 14 (3), atau persetujuannya terhadap
perkahwinan itu diakadnikahkan oleh wali Raja bagi maksud-maksud
seksyen 13 (b), mengikut mana yang berkenaan, hendaklah pada bila-bila
masa selepas permohonan itu dirujukkan kepadanya dan setelah dibayar
fee yang ditetapkan, mengeluarkan kepada pemohon kebenarannya untuk
berkahwin dalam orang yang ditetapkan.148
Berdasarkan ayat (1) poin b, dapat disimpulkan ada kemungkinan
mendapat izin untuk nikah bagi mereka yang belum mencapai umur
minimal boleh nikah, dengan catatan pengadilan mempertimbangkan
cukup alasan untuk memberikan izin, seperti disebut pada ayat (2).149
E. Negara Mesir
1. Profil Singkat Negara Mesir
Nama resmi negara ini adalah Republik Arab Mesir, lebih dikenal
dengan sebutan Mesir, adalah sebuah negara yang sebagian besar
wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut. Dengan luas sekitar
997.739 km2. Mesir mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai
bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya
terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat,
Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya
dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di
timur. Mayoritas penduduk Mesir menetap di pinggir Sungai Nil. Mesir
dikenal dengan peradaban kunonya dengan peninggalan bersejerah dunia
148
Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 376-377. Lihat juga pasal 18 UU Selangor, pasal 16
UU Serawak, pasal 18 UU Persekutuan, pasal 18 UU Pahang dan pasal 18 UU Pinang 149
Sepertinya Kelantan dan Perak tidak mengatur tentang kurang umur (masih dicermati).
Lihat, Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 377
196
seperti: Piramid Giza, Kuil Karnak danKuil Ramses. Di luxor, di sebuah
kota wilayah selatan, terdapat kira-kira artefak kuno yang mencakup 65%
artefak kuno di seluruh dunia. Kini, Mesir diakui sebagai pusat budaya dan
politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah.150
Mesir juga dikenal sebagai negara yang menyimpan sejuta ulama
(para sahabat, tabi‟in, cendikiawan, faqih dan ahli sufi), Mesir juga
mempunyai Universitas tertua di dunia Al-Azhar. Sejarah Mesir dimulai
dari zaman Fir‟aun hingga Islam baik masa khalifah dan dinasti-dinasti
(Dinasti Umawiyyah, Abbasiyyah, Dinasti Ikhshids, Dinasti Fathimiah,
Dinasti Ayyubiyah, Dinasti Mamalik dan Dinasti Osmani). Dinasti
Osmani151
dimulai pada tahun 1914, Mesir menjadi provinsi Imperium
Osmani. Pada tahun 1922, Mesir memperoleh kemerdekaan terbatas dari
Inggris, dan menjadi Kerajaan Konstitusional dengan Faruq sebagai
rajanya. Tepat pada tanggal 23 Juli 1952, Faruq digulingkan oleh Gamal
Abdel Naser, Anwar Sadat dan Mohammad Naguib. Peristiwa ini dikenal
dengan revolusi 23 Juli, yang kemudian dijadikan Hari Nasional Mesir.
Pada tanggal 18 Juni 1953 sistem kerajaan dibubarkan dan Republik Arab
Mesir dideklarasikan.152
Proses perubahan sistem pemerintahan Mesir dimulai ketika Mesir
kalah dalam perang melawan Rezim Zionis tahun 1948 sehingga rakyat
negara itu tidak lagi mempercayai pemerintahan Raja Faruq. Di tengah
situasi Mesir yang kacau tersebut, sekelompok tentara Mesir mendirikan
organisasi rahasia yang menentang infiltrasi Inggris dan sistem kerajaan di
Mesir. Organisasi ini pada tahun 1952 dengan dipimpin Jenderal
Muhammad Najib dan Gamal Abdul Naser mengadakan kudeta dan
memaksa Raja Faruq untuk mengundurkan diri. Setahun kemudian,
Republik Mesir dideklarasikan dan Jenderal Muhammad Najib diangkat
sebagai presiden pertama. Setahun kemudian tepat pada tanggal 25
150
Mardani, Op.Cit., h. 34 151
Lihat http://ciani-sri-hidayati.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 07 Desember 2015 152
Mardani, Loc.Cit.
197
Februari 1954, dia digulingkan oleh Gamal Abdul Naser yang memerintah
hingga tahun 1970.153
Undang-undang Dasar tanggal 11 September 1971. Menurut pasal
1 UUD Mesir, negara Mesir merupakan suatu negara demokrasi, negara
sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh.
Dalam pasal 2 UUD Mesir dinyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah
agama negara dan Bahasa Arab adalah bahasa resmi negara. 154
Hampir 90% penduduk Mesir adalah penganut Islam dan sekitar
10% penganut Kristen. Pada awal sejarahnya, penduduk Mesir merupakan
penganut mazhab Syafi‟i dan sebagian kecil penganut mazhab Hanafi,155
masuknya mazhab Hanafi ke Mesir yaitu pada abad ke-2 H di bawah
kekuasaan Khalifah Usmaniah sehingga memperkuat kedudukan mazhab
Hanafi di Mesir dan terus menjadi hukum yang berlaku di Mesir.156
Singkatnya, mazhab Hanafi yang banyak diterapkan dalam praktik untuk
waktu yang lama dalam bidang hukum keluarga dan bidang bidang hukum
lainnya.157
2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Mesir
Mesir merupakan negara muslim yang melakukan pembaruan
Hukum Keluarga ketiga setelah Turki.158
Selain itu Mesir juga merupakan
Negara Arab pertama yang melakukan pembaruan Hukum Keluarga.
Pembaruan ini merupakan pengaruh Turki yang pernah menguasai Mesir.
Mesir melakukan pembaruan Hukum Keluarga pada tahun 1920 yang
melahirkan dua undang-undang Keluarga Mesir. Dua Undang-undang ini
153
Lihat http://notedanpena.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 07 Desember 2015 154
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 226 155
Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam
Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZZAFA, 2009) h. 168 156
Syamsul Anwar, Islam, Negara, dan Hukum, (Jakarta: INIS, 1993) h. 104 157
Johannes dan Heijer, Syamsul Anwar, Islam, Negara dan Hukum, (Jakarta: INIS,
1993) h. 104. 158
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 14, No. 1, Juni 2014, h. 1
198
diantaranya adalah Law No. 25 Tahun 1920 dan Law No. 20 Tahun
1929.159
Pembaruan Hukum Keluarga Mesir terinspirasi dengan terbitnya
sebuah buku karya Qasim Amin yang berjudul The Liberation of Woman
pada abad ke-19. Setelah terbit buku ini Qasim Amin selaku penulis
dihujat oleh banyak kalangan. Saat itu Muhammad „Abduh seorang tokoh
terkenal berada dipihak Qasim Amin dalam rangka mencoba untuk
melakukan pembaruan ini, namun penolakan terjadi di mana-mana.
Selanjutnya, penolakan ini berangsur mereda setelah terbentuk panitia
yang beranggotakan para ulama dan para praktisi hukum pada tahun 1915.
Panitia ini diketuai oleh Syekh Mustofa Al-Maragi, selau rektor
Universitas Al Azhar saat itu dengan tujuan untuk membuat pembaharuan
dalam Hukum Keluarga Mesir.160
Kemudian, pembaruan Hukum Keluarga
Mesir ini sempat terhambat sebentar disebabkan tarjadinya Perang Dunia
I. Pada tahun 1920 dan tahun 1929 pembaruan-pembaruan tersebut benar-
benar berlangsung dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan dan
Perceraian. Selain itu pada tahun 1923 lahir pula undang-undang tentang
Perkawinan di bawah umur.161
Hasil dari kepanitiaan yang diketuai oleh
Syekh Mustofa Al-Maragi secara detail di antaranya adalah:162
a. UU No. 25 Tahun 1920 Tentang Nafkah dan Perceraian
b. UU No. 56 Tahun 1923 Tentang Umur Perkawinan
c. UU No. 25 Tahun 1929 Tentang Percerian
d. UU No. 77 Tahun 1943 Tentang Waris
e. UU No. 71 Tahun 1946 Tentang Wasiat
Selanjutnya UU No. 25 Tahun 1920 dan UU no. 20 Tahun 1929
diperbaharui pada Tahun 1979 menjadi UU yang dikenal dengan Hukum
Jihan Sadat No. 44 Tahun 1979. Tetapi tak lama kemudian, UU ini
159
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Idonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002) h. 94 160
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (New York: New York University
Press, 1959) h. 31 161
Ibid. 162
Khoiruddin Nasution, Status Wanita… Op.Cit., h. 94
199
diperbaharui lagi dalam bentuk Personal Status (Amandemet) Law No.
100 Tahun 1985.163
Adanya pembaruan Hukum Keluarga Mesir ini terinspirasi dari
ide-ide Qasim Amin, Muhammad „Abduh, Safwat dan para pemikir Mesir
lainnya. Walaupun ide-ide cemerlang para pemikir ini pernah ditolak oleh
banyak kalangan diawal, namun sangat membantu dalam pembaruan
Hukum Keluarga Mesir. Salah satunya adalah Malak Hifni Nasif yang
mengusulkan 10 butir pembaruan hukum yang berhubungan dengan
wanita, yang diserahkan kepada badan legislatif Mesir pada tahun 1911.
Empat di antaranya adalah (1) pendidikan wanita; (2) poligami; (3) umur
nikah; (4) kerudung. Adapun pembaruan hukum keluarga Mesir juga
ditopang oleh tuntutan gerakan wanita Mesir. Misalnya tuntutan dari The
Egiptian Feminist Union, yang berdiri tahun 1923.164
Pembaruan Hukum Keluarga Mesir yang terjadi hingga tahun
1929, akhirnya dilanjutkan beberapa tahun setelahnya. Kemudian pada
Tahun 1931 baru dinyatakan berlakunya Hukum Acara di Mesir. Pada
tahun 1936 dibentuklah sebuah komite untuk mengurusi persiapan
kodifikasi hukum yang lengkap mengenai status perorangan. Selain itu,
komite ini juga memiliki tanggung jawab mengenai Penyusunan Hukum
Waris Tahun 1943, Hukum Wakaf 1946, dan Hukum Wasiat Tahun
1946.165
3. Hukum Keluarga di Mesir Tentang Batas Usia Nikah
Mesir sebelum adanya pembaruan dalam Hukum Keluarga masih
menggunakan fikih tradisional yang dibawa oleh mazhab Syafi‟i dan
mazhab Hanafi, sehingga dalam pernikahan tidak terdapat batasan usia
dalam menikah.166
Pembahuan Hukum Keluarga secara tidak langsung
sebenarnya terjadi sejak Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun
163
Ibid. 164
Ibid., h. 94-95 165
Ibid., h. 95 166
Muhammad Siraj, “Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan” dalam Johannes Den
Heijer dan Syamsul Anwar, [ed], Islam, Negara dan Hukum (Jakarta: INIS, 1993), h. 99
200
1798 M, karena adanya Napoleon mempengaruhi Hukum Keluarga di
sana. Napoleon berusaha agar Hukum Prancis dilaksanakan juga di Mesir,
dan berusaha memarjinalkan hukum Islam di sana.167
Dalam aturan
Hukum Perancis usia minimal menikah bagi seorang laki-laki dapat
menikah adalah usia 18 tahun dan perempuan usia 16 tahun.168
Pembatasan usia minimal menikah salah satunya seperti yang
diatur dalam pasal 99 ayat (5) Undang-undang Susunan Pengadilan
Agama Tahun 1931, dinyatakan: “Tidak didengar gugatan perkara
keluarga apabila usia istri kurang dari enam belas tahun atau usia suami
kurang dari delapan belas tahun. Hal tersebut dimaksudkan agar menjaga
keharmonisan rumah tangga.169
Dalam pemikiran fikih kontemporer tidak ada penolakan mengenai
adanya batasan usia nikah. Hal ini berdasarkan pada prinsip prosedural,
bahwa hak penguasa dalam membentuk aturan hukum dalam menentukan
suatu kebijakan. Sebagaimana kaidah fikih menyatakan:
بالمصلحة منوط رعيةال على االمام تصرفArtinya: “Kebijaksanaan imam (pemerintahan) terhadap rakyatnya bisa
dihubungkan dengan (tindakan) kemaslahatan.”170
F. Kerajaan Arab Saudi
1. Profil Singkat Kerajaan Arab Saudi
Arab Saudi pernah dijajah langsung, meskipun negara-negara
bagian dari Arab saat ini telah dikuasai atas kendali Bani Ottoman sejak
abad keenam belas. Jalannya pemerintahan Turki pada masa ini
ditempatkan di Makkah, Madinah, Jeddah dan pusat-pusat lainnya, tetapi
pelaksanaannya hanya terbatas penguasa lokal yang memiliki otonomi
dalam mengurus urusan internal daerahnya. Upaya akhir Ottoman dalam
menguasai Arab Timur tahun 1871 untuk mencegah pengaruh
167
Mardani, Op.Cit., h. 35 168
Muhammad Siraj, Loc.Cit. 169
Ibid., h. 107 170
Ibid.
201
pertumbuhan Inggris di perbatasan Teluk Arab akhirnya gagal. Dasar
negara Arab Saudi (Wahabi) dibentuk pada tahun 1902, ketika Abd al-
Aziz al-Saud dan pengikut-pengikutnya menguasai Riyadh, sinyal awal
periode ketiga Arab-Wahabi didominasi pada wilayah itu. Abdul Aziz
mengonsolidasikan keuntungan teritorialnya selama dekade berikutnya,
dengan memperluas dari sekitar Riyadh dan bagian timur daerah ke
daerah-daerah yang mana dulu dikuasai oleh Bani Ottoman. Kerajaan
Arab Saudi menyatakan pada tanggal 22 September 1933 atas kerajaannya
yang telah dikuasai di bawah kendali Abd al-Aziz melalui penaklukan dan
kerja sama dengan banyak aliansi.171
Pada tahun 1979, dengan menguasai Masjidil Haram di Makkah,
dan akibat dari penurunan harga minyak pada tahun 1980 beserta efek dari
kedua Perang di Teluk, kerajaan berupaya melakukan pembangun yang
lebih representatif dalam mengonsep sistem pemerintahan. Salah satunya
dengan membentuk Majlis Asy-Syura (Dewan Penasehat) yang
diperkenalkan oleh Raja Fahd pada tahun 1993. Majlis ini memiliki 61
anggota yang ditunjuk langsung oleh raja; pada tahun 1996 jumlah
anggota ditingkatkan menjadi 90 anggota. Meskipun Majlis ini
penerapannya di lapangan tidak sama dengan legislatif, akan tetapi mereka
memiliki wewenang untuk memeriksa kebijakan pemerintah dan
mengusulkan undang-undang atau amandemen terhadap undang-undang
yang sudah ada. Keputusan atau saran dari Majlis pertama dikirim ke
Dewan Menteri untuk review, dan kemudian kepada raja untuk
persetujuan.172
Sumber utama hukum di Saudi menggunakan hasil dari
pemahaman mazhab Hanbali, sumber klasik ini mengatur tentang dasar
pembentukan hukum (istinbath hukum), dekrit (tentunya yang relevan
dengan kondisi di Saudi) beserta teori dan praktiknya di lapangan. Aturan
hukum tersebut telah digunakan untuk mengarahkan para hakim di
171
Abdullah A. An-Na‟im, Op.Cit., h. 136 172
Ibid.
202
pengadilan sebagai dasar penilaian dalam menyelesaikan kasus-kasusnya
(seperti al-Mughni Ibnu Qudamah). Resolusi Dewan peradilan tertinggi
yang disahkan pada tahun 1982 juga diarahkan untuk mengutamakan
sumber-sumber dari pemikiran mazhab Hambali dalam perkara perdata
tertentu, adapun sumber-sumbernya dari kitab-kitab, sebagai berikut:
Syarh Mutaha al-Iradat karangan al-Bahuti, Kashshaf al-Kina dari Matn
al-Ikna karangan al-Bahuti, dan jika tidak ada ketentuan yang cocok
terkait sumber-sumber yang ditentukan, maka pilihan selanjutnya mencari
rujukan pada mazhab-mazhab lain. Jika tidak ada jawaban yang ditemukan
dalam sumber-sumber resmi tersebut, maka jalan keluar yang terakhir
adalah ijtihad. Bidang hukum yang mengatur hal-hal yang tradisional akan
diatur oleh hukum syariat sementara bidang-bidang tertentu mengenai
hukum yang kaitannya dengan perusahaan, pajak, minyak dan gas, hukum
imigrasi, dan sebagainya, diatur melalui dekrit dan kebijakan kerajaan.173
2. Sejarah Pembentukan Hukum Kerajaan Arab Saudi
Arab Saudi memiliki konstitusi yang tidak resmi. Fungsi Konstitusi
disajikan oleh undang-undang dasar dalam mengartikulasikan kebijakan
dan tanggung jawab pemerintah yang dikeluarkan oleh Raja Fahd pada
Maret 1992. Pasal I dari undang-undang dasar menyatakan Islam sebagai
agama resmi negara serta al-Qur'an dan sunnah sebagai konstitusinya.
Undang-undang dasar juga menyatakan bahwa 'negara melindungi hak-
hak rakyat dengan syariat Islam', menegaskan independensi peradilan dan
menyatakan bahwa administrasi peradilan didasarkan pada 'Aturan Syari'at
sesuai ajaran al-Qur'an, Sunnah, dan peraturan yang ditetapkan oleh
penguasa asalkan tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan sunnah'. Pasal
9 dari undang-undang dasar negara mengatur bahwa 'keluarga adalah dasar
dari masyarakat Saudi, dan anggotanya akan dibesarkan berdasarkan iman
Islam'. Pasal 26 mengatur bahwa negara melindungi hak asasi manusia
'sesuai dengan syariat Islam'.174
173
Ibid., h. 136-137
174 Ibid., h. 137
203
3. Hukum Keluarga di Arab Saudi Tentang Batas Usia Nikah
Dalam pemikiran fikih klasik seperti yang diterapkan oleh semua
sekte dan mazhab, usia minimum tidak dicantum sebagai syarat dalam
perkawinan. Wali memiliki peran untuk menikahkan anak mereka tanpa
persetujuannya. Yang oleh pemikiran sunni dari kalangan mazhab Maliki,
Syafi‟i dan Hanbali (non-Hanafi) serta syi‟ah dari mazhab Itsna Asyari,
dikenal sebagai jabr atau ijbar, yang hanya dimiliki oleh sejumlah wali.
Dengan demikian, dalam mazhab Maliki, kekuasaan dimilik oleh ayah
atau pelaksananya yang diberi wasiat oleh ayahnya. Begitu juga dalam
mazhab Hanbali, diperuntukkan hanya bagi ayah atau pelaksananya,
namun yang terakhir (pelaksana) hanya terjadi atas persetujuan ayahnya;
dan bagi mazhab Syafi'i dan Ithna Ashari, diperuntukkan bagi ayah dan
kakek dari pihak ayah.175
Aturan hukum mazhab Hanafi, peran wali dalam semua
perkawinan memiliki kekuatan ijbar, akan tetapi Syafi'i, Maliki dan
Hanbali kuasa ijbar tersebut tidak hanya dimungkinkan dalam
pelaksanakaan pernikahan anak-anak (baik laki-laki maupun perempuan),
tetapi juga bagi perempuan yang sudah menikah, berapa pun usianya,
namun Hanafi izin ini hanya berlaku bagi yang berusia di bawah umur
(laki-laki maupun perempuan) dalam akad pernikahan tanpa persetujuan
mereka. Dewasa pria dan wanita memiliki hak untuk menyimpulkan
kontrak pernikahan mereka sendiri dan tidak pernah menikah tanpa
persetujuan mereka.176
Menurut pemikiran fikih klasik seperti yang diterapkan oleh semua
sekte dan mazhab, kedewasaan dicapai di masa seorang pubertas. Namun,
ada usia minimum di bawah ini yang kaitannya dengan anggapan yang
tidak terbantahkan bahwa pubertas tidak tercapai pada usia dua belas tahun
dalam kasus anak laki-laki dan sembilan dalam kasus perempuan. Setelah
menyelesaikan tahun kelima ada praduga yang tidak terbantahkan menurut
175
Dawoud El Alami dan Dorren Hinchilffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of The
Arab World (London: CIMEL, 1996) h. 6 176
Ibid., h. 6-7
204
kebanyakan ahli hukum bahwa pubertas telah dicapai, tetapi antara usia
minimum yang ditetapkan oleh fikih klasik dan lima belas, pubertas
mungkin terbukti sebagai bukti yang nyata.177
Kekuasaan yang diberikan kepada wali dalam perkawinan menurut
aturan hukum dalam mazhab Hanafi dibantah oleh apa yang disebut
"pilihan pubertas" (khiyar al-bulugh), di mana dalam semua kasus lain
mereka ayah atau kakek telah bertindak sebagai wali perkawinan, menepis
anggapan pencapaian pubertas sebagai syarat perkawinan. Pria dan wanita
memiliki haknya, tetapi tentu saja yang paling penting dalam kasus
perempuan, karena laki-laki, mencapai pubertas, akan bebas untuk
melaksanakan kuasanya dalam perihal talak. Hak ini dipertahankan sampai
penolakan tersebut diterima dalam perkawinan melalui persetujuan-
persetujuan, baik tersurat ataupun tersirat, misalnya dengan bersepakat
untuk melindungi dan memilihara dengan baik. Namun, jika ayah atau
kakek dalam akad perkawinan, kemungkinan kecil tidak mengakui
perkawinan setelah mencapai kesepakatan kecuali itu bisa dibuktikan
dengan persetujuan dari pihak pengadilan bahwa ayahnya atau kakeknya
bertindak melawan kepentingan anaknya. Praduga tersebut tentu saja bagi
seorang ayah, atau dalam ketidakhadirannya digantikan oleh kakek,
seharusnya bertindak pada kepentingan yang terbaik atas dasar kecintaan
yang mereka berikan kepada anak dan cucunya.178
Masalah berikutnya sebagai pertimbangan adalah apakah
keputusan pengadilan mampu menghentikan terjadinya perkawinan yang
ditolak oleh pihak calon pengantin. Sesuai dengan pemikiran Hukum
Islam tradisional, seorang gadis yang ingin menolak terjadinya sebuah
perkawinan yang diakadkan oleh wali, harus melaporkannya kepada
hakim.179
Sampai hakim mengeluarkan keputusan, perkawinan dianggap
berlaku, seperti yang dibuktikan dalam fakta persidangan bahwa, namun
jika salah satu pasangan meninggal setelah memilih untuk menyangkal
177
Ibid., h. 7 178
Ibid. 179
Ibid.; Lihat, Sarakhsi, Al-Mabsut (Kairo: t.p. 1324 H) h. 216
205
pernikahan karena faktor usia, sebelum memperoleh keputusan dari hakim,
pasangan hidup tersebut dapat saling mewarisi. Juga, pada masa antara
menjalankan opsi batas usia dan memperoleh keputusan peradilan,
dibolehkan bagi suami untuk berhubungan seksual dengan istrinya, dan
jika hal tersebut terjadi, maka hal tersebut dianggap telah mencabut
penyangkalannya.180
Dalam pemikiran fikih klasik, seorang gadis yang sudah diakadkan
dalam perkawinannya selama ia masih belum dewasa harus menjalankan
opsi pubertas segera setelah ia mencapai usia dewasa. Jika dia perawan,
seperti dalam kebanyakan kasus, dia akan kehilangan haknya jika dia tetap
diam menjadi bukti persetujua. Jika dia tidak lagi perawan, yaitu jika calon
suaminya telah menjalin hubungan pernikahan semasa ia tidak memiliki
kuasa, maka dia akan kehilangan hak hanya setelah tegas menyetujui
perkawinan atau dengan melakukan sesuatu yang menunjukkan
persetujuan, seperti meminta mas kawin atau pemeliharaan atau
membiarkan suaminya untuk terus memiliki hubungan dengan dia setelah
mencapai usia dewasa. Hanya makan dengan suaminya atau melanjutkan
untuk mengurus rumah tangga tidak menghilangkan haknya untuk
menentukan pilihannya.181
Sebagaimana apa yang telah dinyatakan di atas, pelaksanaan opsi
pubertas tidak berefek pembatalan perkawinan dalam pemikiran fikih
klasik. Setelah melaksanakan opsi pernikahan bagi seorang gadis maka
harus mendapatkan keputusan dari hakim dan secara tekstual jelas bahwa
sampai sebuah keputusan hakim dikeluarkan, perkawinan tetap berlaku
dan teradministrasi. Dengan demikian perkawinan dapat dihentikan dalam
dua tahap: pertama seorang gadis sepatutnya selektif dan jelas dalam
menentukan pilihannya, sehingga mampu menjadikan hakim menetapkan
alasan kuat untuk hakim mengeluarkan satu keputusan yang maslahat.182
180
Dawoud El Alami dan Dorren Hinchilffe, Op.Cit., h. 7 181
Ibid., h. 7-8; Nizam, Shakh dkk., Al-Fatawa al-Alamgiriya (Kairo: tp, t.th) h. 203 182
Dawoud El Alami dan Dorren Hinchilffe, Op.Cit., h. 8