BAB IV PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Penelitianrepository.ub.ac.id/9253/5/BAB IV.pdf · A. Gambaran...
Transcript of BAB IV PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Penelitianrepository.ub.ac.id/9253/5/BAB IV.pdf · A. Gambaran...
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
1. Kabupaten Malang
Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten yang berada di
wilayah Provinsi Jawa Timur dengan luas wilayah mencapai 3.534,86 km².
Kabupaten Malang berbatasan dengan beberapa kabupaten lain di
beberapa sisinya dan juga satu samudera, dengan penjelasan sebagai
berikut:
a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Blitar, Kabupaten
Kediri dan Kabupaten Mojokerto di sebelah barat-utara.
b. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan dan juga
Probolinggo.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lumajang.
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Kabupaten Malang termasuk kedalam daerah yang berada di dataran
tinggi karena dikelilingi oleh beberapa gunung, diantaranya: Gunung
Semeru, Gunung Bromo, Gunung Kawi, Gunung Kelud dan Gunung
Arjuno.
Sesuai pembagian administrasi wilayahnya, Kabupaten Malang
memiliki 33 Kecamatan, 378 Desa, 12 Kelurahan, 3.295 Rukun Warga
30
atau R.W dan 14.459 Rukun Tetangga atau R.T serta pusat pemerintahan
yang berada di Kecamatan Kepanjen1.
2. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Malang.
Bagian Hukum Sekretariat Daerah merupakan salah satu bagian
dalam susunan Organisasi Perangkat Daerah dengan dasar pembentukan
berupa Perda Kabupaten Malang nomor 1 tahun 2008. Tugas Bagian
Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Malang diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Melaksanakan sebagian tugas Sekretaris Daerah dalam koordinasi
penyusunan Peraturan Daerah, pelaksanaan kajian hukum dan
kebijakan daerah serta penyelesaian sengketa hukum, bantuan
hukum dan dokumentasi hukum.
b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Asisten
Pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya.
Sedangkan untuk melaksanakan tugasnya, Bagian Hukum
mempunyai fungsi:
a. Penelitian perumusan peraturan perundang-undangan.
b. Pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka pelakasanaan
pelayanan dan bantuan hukum.
c. Penelaahan dan pengevaluasian pelaksanaan peraturan
perundang-undangan.
1Selayang pandang Pemerintah Kabupaten Malang (online). http:
//www.malangkab.go.id/konten85.html. Diakses pada 4 mei 2015.
31
d. Penghimpunan peraturan perundang-undangan, mempublikasikan
dan pendokumentasian produk hukum.
Bagian Hukum sendiri membawahi beberapa Sub-bagian yang
berkerja sesuai bidang yang telah ditentukan yaitu:
a. Sub-bagian Peraturan Perundang-undangan
b. Sub-bagian Pelayanan Hukum
c. Sub-bagian Dokumentasi Hukum
Bagian Hukum Sekertariat Daerah Kabupaten Malang mempunyai
Visi: “Terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia yang
berkandaskan keadilan dan kebenaran secara nyata sesuai visi dan misi
Kabupaten Malang dalam mewujudkan Pemerintahan Good Governance
atau tata kelola pemerintahan yang baik, Clean Governance atau
pemerintahan yang bersih, berkeadilan dan demokratis”. Sesuai dengan
Visi diatas, Misi dari Bagian hukum adalah:
1. Perencanaan hukum yang tepat dan pembentukan hukum yang
taat asas.
2. Pelayanan dan bantuan hukum dalam rangka penerapan dan
penegakan hukum.
3. Dinas Sosial Kabupaten Malang
Dinas Sosial merupakan salah satu bagian dalam susunan Organisasi
Perangkat Daerah di Kabupaten malang. Tujuan Dinas Sosial adalah:
32
1. Meningkatkan aksesibilitas penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan
terentasnya penyandang masalah kesejahteraan sosial serta
menjadikan PMKS yang mandiri dan produktif.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat, lembaga kesejahteraan
sosial, dan dunia usaha dalam pemberdayaan sosial.
Visi Dinas Sosial Kabupaten Malang adalah: “Mendukung
Terwujudnya Peningkatan Taraf Kesejahteraan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang Mandiri, Produktif melalui Usaha
Bersama Pemerintah dan Masyarakat “.
Misi Dinas Sosial Kabupaten Malang adalah: “Pelayanan Sosial
yang meliputi Rehabilitasi Sosial, Jaminan Sosial, Pemberdayaan Sosial
dan Perlindungan Sosial kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial ( PMKS)”.
B. Realita Lokalisasi Prostitusi di Kabupaten Malang
Pada tanggal 24 November 2014 lalu Pemerintah Daerah Kabupaten
Malang telah resmi melakukan penutupan terhadap sejumlah lokalisasi yang
ada di wilayah Kabupaten Malang. Lokalisasi yang telah resmi ditutup
tersebut adalah lokalisasi Embong Miring, Kalikudu, Gondanglegi, kebobang,
Suko, Slorok/Kalibiru dan Sumawa dengan jumlah keseluruhan adalah tujuh
lokalisasi. Ketujuh lokalisasi tersebut menjadi sasaran penutupan selain
daripada keberadaannya yang ilegal serta merisaukan masyarakat, dan juga
33
status keanggotaan Pekerja Seks Komerseial atau PSK yang bernaung di
bawah masing-masing lokasi yang mencapai 308 Pekerja Seks Komersial.
Perincian jumlah anggota di masing-masing lokalisasi adalah sebagai
berikut:
1. Embong Miring yang berada di daerah Ngantang sebanyak 17
Pekerja.
2. Kalikudu yang berada di daerah Pujon sebanyak 31 Pekerja.
3. Girun yang berada di daerah Gondanglegi sebanyak 75 Pekerja.
4. Kebobang yang berada di daerah Wonosari sebanyak 41 Pekerja.
5. Suko yang berada di daerah Pucung sebanyak 70 Pekerja.
6. Slorok/Kalibiru yang berada di daerah Kromengan sebanyak 59
Pekerja.
7. Pulau Bidadari yang berada di daerah Sumbermanjing Wetan
sebanyak 15 Pekerja.
Dari ketujuh lokalisasi yang berhasil ditutup, tercatat bahwa lokalisasi
yang berada di daerah Gondanglegi dan Suko merupakan lokalisasi dengan
daftar pekerja terbanyak. Hal ini dikarenakan kedua lokalisasi tersebut adalah
yang paling tua keberadaannya di Kabupaten Malang.
Tidak semua Pekerja Seks Komersial yang berada di lokalisasi
Kabupaten Malang berasal dari wilayah Kabupaten Malang. Diantara para
pekerja tersebut sebagian berasal dari kabupaten lain yang masih termasuk ke
dalam wilayah Provinsi Jawa Timur dan juga berasal dari beberapa daerah dari
luar Provinsi Jawa Timur. Daerah asal para pekerja menurut data yang telah
34
diverifikasi melalui Kartu Tanda Penduduk oleh Dinas Sosial Kabupaten
Malang adalah sebagai berikut:
1. Yang berasal dari Kabupaten Malang sebanyak 154 Pekerja.
2. Yang berasal dari luar Kabupaten Malang namun masih dalam
wilayah Provinsi Jawa Timur sebanyak 132 Pekerja.
3. Yang berasal dari luar Provinsi Jawa Timur sebanyak 22 Pekerja
Total keseluruhan adalah 308 Pekerja Seks Komersial dengan perincian:
Tabel 1.
Rincian Daerah Asal Pekerja Seks Komersil di Kabupaten Malang
No Nama Lokalisasi Dari
Kabupaten
Malang
Dari
JawaTimur
Dari Luar
Jawa Timur
1 Embong Miring 7 9 1
2 Kalikudu 19 10 2
3 Gondanglegi 40 30 5
4 Kebobang 28 14 1
5 Suko 24 40 6
6 Slorok/Kalibiru 31 22 6
7 Sumbermanjing Wetan 7 7 1
Jumlah 154 132 22
Sumber: Statistik Dinas Sosial Kabupaten Malang Tahun 2014.
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa 50% dari PSK yang ada di
wilayah Kabupaten Malang berasal dari wilayah Kabupaten Malang sendiri.
Sedangkan 42,86% berasal dari wilayah atau Kabupaten lain dalam lingkup
35
Provinsi Jawa Timur dan 7,14% sisinya berasal dari luar Provinsi Jawa
Timur.
Dinas Sosial Kabupaten Malang mendapat beberapa hambatan dalam
melakukan pendataan dikarenakan adanya kecenderungan dari Pekerja Seks
Komersil untuk berpindah tempat dari satu lokalisasi ke lokaslisasi yang lain.
Perpindahan tempat kerja yang sering kali terjadi menjadikan beberapa
hambatan bagi Instansi Pemerintahan lain dalam memberlakukan suatu
program seperti sosialisasi peraturan, kesehatan, pelatihan keterampilan dan
program-program lain terutama yang membutuhkan pendataan. Beberapa
program seperti pelatihan keterampilan seringkali berjalan dengan tidak
efektif dikarenakan hambatan tersebut.
Mobilitas yang dilakukan oleh Pekerja Seks Komersial ke lokalisasi
lain umumnya dilakukan atas dasar intensitas kedatangan pelanggan
dikarenakan hal tersebut yang paling berpengaruh pada pendapatan ekonomi
bagi seorang Pekerja Seks Komersial2.
Selain dari faktor ekomoni, terdapat beberapa faktor-faktor lain yang
mempengaruhi mobilitas para Pekerja Seks Komersial. Faktor-faktor tersebut
diantaranya sebagai berikut:
2 Dra. Retno Tri Damayanti, MM. Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Malang.
Wawancara pada tanggal 4 Mei tahun 2015.
36
1. Kekerasan yang dialami oleh Pekerja Seks Komersial.
Kekerasan terutama dalam bentuk fisik seringkali dialami oleh
beberapa pekerja. Kekerasan fisik tersebut bisa terjadi akibat
kecemburuan diantara para pekerja sendiri dan juga kekerasan yang
dilakukan oleh beberapa pelanggan. Kecemburuan diantara pekerja
lahir dari berkurangnya intensitas pelanggan yang datang pada
seorang pekerja. Kecemburuan ini mengarah kepada pekerja lain
yang memiliki intensitas kedatangan pelanggan yang lebih tinggi
atau biasa disebut dengan istilah “Primadona”. Istilah Primadona
timbul secara alamiah dilingkungan para Pekerja Seks Komersial.
Istilah ini lahir selain dari tingginya intensitas pelanggan yang
datang namun juga lahir dari legitimasi pelanggan mengenai bentuk
fisik, penampilan, umur dan juga lama-tidaknya pekerja tersebut
menempati suatu lokalisasi. Seorang Primadona biasanya akan terus
dipertahankan oleh seorang Mucikari dikarenkan Promadona
tersebut memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari beberapa
pekerja biasa. Keberadaan seorang Primadona yang mendapat
perlakuan khusus dari Mucikari melahirkan suatu dominasi bagi
pekerja lain. Dominasi inilah yang seringkali menyebabkan pihak
minoritas, dalam hal ini adalah para pekerja baru, seringkali
mendapat kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikis3.
Kekerasan fisik juga dialami oleh Pekerja Seks Komersial dari
beberapa pelanggan yang memakai jasa mereka. Para pelanggan
3 Ibid.
37
yang telah melakukan transaksi dengan Mucikari memiliki anggapan
bahwa pelanggan tersebut memiliki kuasa penuh atas pekerja yang
bersangkutan. Hal ini menimbulkan rasa hilangnya harkat
kemanusiaan yang dimiliki oleh pekerja itu sendiri sehingga
seringkali seorang pelanggan berbuat hal-hal yang melebihi batasan
kemanusiaan namun hal tersebut didiamkan oleh pekerja itu sendiri.
Para pelanggan menjadi terbiasa untuk memaksa seorang pekerja
melakukan hal-hal tertentu yang notabene menyakit fisik pekerja
tersebut guna mewujudkan imajinasi, sensasi atau kepuasan seksual
yang diinginkannya. Hal tersebut biasanya dilakukan oleh pelanggan
yang memiliki kecenderungan perilaku seks menyimpang maupun
pelanggan yang datang dalam keadaan mabuk dikarenakan pengaruh
suatu minuman keras atau menuman beralkohol4. Seorang pekerja
yang telah disewa merasa tidak memiliki wewenang atas perilaku
yang menyakiti tubuhnya dikarenaka transaksi yang telah dilakukan
oleh pelanggan tersebut kepada Mucikari. Keadaan seperti inilah
yang biasanya menjadikan hilangnya harkat kemanusiaan seorang
pekerja yang bisa berakibat fatal terhadap keselamatan pekerja
tersebut.
2. Tekanan dari pemilik lokalisasi atau Mucikari.
Selain dari kekerasan fisik yang dialami oleh pekerja, tekanan
juga hadir dari pemilik lokalisasi itu sendiri. Hubungan antara
4 Hasil wawancara terhadap “Bunga” (nama samaran), seorang eks-PSK yang saat ini menjadi
warga binaan Dinas Sosial Kabupaten Malang. Wawancara dilakukan pada tanggal 11 Mei
2015.
38
Pekerja Seks Komersial dengan seorang mucikari bukanlah
hubungan rekan kerja yang berdasarkan pada bagi hasil atau
keuntungan. Namun hubungan kerja tersebut lebih kepada lebih
kepada hubungan sewa-menyewa yang terdapat unsur tekanan dari
pemberi sewa kepada penyewa. Sewa-menyewa yang dimaksud
disini adalah keadaan dimana seorang Pekerja diharuskan untuk
membayar sewa atas tempat atau ruangan yang dimiliki oleh seorang
Mucikari yang akan dipergunakan untuk melayanai pelanggan.
Seorang Mucikari menetapkan tarif yang bermacam-macam
atas ruangan atau taraf hidup tertentu yang harus dibayar oleh
seorang pekerja di suatu lokalisasi. Seperti misalkan seorang pekerja
dituntut untuk bisa membayar sejumlah uang atas pakaian, sepatu
atau atribut lain yang dapat menunjang penampilan seorang pekerja
dimana atribut tersebut berasal dari Mucikari pada awal mula
seorang pekerja tersebut datang untuk bekerja di lokalisasi tersebut5.
Selain itu, seorang pekerja juga dituntut untuk bisa mencapai suatu
target pelayanan terhadap pelanggan yang datang dalam hitungan
hari. Misalkan seorang pekerja diharuskan untuk bisa melayani lima
orang pelanggan dengan masing-masing tarif Rp. 50.000;- perorang
yang jika diakumulasikan bisa mencapai Rp. 250.000; dalam satu
hari. Jika pekerja tersebut baru bisa melayani tiga pelanggan, yaitu
dengan akumulasi Rp. 150.000; kurang dari ketentuan yang telah
dibuat oleh Mucikari, maka hal itu menjadi hutang pada keesokan
5 Ibid.
39
harinya yang akan diakumulasikan dalam bentuk nominal yang
dibebankan kepada pekerja tersebut setiap harinya. Keadaan inilah
yang menjadikan timbulnya paksaan bagi pekerja untuk dapat
melayani pelanggan meskipun dalam keadaan sakit atau keadaan
fisik yang tidak memungkinkan6.
Tekanan seperti ini disadari oleh para pekerja sendiri sebagai
hutang yang berkepanjangan dan mengikat sehingga merusak
kesadaran atas harkat kemanusiaannya sehingga menghilangkan
harapan untuk keluar dari lokalisasi.
C. Dasar Pertimbangan Yuridis dan Sosiologis Penutupan Lokasi Prostitusi
Dengan adanya beberapa pemberitaan terkait penutupan lokasi
prostitusi di Kabupaten Malang, terdapat beberapa pertanyaan mendasar
tentang kapan tepatnya lokalisasi prostitusi awalnya resmi dibuka atau
mendapat legalisasi di Kabupaten Malang. Pertanyaan ini menjadi dasar dari
penelitian ini dengan logika dasar jika terjadi penutupan resmi secara
serempak pasti terdapat peraturan yang telah meresmikan dan melegalisasi
pembukaan atau keberadaan prostitusi tersebut, mengingat data yang penulis
dapat dari Dinas Sosial Kabupaten Malang bahwa di Kabupaten Malang
terdapat tujuh lokalisasi prostitusi dengan total pekerja didalamnya mencapai
308 personalia, jumlah yang cukup besar.
6 Ibid.
40
Terkait sejak kapan ketujuh lokalisasi ini diresmikan di Kabupaten
Malang, penulis melakukan penelitian pada Sub-bagian Dokuemtasi Hukum,
Bagian Hukum Sekretariat daerah Kabupaten Malang guna mencari peraturan
daerah yang menjadi dasar hukum bagi legalisasi prostitusi tersebut. Prostitusi
sendiri meskipun tidak dibahasakan dengan suatu bahasa hukum, namun pasal
296 jo 506 KUHP telah melarang hal tersebut. Peraturan Daerah apakah yang
diciptakan oleh Pemerintah Kabupaten Malang sehingga memberi legalisasi
pada aktifitas yang dilarang oleh KUHP.
Penelitian penulis di Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten
Malang ditujukan untuk mencari segala sumber hukum berupa peraturan
daerah, edaran bupati maupun instruksi bupati terkait penutupan lokalisasi
prostitusi ini, dengan harapan bisa membandingkan dan mencari dasar
pertimbangan antara peraturan yang mendasari peresmiannya serta peraturan
yang mendasari penutupannya.
Penelitian penulis pertama ditujukan kepada Bagian Hukum Sekretariat
Daerah dengan penelitian melalui interview, yaitu salah satu cara yang
terdapat dalam pengambilan data yang dilakukan oleh penulis dengan metode
purposive sampling, yaitu interview atau wawancara terhadap Kepala Bagian
Hukum Sekretarian Daerah Kabupaten Malang yang dirasa cukup mewakili
seluruh pegawai di instansinya, dengan pemberian disposisi atau perwakilan
kewenangan kepada Bapak Arisanto Soeroyo, S. Sos selaku Kasubag
Dokumentasi Hukum. Dari penelitian tersebut penulis mendapatkan fakta awal
bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Malang tidak pernah memberikan
legalisasi berupa peraturan mengenai peresmian lokalisasi prostitusi. Fakta ini
41
berdasarkan pada larangan yang ada pada pasal 296 jo 506 KUHP dan moral
prostitusi yang tidak sesuai dengan masyarakat di Kabupaten Malang
khususnya dan masyarakat di wilayah Indonesia pada umumnya. Dari
keterangan tersebut, bisa disimpulkan bahwa keberadaan prostitusi di
Kabupaten Malang merupakan aktifitas ilegal karena tidak pernah terdapat
peraturan yang mendasari keberadaanya serta prostitusi merupakan aktifitas
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta moral yang
ada di Indonesia.
Dari fakta awal yang penulis temukan di atas, mengenai ketiadaan dasar
hukum bagi lokasi prostitusi, maka istilah “Penutupan” tidak sesuai dengan
agenda yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malang dan
pengurus jajarannya mengingat lokasi prostitusi sendiri tidah pernah secara
resmi dan berdasarkan hukum dinyatakan dibuka. Kata “Penutupan” sebagai
kata kunci agenda Pemda ini lebih sesuai dengan makna realisasi Peraturan
Daerah dan Peraturan Peundang-undangan.
Fenomena tentang keberadaan lokasi prostitusi ilegal ini sudah
diantisipasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malang dengan adanya
Intruksi Bupati Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Larangan Operasional Bagi
Lokalisasi Pekerja Seks Komersil (PSK) di Wilayah Kabupaten Malang.
Instruksi ini diberlakukan kapada segenap Camat se-Kabupaten Malang
untuk:
1. Melarang kegiatan operasional Lokalisasi Pekerja Seks Komersial
(PSK) di wilayahnya.
42
2. Mengkoordinasikan dengan unit kerja terkait segala bentuk langkah-
langkah yang diambil dalam rangka penanggulangan dan rehabilitasi
para Pekerja Seks Komersial (PSK), agar dapat menjalankan
kehidupannya sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat.
3. Melaporkan segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan adanya
operasioal Pekerja Seks Komersial (PSK) di wilayahnya kepada
Bupati.
Pasca beredarnya Instruksi Bupati Nomor 3 Tahun 2002 tersebut, belum
terdapat pekembangan yang signifikan terkait keberadaan Lokalisasi Prostitusi
ini dalam artian keberadaannya semakin marak serta masing-masing lokalisasi
telah memilik manajemen atau sistem kerja sendiri seperti adanya petugas
keamanan yang menghambat kinerja Camat wilayah tersebut untuk
menjalankan Instruksi Bupati Nomon 3 Tahun 2002 ini7.
Melihat adanya hambatan bagi Camat dalam menjalankan Instruksi
Bupati Nomor 3 Tahun 2002 ini, selanjutnya Pemerintah Daerah Kabupaten
Malang mengeluarkan Keputusan Bupati Malang Nomor 2 Tahun 2004
Tentang Larangan Penyelanggaraan Perjudian dan Lokalisasi Pekerja Seks
Komersil (PSK) di Wilayah Kabupaten Malang. Namun, berbeda dari
Instruksi Bupati sebelumnya, Keputusan Bupati Malang Nomor 2 Tahun 2004
ini lebih menitikberatkan pada himbauan untuk melapor serta bentuk
sosialisasi kepada masyarakat luas tentang bahaya perjudian dan prostitusi
7 Arisanto Soeroyo, S. Sos. Kasubag Dokumentasi Hukum Kabupaten Malang. Wawancara
pada tanggal 30 Maret Tahun 2015.
43
dengan harapan menaikkan animo masyarakat akan bahaya keberadaan
lokalisasi prostitusi serta kesadaran bersama yang diharapkan bisa menjadi
tindak lanjut dari hal tersebut berupa pelaporan kepada Kepolisian Resort
Kabupten Malang.
Beberapa tahun pasca keberadaan Instruksi Bupati serta Keputusan
Bupati Malang tersebut, serta dinamika seputar maraknya keberadaan
lokalisasi prostitusi ini yang seakan-akan merupakan tempat usaha yang legal,
serta adanya laporan dari masyarakat yang berupa perseorangan maupun
perwakilan dengan bentuk Ormas maupun Lembaga Swadaya Masyarakat,
terciptalah Instruksi Bupati Malang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Larangan
Beroperasi Bagi Pekerja Seks Komersil di Wilayah Kabupaten Malang.
Instruksi Bupati nomor 2 tahun 2014 ini didasarkar kepada Keputusan
Bupati Malang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Larangan Penyelanggaraan
Perjudian dan Lokalisasi Pekerja Seks Komersil (PSK) di Wilayah Kabupaten
Malang, Keputusan Bupati Malang Nomor 188.45/380/KEP/421.013/2014
Tentang Tim Penanganan dan Penutupan Lokalisasi PSK di Wilayah
Kabupaten Malang dan Surat Gubernur Jawa Timur tanggal 28 April 2014
Nomor: 460/7705/031/2014 perihal Penanganan Pasca Penutupan Lokalisasi
WTS di Jawa Timur dan diperuntukkan kepada:
1. Sekretaris Daerah
2. Para Asisten Sekretaris Daerah
3. Inspektur Kabupaten Malang
4. Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang
44
5. Kepala Badan/Dinas/Kantor/Bagian di Lingkungan Kabupaten
Malang
6. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat
Kabupatan Malang
7. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan Kepanjen
8. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Lawang
9. Direktur Utama Badan Usaha Milik Daerah
10. Camat se-Kabupaten Malang
11. Lurah atau Kepala Desa se-Kabupaten Malang
Dengan adanya Instruksi Bupati Nomor 2 Tahun 2014 ini, maka jajaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Malang diharuskan untuk
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan
kewenangannya dalam rangka menjalankan Larangan Beroperasi Bagi Pekerja
Seks Komersial di Kabupaten Malang, yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan mental spiritual, pelatihan keterampilan serta
memberikan bantuan stimulan modal usaha. Bantuan modal usaha
atau bantuan usaha ekonomi produktif ini merupakan bantuan yang
diberikan diberikan kepada eks-Pekerja Seks Komersil sebesar Rp
3.000.000;- perorang yang diambil dari APBD Kabupaten Malang
tahun 2013 sesuai dengan ketentuan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial. Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan dengan Peraturan
Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan
45
dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) serta Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial.
2. Melakukan pengosongan terhadap lokalisasi dan melakukan
pengawasan terhadap lokalisasi yang sudah ditutup. Selain dari
pengosongan lokalisasi saat penutupan, Pemerintah Daerah
Kabupaten Malang juga melakukan pengawasan terhadap eks-
lokalisasi pasca penutupan dengan harapan eks-lokalisasi tersebut
tidak berfungi kembali.
3. Melakukan proses percepatan alih fungsi eks-lokalisasi PSK menjadi
sentral usaha ekonomi baru. Eks-lokalisasi prostitusi diharapkan bisa
menjadi sentra usaha ekonomi produktif yang baru atau sebuah
lokalisasi hiburan yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
4. Mencegah munculnya lokalisasi PSK terselubung dengan melibatkan
masyarakat serta berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Sektor
setempat dan Komandan Komando Rayon Militer setempat. Dalam
hal pencegahan terhadap muculnya lokalisasi terselubung ini,
Pemerintah Daerah Kabupaten Malang menghimbau Instansi terkait
penutupan lokalisasi untuk dapat bekerjasama dengan elemen
masyarakat agar dalam menjaga ketertiban umum dari timbulnya
lokalisasi terselubung8.
8 Dra. Retno Tri Damayanti, MM. Op.cit.
46
Instruksi Bupati Nomor 2 Tahun 2014 ini dijalankan dengan adanya
Keputusan Bupati Malang Nomor 188.45/380/KEP/421.013/2014 Tentang
Tim Penanganan dan Penutupan Lokalisasi PSK di Wilayah Kabupaten
Malang.
Tim yang dikhususkan untuk melaksanakan Instruksi Bupati Nomor 2
Tahun 2014 ini beranggotakan Satuan Keja Perangkat Daerah atau SKPD serta
beberapa anggota dari Lembaga Swadaya Masyarakat serta instansi-instansi
lain yang mempunyai andil dalam penutupan lokalisasi ini, dengan perincian
sebagai berikut:
Tabel 2.
Tim Penanganan dan Penutupan Lokalisasi di Kabupaten Malang
No Jabatan dalam Tim Jabatan dalam Dinas
1
2
3
Pelindung
Ketua
Wakil Ketua I
a. Bupati Malang
b. Kepala Kepolisian Resort Malang
c. Kepala Kepolisian Resort Kota Batu
d. Komandan Komando Distrik Militer
0818 Malang-Batu
e. Kepala Kejaksaan Negri Kepanjen
f. Wakil Bupati Malang
Sekretaris Daerah Kabupaten Malang.
Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris
47
4
5
6
Wakil Ketua II
Sekretaris
Anggota:
1. Bidang
Identifikasi
Daerah Kabupaten Malang.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Malang.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Malang.
a. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Malang.
b. Kepala Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Malang.
c. Kepala Kantor Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
Kabupaten Malang.
d. Kepala Bagian Administrasi
Kesejahteraan Rakyat Sekretariat
Daerah Kabupaten Malang.
e. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial pada
Dinas Sosial Kabupaten Malang.
f. Camat Gondanglegi.
g. Camat Sumberpucung.
h. Camat Wonosari.
i. Camat Kromengan.
48
j. Camat Pujon.
k. Camat Ngantang.
l. Camat Sumbermanjing Wetan.
m. Ketua Pusat Pelayanan Terpadu
Perlindungan Perempuan dan Anak
Kabupaten Malang.
n. Ketua Komisi Penanggulangan AIDS
Kabupaten Malang.
o. Lembaga Swadaya Masyarakat
Paramitra.
p. Lembaga Swadaya Masyarakat pada
Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan
dan Pembangunan Provinsi Jawa Timur.
q. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
Gondanglegi.
r. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
Sumberpucung.
s. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
Wonosari.
t. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
Kromengan.
u. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
Pujon.
v. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
49
2. Bidang
Pemberdayaan
Ngantang.
w. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
Sumbermanjing Wetan.
a. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Malang.
b. Kepala Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Pasar Kabupaten
Malang.
c. Kepala Dinas Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah Kabupaten
Malang.
d. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
Malang.
e. Kepala Badan Pemberdayaan
Masyarakat Kabupaten Malang.
f. Sekretaris pada Kantor Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
Kabupaten Malang.
g. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial pada Dinas Sosial Kabupaten
Malang.
h. Ketuan Tim Penggerak Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga Kabupaten
50
3. Bidang Keamanan
Malang.
a. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan
Perlindungan Masyarakat Kabupaten
Malang.
b. Kepala Kepolisian Sektor Gondanglegi.
c. Kepala Kepolisian Sektor
Sumberpucung.
d. Kepala Kepolisian Sektor Wonosari.
e. Kepala Kepolisian Sektor Kromengan.
f. Kepala Kepolisian Sektor Pujon.
g. Kepala Kepolisian Sektor Ngantang.
h. Kepala Kepolisian Sektor
Sumbermanjing Wetan.
i. Komandan Rayon Militer Gondanglegi.
j. Komandan Rayon Militer
Sumberpucung.
k. Komandan Rayon Militer Wonosari.
l. Komandan Rayon Militer Kromengan.
m. Komandan Rayon Militer Pujon.
n. Komandan Rayon Militer Ngantang.
o. Komandan Rayon Militer
Sumbermanjing Wetan.
p. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban
51
4. Bidang Pembinaan
Mental dan
Kerohanian
Umum pada Kecamatan Sumberpucung.
q. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban
Umum pada Kecamatan Pujon.
r. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban
Umum pada Kecamatan Wonosari.
s. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban
Umum pada Kecamatan Kromengan.
t. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban
Umum pada Kecamatan Gondanglegi.
u. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban
Umum pada Kecamatan Ngantang.
v. Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban
Umum pada Kecamatan Sumbermanjing
Wetan.
a. Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Malang.
b. Kepala Bagian Administrasi
Kemasyarakatan dan Pembinaan Mental
Sekretariat Daerah Kabupaten Malang.
c. Ketua Majelis Ulama’ Indonesia
Kabupaten Malang.
d. Ketua Ikatan Da’i Area Lokalisasi.
Sumber: Data sekunder yang berasal dari Instruksi Bupati Malang
Nomor 2 Tahun 2014, diolah 2015
52
Tim Penanganan dan Penutupan Lokalisasi PSK di Wilayah Kabupaten
Malang ini memiliki empat bidang utama dalam melaksanakan tugasnya,
yaitu Bidang Identifikasi, Bidang Pemberdayaan, Bidang Keamanan, Bidang
Pembinaan Mental dan Kerohanian dengan tujuan sebagai berikut:
a. Melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi secara terpadu dan terarah
terhadap pelaksanaan penanganan dan penutupan lokalisasi Pekerja
Seks Komersial dengan melibatlan unsur masyarakat.
b. Melakukan pengawasan dan penertiban pasca penutupan lokalisasi
PSK di wilayah Kabupaten Malang.
c. Melakukan pendekatan secara Humanistik kepada masyarakat dan
pemilik wisma melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, MUI
Kabupaten Malang, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta pemangku
kepentingan lainnya di lokalisasi PSK.
d. Melakukan perubahan nilai, sikap dan perilaku bagi para PSK dan
eks-PSK melalui pembinaan mental spiritual dan pelatihan
keterampilan sebelum dan setelah berada di wilayah asal serta
melakukan proses percepatan alih fungsi eks-lokalisasi PSK menjadi
sentra usaha ekonomi baru dan fasilitas lainnya.
e. Meningkatkan kerjasama antar pemerintah daerah dalam rangka
pemulangan ke tempat asal PSK.
f. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas Tim Penanganan dan Penutupan
Lokalisasi PSK kepada Gubernut Jawa Timur.
53
Sedangkan masing-masing Bidang dalam Tim tersebut mempunyai
tugas sebagai berikut:
1. Bidang Identifikasi.
a. Melakukan pendataan wisma dan PSK di lokalisasi.
b. Melakukan identifikasi awal terhadap faktor-faktor keberadaan
PSK.
c. Melakukan pendataan jenis kegiatan ekonomi di dalam dan di
sekitar lokalisasi.
d. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi secara terpadu terhadap
pelaksanaan penanganan dan penutupan lokalisasi PSK.
e. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh ketua tim.
2. Bidang Pemberdayaan.
a. Memberikan pendidikan dan atau pelatihan keterampilan sesuai
bakat dan minat.
b. Memberikan bantuan stimulan modal usaha atau bantuan usaha
ekonomis produktif serta usaha lain yang dapat membantu
kemandirian PSK.
c. Melakukan pembinaan dan pendampingan kepada PSK pasca
penutupan lokalisasi.
d. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah asal PSK
dalam rangka pemulangan PSK.
e. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh tim.
54
3. Bidang Keamanan.
a. Melakukan koordinasi dengan Instansi vertikal terkait
pelaksanaan pengamanan.
b. Melakukan pengosongan terhadap lokalisasi.
c. Melaksanakan pengawasan lokalisasi yang sudah ditutup.
d. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh tim.
4. Bidang Pembinaan Mental dan Kerohanian.
a. Melaksanakan proses perubahan nilai, sikap dan perilaku bagi
para PSK dan eks-PSK melalaui mental spiritual.
b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh tim.
Tim Penanganan dan Penutupan Lokalisasi PSK dibentuk guna
melancarakan proses penutupan serta bentuk penanganan dalam upaya
pemulihan mental serta ketergantungan Pekerja Seks Kemersial untuk
kembali bekerja di lokalisasi.
D. Kendala dan Dampak yang Terjadi dari Penutupan Lokasi Prostitusi
Beberapa kendala yang terjadi dalam proses penutupan lokalisasi di
Kabupaten Malang ini diantaranya berasal dari para Pekerja Seks Komersial
sendiri serta beberapa personal yang terkait keberadaan lokalisasi. Kendala
tersebut diantarannya adalah sebagai berikut:
1. Perubahan motivasi para Pekerja Seks Komersil.
Prostitusi, dimana didalamnya terdapat aktifitas pelacuran,
merupakan suatu hal yang bertentangan dengan norma kesusilaan
55
yang ada pada masyarakat hampir di setiap wilayah di Indonesia.
Kata pelacuran sendiri hampir-selalu berkonotasi negatif dalam
stigma yang ada di masyarakat. Seperti contoh apabila seorang
seniman atau penyanyi yang tidak lagi berkarya sesuai dengan
koridor batas-batas toleransi kesenian terhadap budaya dan lebih
condong pada karya-karya yang bersifat industrialisme atau dengan
tolak ukur penjualan album dan penerimaan masyarakat terhadap
karyanya, maka seniman tersebut bisa dikatakan melacurkan diri,
yaitu melacurkan dengan makna yang tidak sesungguhnya atau
melacurkan hasil karyanya. Begitu juga dengan praktek pelacuran.
Pekerja Seks Komersial, terlepas dari segala motivasi awal yang
menjadi latar belakang, selalu dipandang rendah dalam lingkup
masyarakat dimana pekerja tersebut berada dan berasal. Harkat dan
martabat kemanusiaannya menjadi hilang seiring intensitas
aktifitasnya dalam praktek pelacuran tersebut9.
Seorang pribadi, terutama wanita, tidak akan terjun kedalam
praktek prostitusi jika tidak karena suatu tekanan tertentu. Namun
fakta yang berbeda didapatkan oleh Dinas Sosial Kabupaten Malang
setelah beberapa kali pengadakan program seperti pelatihan
keterampilan dan kursus memasak atau menjahit. Segala program
yang bertujuan untuk memberikan keterampilan dasar bagi PSK
dengan harapan pekerja tersebut bisa lepas dari suatu lokalisasi
prostitusi ternyata tidak memberikan dampak yang masif. Hal ini
9 Ibid
56
dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah bergantinya
motivasi kerja seorang PSK. Keberadaan para PSK di suatu
lokalisasi kebanyakan dikarenakan motif ekonomi atau dikarenkan
suatu tekanan tertentu seperti hutang. Namun semakin lama PSK
tersebut bekerja disana, motif tersebut berganti menjadi perilaku
gaya hidup yang kontinyu. Dengan pemasukan minimal Rp. 50.000;-
perpelanggan, para PSK yang notabene masih “laris” atau
diistilahkan dengan Primadona merasakan kehadiran lokalisasi
sebagai lahan usaha tanpa modal10
. Hal inilah yang menjadikan
beberapa diantara PSK tersebut, yang awalnya karena motif
kebutuhan ekonomi bergeser menjadi pemenuhan gaya hidup.
2. Pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari keberadaan lokalisasi.
Keberadaan suatu lokalisasi memberikan dampak yang buruk
bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Beberapa dampak buruk
tersebut diantaranya adalah gangguan psikologis bagi anak yang
belum dewasa seperti kata-kata umpatan, cemooh, hujatan yang
sering terdengar di wilayah lokalisasi dimana tempat tersebut
berdekatan dengan fasilitas umum seperti jalan dan lapangan
bermain yang biasa digunakan oleh anak-anak. Beberapa gangguan
lain juga bernada serupa dan lebih bersifat kepada mengganggu
ketenteraman pihak-pihak lain yang akan melaksanakan ibadah
tertentu maupun aktifitas tertentu. Beberapa hal inilah yang akhirnya
menjadikan warga setempat tidak merasa nyaman serta melaporkan
10
Ibid
57
perihal gangguan-gangguan tersebut kepada Dinas Sosial. Beberapa
laporan warga, praktisi, penggiat maupun ormas yang masuk
kedalam Dinas Sosial terkait keberadaan lokalisasi notabene
mengeluhkan perihal gangguan tersebut11
.
Terlepas dari adanya keluhan akan ketidaknyamanan warga
yang tinggal di wilayah lokalisasi, beberapa warga terbukti mendapat
keuntungan dari keberadaan lokalisasi tersebut. Beberapa warga
yang dimaksud diatas diantaranya adalah warga yang memiliki jenis
usaha tertentu seperti usaha pencucian pakaian, usaha antar-jemput
aau Ojek, usaha warung makan, usaha yang menyediakan berbagai
kebutuhan hidup, usaha jajanan kecil dan beberapa usaha lain.
Keberadaan lokalisasi prostitusi menjadikan wilayah tersebut
kedatangan pengunjung dan memungkinkan terjadi suatu transkasi
jual beli atas barang dagangan mereka atau jasa mereka. Dengan kata
lain, keberadaan lokaliasi menambah pendapatan ekonomi mereka
meskipun mereka tidak secara langsung beraktifitas dalam prostitusi
tersebut12
. Beberapa warga inilah yang menjadi kendala penutupan
lokalisasi dengan cara memberikan dukungan kepada mucikari atas
penolakan penutupan lokalisasi prostitusi.
3. Mucikari.
Pra penutupan lokalisasi, beberapa dinas serta instansi
pemerintahan yang berkaitan telah melakukan beberapa observasi,
kajian serta membentuk beberapa forum komunikasi dengan para
11
Ibid
12
Ibid.
58
mucikari serta pihak-pihak yang berkaitan dengan berlangsungnya
aktifitas lokalisasi prostitusi. Kajian serta forum komunikasi yang
dimaksudkan untuk sosialisasi akan penutupan lokalisasi ini
dimaksudkan agar terciptanya sinergitas penegakan peraturan
dengan masyarakat yang berkepentingan guna mengantisipasi dan
meminimalisir akan adanya bentrokan fisik antara aparat pemerintah
dengan para pihak lokalisasi. Selama kajian-kajian tersebut
dilaksnakan, beberapa pihak terutama mucikari memberikan respon
yang bermacam-macam bahkan diantaranya ada yang merespon
secara tidak koperatif akan wacana Pemerintah Daerah.
Pasca penutupan lokalisasi, para mucikari yang sejak awal
penutupan ini diwacanakan telah merespon secara tidak koperatif,
membentuk suatu paguyuban dengan nama KMB atau Koalisi
Mucikari Bersatu dan melakukan aksi berupa demonstrasi dengan
memberikan pernyataan sikap sebagai berikut:
a. Menolak penutupan lokalisasi.
b. Meolak adanya diskriminasi terkait perizinan alih fungsi
menjadi sentra hiburan semisal: Kafe, Karaoke dan
Penginapan.
c. Menagih janji bupati terkait program pemberdayaan dab
bantuan alat sarana usaha PSK.
d. Bupati diminta untuk mengevaluasi SKPD yang melakukan
pelatihan secara asal-asalan.
59
e. Diharapkan anggota DPRD Kabupaten Malang turut
memperjuangkan nasib PSK sebagai warga Kabupaten
Malang.
Penutupan lokalisasi secara serempak pada 24 November 2014 telah
resmi dilaksanakan. Namun hal tersebut memberikan sebuah konsekwensi
baru bagi Pemerintah Daerah akan kebijakan yang telah dilaksanakan.
Penutupan yang telah resmi dilaksanakan memberikan beberapa dampak
diantaranya seperti yang menjadi bahan rapat koordinasi dalam rangka
evaluasi pasca panutupan lokalisasi di wilayah Kabupaten Malang pada
tanggal 4 Desember 2014 yaitu:
1. Dana kompensasi bagi PSK eks-lokalisasi di wilayah Kabupaten
Malang yang diusulkan ke Kementerian Sosial sementara ini belum
mendapat kepastian, karena adanya perubahan kepemimpinan yang
memerlukan penyesuaian.
2. Adanya demonstrasi yang dilakukan oleh para mucikari yang
tergabung ke dalam KMB atau Koalisi Mucikari Bersatu ke kantor
DPRD Kabupaten Malang yang pada prinsipnya mereka tidak
menolak adanya penutupan, namun meminta kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Malang untuk memikirkan perihal mereka yang
bukan PSK, yaitu para Mucikari dan beberapa pegawai terkait, yang
notabene tidak mendapatkan latihan keterampilan dan bantuan usaha
seperti yang didapatkan oleh para PSK serta hal ini dimaksudkan
untuk memberi kemudahan bagi mereka akan ijin usaha di bidang
Kafe dan Karaoke pada eks-lokalisasi.
60
3. Adanya informasi bahwa lokalisasi akan segera dibuka kembali jika
Pemerintah Daerah Kabupaten Malang tidak segera merealisasikan
tuntutan mucikari yang dirangkum dalam lima pernyataan sikap
KMB.
4. Diharapakan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang segera
melakukan alih fungsi dan membangun eks-lokalisasi untuk
mengantisipasi munculnya kembali praktek prostitusi di wilayah
tersebut13
.
Selain daripada dampak penutupan lokalisasi yang menjadi rapat
evaluasi Satuan Kerja Perangkat Daerah diatas, beberapa dampak juga terjadi
pada beberapa instansi terkait. Instansi yang terkait tersebut diantaranya
adalah:
1. Dinas Sosial Kabupaten Malang.
Ibu Dra. Retno Tri Damayanti, MM. selaku Kabid Rehabilitasi
Sosial pada Dinas Sosial Kabupaten Malang membenarkan
pernyataan bahwa Lokalisasi di Kabupaten Malang memang telah
resmi ditutup namun tidak dengan Prostitusi. Maksud dari
pernyataan tersebut adalah bahwa pasca pentupan lokalisasi, para
eks-Pekerja Seks Komersial sering terlihat masih melakukan
aktifitasnya bahkan di tempat atau sarana umum seperti Alun-alun,
dibawah jembatan dan beberapa taman di Kabupaten Malang yang
tidak mendapatakan penerangan yang cukup atau dengan kata lain
remang-remang. Hal tersebut juga dikuatkan dengan adanya laporan
13
Dra. Retno Tri Damayanti, MM. Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Malang.
Data terkait bahan evaluasi SKPD pasca penutupan lokalisasi.
61
warga dalam bentuk personal maupun dalam bentuk perserikatan
atau LSM. Kondisi inilah yang menjadi hambatan baru terutama bagi
Dinas Sosial Kabupaten Malang dalam upaya mengentaskan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial atau PMKS terutama bagi
PMKS-Tuna Susila terutama hambatan dalam hal pendistribusian
dana bantuan bagi PMKS14
.
2. Komisi Penanggulangan AIDS atau KPA Kabupaten Malang.
Ibu Dra. Retno Tri Damayanti, MM. yang juga merangkap
sebagai salah satu anggota Komisi Penanggulangan AIDS atau KPA,
juga mengakui bahwa KPA mengalami masalah baru dalam
pengawasan dan penanggulangan HIV-AIDS yang sebelumnya,
yaitu pra-penutupan lokalisasi, hal tersebut lebih bisa dimaksimalkan
dengan melakukan kegiatan bersama instansi lain seperti Dinas
Kesehatan dalam melakukan pengawasan dan pemerikasaan
kesehatan rutin di setiap lokalisasi. Dengan resmi ditutupnya
lokalisasi, dimana para eks-Pekerja Seks Komersial tidak lagi
berkumpul didalam sebuah komunitas, maka pengawasan dan
penanggulangan AIDS menjadi terhambat15
.
Pentupan lokalisasi di wilayah Kabupaten Malang selain
daripada menimbulkan permasalahan baru, berdampak pada
timbulnya potensi-potensi yang dapat mengganggu ketertiban umum
dikarenakan hilangnya kendali atas pengawasan eks-PSK yang
belum bisa terlepas dari ketergantungan akan keberadaan prostitusi.
14
Dra. Retno Tri Damayanti, MM. Op.cit.
15
Ibid.