BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Tokoh Wanita dalam Novel...
Transcript of BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Tokoh Wanita dalam Novel...
36
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tokoh Wanita dalam Novel Rembang Jingga Karya TJ Oetoro
dan Dwiyana Premadi
Dalam pandangan kaum feminis pada umumnya, kultur Jawa adalah
sebuah kultur yang tidak memberi tempat bagi kesejajaran antara laki-laki
dan wanita. Menurut penulis, pandangan tersebut merupakan kesengajaan
bangsa penjajah Indonesia yang membelokkan penafsiran tentang wanita
Jawa.
Dari beberapa prinsip dasar tentang sikap batin masyarakat Jawa yang
telah melekat sejak dahulu, banyak di antara pengarang Indonesia yang
sebenarnya mendekonstruksi prinsip tersebut menjadi sebuah penolakan
dengan memanfaatkan prinsip itu sendiri. TJ dan Dwiyana adalah pengagum
R.A Kartini. Berdasarkan kekaguman mereka terhadap R.A Kartini, mereka
mencoba mengajak pembaca agar menjadi perempuan yang berwawasan luas
dan tidak melulu terkekang dalam kultur wanita Jawa yang harus patuh
terhadap suami. Kedua penulis tersebut mendeskripsikan tokoh-tokoh wanita
dalam novel Rembang Jingga sebagai wanita Jawa modern yang masih
melekat pada sifat-sifat wanita Jawa. Ada empat wanita dalam novel tersebut,
yakni Karina, Amanda, Diar, dan Ires. Masing-masing tokoh memiliki citra
wanita yang berbeda. Ada yang halus tetapi kuat fisik dan mental, ada yang
halus tetapi tidak tegas, ada yang halus tetapi berani, dan ada yang bersikap
37
hati-hati dalam memutuskan sesuatu. Hal ini menilik fakta dalam kehidupan
masyarakat, bahwa citra wanita Jawa bertutur kata halus, tenang, pendiam,
kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai
keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian
diri tinggi atau terkontrol, dan daya tahan untuk menderita tinggi. Berikut
adalah pendeskripsian tokoh-tokoh wanita Jawa dalam novel Rembang
Jingga karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi.
1. Citra Wanita Jawa pada Tokoh Karina
a. Mandiri
Kehidupan yang digambarkan pada tokoh Karina hampir mirip
dengan kisah Dewi Kunthi. Karina mengalami kehamilan di luar nikah
yang dilakukannya dengan kekasihnya, Dodi. Kemudian dinikahi oleh
orang lain. Akan tetapi, kejadian tersebut tidak menyurutkan hati Karina
untuk menjadi wanita yang mandiri dan menjadi ibu yang baik untuk
anaknya. Sebagai wanita yang mandiri, ia harus kuat fisik maupun
mental. Berikut ini adalah kutipan deskripsinya.
Karina menghela napas memikirkan hasil perjuangan mendiang
suaminya yang sebagian akan jatuh ke adiknya yang kurang
memiliki tanggung jawab. “Apa yang akan saya berikan nanti itu
kan tidak sebanyak apa yang mereka minta. Kita ambil jalan
tengah saja. Bagaimanapun, mereka bagian dari keluarga. Saya
tahu mereka sedang membutuhkan uang banyak dan yakin
mereka akan menerima tawaran ini. Oya, mereka juga harus
menandatangani persetujuan untuk tidak menuntut apa-apa lagi
setelah ini dan kami tidak ada hubungan lagi selain yang bersifat
sosial.” Karina bersikeras dengan keputusan membagi sama rata
pemilikan Ballad Production House. “Setelah itu, jabatan saya di
BPH hanya sebagai pemegang saham.”
Karina melanjutkan karier berikutnya selama enam tahun di Fox
TV, menunggu sampai Kukuh menyelesaikan sekolah menengah
38
di New York, sebelum dia menjual pemilikannya di BPH dan
pindah di Jakarta. Tidak ada lagi yang dia inginkan di Big Apple
(Oetoro & Dwiyana, 2015:15)
Kutipan di atas menunjukkan Karina memiliki citra wanita Jawa
yang mandiri. Dia berusaha membuat keputusan yang adil agar tidak
menimbulkan masalah dikemudian hari. Semuanya dipikirkan sendiri
dengan berbagai pertimbangan. Selain itu, kemandirian Karina
ditunjukkan dengan ia bekerja keras untuk menghidupi anaknya di New
York. Menjadi single parent menjadikan Karina lebih mandiri dan terus
bekerja keras untuk kebaikan anaknya juga dirinya sendiri.
Pikiran Karina melanglang jauh ke belasan tahun lalu. Di saat dia
harus menguatkan diri sendiri dalam tangisnya. Saat Amanda
memeluk pundaknya berusaha memberi kekuatan tambahan yang
justru menambah rasa sedih, haru dan bersalah. Dia tak ingin
dipeluk, tapi dia lebih tidak ingin menyakiti Amanda yang sudah
menjadi dewi penolongnya (Oetoro & Dwiyana, 2015:38).
Kutipan di atas mendeskripsikan Karina sebagai wanita yang
kuat. Dengan keadaan yang menimpa dirinya, dia berusaha sekuat tenaga
agar tidak jatuh dan membuat sahabatnya, Amanda menjadi terbebani.
Sikap Karina menunjukkan bahwa wanita harus kuat dalam menghadapi
permasalahan yang menimpanya. Fakta di masyarakat mengatakan,
bahwa kesedihan tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Namun,
tokoh Karina dideskripsikan sebagai wanita yang tidak egois. Meskipun
kesedihannya mendalam, tetapi dia tetap memahami situasi dan kondisi.
Karina masih memikirkan sahabatnya dan menjaga sikapnya agar tidak
menyakiti perasaan Amanda yang mencoba memberikan kekuatan.
39
Menurut tradisi Jawa, orangtua memiliki peran penting dalam
kehidupan anak-anaknya, salah satunya ialah berperan sebagai panutan
bagi mereka. Tradisi tersebut mengandung hal yang positif dan negatif.
Positifnya adalah seorang anak diajarkan untuk menghormati
orangtuanya. Negatifnya adalah tradisi tersebut disalahartikan oleh
orangtua. Berperan sebagai panutan anak-anaknya mengharuskan mereka
untuk tunduk dan patuh semua kehendak orangtua. Pemahaman tersebut
adalah salah, karena apabila seorang anak melakukan kesalahan, ia akan
dianggap sebagai anak yang durhaka. Hal tersebut terjadi pada tokoh
Karina, berikut kutipan deskripsinya.
Bapak dan Ibu Hakim mengetahui kehamilan Karina sebelum
putri mereka kembali ke Amerika. Karina menceritakan dengan
jujur apa yang terjadi dan mengutarakan keinginannya untuk
memelihara bayinya. Hari itu rumah keluarga Hakim bagaikan
medan perang yang tak seimbang: kedua orangtua yang sangat
marah, mencaci maki anaknya dan Karina yang hanya tertunduk
diam.
Karina dididik dengan keras oleh orangtuanya. Mereka
mengharapkan kesuksesan anaknya dalam segala hal melebihi apa
yang mereka miliki sekarang. Karina yang pada dasarnya sudah
pandai pun masih dikursuskan ini-itu untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik lagi. Dia tumbuh menjadi anaknya yang pendiam,
pemalu dan seperti tidak punya pendirian sendiri. Dengan berita
kehamilan terebut, kebanggan atas prestasi sekolah putri tunggal
mereka kandas begitu saja dan Karina dianggap mempermalukan
mereka. Walau dengan seribu juta permintaan maaf, mohon
pengampunan, Karina dibiarkan sendiri menghadapi nasibnya
(Oetoro & Dwiyana, 2015:113).
Berdasarkan kutipan di atas, Karina dideskripsikan sebagai wanita
yang memiliki daya tahan menderita yang tinggi. Secara psikologi,
seorang wanita dalam keadaan hamil di luar nikah mendapatkan
perlakuan yang demikian dari kedua orangtuanya, akan merasa tersakiti.
40
Ketika mentalnya goyah atau merasa putus asa, orang akan melakukan
hal-hal yang kurang baik, bahkan melakukan hal-hal yang berbahaya,
seperti bunuh diri. Banyak peristiwa demikian yang berakhir dengan
bunuh diri terjadi. Namun, semuanya dikembalikan kepada masing-
masing individu.
Seperti dalam deskripsi tokoh Karina, TJ dan Dwiyana
menggambarkannya sebagai wanita Jawa yang ikhlas. Rasa ikhlas ini
merupakan pendorong paling utama dari citra wanita Jawa yang memiliki
daya tahan menderita tinggi. “Ikhlas berarti „bersedia‟. Sikap ini memuat
kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri
ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah
ditentukan” (Handayani, 2011:62). Karina dengan ikhlas menerima
perlakuan orangtua yang demikian membencinya dan pasrah kepada sang
pemberi hidup. Dalam kepasrahannya, Karina tidak putus asa dan tetap
pada pendiriannya untuk menjaga dan merawat bayinya. Ia mengikuti
arus alam semesta yang akan mempertemukan takdirnya.
b. Seorang Ibu yang Baik
Di samping itu, sosok Dewi Kunthi yang tercermin pada tokoh
Karina adalah menjadi Ibu yang baik. Bukan hanya sikap batin yang
kuat, tetapi ia digambarkan sebagai ibu yang welas asih, mengajarkan
moral yang baik untuk anaknya. Hal tersebut dideskripsikan pada kutipan
berikut.
41
Tak seorang pun dari kerabat Karina yang datang pada
pernikahannya dengan Roger. Kelahiran Kukuh pun ditanggapi
dengan dingin, demikian pula setiap kali Karina membawa
anaknya ke Jakarta untuk bertemu kakek dan neneknya (Oetoro &
Dwiyana, 2015:113)
“Teman-temanku kebanyakan dekat dengan kakek-neneknya, Ma.
Bahkan kalau mereka lagi dimarahin oleh orangtuanya, mereka
pergi ke rumah kakek-nenek mereka. Samapai di sana mereka
dimanja.”
“Datuak dan Uwo memang pendiam, nggak banyak bicara, Kuh.
Lagi pula mereka nggak terlalu sering ketemu kamu, kan… jadi
kitanya aja yang harus rajin-rajin menanyakan dan memberi
kabar. Mereka sayang kok sama kamu,” jawab Karina penuh
keyakinan. Dalam hatinya dia merasa sedih sekali (Oetoro &
Dwiyana, 2015:120).
Dapat dilihat dari kutipan di atas, cara Karina yang berbohong
kepada anaknya adalah sebuah bentuk penghindaran konflik antara
Kukuh, kakek-neneknya dan dirinya. Hal ini bertujuan untuk mendidik
anak agar berlaku hormat kepada kakek-neneknya meskipun merasa
dibenci oleh mereka. Sikap hormat dalam budaya Jawa memainkan peran
besar dalam mengatur pola interaksi masyarakat Jawa.
Budaya Jawa mendidik anak untuk merasa wedi (takut) kepada
orangtua yang harus dihormati. Anak dipuji apabila bersikap wedi kepada
orang yang lebih tua atau orang asing. Tokoh Karina yang dideskripsikan
TJ dan Dwiyana mengajarkan anaknya untuk menjadi pribadi yang
terbuka kepada orangtuanya, tetapi tetap harus menghormati orangtua.
Konsep wedi dalam budaya Jawa tidak dimasukkan karena berakibat
sebagai pembatas besar antara anak dan orangtua. Seperti kutipan di atas,
citra Karina sebagai ibu yang baik mampu membuat anaknya nyaman
untuk mengutarakan kegelisahan yang sedang dialami sang anak. Fakta
42
zaman sekarang, orang dituntut untuk bisa bersikap benar dan tepat,
sesuai dengan siapa dan apa yang terjadi.
Seorang ibu mendapatkan peran yang sangat penting untuk
mendidik anak. Ibu harus mampu mengontrol emosinya. Seperti sosok
Dewi Kunthi yang menjadi panutan wanita Jawa, alih-alih disebut
sebagai “Ibu semesta” karena sifatnya yang rela berkorban demi anak-
anaknya. Karina pun dideskripsikan demikian. Selain mengajarkan sikap
hormat kepada orang yang lebih tua, ia juga mengajarkan anaknya untuk
menghargai wanita. Hal tersebut Nampak dalam kutipan berikut, “Kukuh
diam. Dalam hatinya dia sudah memberi cap buruk kepada Dodi. Kukuh
yang selalu diberi nasihat untuk selalu hormat dan menghargai
perempuan, tidak mengerti sikap mamanya yang berlawanan dengan
nasihat-nasihat tersebut” (Oetoro & Dwiyana, 2015:121). Kutipan
tersebut sebagai penolakan ketidakadilan gender terhadap laki-laki yang
tidak menghormati wanita dalam segala hal. Berdasarkan pengalaman
hidup, Karina berusaha mendidik anaknya agar tidak menjadi laki-laki
yang tidak bertanggung jawab. Tuntutan hidup dan keharusan
mengendalikan diri yang ada pada tokoh Karina menjadikan ia sebagai
sosok wanita Jawa yang lebih kuat dan independen, seperti dalam kutipan
di bawah ini.
Mereka berdua berjalan menuju kamar Kukuh tanpa berbicara.
Dodi semakin melihat perubahan yang ada pada diri Karina.
Karina yang dulu pembangkang di balik sifat penurut dan
pemalunya yang dia sukai. Kini sifat pembangkang itu
mengambil alih dan menjadikan perempuan ini jauh lebih teguh
dan independen (Oetoro & Dwiyana, 2015:117).
43
Melalui kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa sebesar apapun
kesalahan yang dideskripsikan pada tokoh Karina, wanita harus
melaluinya dan terus berjuang demi kehidupan yang menantinya. Sifat
pembangkang yang tercipta akibat didikan orangtua yang terlalu meminta
lebih adalah wujud usaha Karina untuk menjaga keseimbangan batinnya.
Kesalahan yang Karina lakukan tidak menyusutkan keyakinannya dan
menjadikan ia sebagai wanita Jawa yang teguh dan independen seperti
R.A Kartini, wanita Indonesia yang berwawasan luas dan berani.
2. Citra Wanita Jawa pada Tokoh Amanda
a. Kalem
Amanda adalah wanita Jawa yang dideskripsikan oleh TJ dan
Dwiyana dalam novel Rembang Jingga. Amanda digambarkan sebagai
sosok wanita Jawa yang bebas tanpa beban. Beban di sini dalam arti
harus mengikuti kehendak orangtua yang berlebihan. Berikut kutipan
deskripsinya.
Mata Amanda langsung berkaca-kaca. Linda yang setelah dewasa
begitu merepotkan keluarganya ternyata selama hidupnya dia
ingin seperti Amanda, yang menurut Linda, bebas tanpa beban.
Linda memiliki hati dan perasaan halus yang tidak terlihat. Semua
disimpan sendiri karena takut mengecewakan orangtuanya yang
menaruh harapan tinggi padanya (Oetoro &Dwiyana, 2015:27).
Dalam kutipan di atas, Amanda dideskripsikan sebagai adik dari
dua bersaudara. Menurut tradisi Jawa, anak pertama memikul beban yang
lebih berat daripada anak kedua, karena anak pertama memiliki
44
kewajiban yang besar, seperti menjadi panutan untuk adiknya, juga
bertanggung jawab atas keluarga ke depannya. Linda, kakak Amanda
harus menuruti semua kehendak orangtuanya, menjadi anak yang
berprestasi dan menjaga nama baik keluarga. Berbeda dengan Amanda,
sebagai anak kedua ia tidak dituntut untuk mengikuti semua kehendak
orangtua. Namun, Amanda tumbuh menjadi wanita yang kalem untuk
menjaga keharmonisan, seperti pada kutipan berikut.
“…Lebih nyusahin lagi ketika keterlibatannya pada narkoba,
hingga meninggal dunia karena overdosis obat-obatan,
menimbulkan kebencian dari ayahnya yang galak. Membuat
Amanda harus pontang-panting mengurus jenazah hingga
menguburkan kakak satu-satunya itu di Rembang…” (Oetoro &
Dwiyana, 2015:27).
Kutipan di atas merupakan deskripsi Amanda sebagai wanita
Jawa yang kalem. Sebagai wanita yang kalem, ia berusaha tenang dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa yang dialami keluarga dan dirinya.
Amanda yang kalem berusaha memahami orang lain agar dapat menjaga
keharmonisan. Amanda menghormati sikap orangtuanya yang tidak ingin
hadir dalam pemakaman kakaknya, karena alasan kematian kakaknya
yang sungguh di luar dugaan. Dengan ia menguburkan Linda sendiri, ia
berusaha memahami arti kepergiannya. Agama pun mengajarkan bahwa
orang yang sudah meninggal harus diikhlaskan dengan hati yang bersih,
tidak boleh ada kebencian yang akan merugikan untuk orang yang sudah
meninggal tersebut.
45
b. Menjunjung Tinggi Nilai Keluarga
Pada masyarakat Jawa, masing-masing individu dituntut untuk
mengontrol dorongan spontannya dan menyesuaikan diri dengan pelbagai
otoritas. Satu-satunya ruangan yang relatif bebas dari tekanan itu adalah
keluarga. Keluarga adalah tempat orang Jawa dapat menjadi dirinya
sendiri, tempat ia merasa bebas dan aman, tidak harus mengerem
dorongan-dorongan lahiriahnya, dan hal itu tidak dirasakan sebagai
heteronomi. Tokoh Amanda dideskripsikan untuk menunjukkan hakikat
keluarga tersebut, berikut kutipannya.
Tuti mengangkat wajahnya, ekspresi yang sulit ditebak. Diraihnya
tangan anaknya, digenggamnya erat-erat. “Amanda sayang, itu
adalah masa lalu Mama dan Papa yang kelam. Waktu itu kami
terlalu emosi dan mengambil keputusan pendek, bercerai. Tapi
kami tidak jadi melakukannya, seperti yang Mandy lihat sendiri
kan…”
Amanda menampakkan wajah tidak mengerti, kulit dahinya
berkerut-kerut. “Mama dan Papa tuh ngobrol nggak sih dulu itu
dengan Kak Linda?”
“Maksudmu? Ya ngobrol dong, seperti layaknya keluarga.”
“ngobrol dari hati-ke hati, Ma… bukan ngobrol soal pelajaran
sekolah atau makanan, cuaca… tapi ngobrol soal perasaan, soal
apa yang dipikirkan.. apa yang ada di sini dan di sini,” jelas
Amanda sambil menunjuk ke kepada dan dadanya. “Gini, lho,
Ma…,” Amanda meneruskan dengan hati-hati, takut Mamanya
menjadi sakit hati dan marah. “Saya kan sudah bukan anak-anak
lagi, saya sudah bisa mengerti tentang hubungan dalam rumah
tangga. Sekarang saya mau Tanya, apakah Mama selama ini
bahagia?” (Oetoro & Dwiyana, 2015:192).
Dalam kutipan di atas, TJ dan Dwiyana menggambarkan Amanda
sebagai anak yang bertutur kata lembut dan hati-hati. Dari dialog
Amanda dan ibunya, dapat dilihat bahwa Amanda sebagai pembuka pintu
gerbang keluarganya yang selama ini tertutup. Seperti yang telah
46
dijelaskan, bahwa keluarga adalah tempat yang bebas untuk menjadi
dirinya sendiri. Penjelasan tersebut harus benar-benar dilakukan dalam
kehidupan nyata. Keterbukaan di antara anggota keluarga adalah kunci
kebahagiaan keluarga yang harmonis. Pendeskripsian Amanda dalam
dialog tersebut tidak terkesan sebagai anak yang mengajari orangtua,
tetapi lebih menunjukkan bahwa anak berusaha memberi tahu
orangtuanya. Kebanyakan di masyarakat Jawa, apabila orangtua merasa
„digurui‟ oleh anaknya, mereka akan merasa sakit hati dan merasa diinjak
harga dirinya sebagai orangtua. Oleh karena itu, dialog pada kutipan di
atas dapat menjadi acuan bagaimana seorang anak yang ingin memberi
pengertian kepada orangtua yang sangat dihormatinya.
c. Seorang Ibu yang Baik
Tidak lepas sebagai gambaran seorang wanita Jawa yang
menjunjung tinggi nilai keluarga, Amanda pun digambarkan sebagai
sosok ibu yang baik seperti Dewi Kunthi dalam pewayangan Jawa.
Sikapnya yang baik, bertutur kata yang lembut dan hati-hati, kontrol
emosi yang baik, dan kecerdasannya melambangkan wanita Jawa
modern. Zaman modern sekarang ini menuntut pemikiran yang luas dan
lebih terbuka, tetapi dengan karakteristik wanita Jawa, ia dapat
menyaring kemodernan zaman dengan lebih baik. Apapun bisa terjadi
kepada siapapun dan kapan saja.
47
Amanda dideskripsikan sebagai ibu yang baik oleh TJ dan
Dwiyana terbukti pada saat ia mengurus anak tirinya. Dengan kondisi
yang berbeda kebudayaan, antara budaya barat dan budaya timur,
Amanda digambarkan dengan bijaksana untuk mendidik anak tirinya. Hal
tersebut Nampak dalam kutipan di bawah ini.
“Bunda itu kan bukan mama saya yang sebenarnya, jadi nggak
usah deh ikut campur, ngatur-ngatur kehidupan saya.” Jawaban
yang kerap diterima Amanda dari Mega.
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada perasaan seorang ibu
yang ditolak oleh anaknya, baik ibu kandung maupun ibu tiri.
Amanda tak pernah putus asa. Dia selalu berusaha mengerti apa
yang dirasakan oleh anak tirinya itu. Saat tubuh Mega sedang
dipenuhi hormon seorang anak yang beranjak menjadi perempuan
muda, Lucile datang kembali ke kehidupannya. Perhatian dan
nasihat yang diberikan oleh Galih dan Amanda dianggap sebagai
larangan yang mengekang kehidupan remaja Mega… (Oetoro &
Dwiyana, 2015:128).
Perbedaan budaya menjadi titik masalah apabila terjadi dalam
satu keluarga. Amanda digambarkan menjadi seorang ibu yang mampu
mengerti setiap keadaan yang dialami oleh anak tirinya. Walaupun dalam
menghadapi Mega ia harus dapat menguatkan hatinya dan siap menerima
perkataan pedas yang dilontarkan sang anak. Budaya barat cenderung
bebas, sedangkan budaya timur mengutamakan kepentingan bersama
sesuai dengan kondisinya. Meskipun Mega sedikit mengetahui budaya
asalnya, tetapi Amanda sebagai ibu juga harus mengajarkan budaya yang
disandangnya. Dalam hal ini, Amanda mengajarkan apa yang dirasa
benar dengan pelan-pelan dan penuh kesabaran.
Anak pada usia pubertas memang sangat riskan. Perhatian
orangtua menjadi sangat penting. Sebagai orangtua yang mengasuh
48
Mega, Amanda berusaha sebaik mungkin dalam mendidiknya, baik dari
moral maupun etika. Berikut ini adalah bukti yang memperjelas bahwa
Amanda dideskripsikan sebagai ibu yang baik.
“Mega, kamu mau ke sekolah pakai rok itu?” Pertanyaan yang
sebenarnya berupa teguran diucapkan Amanda ketika suatu
pagidia melihat Mega mengenakan pakaian yang menurut dia
terlalu provokatif.
Mega memandang Amanda, lalu sengaja meraba pahanya dari
balik rok mini ketatnya dengan senyum menantang.
“Mega, tolong ganti baju yang lebih sopan sekarang.” Amanda
berusaha untuk tidak menaikkan suaranya, menahan kekesalannya
melihat sikap Mega (Oetoro & Dwiyana, 2015:131).
Perangai Amanda yang dideskripsikan dalam kutipan dialog di
atas merupakan salah satu bentuk pendidikan etika kepada anak remaja.
Bukan hanya di Indonesia, penggunaan rok mini juga dapat meprovokasi
laki-laki di mana pun berada. Apalagi jika penggunaan tersebut
dilakukan di lingkungan sekolah, hal tersebut sangatlah tidak beretika.
Pendidikan etika seperti ini sangat penting karena berfungsi untuk
mencegah adanya pelecehan seksual. Sangat tidak mudah bagi Amanda
untuk mengajarkan hal tersebut kepada anak tirinya.
Masa remaja adalah masa seorang anak yang emosinya sangat
meletup-letup. Emosinya yang terbilang labil membuat orang dewasa
cenderung merasa gemas. Penting bagi orangtua untuk meredam ego dan
berusaha menjalin komunikasi yang tidak memaksa dan tidak menyakiti
anak, seperti yang disampaikan TJ dan Dwiyana melalui tokoh Amanda
tersebut. Ketika anak merasa dirinya tidak didengarkan, anak cenderung
menjadi defensif dan mengambil sikap berseberangan dengan
49
orangtuanya. Untuk seterusnya ia akan menjauh dan menutup diri.
Kondisi seperti itu jauh lebih sulit daripada orangtua bersedia melakukan
komunikasi sejajar dengan anak, mengesampingkan ego, dan menghargai
apa yang disampaikan anak. Dalam hal ini, Amanda mencoba
menghargai pemikiran yang menurut Mega adalah kesenangan gaya
hidup baru yang diajarkan oleh ibu kandungnya, yang bebas dan tidak
dibatasi. Namun, Amanda tetap berusaha menegurnya sedikit demi
sedikit. Ada saatnya ketika Amanda sebagai ibu yang memiliki hak untuk
mengasuhnya akan bertindak tegas.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan harga diri anak, sebagai ibu
yang baik Amanda memberikan kesempatan kepada Mega untuk belajar
bertanggung jawab dan menentukan dirinya sendiri. Kesenangannya
bergaya hidup bebas berimbas buruk pada kehidupannya. Foto-foto
seksinya beredar luas di media sosial dan kekasihnya sendiri yang
menyebarluaskan. Di sinilah Mega harus bertanggung jawab atas
moralnya dan harus bisa menentukan mana yang baik dan buruk.
Amanda sebagai ibu tidak bersikap marah atau mencaci maki anak
tirinya karena hal tersebut menjadi jalan bagi Mega untuk bisa
menentukan dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik ke depannya.
Keluarga adalah sebuah dunia moral dengan jenjang yang ketat,
yang harus diarahkan oleh asas solidaritas dan bukan kesetaraan.
Orangtua harus membimbing dan mengajar – sebuah kewajiban moral,
sedangkan kewajiban anak-anak adalah menerima dan mengikuti (nurut).
50
Konseptualisasi ini memberikan kunci bagi praktik dan teori
kepemimpinan yang diilhami oleh orang Jawa.
Tokoh Amanda dan Karina memiliki kemiripan dalam
pendeskripsian sebagai ibu yang baik. Karakter khas wanita Jawa begitu
jelas deskripsinya. Kedua tokoh tersebut dideskripsikan demikian yang
bertujuan untuk menyampaikan bahwa hubungan harmonis antara anak
dan orangtua akan terjalin baik jika keduanya dapat saling berkomunikasi
dengan baik. Artinya, jika seorang anak mempunyai suatu keinginan
dapat diutarakan secara langsung kepada orangtua, begitu pula
sebaliknya. Komunikasi yang lancar antara orangtua dan anak akan
menciptakan hubungan yang baik antara anak dan orangtua. Orangtua
dapat mengerti keinginan anak dan anak dapat mengikuti harapan
orangtua terhadapnya. Hal tersebut juga menjadi bagian dari arti keluarga
dalam masyarakat Jawa yang sangat istimewa.
3. Citra Wanita Jawa pada Tokoh Diar
a. Kuat Fisik dan Mental
Tokoh yang dideskripsikan oleh TJ dan Dwiyana berikutnya
adalah Diar. Diar adalah salah satu karakter wanita Jawa yang memiliki
latar belakang pendidikan yang kurang. Jelas dalam kasus ini, pengarang
membagi tokoh-tokohnya dalam dua golongan, yaitu golongan kelas atas
dan golongan kelas bawah. Oleh karena itu, Diar termasuk dalam
golongan kelas bawah. Golongan kelas bawah yang miskin dan
51
kurangnya pendidikan. Diar digambarkan sebagai wanita Jawa yang kuat
fisik dan mental. Dari tekanan fisik dan batin yang dia terima, dia
menjadi wanita yang berani untuk mendapatkan kebebasannya dari
belenggu budak seks. Berikut ini ialah kutipan deskripsinya.
Dalam gerakan-gerakan solat subuh yang tidak khusyuk itu, Diar
melamun. Hanya dalam solat dia bisa memikirkan nasibnya. Di
waktu lain dia harus bekerja keras membantu Endang di dapur
dan di warung. Serta kalau malam melayani para sopir truk yang
kasar-kasar itu. Tentu saja ini bukan keinginannya, dia disuruh
Sugeng. Uang bayaran dari sopir truk yang habis “main”, itu juga
disetorkan ke Sugeng. Diar tak dapat apa-apa. Benda-benda
penunjang, seperti lipstik, bedak, dan baju seksi pun disediakan
oleh Sugeng (Oetoro & Dwiyana, 2015:54-55).
Kutipan di atas mendeskripsikan betapa Diar menahan gejolak
rasa sakit hati yang dirasakannya. Di samping ia harus bekerja keras
demi Endang yang merupakan ibunya, ia harus melakukan pekerjaan
kotor yang diperintahkan oleh ayahnya. Tidak hanya secara fisik, bahkan
secara batin Diar merasakan penderitaan yang luar biasa. Sebagai wanita,
tentu akan sangat menderita apabila kehormatannya direnggut secara
tragis. Masyarakat Jawa juga menjunjung tinggi kehormatan wanita
tersebut.
Seperti yang digambarkan oleh TJ dan Dwiyana, seorang
perempuan yang terbelenggu dengan kondisi yang sangat tidak ia
inginkan, semakin lama ia akan memberontak. Berikut kutipannya.
Diar tercenung beberapa detik. Kotak itu! Kotak itu masih di situ,
tertutup tapi belum digembok lagi. Tak tahu mendapat keberanian
dari mana, Diar membuka kotak itu. Diraupnya isinya. Entah
berapa, terlihat lembaran sepuluh ribuan dan beberapa lembar
ribuan. Dimasukkan begitu saja uang itu ke dalam saku
celananya. Cepat-cepat ditutup lagi kotak itu dalam posisi yang
52
sama, seperti tidak berubah. Jantungnya berdegup kuat, dia
degdegan (Oetoro & Dwiyana, 2015:67).
Melesat dari motor Agus, Diar bergegas ke kios sayuran agar
Agus tidak curiga. Kemudian menikung di antara ramainya orang,
menjauhi pasar. Diar berjalan cepat, terus berjalan mengarah ke
terminal bus di sebelah barat. Langkahnya cepat, diiringi napas
memburu. Diar tak menengok lagi, entah bagaimana Agus, entah
bagaimana Bapak.
Si Mbok, maafkan aku (Oetoro & Dwiyana, 2015:68)
Dapat dilihat dari dua paragraf kutipan di atas, bahwa Diar
berusaha memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya untuk bisa kabur
dan terbebas dari pekerjaan kotornya itu. Keberaniannya muncul dari
penderitaan yang sudah ia rasakan selama ini. Dalam kondisi tersebut,
Diar masih tetap memikirkan orangtuanya dan temannya. Dia menyadari
akibat perbuatannya yang melarikan diri dari rumah, kondisi mereka
akan semakin terpuruk. Memikirkan orangtuanya ketika ia berusaha
keluar dari belenggu ketidakadilan ayahnya adalah bentuk welas asihnya
kepada mereka. Namun, Diar tetap teguh dengan keputusannya. Dia
harus mencari kebebasan dan menentukan nasibnya sendiri. Ketika tidak
ada orang yang menolong, maka diri kita sendiri yang harus jadi
penolongnya. Citra wanita Jawa seperti itulah yang dideskripsikan oleh
pengarang pada tokoh Diar.
b. Welas Asih dan Pekerja Keras
Selain itu, Diar juga dideskripsikan sebagai wanita Jawa yang
welas asih dan pekerja keras. Sifatnya yang welas asih dideskripsikan
secara langsung oleh pengarang, seperti pada kutipan di bawah ini.
53
Diar di rumah Kasan selama kurang lebih sebulan, membantu di
warung Kasan bersama gadis-gadis rekrutan baru. Kisah masa
lalunya yang pernah dipaksa ayahnya sebagai pekerja seks
tertutup rapat.
Kasan, istrinya, para tetangga, serta pekerja warung lain cukup
percaya dengan cerita Diar bahwa dia kabur dari rumah karena
ayahnya suka memukul. Sikap Diar yang cekatan dan sifatnya
welas asih membuatnya diterima dengan gembira di keluarga
pengelola warung Tegal itu, tanpa desakan pertanyaan seputar
minggat (Oetoro & Dwiyana, 2015:84).
Pada dasarnya, wanita Jawa memiliki sifat yang welas asih, yaitu
sifat yang penuh kasih sayang. Ia bertindak tanpa kekerasan dan penuh
pengertian. Oleh sebab itu, sifat tersebut sangat disukai oleh masyarakat
Jawa di mana pun berada. Seperti deskripsi tokoh Karina dan Amanda,
masing-masing memiliki sifat welas asih. Ajaran welas asih adalah
warisan yang luhur dari nenek moyang masyarakat Jawa. Setiap anak
diajarkan sifat tersebut. Welas asih berkembang secara konstan dalam
diri anak dan akan berhasil dalam perlawanan menentang ketidakadilan,
karena kekuatan welas asih bukan atas dasar kemarahan.
Sifat Diar yang menunjukkan citra wanita Jawa adalah pekerja
keras. Dapat dilihat pada kutipan di atas, cara kerja Diar digambarkan
dengan cekatan. Hal ini didukung faktor kehidupan Diar yang
sebelumnya mengharuskan ia bekerja keras secara fisik maupun mental.
Faktor ekonomi yang minim membuat Diar harus membanting tulang.
Sifat pekerja keras Diar mendorong dirinya untuk bisa diterima di
lingkungan tempat tinggalnya yang baru.
Sekian lama Diar hidup di lingkungan yang baru, kabar kematian
ayahnya datang. Sebagai anak, ia menyadari bahwa kehadirannya
54
dibutuhkan oleh keluarganya. Bukan sebagai bakti kepada ayahnya,
tetapi demi ibunya dan neneknya yang ia tinggalkan. Berikut kutipan
deskripsinya.
“Aku pulang untuk menghibur si Mbok, agar jangan tambah
linglung. Aku pulang juga karena disuruh Mbah. Kalau Mbah
yang nyuruh, aku sudah nggak bisa menolak, Res. Aku sangat
menghormati beliau.” Napas Diar masih memburu. Ditariknya
napas panjang lagi. “Keluargaku kan nggak tahu keberadaanku,
Res, pasti aku dimarahi habis-habisan. Jangan-jangan aku
dianggap yang menyebabkan Bapak meninggal (Oetoro &
Dwiyana, 2015:95).
Melalui kutipan di atas, sifat menghormati orangtua dalam tokoh
Diar masih melekat. Sebagai wanita Jawa dan dalam pandangan agama,
seorang anak tidak boleh membiarkan keluarganya menderita. Si Mbok
yang merupakan ibunya Diar, tidak bisa tidak ia pikirkan keadaannya.
Walaupun masa lalu yang kejam, Diar harus tetap menunjukkan rasa
kepedulian terhadap keluarganya. Memikirkan tentang kematian
ayahnya, ia tidak mau dianggap sebagai anak yang durhaka, tidak mau
dianggap sebagai penyebab kematian ayahnya.
Dalam kutipan di atas, Diar memiliki pengendalian diri yang kuat.
Ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan
bagaimana keadaan keluarganya. Apalagi yang menyuruhnya pulang
adalah nenek yang sangat ia hormati. Wataknya yang digambarkan welas
asih, ia harus berusaha mengesampingkan kenangan buruk yang telah
terjadi dalam dirinya. Banyak orang yang merasa sudah diperlakukan
tidak adil oleh keluarganya, lalu ia menjadi tidak peduli lagi dengan
55
keluarganya. Namun, karena citra wanita Jawa yang melekat dalam tokoh
Diar, ia mampu mengatasi keegoisannya.
Selain itu, Diar juga dideskripsikan memiliki sifat yang periang,
seperti dalam kutipan di bawah ini.
Suasana di rumah Mbah Karto menjadi ramai dengan cerita
kejadian tersebut versi Diar yang disertai komentar lucu dari mata
seorang anak zaman dahulu. Amanda tak henti-hentinya
memperhatikan teman masa kecilnya itu yang dilihatnya tetap
ceria, berani dan penuh perhatian. Diar kecil yang bisa
menyimpan rahasia, bahwa dialah pengantar surat antara Pak dan
Bu Anwar dengan anak-anaknya (Oetoro & Dwiyana, 2015:49).
Diar yang memiliki sifat ceria dideskripsikan melalui tokoh lain.
Hal ini bertujuan untuk memperjelas citra tokoh Diar. Pandai menjaga
rahasia adalah bukti bahwa Diar peduli terhadap orang lain sudah
tertanam sejak ia kecil. Hal ini juga didorong oleh sifat wanita Jawa yang
pandai memendam perasaan. Biasanya, orang yang pandai memendam
perasaan justru lebih terlihat periang dan berani.
Diar pun dideskripsikan oleh TJ dan Dwiyana sebagai wanita
Jawa yang mengerti orang lain sesuai dengan kondisinya. Hal ini bukan
hanya kepada keluarga, bahkan kepada sahabatnya, Ires. Dapat dilihat
buktinya melalui kutipan deskripsinya di bawah ini.
Ires bersalaman dengan Amanda, Karina dan Kukuh lalu ikut
duduk bersama mereka atas ajakan Mbah Karto. Kepalanya tetap
menunduk membuat rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah.
Duduknya tegak dengan kedua tangan diletakkan di atas paha,
seperti seorang murid yang hendak mengakui kesalahannya
dihadapan gurunya.
“Ires pinter masak. Di perkumpulan kami sekarang Ires kadang-
kadang mendapatkan pesanan makanan dan kue-kue. Sekarang ini
dia lagi mencoba resep-resep baru yang diajarkan Mbah Karto.”
56
Diar mencoba membuat Ires lebih santai dengan membuka pokok
pembicaraan yang disukai (Oetoro & Dwiyana, 2015:50).
Memahami dan mengerti orang lain adalah perilaku yang
gampang-gampang susah dilakukan oleh manusia. Menilik sifat
individualisme sekarang ini berkembang di mana-mana. Tidak peduli
bahwa orang itu saudara atau pun orang terdekat. Dalam kutipan di atas,
Diar sangat mengerti bagaimana ketidaknyamanan yang dirasakan Ires
karena sifatnya yang pemalu. Demi kenyamanan bersama, Diar pun
memilih pokok pembicaraan yang disukai Ires untuk membuat Ires lebih
santai, dan tidak menimbulkan kecanggungan di antara Amanda, Karina,
Kukuh dan Mbah Karto.
Sikap Diar di atas merupakan salah satu cara menjaga etika untuk
menjamu tamu. Di tambah lagi, salah satu tamunya adalah mantan
majikan Mbah Karto, orang yang dihormati oleh Diar. Sikap sopan
santun Diar menonjolkan citra wanita Jawa yang melekat pada tokoh
tersebut.
Jadi, citra wanita yang dideskripsikan TJ dan Dwiyana pada tokoh
Diar adalah sosok wanita yang kuat fisik maupun mental, welas asih dan
pekerja keras. Dari citranya tersebut, menjadikan Diar sebagai wanita
yang berani untuk mendapatkan kebebasan dari kekejaman ayahnya, dan
memahami orang lain dengan lebih baik.
57
4. Citra Wanita Jawa pada Tokoh Ires
a. Penurut dan lemah lembut
Stereotip masyarakat Jawa zaman dahulu mengatakan, bahwa
wanita harus penurut, setia, dan lembut. Menurut apa kehendak laki-laki
dan cenderung inferior atau justru bisa dilihat sebagai bentuk menghargai
laki-laki. Wanita tidak menuntut, dan lemah lembut dalam bertutur kata
dan tingkah laku. Hal tersebut nampak ketika Ires menjawab sindiran dari
suaminya. Ia tetap bertutur kata lemah lembut saat berusaha menjelaskan
apa yang membuatnya sedikit terlambat pulang ketika membelikan rokok
di warung depan kompleksnya (Oetoro & Dwiyana, 2015:69).
Dapat dilihat dalam kutipan tersebut, Ires dideskripsikan sebagai
wanita Jawa yang penurut, tidak membantah oleh suami. Apabila ia ingin
mengikuti kegiatan tertentu ia akan meminta izin terlebih dahulu kepada
suaminya. Dengan tidak menatap mata suaminya, akan dianggap sebagai
bentuk hormat terhadap suaminya. Namun, dalam pendeskripsian tokoh
Ires, pengarang menggambarkannya sebagai wanita Jawa yang terlalu
banyak memikirkan orang lain sehingga melupakan memikirkan keadilan
atas dirinya sendiri.
Menurut TJ, wanita adalah sosok yang kurang bisa memutuskan
sesuatu sendiri. Pada tokoh Ires, pengarang mendeskripsikannya
demikian. Hal ini sesuai dengan fakta, banyak wanita yang tidak bisa
tegas untuk dirinya sendiri dan orang lain. Memikirkan segala sesuatu
dengan terlalu banyak memikirkan orang lain. Kasusnya Ires, ia
58
dideskripsikan terlalu memikirkan suaminya, sehingga akal sehatnya
tidak dapat mencerna situasi dan kondisi dengan baik, seperti dalam
kutipan di bawah ini.
Dua hari Ires di rumah orangtuanya sebelum Herlambang datang
menjemput. Herlambang berdalih sangat cemburu melihat Ires
memiliki banyak teman. Dia meminta maaf dan memohon maaf
agar Ires mau kembali dan pulang bersamanya dengan janji semua
itu tidak akan terulang lagi. Hati Ires luluh mendengar ucapan
suaminya dan mengikuti Herlambang pulang. Begitu sampai di
rumah, bukan kasih sayang yang diterima Ires, melainkan hujan
pukulan dan makian serta ancaman-ancaman jika dia berani lari
lagi dari suaminya (Oetoro & Dwiyana, 2015:72).
Ires digambarkan berhati lembut, dan mudah dirayu oleh
suaminya tanpa memerhatikan situasi dan kondisi yang sudah mereka
berdua lalui. Sangat mencintai suami adalah sesuatu yang mutlak
dirasakan oleh wanita, tetapi melalui tokoh Ires, TJ dan Dwiyana ingin
menyampaikan bahwa mencintai juga harus menggunakan logika.
Melihat kutipan di atas, mencintai yang hanya memenangkan ego akan
berimbas buruk.
Benar saja bahwa wanita kedudukannya inferior, namun tidak
seharusnya laki-laki menindas wanita karena merasa memiliki hak dan
kekuasaan atas istrinya. Sebagai wanita Jawa, Ires dideskripsikan terlalu
lemah, tidak mempunyai pengendalian diri yang kuat sehingga
menimbulkan rasa takut yang berlebih terhadap suaminya. Setelah
kejadian dipukuli oleh suaminya, kondisinya semakin parah dan rasa
takutnya bertambah besar. Ires tidak memiliki keberanian untuk melawan
atas ketidakadilan yang dia terima, seperti dalam kutipan berikut.
59
“Mendengar cerita Ires, Diar langsung mengajaknya pergi dari
rumah itu. Pertama-taman Ires menolak, takut Herlambang akan
mengetahui keberadaannya. Selain itu, dia tidak berani karena dia
tidak memiliki apa-apa untuk hidup sendiri. Ires pun masih ingat
apa yang terjadi setelah ia kabur ke rumah orangtuanya. Dia ingat
ancaman-ancaman Herlambang. Bulu kuduknya berdiri
membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
(Oetoro & Dwiyana, 2015:89).
Ketakutan yang dirasakan Ires menjelma sebagai trauma fisik dan
mental. Dalam hal ini, Ires memiliki daya tahan menderita tinggi. Melihat
pendeskripsiannya yang demikian tragis, kebanyakan orang akan jatuh
stres dan trauma berkepanjangan terhadap laki-laki. Namun, Ires belum
masuk pada tahap tersebut. Beruntung dalam keadaan seperti itu, ia
mendapatkan sahabat seperti Diar yang berani dan mampu memahami
orang lain. Jika tidak, hidup Ires mungkin akan semakin terpuruk.
Adanya tokoh Diar membantu Ires dengan bujukan-bujukannya agar Ires
berani untuk meninggalkan rumah suaminya.
b. Tidak tegas dan pendiam
Ketakutan Ires masih terus menghantui hidupnya walau suaminya
sudah dilaporkan ke pihak berwajib dan dalam sedang penyelidikan. Hal
ini menunjukkan bahwa Ires tidak bisa tegas pada dirinya sendiri. Dia
selalu dihantui oleh bayangan-bayangan tentang perlakukan suaminya
terhadap dirinya. Berikut kutipan deskripsinya.
Hasil penyelidikan datang dua hari kemudian dan Herlambang
resmi ditahan. Ires merasa sedikit lebih lega mendengar berita
tersebut, namun pengalaman hidupnya dengan Herlambang
membuatnya selalu merasa ketakutan dan pikiran bahwa
suaminya akan bebas dari hukuman menambah kecil hatinya. Dia
60
semakin sering menyendiri dan melamun. Setiap hari Diar
mengajaknya ke rumah sakit untuk menjenguk Kukuh. Saat-saat
itu memang membuatnya lebih ceria. Semakin dia mengenal
teman-teman barunya, semakin dia menyukai mereka. Menyukai
namun belum sepenuhnya percaya (Oetoro & Dwiyana,
2015:140).
Perasaan takut Ires yang dideskripsikan oleh TJ dan Dwiyana
merupakan suatu bentuk trauma. Seorang suami yang seharusnya
dihormati oleh sang istri berubah menjadi seorang suami yang ditakuti
oleh sang istri. Sifat berani sama sekali tidak ada dalam tokoh Ires.
Ketika kebebasan akan segera diraihnya, ia justru lebih banyak
menyendiri dan melamun. Seakan-akan hidup bahagia hanya ada dalam
imajinasi Ires saja.
Ires juga digambarkan sebagai wanita Jawa yang mudah bergaul.
Dapat dilihat pada kutipan di atas, berkat tokoh Diar yang terus
membujuknya, Ires menjadi lebih mau bergaul dengan teman-teman
Diar. Ires juga digambarkan sebagai wanita Jawa yang diam, tidak
banyak bicara. Terbukti dari deskripsinya yang merasa tidak percaya
kepada teman-teman barunya. Rasa ketidakpercayaan kepada orang lain
disebabkan Ires tidak pernah mau terbuka kepada orang lain. selalu
memendam semua yang dirasakan hanya untuk dirinya sendiri.
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang membudayakan saling
tolong-menolong. Ketika ada teman yang kesusahan, maka ia akan
dibantu sebisanya, begitu juga sebaliknya. Hidup akan terasa lebih
nyaman ketika ada keterbukaan antara individu dengan individu lainnya.
Jadi, sifat penurut, setia, dan lembut berlaku untuk orang yang benar dan
61
situasi yang benar. Pada zaman sekarang, wanita Jawa dituntut untuk bisa
tegas pada dirinya sendiri dan orang lain, serta sesuai dengan situasi dan
kondisinya.
B. Ketidakadilan Gender yang Ada dalam Novel Rembang Jingga Karya TJ
Oetoro dan Dwiyana Premadi
Masalah kedua, penulis akan menguraikan tentang bentuk-bentuk
ketidakadilan yang terjadi dan dialami oleh wanita dalam Novel Rembang
Jingga karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi. Dalam novel tersebut, ada 2
tokoh wanita yang mengalami ketidakadilan gender, yaitu Ires dan Diar.
Ketidakadilan gender tersebut dapat dimanifestasikan dalam 5 kategori, yaitu
(1) marginalisasi; (2) subordinasi; (3) stereotip; (4) kekerasan fisik dan psikis;
dan (5) beban kerja.
1. Marginalisasi Wanita dalam Novel Rembang Jingga
Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan yang termanifestasikan ke
dalam bentuk marginalisasi atau pemiskinan terhadap wanita. Proses
marginalisasi sesungguhnya sudah banyak terjadi dalam masyarakat dan negara
yang disebabkan oleh berbagai peristiwa, seperti bencana alam dan ekploitasi.
Salah satu bentuk pemiskinan atas jenis kelamin tertentu dapat berasal dari
kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan
kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Seperti dalam pandangan masyarakat Jawa, bahwa wanita hanyalah
kanca wingking. Wanita sebagai istri harus mengurus rumah dan suami saja,
62
tidak perlu mengurus urusan di luar rumah. Hal tersebut tercermin dalam
kutipan dialog berikut:
“Lama amat sih? Padahal, Cuma diminta beli rokok di warung depan,
gimana kalau disuruh ke Blok M…, bisa-bisa setahun baru balik. Kamu
ketemu pacar ya?” teriak Herlambang, berdiri tegak dihadapan Ires.
“Ndak, Mas. Tadi ketemu Ibu Tin, tetangga nomor 5, dia tanya kapan
saya bisa ikut kelompok mengaji. Saya bilang harus minta izin Mas
dulu,” jawab Ires lirih, tak berani menatap mata Herlambang.
“Nggak usah ikut macam-macam. Bikin kepala kamu tambah besar,”
bentak Herlambang sembari mengambil bungkusan rokok dari tangan
Ires dengan kasar (Oetoro & Dwiyana, 2015:69).
Dapat dilihat pada kutipan di atas, Ires kehilangan haknya untuk
sekadar mengikuti pengajian dengan ibu-ibu tetangga. Sebagai seorang istri, ia
hanya bisa menurut akan kemauan suaminya. Wanita dianggap sebagai warga
kelas dua. Anggapan bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, bodoh, dan
miskin membuat Ires tidak memiliki keberanian untuk sekedar menolak yang
diperintahkan oleh suaminya, meski itu harus menyakiti dirinya sendiri. Hak-
hak untuk diperlakukan sewajarnya sebagai istri terpinggirkan, hak-haknya
untuk memiliki keinginan seperti halnya laki-laki diabaikan. Wanita yang
bodoh, dalam arti tidak berpendidikan dan tidak berwawasan luas cenderung
bersifat pasif dan menyerah saja pada kemauan laki-laki.
“Aku pakai tlp kntr polisi. Aku tdk marah. Tlg angkat tlp mau bicara
soal rumah di Jakarta.”
Rumah. Rumah yang mereka tinggali sejak menikah. Yang disebut
rumah oleh Herlambang bagi Ires hanyalah tempat ketika dia menjalani
hari-harinya. Tempat ini dan segala harta benda menjadi milik
Herlambang, semua atas nama dia. Bahkan uang yang dia pegang
belakangan ini adalah uang yang biasa disimpan di dalam lemari baju
mantan suaminya untuk keadaan darurat. Ires tidak pernah memiliki apa
pun (Oetoro & Dwiyana, 2015:202).
63
Pada kutipan di atas, dapat diketahui bahwa wanita dianggap hanya
sebagai pengurus rumah tangga dan pelengkap laki-laki. Hal tersebut yang
menjadi dasar terjadinya marginalisasi sehingga membuat wanita menjadi
tersingkir dan termiskinkan oleh kekuasaan yang mengendalikannya. Pekerjaan
domestik yang dilakukan perempuan memang tidak menghasilkan uang atau
materi. Hal ini yang membuat perempuan dianggap inferior, sebagai budak
yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga karena
kekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga. Dalam
kasus pemberian harta benda dan pemenuhan sandang dan pangan semua juga
menjadi kekuasaan suami. Wanita benar-benar terpinggirkan dan semakin
miskin oleh keyakinan dan pandangan laki-laki terhadap wanita yang hanya
dianggap sebagai kanca wingking.
2. Subordinasi Wanita dalam Novel Rembang Jingga
Subordinasi terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda. Pada
beberapa praktiknya, wanita dianggap tidak penting atau the second sex karena
beranggapan bahwa wanita pada akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga
sehingga terbatas geraknya dalam segala hal. Anggapan tidak penting kepada
wanita atau subordinasi dalam novel Rembang Jingga karya TJ Oetoro dan
Dwiyana Premadi ditunjukkan oleh dua tokoh, yakni Ires dan Diar. Berikut
uraiannya.
64
a. Ires
Ires dideskripsikan sebagai wanita yang kurang berpendidikan dan
dituntut harus menuruti kemauan suaminya. Dalam kasusnya, suaminya
yang merupakan seorang Jaksa menuntut Ires harus selalu hormat
kepadanya. Akibatnya, terjadi perbedaan yang begitu mencolok antara
pasangan suami-istri tersebut. Posisi laki-laki lebih tinggi dan wanita lebih
rendah. Penyifatan yang terlanjur disematkan masyarakat pada wanita
selalu dikaitkan dengan kelemahan, tidak penting, tidak berguna, sensitif
dan lain sebagainya. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan bahwa
wanita dianggap tidak penting.
Di tahun kedua Ires bersekolah di Akademi Administrasi, ayah Ires
mengalami kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan dia
harus berhenti bekerja dan mengambil pensiun dini. Uang pensiun
dan hasil penjualan di warung depan rumah hanya cukup untuk
kehidupan sehari-hari. Dengan berat hati suami-istri Soenaryo
menyampaikan hal tersebut kepada Ires yang langsung mengerti
bahwa orangtuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya.
“Kalau begitu, kita nikah saja.” Itulah kalimat pertama yang
diucapkan Herlambang setelah Ires menceritakan keadaan yang
kurang menguntungkan itu. Ada keraguan sejenak di benak Ires.
Semakin dekat hubungan mereka, semakin sering Herlambang
megeluarkan kata-kata kasar, terutama jika Ires ada kegiatan lain
dengan teman-temannya. Namun, setelah itu Herlambang selalu
meminta maaf dan berjanji tak akan mengulang lagi (Oetoro &
Dwiyana, 2015:70).
Kutipan di atas menunjukkan bentuk subordinasi, bahwa wanita
dianggap tidak penting. Dapat dilihat bahwa seorang laki-laki mampu
mengeluarkan emosinya kepada wanita tanpa memikirkan perasaan wanita
tersebut. Tokoh Herlambang mencoba menguasai keadaan dengan
meminta maaf begitu saja tanpa memikirkan bagaimana seharusnya dia
65
bersikap. Ia menganggap bahwa setelah meminta maaf semua akan baik-
baik saja. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk subordinasi dengan
anggapan bahwa wanita irasional. Selain itu, bentuk subordinasi yang lain
adalah anggapan wanita tidak perlu sekolah. Herlambang yang mengetahui
keadaan keluarga Ires yang kurang menguntungkan langsung mengajaknya
menikah. Hal ini menunjukkan bahwa wanita berada ditingkat yang
semakin rendah. Wanita menjadi tidak bebas, kehilangan ruang untuk
mengolah kebebasannya dan menemukan identitas dirinya, serta
mendapatkan haknya. Masalah tersebut semakin kuat dalam kutipan
berikut, “Namun, dengan adanya pernikahan, Herlambang semakin
mengekang Ires. Semua kegiatan dimonitor dan dicurigai. Segala
pengeluaran diperiksa, semua harus dengan tanda bukti. Dia bisa
menelepon Ires di rumah beberapa kali sehari hanya untuk mengecek
istrinya ada di rumah atau tidak” (Oetoro & Dwiyana, 2015:71).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kekuasaan dalam keluarga
berada di tangan suami. Wanita hanya perlu melakukan pekerjaan
domestik dan mengurus suami saja. Subordinasi menyebabkan adanya
pengekangan dan kurangnya ruang gerak seorang istri. Hal tersebut
berimbas pada pengabaian hak-hak yang sewajarnya diterima oleh istri.
Sekadar ikut nimbrung tetangga sebelah saja tidak diperbolehkan. Semua
yang dilakukan istri semua atas perintah dan izin sang suami.
Di dalam budaya Jawa, benar adanya konsep tentang istri harus
menurut kepada suami, namun semua dilakukan sewajarnya saja. Seperti
66
halnya dalam agama yang mengajarkan bahwa kewajiban seorang istri
harus patuh kepada suami dan meminta izin untuk apapun yang akan
dilakukan. Namun, semuanya juga dilakukan sewajarnya saja. Opini
penulis tersebut didukung oleh dialog dalam kutipan berikut.
“Ires ingin segera cerai dari Herlambang tapi takut.”
Mendengar kata tersebut, Ires langsung menjawab, “Aku nggak
takut, Cuma… Cuma… aku kasihan sama Mas Herlambang.
Jangan-jangan dia seperti itu karena saking cintanya sama aku..”
Amanda segera memotong kalimat Ires, “Ya Allah, Ires.. itu bukan
cinta, tapi hanya ingin memiliki dan menguasai kamu. Kalau dia
mencintai kamu, dia tidak akan menyakiti kamu seperti ini. Dia
tidak akan mengekang kamu. Dia menginginkan kamu maju dan
bahagia.” (Oetoro & Dwiyana, 2015:142).
Kutipan di atas merupakan sebuah penolakan atas adanya
subordinasi. Obsesi ingin memiliki dan menguasai seorang wanita juga
merupakan bentuk subordinasi. Dialog Amanda sebagai bentuk penolakan
masalah tersebut. Seperti pendapat penulis, bahwa semuanya dapat
dilakukan sewajarnya saja.
Bentuk subordinasi yang dialami Ires semakin jelas terlihat melalui
deskripsi pengarang tentang pemikiran Herlambang terhadap Ires, seperti
dalam kutipan di bawah ini.
Dia yang telah mengeluarkan Ires dari kemiskinan, dia yang telah
memberi atap dan makanan. Seharusnya, Ires berterima kasih
kepada dia dan bangga memiliki suami yang berpendidikan serta
memiliki jabatan. Seharusnya, Ires tunduk kepada suami setelah dia
diberi semua itu. Perempuan yang tak tahu diri itu malah kabur dan
mempermalukan dirinya (Oetoro & Dwiyana, 2015:136)
Kutipan di atas sangat jelas menunjukkan bentuk subordinasi
terhadap wanita. Kedudukan laki-laki yang berpendidikan dan memiliki
jabatan harus dihormati dan wanita harus tunduk dan berterima kasih atas
67
apa yang telah diberikan. Wanita dianggap tidak berhak untuk menolak
ataupun membangkang segala perintah laki-laki. Semuanya harus
dilakukan dan diterima oleh wanita tanpa memikirkan baik dan buruknya.
Hal ini semakin menonjolkan tingkat hierarki antara suami dan istri. Suami
memiliki kedudukan yang tinggi karena berpendidikan dan memiliki
jabatan tinggi, sedangkan wanita dianggap lebih rendah karena tidak
berpendidikan dan stereotip wanita yang dianggap tidak perlu
berpendidikan.
b. Diar
Ketidakadilan gender yang terjadi dalam novel Rembang Jingga
karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi juga dialami oleh tokoh Diar.
Bentuk ketidakadilan gender tersebut adalah subordinasi. Laki-laki
memiliki kedudukan yang tinggi sedangkan wanita memiliki kedudukan
yang lebih rendah. Dalam novel tersebut, pengarang menunjukkan bahwa
wanita yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang berpendidikan akan
menuntut wanita agar selalu hormat kepada laki-lakinya, seperti pada
kutipan berikut, “Pacaran dengan Darma terasa aneh bagi Diar. Terutama
karena sikap hormat Diar yang berlebih, serta sikap Darma yang seolah
memang menuntut Diar untuk hormat padanya. Tak pernah diucapkan tapi
nyata terlihat gerak-geriknya” (Oetoro & Dwiyana, 2015:174). Kutipan
tersebut menunjukkan kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada wanita.
Sifat Diar yang welas asih membuat dirinya tidak bisa mengatakan hal
68
tersebut kepada Darma, seperti tidak ada celah bagi mereka untuk
berbincang-bincang tentang bagaimana perasaan masing-masing individu.
Setiap gerak-gerik Darma menuntut Diar harus selalu menghormatinya.
Hal ini menyebabkan wanita kehilangan haknya untuk mengeluarkan
pendapatnya.
3. Stereotip Wanita dalam Novel Rembang Jingga
Ketidakadilan gender dan diskriminasi yang lain, terjadi akibat adanya
stereotip atau pelabelan negatif terhadap kaum wanita. Stereotip yang
dilekatkan terhadap kaum wanita akhirnya berakibat membatasi, menyulitkan,
memiskinkan, dan merugikan kaum wanita. Laki-laki dianggap kuat, jantan,
perkasa, dan rasional, sedangkan wanita dianggap lembut, cantik, keibuan,
dan irasional. Hal tersebut nampak dalam kutipan berikut, “Ada rasa bangga
pada diri Ires jika membayangkan dia terlihat berjalan bersama Herlambang
di mata teman-teman sekolahnya. Wajah Herlambang yang tampan, gagah
dengan kemeja dan dasi, ditambah tindak-tanduknya yang sopan serta terlihat
melindungi Ires” (Oetoro & Dwiyana, 2015:70).
Tokoh Ires merasa bangga jika bersama Herlambang yang
digambarkan seperti pada kutipan tersebut. Namun, wanita tidak berpikir
sebaliknya, apakah ada perasaan bangga pada laki-laki tersebut jika
bersamanya atau tidak. Laki-laki mencoba menaklukkan wanita dengan
terlihat melindungi Ires, tetapi hal tersebut tidak menjamin hal-hal yang akan
terjadi setelah mereka menikah. Laki-laki selalu melakukan hal-hal yang
69
membuat wanita merasa bahagia dan tidak bisa menolaknya, akan tetapi
perilaku yang membahagiakan tersebut akan berubah seiring berjalannya
waktu, seperti dalam kutipan berikut, “Sindiran dan makian berkembang
menjadi pukulan dan tendangan. Pada awalnya, Herlambang sering pulang
untuk makan siang, namun sejak dia diangkat sebagai asisten jaksa, sulit
baginya untuk mengecek Ires secara langsung” (Oetoro & Dwiyana,
2015:71).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa wanita pada pandangan laki-laki
itu bodoh. Perlakuan yang membahagiakan sebelum menikah menjadi sebuah
makian dan pukulan. Wanita dianggap mudah ditipu dan diperlakukan
semena-mena oleh laki-laki karena merasa memiliki wanita tersebut.
Ditambah lagi dengan adanya kultur Jawa yang mengajarkan bahwa wanita
itu harus lembut, penurut, dan tidak boleh membantah laki-laki. Hal tersebut
membuat wanita semakin dibatasi.
4. Kekerasan terhadap Wanita dalam Novel Rembang Jingga
Ketidakadilan gender juga dapat disebabkan oleh adanya kekerasan
terhadap wanita. Di Indonesia, kekerasan sudah termasuk dalam kategori
kejahatan. Dalam Novel Rembang Jingga terjadi kejahatan dalam bentuk
kekerasan fisik, baik seksual maupun non-seksual dan kekerasan psikis atau
kekerasan yang berupa menjatuhkan mental seseorang, biasanya berupa
makian/penghinaan dalam bentuk kata-kata.
70
Stereotip atau anggapan bahwa wanita itu lemah secara fisik
menciptakan dorongan kepada laki-laki bahwa mereka boleh dan bisa
seenaknya memukul, menampar, atau memperkosa wanita. Banyaknya
peristiwa pemerkosaan bukan karena unsur kecantikan, melainkan karena
kekuasaan dan stereotip gender yang dilekatkan pada kaum wanita
(Sugihastuti dan Suharto, 2005:214).
a. Kekerasan Fisik pada Novel Rembang Jingga
Kekerasan fisik yang terjadi dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan
seksual dan kekerasan non-seksual. Kekerasan seksual terjadi pada tokoh
Diar, sedangkan kekerasan non-seksual terjadi pada tokoh Ires. Berikut ini
akan diuraikan secara lengkap.
1) Diar
Tokoh Diar dideskripsikan oleh TJ dan Dwiyana mengalami
kekerasan seksual. Ia dipekerjakan sebagai budak seks oleh ayahnya sendiri.
Ia dipaksa untuk melayani para sopir-sopir truk yang singgah di warungnya.
Uang hasil melayani mereka tidak pernah sampai ke tangan Diar, semua
diterima oleh Sugeng, ayahnya.
Begitu sampai, ayahnya menyuruhnya membuka jaket itu. Diar
enggan, tapi dorongan paksa dari Sugeng membuatnya tak bisa
mengelak. Lagi pula, gadis belasan tahun itu masih terpesona dengan
warna biru, terasa mewah dan bagus.
Sugeng menyuruh Diar mengikuti laki-laki berjaket hitam itu, namun
dia tidak ikut, bergeming di atas sepeda motornya sambil memegang
Diar. Diar ragu-ragu dan bertanya apa yang harus dilakukannya.
Sugeng tak menjawab, dia hanya emberi kode pada Diar untuk
mengikuti laki-laki itu. Diar agak tenang dengan kerelaan ayahnya,
berarti laki-laki berjaket hitam itu tidak akan mencelakakannya
(Oetoro & Dwiyana, 2015:58-59).
71
Kalau ada neraka di dunia ini, inilah tempatnya, kamar hotel ini.
Diar melewati malam itu dengan segenap perasaan sedihnya. Laki-
laki gendut itu ternyata laki-laki pertama yang menikmati tubuhnya.
Peristiwa yang selalu ingin dilupakannya tapi selalu gagal pergi dari
benaknya. Betapa Diar meronta-ronta sekuat tenaga. Betapa setiap
rontaannya justru semakin membuat sesuatu pada laki-laki itu
menancap tajam di tubuhnya. Semakin meronta, semakin dalam.
Laki-laki itu pun seperti semakin beringas, semakin terpuaskan
dengan setiap rontaan Diar (Oetoro & Dwiyana, 2015:60).
Melalui kutipan di atas, dapat diketahui bahwa wanita distereotipkan
bodoh dan mudah dibodohi. Wanita yang masih berumur enam belas tahun
dan putus sekolah tersebut belum bisa menentukan mana yang baik mana
yang buruk. Kepolosan Diar dimanfaatkan ayahnya dan menjadikan Diar
sebagai pekerja seks. Wanita mendapatkan perlakuan yang begitu kejam
karena terlalu dipandang rendah. Pandangan tersebut menjalar kepikiran
Sugeng yang akhirnya membuat dirinya sebagai seorang ayah yang
kehilangan akal sehat. Dia ditelan keadaan sehingga tidak bisa
mengendalikan emosinya.
Kekuasaan laki-laki sebagai kepala keluarga menjadikan segala
sesuatu yang ia katakan tidak bisa dibantah, bahkan ditentang. Wanita
menjadi semakin lemah dan tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Diar yang
masih di bawah umur tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa
melakukan semua yang diperintahkan oleh ayahnya. Melihat fakta yang
terjadi di masyarakat, sudah banyak terjadi peristiwa sedemikian rupa.
Seorang anak dipaksa melayani nafsu ayahnya sendiri, bahkan kepada
pamannya sendiri. Tokoh Diar menjadi salah satu contoh untuk mengkritik
peristiwa-peristiwa kejam tersebut.
72
2) Ires
Kekerasan fisik yang kedua adalah kekerasan non-seksual.
Kekerasan yang berupa tamparan, pukulan, dan tendangan pada tubuh
seseorang. Kekerasan tersebut dialami oleh tokoh Ires. Ires merupakan
seorang ibu rumah tangga yang lemah lembut dan penurut terhadap suami.
Namun, kelembutannya tidak pernah dihargai oleh suaminya. Sejak
menikah ia semakin terkekang dan semakin menderita. Suaminya yang
merasa berkuasa dan merasa harus dihormati, membuat Ires tidak dapat
membantah semua yang dikatakan suaminya. Semakin Ires mencoba
melindungi dirinya, semakin ia mendapatkan makian dan pukulan. Hal
tersebut tercermin dalam kutipan berikut.
Rasa cinta dan hormat di hati Ires perlahan berubah menjadi rasa
takut. Wajah yang ceria menjelma menjadi layu. Ires pernah kabur,
pulang ke rumah orangtuanya. Itu terjadi ketika malam sebelumnya
dia menerima pukulan dahsyat dari Herlambang karena malam itu
Herlambang melihat Ires membuka akun facebook. Berarti
Herlambang mendapatkan istrinya berhubungan lagi dengan teman-
teman lamanya. Detik itu juga Herlambang langsung menghujam
Ires dengan segala tuduhan dan ketika Ires membantah, Herlambang
kalap. Dipukulnya Ires berkali-kali dan dibentur-benturkan kepala
istrinya ke dinding sampai pingsan (Oetoro & Dwiyana, 2015:72).
Kutipan di atas mendeskripsikan bagaimana seorang suami yang
sama sekali tidak bisa memberikan kebebasan kepada istrinya. Laki-laki
menganggap bahwa wanita sama sekali tidak boleh menyentuh ranah
publik, yaitu media sosial facebook. Kebebasan seorang istri benar-benar
dibatasi. Herlambang merasa dikhianati oleh Ires yang diam-diam membuka
jejaring sosial tersebut. Ia menjadi hilang kontrol dan ia memukuli istrinya
karena tidak bisa menerima pengkhianatan itu tanpa memikirkan perasaan
73
istrinya dan dampak buruk akibat perbuatannya. Hal tersebut mencerminkan
pandangan laki-laki bahwa ia sudah merasa memiliki dan berkuasa terhadap
wanitanya.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga terjadi akibat
penyalahgunaan budaya dan agama. Budaya Jawa mengatakan bahwa
wanita yang sudah menikah akan menjadi tanggungjawab suaminya. Agama
pun mengajarkan demikian. Namun, di dalamnya sudah mengandung
aturan-aturan yang menunjukkan bahwa laki-laki juga harus melindungi
istrinya. Bertanggung jawab bukan berarti semena-mena terhadap wanita.
Penderitaan Ires masih terus datang padanya. Setelah dipukuli karena
membuka jejaring sosial, kali ini ia dipukuli akibat ia mengikuti kegiatan
belajar yang dilakukan di luar rumah tanpa sepengetahuan suaminya.
Berikut kutipannya.
Ires mematung melihat suaminya yang tiba-tiba berada di
hadapannya. Dia tidak mendengar suara mobil datang. Hari itu
menjadi hari yang naas bagi Ires. Hari di saat dia kurang waspada.
Perlahan dia berdiri dan melangkah mundur menghindari tangan
suaminya. Tersandung kursi yang tadi diduduki, Ires jatuh.
Tubuhnya mulai menggigil ketakutan.
Setengah jam kemudian Ires meringkuk di pojok ruang makan, yang
dilakukannya cukup lama, karena dia tidak bisa bergerak. Bergeming
karena rasa sakit yang amat sangat. Tangannya memegang dada dan
perut, mencoba menahan rasa sakit itu. Warna ungu mulai terlihat di
sekitar mata, lengan dan kaki. Darah yang keluar dari hidung
membuatnya terpaksa bernapas dari mulut yang memerah oleh bibir
yang pecah-pecah (Oetoro & Dwiyana, 2015:88).
Stereotip masyarakat bahwa wanita hanya boleh melakukan
pekerjaan domestik, membuat wanita semakin miskin dan dibatasi. Tidak
ada ruang gerak yang membuat seorang wanita leluasa bergerak. Ires yang
74
mencoba mengikuti kelompok belajar tanpa seizin suaminya membuat
Herlambang marah. Tidak ada kesempatan bagi Ires untuk menjelaskan apa
yang terjadi. Laki-laki menganggap bahwa tidak perlu ada penjelasan bagi
apa yang dia lihat. Anggapan tersebut akhirnya berakibat buruk bagi wanita
yang harus menerima amarah laki-laki.
Wanita semakin merugi akibat kekerasan itu. Wanita menjadi sakit,
dan tidak bisa mendapatkan ilmu walau hanya sedikit. Ilmu yang didapatkan
Ires dalam mengikuti kegiatan kelompok belajar tidak sepadan dengan ilmu
yang didapatkan oleh suaminya yang seorang jaksa. Keadaan membuat
wanita semakin rendah. Anggapan bahwa wanita Jawa (Keraton) yang
begitu disanjung oleh suaminya sudah tidak ada lagi.
b. Kekerasan Psikis pada Novel Rembang Jingga
Kekerasan psikis merupakan peristiwa ketidakadilan gender atau
diskriminasi terhadap wanita dalam novel Rembang Jingga karya TJ dan
Dwiyana. Tokoh Ires dideskripsikan sebagai wanita yang paling menderita
di dalam narasi ceritanya. Setelah mengalami marginalisasi, subordinasi,
stereotip, dan kekerasan fisik bahkan kekerasan psikis. Selain ditampar dan
dipukuli, Ires semakin dijatuhkan dengan kata-kata kasar, makian, dan
sindiran. Hal tersebut tercermin dalam kutipan berikut, “Lama amat sih?
Padahal, cuma diminta beli rokok di warung depan, gimana kalau disuruh ke
Blok M…, bisa-bisa setahun baru balik. Kamu ketemu pacar ya?” teriak
Herlambang, berdiri tegak dihadapan Ires” (Oetoro & Dwiyana, 2015:69).
75
Kutipan tersebut merupakan kekerasan psikis yang bentuknya sindiran. Blok
M dalam kalimat tersebut menunjukkan daerah yang sedikit agak jauh dari
kompleks rumahnya. Herlambang tidak membutuhkan penjelasan Ires
mengapa ia bisa sedikit agak lama membeli rokok, padahal hanya di warung
depan. Semua yang dilakukan Ires menjadi celah bagi Herlambang untuk
mengeluarkan sindiran dari mulutnya. Wanita dianggap hanya untuk
memenuhi semua perintah laki-laki tanpa ada kesalahan. Kesalahan sekecil
apapun akan menjadi bumerang baginya. Hal tersebut diperkuat dengan
kutipan di bawah ini.
Malam itu Herlambang mengernyitkan hidungnya saat melihat ayam
goreng buatan Ires. Ayam tersebut kelihatan lebih cokelat daripada
biasanya karena saat memasak Ires merasakan kebutuhan mendadak
ke kamar mandi dan ayam tertinggal di dalam minyak panas.
“Goreng ayam aja nggak becus. Nggak berguna sekali hidupmu,
Res. Beli pecel lele sana untukku. Ayam ini kamu yang makan, biar
tahu rasanya makan sampah.” Diambilnya uang dari dompetnya dan
dilempar begitu saja di atas meja untuk Ires memungut sambil terus
menundukkan kepala (Oetoro & Dwiyana, 2015:72-73).
Kutipan di atas menunjukkan adanya makian yang keluar dari mulut
Herlambang. Sebagai suami, ia tidak bisa menghargai apa yang dilakukan
oleh istrinya. Setiap kata yang dilontarkan oleh Ires adalah makian karena
mengandung kata-kata yang kasar. Bicara memang mudah, namun dari
perkataan, orang akan membuat lawan bicaranya tersakiti. Perkataan
tersebut semakin membuat Ires jatuh. Ditambah dengan tindakan
Herlambang yang melemparkan uang untuk membeli pecel lele di meja,
semakin membuat Ires merasa tersakiti. Mentalnya semakin ciut dan tidak
berani menatap suaminya.
76
5. Beban Kerja pada Wanita dalam Novel Rembang Jingga
Ketidakadilan gender atau diskriminasi terhadap wanita adalah beban
kerja. Beban kerja yang dilimpahkan kepada wanita karena laki-laki yang
tidak bertanggung jawab. Hal tersebut terjadi pada tokoh Diar. Diar dipaksa
ayahnya untuk menjadi pekerja seks lantaran kondisi ekonomi yang di bawah
garis kemiskinan, berikut kutipannya.
Mulanya Diar mengira dia dibutuhkan di warung itu untuk membantu
si Mbok bekerja, tidak tahunya dia juga dipekerjakan sebagai PSK.
Tubuh anaknya sendiri “dijual”! kejadian penamparan saat pertama
kali Diar dijadikan pekerja seks itu membuat Diar tak bisa berkutik.
Dia terpaksa menuruti keinginan Sugeng. Dia harus menurut. Demi
meningkatkan penghasilan mereka yang sebenarnya di bawah garis
kemiskinan. Kepada Endang, Diar juga tak bisa berlindung, karena
Endang juga ketakutan setengah mati kepada Sugeng (Oetoro &
Dwiyana, 2015:63).
Melalui kutipan di atas, diskriminasi yang dilakukan Sugeng sebagai
suami adalah membebankan pekerjaan kepada anak dan istrinya. Endang
yang merupakan istrinya bekerja dengan membuka warung yang biasanya
disinggahi oleh sopir-sopir truk. Tidak puas dengan penghasilan dari warung,
dia menggunakan anak gadisnya sebagai pekerja seks untuk melayani sopir-
sopir truk yang singgah di warungnya. Wanita-wanita itu dibuatnya
menderita, sedangkan dirinya menikmati hasil dari penderitaan anak dan
istrinya tersebut.
Sekali lagi, laki-laki memanfaatkan kekuasaannya sebagai kepala
keluarga. Ia menyuruh anak-istrinya bekerja keras, sedangkan ia hanya
menunggu hasilnya. Dia juga memanfaatkan sifat wanita yang lembut dan
77
penurut sebagai seorang istri, ia membuat mereka ketakutan agar mau
menuruti segala keinginannya. Wanita selalu saja dianggap rendah dan
bodoh.
78
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan terhadap novel Rembang
Jingga dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Citra Wanita Jawa
Di dalam novel Rembang Jingga karya TJ Oetoro dan Dwiyana
Premadi mengandung citra wanita Jawa yang kuat pada masing-masing
tokohnya, yaitu (a) citra wanita Jawa yang melekat pada tokoh Karina adalah
mandiri dan seorang ibu yang baik; (b) citra wanita Jawa yang melekat pada
tokoh Amanda adalah mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai
keluarga, dan seorang ibu yang baik; (c) citra wanita Jawa yang melekat pada
tokoh Diar adalah kuat fisik dan mental, welas asih dan pekerja keras; (d)
citra wanita Jawa yang melekat pada tokoh Ires adalah penurut dan lemah
lembut, tidak tegas dan pendiam. Dari penjabaran tersebut, dapat diketahui
bahwa baik tokoh yang termasuk golongan kelas atas maupun golongan kelas
bawah memiliki citra wanita Jawa yang sudah ditanamkan sejak dahulu.
Tokoh Karina dan Amanda dideskripsikan sebagai wanita yang
berpendidikan tinggi namun tidak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang
ibu yang baik untuk anaknya. Mereka menjadi contoh bagi para wanita agar
menjadi wanita yang tangguh dan independen, tetapi tidak melupakan hal-hal
yang sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang wanita, sebagaimana
79
kultur Jawa yang sudah dijalankan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tokoh
Diar dan Ires dirasa menjadi sebuah penolakan terhadap realita kehidupan
wanita yang kurang berpendidikan diperlakukan secara tidak adil. Namun,
tokoh Diar menjadi cerminan bahwa wanita yang diperlakukan secara tidak
adil mampu mempertahankan sifatnya yang welas asih terhadap orang yang
telah melakukan ketidakadilan terhadap dirinya. Hal ini juga
mempertimbangkan situasi dan kondisinya, sedangkan tokoh Ires menjadi
sebuah penolakan terhadap wanita yang terlalu terkekang dengan kultur
wanita Jawa, yaitu wanita yang terlalu menurut dan tidak dapat
memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang istri. Hal tersebutlah yang
menjadi pemicu ketidakadilan gender.
2. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi dalam novel Rembang
Jingga karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi, yaitu:
a. Marginalisasi yang dialami oleh Ires. Ires kehilangan hak-haknya sebagai
seorang istri. Ia hanya boleh melakukan pekerjaan domestik dan tidak
boleh menyentuh pekerjaan di luar rumah. Ires semakin terpinggirkan dan
miskin karena tidak memperoleh apa yang seharusnya ia peroleh dari
seorang suami. Barang-barang dan rumah yang ia tinggali semuanya milik
suaminya.
b. Subordinasi yang dialami oleh Ires dan Diar. Sebagai wanita, Ires
dianggap tidak perlu meneruskan sekolahnya dan langsung diajak
menikah oleh Herlambang yang merupakan seorang Jaksa muda. Wanita
berada di posisi lebih rendah dari laki-laki. Hal ini menyebabkan Ires
80
harus mengikuti segala perintah dan kemauan suaminya. Begitu juga yang
dialami oleh Diar. Perbedaannya adalah Diar tersubordinasi oleh
kekasihnya, karena Diar belum menikah. Diar yang tidak tamat SMP
memiliki kekasih bernama Darma yang bekerja sebagai pengacara. Dalam
menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih, Diar dituntut untuk selalu
menghormati Darma.
c. Stereotip yang dialami oleh Ires. Wanita dianggap bodoh dan mudah
ditipu. Hal ini tercermin dalam perlakuan Herlambang terhadap Ires.
Ditambah dengan adanya kultur Jawa yang mengajarkan bahwa wanita itu
harus lembut, penurut, dan tidak boleh membantah laki-laki, membuat
wanita semakin dibatasi.
d. Kekerasan fisik dan psikis yang dialami oleh Diar dan Ires. Diar
mengalami kekerasan fisik yang tergolong kekerasan seksual. Ia dijadikan
PSK oleh ayahnya sendiri, sedangkan Ires mengalami kekerasan non-
seksual, seperti ditampar, dipukul, dan ditendang oleh suaminya karena
dianggap membantah dan melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang
seharusnya tidak menjadi masalah. Selain itu, Ires juga mengalami
kekerasan psikis, seperti sindiran, makian, dan kata-kata kasar dari
suaminya.
e. Beban kerja yang dialami oleh Diar. Dampak ekonomi keluarga yang
dibawah garis kemiskinan membuat Diar harus melakukan pekerjaan
kotor tersebut. Siang hari membantu ibunya di warung dan malam hari
81
harus melayani sopir-sopir truk yang haus seks. Uang hasilnya bekerja
semua disetorkan kepada ayahnya.
Sesuai dengan penjelasan Tong (2010:304), TJ dan Dwiyana ingin
menunjukkan bahwa wanita tidak berniat untuk meleburkan perbedaan antara
laki-laki dan wanita. Wanita tidak menginginkan hak untuk menjadi sama dengan
laki-laki. Sebaliknya, yang wanita inginkan adalah bagaimana antara laki-laki dan
wanita bisa saling melengkapi dan wanita tidak harus berlawanan dengan laki-
laki.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian pada novel Rembang Jingga, maka penulis
dapat memberikan saran sebagai berikut.
1. Novel Rembang Jingga dapat diperdalam lagi menggunakan teori sastra yang
lain, seperti psikologi sastra, sosiologi sastra, resepsi, dan lainnya. Penulis
menyarankan untuk penelitian novel Rembang Jingga berikutnya
menggunakan teori-teori tersebut.
2. Kajian kritik sastra feminis yang dilakukan penulis baru membahas tentang
citra wanita Jawa dan ketidakadilan gender. Penelitian masalah ketidakadilan
gender yang dilakukan oleh penulis baru sampai lima faktor, yaitu
marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan fisik dan psikis, dan beban
kerja. Oleh karena itu, diharapkan kepada peneliti selanjutnya dapat
memperluas permasalahan mengenai ideologi feminisme dari pengarang yang
dituangkan dalam novel Rembang Jingga.
82
3. Ketidakadilan gender bisa terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja, baik
laki-laki maupun wanita. Oleh karena itu, diharapkan adanya upaya untuk
menanggulangi ketidakadilan gender tersebut melalui penelitian-penelitian
berikutnya.
4. Ketika orang/pembaca membaca novel dan penelitian tentang kesetaraan
gender, diharapkan pembaca dapat berpikir lebih positif dan menyaring baik-
buruknya kesetaraan gender agar dapat menjadikan wanita Indonesia semakin
maju.
83
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Agus Rinto. 2005. Perempuan (di Mata Budaya Jawa). Surabaya: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar.Jakarta:
Gramedia.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Fakih, Mansoer. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Fithriyana, Elfa. 2013. Ketidakadilan Gender dalam Nove Sali Karya Dewi
Linggasari. Skripsi. Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember.
Handayani, Christina S. dan Ardhian 2011. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta:
LKIS.
Jabrohim dan Ari Wulandari (ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung:
RemajaRosdakarya.
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oetoro, TJ dan Dwiyana Premadi. 2015. Rembang Jingga. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Partini. 2013. Bias Gender dalam Birokrasi. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Rarastesa, Zita. 2001. The Image of Women in Louise Edrich’s Love Medicine: A
Feminist Approach dalam Jurnal Bahasa, Sastra dan Studi Amerika Vol. 5,
No. 6, bulan September. Surakarta: Sastra Inggris UNS.
Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Klat.
Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya
UGM.
Satoto, Soediro. 1994. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press.
84
Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toety Heraty.
Bandung: Nuansa.
_________ dan Itsna Hadi Septiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan:
Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________ dan Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susanti, Endah. 2015. Ketidakadilan Gender Pada Tokoh Perempuan dalam
Novel Kupu-Kupu Malam Karya Achmad Munif dalam Jurnal Artikulasi
Vol 10, No. 2. Tidak diterbitkan.
Tong, Rosmarie Putnam. 2010. Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta:
Jalasutra.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Sumber Internet:
Apriana, Risky Nur Soelika. 2016. Inferioritas Perempuan dalam Novel
Rembang Jingga Karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadidalam
http://simki.unpkediri.ac.id/mahasiswa/fil, diakses pada 4 Maret 2016
pukul 7.00 WIB.
Mudjiono, Zakiah Putri. 2012. Representasi Human Trafficking dan Kekerasan
pada Perempuan dalam Novel Galaksi Kinanthi (Analisis Wacana).
http//:google/library_Hasanudin-University.com diakses pada 20 Februari
2016 pukul 22.00 WIB.
Nurulifadhah. 2009. Feminisme dalam
https://nurulifadhah.wordpress.com/2009/09/04/feminisme/, diakses pada
13 Juni 2016 pukul 12.00 WIB.
Septiana, Hespi. 2016. Kekerasan Seksual pada Tokoh Diar dalam Novel
Rembang Jingga Karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi dalam
http://adobsi.org/Hespi-Septiana.pdf, diakses pada 4 Maret 2016 pukul
07.01 WIB.
Sriyadi. 2010. Nilai-Nilai Kewanitaan dalam Budaya Jawa dalam
http://sriyadi.dosen.isi=ska.ac.id/2010/03/31/karya=ilmiah/ diakses pada
10 Maret 2016 pukul 08.00 WIB
85
SINOPSIS NOVEL REMBANG JINGGA
KARYA TJ OETORO DAN DWIYANA PREMADI
Amanda Anwar menemukan kakaknya, Linda, tewas karena overdosis
narkoba. Meninggalnya Linda menimbulkan kemarahan orangtuanya. Amanda
berusaha membuka hati ayahnya dengan mencari tahu penyebab Linda terjerumus
ke dunia narkoba melalui sebuah buku harian. Buku harian Linda ditemukan
Karina ketika ia berkunjung ke kediaman Anwar sekembalinya dari New York.
Melalui buku itu Amanda dan Karina mengetahui semua yang dirasakan Linda,
hal-hal yang menyebabkannya terjerumus ke dunia narkoba.
Amanda dan Karina sudah bersahabat sejak lama. Tidak ada rahasia di
antara mereka. Bahkan ketika Amanda menemukan Karina yang sedang hamil di
luar nikah, ia tetap berada di sisi Karina untuk menenangkan wanita itu. Karina
ditinggalkan oleh kekasihnya yang bernama Dodi setelah Karina memberi tahu
apa yang sedang terjadi. Dodi menghilang tanpa jejak. Selain itu, Karina dianggap
sebagai anak yang memalukan orangtuanya. Mereka sangat membenci Karina dan
membiarkan Karina kembali keluar negeri dengan keadaan hamil. Beruntung, di
New York sudah ada seorang pria bernama Roger yang menunggunya sejak lama.
Pria itu sangat menyukai Karina, bahkan ketika mengetahui kebenaran bahwa
Karina hamil, ia langsung menikahi Karina.
Beberapa tahun setelah suaminya meninggal, Karina Hakim memutuskan
meninggalkan New York bersama anaknya, kembali ke Jakarta untuk membangun
kehidupan baru. Sahabatnya yang bernama Amanda mengajaknya pergi ke
86
Rembang untuk membuktikan sebuah fakta dalam buku harian Linda. Melewati
New York, Jakarta, Rembang, ternyata masa lalu Karina masih terus
menghantuinya.
Waktu menuntun Amanda dan Karina untuk bertemu kembali dengan Diar
di Rembang. Diar adalah teman masa kecil Amanda. Ia adalah cucu dari Mbah
Karto yang dulu bekerja untuk keluarga Anwar. Namun, kehidupan Diar tidak
berlangsung normal, karena ia dipaksa menjadi pelacur oleh ayahnya sendiri. Ia
harus melayani para sopir truk yang haus akan seks, dan hasil dari melayani
mereka disetorkan kepada Sugeng. Tidak tahan dipaksa menjadi pelacur oleh
ayahnya, Diar memutuskan minggat dari tempat prostitusi di Pantura. Jalan
panjang dan berliku harus ditempuh Diar, bahkan menjadi pelayan warung nasi di
Tegal sampai akhirnya di Jakarta. Hingga takdir hidup Diar harus pulang lagi ke
Rembang.
Ketika menjadi pelayan warung di Tegal, Diar bertemu dengan Ires yang
memiliki kehidupan seorang istri yang terpinggirkan. Setelah menikah, Ires
berharap mendapatkan kasih sayang dari suami yang sangat dicintainya.
Herlambang namanya. Namun, yang ia dapatkan hanya kekerasan fisik dan
mental. Setiap kesalahan kecil yang dilakukan Ires selalu menjadi masalah bagi
suaminya. Hampir setiap hari tamparan, pukulan, dan kata-kata kasar selalu
menjadi makanan Ires. Rumah dan harta benda yang ada di dalamnya semua atas
nama Herlambang. Ires sama sekali tidak mendapatkan haknya sebagai seorang
istri. Pertemuan Ires dengan Diar memberi harapan baru baginya. Ires mengikuti
87
ajakan Diar untuk kabur dari rumah. Ires yang lugu dan berhati lembut tidak
mengira suaminya menyimpan dendam dan bertekad mengejarnya ke mana pun.
Di Rembang, keempatnya bertemu. Amanda dan Karina ke Rembang
untuk mengunjungi makam Linda, lalu mampir ke tempat Mbah Karto yang
dulunya mengabdi untuk keluarga Amanda. Pada saat yang sama, Diar kembali ke
Rembang untuk menguburkan ayahnya yang telah meninggal. Tentu saja Ires ikut
serta ke Rembang untuk menemani Diar. Di tempat Mbah Karto mereka berempat
bertemu.
Kemudian, peristiwa kebakaran rumah Mbah Karto pun terjadi. Menurut
saksi, Herlambanglah pelakunya. Setelah diselidiki polisi, memang benar
pelakunya adalah Herlambang, suami Ires. Akibat kejadian tersebut, Ires
menggugat cerai suaminya. Namun, Herlambang memanfaatkan kepolosan Ires.
Saat di penjara, ia berlaku seolah-olah menjadi orang yang lebih baik. Ires merasa
menjadi orang yang baru mengenal Herlambang dan seperti jatuh cinta lagi. Pada
hari yang dijanjikan mereka untuk bertemu, saat itulah Herlambang membunuh
Ires.