BAB IV SEKILAS MUHAMMADIYAH DAN...
Transcript of BAB IV SEKILAS MUHAMMADIYAH DAN...
BAB IV
SEKILAS MUHAMMADIYAH DAN PANDANGANNYA
TENTANG QUNUT
A. Sejarah Muhammadiyah
Membaca sejarah Muhammadiyah pada hakikatnya tidak berbeda
dengan membaca sejarah negara Indonesia, dengan catatan kalau tujuan
membacanya untuk mengetahui, menilai dan mengambil pelajaran. Mambaca
sejarah Muhammadiyah adalah membaca fakta sejarah yang menggambarkan
rangkaian atau rentangan perjuangan untuk mencapai tujuannya yaitu
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Sehingga terwujud
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah swt. Muhammadiyah
didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan berdasarkan pokok pikiran bahwa
sesungguhnya tugas dan kewajiban dakwah Islamiyah amar ma’ruf nahi
munkar itu amat berat. Ia yakin bahwa dengan organisasi yang kuat, seperti
Madinah al-Munawarah yang didirikan Muhammad saw, sajalah tugas itu bisa
terselesaikan. Perjuangan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah
Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar itulah yang disusun dan dinamakan
sejaran Muhammadiyah.
Boleh jadi tulisan ini amat berbeda dengan sejarah suatu bangsa, atau
sejarah suatu negara. Muhammadiyah hanyalah salah satu dari organisasi
sosial keagamaan yang tidak berdaulat yang diakui di dalam wilayah Republik
Indonesia. Sedangkan suatu negara adalah suatu organisasi politik yang
berdaulat di wilayahnya. Di Madinah al-Munawarah Rasulullah saw. dapat
memidana seorang muslim yang tidak membayar zakat, umpamanya,
sedangkan di Indonesia ketua Muhammadiyah tidak dapat memidana seorang
anggotanya yang tidak membayar zakat. Itulah contoh konkret yang membawa
perbedaan antara pengalaman sejarah Muhammadiyah dengan pengalaman
sejarah Madinah al-Munawarah.
41
42
Tulisan yang memperkenalkan Muhammadiyah sekarang jumlahnya
tidak banyak. Apalagi yang bersifat historis yang menggambarkan
Muhammadiyah secara bulat dan utuh belum pernah ada. Sejarah Indonesia
atau sejarah nasional peran Muhammadiyah terlukis dalam bagian yang
membicarakan peran Islam bersama-sama dengan organisasi Islam lain.
Bahkan kadang-kadang tersamar di balik nama seorang tokoh seperti dalam
piagam Jakarta yang masyhur itu. Sejarah ditulis untuk keperluan ilmu
pengetahuan, untuk kepentingan politik, untuk kepentingan organisasi dan
lain-lain. Oleh karena itu perlu digambarkan suasana yang menjadi latar
belakang, kejadian-kejadian pada masa lalu sehingga Muhammadiyah kini
tampak besar, santai, maju mundur, bahkan kadang-kadang tersudut,
kebingungan, serta bagaimana cara memecahkan masalah akibat kejadian itu.
Agar tercapai hasil yang memadai, tulisan ini disusun berdasar metode
penulisan sejarah. Di samping itu, dikenakan juga penulisan, metode penulisan
serta sistematika penulisannya.1
Latar belakang penulisan sejarah ini sebagian masih tetap sama dengan
latar belakang berdirinya Muhammadiyah walaupun dalam jumlah dan
kualitas terdapat perubahan yang amat besar. Masyarakat Islam Indonesia
pada saat Muhammadiyah berdiri menganut faham sinkretisme, faham yang
menganggap semua kepercayaan, semua agama, sama benarnya dan sama
baiknya, menggabungkan suatu kepercayaan dan agama itu untuk dianut
seseorang warga negara Indonesia menyebabkan mereka makin baik dan
makin dekat kepada Allah sehingga mereka makin handal. Penganut faham ini
dahulu tidak kuat, namun sekarang mereka mempunyai organisasi yang kuat
dan diakui keberadaannya. Muhammadiyah yang hendak memurnikan tauhid
umat tidak berdaya menghadapi hambatan dari penganut faham ini.2 Pada saat
Muhammadiyah berdiri, penganut faham serba simbol, simbolisme, terbatas di
kalangan masyarakat kecil tertentu. Dewasa ini penganut faham ini makin
1Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sejarah Muhammadiyah Bagian I, Majelis Pustaka, Yogyakarta, 1993, hlm. 1-2
2Ibid, hlm. 5
43
banyak dan makin besar pengaruhnya di hati umat. Simbol atau lambang yang
keramat telah dapat difungsikan sebagai alat pemersatu dan penggerak
pembangunan. Di kalangan cendekiawan faham ini besar sekali pengaruhnya.
Lebih-lebih setelah neo simbolisme dari Ernest Cassier diperkenalkan orang
sebagai salah satu aliran filsafat modern. faham ini telah masuk pula ke dalam
hati beberapa anggota Muhammdiyah dan telah dipergunakan pula bagi
kepentingan organisasi.
Permasalahan yang dihadapi Muhammadiyah banyak sekali, di
antaranya Muhammadiyah sampai saat ini belum mampu menuliskan
pengalamannya dalam suatu buku sejarah. Karena itu sesuatu yang telah ada
dan diperjuangkan oleh pendahulu menjadi terlupakan, apa yang masih ada
sebagai hasil amal usaha mereka tetap ada. Namun tidak diurus dan
diperkembangkan sebagaimana mestinya. Contohnya, majalah Suara
Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Kyai Dahlan sempat tidak terbit.
Percetakan yang ada tidak dapat dijadikan suatu percetakan modern yang
handal seperti yang dimiliki oleh kalangan Nasrani, misalnya. Perlu menjadi
renungan sebuah organisasi yang hidup di tengah masyarakat yang melaju
dengan cepat tetapi tidak bisa bersaing karena tidak memiliki apa yang disebut
percetakan. Padahal yang orang lainnya memilikinya. Muhammadiyah sebagai
suatu organisasi perjuangan bisa jadi ketinggalan anggotanya yang
mempunyai keahlian yang amat dibutuhkan sehingga organisasi menjadi
lemah. Di samping itu, Muhammadiyah tidak ditinggalkan, tetapi diurus tidak
sepenuh hati oleh fungsionarisnya sehingga tugasnya menjadi berantakan.
Bagaimanakah cara tokoh-tokoh pendahulu mengatasi kelemahan seperti itu ?.
Sebagai fungsionaris Muhammadiyah, pengurus tidak mempersiapkan bahan-
bahan sejarah untuk ditulis dalam suatu buku sejarah sebagaimana Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia misalnya, telah menulis sejarahnya bersamaan
dengan perannya sebagai pembuat sejarah dan sebagai pelaku sejarah.
Oleh karenanya Muhammadiyah lahir tidak terlepas dari proses
sejarah, baik yang menyangkut perkembangan Islam di Indonesia, maupun
44
perkembangan Islam di dunia internasional. Di samping itu, Muhammadiyah
lahir juga tidak terlepas dari kondisi kultural dan kehidupan masyarakat di
tempat berdirinya. Untuk menghantarkan penulisan sejarah Muhammadiyah,
dalam bab ini akan diuraikan hal-hal sebagai berikut :
a. Perkembangan Dunia Islam.
Pada abad XVIII muncul era baru dalam perkembangan dunia
Islam yaitu adanya titik kesadaran kebangkitan kembali peranan umat
Islam di panggung dunia Islam internasional. Hal itu mendapat dorongan
munculnya kesadaran para ulama' dan umat Islam untuk kembali kepada
kemurnian ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Kemudian Pan-Islamisme juga berhasil menggugah umat
Islam untuk bangkit berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa Barat.3
Sebelum kebangkitan Islam pada abad XVIII itu, umat Islam
mengalami krisis ke-jumud-an, dan frustasi atas pukulan bangsa Barat
pada abad XV. Beberapa pemerintah di dunia Islam pada waktu itu sedang
rapuh disebabkan adanya kelemahan akidah dan lebih mengutamakan
materialisme sehingga melemahkan kerajaannya dan mudah dipukul dan
dikuasai oleh lawan. Sejak runtuhnya beberapa pemerintahan Islam di
panggung dunia internasional, negeri-negeri kaum muslimin menjadi
jajahan bangsa Barat.
Kehidupan beragama terdapat kemerosotan ruhul islami karena
pengalaman ajaran Islam bercampur aduk dengan kepercayaan lain.
Pengalaman Islam muncul bentuk bid’ah, khurafat, serta praktek-praktek
syirik. Perkembangan pemikiran umat Islam dibelenggu oleh otoritas
madzhab dan taklid kepada para ulama', sehingga pintu ijtihad dianggap
telah tertutup. Akibatnya umat Islam tidak kreatif dan tidak dapat
mengantisipasi perkembangan zaman, dinamika pemikiran umat Islam
3Ibid, hlm. 7
45
lebih banyak porsinya pada bidang fiqih dengan asyik mempertentangkan
masalah khilafiyah dan furi’iyah serta aliran-aliran yang ada. Lebih lanjut
menghasilkan banyak firqoh. Munculnya berbagai firqoh dan adanya
berbagai pertentangan yang muncul di dalam tubuh umat Islam,
menyebabkan pertentangan yang muncul di dalam tubuh umat Islam. Hal
tersebut menyebakan kondisi umat Islam semakin merosot dan lemah di
panggung dunia internasional.4
Sebelum terjadi kemerosotan dunia Islam, seorang ulama' besar
dari Damaskus, yaitu Ibn Taimiyah sudah menyadari dan berusaha untuk
memperbaiki kehidupan umat Islam. Upaya Ibn Taimiyah yaitu
memperbaiki kehidupan umat Islam dengan mengembalikan setiap
pengalaman Islam kepada sumber pokoknya yaitu kitabullah al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah. Artinya upaya yang dilakukan olehnya adalah
membersihkan kepercayaan umat Islam dari praktek-praktek syirik dan
khurafat. Di samping itu, dia berusaha menyehatkan pengalaman ibadah di
kalangan umat Islam dari pengaruh bid’ah dan taklid, dikembalikan
kepada tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Gagasan dan upayanya
ini merupakan embrio gerakan tajdid, yang pada sat dicanangkan masih
terasa asing dan mendapat berbagai tantangan, gagasan dan upaya Ibn
Taimiyah (1263-1328) kemudian dilanjutkan oleh muridnya yang bernama
Ibn Qayyim (1229-1350). Langkah-langkah Ibn Qayyim sama dengan
yang dilakukan oleh gurunya yaitu menyebarkan pengertian dan mendidik
umat Islam untuk memurnikan akidah dan pengalaman Islam sesuai
dengan sumber pokoknya yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ia juga
memperkenalkan tradisi berijtihad dan membukan cakrawala berpikir bagi
umat Islam, sehingga tidak beku dan kreatif mengantisipasi perkembangan
zaman.
Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) mengembangkan
ajaran pemurnian Islam di Jazirah Arab. Dia sebagai ulama' besar di
4Ibid, hlm. 9
46
kalangan Haramain, yaitu Makkah dan Madinah, yang tidak sekadar
mengajarkan pemurnian Islam, tetapi juga memimpin suatu gerakan nyata
untuk membersihkan akidah dan pelaksanaan ibadah dari pencemaran
praktek syirik, khurafat, bid’ah dan taklid.5
Muhammad ibn Abdul Wahab dalam bidang akidah, juga berjuang
agar umat Islam hanya menyembah kepada Allah dan menjauhkan dari
perbuatan syirik dzatiyah dan syirik sifatiyah.6 Yang disebut dengan syirik
dzatiyah adalah perbuatan menyekutukan Allah secara langsung yaitu
menyembah selain Allah. syirik sifatiyah adalah tindakan yang meyakini
suatu benda atau makhluk memiliki kelebihan sebagaimana sifat Allah.
Demikian juga dalam bidang peribadatan khusus, Muhammad ibn
Abdul Wahab menegakkan syari’at Islam berdasarkan sumber pokoknya
yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ibadah khusus untuk menyembah
kepada Allah dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan Muhammad
saw. Apabila dalam peribadatan khusus itu ada penyimpangan dan terjadi
penambahan-penambahan, maka berarti melakukan bid’ah. Perbuatan
bid’ah itu sesat dan menggugurkan ibadah, serta sebagai jalan ke neraka. 7
Muhammad ibn Abdul Wahab lebih lanjut, yaitu di bidang fiqih
mengutamakan kembali ke sumber pokoknya yaitu al-Qur’an dan sunnah.8
Mengenai kitab “Al-Madzahibul Arba’ah (madzhab yang empat)”,
Muhammad ibn Abdul Wahab menganggap sebagai pandangan dan ijtihad
ulama' yang hidup pada zamannya.9
Gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab
mendapat dukungan yang banyak dari para ulama' dan masyarakat Islam
5Syaiful Islam Jamaluddin, Kumpulan Surat-Surat Bersih Diri Muhammad bin Abdul
Wahab, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, hlm. 23-30 dan 33 6Ibid, hlm. 98-99 7Syaiful Islam Jamaluddin, op. cit, hlm. 24 8Ibid, hlm. 7-8 9Ibid, hlm. 42-83
47
di Jazirah Arab, khusus tanah suci Haramain. Selain para ulama' dan
masyarakat Islam, Raja Ibn Su’ud, pendiri kerajaan Saudi Arabia, juga
memberikan dukungannya sehingga gerakannya menjadi besar dan kuat.
Para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab memberikan nama
gerakannya al Muwahhidin yang berarti penegak tauhid. Orang Barat dan
yang memusuhi gerakan Muhammad ibn Abdul Wahab, gerakan ini
disebut dengan Wahabi atau Wahabiyah.
Gerakan al-Muwahhidin memencar dari Jazirah Arab ke pelosok
dunia dibawa oleh para jama’ah haji dan kaum mukminin yang belajar di
Makkah dan Madinah, di pelosok dunia gerakan al-Muwahhidin dikenal
memurnikan Islam. Juga membangkitkan keberanian umat Islam yang
terjajah untuk melawan kolonialisme.10
Para ulama' Makkah dan Madinah abad XVIII, XIX dan XX
sebagian besar adalah pengikut dan penerus Muhammad ibn Abdul Wahab
sehingga merekalah yang berperan mengatur ibadah haji, pendidikan dan
aktivitas keagamaan agar bersih dari syirik, khurafat dan bid’ah.11 Dari
fakta situasional Makkah dan Madinah di bawah kaum Muwahhidin, maka
tidaklah dapat disangkal lagi bahwa Muhammad Darwisy (yang kemudian
dikenal dengan KHA. Dahlan) yang telah pergi haji dan belajar agama di
Makkah mendapat pengaruh gagasan dan gerakan kaum muwahhidin.
Apalagi yang dikembangkan oleh KHA Dahlan kemudian adalah hampir
sama gagasan dan semangatnya dengan gerakan kaum muwahhidin,
meskipun ada beberapa perbedaannya pula.
Pada abad XIX di dunia Islam, selain Jazirah Arab juga muncul
beberapa ulama' besar sebagai penerus Ibn Taimiyyah dan Muhammad ibn
Abdul Wahab. Para ulama' itu antara lain sebagai berikut.
10L. Stodard, Dunia Baru Islam, Panitia Penerbitan, Jakarta, 1966, hlm. 33 11D. Van Der Meulen, Ibn Suud, Djembatan, Jakarta, 1964, hlm. 20-29
48
Jamaluddin al-Afghani, dari Afghanistan, yang hidup pada tahun
1838-1897. Ulama' ini lebih cenderung bergerak dalam bidang politik
dengan upaya membangkitkan “Persaudaraan Islam Se-Dunia”. Ia bercita-
cita untuk meraih kembali kekuasaan Islam di dunia internasional.
Jamaluddin al-Afghani dikenal sebagai pendiri gerakan Pan-Islamisme,
persatuan umat Islam seluruh dunia. Selain itu, gerakannya juga
membangkitkan semangat bantu-membantu berjuang untuk membebaskan
tanah air umat Islam yang dijajah oleh bangsa Barat. Gerakan Pan-
Islamisme ini juga mempengaruhi Indonesia sebagai pendorong lahirnya
pergerakan nasional Indonesia.
Muhammad Abduh (1849-1905) berasal dari Mesir, perjuangannya
yang dikenal adalah membuka kembali pintu ijtihad yang sebelumnya
telah dirintis oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim. Muhammad Abduh
adalah sebagai pelopor pembuka cakrawala berfikir umat Islam dalam
mengamalkan ajaran agamanya. Oleh karena itu sebagai realisasinya ia
mendahulukan pembaharuan pendidikan bagi umat Islam dengan harapan
agar hasilnya akan dapat meperbaiki kehidupan masyarakat Islam. Usaha
Muhammad Abduh antara lain mengadakan emansipasi kebudayaan
terhadap Barat dengan harapan umat Islam akan dapat lebih maju daripada
Barat. Selanjutnya ia menggunakan pendidikan untuk mengkader para
ulama' agar menjadi agen pembaharuan pengamalan Islam di seluruh
dunia. Selain itu pula, Muhammad Abduh memerangi kejumudan di
kalangan umat Islam, menghapus syirik, khurafat, bid’ah dan taqlid. Ia
memiliki majalah yang bernama Al-Urwatul Wutsqa yang diterbitkan di
Paris, Prancis, sebagai media untuk menyebarkan gagasannya agar
tersebar di seluruh dunia, KHA Dahlan termasuk pembaca setia majalah
ini.
Rasyid Ridha (1856-1935), seorang murid Muhammad Abduh,
meneruskan cita-cita serta usaha yang telah digelar oleh gurunya. Dalam
rangka menyebarkan gagasannya, Rasyid Ridha menerbitkan majalah Al-
49
Manar di Mesir. Majalah ini berisi gagasan pembaharuan Islam yang
disebarkan di seluruh dunia, bahkan sampai di Indonesia. KHA Dahlan
juga termasuk pembaca setia majalah ini. Majalah al-Manar di Indonesia
juga dibaca oleh Ahmad Syurkati. Kisah perkenalan KHA Dahlan dan
Ahmad Syurkati di atas kereta api diawali pada wakti keduanya sama-
sama membaca al-Manar. Dengan kesamaan bacaan itulah keduanya
menjadi sahabat. Pembicaraan yang dilakukan oleh keduanya lebih lanjut
timbul suatu gagasan bersama untuk mengembangkan pemurnian dan
pembaharuan Islam di Indonesia. Keduanya membagi tugas, yaitu Ahmad
Syurkati mengembangkan gagasan itu di kalangan keturunan Arab,
sedangkan KHA Dahlan mengembangkan gagasan pembaharuan dan
pemurnian Islam di lingkungan penduduk Boemi Puetra.12
b. Perkembangan Islam di Indonesia.
Sejarah berdirinya Muhammadiyah tidak lepas dari perkembangan
Islam di Indonesia, khususnya perkembangan Islam di Jawa sebagai
lingkungan sosio-kultural yang melahirkan Muhammadiyah. Untuk
melihat perkembangan Islam di Jawa, maka diuraikan selintas sejak masuk
dan perkembangan Islam sampai masuknya pengaruh gerakan pemurnian
Islam.
Proses masuk dan berkembangnya Islam di Jawa mengalami
“dialog” budaya yang panjang. Islam masuk di Jawa melalui para
pedagang dari berbagai bangsa, antara lain: dari Arab, Persia, Gujarat
(India) dan Cina. Di lingkungan bangsa-bangsa yang membawa ajaran
Islam itu, agama Islam sudah mengalami proses akulturasi dan
sinkretisasi, demikian pula proses perkembangannya di Jawa juga
mengalami proses yang sama. Yaitu agama Islam berakulturasi dengan
kebudayaan Jawa dan sinkretisasi dengan kepercayaan Pra-Islam.
12Shaleh al Bakrie, Al Januba Al Arabiyah, Qodim Wa Haditsan 1400-1967
50
Proses awal pengembangan Islam di Jawa dilakukan secara
adaptasi dengan pendekatan kebudayaan, yaitu menggunakan lambang-
lamnang budaya lokal sebagai media penyampaian Islam pada masyarakat
setempat. Pola dakwah yang dilakukan memakai dua jalur, yaitu: Pertama,
yang dtempuh oleh para wali dengan menggunakan lambang-lambang dan
lembaga budaya Jawa, dan Kedua, melalui lembaga pendidikan yang
bernama Pondok Pesantren.
Pola pertama adalah penyebaran Islam yang dilakukan oleh para
ulama' (wali) langsung ke daerah-daerah pedesaan dengan menggunakan
metode akulturasi dan sinkretisasi sebagai contoh misalnya : dalam bidang
akulturasi seperti: sekaten untuk memperingati maulid nabi Muhammad
saw, wayang pembuat ketan-kolak, apem yang berasal dari bahasa Arab
Khatha’an-Qala-Afuum, selamatan dengan kenduri dan tahlilan dengan
menggunakan bacaan lafadh Islam campur kejawen.13
Metode dakwah yang menggunakan akulturasi dan sinkretisasi di
atas memang cepat menarik simpati masyarakat pada waktu itu. Secara
kuantitas pemeluk Islam cepat bertambah cepat sehingga dalam
perkembangannya umat Islam menduduki jumlah mayoritas di Jawa.
Namun, bila bentuk kehidupan Islam yang sinkretik itu tidak diproses
lebih lanjut menuju ke kemurniannya, maka yang akan terjadi adalah
mengkristalnya pola kehidupan Islam yang sinkretik dikalangan umat
Islam di Jawa. Oleh karena itulah diperlukan upaya yang terus menerus
untuk menjelaskan Islam yang sebenarnya sehingga Islam benar-benar
dapat menjalankan kehidupan Islami secara murni.
Proses pengembangan Islam di Jawa menunjukkan adanya
kemajuan yang bersifat kuantitas. Artinya mayoritas masyarakat Jawa
tertarik dan memeluk Islam, sedangkan secara kualitas terhadap intensitas
13Baca dalam Cliffort Geertz, Ritual and Social Dhange a Javanese Example, dalam The
Interpretation of Cultures, Selected Essay, (Lordsa : Hutchinson, 1975). Lihat pula dalam Meijer L. Th & J. F. A. C. Van de Wall, De Sedekahs on Selametan, In de Desa eh De Daarbij Gewonlijk Door Dengan Javaan Gegeven Festiviteiten, G. C. T. Van Dorp & Co, Semarang, 1909, hlm. 82
51
ke-Islaman-nya masih kurang mantap. Menurut hasil penelitian Raffles
yang dilaporkan dalam buku History of Java (1817) dinyatakan bahwa
orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan berperilaku
sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.14 Demikian pula
oleh Kyai Ahmad Rifa’i dalam kitab Ri’ayatul Himmah (1855) dinyatakan
bahwa pengalaman agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari
aqidah Islamiyah dan harus diluruskan.15 Demikianlah keadaan umat Islam
di Jawa sebelum masuknya gagasan pemurnian Islam.
Hubungan antara Jawa dengan Makkah telah dirintis sejak zaman
Sultan Agung Mataram pada abad XVIII, sehingga beberapa orang Jawa
ada yang pergi haji dan belajar di Makkah.16 Pada zaman Sultan Agung
agama Islam mendapat tempat yang cukup layak, para ulama'
mendapatkan status sebagai penasehat raja dan anggota dewan pengadilan
kerajaan Mataram.17 Pada zaman itu pula mulai dikenalkan kalender hijri
yang diganung dengan kalender saka menjadi Jawa.
Kedatangan kolonialisme Barat di kawasan Indonesia pada abad
XV menambah rumitnya perkembangan Islam di Jawa. Bangsa Eropa
lebih bersifat ekspansif bersenjata, mereka datang dengan kekerasan,
perang dan penjajahan serta mengandalkan bedil dan meriam untuk
menguasai Indonesia.18 Portugis menyerbu dan menjajah Malaka pada
tahun 1511, kemudian Belanda dengan VOC nya menguasai Banten pada
14Thomas Stamford Raffles, History of Java, The East Indian Company, London, 1817,
hlm. 2 15Ahmad Rifa’i, Ri’ayatul Himmah, Juz. I, hlm. 339 16B. H. M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesian, The Hague : Van Koeve, 1955,
hlm. 150 17Ibid, 18Umar Kayam, Transformasi Budaya Kita, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas
Sastra UGM, Senat Guru Besar Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1989, hlm. 17
52
tahun 1596. Kaum penjajah bangsa Eropa itu di samping berdagang dan
menjajah Indonesia, juga aktif menyiarkan agama kristen.19
Penggunaan politik devide et ampera membuat mereka berhasil
menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Namun para ulama' dan rakyat
di Indonesia tidak tinggal diam, merak aterus mengadakan perlawanan
sehingga muncullah perang di hampir seluruh pelosok pedesaan di
Indonesia. Adanya kesibukan perang melawan penjajahan bangsa Barat
itu, maka proses perkembangan Islam yang dilakukan oleh para ulama'
mengalami hambatan, sehingga proses pemurnian Islam pun mengalami
kemandekan. Dengan demikian maka wajar bila pengamalan Islam secara
sinkretik dan akulturasi semakin digemari oleh umat Islam yang awal
terhadap al-Qur’an dan Sunnah.
Munculnya politik kolonial deislamisasi menambah beban
keihdupan sosio-kultural umat Islam. Dalam pelaksanaan deislamisasi
pemerintah Hindia Belanda mencanangkan kebijakan antara lain :
Pertama, umat Islam dipecah menjadi dua yaitu Islam Abangan dan Islam
Putihan, Kedua, ulama' dan pemimpin adat diupayakan saling
bertentangan, Ketiga, umat Islam dilarang berpolitik dengan konsepsi
keislamannya, Keempat, mendirikan banyak sekolah dengan tujuan
terencana untuk memisahkan anak-anak umat Islam dari keyakinan
terhadap Islam, Kelima, politik pendekatan pada umat Islam dan para
ulama' dengan menganjurkan untuk membangun masjid-masjid jami’ dan
memberangkatkan haji gratis bagi para ulama' yang mau bekerjasama
dengan pemerintah. Konsep politik de Islamisasi (Ducth Islamic Polecy)
dibuat oleh Christian Snouck Horgonje dengan tujuan untuk melemahkan
potensi umat Islam dalam melawan Belanda.20
19Muller Krager, Sejarah Gereja di Indonesia, Badan Penerbitan Kristen, Jakarta, 1966,
hlm. 17 20P. JS Van Koningsveld, Snouck Hurgonje dan Islam, Girimukti Pustaka, Bandung,
1989, Lihat pula Adaby Darban, Snouck Hourgonje dan Islam di Indonesia, Pustaka Irma, Yogyakarta, 1984
53
Sebelum deislamisais muncul, pemerintah kolonial Belanda
melakukan kritenisasi. Para pendeta dan para pastor atau suster mendapat
bantuan fasilitas dan dana serta politis dari pemerintah, bahkan beberapa
pendeta ada yang dijadikan pegawai di lingkungan pemerintahan. Di
dalam bidang pendidikan kader penyebar agama kristen, gerakan Zending
mendirikan sekolah penginjil yang pertama di Jawa Tengah pada tahun
1888. Pada tahun 1905 sekolah itu dipidahkan ke Yogyakarta dengan
nama sekolah pendeta. Selain itu juga didirikan sekolah missi dan sekolah
guru. Pada abad XIX pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah-
sekolah antara lain Earste Klasse sekolah yang diperuntukkan bagi anak-
anak pegawai dan pejabat, serta orang-orang terpandang, yang diadakan di
karisedenan. Tujuan pemerintah menyelenggarakan sekolah itu untuk
memenuhi kebutuhan pegawai di lingkungan pemerintah kolonial Belanda.
Pada tahun 1914 sekolah tersebut diubah namanya adalah E.L.S didirikan
pada tahun 1864 ; Stovia didirikan pada tahun 1875 dan Tweede Klasse
pada tahun 1875.21
Munculnya berbagai sekolah yang dikelola oleh missi Zending dan
pemerintah kolonial Belanda ada positifnya dan ada negatifnya. Positifnya
mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah itu pada
umumnya mengetahui wawasan ilmu pengetahuan umum sehingga
membuka cakrawala keilmuan yang luas dan pengetahuan tentang
pergerakan nasional. Negatifnya adalah sekolah pada zaman kolonial itu
menghasilkan lulusan yang menjadi pengikut kolonialis Belanda. Di
samping itu mereka yang bersekolah di sekolah missi, Zanding dan
sekolah pemerintah kolonial pada umumnya akidah Islamnya
mengambang, bahkan ada pula yang berpindah agama menjadi Nasrani.
Dengan demikian rencana Snouck Horgonje untuk memisahkan umat
Islam dari keyakinan agama Islamnya ada yang menjadi kenyataan,
meskipun tidak semuanya.
21Yusron Asrofi, KHA Dahlan Pemikiran dan Kepemipinannya, Yogyakarta Ofset, Yogyakarta, 1983, hlm. 11. Lihat pula Muller Kruger, op. cit, hlm. 71-73
54
Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga mempunyai program
yang jelas tentang Cristening Politiek yaitu politik untuk mengkristenkan
bangsa Indonesia dengan maksud agar mudah dikendalikan dan tidak
melawan pemerintah Belanda. Tindakan Belanda ini dapat dilihat dari
pernyataan Stodard sebagai berikut :
“Suatu tindakan yang tidak dapat dilupakan oleh rakyat yang terjajah, akan kebobrokan politik penjajah, adalah mempergunakan kesucian agama bagi kepentingan busuk kolonialismenya. Misalnya apa yang telah dikerjakan oleh Gubernur Jendra Idenburg dengan politik pengkristenannya terhadap penduduk nusantara. Politik untuk mengkristenakan penduduk Boemi Poetra itu adalah dengan cukup jahat, untuk menanamkan cakar kolonialismenya”.22
Politik Kristenisasi untuk Indonesia mendapat prioritas dari
pemerintah Belanda. Hal ini dibuktikan adanya “Pidato Ratu Belanda
(Troandrede)” tahun 1901 yang isinya antara lain sebagai berikut :
“Sebagai negara Kristen, pemerintah belanda berkewajiban mengatur lebih baik kedudukan hukum rakyat kristen yang berada di kepulauan Hindia Belanda, dengan memperkuat Zending kristen meneruskan kebijaksanaan pemerintah Belanda, yaitu harus mengisi panggilan moral terhadap negara jajahan”.23
Demikianlah gambaran adanya uapaya kristenisasi bagi penduduk
Indonesia yang sudah mayoritas muslim. Oleh karena itulah pada akhir
abad XIX umat Islam di Indonesia sedang dalam keadaan mundur dan
memprihatinkan. Kondisi itu tampak antara lain sebagai berikut.
Pertama, kehidupan beragama Islam kondisinya masih bercampur
aduk dengan kepercayaan, kehidupan Pra-Islam, sehingga pengalaman
umat Islam banyak menyeleweng dari tuntunan pokok ajaran Islam. Umat
Islam banyak melakukan praktek syirik, khurafat dan bid’ah.
22L. Stoddard, Dunia Baru Islam, op. cit, hlm. 306 23F. L. Rutgers, Idenburg on de Sarekat Islam in 1913, Amsterdam, 1939, hlm. 2
55
Kedua, akibat adanya penjajahan, maka dunia pendidikan Islam
menutup diri hanya di pondok-pondok pesantren serta terbatas hanya
mempelajari ilmu keagamaan.
Ketiga, adanya Kristenisasi yang didukung oleh pemerintah
Belanda, sehingga berproses menuju pemurtadan terhadap umat Islam.
Keadaan sosio-kultural yang sangat memprihatinkan kehidupan
Islam itu, di kampung Kauman Yogyakarta muncul seorang ulama' yang
pernah mendidik di Makkah, yaitu KHA Dahlan, yang memiliki gagasan
dan upaya berbuat untuk mengubah kehidupan umat Islam Indonesia ke
arah masa depan yang lebih baik. Dari kampung Kauman Yogyakarta
inilah KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912.
c. Keorganisasian Muhammadiyah.
1. Majlis Tarjih.
a. Latar belakang timbulnya majlis tarjih (lajnah tarjih).
Latar belakang timbulnya majlis tarjih (yang sekarang
dengan sebutan lajnah tarjih) dalam persyarikatan, ialah dalam
konggres Muhammadiyah ke XVI di Pekalongan pada tahun 1927,
almarhum K.H. Mas Mansur yang pada waktu itu sebagai Konsul
Muhammadiyah daerah Surabaya, mengusulkan agar di dalam
organisasi Muhammadiyah dibentuk suatu majlis ulama' yan
gbertugas khusus untuk membahas masalah-masalah agama.
Usul K.H. Mas Mansur tersebut disertai dengan alasan,
karena dikhawatirkan nanti akan timbul perpecahan di dalam
Muhammdiyah yang disebabkan perbedaan paham-paham
pendapat mengenai masalah-masalah furu’iyah di kalangan ulama'
Muhammadiyah sendiri, sebagai kenyataan dalam sejarah
menunjukkan bahwa karena masalah khilafiyah itulah timbulnya
pertentangan dan perpecahan di kalangangan umat Islam, terutama
ulama'nya. Dan yang lebih dikhawatirkan lagi kalau
56
Muhammadiyah sampai menyimpang dari batas-batas hukum
agama, hanya kwantitasnya. Maka perlulah dibentuk majlis yang
membahas masalah-masalah agama dan mempersatukan masalah
khilafiyah yang masuk dalam kalangan Muhammadiyah, agar
Muhammadiyah tetap satu dan utuh. 24
Usul PP Muhammadiyah atas inisiatif perumus kemudian
dibawa ke dalam muktamar Muhammadiyah dan muktamar
mengesahkan Qoidah Majlis Tarjih serta membentuk pusat
pimpinannya. 25
b. Struktur organisasi dan keanggotaan Lajnah Tarjih
Muhammadiyah, (sesuai dengan surat keputusan PP
Muhammadiyah No. 5 / PP / 1971 tentang Qoidah Lajnah Tarjih
Muhammadiyah) : 26
1. “Lajnah tarjih” dibentuk di tingkat pusat, wilayah dan daerah
oleh pimpinan persyarikatan masing-masing tingkat dengan
sebutan “lajnah tarjih pusat, lajnah tarjih wilayah, lajnah tarjih
daerah”. Ketarjihan pada tingkat cabang dan ranting di urus
oleh lajnah tarjih daerah yang bersangkutan. Letak lajnah tarjih
sebagai lembaga persyarikatan dalam bidang agama adalah
diisi pimpinan persyarikatan. Lajnah tarjih sebagai badan
legislatif dan pimpinan persyarikatan sebagai badan eksekutif
(pemegang risalah tanfidziyah). Lajnah tarjih dalam
melaksanakan tugasnya, dilengkapi dengan pimpinan lajnah
tarjih yang disebut dengan majlis tarjih, anggota-anggota
lajnah tarjih dan musyawarah lajnah tarjih.
24H.D.G. Mukhtar, Beberapa Aspek Pedoman Bertarjih, Pimpinan Pusat Pemuda
Muhammadiyah, hlm. 11 25Ibid, hlm. 12 26Ibid, hlm. 15-16
57
2. Pimpinan lajnah tarjih yang disebut majlis tarjih,
kedudukannya sama dengan majlis-majlis yang lain, yaitu
sebagai badan pembantu pimpinan persyarikatan. Susunan dan
keanggotaan piminan majlis ditetapkan oleh pimpinan
Muhammadiyah masing-masing tingkat. Majlis tarjih pusat
memimpin lajnah tarjih wilayah memimpin lajnah tarjih
wilayah, terdiri sekurang-kurangnya 7 orang, dan majlis tarjih
daerah memimpim majlis tarjih daerah, terdiri sekurang-
kurangnya 5 orang.
3. Anggota lajnah tarjih ialah ulama' dan merupakan anggota
persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih, diangat
dan ditetapkan oleh pimpinan persyarikatan yang
bersangkutan.
4. Musyawarah lajnah tarjih, untuk tingkat pusat disebut
muktamar, tingkat wilayah disebut musyawarah wilayah dan
tingkat daerah disebut musyawarah daerah diselenggarakan
dengan persetujuan pimpinan persyarikatan tingkat yang
bersangkutan.
Musyawarah lajnah tarjih dihadiri oleh anggota
musyawarah, yaitu anggota lajnah tarjih yang bersangkutan dan
anggota majlis tarjih, dan mereka yang dipandang perlu oleh majlis
tarjih dengan persetujuan pimpinan persyarikatan yang
bersangkutan. Musyawarah dipimpin oleh majlis tarjih yang
bersangkutan.
c. Kegiatan Majlis Tarjih. 27
1. Majlis tarjih atau juga disebut lajnah tarjih tugasnya seperti
dinyatakan dalam pasal 2 Qoidah Lajnah Tarjih
Muhammadiyah tahun 1971, yaitu :
27Ibid, hlm. 17-18
58
a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk
memperoleh kemurniannya.
b. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan
maupun tarjih sendiri memandang perlu.
c. Menyusun tuntunan aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah.
d. Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang
keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
e. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh
pimpinan persyarikatan.
Qoidah induk majlis-majlis, yaitu kepemimpinan PP
Muhammadiyah No. 5 / PP / 74 tentang majlis dan bagian serta
pokok tugas, hak dan wewenang serta keajibannya, dalam pasal 8
dinyatakan :
1. Majlis-majlis yang diperlukan untuk membantu jalannya
pimpinan persyarikatan ialah :
Tarjih dengan pokok-pokok tugas :
a. Meneliti hukum Islam untuk mendapatkan kemurniannya.
b. Memberi bahan dan pertimbangan kepada pimpinan
persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dan
menjalankan pimpinan serta memimpin pelaksanaan ajaran
dan hukum Islam kepada anggota.
c. Mendampingi pimpinan persyarikatan dalam memimpin
anggota dalam melaksanakan ajaran dan hukum Islam.
2. Hasil kegiatan majlis tarjih Muhammadiyah, baik yang dengan
melalui mu’tamarnya atau musyawarahnya, musyawarah
khusus atau terbatas ataupun rapat-rapat pimpinannya ialah :
a. Keputusan tarjih seperti yang terhimpun dalam HTP
(Himpunan Putusan Tarjih) dan yang belum terhimpun :
hasil muktamar tarjih di Garut Jawa Barat tahun 1976 dan
hasil muktamar tarjih di Klaten Jawa Tengah tahun 1980.
59
b. Tuntunan tentang tata tertib dalam persidangan,
penerangan tentang keputusan tarjih, tuntunan membina
keluarga sejahtera.
c. Menyelenggarakan PUTM, menyelenggarakan seminar
falak dan di susul musyawarah falak terbatas.
d. Bersifat memberikan pertimbangan kepada PP
Muhammadiyah, seperti masalah rancangan UU
perkawinan masalah hukum vasektomi, tubectomi,
mentrual, regulation.
e. Dan lain-lain.
d. Sumber Hukum Islam Menurut Muhammadiyah.
Pada tahun 1935 PP. Muhammadiyah mengeluarkan
statemen yang dimuat dalam suara Muhammadiyah No. 6 tahun
1936 yang antara lain menyatakan sebagai berikut : 28
Kekhawatiran adanya percekcokan dan perselisihan dalam
kalangan Muhammadiyah tentang masalah agama itu, maka
perlulah mendirikan majlis tarjih untuk menimbang dan memilih
dari segala masalah yang diperselisihkan dan masuk dalam
kalangan Muhammadiyah manakala dianggap kuat berdalil benar
dari al-Qur’an dan hadits.
Penyelidikan dan pertimbangan dengan berdalil al-Qur’an
dan hadits itulah putusan majlis tarjih dapat mempersatukan dan
menjaga Muhammdiyah dari pada kemasukan perselisihan yang
mesti dilenyapkan.
Penggunaan dasar al-Qur’an dan hadits ini, lebih tegas di
rumuskan pada muktamar khusus yang berlangsung di Yogyakarta
tanggal 29 Desember sampai dengan 3 Januari 1955 dengan hasil
28PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, PP
Muhammadiyah, Cet. 2, 1971, hlm. 340
60
yang terkenal dengan masalah lima yang antara lain dirumuskan
tentang agama Islam sebagai berikut : 29
نةت باالسا جا ئ ومرأن اهللا ىف القلزنا أ موه) الدين اال سالم (ينلدار وامن األ محيحةالصواه والناالى ولشادات ر بادع الالحصد نم يا ه ماهرخوأ
"Agama yakni agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam sunah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat".
Rumusan ini dapat diketahui bahwa dalam masalah agama,
Muhammadiyah bersumberkan al-Qur’an dan hadits. Hal ini lebih
tegas lagi perumusannya dalam rangka menjelaskan kedudukan
qiyas, dinyatakan sebagai berikut:30
رمي الكانرق الو هالعطلى االى عالم االسريعشى الت فلألصاالويثدح
"Bahwa dasar mutlak (tanpa batasan dan ikatan) untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur’an dan hadits".
Sedangkan kedudukan ijtihad menurut Muhammadiyah
dalam keputusan mengenai masalah lima dinyatakan sebagai
berikut : bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang
telah terjadi dan sangat menghajatkan pengetahuan hukumnya
untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang bukan ibadah
mahdlah (melulu), padahal untuk alasan hukumnya tidak terdapat
nash sharih (dalil Qur’an dan hadits yang jelas terang) yang
manthuq (terucapkan) di dalam Qur’an (sunnah sahih, maka untuk
mengetahui hukumnya dipergunakan alasan dengan jalan ijtihad
29Ibid, hlm. 281 30Ibid, hlm. 283
61
dan istinbath dari nash-nsah yang ada dengan melalui persamaan
illah (sebab) sebagaimana telah dilakukan oleh ulama' salaf (yang
dahulu) dan khalaf (yang kemudian). Dengan demikian, ijtihad
merupakan jalan penetapan hukum, bukan sebagai sumber hukum.
B. Qunut Menurut Muhammadiyah
1. Pengertian
Makna asli dari perkataan “qunut” adalah “tunduk kepada Allah
dengan penuh kebaktian. Muktamar Muhammadiyah31 dalam
keputusannya menggunakan makna qunut yang berarti “berdiri lama
dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dan berdo’a sekehendak
hati” sebagaimana dapat diambil pengertian tersebut.
Adapun landasan teori yang digunakan adalah:
a. Hadits dari Jabir, bahwa Nabi saw bersabda : shalat yang paling utama
adalah berdiri lama (untuk membaca dan berdo’a). (Diriwayatkan oleh
Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Imam Tirmidzi
menshohehkan hadits tersebut). (Nalilul Authar : 3 hlm. 64).
b. Berkata Bukhari : berkata Muhammad bin ‘Ajlan dari Nafi’, dari Ibnu
Umar R.H.A, katanya : pernah Rasulullah mengutuk orang-orang
musyrik dengan menyebut nama-nama mereka sampai Allah
menurunkan ayat: األية" ليس لك من األمر شئ"
2. Macam-Macam Qunut
a. Qunut Shubuh
Pada perkembangan sejarah fiqih, di masa lampau orang telah
cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut
shubuh, yakni ‘berdiri sementara’ pada shalat subuh sesudah ruku’
31PP. Muhammdiyah, Keputusan Muktamar Tarjih, op. cit, hlm. 367-369
62
pada rekaat kedua dengan membaca do’a: allahu mmahdini fi man
hadait dan seterusnya.
Muktamar tarjih mempunyai pemahaman berkaitan dengan
qunut shubuh, yaitu:
a. Setelah diteliti kumpulan macam-macam hadits tentang qunut,
maka muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari
pada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat subuh.
b. Bacaan do’a adalah : داللهم اهىن فيمنه دياحل ... ت dalam shalat
subuh itu, haditsnya tidak sah.
c. Penerapan hadits riwayat hasan tentang do’a : untuk khusus
dalam qunut subuh, tidak dibenarkan.
Muktamar Tarjih Wirodeso32, Pekalongan telah melakukan
penelitian kembali terhadap dalil yang menuntunkan membaca qunut
dalam shalat subuh. Penelitian itu menunjukkan bahwa dalil yang
selama ini dipergunakan ternyata tidak kuat. Oleh karena itu qunut
tersebut tidak perlu dilaksanakan.
b. Qunut Nazilah.
Penggunaan qunut nazilah ternyata masih menjadi persoalan.
Hal tersebut berasal dari pemahaman yang berbeda dan belum dapat
dipertemukan, yaitu mengenai hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah saw. tidak mengerjakan qunut nazilah setelah di turunkan
ayat :
)128(ليس لك من الأمر شيء أو يتوب عليهم أو يعذبهم فإنهم ظالمون“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, apakah Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka,
32Abdul Munir Mulkhan, Jawaban Kyai Muhammadiyah, Kreasi Wacana, Yogyakarta,
2002, hlm. 62
63
karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dholim”. (Q.S: Ali Imran: 128)33
Jelasnya ialah bahwa Rasulullah saw. pada beberapa
kesempatan telah mengerjakan qunut nazilah dalam hubungan
penganiayaan orang kafir terhadap kelompok orang Islam. Rasulullah
saw. dalam do’a tersebut memohon untuk dikutukkann mereka yang
telah melakukah kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah
terhadap mereka (kaum kafir yang telah membantai para shahabat
Nabi), kemudian turunlah ayat :
األية ...ليس لك من الأمر شيء
Pemahaman yang timbul dari riwayat tersebut adalah :
a. Bahwa qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan.
b. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan
permohonan pembalasan terhadap perorangan.
c. Qunut Witir
Hadits yang dijadikan alasan bagi qunut witir diperselisihkan
oleh ahli-ahli hadits. Muktamar masih merasa memerlukan penelitian
dan mempertimbangkan dasar perbedaan penilaian ahli-ahli hadits
tersebut. Oleh karenanya keputusan Majlis tarjih masih menunda
(tawaquf) persoalan qunut nazilah yang akan dibahas pada kesempatan
lain.
PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih mengusulkan kepada PP.
Muhammadiyah, berhubung dengan masih tawaqufnya qunut witir ini,
maka hendaknya dalam pentahfidzan keputusan muktamar, hal itu
(qunut witir) tidak perlu dimuat.
Pengertian qunut menurut Muhammadiyah adalah sesuai dengan yang
ada pada hadits, yaitu "panjang bacaannya untuk membaca dan berdo’a dan
33Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag,
RI, Jakarta, 1989, hlm. 97
64
lama berdirinya". Artinya shalat tersebut dilakukan dengan tenang dan tidak
tergesa-gesa. Lebih lanjut dapat disarikan sebagai berikut:
)القنوت(
1. ى اليرملجق الن اسبنوت معللقيامق الول طىن أةرىفعاء والد الة الص مشروع.
فتعارم الرجف النوت بقيامق الكل ذيةمس تصوصخ مسلجمى ال يرال .2خالمفةلتهمك ىف ح.
.االية, ئ شرمالن ا م لكسيل, اهللازلن اىت حةلزنا النىب صلعم للتنق .3
4. وقتالف ملجفس بارتى اعو النوت قديث حرتح ةجهوت ىف ثب.
1. Bahwa qunut dengan arti berdiri lama untuk membaca dan berdo’a di
dalam shalat itu masyru’ (ada tuntunannya).
2. Tidak membenarkan adanya pengertian (qiyam) di atas di khususkan untuk
qunut subuh yang sudah dikenal dan diperselisihkan hukumnya.
3. Nabi saw menjalankan qunut nazilah sampai Allah menurunkan surat Ali
Imran: 128.
4. Belum dapat mengambil keputusan tentang menilai hadits witir yang
dipakai hujjah alasan bagi adanya qunut witir