BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

51
21 BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (AATHP) DALAM MENGATASI PERMASALAHAN POLUSI KABUT ASAP DI KALIMANTAN TENGAH 2015-2019 4.1 Polusi Kabut Asap di Indonesia Pada Tahun 2015-2019 Terdapat banyak permasalahan yang mengebabkan adanya polusi kabut asap dan terdapat banyak permasalahan yang diakibatkan dari permasalahan polusi kabut asap. Terkait hal ini, dimana tidak terlepas dari permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Hutan dan lahan sendiri melalui Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2001 menyatakan bahwa “hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dan lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat”. Artinya bahwa hutan dan lahan adalah sumber daya alam yang berfungsi untuk menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, baik dibidang ekologi, ekonomi, dan sosial maupun budaya. Dan kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan maupun pencemacaran lingkungan hidup, baik dalam lokasi usaha maupun diluar lokasi usaha. Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai iklim tropis karena terletak di garis khatulistiwa, yang mana musim kemarau dan musim hujan merupakan ciri khas negara beriklim tropis. Hal ini kemudian cuaca ekstrim seringkali terjadi di Indonesia hampir setiap tahunnya seperti bencana banjir yang terjadi pada musim hujan dan bencana kebakaran yang terjadi pada musim kemarau (menlhk, 2019). Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak urutan keempat di dunia, dengan jumlah pekerja di sektor pertanian, peternakan, dan kelautan mencapai 40 persen dari total pekerja di Indonesia secara keseluruhan (detikfinance, 2014), kemudian jumlah luas lahan berhutan sekitar 94,1 juta hektar atau 50,1 persen dari total luas daratan (menlhk, 2020), dan luas lahan gambut sekitar 15,4 juta hektar yang berada di provinsi Riau, Jambi, Sumatera

Transcript of BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

Page 1: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

21

BAB IV

PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI ASEAN

AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (AATHP)

DALAM MENGATASI PERMASALAHAN POLUSI KABUT ASAP DI

KALIMANTAN TENGAH 2015-2019

4.1 Polusi Kabut Asap di Indonesia Pada Tahun 2015-2019

Terdapat banyak permasalahan yang mengebabkan adanya polusi kabut asap

dan terdapat banyak permasalahan yang diakibatkan dari permasalahan polusi kabut

asap. Terkait hal ini, dimana tidak terlepas dari permasalahan kebakaran hutan dan

lahan. Hutan dan lahan sendiri melalui Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2001

menyatakan bahwa “hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan

alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dan lahan

adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau

kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat”. Artinya bahwa hutan dan lahan

adalah sumber daya alam yang berfungsi untuk menopang kehidupan manusia dan

makhluk hidup lainnya, baik dibidang ekologi, ekonomi, dan sosial maupun

budaya. Dan kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan

maupun pencemacaran lingkungan hidup, baik dalam lokasi usaha maupun diluar

lokasi usaha.

Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai iklim tropis karena

terletak di garis khatulistiwa, yang mana musim kemarau dan musim hujan

merupakan ciri khas negara beriklim tropis. Hal ini kemudian cuaca ekstrim

seringkali terjadi di Indonesia hampir setiap tahunnya seperti bencana banjir yang

terjadi pada musim hujan dan bencana kebakaran yang terjadi pada musim kemarau

(menlhk, 2019). Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk

terbanyak urutan keempat di dunia, dengan jumlah pekerja di sektor pertanian,

peternakan, dan kelautan mencapai 40 persen dari total pekerja di Indonesia secara

keseluruhan (detikfinance, 2014), kemudian jumlah luas lahan berhutan sekitar 94,1

juta hektar atau 50,1 persen dari total luas daratan (menlhk, 2020), dan luas lahan

gambut sekitar 15,4 juta hektar yang berada di provinsi Riau, Jambi, Sumatera

Page 2: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

22

Selatan, Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan

Kalimantan Tengah (lihat gambar 2). Luas lahan gambut di Indonesia merupakan

luas lahan gambut terluas di kawasan ASEAN maupun secara global dengan

presentase 45 persen, dan diikuti oleh Malaysia, Brunei, Vietnam, Filipina, Papua

New Guinea, Thailand, Afrika, Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan

(Fahmuddin Agus.dkk, 2016).

Gambar 2

Sebaran Lahan Gambut di Indonesia. Sumber: Pantaugambut.id, 2018

Gambut di Indonesia secara umum terbentuk karena adanya penimbunan

bahan organik tumbuhan yang kemudian membentuk lapisan gambut yang tebal.

Terkait hal ini kemudian sebagai tempat untuk tergenangnya air hujan, dimana

secara alami gambut dapat menampung air mencapai 90 persen dari volumenya

sehingga berfungsi sebagai kawasan penyangga hidrologi. Selain itu terdapat

ekosistem gambut yang terdiri dari sungai dan laut atau Kesatuan Hidrologi Gambut

(KHG) yang terdiri dari rawa maupun dua sungai. Terdapat dua fungsi ekosistem

gambut ataupun KHG yaitu fungsi hidrologi maupun fungsi ekologi. Terkait hal

ini, untuk mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan mencegah intrusi air

laut, serta menyuplai air pada musim kemarau. Selain itu, sebagai penyangga

pelestarian habitat orang utan maupun satwa endemik lainnya, sumber pangan

perikanan bagi masyarakat lokal, dan penyeimbang iklim di bumi. Ekosistem

gambut maupun KHG merupakan lahan yang marjinal dan sangat rentan

mengalami kerusakan atau degradasi, serta sulit untuk di pulihkan kembali, yang

mana lahan gambut yang terdegradasi berpotensi sebagai bahan bakar untuk proses

kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau (DLH Kalteng, 2020). Dengan

Page 3: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

23

karakteristik dari lahan gambut tersebut, kemudian dapat menyimpan bara api

sampai pada kedalaman tertentu dan bara api tersebut dapat menjalar pada gambut

kering di sekitarnya yang suatu saat dapat naik di permukaan (Azwar Maas, 2020).

Hal ini artinya bahwa kebakaran yang terjadi pada lahan gambut berbeda dengan

kebakaran yang terjadi pada lahan mineral, dimana kebakaran pada lahan gambut

tidak hanya terjadi di permukaan tanah tetapi kebakaran juga terjadi di dalam tanah

dengan kedalaman tertentu.

Terkait hal diatas artinya bahwa permasalahan polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan seringkali terjadi di Indonesia. Dimana permasalahan

polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar terjadi di

Indonesia sejak tahun 1982/1983,1987,1991,1994,1997/1998, 2002, 2006, 2015,

dan 2019. Secara umum terdapat dua faktor penyebab polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yaitu kebakaran yang tidak disengaja atau

akibat adanya cuaca ekstrim dan kebakaran yang disengaja atau akibat aktivitas

manusia sebagai penyebab terbesar kebakaran hutan dan lahan. Terkait hal ini,

dimana menurut Saharjo.dkk (2005) mengatakan bahwa 99,9 persen kebakaran

hutan dan lahan disebabkan oleh manusia dan 0,1 persen disebabkan oleh faktor

alam atau cuaca ekstrim. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (LHK) juga mengatakan bahwa 99 persen kebakaran hutan dan lahan

disebabkan oleh manusia, yang dikarenakan kebiasaan pembukaan lahan untuk

pemukiman dan pertanian maupun perkebunan dengan cara membakar karena lebih

cepat, mudah dan murah, dimana jumlah biayah untuk pembukaan lahan dengan

cara membakar sekitar Rp 600.000 hingga Rp 800.000 per hektar, sedangkan

dengan cara tanpa membakar lebih sulit dan mahal, dimana jumlah biayah untuk

pembukaan lahan dengan tanpa membakar sekitar Rp 3.400.000 bahkan hingga Rp

50 juta per hektar (bnpb, 2015). Sekitar 80 persen tanah bekas kebakaran hutan dan

lahan dijadikan pemukiman dan pertanian maupun perkebunan (Lusia

Arumingtyas, 2019).

Selain itu, menurut Rasyid (2014) mengatakan bahwa adanya kebakaran

hutan dan lahan di tanah gambut yang kering disebabkan oleh kondisi bahan bakar,

cuaca, dan sosial budaya masyarakat. Dan Yulianti (2018) juga mengatakan terkait

segitiga api yaitu terdapat tiga elemen utama penyebab kebakaran hutan dan lahan

Page 4: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

24

seperti ketersediaan bahan bakar, oksigen, dan energi panas. Bahan bakar dapat

berbentuk padat, cair, dan gas. Kemudian konsentrasi oksigen yang dibutuhkan

untuk proses pembakaran biasanya sekitar 21 persen. Dan energi panas dapat

berupa hasil reaksi kimia, proses mekanik, proses fisika (gesekan), dekomposisi

bahan organik, radiasi matahari dan listrik (Nina Yulianti, 2018). Ketiga elemen ini

sangat berperan penting dalam mendukung pembentukan pembakaran lengkap,

dimana ketika terjadi kebakaran pada satu titik hutan dan lahan, maka dengan

adanya angin kencang akan mempercepat kecepatan api untuk merambat ke area

yang lebih luas dan kering.

Pada tahun 2015 hingga 2019 permasalahan polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan seringkali terjadi di Indonesia. Dimana total luas

kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, khususnya

pada tahun 2015 hingga 2019 telah mencapai sekitar 5 juta hektar (lihat tabel 1).

Dimana dari tahun 2015 hingga tahun 2019, luas kebakaran hutan dan lahan

terbesar terjadi pada tahun 2015, yaitu seluas 2.611.411,44 hektar, diantaranya

seluas 1.741.657 hektar atau sekitar 67 persen terjadi di tanah mineral dan seluas

869.754 hektar atau sekitar 33 persen terjadi di tanah gambut (Raja H Napitupulu,

2021). Dan pada tahun 2019, yaitu seluas 1.649.258,00 hektar, diantaranya seluas

1.154.807 hektar atau sekitar 70 persen terjadi di tanah mineral dan seluas 494.450

hektar atau sekitar 30 persen terjadi di tanah gambut (menlhk, 2019). Terkait hal

ini, dikarenakan pada tahun 2015 terdapat fenomena El Nino dan pada tahun 2019

terdapat fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam fase positif, kedua hal

ini menciptakan cuaca kekeringan yang panjang atau musim kemarau yang panjang

daripada biasanya. Hal ini kemudian menghasilkan jumlah hotspot atau titik api

yang banyak, dimana pada tahun 2015, jumlah titik api dari bulan Juni hingga bulan

Oktober mencapai sekitar 120 ribu titik api (CNN Indonesia, 2019) dan pada tahun

2019 dari bulan Juni hingga bulan Oktober jumlah titik api mencapai sekitar 25 ribu

titik api (SiPongi.menlhk).

Tabel 1

No Tahun Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (ha)

Page 5: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

25

1. 2015 2.611.411,44

2. 2016 438.363,19

3. 2017 165.483,92

4. 2018 529.266,64

5. 2019 1.649.258,00

Total 5.393.783,19

Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Pada Tahun 2015-2019. Sumber:

SiPongi.menlhk, 2020 (diolah oleh penulis)

Terkait kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 dan 2019

tersebut kemudian menghasilkan polusi kabut asap di Indonesia. Polusi kabut asap

mengandung beberapa gas dan partikel kimia seperti sulfur dioksida (SO2), karbon

monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NO2), dan ozon

(O3), hal ini kemudian dapat menggangu kesehatan manusia seperti Infeksi Saluran

Pernafasan (ISPA), asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung, dan

iritasi. Pada tahun 2015, jumlah korban yang meninggal hingga pada bulan

November lebih dari 10 orang dan sekitar ratusan ribu warga menderita penyakit

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dimana penderita ISPA terbanyak berada

di Jambi yang mencapai 150 ribu jiwa, kemudian di Sumatera Selatan mencapai

115 ribu jiwa dan menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi

dan Hubungan Masyarakat BNPB menyatakan bahwa jumlah masyarakat yang

terpapar asap di pulau Sumatera dan Kalimantan sekitar lebih dari 43 juta orang.

Jumlah penderita ISPA berbeda-beda di setiap daerah karena tergantung pada

tingkat dampak kebakaran hutan dan lahan, serta kabut asap yang terjadi (bnpb,

2015). Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa terdapat

ribuan sekolah diliburkan, diantaranya 200 sekolah untuk jenjang PAUD dan SD,

serta 300 sekolah untuk jenjang SMP dan SMA. Kemudian hingga pada bulan

Oktober 2015 terdapat 24.773 sekolah ditutup dan 4,7 juta siswa maupun siswi

diliburkan (Trinirmalaningrum.dkk, 2015).

Selain itu, terdapat pembatalan terhadap ribuan penerbangan di beberapa

tempat seperti di daerah Jambi, Pekanbaru, dan Palembang. Dan terdapat kerusakan

pada taman nasional Gunung Palung, Danau Sentarum, Tanjung Puting, dan Bukit

Baka Bukit Raya yang berada di pulau Kalimantan dan tanam nasional Sembilang,

Page 6: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

26

Way Kambas, Bukit Tiga Puluh, dan Berbak yang berada di pulau Sumatera, hal

ini kemudian mengakibatkan beberapa jenis spesies yang belum terindentifikasi

maupun yang sudah teridentifikasi terancam mati, seperti orang utan di Kalimantan,

harimau di Sumatera, dan sebagainya (bnpb, 2015). Dan kerugian ekonomi

Indonesia mencapai sekitar 16,1 miliar USD atau sekitar Rp 221 triliun, artinya

sekitar 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kerugian ini

mencakup sektor pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri,

pariwisata, dan sektor-sektor lainya, serta biaya untuk mengatasi polusi kabut asap

akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 (World Bank, 2015). Dan pada

tahun 2019 menurut data World Bank, Indonesia mengalami kerugian ekonomi

mencapai US$5,2 miliar atau sekitar Rp 72,95 triliun, artinya sekitar 0,5 persen dari

Produk Domestik Bruto Indonesia. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan

Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo

menyatakan bahwa hingga pada bulan September terdapat 919.516 orang menderita

gangguan pernapasan (Falahi Mubarok, 2019) dan 12 bandar udara nasional

berhenti beroperasi, serta ratusan sekolah di Indonesia berhenti melaksanakan

kegiatan belajar mengajar (Lusia Arumingtyas, 2019).

4.1.1 Polusi Kabut Asap di Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2019

Pada awalnya, permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan

lahan di Kalimantan Tengah terjadi sejak adanya Proyek Lahan Gambut (PLG)

yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1995 dengan membuka 1

juta hektar lahan hutan rawa gambut menjadi sawah di Kalimantan Tengah untuk

mengatasi permasalahan kekurangan pangan di Indonesia (Nina Yulianti, 2018).

Terkait hal ini dimana sesuai hasil wawancara bersama ibu Merty menyatakan

bahwa asal muasal kebakaran hutan dan lahan itu terjadi di tanah gambut.

Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berada di

pulau Kalimantan, dengan luas wilayah sekitar 15,4 juta hektar, jumlah

penduduk sekitar 2,5 juta orang, luas kawasan hutan sekitar 12,7 juta hektar, dan

luas lahan gambut sekitar 2,7 juta hektar (incas.menlhk, 2015).

Sesuai Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi

Gambut, terdapat tujuh provinsi sebagai prioritas Indonesia dalam mengatasi

Page 7: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

27

permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah gambut,

yaitu provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Papua, Kalimantan Barat,

Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Hal ini dikarenakan permasalahan

kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah, khususnya

di tanah gambut disebabkan oleh manusia yang dipengaruhi oleh permasalahan

sosial dan ekonomi mereka. Berdasarkan hasil wawancara bersama ibu Merty

menyatakan bahwa perilaku masyarakat di Kalimantan Tengah kalau mau

membuka lahan dilakukan dengan cara membakar. Kebakaran hutan dan lahan

juga dapat terjadi akibat adanya masyarakat yang meninggalkan bekas api

unggun dan membuang puntung rokok di hutan (pktl.menlhk, 2021).

Terkait hal diatas, khususnya pada dan sekitar kawasan Kesatuan

Hidrologi Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terdapat tiga kelompok

masyarakat yaitu kelompok masyarakat asli Kalimantan Tengah yang terdiri dari

etnis Dayak, Ngaju, Ot Danum, Ma’anyan, dan sebagainya. Kemudian

kelompok masyarakat pendatang transmigran yang terdiri dari etnis Jawa,

Melayu, Bugis, Sunda, dan sebagainya. Serta kelompok masyarakat pendatang

non transmigran yang bertujuan khusus yaitu untuk membuka kebun, menjadi

pekerja, berdagang dan sebagainya. Masyarakat yang berada di sekitar dan pada

KHG mempunyai beragam jenis kegiatan usaha atau pekerjaan yang dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan hidup, dimana selain bertani di saat tertentu

masyarakat juga bekerja sebagai pekerja serabutan (lihat gambar 3). Terkait

dengan hal ini, dapat diindikasikan dari keberadaan penutupan lahan atau

pemanfaatan lahan pada kawasan KHG, baik yang masih dimanfaatkan ataupun

yang tidak lagi dimanfaatkan (lahan terlantar). Artinya bahwa adanya potensi

sumberdaya alam yang terdapat pada dan sekitar KHG di Provinsi Kalimantan

Tengah yang terindikasi dari adanya kegiatan dengan membuka kawasan hutan

menjadi kawasan budidaya. Dimana untuk penggunaan di sektor perkebunan

seluas 493.314 hektar atau 10,54%, di sektor pertanian lahan kering seluas

352.041 hektar atau 7,52%, di sektor sawah seluas 8.133 hektar atau 1,84%, dan

sektor semak belukar rawa seluas 1.625.305 hektar atau 34,71% (DLH Kalteng,

2020).

Page 8: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

28

Gambar 3

Jenis Kegiatan atau Pekerjaan Masyarakat Sekitar dan Pada Kawasan KHG di Kalimantan

Tengah. Sumber: Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah Tahun

2020-2050

Terdapat 40 KHG di Kalimantan Tengah yang berada di 11 kabupaten

maupun kota, lintas kabupaten maupun kota, dan lintas provinsi. KHG di

Kalimantan Tengah seluas 4.682.542 hektar yang terdiri dari luas KHG Fungsi

Budidaya seluas 2.125.567 hektar dan KHG Fungsi Lindung 2.556.975 hektar.

Selain itu, KHG di Kalimantan Tengah seluas 4.682.542 hektar juga terdiri dari

luas kawasan hutan seluas 3.663.633 hektar atau sekitar 78,24 persen dan luas

non kawasan hutan seluas 1.018.909 hektar atau 21,76 persen (DLH Kalteng,

2020). Perubahan tutupan hutan sejak tahun 1990 hingga 2017 semakin

berkurang yaitu dari seluas 3.741.456 hektar atau sekitar 69,22 persen menjadi

1.496.635 hektar atau sekitar 31,96 persen (DLH Kalteng, 2020). Artinya bahwa

perubahan tutupan hutan selama 27 tahun seluas -1.800.370 hektar, yang

meliputi KHG dalam kabupaten maupun kota mengalami penurunan sekitar

278.375 hektar atau 36,24 persen dari 60,52 persen sehingga menjadi 24,27

persen, kemudian KHG lintas kabupaten maupun kota mengalami penurunan

sekitar 1.412.814 hektar atau 36,95 persen dari 70,78 persen sehingga menjadi

33,82 persen, dan KHG lintas provinsi mengalami penurunan sekitar 53,650

hektar atau 58,78 persen dari 77,52 persen sehingga menjadi 18,74 persen (lihat

gambar 4).

Page 9: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

29

Gambar 4

Perubahan Penutupan Hutan di KHG Pada Tahun 1990-2017. Sumber: Rancangan

Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2020-2050

Terkait dengan penggunaan lahan yang sebagian besar berada di Fungsi

Lindung Ekosistem Gambut dan adanya perubahan penutupan hutan di KHG

yang mengalami penurunan sejak tahun 1990 hingga 2017, kemudian memicu

terjadinya kebakaran hutan dan lahan di dalam KHG maupun di luar KHG

sepanjang tahun 2015-2019 di Kalimantan Tengah. Total luas kebakaran hutan

dan lahan didalam KHG maupun diluar KHG pada tahun 2015 hingga tahun

2019 di Kalimantan Tengah sekitar 906.990 hektar, yang terdiri dari luas

kebakaran yang terjadi di luar KHG sekitar 201.532 hektar atau 22,22% dan luas

kebakaran yang terjadi di dalam KHG sekitar 705.458 hektar atau 77,78%.

Terkait dengan luas kebakaran yang terjadi di dalam KHG sendiri terdiri dari

luas kebakaran sekitar 330.539 hektar yang terjadi di Fungsi Budidaya

Ekosistem Gambut dan luas kebakaran sekitar 374.919 hektar yang terjadi di

Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (lihat tabel 2). Selain itu berdasarkan hasil

wawancara bersama ibu Merty menyatakan bahwa banyaknya kebakaran hutan

dan lahan terjadi di region Kalimantan pada tahun 2015 hingga 2019, 50

persenya berada di provinsi Kalimantan Tengah, dimana dalam KHG atau di

tanah gambut sekitar 43,80 persen dan di luar KHG atau di tanah mineral sekitar

6,69 persen.

Tabel 2

Luas di Dalam KHG (ha) TOTAL

Page 10: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

30

Fungsi

Budidaya

Fungsi Lindung Luas di Luar KHG

(ha)

330.539 374.919 201.532 906.990

705.458

Luas Kebakaran di Dalam dan di Luar Kawasan KHG di Kalimantan Tengah Pada Tahun

2015-2019. Sumber: Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah Tahun

2020-2050 (diolah oleh penulis)

Terkait dengan permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan

di Kalimantan Tengah juga disebabkan dengan adanya hotspot atau titik api di

setiap wilayah kabupaten atapun kota. Total jumlah titik api pada tahun 2015

hingga 2019 sebanyak 651,45 titik api, yang mana jumlah titik api terbanyak

terdapat di wilayah Pulang Pisau yaitu sebanyak 150,27 titik api, kemudian

diikuti oleh wilayah Kapuas yaitu sebanyak 97,53 titik api dan wilayah

Kotawaringin Timur yaitu sebanyak 87,49 titik api. Titik api terendah terdapat

di wilayah Gunung Mas yaitu sebanyak 10,46 titik api. Dari tahun 2015 hingga

2019 jumlah titik api terbanyak terjadi pada tahun 2015 yaitu sebanyak 398,19

titik api dan pada tahun 2019 yaitu sebanyak 195,55 titik api (lihat tabel 3).

Terkait hal ini dikarenakan pada tahun 2015 dan terdapat fenomena El Nino dan

pada tahun 2019 terdapat fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam

fase positif, yang mana kedua hal ini menciptakan cuaca kekeringan yang

panjang atau musim kemarau yang panjang daripada biasanya akibat curah hujan

menurun, sedangkan pada tahun 2016 hingga 2018 terdapat fenomena El Nina,

dimana curah hujan meningkat sehingga jumlah hotspot pada tahun 2016 hingga

2018 tidak terlalu banyak (kalteng.bps.go.id).

Tabel 3

Kab/ Kota 2015 2016 2017 2018 2019 Total

Barito Selatan 15,16 0,36 0,33 1,50 4,80 22,15

Barito Timur 9,20 0,25 0,17 0,44 2,00 12,06

Barito Utara 7,51 0,57 0,61 1,16 1,13 10,98

Gunung Mas 5,68 0,28 0,34 0,86 3,30 10,46

Kapuas 58,04 0,82 0,66 6,37 31,64 97,53

Katingan 37,62 1,64 0,69 2,73 18,02 60,70

KotawaringinBarat 29,40 0,57 0,20 1,91 11,28 43,36

Page 11: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

31

Kotawaringin

Timur

50,21 1,20 0,48 7,27 28,33 87,49

Lamandau 9,94 1,28 0,42 0,71 1,33 13,68

Murung Raya 6,49 0,71 0,50 2,01 2,67 12,38

Palangka Raya 13,89 0,15 0,11 0,82 16,21 31,18

Pulang Pisau 91,35 0,49 0,66 11,54 46,23 150,27

Seruyan 45,61 1,03 0,31 2,38 20,73 70,06

Sukamara 18,09 0,32 0,19 2,67 7,88 29,15

Total 398,19 9,67 5,67 42,37 195,55 651,45 Jumlah Hotspot Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2019 Per Kabupaten/Kota. Sumber:

SiPongi.menlhk, 2015-2019 (diolah oleh penulis)

Terkait hal diatas, kemudian terdapat luas kebakaran hutan dan lahan yang

terjadi di seluruh wilayah Kalimantan Tengah pada tahun 2015 hingga 2019

mencapai 956.907,25 hektar, yang mana dengan luas kebakaran hutan dan lahan

terbesar terjadi pada tahun 2015, yaitu seluas 583.833,44 hektar, diantaranya

luas kebakaran pada tanah gambut seluas 310.275,00 hektar

(Trinirmalaningrum.dkk, 2015) dan luas kebakaran di tanah mineral seluas

273.558,44 hektar. Dan pada tahun 2019, yaitu seluas 317.749,00 hektar,

diantaranya luas kebakaran pada tanah gambut seluas 76.000,00 hektar (Puput

Ady Sukarno, 2019) dan luas kebakaran pada tanah mineral seluas 241.749,00

hektar (lihat tabel 4).

Tabel 4

No Tahun Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (ha)

1. 2015 583.833,44

2. 2016 6.148,42

3. 2017 1.743,82

4. 2018 47.432,57

5. 2019 317.749,00

Total 956.907,25

Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2019. Sumber:

SiPongi.menlhk, 2020 (diolah oleh penulis)

Akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar pada tahun

2015 dan 2019 kemudian menghasilkan keadaan darurat polusi kabut asap di

Kalimantan Tengah. Salah satu indikator dalam melihat keadaan darurat polusi

kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan adalah ketika kategori Indeks

Page 12: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

32

Standar Pencemar Udara (ISPU) telah mencapai tingkat berbahaya (Nina

Yulianti, 2018).

Pada bulan September 2015, menurut Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB) mengatakan bahwa terdapat enam provinsi di Indonesia yaitu

provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,

dan Kalimantan Tengah dikategorikan sebagai wilayah yang telah mengalami

keadaan darurat polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Nina

Yulianti, 2018). Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan nilai

ISPU tertinggi dari lima provinsi lainnya, dimana nilai ISPU Kalimantan Tengah

pada bulan September mencapai 1.987 dan pada bulan Oktober mencapai 2.230.

Kemudian diikuti oleh provinsi Riau dengan nilai ISPU pada bulan September

mencapai 1.074 dan pada bulan Oktober mencapai 602. Dan nilai ISPU terendah

diperoleh oleh provinsi Kalimantan Selatan dengan nilai ISPU pada bulan

September mencapai 303 dan pada bulan Oktober mencapai 132 (lihat gambar

5). Polusi udara di kota Palangka Raya pada bulan September hingga bulan

Oktober 2015 berada pada tingkat yang berbahaya, yang mana konsentrasi

PM10 lebih dari 500 µg m-3. Terkait hal ini, artinya bahwa terdapat kabut asap

yang sangat pekat di kota Palangka Raya, yang kemudian mengakibatkan jarak

pandang yang terbatas sekitar 200 hingga 900 meter (Nina Yulianti, 2018). Jarak

pandang yang terbatas tersebut kemudian terdapat dua Bandar Udara di

Kalimantan Tengah mengalami kendala dalam penerbangan yaitu Bandar Udara

H Asan di Sampit dengan jarak pandang 800 meter dan Bandar Udara Tjilik

Riwut di Palangka Raya dengan jarak pandang 500 meter (Maulandy Rizky

Bayu Kencana, 2019).

Gambar 5

Page 13: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

33

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Pada Enam Provinsi Sebagai Kategori Darurat

Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan 2015. Sumber: Pusdatin Kemenkes RI,

2015

Terkait kualitas udara yang berbahaya tersebut kemudian menurut data

dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa jumlah

penderita ISPA meningkat secara cepat dengan rata-rata peningkatan per

minggunya mencapai 11 persen, dimana hingga pada minggu keempat bulan

September 2015 jumlah penderita ISPA sekitar 15.528 orang. Dan data dari

bulan Juli hingga pada tanggal 3 Oktober 2015 terdapat 21.085 orang menderita

ISPA dan 6.835 orang menderita diare. Terkait hal ini sebagian besar penderita

merupakan balita dengan usia (0-5 tahun) dan lansia (Trinirmalaningrum.dkk,

2015).

Selain itu, permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di

Kalimantan Tengah tersebut berdampak buruk terhadap perekonomian pada

beberapa sektor, dimana pada sektor kesehatan terdapat kerugian sebesar 230

miliar, pada sektor pertanian sebesar 17.051 miliar, pada sektor kehutanan

sebesar 1.260 miliar, sektor pendidikan sebesar 72 miliar, pada sektor

perhubungan sebesar 1.522 miliar, pada sektor pariwisata sebesar 571 miliar,

pada sektor perdagangan sebesar 1.804 miliar, serta pada sektor manufaktur dan

pertambangan sebesar 196 miliar (Trinirmalaningrum.,dkk, 2015). Terkait hal

ini, kemudian Kalimantan Tengah mengalami perlambatan ekonomi dari 7%

menjadi 6,7% dengan total kerugian ekonomi di Kalimantan Tengah pada

periode Juni-Oktober 2015 sebesar Rp 33,8 triliun (Naskah Akademik, 2016:

BAB I- 1).

Dan pada tahun 2019, provinsi Kalimantan Tengah juga merupakan

provinsi dengan nilai ISPU tertinggi di Indonesia, dimana kualitas udara dengan

tingkat berbahaya pada sepuluh kabupaten maupun kota di Indonesia, enam

diantaranya berada di provinsi Kalimantan Tengah. Kota Palangka Raya

merupakan kota dengan kategori kualitas udara berbahaya, yang mana nilai

ISPU mencapai 599, kemudian diikuti oleh kota Ketapang dan kota

Petakbehandang dengan kategori kualitas udara sangat tidak sehat, dimana nilai

ISPU masing-masing mencapai 224 dan 202, dan tujuh kota lainnya termasuk

Page 14: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

34

dalam kategori kualitas udara tidak sehat, dengan nilai ISPU mencapai 173-195

(lihat gambar 6).

Gambar 6

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Terburuk Pada Sepuluh Kabupaten/Kota di

Indonesia Pada Tahun 2019. Sumber: Katadata.co.id, 2019

Terkait hal diatas kemudian menurut data Badan Nasional

Penanggulangan Bencana Daerah Kalimantan Tengah, pada tahun 2019 terdapat

sebanyak 2.637 jiwa menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di

Kalimantan Tengah. Terkait hal ini, diantarannya sebanyak 829 jiwa di Kota

Palangka Raya, 513 jiwa di Kotawaringin Timur, 394 jiwa di Murung Raya, 227

jiwa di Barito Utara, 161 jiwa di Kapuas, 147 jiwa di Kotawaringin Barat, dan

terdapat kurang dari 100 jiwa berada di masing-masing wilayah lainnya seperti

Barito Selatan, Barito Timur, Katingan, Gunung Mas, Pulang Pisau, Lamandau,

serta Sukamara (bnpb, 2019).

Dari penjabaran diatas, dapat dikatakan bahwa baik secara nasional maupun

daerah permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan terjadi

berdasarkan dua faktor utama yang saling berkaitan seperti faktor cuaca ekstrim

dan faktor kegiatan manusia. Selain itu permasalahan polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan menyebabkan dampak buruk terhadap sektor kesehatan,

sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dimana meningkatnya penderita penyakit infeksi

saluran pernapasan (ISPA), serta menghambat sistem transportasi, dan merugikan

perekonomian nasional maupun daerah. Terkait hal ini artinya bahwa kebakaran

Page 15: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

35

hutan dan lahan termasuk dalam kategori bencana karena dampaknya berupa polusi

kabut asap yang mengancam sektor sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat,

serta lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. Sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulanggan Bencana,

menyatakan bahwa “bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Berdasarkan Undang-Undang

tersebut juga terdapat perbedaan antara bencana alam dan bencana non alam,

dimana “bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor. Dan

bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,

epidemi, dan wabah penyakit”. Artinya bahwa kebakaran hutan dan lahan

dikategorikan sebagai bencana alam apabila disebabkan oleh faktor alam, dan

kebakaran hutan dan lahan dikategorikan sebagai bencana non alam apabila

disebabkan oleh faktor non alam.

4.2 Kebijakan Indonesia Dalam Mengatasi Permasalahan Polusi Kabut Asap

Dasar hukum nasional Indonesia mengenai permasalahan kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun

2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup

Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Peraturan Pemerintah ini

juga merupakan salah satu komitmen Indonesia dalam Konvensi Kerangka Kerja

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework

Convention on Climate Change) yang telah disahkan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1994. Melalui PP No 4 Tahun 2001, pada dasarnya sesuai pasal 11

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 menyatakan bahwa “setiap orang

dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan”. Hal yang sama

diatur juga dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang

Perkebunan yang mengatakan bahwa “setiap pelaku usaha perkebunan dilarang

Page 16: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

36

membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar”, dan pasal 8 Peraturan

Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 05/Permentan//KB.410/1/2018

Tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar

yang menyatakan bahwa “pelaku usaha perkebunan dalam kegiatan pembukaan

dan/atau pengolahan lahan perkebunan wajib dilakukan dengan tanpa membakar”.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 terdapat beberapa

langkah yang diatur dalam mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran

hutan dan lahan, seperti pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Terkait

pencegahan diatur dalam pasal 12 hingga pasal 16 yang mengatakan bahwa setiap

orang berkewajiban dan bertanggung jawab dalam mencegah terjadinya

pencemaran lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan lahan dalam lokasi

usahanya dengan melakukan pemantauan menggunakan sarana dan prasarana

seperti sistem deteksi dini, prosedur operasi standar, perangkat organisasi, dan

pelatihan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, dan melaporkan

hasil pemantauan sekurang-kurangnya enam bulan sekali kepada

Gubernur/Bupati/Walikota. Selain itu, pemberian ijin melakukan usaha harus

mempertimbangkan pengelolahan hutan dan lahan sebagai pendayagunaan sumber

daya alam, tata ruang daerah, pendapat masyarakat maupun kepala adat dan pejabat

yang berwewenang.

Kemudian terkait penanggulangan diatur dalam pasal 17 hingga pasal 19 yang

mengatakan bahwa setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan

lahan di lokasi kegiatannya, dimana pedoman umum penanggulangan kebakaran

hutan dan lahan selanjutnya ditetapkan melalui Keputusan Menteri yang terkait dan

pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan lahan ditetapkan melalui

Peraturan Daerah masing-masing. Dan terkait dengan pemulihan termuat dalam

pasal 20 hingga pasal 22 yang mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan

terjadinya kebakaran hutan dan lahan di lokasi usahanya berkewajiban untuk

melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup, yang mana pedoman umum

pemulihan dampak lingkungan hidup selanjutnya ditetapkan oleh kepala instansi

terkait dan pedoman teknis pemulihan dampak lingkungan hidup ditatapkan melalui

peraturan daerah masing-masing.

Page 17: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

37

Termuat juga pengawasan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi,

dan pemerintah pusat untuk mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan

hidup, serta menanggulangi dampak dan pemulihan lingkungan hidup akibat

kebakaran hutan dan lahan. Terkait hal ini diatur dalam pasal 34 yang mengatakan

bahwa bupati/walikota melakukan pengawasan di daerahnya, kemudian gubernur

melakukan pengawasan di lintas kabupaten/kota, dan menteri atau kepala instansi

yang bertanggung jawab melakukan pengawasan di lintas provinsi dan lintas batas

negara terkait pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup akibat

kebakaran hutan dan lahan.

Terdapat juga peran masyarakat dalam mengatasi permasalahan polusi kabut

asap akibat kebakaran hutan dan lahan sebagaimana diatur dalam pasal 42 yang

menyatakan bahwa “peningkatan kesadaran masyarakat untuk mencegah

kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan

kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang

mendukung perlindungan hutan dan lahan”. Terkait dengan peran masyarakat

selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tent

ang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, dan Peraturan Direktur Jenderal

Pengendalian Perubahan Iklim Nomor P.3/PPI/SET/KUM.I/I/2018 Tentang

Pembentukan dan Pembinaan Masyarakat Peduli Api. Berdasarkan peraturan

tersebut peran masyarakat terkait kebakaran hutan dan lahan melalui kelompok

Masyarakat Peduli Api (MPA) yaitu masyarakat yang secara sukarela membantu

kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. MPA diberikan pelatihan,

pembelajaran, pembekalan dan pengembangan inovasi dalam melakukan

pencegahan, pemadaman awal, melakukan penyuluhan, dan memberikan informasi

terkait permasalahan kebakaran hutan dan lahan. MPA bertanggung jawab kepada

kepala desa atau lurah, Kepala Unit Pelaksana Teknis, dan Kesatuan Pengelolaan

Hutan atau pemegang ijin. Terkait pembentukan dan pembinaan MPA dibiayai oleh

Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan sumber dana lain yang tidak mengikat.

Adapun Kelompok Tani Peduli Api (KTPA), yang diatur dalam Peraturan

Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 05/Permentan/KB.410/1/2018

Tentang Pembukaan dan atau Pengolahan Perkebunan Tanpa Membakar, yang

Page 18: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

38

mengatakan bahwa “KTPA merupakan kumpulan pekebun yang telah dilatih untuk

pemadaman kebakaran lahan perkebunan”, hal ini artinya bahwa KTPA juga

merupakan bagian dari sistem, sarana, prasarana pengendalian kebakaran lahan

perkebunan. Pembentukan KTPA dilakukan oleh pemerintah daerah

kabupaten/kota dengan tugas “membantu melakukan sosialisasi pembukaan dan

atau pengolahan lahan perkebunan tanpa membakar, melakukan pemantauan ke

lokasi terindikasi adanya titik panas dan kebakaran, melakukan pemadaman

kebakaran lahan perkebunan secara dini, melakukan koordinasi dengan instansi lain

terkait dengan pengendalian kebakaran lahan perkebunan”.

Sanksi yang didapatkan oleh pelaku polusi kabut asap akibat kebakaran hutan

dan lahan masih diatur melalui pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal

46, dan pasal 47 Undang-Undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, yang mana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10

(sepuluh) tahun pidana dan dengan denda paling sedikit Rp 100.000.000,-(serarus

juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).

Artinya bahwa waktu pidana dan jumlah denda sesuai dengan jenis pelanggaran

yang dilakukan oleh pelaku.

4.2.1 Kebijakan Provinsi Kalimantan Tengah

Dasar hukum daerah provinsi Kalimantan Tengah mengenai permasalahan

kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan termuat dalam Peraturan Daerah

Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pengendalian

Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Dimana terdapat beberapa pertimbangan bagi

pemerintah provinsi Kalimantan Tengah dalam mengesahkan peraturan daerah

ini yaitu bahwa kebakaran hutan dan lahan yang berasal dari lokasi usaha

maupun di luar lokasi usaha merupakan salah satu penyebab kerusakan dan

pencemaran lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi,

sosial dan budaya. Dan pemerintah Kalimantan Tengah berupaya untuk

mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5

Tahun 2003 terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam mengatasi polusi

kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, seperti perizinan, pencegahan,

Page 19: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

39

penanggulangan, dan pemulihan. Terkait dengan perizinan diatur dalam pasal 2

yang mengatakan bahwa “setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran

hutan dan atau lahan. Untuk hal-hal tertentu yang bersifat khusus pembakaran

hutan dan atau lahan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan ijin

dari pejabat yang berwewenang seperti bupati/walikota, camat, lurah/kepala

desa, dan ketua RT”.

Dan terkait dengan perijinan selanjutnya diatur oleh pemerintah kabupate

n/kota, namun pada akhirnya diatur dalam Peraturan Gubernur Kalimantan

Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan

Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah dan Peraturan Gubernur

Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah, yang

mengatakan bahwa pemberian izin oleh bupati/walikota dengan luas lahan diatas

5 hektar. Sedangkan pemberian izin pembukaan lahan dengan luas lahan

dibawah 5 hektar dilimpahkan kepada camat untuk luas lahan diatas 2 hektar

hingga 5 hektar, kemudian kepada lurah/kepala desa untuk luas lahan diatas 1

hektar sampai 2 hektar, dan kepada ketua RT untuk luas lahan maksimal 1

hektar. Dalam pemberian izin pejabat yang berwewenang harus memperhatikan

data dari Dinas Lingkungan Hidup kabupaten/kota terkait Indeks resiko

kebakaran atau hotspot, Indeks Peringkat Nimerik Cuaca Kebakaran atau Fire

Weather Index (FWI), Indeks Peringkat Numerik Potensi Kekeringan dan Asap

atau Drought Code (DC), dan jarak pandang pada wilayahnya. Perizinan tidak

berlaku ketika Gubernur mengumumkan status darurat pencemaran udara

mencapai tingkat “berbahaya” berdasarkan indikator Indeks Kebakaran dan

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Namun karena masih terjadi kebakaran hutan dan lahan yang

menimbulkan kabut asap tebal di wilayah Kalimantan Tengah berdampak buruk

bagi masyarakat luas, kemudian Peraturan Gubernur tersebut telah dicabut atau

dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan

Tengah Nomor 49 Tahun 2015 Tentang Pencabutan Atas Peraturan Gubernur

Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan

Page 20: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

40

Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah dan Peraturan

Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang

Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan

Tengah. Terkait hal ini, artinya bahwa pemerintah Kalimantan Tengah maupun

pemerintah kabupaten/kota harus menerbitkan peraturan baru terkait ijin

pembukaan lahan dengan cara membakar agar tidak terjadi kebakran hutan dan

lahan di Kalimantan Tengah.

Kemudian terkait dengan pencegahan diatur dalam pasal 3 hingga pasal 6

yang mengatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha wajib mempunyai

sarana-prasarana untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di lokasi

usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala setiap enam bulan sekali

kepada gubenur dan bupati/walikota. Selain itu terkait dengan penanggulangan

diatur dalam pasal 7 hingga pasal 9 yang mengatakan bahwa setiap penanggung

jawab usaha wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan

lahan di lokasi usahanya. Dan terkait dengan pemulihan diatur dalam pasal 10

hingga pasal 12 yang menyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha wajib

melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan

lahan di lokasi usahanya. Adapun peran masyarakat dalam mengatasi

permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang diatur

dalam pasal 23 yang mengatakan bahwa “meningkatkan kesadaran masyarakat

untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan

mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan

masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan lahan”.

Berangkat dari ulasan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat diskresi antara

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003, hal ini dapat dilihat bunyi pasal 11

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan bunyi pasal 2 Peraturan Daerah

Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003, dimana dalam pasal 11

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 jelas mengatakan bahwa tindakan

kebakaran hutan dan lahan di larang, sedangkan dalam pasal 2 Peraturan Daerah

Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 mengatakan bahwa tindakan

Page 21: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

41

kebakaran hutan dan lahan dilarang, tetapi untuk hal-hal yang bersifat khusus

tindakan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan harus terlebih dahulu

mendapatkan ijin dari pejabat yang berwewenang. Walaupun demikian pada

dasarnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah

Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 melarang setiap orang maupun

setiap penanggung jawab usaha untuk melakukan kegiatan pembakaran hutan dan

lahan yang kemudian dapat menimbulkan polusi kabut asap. Selain itu, dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 terdapat ketentuan-ketentuan sebagai

upaya setiap orang maupun setiap penanggung jawab usaha dalam mengatasi

permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan dengan wajib

melakukan tindakan pencegahan, penanggulangan, perizinan dan pemulihan

dampak lingkungan terkait permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Adapun

pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi,

dan pemerintah pusat sesuai kapasitas yang telah ditentukan dalam upaya mencegah

pencemaran lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan lahan. Serta terdapat

peran masyarakat dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yaitu

melalui kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) dan Kelompok Tani Peduli Api

(KTPA). Dan sanksi yang diberikan terhadap para pelaku pembakaran hutan dan

lahan.

Terkait dengan peran masyarakat dalam mengatasi permasalahan polusi

kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, di Kalimantan Tengah sendiri dimana

berdasarkan hasil wawancara bersama bapak Fatkhurohman menyatakan bahwa

peran masyarakat dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah melalui Masyarakat Peduli Api

(MPA) dan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA). Selain itu berdasarkan hasil

wawancara melalui via whatsapp bersama bapak Jaime Dacosta Barreto

mengatakan bahwa di Kalimantan Tengah sendiri MPA hadir pada tahun 2019

untuk membantu mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan, dimana

anggota MPA merupakan sukarelawan sehingga tidak diberikan gaji bulanan hanya

berupa uang makan. MPA mendapatkan bantuan dari DLH dan KPHP/KPHL

sebagai unit pelaksanaan teknis Dinas Kehutanan provinsi yang berada di

Page 22: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

42

kabupaten atau kota berupa sarana pendukung dalam mengatasi kebakaran hutan

dan lahan seperti mesin pemadam, selang, dan lainnya. Terdapat sembilan tugas

MPA yaitu:

1. Mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

2. Pemadaman awal dan mendukung pemadaman yang dilakukan oleh Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) atau pihak lain.

3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terkait permasalahan kebakaran hutan

dan lahan.

4. Melakukan identifikasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

5. Mengusulkan calon lokasi Program Kampung Iklim. Dalam hal ini desa

rawan kebakaran hutan dan lahan.

6. Memberikan informasi kejadian kebakaran hutan dan lahan.

7. Menyebarluaskan informasi peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan

melalui Fire Dangering Rating System (FDRS).

8. Penyuluhan mandiri bersama-sama dengan pihak lain.

9. Pertemuan secara berkala dalam rangka penguatan kelembagaan.

Adapun tantangan yang dihadapi oleh MPA dalam melaksanakan tugas yaitu:

1. Kelembagaan MPA belum kuat karena hanya mendapatkan perhatian dari

pemerintah desa.

2. Keberadaan MPA belum sepenuhnya mendapatkan tempat yang layak dari

pemerintah desa.

3. Belum adanya sekretariat MPA secara permanen.

4. Peralatan dukungan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dimiliki

MPA belum memadai.

5. Kelengkapan personil MPA termasuk seragam MPA belum memadai sesuai

standar.

6. Kurangnya pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada personil MPA,

sehingga kapasitas personil MPA belum memadai.

7. Belum adanya mekanisme insentif kepada anggota MPA seperti melalui

kegiatan integrated farming untuk mengembangkan ekonomi masyarakat,

sehingga anggota MPA masih bersifat sukarelawan.

Page 23: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

43

8. Belum adanya dukungan pendanaan untuk operasional kegiatan MPA.

9. Pendataan anggota MPA belum terupdate sesuai dengan perkembangan dan

kondisi actual, dimana dari pembentukan 30 orang biasanya yang aktif hanya

20 orang.

Terkait hal diatas dikarenakan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001

dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 belum

mengadopsi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah,

yang artinya masih menempatkan masyarakat sebagai obyek bukan sebagai subyek

pengendalian kabakaran hutan dan lahan. Dimana melalui Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah terdapat pembedaan kewenangan

dalam penanggulangan bencana dan pengendalian kebakaran, dimana

penanggulangan bencana merupakan kewenangan semua tingkat pemerintah secara

proporsional, sedangkan kewenangan pengendalian kebakaran merupakan

kewenangan di tingkat kabupaten/kota dan desa. Terkait hal ini artinya bahwa

kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan harus mendapatkan dukungan

dengan penataan kelembagaan di kabupaten/kota dan desa, serta menempatkan

masyarakat sebagai subyek utama pengendalian kebakaran, bukan menempatkan

masyarakat sebagai obyek.

Keterlibatan tingkat provinsi dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan

dan lahan diatur dalam pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa, dimana melalui bantuan keuangan dari provinsi berdasarkan Dana Desa yang

telah di dapatkan dari pemerintah pusat melalui APBN dan Alokasi Dana Desa dari

APBD, yang mana pemberian bantuan keuangan dari provinsi dilakukan dengan

skema insentif dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Terkait

hal diatas, seperti terdapat Anggaran Satuan Perangkat Daerah, Dinas Lingkungan

Hidup Kalimantan Tengah dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan

lahan. Dimana terdapat beragam program dan kegiatan yang dilakukan dalam

mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 sampai 2019,

dengan jumlah anggaran yang dianggarkan semakin berkurang setiap tahunnya.

Dimana pada tahun 2015, program dan kegiatan lebih berfokus pada mitigasi,

adaptasi dan dampak perubahan iklim, dengan jumlah anggaran yang dianggarkan

Page 24: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

44

sebanyak Rp 605.800.470. Pada tahun 2016, program dan kegiatan tidak hanya

berfokus pada mitigasi dan adaptasi perubahan iiklim, tetapi juga pada penanganan

kebakaran lahan gambut, hutan dan pekarangan, dengan jumlah anggaran yang

dianggarkan sebanyak Rp Rp 250.000.000. Pada tahun 2017 hingga 2019 program

dan kegiatan yang dilakukan lebih berfokus pada pengendalian kebakaran hutan

dan lahan melalui koordinasi dan sosialisasi terkait kebijakan dalam mengatasi

permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Anggaran yang dianggarkan pada tahun

2017 sebanyak Rp 225.000.000, pada tahun 2018 sebanyak Rp 200.000.000, dan

pada tahun 2019 sebanyak Rp 75.000.000 (lihat gambar 7). Selain itu berdasarkan

hasil wawancara bersama bapak Fatkhurohman menyatakan bahwa bantuan

keuangan yang diberikan ke desa di Kalimantan Tengah paling banyak di desa

Pematang Panjang, kabupaten Seruyan dengan jumlah sekitar Rp 3 miliar dan

bantuan paling sedikit di desa Gudang Seng, kabupaten Barito Timur dengan

jumlah sekitar Rp 700 ribu.

Gambar 7

Anggaran Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan Pada Tahun 2015-2019. Sumber:

Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD) Dinas

Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015-2019 (diolah oleh penulis)

Dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan

lahan di Kalimantan Tengah, pemerintah provinsi Kalimantan Tengah baik di

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terus berupaya untuk memperbaiki lahan

gambut yang rusak. Terkait hal ini kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 71 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang

menyatakan bahwa pemulihan ekosistem gambut rusak atau terdegredasi dilakukan

melalui rehabilitasi ekosistem gambut dengan teknik paludikultur, yang mana

dengan menutup saluran-saluran drainase untuk memulihkan kondisi gambut

Page 25: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

45

menjadi basah lagi dan tetap memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat

sekitar. Serta berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Badan Restorasi Gambut dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidupdan K

ehutanan No.P.6/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2019 Tentang Penugasan Sebagai

Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Untuk Kegiatan

Restorasi Gambut Tahun Anggaran 2019 Kepada Gubernur Riau, Gubernur Jambi,

Gubernur Sumatera Selatan, Gubernur Kalimantan Barat, Gubernur Kalimantan

Tengah, Gubernur Kalimantan Selatan, dan Gubernur Papua, terdapat upaya

pengendalian ekosistem gambut pada KHG yang dilakukan oleh Direktoral

Pengendalian Kerusakan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

ataupun dinas/instansi di tingkat provinsi dan kabupaten, yaitu:

1) Pemulihan fungsi hidrologis ekososistem gambut lewat pembangunan sekat

kanal.

2) Peningkatan kemandirian masyarakat untuk pemulihan ekosistem gambut.

3) Peningkatan kinerja pemulihan ekosistem gambut bagi perusahan atau

konsesi.

4) Inventarisasi dan penetapan peta fungsi ekosistem gambut skala 1:50.000.

5) Peningkatan kapasitas dalam penyusunan rencana perlindungan dan

pengelolahan ekosistem gambut.

6) Pengembangan sistem informasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem

gambut.

7) Kegiatan pengendalian kerusakan ekosistem gambut khsusnya pemulihan

yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui pembangunan

infrastruktur pembasahan berupa sumur bor, sekat kanal, dan embung.

Kemudian melakukan revegetasi, dan revitalisasi ekonomi masyarakat sekitar

lahan gambut.

Dari beberapa poin diatas, upaya yang dilakukan oleh Provinsi Kalimantan

Tengah melalui Badan Restorasi Gambut yang berada di Dinas Lingkungan Hidup

Provinsi Kalimantan Tengah dalam mengatasi kerusakan ekosistem gambut adalah

dengan membangun infrastruktur pembasahan berupa sumur bor dan sekat kanal.

Terkait hal ini, yang mana Badan Restorasi Gambut di Kalimantan Tengah telah

Page 26: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

46

melakukan pembangunan insfrastruktur pembahasan gambut seperti sumur bor

sebanyak 4.152 dan sekat kanal sebanyak 3.121 pada tahun 2018 hingga 2020.

Dimana pada tahun 2018 total sumur bor yang dibangun sebanyak 3.223 sumur bor,

diantaranya yang sudah valid sebanyak 2.179 sumur bor dan yang belum valid

sebanyak 1.044 sumur bor. Kemudian pada tahun 2019 terdapat total sumur bor

yang dibangun sebanyak 929 sumur bor, diantaranya yang sudah valid sebanyak

879 sumur bor dan yang belum valid sebanyak 50 sumur bor. Dan pada tahun 2020

tidak ada pembangunan sumur bor. Selain itu, pada tahun 2018 total sekat kanal

yang dibangun sebanyak 2.358 sekat kanal, diantaranya sekat kanal kontrak

sebanyak 1.250 sekat kanan dan sekat kanal berdasarkan server sebanyak 1.108

sekat kanal. Kemudian pada tahun 2019 terdapat total sekat kanal yang dibangun

sebanyak 668 sekat kanal, diantaranya sekat kanal kontrak sebanyak 341 sekat

kanal dan sekat kanal berdasarkan server sebanyak 327 sekat kanal. Dan pada tahun

2020 total sekat kanal yang dibangun sebanyak 95 sekat kanal, diantaranya sekat

kanal kontrak sebanyak 46 sekat kanal dan sekat kanal berdasarkan server sebanyak

49 sekat kanal (lihat tabel 5). Terkait hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama

bapak Wuryanto mengatakan bahwa dalam mengatasi polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan terdapat dua aspek yaitu aspek pencegahan dan

penanggulangan, dalam hal ini kegiatan yang dilakukan seperti pembangunan subur

bor, sekat kanal dan kolam penampungan air yang di manfaatkan untuk mengatasi

kebakaran hutan dan lahan serta dimanfaatkan untuk pertanian.

Tabel 5

Pembangunan Insfrastruktur

Pembasahan Gambut Tahun

Total 2018 2019 2020

Total Sumur Bor 3.223 929

4.152 Sumur Bor Sudah SISFO (Valid) 2.179 879

Sumur Bor Belum SISFO (Valid) 1.044 50

Total Sekat Kanal 2.358 668 95

3.121 Sekat Kanal Kontrak 1.250 341 46

Sekat Kanal Berdasarkan Server 1.108 327 49

Indikator Kinerja Badan Restorasi Gambut Kalimantan Tengah Pada Tahun 2018-2020.

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, 2020

Page 27: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

47

Kemudian berdasarkan data dari Badan Restorasi Gambut, hingga pada bulan

desember 2019, di Kalimantan Tengah sendiri terdapat sebanyak 399.657 hektar

lahan gambut terestorasi, dimana secara nasional terdapat sebanyak 778.181 hektar

lahan gambut terrestorasi (BRG, 2020). Dalam pelaksanaan restorasi gambut di

Kalimantan Tengah melibatkan 11 perusahaan, diantaranya 1 perusahan Hutan

Tanaman Industri (HTI) dan 10 perusahaan sawit (lihat gambar 8).

Gambar 8

Keterlibatan Perusahaan Dalam Pelaksanaan Restorasi Gambut di Kalimantan Tengah.

Sumber: Badan Restorasi Gambut, 2018

Selain itu terdapat upaya perencanaan ekosistem gambut yang dilakukan

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 dan Keputusan Presiden

Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Terkait hal ini,

merupakan upaya untuk melestarikan dan mencegah terjadinya kerusakan pada

ekosistem gambut, yang mana Provinsi Kalimantan Tengah dan semua wilayah

daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan Peraturan

Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatasi kerusakan

pada ekosistem gambut (lihat gambar 9). Walaupun demikian, terdapat beberapa

peraturan yang telah melewati masa berlaku selama lima tahun, artinya peraturan

tersebut harus segerah diperbaharui untuk mengoptimalkan upayah dalam

mengatasi kerusakan pada ekosistem gambut yang kemudian dapat mencegah

terjadinya kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut.

Gambar 9

Page 28: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

48

Daftar Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi

Kalimantan Tengah. Sumber: Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah

Tahun 2020-2050.

Adapaun peta dan luas kawasan lindung dan kawasan budidaya berdasarkan

Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan

Tengah 2015-2035, dimana total luas kawasan lindung seluas 3.599.561,00 hektar

yang terdiri dari luas 12 status kawasan lindung dan total luas kawasan budidaya

seluas 12.120.330,00 hektar yang terdiri dari luas 4 status kawasan budidaya (lihat

gambar 10). Hal ini merupakan langkah pemerintah Kalimantan Tengah dalam

mengelolah tanah gambut yang berkelanjutan melalui konsep Kawasan Hidrologi

Gambut (KHG) dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran

hutan dan lahan dengan membagi kawasan gambut menjadi kawasan Fungsi

Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan kawasan Fungsi Budidaya Ekosistem

Gambut (FBEG). Terkait hal ini menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan

Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) menyatakan bahwa

pembagian lahan gambut berdasarkan fungsi lindung dan fungsi budidaya tersebut

telah sangat ideal, yang mana mempertimbangkan kepentingan ekologis dan

ekonomis bagi masyarakat dan pemerintah daerah, oleh karena itu yang harus

diperhatikan lebih lanjut yaitu terkait upaya perlindungan gambut dan

pemanfaatanya secara ekonomi harus berjalan seimbang (DLH Kalteng, 2019).

Gambar 10

Page 29: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

49

Peta Kawasan Lindung

Peta Kawasan Budidaya

Luas Kawasan Lindung

Luas Kawasan Budidaya

Peta dan Luas Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Berdasarkan RTRW Provinsi

Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2035. Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Provinsi

Hidup Kalimantan Tengah, 2020

Berpanduan pada RTRW, pemerintah Kalimantan Tengah menerbitkan

Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Perkebunan

Berkelanjutan, kemudian turunannya diterbitkan Peraturan Gubernur Nomor 41

Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Dalam

Usaha Perkebunan di Provinsi Kalimantan Tengah, yang mengatakan bahwa

perusahan besar swasta harus mengalokasikan kawasan kohesinya untuk kawasan

bernilai konservasi tinggi dan melaksanakan pengelolaan kawasan secara

berkelanjutan. Terkait hal ini telah diimplementasikan oleh 45 dari 181 perusahan

besar kelapa sawit yang berada di Kalimaantan Tengah, yang tersebar di 7 wilayah

kabupaten/kota (lihat gambar 11).

Gambar 11

Page 30: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

50

Sebaran Perusahan Besar Kelapa Sawit yang Memperoleh Sertifikat ISPO Sebagai Indikasi

Pelaksanaan Konservasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Kalimantan Tengah. Sumber:

Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Hidup Kalimantan Tengah, 2020

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa terdapat masing-masing satu

perusahan di Barito Timur dan Gunung Mas, kemudian terdapat empat perusahan

di Lamandau, selanjutnya terdapat sebelas perusahan di Seruyan, selain itu terdapat

tujuh perusahan di Sukamara, serta terdapat enam perusahan di Kotawaringin

Timur, dan terdapat lima belas perusahan di Kotawaringin Barat.

Gambar 12

Alur Penanggulangan Polusi Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. Sumber: Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2013

Page 31: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

51

4.3 Peran ASEAN Social Cultural Community Melalui ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution Dalam Mengatasi Permasalahan Polusi Kabut

Asap di Kalimantan Tengah 2015-2019

Awal pembentukan ASEAN di kawasan Asia Tenggara berfokus pada kerja

sama dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, penelitian dan keilmuan

untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang sejahtera dan damai. Terkait hal

ini artinya bahwa para pendiri ASEAN berusaha untuk terhindar dari situasi dimana

adanya aliansi kawan dan lawan yang dapat berpotensi menciptakan ketegangan

dan mengganggu keamanan nasional masing-masing, keamanan kawasan, dan

kemanan internasional, sebagaimana didasarkan pada misi ASEAN yang termuat

dalam Deklarasi Bangkok 1967, yang menyatakan bahwa untuk menciptakan rasa

persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Adapun

prinsip-prinsip utama ASEAN yang termuat dalam Piagam ASEAN, diantaranya:

1. Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas

wilayah, dan indentitas nasional antar sesama negara anggota ASEAN.

2. Berkomitmen dan bertangjung jawab bersama dalam meningkatkan

perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di kawasan.

3. Menentang agresi dan ancaman atau penggunaan kekuatan atau tindakan-

tindakan lainnya dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan hukum

internasional.

4. Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai.

5. Tidak mengintervensi urusan dalam negeri dari negara-negara anggota

ASEAN.

6. Menghormati hak setiap negara anggota untuk menjaga eksistensi

nasionalnya bebas dari intervensi negara bukan anggota ASEAN, subversi,

dan paksaan.

7. Meningkatkan konsultasi tentang hak-hal yang secara serius berpengaruh

terhadap kepentingan bersama ASEAN.

8. Berpegang teguh pada aturan hukum, tata pemerintahan yang baik, prinsip-

prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional.

9. Menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi

manusia, dan pemajuan keadilan sosial.

Page 32: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

52

10. Menjunjung tinggi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum

internasional, termasuk hukum humaniter internasional, yang disetujui oleh

negara-negara anggota ASEAN.

11. Tidak ikut serta dalam kebijakan atau kegiatan apa pun, termasuk

penggunaan wilayahnya, yang dilakukan oleh negara anggota ASEAN atau

negara non-ASEAN atau subjek non-negara mana pun, yang mengancam

kedaulatan, integritas wilayah atau stabilitas politik dan ekonomi negara-

negara anggota ASEAN.

12. Menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut oleh rakyat

ASEAN, dengan menekankan nilai-nilai bersama dalam semangat persatuan

dalam keanekaragaman.

13. Sentralitas ASEAN dalam hubungan eksternal di bidang politik, ekonomi,

sosial dan budaya, dengan tetap berperan aktif, berpandangan ke luar, inklusif

dan non-diskriminatif.

14. Berpegang teguh pada aturan-aturan perdagangan multilateral dan rejim-

rejim yang didasarkan pada aturan ASEAN untuk melaksanakan komitmen-

komitmen ekonomi secara efektif dan mengurangi secara progresif ke arah

penghapusan semua jenis hambatan menuju integrasi ekonomi kawasan,

dalam ekonomi yang digerakkan oleh pasar.

Berangkat dari ulasan diatas, teori liberalisme institusional menurut Robert

Jackson dann Georg Sorense (2013) merupakan dasar pemikiran Woodrow Wilson

tentang kegunaan suatu institusi internasional adalah membuat dunia yang teratur,

damai dan aman bagi demokrasi, serta institusi mempunyai dua sifat yaitu institusi

bersifat global seperti PBB dan institusi bersifat regional seperti Uni Eropa dan

ASEAN. Dalam hal ini ASEAN yang merupakan institusi bersifat regional

menciptakan kawasan Asia Tenggara yang sejahtera dan damai sesuai dengan misi

ASEAN yang termuat dalam Deklarasi Bangkok 1967 yang menyatakan bahwa

untuk menciptakan rasa persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan di kawasan

Asia Tenggara, serta yang tercermin dalam prinsip-prinsip utama ASEAN yang

termuat dalam Piagam ASEAN.

Page 33: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

53

Teori liberalisme institusional meyakini bahwa kehadiran sebuah institusi

internasional membantu untuk meningkatkan kerja sama diantara negara-negara,

dalam hal ini ASEAN merangkum berbagai bidang kerjasamanya untuk

membentuk kawasan ASEAN yang terintegrasi dengan melakukan perbaikan di

semua bidang melalui pembentukan masyarakat kawasan ASEAN didasarkan pada

3 (tiga) pilar yaitu Pilar Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-

Security Community), pilar Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic

Community), dan pilar Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural

Community). Terkait dengan pilar Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN

Socio-Cultural Community) sendiri bertujuan dalam mewujudkan komunitas

ASEAN yang berorientasi kepada rakyat untuk mencapai solidaritas, persatuan, dan

identitas bersama. Adapun karakteristik dari Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN

(ASEAN Socio-Cultural Community) yaitu:

1. Pembangunan manusia (human development)

2. Perlindungan dan kesejahteraan sosial (social welfare and protection).

3. Hak-ak dan keadilan sosial (social justice and rights).

4. Pelestarian lingkungan hidup (ensuring environmental sustainability).

5. Membangun identitas ASEAN (building the ASEAN identity).

6. Memperkecil kesenjangan pembangunan (narrowing the development gap)

(kemlu.go.id).

Terdapat 147 action line dalam cetak biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN

yang harus dilakukan dalam penerapan Masyarakat ASEAN 2015. Dalam cetak

biru ini, membahas beberapa hal terkait isu lingkungan, dimana salah satunya

tentang mencegah pencemaran lingkungan lintas batas, dalam hal ini termasuk

permasalahan transboundary haze pollution. ASEAN mewujudkan komitmennya

dalam mengatasi permasalahan transboundary haze pollution dengan

meningkatkan kerja sama secara regional. Terkait hal ini, dimana terdapat beberapa

organisasi dibentuk seperti ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management

(AMMDM), Conference of the Paties to the ASEAN Agreement on Disaster

Management and Emergency Response (COP to AADMER), ASEAN Ministerial

Page 34: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

54

Meeting on Environment (AMME), dan Conference of the Parties to the ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution (COP to AATHP) (asean.org).

Teori liberalisme institusional juga percaya bahwa organisasi internasional

merupakan seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara dalam bidang

tertentu, terkait hal ini telah terdapat peraturan maupun kesepakatan antara negara-

negara anggota ASEAN yang terus mengalami perkembangan dalam mengatasi

permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Kesepakatan

pertama pada tahun 1985 yaitu Agreement on the Conservation of Nature and

Natural Resources (ACNNR) yang secara umum merupakan kerangka kerja sama

dalam sektor konservasi alam dan sumber daya alam, tetapi kesepatan ini juga

mewajibkan negara anggota ASEAN untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan

(Mokado, 2017). Kesepakatan kedua pada tanggal 19 Juni 1990 yaitu Kuala

Lumpur Accord on Environment and Development yang di sepakati oleh para

menteri lingkungan hidup negara-negara anggota ASEAN melalui ASEAN

Ministerial Meeting on Environment (AMME) di Kuala Lumpur, Malaysia, yang

bertujuan untuk mengatasi persoalan pembangunan dan lingkungan termasuk

persoalan polusi kabut asap lintas batas. Kesepakatan ketiga pada tanggal 27-28

Januari 1992 yaitu Singapore Resolution on Environmental and Development

melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-4 di Singapura, yang

bertujuan untuk mengatasi permasalahan pembangunan dan lingkungan termasuk

polusi kabut asap lintas batas, bencana alam kebakaran hutan, dan kampanye anti

kayu tropis (Rahmi Deslianti Afni, 2014). Kesepakatan keempat pada Juli 1995

yaitu ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution (ACPTP) melalui

pertemuan ASEAN Meeting on the Management of Transboundary Polution di

Kuala Lumpur, Malaysia, yang merupakan rancangan kerjasama untuk membuat

suatu kebijakan di tingkat regional dalam mengatasi polusi kabut asap lintas batas

dengan saling bertukar informasi dan pengalihan teknologi dalam mengurangi

potensi kebakaran hutan dan lahan. Kesepakatan kelima pada Desember 1997 yaitu

Regional Haze Action Plan (RHAP) yang diterbitkan melalui ASEAN Ministerial

Meeting on Haze (AMMH) di Singapura yang bertujuan untuk mencegah

kebakaran hutan dan lahan lewat perbaikan kebijakan pengelolaan sumber daya

alam, menetapkan mekanisme operasional dalam melakukan pemantauan,

Page 35: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

55

memperkuat kapabilitas pemadaman secara regional, penegakan hukum yang

berkaitan, serta upaya mitigasi lainnya yang diperlukan (Mokado, 2017).

Kesepakatan keenam pada tahun 1998 yaitu Hanoi Plan of Action melalui KTT

ASEAN di Vietnam yang bertujuan untuk mengatakan bahwa perlu adanya

tindakan lanjutan dari RHAP dengan membuat kesepakatan regional baru yang

mengikat secara hukum. Dan kesepakatan ketujuh pada tahun 2002 yaitu ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang di sepakati oleh para

menteri lingkungan hidup negara-negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur,

Malaysia, dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan polusi kabut asap maupun

polusi kabut asap lintas batas melalui upaya nasional maupun regional, yang

berlaku sejak tanggal 25 November 2003 hingga sekarang (Rahmi Deslianti Afni,

2014).

Teori liberalisme institusional juga beranggapan bahwa negara adalah aktor

utama dalam hubungan internasional, tetapi tidak hanya negara yang merupakan

aktor sangat berpengaruh. Negara adalah aktor rasional serta terus berupaya agar

mendapatkan kepentingan nasional dalam bidang apapun. Dan di tengah

perselisihan, negara menyerahkan sumber dayanya kepada institusi jikalau dapat

menguntungkan satu sama lain serta dapat memenuhi kepentingan nasional. Terkait

hal ini kepentingan Indonesia dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution, yang mana sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 Tentang

Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution mennyatakan

bahwa “Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari anggota negara-negara

ASEAN memegang teguh dan konsisten terhadap komitmen solidaritas untuk

bekerja sama di bidang pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan serta

penyebaran asap lintas batas negara dengan memperhatikan prinsip-prinsip

perjanjian internasional yang telah disepakati dan kepentingan nasional sesuai

dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Dan bahwa asap yang berasal dari kebakaran lahan dan/atau hutan dapat

menyebar sampai lintas batas negara dan berkecendrungan kuat mengakibatkan

pencemaran lingkungan, merusak ekosistem, serta merugikan kesehatan manusia,

maka diperlukan kerja sama antarnegara Asia Tenggara dalam mengendalikan

penyebaran asap lintas batas negara. Serta bahwa Pemerintah Republik Indonesia

Page 36: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

56

telah menandatangani ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution pada

tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia”.

Selain itu adanya desakan dari masyarakat Indonesia dan LSM seperti

WALHI dan WWF melalui aksi unjuk rasa untuk mendorong pemerintah Indonesia

bertanggungjawab atas permasalahan tersebut dengan menegakan hukum secara

tegas terhadap para pembakar hutan baik perseorangan maupun suatu perusahan

tententu, selain itu untuk memperbaiki citra Indonesia di mata negara lain terutama

negara-negara anggota ASEAN terkait isu kabut asap lintas batas negara, (Shofi

Aliyah Rahmi, 2017), serta Indonesia menyadari bahwa permasalahan kebakaran

hutan dan lahan yang belum dapat diselesaikan sampai sekarang, sehingga

dibutuhkan bantuan dari negara lain untuk penyelesaian permasalahan kabut asap

lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan (Rahmi Deslianti Afni, 2015), dan

merefleksikan kepentingan Indonesia untuk melindungi hak warga negara

Indonesia dalam bidang kesehatan, pendidikan dan lingkungan (Akbar Gemilang

Suzli, 2017) melalui bantuan ekonomi serta kerjasama teknis dari ASEAN dalam

mengatasi permasalahan kabut asap lintas batas negara (Shofi Aliyah Rahmi, 2017).

Terkait dengan transboundary haze pollution sendiri, menurut article 1 dari

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution menyatakan bahwa

transboundary haze pollution means haze pollution whose physical origin is

situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one

Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of

another Member State. Artinya bahwa polusi kabut asap lintas batas merupakan

pencemaran kabut asap yang berasal dari yuridiksi satu negara anggota ASEAN,

yang kemudian kabut asap tersebut menyebar atau terdapat didalam yuridiksi

negera anggota ASEAN lainnya. Dan dalam article 1 dari ASEAN Agreement on

Tranboundary Haze Pollution juga menyatakan bahwa haze pollution means smoke

resulting from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a

nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and

material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses

of the environment. Artinya bahwa pencemaran kabut asap itu sendiri merupakan

asap yang berasal dari kebakaran hutan atau lahan, yang kemudian berdampak

Page 37: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

57

buruk terhadap alam, kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, ekosistem, serta

menggangu fasilitas dan sebagainya (haze.asean.org).

4.3.1 Transboundary Haze Pollution di Kawasan ASEAN

Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang hampir setiap tahun

mengalami permasalahan transboundary haze pollution, yang disebabkan oleh

adanya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, termasuk di wilayah Kalimantan

Tengah. Dimana pada tahun 2015 hingga 2019, kebakaran hutan dan lahan

dalam skala besar terjadi di Indonesia terutama di pulau Sumatera dan

Kalimantan pada tahun 2015 dan 2019 yang kemudian menghasilkan

transboundary haze pollution di kawasan ASEAN (lihat gambar 13).

Permasalahan polusi kabut asap lintas batas 90 persen disebabkan oleh

kebakaran hutan dan lahan pada tanah gambut (Mokado, 2017).

Gambar 13

Penyeberan Polusi Kabut Asap di Kawasan ASEAN Pada Tahun 2015 dan 2019. Sumber:

ASEAN Specialised Meteorological Centre, 2015 dan 2019

Pada bulan September 2015 terdapat enomena El Nino di kawasan

ASEAN bagian selatan, yang mana cuaca kering di kawasan ASEAN bagian

selatan akibat curah hujan di kawasan ASEAN bagian selatan tercatat dibawah

rata-rata. Hal ini kemudian terdapat transboundary haze pollution, dimana

kawasan ASEAN bagian selatan diselimuti oleh kabut asap, yang kemudian

negara-negara yang terdampak yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura,

Thailand bagian selatan, dan Filipina bagian selatan. Terkait hal ini, sejak pada

tanggal 9 hingga 28 September kualitas udara pada beberapa kota di Malaysia

Page 38: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

58

seperti Kuching, Samarahan, dan Sri Aman berkisar pada titik 68 hingga 205

atau dalam kategori tidak sehat hingga dalam kategori sangat tidak sehat.

Kemudian khususnya pada tanggal 27 September 2015 terdapat kualitas udara

pada beberapa kota di Malaysia seperti Port Klang, Shah Alam, dan Batu Muda

berada pada titik 224 hingga 243 atau dalam kategori sangat tidak sehat. Terkait

hal ini kemudian pada tanggal 10 September jarak pandang di Bandara Udara

Internasional Kuching memburuk hingga dibawah 800meter sehingga terdapat

gangguan operasi jadwal penerbangan. Selain itu pada tanggal 26 September

2015 jarak pandang di Bandara Subang, Malaysia memburuk hingga berada

dibawah 500meter sehingga bandara ditutup selama beberapa jam. Dan pada

tanggal 25 September 2015, kualitas udarah di Singapura mencapai titik tertinggi

322 atau dalam kategori berbahaya (asmc.asean.org, 2015). Menurut Menteri

Sumber Daya Air dan Lingkungan Singapura mengatakan bahwa Singapura

mengalami kerugian ekonomi sekitar US$700 juta atau Rp9,2 triliun dari

masalah kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia (Hanna

Azarya Samosir, 2016).

Dan pada tahun 2019 kembali terjadi transboundary haze pollution akibat

kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar di Indonesia yang dipengaruhi oleh

fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam fase positif sejak

pertengahan tahun 2019 sehingga beberapa daerah di kawasan ASEAN bagian

selatan mengalami cuaca secara signifikan lebih kering dari biasanya

(asmc.asean.org). Hal ini kemudian terdapat kualitas udara yang buruk di

beberapa negara di kawasan bagian selatan ASEAN, seperti Brunei Darussalam,

Malaysia Singapura dan Thailand bagian selatan. Terkait hal ini, Malaysia

sangat merakan dampak dari transboundary haze pollution tersebut, yang mana

Indeks Polusi Udara di Kuala Lumpur mencapai 138, artinya kualitas udara di

Malaysia berada pada tingkat tidak sehat, sehingga pemerintah Malaysia harus

mendistribusikan setengah juta masker wajah kepada 409 sekolah. Selain itu,

kualitas udarah di Singapura juga mengalami keburukan, tetapi masih dalam

kisaran moderat. Kemudian di Thailand bagian selatan, adanya peningkatan

partikel debu kurang dari 2,5 mikron atau PM2.5, artinya bahwa dapat

Page 39: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

59

berdampak terhadap kesehatan masyarakat seperti batuk, sesak napas, dan iritasi

mata (Hans Nicholas Jong, 2019).

4.3.2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution merupakan aturan

maupun kesepakatan yang mengatur tindakan setiap negara anggota ASEAN

dalam mengatasi permasalahan transboundary haze pollution di kawasan

ASEAN maupun haze pollution di suatu negara yang diakibatkan dari kebakaran

hutan lahan. Kesepakatan ini disetujui di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal

10 Juni 2002, dan kesepatan ini juga telah diratifikasi oleh semua negara anggota

ASEAN, dimana Indonesia merupakan negara terakhir meratifikasi kesepakatan

tersebut pada tahun 2014. ASEAN melalui AATHP berperan untuk mendorong

semua negara anggota ASEAN dalam mengatasi permasalahan transboundary

haze pollution yang diakibatkan dari kebakaran hutan lahan, dan AATHP juga

mempunyai peran sebagai bentuk kerjasama antar negara-negara anggota

ASEAN untuk mengatasi permasalahan transboundary haze pollution yang

diakibatkan dari kebakaran hutan dan lahan. Dalam AATHP terdapat 32 pasal

yang memuat tentang ketentuan-ketentuan, gambaran kerjasama, dan tindakan

dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan

lahan.

AATHP bertujuan untuk mendorong setiap negara anggota ASEAN dalam

mengatasi permasalahan transboundary haze pollution yang diakibatkan dari

kebakaran hutan dan lahan melalui upaya nasional maupun kerjasama regional.

Prinsip dari AATHP juga selaras dengan prinsip pada piagam PBB dan hukum

internasional terkait dengan hal berdaulat, sehingga AATHP memberikan

kewenangan dan tanggung jawab kepada setiap negara anggota ASEAN untuk

memastikan bahwa tidak adanya kerusakan lingkungan hidup didalam yurisdiksi

nasional suatu negara yang kemudian berdampak buruk terhadap yurisdiksi

nasional negara lain. Oleh karena itu, setiap negara anggota ASEAN harus

mengelolah dan menggunakan Sumber Daya Alam (SDA) termasuk sumber

daya hutan dan lahan dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Terkait dengan permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran

Page 40: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

60

hutan dan lahan, setiap negara anggota ASEAN dalam mengambil langkah

pencegahan, harus melibatkan para pemangku kepentingan termasuk masyarakat

lokal, NGO, petani, dan perusahan swasta.

Melalui perjanjian ini, ASEAN kemudian membentuk ASEAN Co-

ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control atau ASEAN

Centre yang bertujuan untuk menjembatani kerja sama ataupun koordinasi

antara setiap negara dalam mengatasi dampak transboundary haze pollution

akibat kebakaran hutan dan lahan, seperti ketika terdapat situasi darurat atau

suatu negara anggota secara kapasitas nasional tidak dapat memadamkan api,

maka dapat meminta bantuan kepada ASEAN Centre untuk melakukan

pemadaman api yang diawasi oleh komite atau perwakilan nasional negara yang

dibantu. Dan ASEAN Centre juga merupakan sumber pertukaran informasi

terkait permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan

lahan yang diberikan oleh focal poin atau entitas yang memiliki

wewenang untuk menerima dan mengirimkan informasi ataupun data terkait pe

rmasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan di

setiap negara.

Didalam perjanjian ini juga menawarkan ketentuan-ketentuan dalam

mengatasi permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan

dan lahan, seperti monitoring, pencegahan, dan pengendalian. Terkait beberapa

hal ini, dimana setiap negara anggota melalui National Monitoring Centres atau

Pusat Pemantauan Nasional harus melakukan pemantauan terhadap semua

daerah rawan kebakaran hutan dan lahan, dan pencemaran kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dilakukan berdasarkan prosedur nasional

yang berlaku dan harus berkomunikasi dengan ASEAN Centre secara langsung

maupun melalui focal poin terkait data yang diperoleh dari beberapa hal tersebut,

yang kemudian dianalisis dan dikomunikasikan kembali melalui National

Monitoring Centres ataupun focal poin terkait resiko terhadap kesehatan

manusia dan lingkungan yang diakibatkan oleh permasalahan transboundary

haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan. Kemudian setiap negara

anggota juga melakukan pencegahan dan pengendalian dalam mengatasi

permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan

Page 41: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

61

dengan memastikan bahwa langkah-langkah legislatif maupun administrasi,

mengembangkan program-program, mempromosikan kebijakan tanpa

pembakaran, meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk tidak

membuka lahan dengan cara membakar.

Dalam perjanjian ini juga menyatakan bahwa dalam situasi tanggap

darurat nasional, setiap negara memastikan bahwa telah melakukan langkah-

langkah legislatif, administratif dan keuangan untuk mengatasi dampak

transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan, dan wajib

melaporkan upaya tersebut kepada ASEAN Centre. Dan apabila suatu negara

tidak dapat mengatasi permasalahan transboundary haze pollution akibat

kebakaran hutan dan lahan secara pribadi, maka dapat meminta bantuan secara

langssung ataupun melalui ASEAN Centre kepada negara lain maupun organisasi

internasional dengan tetap mengawasi dan memastikan bantuan tersebut dapat

dilakukan dengan tepat dan efektif. Artinya bahwa bantuan dapat diberikan

apabila ada permintaan, dan apabila ada penawaran bantuan harus mendapat

persetujuan dari penerima bantuan.

Berdasarkan AATHP, kemudian dibentuk Conference of The Parties to

The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (CoP-AATHP) pada

tahun 2003 yang merupakan sebuah pertemuan tingkat menteri yang dilakukan

setiap tahun untuk saling berbagai informasi, negosiasi, dan evaluasi

implementasi AATHP melalui upaya setiap negara anggota baik secara

nasional maupun kerjasama regional dalam penilaian, pencegahan, dan mitigasi

untuk mengatasipermasalahantransboundary haze pollution di kawasan

ASEAN akibat kebakaran hutan dan lahan. Hingga pada tahun 2019, para

anggota CoP-AATHP telah melaksanakan pertemuan sebanyak 15 kali (lihat

tabel 14).

Gambar 14

Page 42: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

62

Pertemuan Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (CoP-AATHP). Sumber: asean.org, 2004-2019 (diolah oleh penulis)

Pada tahun 2015 hingga 2019 terdapat beberapa pertemuan yang diakan

oleh para menteri lingkungan hidup negara-negara anggota ASEAN melalui

Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution dalam membahas terkait permasalahan polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan, yaitu:

• Pertemuan ke-11 CoP-AATHP

Dalam pertemuan ke-11 CoP-AATHP para menteri meninjau kembali

kerja sama regional berdasarkan AATHP dan membahas inisiatif baru untuk

mempromosikan kerja sama regional dalam mengatasi permasalahan polusi

kabut asap. Hal ini dikarenakan pada tahun 2015 terdapat kebakaran hutan dan

lahan dalam skala besar terjadi di Indonesia yang kemudian menghasilkan polusi

kabut asap di kawasan ASEAN. Para menteri setuju untuk terus dilakukan

pertukaran informasi dan bantuan internasional oleh negara-negara anggota

ASEAN dengan tunduk pada hukum maupun kebijakan nasional setiap negara.

Terkait hal ini dimana mayoritas negara anggota ASEAN telah memberikan

kontribusi berupa dana awal sebesar US$ 500.000 melalui ASEAN

Transboundary Haze Pollution Control Fund, dan terdapat informasi yang

dibagikan oleh ASEAN Specialised Meteorological Centre’s (ASMC’s) bahwa

kondisi El Nino akan terus berlangsung hingga awal tahun 2016, dan di kawasan

ASEAN bagian selatan akan ada peningkaran aktivitas hujan di bulan Desember

2015 yang kemudian dapat membantu memadamkan api maupun meredam titik

panas. Para menteri berkomitmen untuk mengembangkan ASEAN Haze-Free

Page 43: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

63

Roadmap sebagai kerangka kerja untuk mencapai visi Haze-Free ASEAN by

2020. Dalam pertemuan ini juga para menteri mengesahakan ASEAN Guidelines

on Peatland Fire Management sebagai panduan negara anggota ASEAN untuk

menerapkan pendekatan holistik Integrated Fire Management (IFM) dan

Community-Based Fire Management (CBFiM) dalam pengelolaan kebakaran

lahan gambut, dalam hal ini seperti melakukan pencegahan, kesiapsiagaan,

respon dan pemulihan. Dan para menteri mengapresiasi adanya kemajuan terkait

ASEAN Programme on Sustainable Management of Peatland Ecosystems

(APSMPE) by 2014-2020 melalui upaya tingkat nasional maupun daerah dan

kemitraan bersama multi-pemangku kepentingan. Dan para menteri

mengapresiasi inisiatif dari Sub-Regional Ministerial Streering Committee on

Transboundary Haze Pollution (MSC) dalam mengembangkan ASEAN Sub-

Regional Haze Monitoring System (HMS) untuk berbagi informasi terkait area

titik api yang dapat polusi kabut asap berbasis Government-to-Government.

• Pertemuan ke-12 CoP-AATHP

Dalam pertemuan ke-12 CoP-AATHP para menteri kembali berkomitmen

untuk secara efektif menerapkan AATHP dalam mengatasi polusi kabut asap

melalui upaya nasional dan kerja sama regional. Dan terdapat kemajuan dalam

pelaksanaan program ASEAN Coordinating Center for Transboundary Haze

Pollution Control (ACCTHPC) di Indonesia melalui dukungan dari para

menteri. Para menteri juga mengadopsi Roadmap on ASEAN Cooperation

towards Transboundary Haze Pollution Control with Means of Implementation

sebagai kerangka kerja kolaboratif dalam pengendalian polusi kabut asap di

kawasan ASEAN demi mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Adapun

menurut perkiraan ASMC's dalam beberapa bulan kedepan terdapat kondisi

cuaca yang netral terkait El Nino maupun La Nina, dimana curah hujan normal,

namun ASMC’s akan selalu memantau kemungkinan kondisi cuaca yang lebih

kering di kawasan ASEAN bagian selatan dalam beberapa bulan kedepan untuk

mencegah polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Selain itu

mayoritas negara anggota ASEAN telah memberikan kontribusi berupa dana

awal sebesar US$ 500.000 melalui ASEAN Transboundary Haze Pollution

Control Fund. Serta adanya kemajuan substantif dari ASEAN Programme on

Page 44: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

64

Sustainable Management of Peatland Ecosystems (APSMPE) by 2014-2020

melalui mekanisme ASEAN dengan meningkatkan upaya nasional dan

kemitraan multi-pemangku kepentingan, serta para menteri mengapresiasi

inisiatif dari Sub-Regional Ministerial Streering Committee on Transboundary

Haze Pollution (MSC) yang selalu melakukan pemantauan melalui ASEAN Sub-

Regional Haze Monitoring System (HMS) dan berbagi informasi terkait area titik

api yang dapat menimbulkan polusi kabut asap.

• Pertemuan ke-13 CoP-AATHP

Dalam pertemuan ke-13 CoP-AATHP para menteri meninjau kembali

kerja sama regional terkait beberapa masalah lingkungan, khususnya tindakan

yang diambil sesuai Cetak Biru Komunitas Sosial-Budaya ASEAN untuk

kelestarian lingkungan dan membahas inisiatif baru untuk mempromosikan kerja

sama pada bidang lingkungan di kawasan ASEAN. Menurut perkiraan ASMC's

situasi netral terkait El Nino maupun La Nina akan bertahan hingga akhir tahun

2017, dimana terdapat curah hujan yang normal. Walaupun demikian ASMC’s

akan terus melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya polusi kabut asap

akibat kebakaran hutan dan lahan karena kemungkinan pada bulan September

hingga awal Oktober 2017 akan terjadi cuaca yang lebih kering di kawasan

ASEAN bagian selatan. Para menteri terus berkomitmen melalui upaya nasional

dan kerja sama regional untuk memitigasi resiko polusi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan terhadap kesehatan manusia dan kerusakan

lingkungan, serta melaksanakan AATHP dan Roadmap on ASEAN Cooperation

towards Transboundary Haze Pollution Control with Means of Implementation

untuk mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Para menteri terus menyatakan

dukungan kepada Indonesia sebagai tuan rumah ASEAN Coordinating Center

for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC) yang telah menuju

finalisasi, serta dapat diimplementasikan lebih cepat secara efektif. Dan terdapat

perkembangan Measurable Action for Haze-Free Sustainable Land

Management in Southeast Asia (MAHFSA) yang didukung oleh International

Fund for Agricultural Development (IFAD). Serta para menteri menghargai

dukungan oleh mitra eksternal terhadap pelaksanaan program berdasarkan

Page 45: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

65

ASEAN Programme on Sustainable Management of Peatland Ecosystems

(APSMPE) by 2014-2020.

• Pertemuan ke-14 CoP-AATHP

Dalam pertemuan ke-14 CoP-AATHP para menteri mengapresiasi upaya

secara nasional maupun kerjasama regional dalam mengatasi kabut asap akibat

kebakaran hutan dan lahan. Hal ini seperti upaya Sub-Regional Ministerial

Streering Committee on Transboundary Haze Pollution antara para perwakilan

dari negara Brunei Darusalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, serta

Sekertariat Umum ASEAN yang saling berkolaborasi, kerjasama, dan

koordinasi untuk memitigasi kebakaran hutan dan lahan seperti bantuan pada

situasi tanggap darurat berupa sumber daya teknis untuk pemadaman kebakaran

hutan dan lahan apabila diminta, dan saling berbagi informasi terkait kualitas

udara maupun hotspot diantara negara-negara Sub-Regional Ministerial

Streering Committee on Transboundary Haze Pollution selama musim kemarau

di bagian selatan kawasan ASEAN. Dimana melalui pemantauan yang dilakukan

oleh MSC, pada tahun 2017 jumlah hotspot yang terdapat di wilayah negara-

negara MSC kurang dari 30.000. Adapun pembagian informasi dari ASEAN

Specialized Meteorological Centre's (ASMC's) bahwa menjelang akhir tahun

2018 diperkirakan 70% kondisi El- Nino akan terjadi, yang ditandai dengan akan

adanya peningkatan hotspot di bagian utara kawasan ASEAN pada saat

peralihan ke musim kemarau dan di bagian selatan ASEAN dalam beberapa

minggu mendatang selama musim kemarau. Terkait hal ini, ASMC's akan terus

memantau dan meningkatkan upaya pencegahan terhadap kemungkinan

terjadinya polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan selama musim

kemarau. Selain itu, terdapat kemajuan dalam kesepakatan terkait ASEAN

Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution (ACC THPC) di

Indonesia. Dan para menteri juga berkomitmen akan terus melaksanakan arahan

para pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN ke-31 yang dilaksanakan pada

tanggal 13 November 2017 di Manila, Filipina dan dalam KTT ASEAN ke-32

yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2018 di Singapura, terkait pentingnya

kerjasama regional dalam mengatasi transboundary haze pollution akibat

Page 46: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

66

kebakaran hutan dan lahan dengan meningkatkan upaya penyelesaian melalui

negosiasi.

• Pertemuan ke-15 CoP-AATHP

Pada pertemuan ke-15 CoP-AATHP para menteri mengakui adanya

kemunduran percapaian upaya secara nasional maupun kerjasama regional,

terutama terkait tindakan ataupun inisiatif prioritas yang diambil untuk

kelestarian lingkungan, dalam hal ini permasalahan polusi kabut asap yang

terjadi lagi di kawasan ASEAN bagian selatan akibat kebakaran hutan dan lahan.

Terkait hal ini, menurut tinjauan ASEAN Specialized Meteorological Centre's

(ASMC's) dikarenakan Indian Ocean Dipole (IOD)1 berada dalam fase positif

sejak pertengahan tahun 2019 sehingga beberapa daerah di kawasan ASEAN

bagian selatan mengalami cuaca secara signifikan lebih kering dari biasanya.

Dan terkait fase positif IOD akan menurun pada bulan Desember 2019. Selain

itu ASMC’s juga memperkirakan pada bulan November hinga Desember 2019

terdapat kondisi netral terkait fenomena El Nino maupun El Nina, walaupun

demikian ASMC’s juga memperkirakan akan terjadi kondisi lebih kering dari

biasanya di beberapa wilayah ASEAN terutama di bagian selatan kawasan

ASEAN. Berdasarkan penilaian dari ASMC’s ini, kemudian negara-negara

anggota ASEAN berjanji akan terus waspada, memantau, dan meningkatkan

upaya pencegahan kabut asap dalam wilayah domestik masing-masing untuk

menimalisir kemungkinan terjadinya transboundary haze pollution di kawasan

ASEAN selama periode cuaca yang lebih kering dari biasanya. Kemudian, para

menteri juga mengapresiasi kerjasama Sub-Regional Ministerial Streering

Committee on Transboundary Haze Pollution yang terus berkomitmen untuk

meningkatkan upaya pertukaran praktik terbaik dan memberikan bantuan

apabila diminta terkait permasalahan transboundary haze pollution akibat

kebakaran hutan dan lahan, demi menargetkan jumlah hotspot dibawah 50.000

pada tahun 2020. Dan para menteri juga akan terus menindaklanjuti arahan para

1 Perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudera Hindia

bagian barat) dan Samudera Hindia bagian timur di selatan Indonesia (BMKG, 2021). Pada

fase negatif, maka akan terjadi peningkatan curah hujan pada wilayah Indonesia, dan pada

fase positif, maka akan terjadi penurunan curah hujan pada wilayah Indonesia sehingga

terjadi kekeringan (Bang Day, 2020).

Page 47: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

67

pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN ke-33 pada tanggal 13 November 2018

di Singapura dan KTT ASEAN ke-34 pada tanggal 23 Juni 2019 di Bangkok,

Thailand, yang mana mereka menantikan pembentukan dan operasionalisasi

ASEAN Coordinating Center for Transboundary Haze Pollution Control (ACC

THPC) di Indonesia. Terkait hal ini, para menteri menyatakan telah masuk ke

tahap finalisasi.

Dalam teori liberalisme institusional menurut Keohane (1989) terdapat tiga

peran institusi, terkait hal ini dapat dilihat berdasarkan peran yang telah dilakukan

oleh ASCC melalui AATHP dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap dan

upaya-upaya yang telah dilakukan Indonesia termasuk dalam hal ini upaya-upaya

yang telah dilakukan oleh provinsi Kalimantan Tengah dalam mengatasi

permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan:

• Menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi.

ASCC melalui AATHP sebagai suatu kesepakatan yang telah diratifikasi oleh

negara-negara anggota ASEAN menyediakan aliran informasi dan kesempatan

bernegosiasi dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap. Terkait hal ini

dapat di lihat melalui Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution yang dilakukan oleh semua perwakilan negara

anggota ASEAN, dimana dalam pertemuan ke-11 pada tahun 2015 hingga

pertemuan ke-15 pada tahun 2019 para menteri terus melakukan pertukaran

informasi terkait kemungkinan terjadinya cuaca ekstim seperti kondisi El Nino

maupun Indian Ocean Dipole (IOD) melalui tinjauan ASEAN Specialised

Meteorological Centre’s (ASMC’s) untuk mencegah terjadinya polusi kabut

asap. Kemudian terdapat beberapa kerangka kerja yang di bahas dalam setiap

pertemuan seperti ASEAN Haze-Free Roadmap sebagai kerangka kerja untuk

mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020, ASEAN Guidelines on Peatland Fire

Management sebagai panduan negara anggota ASEAN untuk menerapkan

pendekatan holistik Integrated Fire Management (IFM) dan Community-Based

Fire Management (CBFiM) dalam pengelolaan kebakaran lahan gambut, dalam

hal ini seperti melakukan pencegahan, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan,

ASEAN Programme on Sustainable Management of Peatland Ecosystems

Page 48: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

68

(APSMPE) by 2014-2020 melalui upaya tingkat nasional maupun daerah dan

kemitraan bersama multi-pemangku kepentingan, Roadmap on ASEAN

Cooperation towards Transboundary Haze Pollution Control with Means of

Implementation sebagai kerangka kerja kolaboratif dalam pengendalian polusi

kabut asap di kawasan ASEAN demi mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020,

Measurable Action for Haze-Free Sustainable Land Management in Southeast

Asia (MAHFSA) yang didukung oleh International Fund for Agricultural

Development (IFAD), dan ASEAN Coordinating Center for Transboundary

Haze Pollution Control (ACCTHPC) yang telah masuk tahap finalisasi. Adapun

Sub-Regional Ministerial Streering Committee on Transboundary Haze

Pollution yang dilakukan oleh perwakilan dari negara Brunei, Indonesia,

Malaysia, Singapura, Thailand, serta Secretariat umum ASEAN yang biasanya

saling berkolaborasi dan berkoordinasi dalam memitigasi terjadinya polusi kabut

asap akibat kebakaran hutan dan lahan melalui pemberian bantuan ketika situasi

tanggap darurat berupa sumber daya teknis untuk pemadaman kebakaaran hutan

dan lahan apabila diminta, dan saling berbagi informasi terkait kualitas udara

maupun titik panas selama musim kemarau melalui tinjauan ASEAN Sub-

Regional Haze Monitoring System (HMS).

• Meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memonitor kekuatan lain dan

mengimplementasikan komitmennya sendiri sehingga kemampuannya dalam

membuat komitmen yang dapat di percaya menjadi hal utama.

ASCC melalui AATHP berkomitmen untuk mengatasi permasalahan polusi

kabut asap, berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk mengembangkan

kebijakan nasional maupun kebijakan daerah provinsi dalam hal ini provinsi

Kalimantan Tengah, terkait hal ini dimana walaupun Indonesia sendiri hingga

pada tahun 2019 belum mengadopsi AATHP ke dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor

5 Tahun 2003, serta pemerintah tingkat daerah dalam hal ini pemerintah provinsi

Kalimantan Tengah belum mengetahui terkait AATHP, dimana berdasarkan

hasil diskusi maupun wawancara yang dilakukan oleh peneliti bersama beberapa

pihak di Kalimantan Tengah seperti Dinas Lingkungan Hidup, BAPPEDA,

Dinas Kehutanan, dan pemerhati lingkungan Kalimantan Tengah, para pihak

Page 49: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

69

tersebut belum mengetahui mengenai AATHP dan belum adanya bantuan

maupun kerjasama yang dilakukan antara pemerintah Kalimantan Tengah

dengan pihak ASEAN ataupun negara anggota ASEAN lainnya dalam

mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan,

tetapi Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan baru paska Indonesia

meratifikasi AATHP pada tahun 2015 seperti Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.

1/3/2016 dan Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Nomor

P.3/PPI/SET/KUM.I/I/2018, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia

Nomor 05/Permentan/KB.410/1/2018, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun

2016, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, dan Peraturan Menteri Lingku

ngan Hidup dan Kehutanan No.P.6/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2019. Melal

ui beberapa peraturan tersebut kemudian tidak hanya pemerintah, tetapi adapun

keterlibatan masyarakat seperti MPA dan KTPA, serta adanya keterlibatan

perusahan dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran

hutan dan lahan dengan melakukan pembangunan infrastruktur pembasahan

berupa sumur bor dan sekat kanal, dimana pada tahun 2018 hingga 2020 telah

dibangun 4.152 subur bor dan 3.121 sekat kanal di Kalimantan Tengah, dan

terdapat 45 dari 181 perusahan besar kelapa sawit yang tersebar di 7 wilayah

kabupaten/kota provinsi Kalimantan Tengah telah mengalokasikan kawasan

kohesinya untuk kawasan bernilai konservasi tinggi dan melaksanakan

pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Selain itu, Indonesia juga akan

menjadi negara tuan rumah ASEAN Coordinating Center for Transboundary

Haze Pollution Control (ACC THPC) yang telah masuk dalam tahap finalisasi.

• Memperkuat harapan yang muncul mengenai kesolidan dari kesepakatan

internasional.

Dengan adanya ASCC melalu AATHP negara anggota akan memiliki hubungan

yang baik antara satu sama lain dan terus berkomitmen untuk secara baik

menerapkan AATHP melalui upaya-upaya secara nasional maupun regional

dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap. Terkait hal ini, ASCC melalui

AATHP berhasil mendorong setiap negara dalam pertemuan Conference of The

Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yang mana

Page 50: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

70

dalam pertemuan ke-11 hingga ke-15 Conference of The Parties to The ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution para menteri berhasil mengadopsi

dan melaksanakan Roadmap on ASEAN Cooperation towards Transboundary

Haze Pollution Control with Means of Implementation sebagai kerangka kerja

kolaboratif dalam pengendalian polusi kabut asap di kawasan ASEAN demi

mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Kemudian para menteri juga berhasil

mengesahakan ASEAN Guidelines on Peatland Fire Management sebagai

panduan negara anggota ASEAN untuk menerapkan pendekatan holistik

Integrated Fire Management (IFM) dan Community-Based Fire Management

(CBFiM) dalam pengelolaan kebakaran lahan gambut, dalam hal ini seperti

melakukan pencegahan, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan. Selain itu adapun

ASEAN Coordinating Center for Transboundary Haze Pollution Control (ACC

THPC) yang telah masuk ke tahap finalisasi, dimana Indonesia sebagai negara

tuan rumah. Dan negara anggota ASEAN terus memberikan kontribusi berupa

dana awal sebesar US$ 500.000 melalui ASEAN Transboundary Haze Pollution

Control Fund.

Melalui teori liberalisme institusional peran ASCC melalui AATHP telah

menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi bagi negara anggota

melalui Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary

Haze PollutionI maupun Sub-Regional Ministerial Streering Committee on

Transboundary Haze Pollution, meningkatkan kemampuan pemerintah dalam

memonitoring kekuatan lain dan mengimplementasikan komitmen sendiri sehingga

kemampuannya membuat komitmen yang dapat di percaya menjadi hal utama

melalui peraturan nasional maupun peraturan tingkat daerah, memperkuat harapan

yang muncul mengenai kesolidan dari kesepakatan internasional dalam mengatasi

permasalahan polusi kabut asap, yang ditandai dengan terdapat beberapa kerangka

kerja yang telah dilaksanakan dan disahkan maupun masih dalam proses finalisasi

untuk mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Peran ASCC melalui AATHP

telah membantu Indonesia dalam melakukan penilaian, monitoring, pencegahan

dan pengendalian melalui pertukaran informasi terkait kemungkinan terjadinya

cuaca ekstrim yang dapat menimbulkan adanya titik panas, serta bantuan seperti

alat ataupun keuangan yang diberikan oleh negara-negara anggota ASEAN lainnya

Page 51: BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …

71

dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

Selain itu, peran ASCC melalui AATHP secara langsung di tingkat daerah, dalam

hal ini daerah provinsi Kalimantan Tengah masih belum terlihat, dimana di

Kalimantan Tengah sendiri berdasarkan hasil diskusi maupun wawancara yang

dilakukan oleh peneliti bersama beberapa pihak di Kalimantan Tengah seperti

Dinas Lingkungan Hidup, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, dan pemerhati

lingkungan Kalimantan Tengah, mereka belum mengetahui mengenai AATHP dan

belum adanya bantuan maupun kerjasama sama yang dilakukan antar pemerintah

Kalimantan Tengah dengan pihak ASEAN ataupun negara-negera anggota ASEAN

dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.