BAB IV MEMAHAMI TATO SEBAGAI REPRESENTASI SPIRITUAL …€¦ · Tato bukanlah sekedar trend fashion...

21
94 BAB IV MEMAHAMI TATO SEBAGAI REPRESENTASI SPIRITUAL 4.1 Pengantar Jawaban-jawaban yang dikumpulkan oleh peneliti dari hasil wawancara dengan para responden mengenai makna tato bagi orang-orang bertato, dilihat mengarah sebuah makna luas dari spiritual. Cara mereka memandang tato menunjukkan bahwa mereka memiliki keterbukaan untuk berdaya cipta, dan hal ini terlihat dari ide-ide tato yang tertuang di dalam gambar-gambar pada tubuh mereka. Tato bukanlah sekedar trend fashion bagi para responden, melainkan sebagai sebuah gambaran dan wujud dari kekuatan spiritual dan tindakan iman mereka. Tato juga menjadi metode untuk melabuhkan keunikan pribadi masing- masing responden, dan lebih sebagai ekspresi mereka tersendiri dibandingkan sebagai sekedar mengikuti tren. Ada sebuah peningkatan kepercayaan diri dan perasaan bangga akan keunikan pribadinya di dalam diri responden setelah menato tubuhnya, sebab mereka merasa telah menyelesaikan sebuah kreativitas diri. Saat itulah para responden menggunakan tato sebagai respresentasi spiritual. Untuk dapat memahami tato sebagai representasi spiritual tersebut, peneliti terlebih dahulu akan memaparkan tentang alasan para responden bertato dalam kaitannya dengan tubuh sebagai pameran yang menyampaikan informasi mengenai apa yang diyakininya, kemudian memaparkan pandangan para responden mengenai tato dalam kaitannya dengan ungkapan representasi spiritual.

Transcript of BAB IV MEMAHAMI TATO SEBAGAI REPRESENTASI SPIRITUAL …€¦ · Tato bukanlah sekedar trend fashion...

  • 94

    BAB IV

    MEMAHAMI TATO SEBAGAI REPRESENTASI SPIRITUAL

    4.1 Pengantar

    Jawaban-jawaban yang dikumpulkan oleh peneliti dari hasil wawancara

    dengan para responden mengenai makna tato bagi orang-orang bertato, dilihat

    mengarah sebuah makna luas dari spiritual. Cara mereka memandang tato

    menunjukkan bahwa mereka memiliki keterbukaan untuk berdaya cipta, dan hal

    ini terlihat dari ide-ide tato yang tertuang di dalam gambar-gambar pada tubuh

    mereka.

    Tato bukanlah sekedar trend fashion bagi para responden, melainkan

    sebagai sebuah gambaran dan wujud dari kekuatan spiritual dan tindakan iman

    mereka. Tato juga menjadi metode untuk melabuhkan keunikan pribadi masing-

    masing responden, dan lebih sebagai ekspresi mereka tersendiri dibandingkan

    sebagai sekedar mengikuti tren. Ada sebuah peningkatan kepercayaan diri dan

    perasaan bangga akan keunikan pribadinya di dalam diri responden setelah

    menato tubuhnya, sebab mereka merasa telah menyelesaikan sebuah kreativitas

    diri. Saat itulah para responden menggunakan tato sebagai respresentasi spiritual.

    Untuk dapat memahami tato sebagai representasi spiritual tersebut,

    peneliti terlebih dahulu akan memaparkan tentang alasan para responden bertato

    dalam kaitannya dengan tubuh sebagai pameran yang menyampaikan informasi

    mengenai apa yang diyakininya, kemudian memaparkan pandangan para

    responden mengenai tato dalam kaitannya dengan ungkapan representasi spiritual.

  • 95

    4.2 Mengapa Bertato

    Tubuh mengalami berbagai peristiwa hidup yang membuatnya menjadi

    medium untuk pengaktualisasian diri, itulah yang membuat orang dapat terlibat

    dalam modifikasi tubuh non alamiah, namun tentu saja patut mempertimbangkan

    dampaknya bagi kelangsungan kesehatan tubuh. Pertimbangan kesehatan

    mengenai hal itu menjadi hal yang kurang diperhatikan ketika ketertarikan pada

    modifikasi tubuh menjadi sebuah trend di masyarakat. Perkembangannya menjadi

    suatu hal yang penting dalam modernitas zaman dimana semua orang memegang

    kendali terhadap dirinya sendiri.

    Tato yang diguratkan pada kulit menampilkan tubuh sebagai kendaraan

    kesenangan tanpa batas dan kehinaan dan rasa sakit yang tak terpikirkan.1 Para

    responden bertato pun mengakui hal tersebut. Ini juga membenarkan temuan

    Schildkrout yang menyatakan bahwa kulit menjadi kanvas dimana melaluinya

    perbedaan-perbedaan manusia dapat ditulis dan dibaca.2 Kepemilikan atas tubuh

    mereka sendiri menjadi alasan kuat bagi mereka untuk memperkuat pernyataan

    tersebut. Para responden bertato berpendapat bahwa tubuh adalah kanvas yang

    dapat digunakan untuk menorehkan gambar-gambar. Tato-tato tersebut memiliki

    makna dan peran tersendiri bagi pemiliknya, sehingga tubuh dijadikan sebagai

    sebuah display (pameran) untuk menunjukkan jati diri para responden, dan

    menjadi media untuk menyampaikan cerita.

    Landasan untuk menjadikan kulit tubuh sebagai kanvas yang hidup ialah

    kecintaan terhadap seni. Para responden bertato berasumsi bahwa orang-orang

    1Mary Kosut,“Tattoos and Body Modification” dalam International Encyclopedia of the

    Social and Behavioral Sciences2nd EditionVolume 24 (2015), 32. 2Enid Schildkrout, “Inscribing the Body” dalam Annual Review of AnthropologyVolume

    33 (2004), 319.

  • 96

    yang mencintai seni akan dapat menemukan medium yang tepat untuk

    mengungkapkannya, termasuk tubuh, dengan kata lain, mereka akan melihat tato

    sebagai seni. Seluruh responden menerima tato sebagai seni. Tato dipandang

    sebagai sebuah karya seni yang bermakna. Menurut para responden, mereka yang

    menyukai seni pada dasarnya akan menyukai tato, dan oleh karena sebuah karya

    seni memuat makna, maka orang yang melihatnya akan tergerak untuk mendengar

    makna yang tersirat dalam tato tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Hudson

    yang menyatakan bahwa orang yang tubuhnya ditutupi tato benar-benar

    merupakan buku informasi tanpa ia perlu berbicara,3 dan tubuh menjadi media

    menyalurkan pikiran dan kehendak.4 Tato-tato tersebut memiliki makna dan peran

    tersendiri bagi pemiliknya, oleh karena itu tato menjadi cara kreatif dan artistik

    untuk menggambarkan diri mereka sendiri. Setiap tato memiliki gambaran yang

    berbeda dari tiap-tiap pemiliknya, dan mengekspresikan perasaan masing-masing

    pemiliknya

    Para responden bertato berusaha untuk menampilkan identitas dirinya

    melalui tato, yang oleh Atkinson dilihat sebagai sumber konstruksi identitas5 dan

    untuk mencapai kenikmatan seperti kekaguman, dan keterlibatan dalam kelompok

    tertentu.6 Hal ini juga yang mendorong beberapa responden untuk mengalami tato

    pertama kali karena tren di kalangan teman-temannya. Ketertarikan mereka untuk

    3Karen L. Hudson, Living Canvas: Your Total Guide to Tattoos, Piercings, and Body

    Modification (California: Seal Press, 2009), 15. 4Clinton R. Sanders, “Viewing the Body: An Overview, Exploration and Extension”

    dalam Waskul dan Vannini (Penyunting), Body/Embodiment, 279. 5Michael Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis of a Body Art (Toronto Buffalo

    London: University of Toronto Press, 2003), 21. Will Johncock, “Modifying the Modifier: Body

    Modification as Social Incarnation” dalam Journal for the Theory of Social Behaviour Volume 42

    Issue 3 (September 2012), 241. 6Michael Atkinson, “Tattooing and Civilizing Processes: Body Modification as Self-

    control” dalam Canadian Review of Sociology/ Revuecanadienne de sociologie Volume 41 Issue 2

    (May 2004), 133., Deborah Caslav Covino, Amending the Abject Body: Aesthetic Makeovers in

    Medicine and Culture (Albany: State Universityof New York, 2004), 13, 15.

  • 97

    memiliki tato menjadi semakin kuat ketika mereka mengetahui makna dan cerita

    yang terkandung pada tato-tato tersebut. Saat berpikir untuk membuat tato, ia

    perlu memikirkan sebuah desain yang bermakna dan sedapat mungkin memiliki

    kesatuan dengan dirinya. Semakin banyak seseorang memiliki tato, maka akan

    semakin besar kemungkinannya untuk mengenali orang lain yang bertato.

    Beberapa responden justru tertarik untuk memiliki tato karena seseorang

    yang dikaguminya memiliki tato, dan ada pula yang bermaksud untuk melepaskan

    rasa sakit dari pengalaman pahit dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan temuan

    Shilling yang melihat bahwa orang-orang yang terlibat dalam berbagai “proyek

    tubuh” sesungguhnya sedang mengusahakan konstruksi pribadi untuk kepentingan

    kesehatan dan keindahan tubuh.7 Mereka bukan sekedar mencegah penyakit,

    melainkan juga berminat terhadap bagaimana membuat orang-orang merasa

    tenang terkait penampilan tubuhnya terhadap dirinya sendiri dan orang lain.

    Orang-orang sudah memiliki tato sebagai modifikasi tubuh demi

    berbagai alasan yang menyentuh aspek kehidupannya, selain menurut Durkheim,

    bahwa di dalam tubuh orang-orang diarahkan secara insting, untuk melukiskan

    maupun memberi cap pada tubuh mereka apa yang mengingatkan mereka akan

    kehidupan.8 Orang-orang bertato memberikan dirinya ditato untuk menunjukkan

    identitas dirinya, kedudukan sosial, memperindah diri, mengobati diri, dan

    menyimbolkan kenangan dalam peristiwa kehidupan yang telah dialaminya. Tato

    menjadi sejarah itu sendiri yang dapat menceritakan peristiwa di balik

    penciptaannya ataupun keberadaannya di dalam tubuh seseorang. Ada ingatan

    7Chris Shilling, The Body and Social Theory (London: Sage Publications, 2003), 4-5. 8Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free Press,

    1995), 223.

  • 98

    yang tersimpan di dalam sebuah tato yang diguratkan, sehingga tato menjadi

    bagian yang terintegrasi dengan diri seseorang baik secara fisik dan mental.

    4.3 Tato dalam Pandangan Orang-orang Bertato

    Teori yang disajikan dalam penelitian ini menyajikan bahwa tato telah

    dikaitkan dengan perilaku menyimpang, yang mungkin akan telah menghasilkan

    reaksi sosial yang negatif, dan mungkin juga dilihat sebagai bentuk ekspresi diri.

    Hal ini berarti bahwa tato dan bagaimana responden bertato mengekspresikan dan

    membentuk ide tentang diri mereka sendiri adalah penting untuk dipelajari,9

    bukan hanya karena tato menceritakan kisah-kisah kehidupan masyarakat10 dan

    menawarkan sekilas ke dalam jiwa seseorang maknayang melampaui hiasan

    belaka11, tetapi juga karena banyak penelitian tentang pemakai tato telah

    difokuskan pada subkelompok kecil atau pemakai menyimpang.12

    Tato adalah bentuk dari sebuah ekspresi diri dan cara untuk

    mempertunjukkan ketertarikan seseorang, keunikan dirinya, dan keanggotaan bagi

    kelompok subkultur tato. Responden bertato merupakan bagian dari para generasi

    muda, dan menerima tato pada usia rata-rata yang relatif muda. Para generasi

    muda, sesuai dengan temuan Ferreira, banyak menggemari tato dan

    menjadikannya sebagai bagian dari diri mereka. Orang-orang muda zaman

    sekarang merupakan bagian dari budaya dunia di mana rasa diri (sense of self) tak

    9Penelitian Schildkrout, “Inscribing the Body”. 10Penelitian Fernàndez, “Managing Ethnicity”., Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis.,

    Lobell dan Powell, “Ancient Tattoos”., Kononenko, “Middle and Late”., dan Lei, “The Blood-

    stained Text”. 11Penelitian Atkinson, “Tattooing and Civilizing”., dan Arp (Penyunting), Tattoos:

    Philosophy. 12Penelitian Wohlrab, Fink, Kappeler, Brewer, “Perception of Human”., Foltz, “The

    Millenial’s Perception”., Johncock, “Modifying the Modifier”., dan Gelder, Subcultures: Cultural

    Histories.

  • 99

    lepas dari perasaan perwujudan.13 Mereka semakin berkomunikasi melalui tubuh

    mereka, mengekspresikan rasa sosial tentang siapa mereka, atau apa yang mereka

    inginkan, melalui investasi pada penampilan, gerakan, dan indera tubuh. Tubuh

    adalah media ekspresi, pengalaman diri dan pengakuan sosial, sehingga pada

    akhirnyadiri seseorang terungkap melalui tubuh.

    Peneliti, dalam wawancara dengan para responden bertato, menemukan

    beberapa poin yang mencakup pandangan para responden mengenai tato dan

    motivasi mereka untuk memiliki tato, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

    a. Tato adalah seni. Orang-orang yang mengetahui bagaimana

    sebuah tato dikerjakan dengan sepenuh hati dan ketelitian yang mengupayakan

    sebuah desain indah akan memahami betapa tato merupakan sebuah karya seni.

    Aku suka seni, dalam artian bukan ikut-ikutan, yang mengatakan bahwa

    tato itu style. Aku memang melihat itu seni. Ketika lihat orang bertato,

    aku memandangnya sebagai seni (Rf, 27).

    Mengenai makna positif atau negatif yang diterakan pada tato tersebut, kembali

    pada masing-masing pemilik tato untuk memberi makna. Komposisi sketsa dan

    warna-warni pada tato menampilkan sisi keindahan pada bagian tubuh yang

    ditorehkan tato.

    Ketika kamu bertato untuk menyampaikan keindahan tubuhmu, dan

    mengapresiasi sense of art yang ada pada dirimu, maka itulah yang disebut

    tato sebagai seni. Perkara lain, ketika kamu bertato untuk mengintimidasi

    kaum yang selama hidupnya diracuni bayangan tato (para preman), maka

    13Vitor Sérgio Ferreira, “Becoming a Heavily Tattoed Young Body: From a Bodily

    Experience to a Body Project” dalam Youth and Society Volume 46 Issue 3 (2014), 304.

  • 100

    dalam hal ini tato digunakan sebagai alat intimidasi, atau bahkan hasrat

    akan “ke-preman-an” diri (Dn, 23).

    b. Tato merupakan ekspresi diri. Para penggemar tato menjadikan tato

    sebagai kendaraan untuk menampilkan rasa pribadi mereka sendiri. Misalnya saja,

    responden Dn (23) yang merupakan mahasiswa seni, menato tubuhnya karena

    memandang tato sebagai seni dan menampilkannya dalam desainnya sendiri. Pada

    dasarnya aku orang gambar, senang menggambar, badan jadi gambar juga. Para

    responden menyebutkan bahwa mereka ingin menunjukkan bahwa tato bukan

    perwujudan kenakalan generasi muda. Masing-masing responden mengharapkan

    supaya orang lain dapat berinteraksi dengan mereka, untuk melihat dan mengenal

    mereka lebih dekat dengan keingintahuan terhadap tato-tato yang ditampilkan

    pada tubuhnya.

    (Tato) bukan untuk pamer, tapi untuk kunikmati, suatu saat mungkin orang

    lain melihat, menemukan kutipan-kutipan tersebut dan penasaran terhadap

    tato-tato tersebut. Pada akhirnya mereka akan berbicara kepadaku, dan aku

    akan menjelaskannya (Ab, 19).

    c. Tato merupakan wujud pertumbuhan rohani. Responden Ab (19) yang

    memilih tato bermakna theosophic, meyakini bahwa agama yang tertinggi adalah

    ‘kejujuran’ (truth).

    Agama kita ‘truth’. Kita mencari apa saja yang bisa kita cari dalam hal

    spiritual dan kita bagi ke orang-orang sekitar. Poin hidupku itu, mencari.

    Apapun itu aku coba, mungkin besok atau nanti.

  • 101

    Pemikirannya mengenai hal-hal yang spiritual mengantarkannya kepada

    kebaikan yang dapat dibagikan kepada orang-orang di sekitar. Responden Ad (24)

    yang mengguratkan tato God is Good menceritakan bahwa tato tersebut

    merupakan representasi kecintaannya terhadap Tuhan dan kekuatan batinnya.

    Saya bertato, tapi masih memiliki Tuhan. Saya bertato itu bukan karena

    asal-asalan atau karena ikut tren, melainkan karena saya cinta kepada

    Tuhan.

    d. Tato merupakan perlindungan diri. Responden Ab (19) yang

    memiliki 2 tato simbol perlindungan, yakni khamsa dan seal of Solomon,

    mengakui telah mempersiapkan dirinya sebelum menerima tato tersebut

    diaplikasikan ke dalam kulitnya. Aku sendiri benar-benar memilih tempat tato

    yang bisa membuat tato itu dengan sakral. Responden melakukan semacam

    meditasi sebagai niatan untuk membuat kedua simbol tersebut memiliki kekuatan

    melindungi. Responden meyakini bahwa simbol-simbol tersebut akan berfungsi

    jika diniati dan diyakini, sehingga melakukannya pun harus secara sakral.

    e. Tato untuk mencapai keberuntungan. Beberapa tato yang

    memiliki makna keberuntungan memang menjadi pilihan untuk mendatangkan

    keberuntungan dalam kehidupan para responden. Misalnya, ikan koi yang dimiliki

    oleh responden Nr (26). Karakter mendatangkan keberuntungan membuat

    responden tersebut untuk menggambarkannya secara permanen di tubuhnya.

    Memiliki tato berkarakter seperti itu, bagi orang-orang bertato, dianggap sebagai

  • 102

    perwakilan dari upaya bahwa dirinya sedang mengejar kebijaksanaan dan

    kemauan untuk bekerja dengan berbagai kesulitan saat mendapatkannya. Mereka

    menyadari bahwa kalah dalam pertempuran kehidupan adalah sebuah

    kemungkinan yang harus diyakini. Ini bisa menjadi pengingat dalam membuat

    keputusan yang bijaksana dan berjuang untuk mencapai sebuah tujuan.

    f. Tato merupakan ekspresi cinta. Orang-orang terkasih yang

    dicintai dalam hidup dapat menjadi alasan dan tujuan dedikasi seseorang memiliki

    tato. Responden Rf (27) yang memiliki lingkaran (pohon) keluarga sebagai tato di

    lengannya, menceritakan kebanggaan dan rasa syukurnya atas keluarga yang

    dimilikinya sehingga menuangkannya dalam ide gambar-gambar tato yang

    dimilikinya. Tato tersebut bersuara lebih keras dibandingkan cinta yang dimiliki

    di dalam hatinya. Tato tersebut menyuarakan penghormatan, penghargaan dan

    kesetiaan terhadap keluarganya.

    g. Tato sebagai kenangan atau peringatan. Beberapa tato digunakan

    untuk mengingat pengalaman atau peristiwa buruk yang dilewatinya. Responden

    Ab (19) yang memiliki latar belakang keluarga yang kurang harmonis

    memutuskan untuk memiliki tato pertama kali demi menunjukkan ekspresi dirinya

    di tengah-tengah situasi keluarga yang kurang harmonis tersebut. Tato tersebut

    mencakup kapan dan bagaimana peristiwa yang dikenangnya tersebut terjadi.

    Ketika responden melihat kembali pada tato tersebut, ia menemukan dirinya yang

    tetap utuh tanpa intervensi dari pengalaman keluarganya yang kurang harmonis.

  • 103

    Ada perjuangan untuk tetap menjadi dirinya sendiri yang diabadikan dalam tato

    tersebut.

    h. Tato sebagai pengingat. Apa yang hendak orang katakan terhadap

    dirinya sendiri, dapat diungkapkan dalam sebuah tato. Misalnya, responden Rm

    (21) yang memiliki tato Rosario (kalung salib), mengakui itu sebagai pengingat

    dan sesuatu yang menjadi pegangan dalam ia menjalani hidupnya. Tato dengan

    karakter religius tersebut dipakai untuk memvisualkan ketaatannya yang

    mengingatkannya agar berjuang untuk hidup kudus dalam berbagai situasi dan

    perkara sampai akhir hayatnya, untuk memperoleh keselamatan kekal.

    i. Tato adalah cerita. Persahabatan, hubungan percintaan dan

    kekeluargaan, perjuangan dan pengalaman-pengalaman hidup adalah cerita dan

    perayaan. Setiap tato memiliki ceritanya sendiri, apa, mengapa dan kapan dibuat.

    Bagi para responden bertato itu, tubuh mereka adalah ibarat buku yang terbuka, di

    dalam mana setiap orang dapat membacanya. Ketika orang lain yang melihat

    bertanya atau penasaran akan sebuah tato, maka seseorang itu sesungguhnya

    sedang meminta responden bertato untuk menceritakan pengalaman hidupnya.

    j. Tato sebagai lambang harapan. Apa yang menjadi harapan dan

    cita-cita dapat menjadi inspirasi seseorang untuk membuat tato, termasuk

    imajinasi dari masa kecil. Responden Nc (19) membentuk gambar untuk tatonya

    dari imajinasi masa kecilnya, yakni terdiri dari kepala rusa dan sebuah penangkap

    mimpi. Rusa, secara umum, merupakan simbol langsung yang terkenal akan kasih

  • 104

    karunia dan keindahan alam, dan melambangkan kelahiran kembali, kebajikan,

    kebaikan, perdamaian, cinta, dan keluarga. Responden mengikat harapannya

    dengan sebuah tato penangkap mimpi dengan keyakinan kelak dapat menjadi

    pribadi yang selalu berbagi kebaikan, terkhusus kepada anak-anak.

    k. Tato sebagai sugesti terhadap diri sendiri. Simbol-simbol yang

    diyakini membawa pengaruh dan menuntun kepada jalan dalam hidup, oleh para

    responden dilekatkan pada tubuhnya untuk menyugestikan dirinya sendiri

    sepanjang hidupnya.

    Swastika kan pada dasarnya berarti peace (damai) dan harmony

    (keselarasan). Itu makanya saya tempatkan di dekat hati saya.

    Digambarkan bersama dengan ‘mandala lotus’ juga, jadi secara spiritual

    saya percaya sebagai mahasiswa seni bahwa gambar itu hidup. Saya

    ingin cakra hati saya setidaknya disimbolkan dengan sesuatu supaya saya

    bisa lebih menerima hidup itu sendiri (Ph, 25).

    Bagaimana para responden bertato memahami tato bagi diri mereka

    sendiri, oleh peneliti dilihat sebagai ungkapan yang mengandung makna spiritual.

    Temuan ini berdasarkan pada pemahaman spiritual dari perspektif psikologi dan

    konseling, agama, seni, dan sosiologi, yang telah dipaparkan di dalam Bab Dua.

    Setiap orang, menurut Cameron, dapat beranggapan sendiri tentang apakah

    kreativitas mengarahkan pada spiritual atau sebaliknya,14 termasuk para

    responden. Kreativitas yang dituangkan di dalam tato-tato mereka adalah sebuah

    14Julia Cameron, The Artist’s Way: A Spiritual Path to Higher Creativity (New York:

    Jeremy P. Tarcher/Putnam, 2002), 44-45.

  • 105

    pengalaman belajar untuk mengenali, memelihara, dan melindungi seniman di

    dalam batin mereka.

    Para responden rata-rata menghubungkan aspek tertentu dari diri mereka

    dengan tato yang mereka miliki. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan “inilah

    aku”, ketika mereka berbicara mengenai tato mereka. “Seni itu indah. Don’t judge

    a book from the cover (jangan menilai seseorang dari penampilannya”(Ad, 24).

    “Walaupun kita bertato, ini seni bukan lambang premanisme lagi” (Nc, 19).

    “Inibadansaya, pilihansaya” (Ph, 25).“Tato itu kenikmatan pribadi” (Dn, 23). Ada

    kepuasan tersendiri di dalam diri para responden akan tato yang dimilikinya.

    Apakah awalnya hanya keputusan emosional ataupun dengan kesadaran penuh,

    pada akhirnya setiap tato menjadi memiliki makna bagi pemiliknya.

    Oleh karena itu, maka desain tato yang mereka pilih pun diupayakan

    dapat mewujudkan kepribadian mereka, sebagaimana yang ditemukan juga oleh

    Mun, Janigo, dan Johnson dalam penelitian mereka mengenai tato dan

    hubungannya dengan diri.15 Simbolisasi di dalam desain sebuah tato menjadi

    salah satu cara berkomunikasi yang memainkan peran signifikan di dalam

    kehidupan sehari-hari para responden bertato. Simbol-simbol tersebut memiliki

    makna yang dalam, menurut kepercayaan ataupun keyakinan dan gaya hidup

    pribadi mereka. Demi dapat memahami tato sebagai ‘pakaian’ dalam presentasi

    diri seorang bertato, maka orang lain perlu terlibat dalam komunikasi dengan

    seseorang tersebut.

    Tato dapat menjadikan para responden bertato sebagai inspirasi bagi

    orang lain, terutama bagi yang sedang menginginkan untuk menato tubuhnya

    15Jung Mee Mun, Kristy A. Janigo, dan Kim K.P. Johnson, “Tattoo and The Self” dalam

    Clothing and Textiles Research Journal Volume 30 Issue 2 (2012), 141-142.

  • 106

    namun masih berada dalam keraguan untuk melakukannya. “Orang bertato itu

    suka melihat orang bertato juga, karena dia merasa penasaran dan terdorong untuk

    bertanya apakah ada filosofinya atau sekedar iseng”(Ad, 24). Itu juga menjadi

    alasan sebagian dari para responden untuk menato tubuhnya, yakni ketika mereka

    melihat orang-orang di sekitar mereka atau yang menjadi idola mereka memiliki

    tato.

    “Tato teman-teman punya statement (pernyataan) yang ingin dikenang

    secara abadi. Apapun itu, entah dia ingin mengenang momen ataupun

    mengenang sesuatu yang melambangkan dirinya, sesuatu yang dia suka,

    sesuatu yang berharga buat dia” (Ph, 25).

    Salah seorang responden, Nc (19), mengakui bahwa tato menggambarkan

    identitas keluarganya juga yang memang sudah terbiasa hidup dengan modifikasi

    tubuh seperti skarifikasi, tato, dan tindik. Tidak heran jika responden Nc menjadi

    responden yang menato tubuhnya pada usia yang lebih muda dibandingkan

    dengan responden lainnya. Responden Nc menghubungkan kebiasaan di dalam

    keluarga dengan tato-tato di tubuhnya, bahwa itu mewakili kepribadian

    keluarganya yang telah menerima tato secara terbuka.

    Tindakan menato tubuh mengakibatkan perubahan dalam bagaimana para

    responden bertato melihat diri mereka sendiri dan menyebabkan beberapa

    perubahan perilaku. Sebagian dari para responden menyebutkan bahwa mereka

    mengalami perubahan terhadap persespsi diri mereka, dan mendapatkan

    kepercayaan diri dan kekuatan. “Bagi saya, memiliki tato itu membuat saya

    menjadi percaya diri, saya seperti memiliki kekuatan” (Ad, 24).

  • 107

    Para responden, sebagaimana juga dikatakan oleh Goffman,16 berusaha

    untuk memaksimalkan atau meminimalkan visibilitas informasi, demi

    menampilkan diri dengan cara yang diinginkan sesuai dengan konteks. Beberapa

    responden mengenakan busana tertentu untuk menyorot tato mereka, namun ada

    yang memang sengaja tidak memperlihatkannya secara umum dengan anggapan

    bahwa tatonya adalah untuk dinikmati oleh dirinya sendiri.

    4.4 Tato sebagai Representasi Spiritual

    Mengacu pada istilah spiritual berasal dari kata spiritus (Latin), yang

    berarti nafas kehidupan, yang memiliki makna luas dan terpadu dengan

    kesejahteraan hidup manusia17, peneliti menemukan adanya representasi spiritual

    di dalam tato yang dimiliki oleh para responden tersebut. Berangkat dari

    bagaimana para responden memandang tato sebagai sebuah seni, dan desain-

    desainnya melibatkan ide-ide kreatif mereka, peneliti melihat bahwa tubuh

    mereka dijadikan sebuah subjek pengalaman.18 Seni telah menjadi kendaraan bagi

    para responden untuk mengungkapkan emosi mereka yang dalam.19 Sejarah

    perjalanan tato yang panjang juga menunjukkan bagaimana tato menjadi produk

    dari seni rupa, baik dalam bentuk tato di kulit maupun lukisan-lukisan pada

    barang-barang tembikar. Seni yang terwujud dalam tato-tato tersebut juga menjadi

    ungkapan kecintaan para responden terhadap tubuhnya.

    16Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of

    Edinburgh, 1956), 3, 8-9. 17Geri Miller, Incorporating Spirituality in Counseling and Psychotherapy: Theory and

    Technique (New Jersey: John Wiley and Sons, Inc., 2003), 23. 18Suzanne Lovell, “Loving Body is Embracing Spirit: Coming Home Stories” dalam

    Mimi Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art Therapy: Living the Connection

    (London: Jessica Kingsley Publishers, 2001), 183. 19Kelley Raab Mayo, Creativity, Spirituality, and Mental Health: Exploring

    Connections (Farnham: Ashgate, 2009), 33.

  • 108

    Tubuh, menurut Lovell, adalah spirit yang terlihat, sehingga mengasihi

    tubuh berarti memeluk (mencakup) spirit. Setiap orang adalah bodyspirit.

    Kreativitas dan imajinasi menghadirkan rumah bagi bodyspirit,20 sehingga para

    responden dapat mengalami cerita di dalam dirinya yang menyediakan kebijakan

    visioner bagi perilakunya. Seni memperkenalkan pengalaman hidup para

    responden terhadap orang lain yang “membaca” tubuh mereka. Setiap orang

    adalah “kisah yang hidup”,menurut Lovell, dan kisah dapat dituangkan di dalam

    gambar-gambar.21 Upaya untuk mengungkapkan kisah yang hidup inilah yang

    telah sedang dilakukan oleh para responden terhadap orang lain melalui tato-tato

    yang melekat di dalam tubuhnya.

    Tato menjadi bahasa dari dunia yang tidak terlihat, yang dialami dan

    dilayakkan secara langsung oleh responden sebagai bodyspirit.22 Imajinasi kreatif

    dari para responden merupakan prinsip spiritual itu sendiri yang mencari untuk

    mengenal melalui keterlibatan di dalam segala bentuk. Itu sebabnya, seni dapat

    menjadi terapi yang dapat menyokong bodyspirit, yang dapat menjadi jalan

    langsung dan penting untuk mengenal seorang terhadap lainnya.

    Hal serupa dipraktekkan oleh para nenek moyang terdahulu yang

    menciptakan tato untuk menghadirkan keselarasan antara manusia dengan alam

    dan para roh di bumi. Pemahaman ini menegaskan bahwa sifat asli seni adalah

    untuk mendamaikan, memuat, dan mengekspresikan pengalaman otentik

    bodyspirit pararesponden akan keterlibatan di dalam sesuatu yang “lebih dari

    20Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art,, 183, 188. 21Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art, 182-183. 22Farrelly-Hansen (Penyunting), Spirituality and Art, 184.

  • 109

    dunia manusia”, termasuk pencarian bagi yang transenden.23 Ketika para

    responden bertato hidup sepenuhnya di dalam seni, kreativitas, dan imajinasi yang

    lengkap, maka mereka pun siap untuk menawarkan kepedulian dan cinta terhadap

    dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Hal ini terlihat dalam bagaimana para

    responden menggunakan tato-tato yang bersifat motivatif, dan persuasif untuk

    menawarkan kepedulian terhadap sesama, respoden Ab (19) misalnya, yang

    senang menolong orang lain yang kesulitan, dan responden Nc (19) yang senang

    menolong anak-anak yatim piatu.

    Raab Mayo mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa

    ekspresi dari kreativitas dapat memainkan peran pemulihan dalam menolong

    seseorang untuk mengungkapkan diri yang lebih otentik. Kreativitas

    memungkinkan dinamika alam bawah sadar muncul ke permukaan, memudahkan

    pengalaman transenden, yang kemudian menjadi jalan bagi ekspresi diri yang

    dalam.24 Keterhubungan di antara pencarian untuk yang suci dan pencarian untuk

    diri di dalam kehidupan para responden bertato mendorong mereka untuk

    melakukan tindakan kasih dalam menolong sesama yang membutuhkan.

    Kreativitas adalah pengalaman spiritual. Ketika seorang responden

    bertato belajar untuk mengenali, memelihara, dan melindungi seniman di dalam

    batinnya, maka ia akan dapat bergerak melampaui rasa sakit dan penyempitan

    daya cipta, sehingga dapat diasumsikan bahwa para responden yang telah

    mengambil keputusan untuk menato tubuhnya adalah orang-orang yang bermental

    yang sehat dan kuat karena mau membuka diri untuk berdaya cipta. Tato

    merupakan perwujudan dari pengalaman spiritual mereka.

    23Raab Mayo, Creativity, Spirituality, 5. Slife dan Richards, “How Separable”, 197,

    205. 24Raab Mayo, Creativity, Spirituality, 5., Cameron, The Artist’s Way, 44-45.

  • 110

    Sejarah terdahulu juga telah menampilkan peran spiritual dalam

    menunjukkan dimensi yang sangat diperlukan terhadap apa yang dimaksud

    dengan “menjadi manusia”. Aktor sosial, di dalam roh, menemukan ambisi,

    semangat, yang semuanya menggerakkan dan mengerahkan diri untuk melampaui

    diri itu sendiri25 di dalam kreativitas dan ketaatan untuk mencapai keselarasan

    dengan alam dan roh-roh para nenek moyang. Pertatoan digunakan sebagai simbol

    kekuatan dan identitas, serta penghormatan terhadap alam dan kecintaan terhadap

    sesama manusia. Tidak heran jika dalam sebagian kebudayaan masyarakat

    tersebut, tradisi menato menjadi sebuah hal yang sakral dan dilibatkan dalam

    sebuah proses inisiasi. Itulah sebabnya, setiap orang perlu melihat tubuh sebagai

    objek pertama individual dan paling alami,26 dan dengan demikian akan

    mengantarkan pada pemahaman bagaimana orang-orang menggunakan tubuh

    mereka dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Para responden,

    sesuai dengan konsep spiritual menurut Giordan,27 telah menemukan arti bagi

    hidupnya sendiri melalui tato-tato bermakna spiritual yang mereka miliki.

    Hubungan antara spiritual dan kreativitas yang bertujuan untuk

    mendamaikan dan mencapai keselarasan tersebut sayangnya tidak ditemukan di

    dalam interaksi sosial para responden dengan masyarakat, dimana di dalamnya

    masih ditemukan orang-orang yang belum menerima tato secara terbuka. Konflik

    tersebut memberi batasan terhadap masing-masing reponden bertato untuk

    25Kieran Flanagan dan Peter C. Jupp (Penyunting), A Sociology of Spirituality

    (Farnham: Ashgate, 2007), 1. Gerard John Stoyles, Bonnie Stanford, Peter Caputi, dkk., “A

    Measure of Spiritual Sensitivity for Children” dalam International Journal of Children’s

    Spirituality Volume 17 Issue 3 (2012), 205. Pengalaman spiritual melampaui apa yang dapat

    dipahami atau dikonsep oleh pikiran manusia. Weinrach, Dryden, dkk., “Post-September”, 434. 26Chris Shilling, “Afterword: Body Work and the Sociological Tradition” dalam Julia

    Twigg, Carol Wolkowitz, dkk. (Penyunting), Body Work in Health and Social Care: Critical

    Themes, New Agendas (United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2011), 164. 27Flanagan dan Jupp (Penyunting), A Sociology of, 170.

  • 111

    mengungkapkan otentisitas dirinya dan membangun makna kehidupannya sendiri,

    padahal jauh sebelum peradaban manusia modern, pertatoan telah menjadi lokasi

    yang strategis untuk memberi cap pada tubuh. Berkaitan dengan keberadaan para

    responden di tempat-tempat ibadah juga, orang-orang yang tidak bertato tidak

    berhak untuk mengatakan bahwa ibadah para responden tidak layak ataupun sah

    dikarenakan tubuh yang bertato. Masing-masing responden mengakui akan

    adanya Kuasa yang lebih tinggi di luar kekuatan manusia. Setiap orang terhubung

    dengan alam semesta dan religiositas, yang melibatkan sebuah pengakuan iman,

    institusi, dan berbagai ritual yang terhubung dengan agama dunia.

    Ketika para responden menceritakan tentang tato mereka, sesungguhnya

    mereka sedang menceritakan apa yang telah mereka lalui, yakni sebuah

    pengalaman hidup, baik pengalaman kegembiraan maupun pengalaman yang

    menyakitkan dan menyedihkan. Tato- tato mereka menunjukkan sebuah hasil dari

    penanggulangan ataupun keberhasilan mereka mengatasi pengalaman tersebut.

    Temuan ini mendukung pendapat Jankowski, yang mengatakan bahwa spiritual

    ditemukan di dalam pengalaman kegembiraan atau di dalam kemampuan untuk

    mengatasi dan mengganti kondisi selama masa-masa tantangan dan sukar.28

    Pengalaman kegembiraan atau pengalaman bahagia setelah mengatasi suatu masa

    kesukaran dan tantangan diungkapkan di dalam sebuah tato yang kemudian

    menjadi kekuatan dan motivasi terhadap diri mereka sendiri untuk mencapai

    pemulihan dan perubahan hidup.

    Para responden bertato telah dapat memberi kenyamanan terhadap diri

    mereka sendiri selama masa-masa penuh tekanan melalui aktivitas yang sudah

    28Peter J. Jankowski, “Postmodern Spirituality: Implications for Promoting Change”

    dalam Counseling and Values Volume 47 (2002), 70.

  • 112

    lazim atau yang menenangkan, sebuah selingan dari tekanan situasi hidup tertentu,

    yakni dengan menato tubuh.Menato tubuh dapat dilihat sebagai bentuk ritual yang

    dilakukan oleh para responden sebagai pencapaian akan pemulihan hidup mereka

    secara fisik dan psikis, berdasarkan konsep spiritual yang diutarakan oleh Miller.29

    Sebagian dari para responden menyalurkan rasa sakit yang dialaminya lewat

    menato tubuhnya, kemudian menemukan perubahan makna dari semula sebagai

    ungkapan rasa sakit ketika mereka mencapai pemulihan dari masa sukar tersebut,

    sehingga tato-tato yang berikutnya mencakup desain yang mampu mendorong

    orang lain untuk terinspirasi.

    Para responden, mengacu pada pendapat Jewell,30 menemukan makna

    berkesinambungan, tujuan, dan pemenuhan bagi hidup mereka di dalam

    kebutuhan-kebutuhan untuk menerima dan memberi cinta, kebutuhan untuk

    menyokong harapan, kebutuhan untuk sesuatu atau seseorang yang dapat

    dipercaya (semacam iman ataupun kepercayaan), kebutuhan untuk kreativitas

    (untuk mengembangkan keahlian dan talenta), dan kebutuhan untuk perdamaian.

    Hal ini pulalah yang memberi kekuatan bagi para responden untuk dapat

    mengatasi masa-masa sulitnya, penderitaan masa kecilnya atas keluarga yang

    tidak harmonis misalnya, dan untuk mengembangkan cinta terhadap diri dan

    sesama dalam desain-desain kreatif tato.

    Setiap orang adalah makhluk sosial dan spiritual. Spiritual, dapat

    dikatakan sebagai kapasitas dan kecenderungan yang dimiliki oleh manusia dan

    bersifat unik bagi setiap orang. Kapasitas seseorang untuk merasakan orang lain,

    peristiwa-peristiwa hidup, yang secara fisik tidak berwujud, terutama

    29Miller, Incorporating Spirituality, 23. 30Albert Jewell (Penyunting), Ageing, Spirituality and Well-being (London: Jessica

    Kingsley Publishers, 2004), 19.

  • 113

    keberadaannya sendiri, berada pada ada atau tidaknya ketajaman atau keterbukaan

    sensitivitas spiritual seseorang. Kapasitas tersebut menggerakkan seseorang

    menuju pengetahuan, cinta, arti, kedamaian, harapan, hal transenden,

    keterhubungan, belas kasih, kebaikan, dan keutuhan dalam kehidupannya.31

    Dengan demikian, jika setiap aktor sosial memiliki kapasitas spiritual yang tajam

    dan sensitif, maka ia akan dapat saling melihat keunikan dunia, orang lain dan

    dirinya sendiri dan merasakannya. Kapasitas spiritual tersebutlah yang akan

    mengantarkan setiap orang kepada penerimaan terhadap orang lain, seperti orang-

    orang yang tidak bertato terhadap orang-orang bertato, sebab para responden

    bertato itu tidak dapat hidup tanpa orang lain.

    4.5 Kesimpulan

    Tato memang telah diterima secara luas di kalangan masyarakat, namun

    di beberapa kalangan seperti generasi tua dan dunia profesi atau pekerjaan, tato

    masih tidak disukai atau dianggap tidak profesional. Mereka menganggap

    responden bertato sebagai pribadi yang kurang menarik, kurang pintar, dan kurang

    dapat dipercaya dibandingkan orang-orang yang tidak menampakkan atau

    memiliki tato pada tubuhnya. Para generasi muda, baik yang bertato maupun tidak

    bertato, cenderung melihat tato sebagai hal biasa dan hal menarik.Tidak dapat

    dipungkiri bahwa tato sangat berkembang di kalangan generasi muda. Ada banyak

    generasi muda yang mengekspresikan diri dalam tato.

    Orang lain mungkin melihat sebuah tindakan yang melukai tubuh sendiri

    di dalam diri para responden, akan tetapi bagi para responden, menato merupakan

    31Peter J. Jankowski dan Marsha Vaughn, “Differentiation of Self and Spirituality:

    Empirical Explorations” dalam Counseling and Values Volume 53 Issue 2 (2009), 82.

  • 114

    sebuah rasa sakit yang dekoratif. Pada umumnya, seseorang tidak akan

    menceritakan pengalaman rasa sakitnya ketika ia melukai tubuhnya sendiri,

    namun bagi para responden, mereka justru ingin menceritakannya kepada orang

    lain. Para responden bertato ingin menceritakan rasa sakit yang mereka rasakan

    baik sebelum maupun sesudah keputusan untuk menato tubuhnya, rasa takut

    mereka, dan pengalaman hidup mereka yang terwakilkan di dalam sebuah gambar

    tato. Demikianlah orang-orang bertato menjadikan tato sebagai representasi

    spiritual mereka.