BAB IV USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN A. Negara ...repository.radenintan.ac.id/3624/5/11....

64
BAB IV USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN A. Negara Yordania 1. Profil Singkat Negara Yordania Kerajaan Hasyimiyah Yordania, yang biasanya disebut Yordania, ialah sebuah negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Suriah di sebelah utara, Arab Saudi di timur dan selatan, Irak di timur laut, serta Israel dan tepi barat di barat. Yordania menerima arus pengungsi Palestina selama lebih dari 3 dasawarsa, menjadikannya sebagai salah satu penampung pengungsi terbesar di dunia. Negara yang miskin bahan tambang ini mengimpor minyak bumi dari negara-negara tetangga. 1 Sekitar 95% penduduknya beragama Islam dengan menganut Madzhab Hanafi dan beraliran Sunny. Selainnya 4 % beragama kristen dan 1% lagi gabungan Druze dan Bahni. 2 Penduduk Yordania menurut data yang dilaporkan Inggris kepada PBB tahun 1924 berjumlah sekitar 900.000 jiwa dengan 90% Arab Muslim, 10.000 jiwa Cireassian dan Cherchen, serta 15.000 jiwa Arab Kristen. Cireassian dan Cherchen adalah kelompok imigran dari Rusia. 3 Jumlah ini diperkirakan naik sampai 3,8 juta jiwa pada bulan September 1991 akibat aliran pengungsi Palestina pada saat pembagian wilayah Palestina pada tahun 1948 dan pendudukan Israel di wilayah tepi sungai barat tahun 1967 serta kembalinya lebih dari 300.000 orang Palestina dan Yordania dari Kuwait selama perang teluk 1990-1991. 4 Berdasarkan jumlah tersebut sebagaimana yang dikemukakan Ahmad al-Usairi yang dikutip oleh Amin Suma, bahwa dunia Islam adalah 1 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2004) h. 156 2 Khoiruddin Nasution, dkk., Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012) h. 65 3 Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World (London: CIMEL and Kluwer Law International, 1996) h. 4 4 Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: tp, 1987), h. 271

Transcript of BAB IV USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN A. Negara ...repository.radenintan.ac.id/3624/5/11....

BAB IV

USIA PERKAWINAN DI DUNIA MUSLIM MODERN

A. Negara Yordania

1. Profil Singkat Negara Yordania

Kerajaan Hasyimiyah Yordania, yang biasanya disebut Yordania,

ialah sebuah negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Suriah di

sebelah utara, Arab Saudi di timur dan selatan, Irak di timur laut, serta

Israel dan tepi barat di barat. Yordania menerima arus pengungsi Palestina

selama lebih dari 3 dasawarsa, menjadikannya sebagai salah satu

penampung pengungsi terbesar di dunia. Negara yang miskin bahan

tambang ini mengimpor minyak bumi dari negara-negara tetangga.1

Sekitar 95% penduduknya beragama Islam dengan menganut Madzhab

Hanafi dan beraliran Sunny. Selainnya 4 % beragama kristen dan 1% lagi

gabungan Druze dan Bahni. 2

Penduduk Yordania menurut data yang dilaporkan Inggris kepada

PBB tahun 1924 berjumlah sekitar 900.000 jiwa dengan 90% Arab

Muslim, 10.000 jiwa Cireassian dan Cherchen, serta 15.000 jiwa Arab

Kristen. Cireassian dan Cherchen adalah kelompok imigran dari Rusia.3

Jumlah ini diperkirakan naik sampai 3,8 juta jiwa pada bulan September

1991 akibat aliran pengungsi Palestina pada saat pembagian wilayah

Palestina pada tahun 1948 dan pendudukan Israel di wilayah tepi sungai

barat tahun 1967 serta kembalinya lebih dari 300.000 orang Palestina dan

Yordania dari Kuwait selama perang teluk 1990-1991.4

Berdasarkan jumlah tersebut sebagaimana yang dikemukakan

Ahmad al-Usairi yang dikutip oleh Amin Suma, bahwa dunia Islam adalah

1 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam (Jakarta: Raja

Grafindo, 2004) h. 156 2 Khoiruddin Nasution, dkk., Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern

(Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012) h. 65 3 Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the

Arab World (London: CIMEL and Kluwer Law International, 1996) h. 4 4 Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: tp, 1987), h. 271

143

negeri-negeri atau negara-negara yang persentase penduduk muslimnya

lebih 50% dari keseluruhan jumlah penduduk. Dengan demikian, Yordania

menjadi salah satu negara yang ikut mengambil bagian menjadi salah satu

negara dalam dunia Islam. Pertimbangan jumlah ini merupakan

pertimbangan pertama dan terpenting. Selain pertimbangan jumlah

penduduk, pertimbangan Undang-undang yang terkait dengan

pemberlakuan Undang-undang Islam di Yordania juga merupakan salah

satu ciri dari sebuah negara Islam.5

Negara modern Yordania pertama kali muncul pada tahun 1921

sebagai Emirat (keemiran atau keamiran) Transyordan. Hingga

penghujung Perang Dunia I wilayah ini merupakan bagian dari Suriah

yang lebih besar di bawah kekuasaan Utsmaniyah. Setelah kekalahan

Kesultanan Utsmaniyah pada 1918, sekutu membagi Timur Tengah

menjadi kawasan-kawasan di bawah pengaruh mereka, dengan Transyor

dan Palestina berada dalam mandat dan perwalian Inggris. Pada tahun

1946, Transyor mencapai kemerdekaannya untuk kemudian menjadi

kerajaan Hasyimiyah Yordania dengan Pangeran Abdullah Ibn al-Husein

sebagai raja pertamanya. Nama Hasyimiyah menunjukkan kepada Hasyim,

yang merupakan moyang Nabi Muhammad saw.6

Peta politik Yordania dapat dilihat dari dominannya partai

Ikhwanul Muslimin karena dukungan partainya dalam perang Arab-Israel

dan dukungan terbukanya kepada Raja Abdullah dan terus berlanjut

sampai pada pemerintahan Raja Hussein. Hubungan manis itu semakin

jelas ketika kedua rezim dan partai itu bersama-sama menghadapi

serangan berbagai rezim Arab dan gerakan pan-Arab sekuler terutama

pada tahun 1950-1960-an. Akibatnya selama hampir empat dekade

Ikhwanul Muslimin mampu mengonsolidasikan posisinya dengan pesan

religius politik dan memperkuat dukungan melalui kontrolnya yang luas

5 Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 65-66

6 John L. Eposito, Ensiklopedia Hukum Islam Modern (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,

1995), h. 176

144

terhadap organisasi dan institusi yang memberi pelayanan terhadap

masyarakat.7

2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga Di Yordania

Reformasi substansi hukum dilakukan dengan cara takhayyur

(pemilihan pendapat hukum), talfiq (amalgamasi mazhab hukum), dan

ijtihad (inovasi/penemuan hukum). Takhayyur dilakukan dengan

mengadopsi ketentuan dari pendapat hukum yang ada yang dinilai sesuai

dengan masyarakat. Talfiq dilakukan dengan cara eklektik, dengan

mengkombinasikan beberapa pendapat hukum yang ada sehingga

didapatkan ketentuan hukum yang sesuai dengan masyarakat. Ijtihad

dilakukan dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap teks-teks

keagamaan. Ijtihad dilakukan jika takhayyur dan talfiq tidak bisa

dilakukan.8

Negara Yordania dalam membuat aturan perundangan mengambil

model talfiq atau mencampurkan aturan-aturan hukum dari mazhab-

mazhab yang ada yang kemudian dijadikan undang-undang yang dapat

diterima masyarakat. Hal ini disebabkan karena di antara mazhab fikih

yang ada, tidak banyak perbedaan yang sangat signifikan. Sebelum adanya

pembaharuan Undang-undang Hukum Keluarga Muslim No. 61 Tahun

1976, negara Yordania lebih cenderung mengambil pendapat mazhab

Hanafi dalam pembuatan Undang-undang.9

Mengenai sejarah pembentukan hukum di Yordania, awal mulanya

negara ini menggunakan aturan hukum yang disebut dengan Ottoman Law.

Hal ini disebabkan karena Yordania merupakan bagian dari negara yang

dikuasai oleh kerajaan di masa Bani Turki Utsmani. Sistem hukum yang

diterapkan salah satunya mengenai aspek hukum di bidang hukum

keluarga yang aturan tersebut dinamai Ottoman Law of Family Rights

7 Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 271

8 Ahmad Bunya Wahib, Reformasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim, (Jurnal Ijtihad:

IPI, Vol. 14, No1, Juni 2014) h. 10 9 Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 64

145

1917. Yordania menerapkan aturan hukum Islam secara utuh dengan

melandasinya kepada hasil pemikiran mazhab Hanafi.10

Pada tahun 1947, Yordania menerapkan aturan hukum sementara

dalam memberlakukan hukum keluarga. Hal ini tetap berlaku sampai

diubah pada tahun 1951 dengan undang-undang yang baru, sebagian besar

aturan di dalamnya mengikuti bentuk Ottoman Law of Family Rights.

Jordania Law of Family Rights 1951 adalah aturan hukum yang pertama

dalam serangkaian kodifikasi Hukum Keluarga Islam yang diresmikan

pada tahun 1950 oleh badan legislatif nasional. Sebuah konstitusi baru

diadopsi pada tahun 1952, dengan mempertahankan dasar agama dan

kekuasaan peradilan dalam menyelesaikan sengketa perdata.11

Ottoman Law of Family Right terus diterapkan sampai hukum

keluarga Yordania No. 26 Tahun 1947 dikeluarkan. Aturan hukum ini

sementara diterapkan selama empat tahun sampai dikeluarkannya hukum

keluarga Yordania No. 92 Tahun 1951, yang kemudian diubah dan diganti

dari kedua aturan yaitu Ottoman Law dan UU Yordania No. 26. UU serta

No. 92 tahun 1951 yang berlaku selama dua puluh lima tahun lalu

kemudian diterbitkanlah aturan hukum keluarga No. 61 tahun 1976.

Undang-undang ini didasarkan pada pemikiran selain pemikiran Hanafi,

ketentuan ini dibuat dalam 180 pasal sebagai landasan yang paling tepat

dari berbagai pendapat Imam Abu Hanifah dalam kasus di mana tidak ada

ketentuan tekstual tertentu ditemukan.12

Mengenai aspek hukum keluarga di Yordania yang terbentuk pada

tahun 1951, pada perjalanannya mengalami perubahan secara rinci dari

aturan hukum yang sebelumnya yaitu Ottoman Law of Family Rights

1917, adapun poin-poin yang diubah adalah, sebagai berikut:

a. Pencatatan Pernikahan,13

10

Abdullahi A. An-Na‟im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global

Resource Book (London: Zed Books, 2002), h. 119 11

Ibid. 12

Dawoud El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the

Arab World (London: CIMEL and Kluwer Law International, 1996) h. 79 13

Ottoman Law, Pasal 13 sampai 19; Jordanian Law, Pasal 9 sampai 16

146

b. Walimatul „Ursy,14

c. Hak wali mengenai pernikahan seorang perempuan,15

d. Akibat dari pernikahan yang sah,16

e. Kewajiban suami mengenai mahar,17

f. Kewajiban dan hak suami istri,18

g. Perceraian,19

h. Rujuk,20

dan

i. Hak dan kewajiban seorang istri selama masa iddah.21

Undang-undang yang diterapkan di Yordania adalah Undang-

undang tentang hukum perdata dan hukum-hukum tambahan 1976 (The

Code of Personal Status and Supplementary Laws 1976) sebagai undang-

undang hukum keluarga Islam. Undang-undang ini merupakan hasil

perjuangan yang panjang para ahli hukum dengan melakukan

pengkodifikasian berbagai macam sumber hukum. Nampaknya dengan

kelahiran undang-undang ini merupakan awal dari langkah sebuah

pembaruan hukum yang relevan dengan perkembangan zaman.22

Landasan yang diambil sebagai pemikiran pokok para ahli hukum

lebih banyak merujuk langsung pada mazhab Hanafi sebagaimana yang

disinggung sebelumnya karena mazhab Hanafi mempunyai pengaruh yang

sangat dominan di negara Yordania. Akan tetapi, ketika dilakukan

pembaharuan hukum, beberapa mazhab selain mazhab Hanafi juga

dijadikan sumber rujukan untuk memperbaiki materi hukum keluarga yang

sudah ada.23

14

Ottoman Law, Pasal 35-36; Jordanian Law, Pasal 18-19 15

Ottoman Law, Pasal 48-49; Jordanian Law, Pasal 25-26 16

Ottoman Law, Pasal 69-70, 73-74; Jordanian Law, Pasal 31-32, 35-36 17

Ottoman Law, Pasal 80 sampai 89; Jordanian Law, Pasal 40 sampai 42, 44 sampai 50,

52 sampai 54 18

Ottoman Law, Pasal 93 sampai 100; Jordanian Law, Pasal 57 sampai 63 19

Ottoman Law, Pasal 102-103; Jordanian Law, Pasal 66-67 20

Ottoman Law, Pasal 112 sampai 124; Jordanian Law, Pasal 78 sampai 88 21

Ottoman Law, Pasal 139 sampai 147, 151-152; Jordanian Law, Pasal 101-112. 22

Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 64 23

Ibid., h. 67

147

Untuk lebih jelasnya, kami paparkan tahun-tahun penting periode

perkembangan hukum keluarga di Yordania:

a. Tahun 1917, diberlakukannya hukum keluarga Turki “Qanun qarar al

Huquq al-„Ailah al Utsmaniyyah (The Ottoman Law of Family Rights)

selama 4 tahun. Hukum ini diberlakukan karena Yordania masih di

bawah kekuasaan Turki Usmani.

b. Pemberlakuan perundangan-undangan hukum keluarga negara

Yordania dimulai dari terbentuknya UU No. 26 Tahun 1947.

c. Tahun 1951, UU No. 92 yang mulai berlaku bulan 15 Agustus

1951.”Qanun al Huquq al „Ailah” ( The Yordania Law of Family

Rights ) Lahirnya UU ini menghapus Undang-Undang yang terdahulu.

Mencakup 132 Pasal, yang dibagi dalam 16 bab. Isi UU ini sangat

mirip dengan UU Turki tahun 1917, baik dari strukturnya maupun

aturan rinciannya.

d. Tahun 1976, UU. No.61 merevisi UU No. 92 Tahun 1951 dengan

nama Undang-undang Hukum status perorangan atau yang disebut

dengan Qanun al Ahwal al Shakhsiyyah (Comprehensive Law of

Personal Status ). UU ini mempunyai cakupan yang lebih luas dalam

membahas perkawinan.24

3. Hukum Keluarga di Yordania Tentang Batas Usia Nikah

Pada tahun 1917 Yordania memberlakukan Ottoman Law of

Family Rights sebelum lahirnya Undang-undang No. 92 tahun 1951.

Namun menurut catatan Dawoud El-Alami, sebelum lahirnya undang-

undang tersebut, Yordania pernah memberlakukan Qanun al-Huquq al-

„A`ilah al-Urduniah No. 26 tahun 1947. Oleh karenanya, dengan lahirnya

undang-undang No. 92 tahun 1951 maka semua undang-undang terdahulu

sudah terhapuskan.

24

Mardani, Hukum perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha ilmu 2011)

h. 98

148

Undang-undang No. 92 tahun 1951 ini mencakup 132 pasal yang

dibagi dalam 16 bab.25

Konon undang-undang ini sangat mirip dengan

undang-undang Turki tahun 1917, baik dari segi strukturnya maupun

aturan rinciannya.26

Kemudian undang-undang ini diperbaharui dengan

undang-undang yang lebih lengkap (comprehensive) dengan lahirnya Law

of Personal Status atau yang lebih dikenal dengan istilah Qanun al-Ahwal

al-Syakhshiyyah No. 61 Tahun 1976 yang mencakup 187 pasal dan terbagi

dalam 19 bab.27

Reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania

salah satunya terkait dengan masalah usia menikah. Mengenai usia

pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 17 tahun bagi

laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.28

Hal ini merupakan ketentuan

yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 92 Tahun 1951.

Sebelumnya, ketentuan usia nikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 17

tahun untuk perempuan. Jika melanggar ketentuan tentang usia tersebut,

maka pelanggaran akan dikenai hukum pidana.29

Akan tetapi, apabila

perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk

menikah sementara walinya tidak mengizinkan tanpa alasan yang sah,

maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar prinsip-

prinsip kafa`ah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan.

Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 18 tahun dan

walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan

25

Bab yang dimaksud adalah : (I) Peminangan, (II) Syarat-syarat Mempelai, (III) Akad

Nikah, (IV) Kafa‟ah, (V) Pembatalan Perkawinan, (VI) Hakam, (VII) Mahar, (VIII) Nafkah, (IX)

Aturan Tentang Perceraian, (X) Pilihan untuk Cerai, (XI) „Iddah, (XII) Nafkah Keluarga, (XIII dan

XIV) Pemeliharan Anak, (XV) Orang Hilang / mafqud, (XVI) Aturan Umum. Lihat, Khoiruddin

Nasution, Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Islam, dalam M. Atho‟ Mudzhar dan

Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Modern Studi Perbandingan

dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h. 14 26

Anderson, Recent Development in Shari‟a Law VIII: The Yordanian Law of Family

Rights 1951 (The Muslim World, No. 42, 1952), h. 190 27

Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim Marriage (New Delhi: t.p., 1972)

h. 74 28

Khoiruddin Nasution, dkk., Op.Cit., h. 70; Lihat Pasal 5 UU Yordania No. 61 Tahun

1976 29

Abdullah Ahmad An-Na‟im, Op.Cit., h. 120

149

dapat memberi izin pernikahan. Ketentuan ini merupakan langkah maju

jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fikih mazhab. Sebab

batasan yang dijelaskan dalam kitab fikih mazhab cukup dengan batasan

bahwa laki-laki atau perempuan yang akan menikah itu telah baligh.

Syafi‟i dan Hanbali menyatakan usia baligh untuk anak laki-laki dan

perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya 17 tahun.

Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18

tahun dan anak perempuan 17 tahun.30

Tampaknya pembaharuan peraturan

tentang usia menikah tidak lagi merujuk pada satu mazhab tertentu akan

tetapi disesuaikan dengan kondisi di mana pada batasan usia tersebut laki-

laki atau perempuan Yordania dalam kondisi siap untuk menikah.

B. Negara Tunisia

1. Profil Singkat Negara Tunisia

Secara geografis, Tunisia terletak di bagian utara benua Afrika. Di

sebelah utara dan timur berbatasan dengan Laut Mediterania, di sebelah

selatan dan tenggara berbatasan dengan Libya, dan di sebelah barat

berbatasan dengan Aljazair. Tunisia berjarak 137 km dari Sicilia, Italia.

Cukup waktu 45 menit penerbangan dari Roma dan 2 jam dari Paris.31

Tunisia memiliki luas wilayah 164.150 km2 dan garis pantai

sepanjang 1.298 km yang terbentang di sebelah barat serta daerah

pegunungan di sepanjang perbatasan Aljazair.32

Dalam hal kependudukan menurut Institusi Statistik Nasional

Tunis data terbaru tercatat populasi Tunisia saat ini mencapai 10.982.754

Juta Jiwa. Untuk pertama kalinya juga jumlah perempuan lebih banyak

30

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Alih Bahasa. Maskur A.B. dkk.,

(Jakarta: Lentera Basritama, 2001), Cet. Ke-7, h. 317-318 31

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tunis dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)

Tunisia, Tunisia Selayang Pandang, (Tunisia: KBRI Tunis, 2006), h. 1 32

Ibid.

150

dibandingkan pria, seperti dikutip Middle East Online.33

Dengan

persentase pemeluk Islam 99,5 %.34

Pada pertengahan abad ke-19 dalam kondisi kekuatan ekonomi

Eropa yang semakin meningkat dan lemahnya kekuatan ekonomi dalam

negeri, para penguasa Tunisia telah mencoba melakukan modernisasi di

berbagai bidang. Ini dilakukan ketika Tunisia masih berada di bawah

pengawasan protectorate Perancis (tahun 1884)

Dari tahun 1880-an sampai 1930-an bermunculan para pemimpin

Tunisia baik berlatar belakang ulama maupun birokrat. Pada umumnya

mereka menerima kekuasaan Perancis di Tunisia dan berkonsentrasi pada

bidang pendidikan dan budaya. pada tahun 1888 para alumni Zaetuna dan

college Sadiqi mengeluarkan surat kabar mingguan al-Hadira yang

digunakan sebagai media untuk mengomentari tentang Eropa dan

peristiwa-peristiwa dunia, dan untuk mendiskusikan isu-isu politik,

ekonomi dan sastra.35

Para alumni itu juga mensponsori pendirian sekolah Khalduniyah

pada tahun 1896. Pendirian ini untuk menyuplai pendidikan Zaetuna

dengan subyek-subyek modern. Hasil dari dua lembaga pendidikan ini

adalah: pemuda-pemuda Tunisia yang berenergikan Arab Timur. Mereka

mempromosikan modernisasi dan westernisasi masyarakat Tunisia dan

kebangkitan Arab.36

Kelompok pemuda itu melakukan berbagai reformasi. Mereka

mensponsori reformasi hukum Islam, pendidikan, dan administrasi wakaf.

Mereka juga mensponsori sekolah al-Qur‟an yang di dalamnya diajarkan

aritmatika, geografi, sejarah, dan bahasa Perancis di samping subyek al-

33

Dalam http://news.okezone.com/read/2014/09/12/412/1038411/, Diakses tanggal 05

Oktober 2015 34

Dalam http://www.religion-facts.com/id/255, Diakses tanggal 05 Oktober 2015 35

Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (New York: Cambridge University

Press, 1988) h. 699 36

Ibid.

151

Qur‟an dan bahasa Arab. Pada tahun 1907 untuk mengekspresikan aspirasi

politiknya, kelompok pemuda ini membuat jurnal: The Tunisian.37

Pada tahun 1932, Bourguiba menuntut kemerdekaan Tunisia dan

menawarkan perjanjian persahabatan untuk menjamin kepentingan

Perancis. Pada tahun 1934, Bourguiba dan kelompoknya mengambil alih

pimpinan partai dan membuat partai Neo-Destour dengan Materi sebagai

presiden dan Bourguiba sebagai sekretaris jenderalnya. Selanjutnya pada

tahun 1938, pemberontakan terhadap penguasa Perancis terjadi, dan

Bourguiba dimasukkan dalam penjara. Akhirnya pada tahun 1956, Tunisia

resmi merdeka dan protectorate Perancis di Tunisia dihapus.38

Bentuk pemerintahan Negara Tunisia adalah republik yang

dipimpin oleh seorang presiden dengan presiden pertamanya Habib

Bourguiba. Undang-undang Dasarnya disahkan pada tanggal 1 Juni 1959,

yang secara tegas dalam pasal 1 menyebutkan bahwa Tunisia adalah

Negara yang berdasarkan agama Islam. Bahkan lebih jauh lagi, dalam

pasal 38 dinyatakan bahwa presiden Republik Tunisia haruslah seorang

muslim.

2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia

Islam masuk dan berkembang di Tunisia pada masa Khilafah

Bani Umayyah hingga Khilafah Turki Utsmani (1574-1591). Di masa

Khilafah Utsmaniah ini, Tunisia menjadi wilayah otonom di bawah

pemerintahan Dinasti Dey (1591-1659), Mouradi (1659-1705) dan

Huseini (1705 –1957) mayoritas penduduknya menganut mazhab

Maliki. Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi

sebagai konsekuensi dari posisinya yang merupakan salah satu daerah

otonom dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574). Karena itu Tunisia bisa

dikata sebagai salah satu wilayah penopang peradaban Islam ketika itu.

Seluruh aktivitas masyarakat di atur ketat dengan prinsip syariat Islam,

37

Ibid., h. 700 38

Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (New York: Cambridge University

Press, 1988) h. 700

152

mulai dari sistem politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum termasuk

dalam persoalan hukum keluarga.

Ketika Prancis menguasai Tunisia pada rentang abad ke 19 dan

20 masehi, mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-

hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus

perkawinan, perceraian, warisan dan kepemilikan tanah. Imbas dari

pendudukan Prancis atas Tunisia mengakibatkan sistem hukum Prancis

memiliki tempat dalam kebijakan politik pengadopsian sistem hukum di

Tunisia. Tidak jauh berbeda seperti Indonesia yang pernah dijajah

Belanda cukup lama. Posisi Sistem Hukum Pidana (Wetboek Van

Straprecht) dan hukum perdata (Burgelijk Wetboek) warisan belanda

masih digunakan hingga saat ini.

Secara umum sistem hukum di Tunisia berasal dari sistem

hukum sipil prancis dan hukum Islam. Sebab Tunisia menjadi negara

protektorat Prancis pada tahun 1881. Hukum Keluarga di Tunisia

dominan terinspirasi dari Hukum keluarga madzhab Maliki dan

Madzhab Hanafi.39

Dalam konstitusi pasal 1 dijelaskan: Islam adalah agama negara,

kemudian pasal 38 ditetapkan bahwa President harus seorang Muslim.

Konstitusi semacam ini jarang ditemukan di negara-negara Islam lain

yang dahulu pada umumnya berada dalam pendudukan negara-negara

barat Eropa yang sekuler. Walaupun dalam konstitusi tersebut Islam

nampaknya memiliki tempat yang sangat istimewa, namun Hukum

Islam tidak sepenuhnya diterapkan selain pada ranah keperdataan atau

Hukum Keluarga (The Law of Personal Status).

Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga

mengadopsi prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga output sistem

hukum yang dihasilkan merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-

prinsip hukum Islam (Maliki dan Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum

39

Abdullahi A. An-Na‟im, Op.Cit., h. 182

153

sipil Prancis (French civil law). Inilah yang mereka namakan upaya

reformasi atau pembaruan hukum Islam di negara mereka.

Setelah kemerdekaan pemerintah Tunisia memberlakukan

undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan dengan perubahan-

perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Upaya pembaharuan ini

didasarkan kepada penafsiran liberal terhadap syari„ah terutama yang

berkaitan dengan hukum keluarga.

Undang-undang tersebut bernama Majallat al-Ahwal al-

Syakhshiyah Nomor 66 tahun 1956. Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah

(Code of Personal Status)40

mencakup materi hukum perkawinan,

perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan

hukum Islam Klasik.

Pada tanggal 1 Januari 1957 negara ini resmi memberlakukan

Code of Personal Status (Majallat al-ahwal al-syakhshiyah) No. 66

tahun 1956 sebagai UU keluarga pertama, baik di Pengadilan Negeri

maupun pengadilan Agama. UU ini hasil perpaduan konsep Hanafi dan

Maliki yang dituangkan dalam kitab berjudul Laihat Majallat Al-Ahkam

Al-Syakhshiyah oleh sekelompok ahli Hukum.41

Usaha ini sangat

direspon baik oleh pemerintah sehingga dibentuklah komisi dibawah

pimpinan Syekh Islam Muhammad Ja‟it untuk membuat UU keluarga

dengan merujuk kepada kitab tersebut dan UU keluarga Maroko,

Yordani, syiria, serta Turki. UU ini diperbaharui (diamandemen)

beberapa kali dengan keluarnya Law No. 70 tahun 1958, No. 77 tahun

1959, No. 61 tahun 1961, dan No. 7 tahun 1980.42

Pembaruan Hukum keluarga yang kemudian berdampak pada

hukum perkawinan di Tunisia tidak jauh berbeda dengan negara-negara

timur tengah yang lain. Masyarakat Tunisia pada umumnya bermadzhab

Maliki, saat Turki utsmani menjadikan Tunisia bagian dari wilayah

40

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia & Perbandingan Hukum

Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2009) h. 172 41

Ibid. 42

Ibid., h. 173

154

Kekhilafahan, masyarakat Tunisia berada dalam dua madzhab. Sebab

saat itu Khilafah Utsmani (Ottoman Empire) menjadikan madzhab

Hanafi sebagai madzhab resmi negara, yang di kemudian hari kedua

madzhab tersebut turut mempengaruhi proses pembaruan hukum

perkawinan.

Penerapan hukum keluarga Islam di Tunisia terkhusus dalam

bidang perkawinan dan pembaruannya melewati proses yang cukup

panjang sebagaimana di alami negeri-negeri Islam lainnya saat

memisahkan diri dari kesatuan wilayah Turki Utsmani dan memutuskan

menjadi negara independen. Setelah memerdekakan diri menjadi negara

republik, beberapa ahli hukum Tunisia mulai memikirkan tentang

sebuah kesatuan perundangan hukum keluarga yang diadopsi dari

madzhab Maliki. Di saat yang bersamaan mereka terinspirasi dari

kodifikasi dan pembaruan hukum keluarga di Mesir, Sudan, Jordan dan

Syria. 43

Dalam perkembangannya Hukum Keluarga di Tunisia telah

mengalami empat kali amandemen, yakni pada tahun 1962, 1964, 1966,

1981 sumber lain menyebutkan enam kali amandemen.44

3. Hukum Keluarga di Tunisia Tentang Batas Usia Nikah

Ketentuan batas usia perkawinan pertama kali sebelum diperbarui

yaitu wanita 15 tahun dan pria 18 tahun.45

Setelah dilakukan perubahan

laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah

berusia minimal 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi

pasal 5 UU 1956 yang mana sebelum diubah, ketentuannya adalah 17

tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan ketentuan

tersebut, untuk dapat melangsungkan perkawinan, pasangan yang berusia

di bawah 20 tahun harus mendapat izin dari wali. Jika wali tidak

memberikan izin, perkara tersebut dapat diputus oleh pengadilan.46

43

Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 99 44

Ibid., h. 152-153 45

Abdullah A. An-Na‟im, Op.Cit., h.158 46

Dawoud El-Alami dan Doreen Hinchcliffe, Op.Cit., h. 240

155

Bunyi pasal 5 dan 6 dalam The Code of Personal Status yang

mengatur tentang batas usia pernikahan dapat dilihat di bawah ini, sebagai

berikut:

Pasal 5

a. Pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan harus bebas dari

halangan pernikahan

b. Seseorang laki-laki yang belum berumur 20 tahun dan seorang wanita

yang belum berumur 17 tahun tidak dapat melakukan kontrak

pernikahan

c. Pernikahan seseorang di bawah umur tersebut harus mendapatkan izin

dari pengadilan. Izin tersebut tidak diberikan kecuali ada alasan yang

kuat dan ada kepentingan yang jelas dari kedua belah pihak.

Pasal 6

Pernikahan seseorang yang tidak sampai umur dewasa harus mendapatkan

izin dari wali. Jika wali menolak untuk memberikan izin terhadap

pernikahan tersebut, maka persoalan tersebut diputuskan oleh

pengadilan.47

Penelusuran aturan-aturan hukum fikih menunjukkan kemajuan

baru dalam hukum keluarga Islam dengan ditetapkannya batas usia

pernikahan dalam The Code of Personal Status. Seluruh mazhab hukum

fikih mengakui adanya hak wali untuk menikahkan putrinya tanpa adanya

izin dari kedua belah pihak. Dengan hak ini, maka orang tua dapat

menikahkan putra atau putrinya walaupun ia masih berumur belum

baligh.48

Al-Kasani mendasarkan pendapatnya bahwa boleh menikahkan

anak-anak yang belum dewasa, pada sebuah hadis yang menyatakan

bahwa Nabi Muhammad menikahi „Aisyah r.a yang ketika itu dalam suatu

riwayat masih berumur enam tahun dan pada riwayat yang lain berumur 9

47

Rahmat Arijaya, Hukum Perkawinan Tunisia (Studi Pemikiran Hukum Islam di

Tunisia) (Tesis: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h.109-110 48

Muhammad bin Abi Sahal Al-Sarakhsi Abu Bakar, Al-Mabsut (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,

1406), h. 212

156

tahun. Berbeda dengan pendapat ini, Ibnu Syabramah berpendapat lain

bahwa tidak boleh menikahkan anak kecil kecuali ia telah sampai umur

baligh (dewasa). Ibnu Syabramah kemudian menjelaskan bahwa apabila

boleh pernikahan anak kecil maka tidak ada gunanya ditetapkannya

perwalian bagi anak kecil. Apabila suatu pernikahan bertujuan

menyalurkan kebutuhan biologis (pleasure) dan untuk mendapatkan

keturunan (recreation) maka pernikahan anak kecil tidak dapat

mewujudkan tujuan tersebut.49

Melihat keberadaan pendapat-pendapat ulama fikih tentang nikah

anak-anak menunjukkan bahwa penetapan umur sebagai sebuah kapasitas

seseorang baik laki-laki atau perempuan adalah suatu aturan yang maju.

Bagi wanita khususnya, demikian juga halnya laki-laki, aturan hukum ini

akan memungkinkan mereka mendapatkan kesempatan menikmati

pendidikan, kerja yang lebih luas. Dengan pendidikan yang lebih baik,

memungkinkan wanita dapat menunjukkan jati diri dan kemampuannya.50

C. Negara Pakistan

1. Profil Negara Pakistan

Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan

kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa merupakan

negara muslim terbesar kedua di dunia. Negara ini dihuni oleh beragam

kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan

secara damai di bawah panji agama yang beragam pula. Islam tercatat

sebagai agama terbesar yang dianut oleh 97 % jumlah penduduk Pakistan.

Sementara agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya, hidup secara

damai di negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afghanistan di

Barat Laut, India di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut.51

49

Ibid. 50

Rahmat Arijaya, Op.Cit., h. 111 51

Miftahul Huda, "Ragam Argumentasi Ketentuan Wali Nikah Dan Poligami: Studi atas

Hukum Keluarga Negara-Negara Muslim Modern", dalam https://www.academia.edu/, makalah

diakses pada tanggal 08 Desember 2015

157

Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris

ketika menjadi bagian dari wilayah India. Sejarah kontemporer anak benua

India dan Pakistan bermula dari hancurnya Imperium Mughal dan

pendudukan Inggris di India. Penjajahan Inggris telah menghancurkan

posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi,

pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita.52

Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik,

kolonisasi ini juga mempunyai dampak dan kerugian lebih jauh pada

budaya (kultural) di mana pada awalnya mereka bersikap simpatik

terhadap program pendidikan tradisional Muslim dan terhadap kultur

klasik bangsa India. Namun lambat laun mereka mulai menindas praktek

keagamaan di mana mereka sering menjatuhkan hukuman secara sadis dan

kejam. Adapun bahasa Inggris menjadi bahasa pemerintahan dan

pengajaran dan bahasa Mughal dihapus sebagai bahasa resmi di

pengadilan. Islam merupakan agama mayoritas di Pakistan. Dalam

kehidupan keagamaan, di mana yang berbahasa resmi Urdu ini tumbuh

beberapa aliran mazhab, mazhab Hanafi dikenal sebagai mazhab

mayoritas, ditambah mazhab lain seperti Syi‟ah dan Hambali.53

Toleransi antara umat beragama terjalin baik di Pakistan. Mereka

yang minoritas seperti Hindu, Kristen dan Budha hidup dalam alam

demokrasi dan toleransinya yang menjunjung tinggi kebebasan beragama

dan lebih dari itu mereka dianggap sahabat. Kehidupan keberagamaan di

Pakistan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan

keberagamaan di negara muslim lainnya. Islam menjadi jalan hidup (way

of life) yang mereka anut secara mendalam. Pandangan hidup, rasa dan

kecenderungan mereka sepenuhnya adalah Islam, sementara tradisi dan

budaya tidak berpengaruh pada karakteristik Islam secara esensial.54

2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Pakistan

52

Ibid. 53

Ibid. 54

Ibid.

158

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Zamroni

menyatakan bahwa Pakistan memiliki tradisi teo-demokrasi constitutional

yang sudah berjalan cukup lama ketika dipengaruhi Inggris, terlihat dari

kurikulum pendidikan hukum dan praktik perundang-undangan yang

berlaku. Konstitusi 1956 yang didasari atas pemikiran Abu A‟la Al-

Maududi dan Muhammad Assad menyatakan sebagai Republik Islam

dapat dirasakan sebagai sebuah karakter religius sampai tahun 1962. 55

Pada waktu yang bersamaan kekuatan Islam politik bersaing

dengan kekuatan yang memperjuangkan Republik Pakistan (tanpa kata

“Islam”) berusaha mengganti frase “Al-Quran dan Sunnah”. Perebutan

kekuasaan antara semangat Negara Islam dengan Negara sekuler

tergambar dalam Pasal 1 Konstitusi 1956 yang inti bunyinya bahwa

Pakistan akan menjadi republik federal yang dikenal sebagai republik

Islam Pakistan.56

Lanjutnya dalam penelitian menyatakan bahwa dalam amandemen

ketiga yang terjadi pada 1973 melahirkan konstitusi pertama yang

disahkan melalui sebuah majelis nasional dengan menempatkan dasar-

dasar pemerintahan Islam dengan prinsip demokrasi seperti dinyatakan

pada mukadimah konstitusi yang inti bunyinya bahwa dalam prinsip-

prinsip keadilan demokrasi, kebabasan, kesertaraan, toleransi dan sosial

sebagaimana yang diutarakan dalam Islam harus sepenuhnya diamati

secara seksama. Yang mana pada setiap umat Islam haruslah diterapkan

untuk menata hidup mereka baik idividu maupun secara bersama sesuai

dengan ajaran Islam dan pula yang disyaratkan dalam Al-Quran dan

Sunnah.57

Inilah yang menjadi gambaran tradisi yang diterapkan sejak lama

oleh Negara Pakistan dan menjadi sebuah aturan dalam menetapkan

55

Muhammad Zamroni, Sumber Hukum dan Konstitusionalitas Undang-undang:

Perbandingan Indonesia dengan Beberapa Negara Muslim (Pakistan, Mesir dan Iran), (Skripsi:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 78 56

Lihat, Constitution of Pakistan 1956, Chapter 1 57

Preamble Constitution Islamic Republic of Pakistan 1973

159

sebuah hukum yang ingin diterapkan oleh Negara tersebut. Sehingga kita

pun akhirnya tahu bahwa Pakistan merupakan Negara yang memilki

karakteristik sangat kental dengan nuansa religius dalam menetapkan

pasal-pasalnya. Hal ini pun juga tentutnya yang menjadikan corak hukum

keluarga Islam yang diterapkan di Negara Pakistan pun pastinya

berasaskan tradisi teo-demokrasi.

Sejarah hukum di Pakistan hingga 14 Agustus 1947 berbagi dengan

India. Pada saat pembentukan negara ini pada tanggal tersebut, ia mewarisi

dari negara induknya India. Untuk lebih jelasnya tentang sejarah

terbentuknya UU Hukum Keluarga di Pakistan, seperti berikut ini:

a. UU Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Kasta Sosial Tahun 1850;

b. UU Perceraian tahun 1869 dan UU Perkawinan Kristen Tahun 1872;

c. UU Orang Dewasa Tahun 1875;

d. UU Perwalian dan Orang yang di Bawah Perwalian Tahun 1890;

e. UU Validasi Wakaf Tahun 1913-1930;

f. UU Wakaf tahun 1923 (diamandemen di Propinsi Sind oleh UU lokal,

yakni UU No.18/1935);

g. UU Pencegahan Perkawinan Anak Kecil tahun 1929;

h. UU Hukum Keluarga Islam (Syariah) Tahun 1937; dan

i. UU Perceraian Islam Tahun 1939. 58

Pada tahun 1961, Komisi Nasional negara Pakistan

merekomendasikan beragam masalah keluarga bagi penyempurnaan UU

Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat Komisi

tersebut, suatu ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga

Islam disahkan pada tahun 1961. Konstitusi pertama Republik Islam

Pakistan yang diresmikan pada tahun 1956 menetapkan bahwa tidak satu

pun UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam akan

diberlakukan, dan UU yang demikian harus ditinjau ulang dan direvisi

agar sejalan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Akan tetapi konstitusi ini

58

Mufti, "Hukum Keluarga Islam di Pakistan", dalam http://www.scribd.com/, Artikel

diakses pada tanggal 08 Desember 2015

160

dicabut pada tahun 1958. Ketika Konstitusi 1956 dicabut, pemerintah

Pakistan meresmikan Ordonansi Hukum Keluarga Islam 1961 yang

didasarkan pada rekomendasi yang disampaikan dalam laporan Komisi

Nasional.59

Suatu konstitusi baru disahkan di Pakistan pada tahun 1962, yang

sekali lagi memberi mandat atau amanat kepada negara untuk tidak

memberlakukan UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam

dan konstitusi ini mengakomodasi kembali ajaran-ajaran dasar Islam

seperti yang terdapat dalam konstitusi terdahulu.

Bidang hukum Islam seperti didefinisikan dalam UU Hukum

Keluarga 1961 itu adalah lebih luas dibanding yang ada di bawah UU

Syariat 1937. Pada tahun 1964 UU Peradilan keluarga mengamanatkan

pembentukan peradilan keluarga di seluruh wilayah Pakistan, yang

tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang berkenaan dengan

perselisihan keluarga dan perkawinan.

Konstitusi Pakistan yang baru, yang diumumkan pada tahun 1973,

menyatakan bahwa semua UU yang ada harus disesuaikan dengan ajaran-

ajaran dasar Islam seperti ditetapkan Al-Quran dan Sunnah serta tidak satu

pun UU yang diberlakukan bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.

Pada 1979 Pemerintah Pakistan memutuskan untuk kembali

menegakkan supremasi Syariah dalam semua bidang hukum. Sepanjang

1980-1985, Konsitusi 1973(sejak mengalami sejumlah amandemen)

diamandemen kembali, yakni berkenaan dengan perihal norma-norma

Syariah. Dalam UU Hukum Keluarga yang berlaku di Pakistan yaitu The

Muslim Family Laws Ordinance, kita akan mendapatkan ketentuan-

ketentuan penting mengenai intisari dari undang-undang tersebut, berikut

penjelasannya:

a. Ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan;

59

Ibid.

161

b. Ketentuan keharusan adanya persetujuan lebih dahulu dari Majelis

Arbitrase bagi perkawinan bigami atau poligami;

c. Ketentuan keharusan pemberitahuan perceraian yang diberikan kepada

pegawai negeri sipil yang berkompeten membentuk Majelis Arbitrase

dan ketentuan perdamaian selama tiga bulan dalam perceraian;

d. Ketentuan hukuman bagi perbuatan melawan hukum tentang

maskawin dan pembatasan biaya serta hadiah perkawinan;

e. Pengenalan prinsip reperesentasi dalam hukum kewarisan bagi

kemaslahatan ahli waris, yakni ahli waris pengganti;

f. Ketentuan penanganan sengketa atau perselisihan perkawinan oleh

pengadilan keluarga secara khusus.60

3. Hukum Keluarga di Pakistan Tentang Batas Usia Nikah

Materi hukum keluarga terkait dengan batas usia pernikahan di

Pakistan, dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki

sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Hal tersebut

termaktub dalam Ordonansi No. 8 Tahun 1961 pasal 4, 5 dan 6 ayat 1.

Maka jika terjadi pernikahan antara pria yang berusia diatas 18 tahun

terhadap perempuan di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara

maksimal 1 bulan atau denda maksimal 1000 rupee ataupun keduanya

sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang

menyelenggarakan, memerintahkan atau memimpin pernikahan mempelai

di bawah umur.61

D. Negara Malaysia

1. Profil Singkat Negara Malaysia

Berbicara tentang Negara Malaysia ada keunikan tersendiri.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia menyuguhkan suatu

pengalaman Islam yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat yang

multi-etnik, multi-komunal dan multi-agama tempat bangsa Melayu yang

60

Ibid. 61

Miftahul Huda, Loc.Cit.

162

merupakan 45% dari seluruh penduduknya. Namun demikian bangsa

melayu mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya

terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan yang terbesar

adalah komunitas Cina (35%) dan India (10%). Tidak dapat dielakkan

bahwa keberadaan dua etnik tersebut di Malaysia merupakan produk

sejarah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia (Melayu) berada pada

persimpangan jalur perdagangan Asia Tenggara, Semenananjung Melayu

menjadi pusat berkumpulnya berbagai pengaruh Agama dan Kebudayaan

karena disinilah para pedagang dari India, Arab, dan Cina serta kaum

penjajah Portugis, Belanda dan Inggris membawa serta ajaran Hindu,

Budha, Kristen dan Islam ke Asia sehingga membentuk mozaik

kebudayaan yang sangat kaya warna. Dua proses kebudayaan yang paling

kuat membentuk wilayah tersebut adalah Indianisasi yang berlangsung

selama berabad-abad yang kemudian disusul dengan Islamisasi dari abad

keempatbelas disaat para pedagang Muslim dan para Sufi dari Arab dan

India mengajak para penguasa (sultan) Melayu untuk memeluk Agama

Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara.62

Karena Negara Malaysia juga merupakan bekas daerah jajahan

Portugis dan Belanda yang kemudian disusul dengan kedatangan Inggris

pada akhir abad ke-18. Tentunya hal tersebut nantinya akan berpengaruh

terhadap produk hukum yang dibuat Malaysia, karena tidak menutup

kemungkinan hukum yang dibawa penjajah juga membumi di Malaysia.

Dari beberapa uraian diatas merupakan pijakan penulis untuk membahas

Hukum Keluarga Islam di Malaysia karena disamping menengok sejarah

Malaysia ke belakang tentunya juga harus melihat kondisi sosio politik

yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya itu merupakan faktor

penentu dari produk hukum yang dihasilkan.

Malaysia merupakan Negara bagian yang memiliki tiga belas

Negara Federasi diantaranya Johor, Kedah, Kelantan, Malaka,

62

John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim (Jakarta:

Penerbit Mizan, 1999), h. 165

163

Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak,

Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuan63

diantaranya Kuala

Lumpur, Labuan dan Putra Jaya. Negara Malaysia pernah berada di bawah

kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris

sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada

tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang

sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini

adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits

Settlement ( Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States (

Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States

(Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak

yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan

Malaysia.64

Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal

31 Agustus 1957. Penganut Agama Islam pada tahun 2004 sekitar 60

persen dari keseluruhan jumlah penduduk, sebagian besar umat Islam di

Malaysia bermazhab Syafi'I sekalipun ada juga yang menganut mazhab

Hanafi walau dalam jumlah sedikit. Agama-agama lain yang ada di

Malaysia diantaranya Budha (Cina dan India), Hindu dan Kristen.

Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3

dinyatakan bahwa “Islam adalah agama Federasi”, tetapi agama-agama

lain diterima dan diperkenankan. Dalam konstitusi Malaysia juga

menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam.

Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip

kebebasan beragama.65

63

Wilayah persekutuan adalah salah satu negeri atau wilayah yang membentuk

persekutuan tanah Melayu (Malaysia). Wilayah persekutuan diperintah secara langsung oleh

kerajaan persktuan dibawah kekuasaan Perdana Mentri. Lihat, Taufik Adnan Kamal dan Samsu

Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam Dari Indonesia Hingga Negeria (Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2004) h. 156 64

Ibid. 65

Ibid., h. 157

164

Hal yang menarik dari Konstitusi Malaysia sebagaimana dikatakan

John L. Esposito66

adalah bahwa konstitusi tersebut mengabadikan

identifikasi agama dan etnik (kedudukan istimewa bagi Islam, Sultan dan

kaum Muslim Melayu). Menurutnya konstitusi tersebut mendefinisikan

orang melayu sebagai “Orang yang mengaku memeluk agama Islam,

terbiasa berbicara dengan bahasa melayu, dan menyesuaikan diri dengan

adat-isitiadat Melayu”. Orang-orang melayu menikmati hak istimewa yang

mencakup system kuota Melayu dalam pendidikan, pemerintahan, dan

bisnis.

2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Malaysia

Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia merupakan Negara

multikomunal, Sejak awalnya dengan adanya dua etnis yakni Cina dan

India merupakan masa di mana Malaya dalam proses Indianisasi, yang

kemudian disusul pula upaya Islamisasi dari beberapa pedagang muslim

dan para Sufi dari Arab. Atas dasar itu maka John L. Espositro67

menganggap bahwa sejak periode paling awal di Malaysia, Islam

mempunyai ikatan erat dengan politik dan masyarakat, secara tradisional

di Negara-negara bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan, jika tidak

diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh aura

kesucian agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan

Melayu, memberikan kesadaran tentang agama, nilai-nilai tradisional,

kehidupan pedesaan dan kehidupan keluarga secara terpadu. Lebih jauh

lagi dikatakan bahwa Islam merupakan sumber legitimasi para sultan,

yang memegang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan

pelindung hukum Islam, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai adat. Islam

dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan, menjadi orang Melayu

berarti menjadi Muslim.

Pada saat Melayu dijajah oleh Inggris nilai-nilai Islam sebagaimna

tersebut diatas menjadi terusik, karena memang watak kolonialisme

66

John L. Esposito, Op.Cit., h. 167 67

Ibid., h. 166

165

Inggris adalah politik pecah belah, di samping itu juga adanya upaya

Inggris untuk memisahkan antara agama dan Negara. Hal ini terwujud

dengan diperkenalkannya administrasi sipil dan sistem hukum yang

berbeda dengan sistem hukum dan peradilan Islam. Pada saat yang sama,

masyarakat juga menjadi lebih pluralistis yang disebabkan adanya imigrasi

besar-besaran orang-orang non- Muslim Cina dan India. Usulan –usulan

Inggris kepada serikat Melayu untuk bersatu dengan kesamaan hak warga

negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, karena

dikhawatirkan adanya pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta

pengaruh komunitas Cina dan India.

Dari serentetan gejolak politik bangsa Melayu maka pada saat yang

sama yakni pada tahun 1951 munculah Partai Islam pan Melayu (PMIP :

Pan Malaya Islamic Party) yang kini dinamakan dengan PAS (Partai

Islam Se-Malaysia) yang menawarkan pesan dan program partai yang

menggabungkan nasionalisme Melayu dan Islam.68

Menurut Taufik Adnan

bahwa partai ini lebih bersifat konservatif karena ingin menjadikan Islam

sebagai landasan perjuangannya serta menjadikan Islam yang mereka

pahami sebagai sistem cara hidup sempurna, yang mencakup aturan-aturan

pidana Islam, sebagai konstitusi dan hukum yang berlaku di Malaysia.69

Sementara UMNO (United Malaya National Organization) yang didukung

oleh ABIM70

(Angkatan Belia Islam Malaysia) lebih kepada menggunakan

pendekatan akomodatif dan moderat tetapi tidak kaku dalam memaknai

Islam. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa dalam kancah

perpolitikan nasional Malaysia terdiri dari dua kubu yang bersimpangan

pendangan mengenai Islam. PAS lebih cendurung untuk menjadikan

Negara Islam dalam arti Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai

68

Ibid. 69

Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Loc.Cit 70

ABIM adalah gerakan pemuda Islam yang lebih mendukung UMNO dipimpin oleh

oleh aktivis muda Anwar Ibrahim almunus Universitas Malaysia, diantara pemikirannya adalah dia

tidak sepakat dengan adanya usaha pembentukan undang-undang yang ditawarkan PAS mngenai

khalwat yang dan bagian-bagian kecil lain dari ajaran Islam. Menurutnya bahwa hal yang perlu

mendapat perhatian pada persoalan hubungan komunal, politik dan ekonomi. Lihat, John L.

Esposito, Op.Cit., h. 261

166

hukum yang berdaulat yang berarti syariat Islam menjadi konstitusi

Negara. Sedangkan UMNO dan ABIM lebih kepada upaya menghidupkan

nilai-nilai Islam dalam konteks masyarakat yang pluralis serta bersikap

akomodatif terhadap dua etnis (Cina dan India) yang ada di Malaysia.

a. Sebelum Kekuasaan Inggris

Sebelum datangnya penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia

adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Ada dua bentuk hukum

adat yang berlaku di Malaysia, yakni: (1) Adat Perpateh, yang

mengandung struktur matrilineal, dan (2) Adat Temanggung, yang

mengandung struktur bilateral. Adat Perpateh yang aslinya dibawa

oleh para imigran Minangkabau ke Malaysia sekitar abad 16 berlaku di

wilayah negeri sembilan, Melaka dan daerah Naning.71

Dengan ungkapan lain oleh Abdul Monir bin Yaacob, seorang

yang banyak menulis tentang Perundang-undangan Keluarga Malaysia,

Undang-undang yang berlaku di negara-negara Melayu sebelum

campur tangan Inggris adalah Adat Perpateh untuk kebanyakan orang-

orang Melayu di Negeri Sembilan dan beberapa kawasan Naning di

Melaka, dan Adat Temanggung di bagian-bagian lain Semenanjung.

Sedang orang Melayu di Sarawak mengikuti UU Mahkamah Melayu

Sarawak. UU tersebut sangat dipengaruhi Hukum Islam, khususnya

dalam masalah perkawinan dan perceraian.72

Lebih rinci Yacoob

menulis, pada masa kesultanan Melayu sebelum datangnya pengaruh

Barat, UU yang berlaku di samping hukum Kanun Malaka terdapat

juga beberapa teks Undang-undang Melayu Lama yang dipakai di

beberapa Negeri Melayu, seperti UU Pahang, UU Kedah, UU Johor.

UU Pahang juga dipakai di Negeri Perak dan Johor. Teks Undang-

71

Ismail bin Mat, Adat and Islam in Malaysia: Study in Legal Conflict and Resolution

(Philadelpia: Dissertation di Temple University, 1985) h. 30, 35-37, 50; Abdul Monir b. Yaacob,

An Introduction to Malaysian Law (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1989) h. 27 72

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata…op.cit., h. 101-102; Lihat, Abdul Munir

Yacoob, Pelaksanaan Undang-undang Islam dalam Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil di

Malaysia (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 1995) h. 8-9

167

undang Melayu tersebut dipengaruhi Hukum Kanun Melaka.73

Kanun-

kanun tersebut dapat disimpulkan bersumber pada Adat dan Islam

(Syari‟ah). Bagian-bagian yang dipengaruhi Islam adalah pada bab-bab

perkawinan, jual beli, dan pengadilan.74

Sementara Islam

diimpelementasikan di Malaysia sejak Sultan Malaka pertama

memeluk Islam. Buku yang dipakai ketika itu adalah Fath al-Qarib

oleh al-Qasim al-Ghazi dan Mejelle, yang lahir semasa kekuasaan

Ottoman Turki. Mejelle digunakan pula di beberapa waktu di Johor

dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan diberlakukan di

beberapa pengadilan di negera Johor. Namun perlu dicatat pula bahwa

dalam bidang hukum perdata, telah dilaksanakan oleh sekelompok

pedagang muslim sebelum Sultan Malaka memeluk Islam. Sebab

sultan memberi mereka yurisdiksi untuk melaksanakannya di kalangan

mereka.75

Disebutkan pula bahwa Sultan Malaka melahirkan dua buku

hukum tertulis, yakni Hukum Kanun Melaka dan Risalah Hukum

Kanun, di samping masih ada Undang-undang Laut Melaka. Hukum

Kanun Melaka dan Risalah Kanun Melaka didasarkan pada pandangan

mazhab Syafi‟i.76

Adapun penegak keadilan sebelum masuknya pengaruh Inggris

di Negara Melayu diserahkan kepada raja-raja, orang-orang besar

negeri dan ketua-ketua kampung. Ada bukti seperti di Trengganu dan

Perak yang menunjukkan bahwa Sultan sendiri yang menjalankan

tugas kehakiman sebagai Mahkamah Agung (Mahkamah Rayuan). Di

Kelantan, Mufti dan Kadi menjalankan tugas pengadilan di Pengadilan

Agama (PA) atau Mahkamah Syari‟ah tingkat satu.77

Hal ini berbeda

dengan Negara-negara Selat. Dicatat juga, Kadi dan Mufti diangkat di

73

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 102; Abdul Monir Yacoob, Undang-undang Keluarga

Islam di Malaysia: Perlaksanaan dan Penyeragaman, Paper Seminar Serantau UU Keluarga Islam

dan Wanita, 9-10 Maret 1998, oleh Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), h. 3-4 74

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 102 75

Ibid., h. 102-13 76

Lihat, Sharifah Suhana Ahmad, Malaysian Legal System (Kuala Lumpur: Malayan Law

Journal Sdn Bhd., 1999) h. 3 77

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata… Op.Cit., h. 103

168

Kelantan sejak awal tahun 1830-an. Sebelumnya tugas ini dijalankan

oleh raja.78

Rekaman terawal UU Islam di Malaysia adalah Batu Surat di

Trengganu, yang bertuliskan tahun 702/1303. Undang-undang Batu

Bersurat Trengganu ini memuat sembilan atau sepuluh aturan, yakni

diawali dengan Mukaddimah disertai dengan penetapan pada bulan

Rajab 702 H. Tiga undang-undang pertama hilang karena serpihan batu

tersebut hilang. Aturan keempat berhubungan dengan hutang-piutang

(tetapi agak samar), demikian juga aturan kelima hilang. Aturan

keenam adalah tentang hukuman bagi pelaku zina, yaitu rajam dengan

batu bagi orang yang sudah nikah, dan rotan seratus kali bagi orang

belum nikah. Aturan ketujuh tentang aturan bagi wanita yang kurang

sopan, aturan kedelapan tentang hukuman tuduhan zina antara suami

dan istri, dan aturan kesembilan tentang penetapan, bahwa undang-

undang ini berlaku bagi semua tanpa pandang bulu.79

Dengan

demikian, isi Undang-undang Batu Bersurat ini adalah hukuman bagi

orang-orang yang melakukan kesalahan. Adapun hukuman yang

tertulis dalam Batu Surat ini adalah hukuman bagi orang-orang yang

melakukan kesalahan. Adapun hukuman yang tertulis dalam Batu

Surat ini mengikuti al-Quran dan Sunnah Nabi.80

Yacoob menyebut

bahwa keberadaan Batu Tertulis ini sebagai bukti adanya pengaruh

Islam di Malaysia.81

Sedang Kanun Melaka (disebut juga Undang-

undang Melaka), merupakan UU tertulis kedua, setelah Batu Surat

Trengganu. Meskipun ada yang berpendapat isi Kanun Melaka sebagai

Undang-undang Negara dalam lingkungan Temanggung, tetapi

78

Lihat, Abdullah Alwi Haji Hassan, The Adminstration of Islamic Law in Kelantan

(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996) h. 2-3 79

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 103-104; Lihat, Abdul Karim bin Haji Muhammad,

Sejarah Penulisan Hukum Islam di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996)

h. 2-3 80

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 104; Lihat, Tan Sri Datuk Ahmad Muhamed Ibrahim,

Penghakiman UU Keluarga Islam, Paper Seminar Serantau Undang-undang Keluarga Islam dan

Wanita, tanggal 9-10 Maret 1998, oleh Institut Kesefahaman Islam Malaysia (IKIM), h. 5 81

Khoiruddin Nasution, Loc.Cit.

169

mayoritas berpendapat bahwa Kanun Melaka mengandung unsur

Islam, yang bercampur dengan hukum Adat. Misalnya Abu Hassan

Syams berpendapat Kanun Melaka adalah UU Negara dalam

lingkungan Adat Temanggung. Dasar kajian Abu Hassan adalah

“Risalah Hoekoem Kanoen” edisi S. van Roukel, naskah yang lebih

awal. Menurut Azizah Abdel Razak, kanun ini mengandung hukum

Islam dan Adat, tetapi unsur Islamnya lebih banyak. R.O. Winstedt

mengatakan naskah tersebut mengandung unsur Islam. Menurut Liaw

Yock Fang, S. van Roukel telah menghilangkan empat bab yang

berbicara nikah, dan 13 bab yang menguraikan jual beli. Roukel tidak

menjelaskan sebab-sebab hilangnya. Roukel hanya mencatat bahwa

pasal 24 edisinya adalah pasal 29 dalam naskah lain, dan pasal 27

edisinya adalah pasal 44 dalam naskah lain. Adapun pasal-pasal yang

dihilangkan Roukel, menurut Liaw Yock Fang adalah:

1) Pasal 25 tentang Hukum Perempuan,

2) Pasal 26 tentang Saksi dan Nikah,

3) Pasal 27 tentang Khiyar,

4) Pasal 28 tentang Talak,

5) Pasal 30 tentang Orang Berdagang Dan Mengambil Riba,

6) Pasal 31 tentang Berdagang Tanah,

7) Pasal 32 tentang Muflis,

8) Pasal 33 tentang Hukum Memberi Modal Kepada Seseorang,

9) Pasal 34 tentang Amanah,

10) Pasal 35 tentang Ikrar,

11) Pasal 36 tentang Orang Murtad,

12) Pasal 37 tentang Saksi,

13) Pasal 38 tentang Menuntut dan Yang Dituntut,

14) Pasal 39 tentang Jenayah Membunuh,

15) Pasal 40 tentang Zina, dan

170

16) Pasal 41 tentang Memaki Anak Haram (Anak Zina).82

Sejalan dengan pandangan Azizah Abdel Razak dan Liaw Yock

Fang, adalah pendapat Abu Bakar Abdullah, bahwa Kanun Melaka

mengandung unsur Undang-undang Islam. Kesimpulan diambil setelah

mempelajari tiga naskah Kanun Melaka, yakni: (1) naskah van Roukel,

yang mengandung 17 pasal, (2) naskah dari Musium British yang

berisi 40 pasal, dan (3) naskah Liaw Yock Fang yang berisi 44 pasal.

Adapun pasal-pasal yang mengandung unsur Islam menurut Abu Bakar

Abdullah, adalah:

1) Undang-undang tentang Jenayah,

2) Undang-undang tentang Muamalah,

3) Undang-undang tentang Keluarga, dan

4) Undang-undang tentang Hukum Acara, yang jumlahnya 28 pasal.83

M. B. Hooker, yang juga mendasarkan kajiannya pada versi

Liaw Yock Fang, membagi isi Undang-undang Melaka kepada enam

kelompok, yakni:

1) Hukum Umum [pasal 1 s/d 23 (1)];

2) Hukum Kelautan [pasal 23 (2-5) s/d 24 (1-2) + 29];

3) Hukum Perkawinan [pasal 25 s/d 28];

4) Muamalat dan Acara [pasal 30 s/d 43 (1)];

5) Hukum Tatanegara [pasal 43 (2) s/d 44 (1-8); dan

6) Hukum Johor [pasal 44 (9-11)].

Sebenarnya di kelompok Muamalat dan Acara dimasukkan juga

hukum Jinayat, yakni pasal 39 s/d 42. Pada bagian pertama pun

menurut Hooker ada unsur ajaran Islam, yakni pada pasal 5 (1) s/d 16

(1).84

Karena itu Yacoob mengatakan, pada masa kesultanan Melayu

sebelum datangnya pengaruh Barat, kerjaan Melaka memerintah

82

Ibid. 83

Ibid., h. 105-106 84

Ibid., h. 106

171

mengikuti Hukum Kanun Malaka yang bercampur antara Islam dan

Adat.85

Hukum Kanun Pahang adalah Undang-undang Islam tertulis

ketiga. Adapun kegiatan penulisan Hukum Kanun Pahang menurut

para sejarawan, dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Abdul

Ghafur Muhayyudin Shah Pahang (1592-1614). Kanun ini merupakan

lanjutan dari Hukum Kanun Melaka. Namun Hukum Kanun Pahang

diketahui dari dua naskah yang tersimpan di negeri Perak. Atas usaha

British kedua naskah itu disalin, yang kemudian salinannya dibawa ke

Inggris. Kedua peninggalan Maxwell dan tersimpan di perpustakaan

Royal Asiatic London. Manuskrip pertama dikenal dengan halaman 17,

sedangkan manuskrip kedua dikenal dengan halaman 20.86

Manuskrip 17 disalin tahun 1926/1879, untuk Maxwell yang

menjadi Residen British di Larut, Perak. Manuskrip ini disalin dari

manuskrip yang dimiliki bendahara, yang kemudian dikenal dengan

Sultan Idris ibn Raja Iskandar, dan disalin oleh seseorang yang

bergelar Fakih Si Raja Mantri dari Melaka tahun 1234/1819.

Penyalinan untuk Maxwell tidak dinyatakan. Sementara naskah kedua

disalin tahun 1300/1884 oleh Luakang bin Muhammad Rasyid yang

bertuliskan (tercatat) 1248/1832, milik Dato Sri Adika Raja.87

Hukum Kanun Pahang ini mempunyai pasal yang lebih banyak

dari Hukum Kanun Melaka, yakni 93 pasal. Namun menurut Abu

Bakar Abdullah, Hukum Kanun Pahang ini hanya memuat 65 pasal.88

Sayangnya belum ada data pembanding untuk menentukan mana di

antara kedua pendapat ini yang sesuai dengan fakta sejarah.

Undang-undang berikutnya yang mengandung unsur Islam di

Malaysia adalah Undang-undang Sembilan puluh Sembilan. Undang-

85

M.B. Hooker, Islamic Law in South-East Asia (Oxford, New York, Singapore: Oxford

University Press, 1984) h. 9-15 86

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 108 87

Ibid., h. 108-109 88

Ibid., h. 109

172

undang ini terdapat di Perak. Menurut J. Rigby, undang-undang ini

dibawa oleh Syed Hasan ke Perak ketika negeri itu berada di bawah

pemerintahan Sultan Ahmad Tajuddin Shah dan Tuan Syed Abdul

Majid sebagai menterinya. J. Rigby yang bertanggung jawab

menerjemahkan Undang-undang Sembilan puluh Sembilan ke dalam

bahasa Inggris tidak menyatakan dengan tepat tahun penetapan

undang-undang ini dibawa ke Perak. Hanya saja disebutkan undang-

undang ini dibawa masuk pada masa pemerintahan Sultan Ahmad

Tajuddin Shah dan Tuan Syed Abdul Majid sebagai menterinya.

Sementara berdasar sejarah Sultan Ahmad Tajuddin Shah memerintah

pada tahun 1577 sampai dengan 1584 ketika Perak berada di bawah

kekuasaan (takluk) Aceh, dan merupakan Sultan Perak ke-3. Karena

itu mestinya undang-undang ini disalin dan digunakan tidak lebih dari

tahun 1584. Dengan demikian, pernyataan buku ini dibawa ke Melayu

pada abad ke-17, dan dilaksanakan pada abad ke-18 tidak sejalan

dengan fakta sejarah.89

Menurut R.O. Wistedt undang-undang ini dibawa ke Perak oleh

Syed Husein pada abad ke-17 selanjutnya dicatat:

“The fullest and most interesting of these laws the Ninety nine law of

Perak, purport to have been brought to Malay in the seventeenth

century by a Sayyid Husein al-Faradz of the great Hadramaut house of

Ahmad bin Isa al-Muhajir and to have been used by his descendants,

who form the middle of the eighteenth century held the post of Mantri

in Perak for several generations.”90

Meskipun ada pendapat yang mengatakan undang-undang ini

secara tidak langsung dipengaruhi oleh undang-undang Melaka dan

undang-undang negeri Melayu lainnya, akan tetapi undang-undang ini

89

Ibid., h. 109 90

Ibid., h. 110

173

ditulis dalam bentuk soal jawab antara Raja Nushirwan dengan

menterinya Buzurjumhur.91

Menurut Abu Bakar Abdullah, bentuk susunan undang-undang

ini kira-kira sama dengan isi kitab al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatwa al-

Ahkam wal Tasarrufat al-adi wal Imam, karangan Imam al-Qarafi,

pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Hanya saja kitab ini berisi 40

soal jawab, semntara undang-undang Perak berisi Sembilan puluh

Sembilan soal jawab.92

Dengan demikian, Hukum Kanun Pahang dan Undang-undang

Sembilan puluh Sembilan termasuk di antara undang-undang Melayu

lama, di samping undang-undang Kedah dan Undang-undang Johor.

Sayang tidak ditemukan penjelasan tentang keberadaan undang-undang

Kedah dan Undang-undang Johor.

Kemudian Perundang-undangan Islam ini diikuti dengan kitab

Shirot al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniry,93

kemudian kitab

Syekh Abdul Rauf al-Fansury yang berjudul Mira‟atul al-Thulab li

Ma‟rifati asy-Syari‟ati al-Maliki al-Wahab.94

Sepanjang kekuasaannya di Semenanjung Melayu (dengan

ditaklukkannya Melaka pada tahun 1511)95

, Portugis mengambil dan

menggunakan Undang-undang Melaka dengan beberapa perbaikan ke

negeri-negeri Melayu, seperti Pahang, Johor, Kedah dan Berunai.96

Pada kesempatan lain Yacoob menulis, penjajah Portugis dan Belanda

(1641) tidak begitu jelas (maksudnya barang kali tidak begitu banyak)

merubah undang-undang dan adat Melayu, bahkan menjadi kebijakan

bagi keduanya untuk memperlakukan dan mengamalkan undang-

undang dan adat Melayu. Berbeda dengan Inggris yang sangat

91

Ibid. 92

Ibid. 93

Abdul Kadir bin H. Muhammad, Op.Cit., h. 22 94

Khoiruddin Nasution, Loc.Cit. 95

Richard O. Wintedt, A history of Melaya (Singapore: Marican & Sons, 1962) h. 56 96

Ahmad Muhammad Ibrahim, Op.Cit., h. 6

174

mempengaruhi Perundang-undangan Malaysia.97

Hanya saja seperti

dicatat Yacoob pada masa penjajahan Portugis hubungan Islam dengan

Kerajaan terputus.98

Dengan demikian dapat disimpulkan, baik Belanda maupun

Portugis tidak melakukan perubahan yang berarti terhadap undang-

undang dan adat yang sudah berlaku di Malaysia selama ke dua Negara

ini menjajah Malaysia.

b. Masa Kekuasaan Inggris

Berbeda dengan Portugis dan Belanda yang tidak banyak

mempengaruhi UU dan Adat Malaysia, Inggris99

sangat mempengaruhi

perundang-undangan dan hukum adat Malaysia. Ketika berkuasa di

Malaysia, Inggris memperkenalkan dan menggunakan UU Inggris

secara berangsur-angsur, yang akhirnya menggantikan UU Islam.100

Untuk mempermudah pembahasan tentang perkembangan Perundang-

undangan Perkawinan dan Perceraian pada masa penjajahan Inggris ini

diurutkan sesuai dengan pembagian Malaysia di bawah kekuasaan

Inggris sebelum merdeka, yakni (1) Negara-negara Selat; (2) Negara-

negara Melayu Bersatu; dan (3) Negara-negara Melayu Tidak

Bersatu.101

1) Negara-negara Selat

Negara-negara Selat terdiri dari tiga wilayah jajahan

Inggris, yaitu: (1) Pulau Pinang, (2) Melaka, dan (3) Singapura.

Penyatuan ketiga negara ini menjadi satu, dengan nama Negara-

negara Selat terjadi pada tahun 1826, yang dikepalai oleh

Governor. Pada tahun 1826 tiga negara; Pulau Pinang, Melaka dan

Singapura, disatukan dengan nama Negara-negara Selat, dengan

97

Ibid. 98

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 111 99

Meskipun secara resmi Inggris berkuasa di Malaysia tahun 1786, tetapi sejak abad ke-

16 sudah banyak pelancong-pelancong Inggris yang berkmukim di Malaysia. Isma‟il bin Mat,

op.cit., h. 46-47 100

Ahmad Muhamed Ibrahim, Op.Cit., h. 6 101

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 112

175

ibukota Goerge Town (Pulau Pinang). Negara Singapura akhirnya

dipindah ke Singapura pada tahun 1832 sebagai akibat dari

semakin berkembangnya. Termasuk juga negara-negara Selat

adalah: (i) Dinding, (ih) Labuan, (iii) Pulau Kukus, dan (iv) Pulau

Chritsmas.102

Tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum

perkawinan dan perceraian Islam dalam Mohammedan Marriage

Ordinance, No. V tahun 1880. Isi Undang-undang ini, bahwa

perkawinan dan perceraian di kalangan orang Islam harus

didaftarkan, dan yang berkuasa mendaftar adalah kadi, meskipun

keputusan kadi dan pendaftar boleh direvisi atau dimodifikasi atau

dirubah Governor, sebab Governor adalah pemegang Mahkamah

Agung. Undang-undang ini terdiri dari 4 bab dan 33 pasal.103

Undang-undang ini diperbarui pertama kali tahun 1894,

Mohammedan Marriage Ordinance (Amandement), No. XIII tahun

1894. Kemudian diperbarui lagi tahun 1902, dengan Ordinance

No. XXXIV tahun 1902. Isi Ordinance ini adalah memberikan

kuasa kepada Governor untuk melantik pendaftaran perkawinan di

masing-masing Negara-negara Selat. Kemudian Ordinance No.

XXXIV tahun 1902 diperbarui lagi tahun 1908, dengan The

Mohammaden Marriage Ordinance tahun 1908. Ordinance

XXV/1908 yang memperbaiki Ordinance No. V, 1880, berisi:

a) Mewajibkan suami-istri membuat pendaftaran perkawinan dan

perceraian dalam tempo tujuh hari setelah akad nikah, yang

kalau dilanggar dapat dihukum dengan denda 25 ringgit;

b) Memberikan kuasa kepada Governor melantik dan memecat

kadi;

102

Ibid., h. 113 103

Ibid., h. 114; Lihat juga Ahmed Mohamed Ibrahim & Abdul Monir Yaacoob, The

Administration of Islamic Laws (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Undestanding Malaysia

(IKIM), 1997) h. 24

176

c) Melantik kadi sebagai pembantu Pendaftaran Perkawinan dan

Perceraian;

d) Memberikan kuasa kepada kadi untuk menyelesaikan masalah

nafkah yang tidak melebihi dari 50 ringgit; dan

e) Masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan dan

perceraian.104

Perbaikan berikutnya dilakukan dengan lahirnya The

Muhammaden Marriage Ordinance No. XVII tahun 1909, yang

isinya memberikan kekuasaan kepada Governor Negeri-negeri

Selat untuk melantik dua orang kadi atau lebih bagi setiap daerah

untuk mengurus masalah perkawinan dan perceraian. Pada tahun

1917 diperbarui lagi dengan The Muhammaden Marriage

Ordinance No. 4 tahun 1917, yang isinya memberikan

kemungkinan kepada pendaftar untuk memutuskan hal-hal yang

berhubungan dengan: (i) taklik, (ii) mas kawin, dan (iii) nafkah.105

The Mohammaden Marriage Ordinance tahun 1908, dengan

segala pembaruannya akhirnya dimasukkan ke dalam Ordinance

No. 26 tahun 1920. Kemudian diperbarui lagi dengan Ordinance

No. 26 tahun 1923, yang berisi tentang diberlakukannya hukum

waris Islam. Undang-undang ini diperbarui dan direvisi yang

kemudian melahirkan Ordinance No. 26, Revised Law 1926. Isi

undang-undang ini lebih banyak dibandingan dengan isi undang-

undang 1908, yakni 51 masalah banding 30. 106

Pada tahun 1934 Ordinance 1926 diperbarui lagi, dengan

(1) membuang kata “Mohamedan” dan “Mohamedans” dengan

“Mohammedan” dan “Mohammedans”, di samping juga (2)

memberikan kuasa kepada kadi untuk menyelesaikan masalah

nafkah dalam perceraian tanpa batas. Akhirnya semua aturan

dengan pembaruannya dimasukkan dalam chapter 57 Resived Law

104

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 115 105

Abdul Kadir bin Haji Muhammad, Op.Cit., h. 103 106

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 116

177

of Straits Settlements tahun 1936. Chapter ini dikenal dengan

Mohammedans Ordinance tahun 1936. Ordinance baru ini berisi 4

bab (bagian) da 51 masalah (peruntukan). Ordinance ini dipakai

sampai akhirnya lahir undang-undang baru tahun 1959, yaitu

dengan merdekanya Negeri-negeri Selat (Melaka dan Pulau

Pinang) bersama dengan Negeri Melayu lainnya. Melaka membuat

Undang-undang sendiri, yang dikenal dengan The Administration

of Muslim Law Enactment No. 1 tahun 1959. Demikian juga Pulau

Pinang dengan The Administration of Muslim Law Enactement No.

3 tahun 1959.107

Kedua undang-undang baru ini mempunyai 10

bab, tetapi mempunyai jumlah pasal berbeda, di mana Pulau

Pinang mempunyai 172 pasal, sementara Melaka mempunyai 171

pasal. Adapun isinya secara garis besar, adalah:

Bab I : Pendahuluan;

Bab II : Majlis;

Bab III : Mahkamah Agung;

Bab IV : Keuangan;

Bab V : Masjid;

Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;

BabVII : Nafkah;

Bab VIII : Orang-orang yang memeluk Islam;

Bab IX : Kesalahan-kesalahan; dan

Bab X : Ketentuan Umum.108

2) Negara-negara Melayu Bersekutu

a) Perak

Sejak lahirnya Majlis Mesyuarat Negeri, semua

peraturan UU dikeluarkan dengan kuasa raja-raja dalam

mesyuarat termasuk masalah-masalah penetapan Persoalan

Agama Islam, pelantikan Hakim, serta penetapan Pengadilan

107

Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 199 108

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 116-117

178

Agama (Mahkamah Syariah). Perkembangan ini menunjukkan

bahwa pemakaian hukum Islam mulai dibuat dalam bentuk

Perundang-undangan, sama seperti UU Inggris yang dipahami

di Negeri-negeri Melayu, yaitu lewat penetapan Pengadilan.109

Dengan nasihat pihak Inggris, raja-raja Melayu

mengangkat hakim-hakim Inggris yang berpengalaman dalam

UU Inggris menjadi ketua-ketua Pengadilan. Apabila para

hakim ini menemukan masalah yang tidak dapat diselesaikan

(dengan UU tertulis) mereka sering merujuk pada UU Inggris.

Akhirnya dalam prakteknya dapat dikatakan UU Inggris

mengambil alih UU Islam sebagai UU Negeri. Ordinance UU

Sivil 1956, adalah Ordinance yang menetapkan Pengadilan

Umum mungkin (boleh) menggunakan Common Law Inggris

terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukum tertulis.110

UU Islam diserahkan kepada Pengadilan Agama kecuali

masalah warisan. Karenanya tetap terjadi dualisme dalam

sistem UU di Malaysia. Tetapi dalam praktiknya penggunaan.

Common Law Inggris bukan saja dalam masalah-masalah yang

tidak tertulis, tetapi juga dalam menafsirkan UU tertulis.111

Akibat dari lahirnya Akta 1956 (Ordinance UU Sivil

1956) UU Inggris menjadi UU Pokok dan mengambil alih UU

Islam. UU Islam hanya dikenakan kepada orang Islam dan

pada kasus-kasus yang sangat terbatas, yaitu Hukum Keluarga

dalam pengertian yang sangat sempit.112

Enakmen yang diperkenalkan kepada Negara-negara

Selat (Pulau Pinang dan Melaka) kemudian diperkenalkan juga

kepada Negara-negara Melayu Bersekutu. Undang-undang

pertama yang diperkenalkan Inggris tentang perkawinan di

109

Ibid., h. 118-119 110

Ibid., h. 119 111

Ibid. 112

Ibid., h. 119-120

179

Negara-negara Melayu Bersekutu adalah pada tahun 1885,

dengan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces

Enactment 1885. Pada tahun 1900 kerajaan Negeri-negeri

Melayu Bersekutu menetapkan Undang-undang The

Muhammadan Marriages and Divorce Registration Enactment

1900, yang disahkan di Perak dengan Enakmen No. 2 tahun

1900 Negeri Perak.113

Dengan demikian, sejak kedatangan

Inggris Mohammadan Marriage and Divorce Registration

Enactment 1900 adalah UU Islam pertama yang asli dibuat dan

disahkan untuk Negeri-negeri Melayu Bersekutu (Yakni Perak,

Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang). Sebelumnya UU bagi

orang Islam adalah Registration of Mohammaden Marriage and

Divorce Ordinan in Council of Perak 1885.114

Enactment 1900 diperbarui tahun 1915 oleh Negeri-

negeri Melayu Bersekutu, yang disahkan di Negeri Perak lewat

Enakmen No. 2 tahun 1915, Negeri Perak. Kemudian pada

tahun 1927 Negeri Perak memperbarui The Mohammadan

Marriage and Divorce Registration Enactment 1900, yang

disebut dengan The Muhammadan Marriage and Divorce

Registration (Amandment) Enactment No. 1 tahun 1927.115

Pada tahun 1954 Enakment Chapter 197 yang telah

melalui pengubahan nama pada tahun 1935 dirubah lagi, yang

disebut The Muslim Marriage and Divorce Registration

(Amandment) Enactment 1954 No. 2. Perbaikannya adalah

dengan memasukkan kata “two dollars” sebagai ganti “twenty

Ice cents”, di pasal 3 dan 4, dan menambah tiga sub bab pada

pasal 5, yaitu bayaran satu ringgit mesti dibayar kepada kadi

atau naib untuk setiap surat perceraian yang dikeluarkan.116

113

Abdul Kadir bin Haji Muhammad, Op.Cit., h. 107 114

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 120 115

Ibid. 116

Ibid.

180

Akhirnya pada tahun 1965 UU No. 2 tahun 1954 diganti

dengan UU Pentadbiran Agama Islam 1965, yang ditetapkan

dengan No. 11 tahun 19 Negeri Perak, yang dalam bahasa

Inggrisnya disebut The Administration of Muslim Law

Enactment No. 11 of 1965. UU ini berisi 10 bab dan 192

pasal.117

b) Selangor

Enakmen terawal tentang perkawinan dan perceraian

yang diperkenalkan di Selangor118

adalah Order in Council of

June 14, 1884, yang berisi: (1) pelantikan kadi, (2) pendaftaran

perkawinan, perceraian dan kematian di kalangan orang Islam.

Tahun 1900 The Muhammadan Marriage and Divorce

Registration yang dilakukan oleh Negara Federal Malaysia ikut

ditetapkan di Selangor, dengan Enactment No. 8 tahun 1900

dan dilaksanakan melalui Enakmen No. 3 tahun 1915, yang

berarti menghapus The Registration of Muhammadan Merriage

and Divorce Enactment 1885. Enakment 1900 diganti lagi

tahun 1924, dengan The Muhammadan Marriage and Divorce

Registration (Amandment) Enactment No. 1 tahun 1924, yang

isinya kadi dapat mengubah atau memperbaiki kesalahan pada

buku pendaftaran perkawinan dan perceraian.119

Undang-undang No. 1 tahun 1924 ini dihapus lagi

dengan lahirnya The Muhammadan Marriage and Divorce

Registration Enactment 1930. Enakmen ini berisi 12 pasal,

yang secara umum hanya mengatur tentang pendaftaran

perkawinan. Kemudian disebutkan dalam pasal 3 bahwa juru

117

Ibid., h. 122 118

Pada abad ke-18 Selangor mempunyai raja sendiri. Sejarah Selangor penuh dengan

rekaman perang saudara dan diserang oleh bajak laut. Selangor akhirnya mendapat perlindungan

dari Inggris, dan tahun 1882 Frank Sweltenham diangkat menjadi Residen Inggris, setelah

sebelumnya bertugas sebagai penasehat dan hakim Mahkamah sejak tahun 1873. Salleh Abbas,

op.cit., h. 18 119

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 121

181

nikah tidak boleh melakukan akad nikah sebelum dapat izin

dari wali perempuan. Jadi baru dalam undang-undang ini

ditemukan aturan tentang materi hakum perkawinan. Adapun

isi lebih rinci Enakmen ini ditulis Abdul Monir Yaacob:

Bab I : Pendaftaran Perkawinan dan Perceraian,

Bab II : Pengadilan Agama (Mahkamah Syari‟ah),

Bab III : Hukum bagi orang yang melanggar ketentuan yang

ada dalam UU.120

Abdul Monir Yaacob menambahkan isi lain dari UU

ini, yakni aturan tentang pengesahan perkawinan yang

dilakukan sesuai dengan syari‟ah meskipun caranya

bertentangan dengan aturan UU Pendaftaran perkawinan dan

perceraian (chapter 197). Dengan demikian isi chapter 197

tahun 1935 berbeda antara satu negara dengan negara lain.121

Akhirnya Undang-undang Islam yang dibuat di masa

kekuasaan Inggris, dengan segala perbaikannya, dimasukkan

kepada The Administration of Muslim Law Enactment No. 3

Tahun 1952, yang terdiri dari 10 bab dan 180 pasal sebagai

berikut:

Bab I : Pendahuluan (beberapa istilah penting yang ada

dalam Enakmen);

Bab II : Majlis dan Tugasnya;

Bab III : Mahkamah Agama (jenis dan bidang

kekuasaannya);

Bab IV : Keuangan (Baitul Mal, Wakaf dan Zakat);

Bab V : Masjid;

Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;

120

Ibid., h. 122-123 121

Ibid., h. 123-124. Perlu dicatat, Abdul Monir Yaacob menunjuk UU ini dengan

Mohammaden Marriage and Divorce Enactment 1936, dan tetap mencantumkan chapter 197.

Maka tidak diragukan maksud Yaacob adalah Enactment Chapter 197 tahun 1935. Lihat, Abdul

Monir Yaacob, UU Keluarga Islam, h. 11-12

182

Bab VII : Nafkah (dalam perkawinan atau pasca perkawinan,

termasuk nafkah anak);

Bab VIII : Orang yang Memeluk Islam;

Bab IX : Hukuman bagi Pelanggar; dan

Bab X : Ketentuan Umum.122

c) Negeri Sembilan

The Muhammadan Marriage and Divorce Registration

1900 diperkenalkan di Negeri Sembilan123

dengan Enakment

No. 5 tahun 1900, yang kemudian diperbaiki tahu 1925, yang

dilaksanakan melalui Enakment No. 1 tahun 1925, dan

disatukan dalam Chapter 197 of The Revised Law of The

Federated Malay States, yang kemudian diperbarui lagi pada

tahun 1952, di mana kata “Muhammadan” diganti “Muslim

Law”, ditambah perbaikan kecil. Akhirnya semua Undang-

undang tersebut disatukan menjadi satu undang-undang yang

disebut The Administration of Muslim Law Enactment No. 15

tahun 1960,124

yang berisi 10 bab dan 174 pasal. Adapun

isinya, sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan;

Bab II : Majlis;

Bab III : Mahkamah;

Bab IV : Keuangan;

Bab V : Masjid;

Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;

Bab VII : Nafkah;

Bab VIII : Orang Memeluk Islam;

122

Khoiruddin Nasution, op.cit., h. 121; Lihat, Abdul Kadir bin Haji Muhammad, Op.Cit.,

h. 121; Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 199 123

Negeri Sembilan, awalnya tunduk di bawah pemerintahan Melaka. Ketika Melaka

jatuh di tangan Portugis, Negeri Sembilan masuk ke Johor. Karena di negara ini selalu perang

saudara sejak abad ke-18 dan 19, tahun 1889 negara ini mendapat perlindungan dari Inggris. Lihat,

Salleh Abas, Op.Cit., h. 18 124

Tahir Mahmood, op.cit., h. 199; Mrs. M. Siraj, Op.Cit., h. 222

183

Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan

Bab X : Ketentuan Umum.125

d) Pahang

Pahang126

yang dikuasai Inggris sejak tahun 1888,

diperkenalkan The Muhammadan Marriage and Divorce

Registration 1900 dengan Enakment No. 13 tahun 1900, dan

merupakan Enakmen terawal diperkenalkan di Pahang, yang

kemudian diperbaiki tahun 1920 dengan No. 1 tahun 1920.

Perbaikannya adalah tentang masa melaporkan akad nikah, di

mana dalam Enakmen 1900 mesti dilaporkan dalam masa tujuh

hari, sementara dalam Enakmen 1920 harus dilaporkan dalam

masa tiga hari. Enakmen ini diperbaiki lagi tahun 1922, dengan

Enakmen No. 1 tahun 1922, dan lagi pada tahun 1924, dengan

Enakmen No. 1 tahun 1924, yang kemudian menjadi Undang-

undang Pendaftaran perkawinan dan perceraian chapter 197.

Kemudian diperbaiki lagi tahun 1949, lewat Enakmen No. 3

Tahun 1949. Aturan ini salah satunya membahas soal

pemungutan biaya untuk surat perkawinan dan perceraian.127

Pada tahun 1951 diperbaiki lagi dengan Enakmen No. 2

tahun 1951, di mana kata “Muhammadan” diganti dengan

“Muslim”, yang akhirnya disatukan dalam The Administration

of The Law of The Religion of Islam Enactment No. 5 tahun

1956, yang diperbarui dengan No. 12 tahun 1963. Enakmen

tersebut berisi 10 bab dan 178 pasal, perinciannya sebagai

berikut:

Bab I : Pendahuluan;

Bab II : Majlis;

125

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 121 126

Awalnya Pahang ada di bawah pemerintahan Melaka. Ketika Melaka dijajah oleh

Portugis, Pahang masuk menjadi bagian dari Johor. Sejak mempunyai raja sendiri tahun 1882,

Pahang memisahkan diri dari Johor. Pada tahun 1888 Pahang mendapat perlindungan dari Inggris.

Lihat, Salleh Abas, Op.Cit., h. 19 127

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 125-126

184

Bab III : Mahkamah;

Bab IV : Keuangan;

Bab V : Masjid;

Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;

Bab VII : Nafkah;

Bab VIII : Orang Memeluk Islam;

Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan

Bab X : Ketentuan Umum.128

3) Negara-negara Melayu Tidak Bersekutu

Keberadaan Undang-undang perkawinan dan perceraian di

Negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu (Kelantan, Terengganu,

Kedah, Perlis dan Johor)129

, disebut juga Negara-negara Bernaung,

pada prinsipnya sama dengan Negeri-negeri Selat dan Negeri-

negeri Melayu Bersekutu.

a) Kelantan

Undang-undang pertama yang mengatur tentang

perkawinan dan perceraian di Kelantan130

adalah The Divorce

Regulation of 1325 H. (1907), yang bertanggal 2 Rabiu al-

Awwal 1325 H. Kemudian pada tahun 1909 diadakan undang-

undang baru, dengan nama Undang-undang Orang Yang

Hendak Bercerai laki-bini dan lain-lainnya, 1327 H No. 6

tahun 1327. Lahir lagi tentang pendaftaran perkawinan pada

128

Ibid., h. 126-127 129

Kelompok Negara-negara Melayu tidak Bersekutu adalah Kedah, Perlis, Kelantan dan

Terengganu. Sebelum berlindung di bawah kekuasaan kerajaan Inggris, negara-negara ini

berlindung di bawah kekuasaan kerajaan Siam. Berdasar Perjanjian Bangkok, negara-negara ini

diserahkan kerajaan Siam kepada Inggris. Negara Johor juga mendapat perlindungan dari Inggris

pada tahun 1885, dan tahun 1914 Johor menerima Pegawai Penasehat Inggris. Kekuasaan

memerintah berada di tangan Sultan masing-masing, tetapi roda pemerintahan dijalankan oleh

seorang pegawai Melayu yang bergelar Menteri Besar. Sistem pemerintahan seperti ini berjalan

sampai perang dunia kedua, tahun 1940. Salleh Abas, Op.Cit., h. 23 130

Kelantan dan Terengganu awalnya tunduk kepada Melaka. Ketika Melaka jatuh,

Kelantan dan Terengganu masuk perlindungan Siam. Setiap tahun kedua negara ini mengantar

upeti atau bunga mas kepada Kerajaan Siam. Akhirnya sama dengan Kedah dan Perlis, pada tahun

1909 kedua negara ini mendapat perlindungan dari Inggris. Karena itu, satu perjanjian

ditandatangani kerajaan Siam dan Inggris tahun 1910. Ibid., h. 19

185

tahun 1911, yang dikenal dengan nama An Enactment of

Provide for The Regulation of Marriage and Divorces of

Muhammadans, No. 1 tahun 1911. Kemudian lahir Undang-

undang tentang poligami, yakni Notice No. 15 tahun 1914.

Adapun isinya, sebagai berikut:

i. Siapa yang akan melakukan poligami kecuali keluarga

raja, harus lebih dahulu membuat surat pernyataan di

depan Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah), bahwa

yang bersangkutan akan berlaku adil kepada semua

istrinya serta menanggung nafkah mereka;

ii. Bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum denda

100.00 ringgit atau penjara dua bulan;

iii. Orang yang hadir dan kadi dalam perkawinan tersebut

dapat dihukum denda 200.00 ringgit atau tiga bulan

penjara.131

Kemudian pada tahun 1916 muncul lagi aturan baru,

The Notice on Matters Relating to Marriage, Divorce,

Recohabitation and Ta‟lik, yakni Notice No. 18 tahun 1916,

yang diikuti dengan The Marriage and Divorce Muslims 1917

(Amandment) No. 21 tahun 1917. Pada tahun 1919 muncul

undang-undang perkawinan orang Kelantan dengan orang

India, The Regulation of Marriage Between Kelantanese and

Indian, UU No. 27 tahun 1919. Undang-undang ini dilengkapi

dengan undang-undang tentang pembagian harta antara suami

dan istri, Muhammadan Devision of Property Between

Husband and Wife of 1919 Notification No. 33 of 1919.132

Kemudian semua undang-undang digabungkan ke

dalam Enactment No. 21 tahun 1938, yang bertanggal 16

Agustus 1938, yang ditetapkan oleh A.C. Baker, seorang

131

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 128-129 132

Ibid., h. 129-130

186

penasehat Inggris di Kelantan, yang di dalamnya diatur nafkah

istri dan anak dari suami, baik selama masih kawin atau masa

iddah. Enactment ini kemudian diikuti dengan Enactment No.

22 tahun 1938, yang dikenal dengan The Moslem Marriage and

Divorce Enactment 1938, yang terdiri dari 4 bab dan 30 pasal,

sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan;

Bab II : Perkawinan;

Bab III : Perceraian;

Bab IV : Ketentuan Umum

Pada bagian perkawinan disebutkan:

i. Hanya orang yang sudah dilantik yang dapat melakukan

akad nikah (pasal 4);

ii. Perkawinan harus dengan persetujuan perempuan dan

walinya (pasal 5);

iii. Perkawinan harus didaftarkan dalam tempo tujuh hari

dari akad nikah, dan bagi yang melanggar dapat dihukum

denda maksimal 25.00 ringgit atau penjara maksimal

satu bulan (pasal 8).

Dalam Enakment 1938 ini diatur juga tentang:

i. Perkawinan orang Kelantan dengan bukan orang

Kelantan (pasal 11);

ii. Rujuk (pasal 12);

iii. Mengingkari pertunangan (pasal 13);

iv. Perceraian talak tiga (pasal 14).

Dalam hubungannya dengan perceraian, disebutkan:

i. Suatu perceraian harus dilaporkan dalam masa tujuh hari

untuk perceraian hidup, empat puluh lima hari untuk

perceraian mati (pasal 16);

ii. Mengenai fasakh atau tebus talak (pasal 17);

iii. Permohonan cerai dalam masa nikah taklik (pasal 18);

187

iv. Mut‟ah kepada istri yang dicerai (pasal 19);

v. Pelantikan orang yang akan menyelesaikan perselisihan

(pasal 20);

vi. Peraturan dan tanggung jawab pendaftar dalam

menjalankan tugasnya yang melibatkan pendaftar (pasal

21 s/d 28).

Kemudian ada Enakmen No. 8 tahun 1950, The Married

Women and Children (Maintenance) Exemption Enactment.

Sesudah itu muncul penyatuan Perundang-undangan dengan

lahirnya The Council of Religion and Malay Custom and

Kathis Court Enactment No. 1 tahun 1953, yang berisi 10 bab

dan 206 pasal, sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan;

Bab II : Majlis;

Bab III : Mahkamah;

Bab IV : Keuangan;

Bab V : Masjid;

Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;

Bab VII : Nafkah;

Bab VIII : Orang Memeluk Islam;

Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan

Bab X : Ketentuan Umum.133

b) Terengganu

Undang-undang pertama tentang perkawinan

diperkenalkan di Terengganu adalah undang-undang

pendaftaran perkawinan dan perceraian, yang dikenal dengan

Undang-undang Mendaftarkan Nikah dan Cerai Orang-orang

Islam, Bil. 6 Tahun 1340 H. (1922). Undang-undang yang

ditulis dalam bahasa Melayu (Jawi dan Rumi) ini berisi 11

133

Ibid., h. 131-132; Abdullah Alawi, Op.Cit., h. 49

188

pasal dan hanya berlaku bagi Muslim (pasal 2). Di antara

isinya adalah: (1) Sultan berhak melantik Pendaftar dan Naib

Pendaftar nikah dan cerai di antara orang Islam; (2) bagi yang

melanggar dapat dihukum maksimal 50.00 ringgit; dan (3)

memuat aturan pendaftaran danjumlah bayaran pendaftaran

(pasal 3-11).134

Kemudian pada tahun 1345 H. (1926) lahir Undang-

undang Nusyuz, dan Mahkamah Kadi dengan peraturan Bil. 2

Tahun 1348 H, bertepatan dengan 1 Januari 1930. Peraturan ini

memuat tanggung jawab suami istri sesuai dengan ajaran

Islam. The Muhammadan Marriage and Divorce Registration

Enactment 1937, yang kemudia dimasukkan dalam chapter 91

Undang-undang Terengganu, adalah Undang-undang

perkawinan yang datang kemudian. Undang-undang ini

memuat 16 pasal, yang secara ringkas berisi:

i. Bahwa sultan berhak melantik juru nikah (selain kadi);

ii. Wali diberi kekuasaan menikahkan anak yang ada di

bawah perwaliannya;

iii. Pernikahan, perceraian dan rujuk harus dilaporkan

kepada pendaftar;

iv. Mereka yang melanggar dapat dihukum denda atau

penjara.135

Kemudian setelah 10 tahun dari Enakmen 1937, lahir

Undang-undang Nikah Balik (rujuk) pada tahun 1947.

Akhirnya semua perundang-undangan yang pernah berlaku di

Terengganu dikumpulkan menjadi satu pada tahun 1955, yang

kemudian ditetapkan satu undang-undang yang disebut dengan

Undang-undang Pentadbiran Hukum Syara‟ No. 4 tahun 1375

H (1955) (The Administration of Muslim Law Enactment),

134

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 132 135

Ibid., h. 132-133

189

yang diperbarui dengan Enactment No. 2 Tahun 1964. Dengan

kehadiran Enakmen ini berarti mengahapus semua undang-

undang yang ada sebelumnya. Enakmen ini berisi 11 bab dan

164 pasal, sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan;

Bab II : Pejabat Hal Ehwal Agam;

Bab III : Majlis;

Bab IV : Mahkamah Syariah;

Bab V : Masalah Keuangan;

Bab VI : Masjid;

Bab VII : Perkawinan dan Perceraian;

Bab VIII : Nafkah, dan Orang-orang yang Harus Ditanggung;

Bab IX : Orang-orang yang Masuk Islam;

Bab X : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan

Bab XI : Ketentuan Umum.136

c) Kedah

Undang-undang pertama di bidang perkawinan dan

perceraian yang berlaku di Kedah137

adalah Muhammadan

Marriages (Separation) Enactment 1332 H. (1913). Undang-

undang yang ditulis teks dalam bahasa Melayu (Jawi) ini

disebut dengan Undang-undang Syiqaq 1332 (1913).

Kemudian diperbarui dengan Enakment No. 10 tahun 1337 H.

(1918), yang berlaku sampai 30 Rabiul Awal 1353 (13 Juli

1934). Enakmen ini berisi 13 pasal, yakni memberikan kuasa

kepada kadi untuk melantik perundingan sebagai perantara

untuk menyelesaikan perselisihan antara suami dan istri, baik

untuk berdamai, tebus talak atau yang lainnya. Akhirnya

136

Ibid., h. 133-134 137

Awalnya Kedah tunduk pada Melaka. Ketika Melaka jatuh Kedah berlindung di bawah

kerajaan Aceh. Perang hebat antara Kedah dan Siam terjadi beberapa kali. Akhirnya tahun 1909

Kedah mendapat perlindungan dari Inggris, Lihat, Salleh Abas, Sejarah Perlembagaan, h. 19.

Kedah sekarang terdiri dari 11 daerah, yaitu: 1. Baling, 2. Bandar Bahru, 3. Kota Setar, 4. Kuala

Muda, 5. Kubang Pasu, 6. Kulim, 7. Langkawi, 8. Padang Terap, 9. Pendang, 10. Sik, dan 11. Yan

190

undang-undang ini dimasukkan menjadi satu dengan undang-

undang lain yang pernah berlaku, yang disebut dengan

Undang-undang Negeri Kedah, yang kemudian dikenal dengan

sebutan Mahkamah Syariah Undang-undang No. 109, yang

berisi 29 pasal, diantaranya mengenai pendaftaran perkawinan

dan peceraian. Kemudian undang-undang terakhir ini

diperbaiki pada tahun 1952, yang kemudian disebut dengan

The Syariah Courts (Amandment) Enactment No. 4 tahun 1371

(1952). Undang-undang ini akhirnya disatukan dengan undang-

undang lain yang pernah berlaku, yang disebut The

Administration of Muslim Enactment No. 9 tahun 1962.

Undang-undang ini menghapus semua undang-undang yang

ada sebelumnya. Undang-undang ini pun berisi 10 bab dan 174

pasal, sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan;

Bab II : Majlis;

Bab III : Mahkamah;

Bab IV : Keuangan;

Bab V : Masjid;

Bab VI : Perkawinan dan Perceraian;

Bab VII : Nafkah;

Bab VIII : Orang Memeluk Islam;

Bab IX : Hukuman Bagi Yang Melanggar; dan

Bab X : Ketentuan Umum.138

d) Perlis

Sama dengan Kedah, undang-undang pertama yang

berlaku tentang perkawinan di Perlis139

adalah Undang-undang

138

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 134-135 139

Awalnya Perlis merupakan bagian dari negara Kedah. Pada 1821-1842 Kedah berada

di bawah pemerintahan Siam. Tetapi 1842 Siam mengakui Raja Kedah memerintah negara sendiri.

Perlis juga menjadi negara sendiri dan mempunyai raja sendiri. Perlis pada tahun 1909 mendapat

perlindungan dari Inggris. Salleh Abas, Op.Cit., h. 19

191

Syiqaq No. 9 tahun 1332 (1913), yang kemudian diikuti

dengan The Muhammadan Marriage and Divorce

(Registration) Enactment, No. 9 tahun 1919, yakni undang-

undang utama tentang perkawinan dan perceraian di Perlis.

Kemudian digantikan dengan Undang-undang Mahkamah

Syariah 1340 atau Undang-undang No. 5 tahun 1340 (1921),

yang diberlakukan pada tanggal 24 Jumadil Awal 1340 (1921),

yaitu undang-undang yang membatalkan semua undang-

undang pendaftaran nikah dan cerai orang-orang Islam

sebelumnya. Undang-undang No. 5 tahun 1340 (1921) yang

ditulis dengan tulisan Jawi ini berisi 22 pasal tentang

perkawinan dan perceraian, serta hukuman bagi yang

melanggar hukum Ibadat. Di antara isi utamanya adalah:

i. Pendaftaran perkawinan dan perceraian (pasal 3-7);

ii. Pelanggaran mereka yang ingin kawin tanpa izin wali

lebih dahulu (pasal 8);

iii. Kesalahan rujuk setelah talak tiga (pasal 9);

iv. Rujuk dalam talak raj‟i tanpa lebih dahulu memberitahu

Imam atau kadi (pasal 10);

v. Durhaka kepada suami (pasal 12).140

Pada tahun 1951 diperkenalkan hanya satu undang-

undang, yakni The Muslim Laws (Amandment) Enactment No.

7 tahun 1951. Kemudian dibatalkan lagi dengan Enakmen

Pentadbiran Agama Islam No. 3 tahun 1964.141

e) Johor

Undang-undang pertama tentang perkawinan dan

perceraian yang diperkenalkan di Johor142

adalah The

140

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 136 141

Ibid., h. 136-137 142

Johor dibuka oleh Sultan Melaka yang lari karena kalah dari Portugis. Tahun 1885

Temanggung Abu Bakar dilantik menjadi sultan dan tahun itu juga Johor mendapat perlindungan

dari Inggris. Tetapi pegawai penasehat Inggris datang ke Johor hanya tahun 1914. Salleh Abas,

192

Muhammadan Marriage and Divorce Registration Enactment

No. 15 tahun 1914, yang berisi:

i. Pelantikan hakim atau naib (pasal 4 dan 5);

ii. Pendaftaran perkawinan, perceraian dan rujuk (pasal 7

[i]);

iii. Denda bagi yang melanggar aturan tersebut (pasal 7 [ii]);

iv. Jumlah bayaran dalam pendaftaran tersebut (pasal 16).

Kemudian undang-undang ini dirubah tahun 1934

dengan The Muhammadan Marriage and Divorce Registration

Enactment (Amandment) No. 13 tahun 1934. Dalam undang-

undang ini ditentukan bayaran pendaftaran perkawinan,

perceraian dan rujuk, yakni 75 cent sampai satu ringgit (pasal

2), yang kemudian dirubah lagi tahun 1935, yang akhirnya

dimasukkan ke dalam Enakment No. 17 Undang-undang

Tambahan (Supplement) 1939 Negeri Johor.143

Disebutkan, di samping The Muhammadan Marriage

and Divorce, pada tahun 1935 disusun Undang-undang tentang

perkawinan dan perceraian, yang dinamakan Ahkam Syari‟ah

Johor. Ahkam ini diterbitkan dalam dua jilid. Jilid pertama

memuat 468 pasal, sedangkan jilid kedua memuat 460 pasal,

yakni dimulai dari pasal 469 s/d 928. Majalah Ahkam Syari‟ah

ini diterjemahkan dari kitab Mazhab Hanafi, al-Ahkam al-

Syari‟ah fi al-Ahwal al-Syakhsiyyah, karya Muhammad Ibn

Zayd al-Abyani, yang disesuaikan dengan mazhab Syafi‟i.

Sedang dalam perbaikannya dirujuk pada kitab-kitab al-

Syafi‟iyah, seperti Tuhfatu al-Muhtaj karya Ibnu Hajar al-

Haytami, kitab al-Anwar karya al-Ardabili, Syarh Raudhatu al-

Talibin oleh Zakariya al-Ansari, Fatawa karya Ibnu Hajar, dan

Sejarah Perlembagaan, h. 19. Johor Semarang terdiri dari delapan daerah, yaitu: 1. Johor Bahru, 2.

Pontian, 3. Kota Tinggi, 4. Kluang, 5. Segamat, 6. Muar, 7. Batu Pahat, 8. Mersing 143

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 126-127

193

Bughyatu al-Mustarsyidin karya al-Alawi. Kemudian ada lagi

perubahan setelah merdeka dengan lahirnya Enakmen

Pentadbiran Agama Islam No. 14 tahun 1978.144

c. Masa Kemerdekaan

Setelah Malaysia merdeka upaya pembaruan hukum keluarga

sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan

dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan perceraian

seperti pada undang-undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada

tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri Sembilan yang

kemudian diikuti oleh Negara-negara bagian lain. Undang-undang

perkawinan Islam yang berlaku sekarang di Malaysia adalah undang-

undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan dari masing-masing

negeri. Adapun Undang-Undang Keluarga tersebut di antaranya: UU

Keluarga Islam Melaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri

Sembilan 1983, UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 (

No.1), UU Kedah 1979, UU Pulau Pinang 1985, UU Trengganu 1985,

UU Pahang 1987, UU Selangor 1989, UU Johor 1990, UU Serawak

1991, UU Perlis 1992, dan UU Sabah 1992.145

3. Hukum Keluarga di Malaysia Tentang Batas Usia Nikah

Menurut catatan Joned, sebelum munculnya undang-undang baru

di bidang pernikahan di Malaysia, hanya Johor yang membuat ketentuan

tentang umur minimum boleh nikah. Menurut Undang-undang Perkawinan

Johor, umur minimum bagi wanita 16 tahun dan 18 untuk pria. Sebaliknya,

setelah adanya pembaruan, hanya Perak yang tidak mengatur. Alasannya

barangkali karena dianggap bertentangan dengan Syari‟ah. Sedangkan

bagi wilayah Persekutuan, Kelantan, Kedah, Melaka, Negeri Sembilan,

Selangor dan Pulau Pinang, mengatur minimum 18 untuk pria dan 16

untuk wanita. Sekarang memang angka perkawinan kanak-kanak

cenderung menurun di Malaysia, tetapi diasumsikan penurunan tersebut

144

Ibid. 145

Ibid., h. 139-156

194

bukan karena faktor undang-undang tetapi hanya karena faktor pendidikan

dan peluang kerja.146

Adapun bunyi pasal yang menjelaskan tentang ketentuan umur

minimal boleh nikah, misalnya dalam Undang-undang Keluarga Islam

Negeri Pulau Pinang 1985, pasal 8 disebutkan; Tiada sesuatu perkahwinan

boleh diakadnikahkan atau didaftarkan di bawah Enakmen ini jika lelaki

itu berumur kurang daripada lapan belas tahun dan perempuan itu berumur

kurang daripada enam belas tahun kecuali jika Hakim Syari‟ah telah

memberi kebenarannya secara bertulis dalam hal keadaan tertentu.

Hanya saja ada sedikit perbedaan istilah, dalam UU Persekutuan

disebut “Akta” sebagai ganti dari “Enakmen” yang ada dalam UU Negeri

Sembilan, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Kelantan.

Demikian juga UU Serawak menggunakan istilah “Ordinan”. Maka

bunyinya menjadi “di bawah Akta ini” dan “di bawah Ordinan ini” sebagai

ganti “di bawah Enakmen ini”.147

Adapun bagi mereka yang belum mencapai umur minimal yang

ditentukan boleh nikah dengan catatan harus mendapatkan izin dari

Pengadilan. Seperti disebutkan pada pasal 18 ayat (1) UU Negeri

Sembilan; Dalam mana-mana kes berikut, iaitu- (a) jika salah satu pihak

kepada perkahwinan yang dicadangkan itu adalah di bawah umur yang

dinyatakan dalam seksyen 8; atau (b) jika pihak perempuan adalah seorang

janda yang tersabit oleh seksyen 14 (3); atau (c) jika pihak perempuan

tidak mempunyai wali daripada masa mengikut Hukum Syara‟, maka

Pendaftar hendaklah, sebagai ganti bertindak di bawah seksyen 17,

merujuk permohonan itu kepada Hakim Syari‟ah yang mempunyai bidang

kuasa ditepat perempuan itu bermustautin.

146

Ibid., h. 375; Lihat pula Ahilemah Joned, Keupayaan dan Hak Wanita Islam Untuk

Berkahwin: Indah Khabar daripada Rupa, dalam Fakulti Undang-Undang Universiti Malaya,

“Makalah Undang-Undang Menghormati Ahmad Ibrahim” (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988) h. 8-9 147

Khoiruddin Nasution, op.cit., h. 375-376; Lihat juga, pasal 8 UU Negeri Sembilan

1983, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Persekutuan; pasal 7 UU Serawak, dan pasal

14 UU Kelantan

195

Pada ayat (2) disebutkan:

Hakim Syari‟ah, apabila berpuas hati tentang kebenaran perkara-perkara

yang disebut dalam permohonan itu dan tentang sahnya perkahwinan yang

dicadangkan itu dan bahawa kes itu adalah kes yang mewajarkan

pemberian kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 8, atau kebenaran bagi

maksud-maksud seksyen 14 (3), atau persetujuannya terhadap

perkahwinan itu diakadnikahkan oleh wali Raja bagi maksud-maksud

seksyen 13 (b), mengikut mana yang berkenaan, hendaklah pada bila-bila

masa selepas permohonan itu dirujukkan kepadanya dan setelah dibayar

fee yang ditetapkan, mengeluarkan kepada pemohon kebenarannya untuk

berkahwin dalam orang yang ditetapkan.148

Berdasarkan ayat (1) poin b, dapat disimpulkan ada kemungkinan

mendapat izin untuk nikah bagi mereka yang belum mencapai umur

minimal boleh nikah, dengan catatan pengadilan mempertimbangkan

cukup alasan untuk memberikan izin, seperti disebut pada ayat (2).149

E. Negara Mesir

1. Profil Singkat Negara Mesir

Nama resmi negara ini adalah Republik Arab Mesir, lebih dikenal

dengan sebutan Mesir, adalah sebuah negara yang sebagian besar

wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut. Dengan luas sekitar

997.739 km2. Mesir mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai

bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya

terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat,

Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya

dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di

timur. Mayoritas penduduk Mesir menetap di pinggir Sungai Nil. Mesir

dikenal dengan peradaban kunonya dengan peninggalan bersejerah dunia

148

Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 376-377. Lihat juga pasal 18 UU Selangor, pasal 16

UU Serawak, pasal 18 UU Persekutuan, pasal 18 UU Pahang dan pasal 18 UU Pinang 149

Sepertinya Kelantan dan Perak tidak mengatur tentang kurang umur (masih dicermati).

Lihat, Khoiruddin Nasution, Op.Cit., h. 377

196

seperti: Piramid Giza, Kuil Karnak danKuil Ramses. Di luxor, di sebuah

kota wilayah selatan, terdapat kira-kira artefak kuno yang mencakup 65%

artefak kuno di seluruh dunia. Kini, Mesir diakui sebagai pusat budaya dan

politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah.150

Mesir juga dikenal sebagai negara yang menyimpan sejuta ulama

(para sahabat, tabi‟in, cendikiawan, faqih dan ahli sufi), Mesir juga

mempunyai Universitas tertua di dunia Al-Azhar. Sejarah Mesir dimulai

dari zaman Fir‟aun hingga Islam baik masa khalifah dan dinasti-dinasti

(Dinasti Umawiyyah, Abbasiyyah, Dinasti Ikhshids, Dinasti Fathimiah,

Dinasti Ayyubiyah, Dinasti Mamalik dan Dinasti Osmani). Dinasti

Osmani151

dimulai pada tahun 1914, Mesir menjadi provinsi Imperium

Osmani. Pada tahun 1922, Mesir memperoleh kemerdekaan terbatas dari

Inggris, dan menjadi Kerajaan Konstitusional dengan Faruq sebagai

rajanya. Tepat pada tanggal 23 Juli 1952, Faruq digulingkan oleh Gamal

Abdel Naser, Anwar Sadat dan Mohammad Naguib. Peristiwa ini dikenal

dengan revolusi 23 Juli, yang kemudian dijadikan Hari Nasional Mesir.

Pada tanggal 18 Juni 1953 sistem kerajaan dibubarkan dan Republik Arab

Mesir dideklarasikan.152

Proses perubahan sistem pemerintahan Mesir dimulai ketika Mesir

kalah dalam perang melawan Rezim Zionis tahun 1948 sehingga rakyat

negara itu tidak lagi mempercayai pemerintahan Raja Faruq. Di tengah

situasi Mesir yang kacau tersebut, sekelompok tentara Mesir mendirikan

organisasi rahasia yang menentang infiltrasi Inggris dan sistem kerajaan di

Mesir. Organisasi ini pada tahun 1952 dengan dipimpin Jenderal

Muhammad Najib dan Gamal Abdul Naser mengadakan kudeta dan

memaksa Raja Faruq untuk mengundurkan diri. Setahun kemudian,

Republik Mesir dideklarasikan dan Jenderal Muhammad Najib diangkat

sebagai presiden pertama. Setahun kemudian tepat pada tanggal 25

150

Mardani, Op.Cit., h. 34 151

Lihat http://ciani-sri-hidayati.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 07 Desember 2015 152

Mardani, Loc.Cit.

197

Februari 1954, dia digulingkan oleh Gamal Abdul Naser yang memerintah

hingga tahun 1970.153

Undang-undang Dasar tanggal 11 September 1971. Menurut pasal

1 UUD Mesir, negara Mesir merupakan suatu negara demokrasi, negara

sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh.

Dalam pasal 2 UUD Mesir dinyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah

agama negara dan Bahasa Arab adalah bahasa resmi negara. 154

Hampir 90% penduduk Mesir adalah penganut Islam dan sekitar

10% penganut Kristen. Pada awal sejarahnya, penduduk Mesir merupakan

penganut mazhab Syafi‟i dan sebagian kecil penganut mazhab Hanafi,155

masuknya mazhab Hanafi ke Mesir yaitu pada abad ke-2 H di bawah

kekuasaan Khalifah Usmaniah sehingga memperkuat kedudukan mazhab

Hanafi di Mesir dan terus menjadi hukum yang berlaku di Mesir.156

Singkatnya, mazhab Hanafi yang banyak diterapkan dalam praktik untuk

waktu yang lama dalam bidang hukum keluarga dan bidang bidang hukum

lainnya.157

2. Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Mesir

Mesir merupakan negara muslim yang melakukan pembaruan

Hukum Keluarga ketiga setelah Turki.158

Selain itu Mesir juga merupakan

Negara Arab pertama yang melakukan pembaruan Hukum Keluarga.

Pembaruan ini merupakan pengaruh Turki yang pernah menguasai Mesir.

Mesir melakukan pembaruan Hukum Keluarga pada tahun 1920 yang

melahirkan dua undang-undang Keluarga Mesir. Dua Undang-undang ini

153

Lihat http://notedanpena.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 07 Desember 2015 154

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya

Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,

(Jakarta: Kencana, 2010), h. 226 155

Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam

Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta:

ACAdeMIA+TAZZAFA, 2009) h. 168 156

Syamsul Anwar, Islam, Negara, dan Hukum, (Jakarta: INIS, 1993) h. 104 157

Johannes dan Heijer, Syamsul Anwar, Islam, Negara dan Hukum, (Jakarta: INIS,

1993) h. 104. 158

Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim, dalam Ijtihad,

Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 14, No. 1, Juni 2014, h. 1

198

diantaranya adalah Law No. 25 Tahun 1920 dan Law No. 20 Tahun

1929.159

Pembaruan Hukum Keluarga Mesir terinspirasi dengan terbitnya

sebuah buku karya Qasim Amin yang berjudul The Liberation of Woman

pada abad ke-19. Setelah terbit buku ini Qasim Amin selaku penulis

dihujat oleh banyak kalangan. Saat itu Muhammad „Abduh seorang tokoh

terkenal berada dipihak Qasim Amin dalam rangka mencoba untuk

melakukan pembaruan ini, namun penolakan terjadi di mana-mana.

Selanjutnya, penolakan ini berangsur mereda setelah terbentuk panitia

yang beranggotakan para ulama dan para praktisi hukum pada tahun 1915.

Panitia ini diketuai oleh Syekh Mustofa Al-Maragi, selau rektor

Universitas Al Azhar saat itu dengan tujuan untuk membuat pembaharuan

dalam Hukum Keluarga Mesir.160

Kemudian, pembaruan Hukum Keluarga

Mesir ini sempat terhambat sebentar disebabkan tarjadinya Perang Dunia

I. Pada tahun 1920 dan tahun 1929 pembaruan-pembaruan tersebut benar-

benar berlangsung dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan dan

Perceraian. Selain itu pada tahun 1923 lahir pula undang-undang tentang

Perkawinan di bawah umur.161

Hasil dari kepanitiaan yang diketuai oleh

Syekh Mustofa Al-Maragi secara detail di antaranya adalah:162

a. UU No. 25 Tahun 1920 Tentang Nafkah dan Perceraian

b. UU No. 56 Tahun 1923 Tentang Umur Perkawinan

c. UU No. 25 Tahun 1929 Tentang Percerian

d. UU No. 77 Tahun 1943 Tentang Waris

e. UU No. 71 Tahun 1946 Tentang Wasiat

Selanjutnya UU No. 25 Tahun 1920 dan UU no. 20 Tahun 1929

diperbaharui pada Tahun 1979 menjadi UU yang dikenal dengan Hukum

Jihan Sadat No. 44 Tahun 1979. Tetapi tak lama kemudian, UU ini

159

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-

undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Idonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002) h. 94 160

J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (New York: New York University

Press, 1959) h. 31 161

Ibid. 162

Khoiruddin Nasution, Status Wanita… Op.Cit., h. 94

199

diperbaharui lagi dalam bentuk Personal Status (Amandemet) Law No.

100 Tahun 1985.163

Adanya pembaruan Hukum Keluarga Mesir ini terinspirasi dari

ide-ide Qasim Amin, Muhammad „Abduh, Safwat dan para pemikir Mesir

lainnya. Walaupun ide-ide cemerlang para pemikir ini pernah ditolak oleh

banyak kalangan diawal, namun sangat membantu dalam pembaruan

Hukum Keluarga Mesir. Salah satunya adalah Malak Hifni Nasif yang

mengusulkan 10 butir pembaruan hukum yang berhubungan dengan

wanita, yang diserahkan kepada badan legislatif Mesir pada tahun 1911.

Empat di antaranya adalah (1) pendidikan wanita; (2) poligami; (3) umur

nikah; (4) kerudung. Adapun pembaruan hukum keluarga Mesir juga

ditopang oleh tuntutan gerakan wanita Mesir. Misalnya tuntutan dari The

Egiptian Feminist Union, yang berdiri tahun 1923.164

Pembaruan Hukum Keluarga Mesir yang terjadi hingga tahun

1929, akhirnya dilanjutkan beberapa tahun setelahnya. Kemudian pada

Tahun 1931 baru dinyatakan berlakunya Hukum Acara di Mesir. Pada

tahun 1936 dibentuklah sebuah komite untuk mengurusi persiapan

kodifikasi hukum yang lengkap mengenai status perorangan. Selain itu,

komite ini juga memiliki tanggung jawab mengenai Penyusunan Hukum

Waris Tahun 1943, Hukum Wakaf 1946, dan Hukum Wasiat Tahun

1946.165

3. Hukum Keluarga di Mesir Tentang Batas Usia Nikah

Mesir sebelum adanya pembaruan dalam Hukum Keluarga masih

menggunakan fikih tradisional yang dibawa oleh mazhab Syafi‟i dan

mazhab Hanafi, sehingga dalam pernikahan tidak terdapat batasan usia

dalam menikah.166

Pembahuan Hukum Keluarga secara tidak langsung

sebenarnya terjadi sejak Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun

163

Ibid. 164

Ibid., h. 94-95 165

Ibid., h. 95 166

Muhammad Siraj, “Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan” dalam Johannes Den

Heijer dan Syamsul Anwar, [ed], Islam, Negara dan Hukum (Jakarta: INIS, 1993), h. 99

200

1798 M, karena adanya Napoleon mempengaruhi Hukum Keluarga di

sana. Napoleon berusaha agar Hukum Prancis dilaksanakan juga di Mesir,

dan berusaha memarjinalkan hukum Islam di sana.167

Dalam aturan

Hukum Perancis usia minimal menikah bagi seorang laki-laki dapat

menikah adalah usia 18 tahun dan perempuan usia 16 tahun.168

Pembatasan usia minimal menikah salah satunya seperti yang

diatur dalam pasal 99 ayat (5) Undang-undang Susunan Pengadilan

Agama Tahun 1931, dinyatakan: “Tidak didengar gugatan perkara

keluarga apabila usia istri kurang dari enam belas tahun atau usia suami

kurang dari delapan belas tahun. Hal tersebut dimaksudkan agar menjaga

keharmonisan rumah tangga.169

Dalam pemikiran fikih kontemporer tidak ada penolakan mengenai

adanya batasan usia nikah. Hal ini berdasarkan pada prinsip prosedural,

bahwa hak penguasa dalam membentuk aturan hukum dalam menentukan

suatu kebijakan. Sebagaimana kaidah fikih menyatakan:

بالمصلحة منوط رعيةال على االمام تصرفArtinya: “Kebijaksanaan imam (pemerintahan) terhadap rakyatnya bisa

dihubungkan dengan (tindakan) kemaslahatan.”170

F. Kerajaan Arab Saudi

1. Profil Singkat Kerajaan Arab Saudi

Arab Saudi pernah dijajah langsung, meskipun negara-negara

bagian dari Arab saat ini telah dikuasai atas kendali Bani Ottoman sejak

abad keenam belas. Jalannya pemerintahan Turki pada masa ini

ditempatkan di Makkah, Madinah, Jeddah dan pusat-pusat lainnya, tetapi

pelaksanaannya hanya terbatas penguasa lokal yang memiliki otonomi

dalam mengurus urusan internal daerahnya. Upaya akhir Ottoman dalam

menguasai Arab Timur tahun 1871 untuk mencegah pengaruh

167

Mardani, Op.Cit., h. 35 168

Muhammad Siraj, Loc.Cit. 169

Ibid., h. 107 170

Ibid.

201

pertumbuhan Inggris di perbatasan Teluk Arab akhirnya gagal. Dasar

negara Arab Saudi (Wahabi) dibentuk pada tahun 1902, ketika Abd al-

Aziz al-Saud dan pengikut-pengikutnya menguasai Riyadh, sinyal awal

periode ketiga Arab-Wahabi didominasi pada wilayah itu. Abdul Aziz

mengonsolidasikan keuntungan teritorialnya selama dekade berikutnya,

dengan memperluas dari sekitar Riyadh dan bagian timur daerah ke

daerah-daerah yang mana dulu dikuasai oleh Bani Ottoman. Kerajaan

Arab Saudi menyatakan pada tanggal 22 September 1933 atas kerajaannya

yang telah dikuasai di bawah kendali Abd al-Aziz melalui penaklukan dan

kerja sama dengan banyak aliansi.171

Pada tahun 1979, dengan menguasai Masjidil Haram di Makkah,

dan akibat dari penurunan harga minyak pada tahun 1980 beserta efek dari

kedua Perang di Teluk, kerajaan berupaya melakukan pembangun yang

lebih representatif dalam mengonsep sistem pemerintahan. Salah satunya

dengan membentuk Majlis Asy-Syura (Dewan Penasehat) yang

diperkenalkan oleh Raja Fahd pada tahun 1993. Majlis ini memiliki 61

anggota yang ditunjuk langsung oleh raja; pada tahun 1996 jumlah

anggota ditingkatkan menjadi 90 anggota. Meskipun Majlis ini

penerapannya di lapangan tidak sama dengan legislatif, akan tetapi mereka

memiliki wewenang untuk memeriksa kebijakan pemerintah dan

mengusulkan undang-undang atau amandemen terhadap undang-undang

yang sudah ada. Keputusan atau saran dari Majlis pertama dikirim ke

Dewan Menteri untuk review, dan kemudian kepada raja untuk

persetujuan.172

Sumber utama hukum di Saudi menggunakan hasil dari

pemahaman mazhab Hanbali, sumber klasik ini mengatur tentang dasar

pembentukan hukum (istinbath hukum), dekrit (tentunya yang relevan

dengan kondisi di Saudi) beserta teori dan praktiknya di lapangan. Aturan

hukum tersebut telah digunakan untuk mengarahkan para hakim di

171

Abdullah A. An-Na‟im, Op.Cit., h. 136 172

Ibid.

202

pengadilan sebagai dasar penilaian dalam menyelesaikan kasus-kasusnya

(seperti al-Mughni Ibnu Qudamah). Resolusi Dewan peradilan tertinggi

yang disahkan pada tahun 1982 juga diarahkan untuk mengutamakan

sumber-sumber dari pemikiran mazhab Hambali dalam perkara perdata

tertentu, adapun sumber-sumbernya dari kitab-kitab, sebagai berikut:

Syarh Mutaha al-Iradat karangan al-Bahuti, Kashshaf al-Kina dari Matn

al-Ikna karangan al-Bahuti, dan jika tidak ada ketentuan yang cocok

terkait sumber-sumber yang ditentukan, maka pilihan selanjutnya mencari

rujukan pada mazhab-mazhab lain. Jika tidak ada jawaban yang ditemukan

dalam sumber-sumber resmi tersebut, maka jalan keluar yang terakhir

adalah ijtihad. Bidang hukum yang mengatur hal-hal yang tradisional akan

diatur oleh hukum syariat sementara bidang-bidang tertentu mengenai

hukum yang kaitannya dengan perusahaan, pajak, minyak dan gas, hukum

imigrasi, dan sebagainya, diatur melalui dekrit dan kebijakan kerajaan.173

2. Sejarah Pembentukan Hukum Kerajaan Arab Saudi

Arab Saudi memiliki konstitusi yang tidak resmi. Fungsi Konstitusi

disajikan oleh undang-undang dasar dalam mengartikulasikan kebijakan

dan tanggung jawab pemerintah yang dikeluarkan oleh Raja Fahd pada

Maret 1992. Pasal I dari undang-undang dasar menyatakan Islam sebagai

agama resmi negara serta al-Qur'an dan sunnah sebagai konstitusinya.

Undang-undang dasar juga menyatakan bahwa 'negara melindungi hak-

hak rakyat dengan syariat Islam', menegaskan independensi peradilan dan

menyatakan bahwa administrasi peradilan didasarkan pada 'Aturan Syari'at

sesuai ajaran al-Qur'an, Sunnah, dan peraturan yang ditetapkan oleh

penguasa asalkan tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan sunnah'. Pasal

9 dari undang-undang dasar negara mengatur bahwa 'keluarga adalah dasar

dari masyarakat Saudi, dan anggotanya akan dibesarkan berdasarkan iman

Islam'. Pasal 26 mengatur bahwa negara melindungi hak asasi manusia

'sesuai dengan syariat Islam'.174

173

Ibid., h. 136-137

174 Ibid., h. 137

203

3. Hukum Keluarga di Arab Saudi Tentang Batas Usia Nikah

Dalam pemikiran fikih klasik seperti yang diterapkan oleh semua

sekte dan mazhab, usia minimum tidak dicantum sebagai syarat dalam

perkawinan. Wali memiliki peran untuk menikahkan anak mereka tanpa

persetujuannya. Yang oleh pemikiran sunni dari kalangan mazhab Maliki,

Syafi‟i dan Hanbali (non-Hanafi) serta syi‟ah dari mazhab Itsna Asyari,

dikenal sebagai jabr atau ijbar, yang hanya dimiliki oleh sejumlah wali.

Dengan demikian, dalam mazhab Maliki, kekuasaan dimilik oleh ayah

atau pelaksananya yang diberi wasiat oleh ayahnya. Begitu juga dalam

mazhab Hanbali, diperuntukkan hanya bagi ayah atau pelaksananya,

namun yang terakhir (pelaksana) hanya terjadi atas persetujuan ayahnya;

dan bagi mazhab Syafi'i dan Ithna Ashari, diperuntukkan bagi ayah dan

kakek dari pihak ayah.175

Aturan hukum mazhab Hanafi, peran wali dalam semua

perkawinan memiliki kekuatan ijbar, akan tetapi Syafi'i, Maliki dan

Hanbali kuasa ijbar tersebut tidak hanya dimungkinkan dalam

pelaksanakaan pernikahan anak-anak (baik laki-laki maupun perempuan),

tetapi juga bagi perempuan yang sudah menikah, berapa pun usianya,

namun Hanafi izin ini hanya berlaku bagi yang berusia di bawah umur

(laki-laki maupun perempuan) dalam akad pernikahan tanpa persetujuan

mereka. Dewasa pria dan wanita memiliki hak untuk menyimpulkan

kontrak pernikahan mereka sendiri dan tidak pernah menikah tanpa

persetujuan mereka.176

Menurut pemikiran fikih klasik seperti yang diterapkan oleh semua

sekte dan mazhab, kedewasaan dicapai di masa seorang pubertas. Namun,

ada usia minimum di bawah ini yang kaitannya dengan anggapan yang

tidak terbantahkan bahwa pubertas tidak tercapai pada usia dua belas tahun

dalam kasus anak laki-laki dan sembilan dalam kasus perempuan. Setelah

menyelesaikan tahun kelima ada praduga yang tidak terbantahkan menurut

175

Dawoud El Alami dan Dorren Hinchilffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of The

Arab World (London: CIMEL, 1996) h. 6 176

Ibid., h. 6-7

204

kebanyakan ahli hukum bahwa pubertas telah dicapai, tetapi antara usia

minimum yang ditetapkan oleh fikih klasik dan lima belas, pubertas

mungkin terbukti sebagai bukti yang nyata.177

Kekuasaan yang diberikan kepada wali dalam perkawinan menurut

aturan hukum dalam mazhab Hanafi dibantah oleh apa yang disebut

"pilihan pubertas" (khiyar al-bulugh), di mana dalam semua kasus lain

mereka ayah atau kakek telah bertindak sebagai wali perkawinan, menepis

anggapan pencapaian pubertas sebagai syarat perkawinan. Pria dan wanita

memiliki haknya, tetapi tentu saja yang paling penting dalam kasus

perempuan, karena laki-laki, mencapai pubertas, akan bebas untuk

melaksanakan kuasanya dalam perihal talak. Hak ini dipertahankan sampai

penolakan tersebut diterima dalam perkawinan melalui persetujuan-

persetujuan, baik tersurat ataupun tersirat, misalnya dengan bersepakat

untuk melindungi dan memilihara dengan baik. Namun, jika ayah atau

kakek dalam akad perkawinan, kemungkinan kecil tidak mengakui

perkawinan setelah mencapai kesepakatan kecuali itu bisa dibuktikan

dengan persetujuan dari pihak pengadilan bahwa ayahnya atau kakeknya

bertindak melawan kepentingan anaknya. Praduga tersebut tentu saja bagi

seorang ayah, atau dalam ketidakhadirannya digantikan oleh kakek,

seharusnya bertindak pada kepentingan yang terbaik atas dasar kecintaan

yang mereka berikan kepada anak dan cucunya.178

Masalah berikutnya sebagai pertimbangan adalah apakah

keputusan pengadilan mampu menghentikan terjadinya perkawinan yang

ditolak oleh pihak calon pengantin. Sesuai dengan pemikiran Hukum

Islam tradisional, seorang gadis yang ingin menolak terjadinya sebuah

perkawinan yang diakadkan oleh wali, harus melaporkannya kepada

hakim.179

Sampai hakim mengeluarkan keputusan, perkawinan dianggap

berlaku, seperti yang dibuktikan dalam fakta persidangan bahwa, namun

jika salah satu pasangan meninggal setelah memilih untuk menyangkal

177

Ibid., h. 7 178

Ibid. 179

Ibid.; Lihat, Sarakhsi, Al-Mabsut (Kairo: t.p. 1324 H) h. 216

205

pernikahan karena faktor usia, sebelum memperoleh keputusan dari hakim,

pasangan hidup tersebut dapat saling mewarisi. Juga, pada masa antara

menjalankan opsi batas usia dan memperoleh keputusan peradilan,

dibolehkan bagi suami untuk berhubungan seksual dengan istrinya, dan

jika hal tersebut terjadi, maka hal tersebut dianggap telah mencabut

penyangkalannya.180

Dalam pemikiran fikih klasik, seorang gadis yang sudah diakadkan

dalam perkawinannya selama ia masih belum dewasa harus menjalankan

opsi pubertas segera setelah ia mencapai usia dewasa. Jika dia perawan,

seperti dalam kebanyakan kasus, dia akan kehilangan haknya jika dia tetap

diam menjadi bukti persetujua. Jika dia tidak lagi perawan, yaitu jika calon

suaminya telah menjalin hubungan pernikahan semasa ia tidak memiliki

kuasa, maka dia akan kehilangan hak hanya setelah tegas menyetujui

perkawinan atau dengan melakukan sesuatu yang menunjukkan

persetujuan, seperti meminta mas kawin atau pemeliharaan atau

membiarkan suaminya untuk terus memiliki hubungan dengan dia setelah

mencapai usia dewasa. Hanya makan dengan suaminya atau melanjutkan

untuk mengurus rumah tangga tidak menghilangkan haknya untuk

menentukan pilihannya.181

Sebagaimana apa yang telah dinyatakan di atas, pelaksanaan opsi

pubertas tidak berefek pembatalan perkawinan dalam pemikiran fikih

klasik. Setelah melaksanakan opsi pernikahan bagi seorang gadis maka

harus mendapatkan keputusan dari hakim dan secara tekstual jelas bahwa

sampai sebuah keputusan hakim dikeluarkan, perkawinan tetap berlaku

dan teradministrasi. Dengan demikian perkawinan dapat dihentikan dalam

dua tahap: pertama seorang gadis sepatutnya selektif dan jelas dalam

menentukan pilihannya, sehingga mampu menjadikan hakim menetapkan

alasan kuat untuk hakim mengeluarkan satu keputusan yang maslahat.182

180

Dawoud El Alami dan Dorren Hinchilffe, Op.Cit., h. 7 181

Ibid., h. 7-8; Nizam, Shakh dkk., Al-Fatawa al-Alamgiriya (Kairo: tp, t.th) h. 203 182

Dawoud El Alami dan Dorren Hinchilffe, Op.Cit., h. 8