BAB IV KEDUDUKAN SANKSI DALAM HUKUM€¦ · untuk hukum. 4. Arti “ subjectief recht ”...
Transcript of BAB IV KEDUDUKAN SANKSI DALAM HUKUM€¦ · untuk hukum. 4. Arti “ subjectief recht ”...
77
BAB IV
KEDUDUKAN SANKSI DALAM HUKUM
A. Hak dan Hukum
Hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan
kepada individu dalam melaksanakannya.1 Hak pada
dasarnya sesuatu yang melekat dalam diri setia
manusia dan keberadaannya melekat pada eksistensi
manusia itu sendiri. Hukum mengatur hubungan
hukum, hubungan hukum itu terdiri dari ikatan-ikatan
antara individu dan masyarakat dan antara individu itu
sendiri. Ikatan-ikatan itu tercermin pada hak dan
kewajiban.2
Dalam bahasa Eropa Kontinental, hak dan hukum
dinyatakan dalam istilah yang sama, yaitu ius dalam
bahasa Latin, droit dalam bahasa Perancis, Recht dalam
bahasa jerman, dan recht dalam bahasa Belanda.3
Dalam literatur berbahasa belanda guna membedakan
antara hak dan hukum digunakan istilah subjectief
1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah
Pengantar, Op.Cit., Hlm. 42. 2 Ibid,. Hlm. 40. 3 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 143.
recht untuk hak dan objectief recht untuk hukum. 4 Arti
“subjectief recht” sesungguhnya adalah hak dan
kewajiban. Akan tetapi pada umumnya yang dimaksud
dengan “subjectief recht” adalah hak saja tidak
termasuk kewajiban.5
Hak pada dasarnya harus dilindungi oleh hukum,
pandangan tersebut dipelopori oleh pemikir-pemikir
hukum alam. Akan tetapi pendapat bahwa hukum
alamlah yang mengakui, menjaga dan mengawal hak-
hak alamiah manusia tentunya sulit diterima oleh
paham-paham hukum yang bersifat positivisme.6 Hart
berpendapat bahwa jika misalnya ada yang namanya
“hak-hak moral” (moral rights), maka hak-hak moral
tersebut merupakan hak-hak alamiah (natural rights).
Dan jika manusia ingin tetap eksis/survive harus ada
hukum yang berisikan konten minimal (minimum
content).7
Pandangan positivistik berpendapat bahwa hak
dibentuk atau diciptakan oleh hukum. Sehingga
pengakuan akan hak seluruhnya bergantung pada
apakah peraturan perundang-undangan mengaturnya
4 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 143. 5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah
Pengantar, Op.Cit., Hlm. 42. Dikutip dari Knottenbelt, Inlending in het Nederlandse recht, Hlm. 47, Algra, Rechtsingang, Hlm. 133, van
Apeldoorn, Inlending tot de studie van het Nederlandserecht, Hlm.
33. 6 Munir Fuadi, Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum,
Kencana PrenandaMedia Group, Jakarta, 2013, Hlm. 43. 7 Ibid., Hlm. 43
79
atau tidak. Maka dari itu hak hukum hanya dapat
diidentifikasi melalui peraturan perundang-undangan
di luar itu tidak ada hak atau hayalan belaka. Hak yang
tidak dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan hanya imajiner dan tidak berarti apa-apa
selain hayalan. Kalau seseorang mengatakan bahwa ia
memiliki hak untuk melakukan atau memperoleh
sesuatu tetapi ia tidak bisa menuntutnya maka dari itu
hak tersebut hanya sebatas hayalannya saja.
Hak harus dirumuskan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, di luar peraturan perundang-
undangan tidak ada hak yang benar-benar hak,
sebagaimana dikemukakan oleh Jeremy Bentham “Dari
hukum yang nyata timbul hak yang nyata.”8. Mengikuti
pemahaman seperti ini sehingga jelaslah penganut
positivisme menganggap bahwa hak adalah bentukan
hukum.
Ilustrasi hak dan hukum dapat digambarkan
dengan mata uang logam dimana hak berada pada satu
sisi dan hukum berasa di sisi yang lain, pertanyaannya
adalah apa yang berada pada sisi kepala dan apa yang
berada di sisi ekor.9
Pemahaman yang mengatakan bahwa hak adalah
bentukan hukum jika diikuti maka jelaslah hak baru
ada atau lahir setelah hukum mengaturnya.
8 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 142. 9 Ibid., Hlm. 143.
Pemahaman seperti ini adalah keliru untuk diluruskan.
Sikap hormati itu memuncak dalam kerelaan hati
untuk melayani sesama manusia, bukan karena ada
suatu hak padanya, tetapi karena timbullah rasa
kewajiban dalam hati sendiri.10
Keberadaan hak adalah perwujudan dari
eksistensi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan,
Dalam hubungan dengan hukum alam, dalam ilmu
hukum dikenal dua konsep yaitu hukum alam (natural
law) dan konsep hak-hak alamiah (natural rights) yang
merupakan konsep hak asasi manusia. Dalam hal ini
hukum alam sebagai induknya melahirkan hah-hak
alamiah sebagai anaknya. Karena itu, tanpa hukum
alam tidak mungkin ada hak-hak alamiah, karena hak
alamiah manusia harus ada yang mengakui, menjaga,
dan mengawalnya. Jadi, yang mengakui, menjaga, dan
mengawal hak-hak alamiah tersebut adalah hukum
alam, meskipun kaidah-kaidah hukum alam itu
terkadang dapat muncul ke permukaan dalam bentuk
hukum positif.11
Hak adalah eksistensi manusia itu sendiri, maka
dari itu hak yang menetukan lahirnya hukum, bukan
hukum yang melahirkan hak, karena adanya hak maka
hukum dituntut untuk melindunginya, Hukum adalah
turunan dari hak. Kembali pada mata uang koin maka
10 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 62 11 Munir Fuadi, Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum,
Op.Cit., Hlm. 42-43
81
hak yang berada pada sisi kepala dan hukum yang
berada pada sisi ekor.
B. Sifat Hukum
1. Kepastian Hukum
Ilmu hukum adalah ilmu yang bersifat preskriptif.
Ilmu yang bersifat preskriptif adalah ilmu yang
menganjurkan bukan mengemukakan apa adanya.12
Ilmu hukum memberikan anjuran atau mengharuskan
dilakukannya hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai
atau norma-norma tertentu.13
Ilmu yang bersifat preskriptif disebut juga ilmu
normatif.14 Karena ilmu ini sarat dengan nilai sehingga
ada juga yang menyebutnya ilmu yang bersifat
prekriptif ini sebagai bagian dari kajian etika.15 Ilmu ini
adalah ilmu yang berhubungan dengan pengambilan
keputusan. Dalam hal ini pengambil keputusan,
apakah ia seorang akademis yang sedang membuat
karya akademis berupa tesis, perancang aturan, hakim,
lawyer, jaksa, petinggi agama, para tetua dalam hidup
bermasyarakat. Mereka berpegang pada standar atau
norma tertentu, apakah putusan yang ia ambil sudah
sesuai dengan standar tertentu atau tidak. Jika telah
12 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hal. 6. 13 Ibid., Hal. 5. 14 Ibid., Hal. 6. 15 Ibid.
memenuhi standar tersebut maka putusannya benar.
Sebaliknya dalam hal putusan yang diambil tidak
memenuhi unsur yang terdapat dalam standar
tersebut, putasan itu tidak benar. Putusan tersebut
berupa anjuran atau sesuatu yang seyogyanya
dilakukan.16
Sifat preskriptif dari putusan yang dihasilkan tidak
digantungkan sepenuhnya pada penganbil peputusan
akan tepapi pada pada apakan putusan tersebut sudah
memenuhi standar normanya, dengan dimikian sifat
mengharuskan bukan karena orannya tetapi pada
kebenaran putusan tersebut yaitu kebenaran yang
sifatnya koherensi.
Robert C. Salomon mengemukakan kebenaran
koherensi sebagai: “a statement or a belief is true if and
only if ‘it cohers’ or ties with other statemen or belief”
kebenarah koherensi untuk masalah-masalah dalam
ruang lingkup moral atau yang mengandung nilai-nilai,
bukan untuk sesutu yang sifatnya empiris kasat mata
dan dapat diindra.17 Seperti yang dilakuakn oleh
Aristoteles yang berteori tanpa melakukan
pengumpulan data mentah dan mengolah data
tersebut.18
Sebagai suatu ilmu, ilmu hukum masuk ilmu
hukum masuk dalam ilmu yang besifat preskriptif,
16 Ibid. 17 Ibid., Hal. 7. 18 Ibid., Hal. 2.
83
artinya membawa atau sarat nilai. Ilmu hukum bersifat
menganjurkan tidak sekedar mengemukakan apa
adanya. Ilmu hukum mempelajari tindakan atau
perbuatan (act) yang berkaitan dengan norma dan
prinsip hukum.19
Sifat hukum adalah normatif. Demikian juga kata
normatif adalah unsur yang pasti melekat pada hukum
dalam setiap bentuk dan perwujudannya. Dapat
dikatakan bahwa normatif adalah pengertian hukum.
Gagasan hukum sebagai normatif karena hukum
berbicara pada tataran keharusan, yang mana harus
dibedakan dengan apa yang terjadi pada faktanya.
Sebagaimana pemahaman yang digagas oleh Imanuel
Kant yang dikutip dalam Theo Huijbers sebagai
berikut:
Gagasan fundamental yang berasal dari Kant, yakni tentang perbedaan antara apa yang ada (fakta das Sein)
dan apa yang seharusnya (norma-das Sollen). Kant
menjelaskan bahwa sesuatu yang ada tidak dapat
dipersamakan dengan apa yang seharusnya, sehingga
apa yang ada tidak bisa dipandang sebagai bersifat
normatif. Kalau umpamanya orang-orang biasanya
saling menghormati (fakta), itu tidak berarti memang harus begitu. Seandainya saya mau menerima
konsekuensi ini sebagai benar, saya harus menerima
juga bahwa orang harus saling membunuh, bila mereka
sudah biasa saling membunuh. Dalam hal ini
umumnya tidak diterima. Pendek kata: apa yang ada lain daripada apa yang seharusnya; fakta adalah fakta,
bukan norma.20
19 Ibid., Hal. 9-10. 20 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 45.
Fakta bukan norma hal ini juga berlaku terhadap
peraturan sebagai produk kekuasaan. Bahwa peraturan
tertulis sebagai produk kekuasaan yang telah melewati
proses politik yang rumit dan sarat akan kepentingan
pada akhirnya mengatur hal-hal yang bertentangan
dengan hukum, namun tetap dapat dipaksakan dengan
kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa peraturan juga
fakta, belum tentu memberikan keharusan. Maka dari
itu sifat kepastian hukum dalam artian positivisme
tidak dapat dipertahankan secara mutlak sebagaimana
dikatakan oleh Sudikno bahwa:
Oleh karena itu kita boleh berkata bahwa kepastian
yang semu dulu, yang didasarkan atas naskah yang
selalu sedikit banyak kebetulan, digantikan oleh
kepastian dalam tingkat yang lebih tinggi, kepastian yang ditimbulkan dengan mengusahakan kepatutan.
Kepastian yang dulu diberikan oleh kata-kata telah
digantikan oleh kepastian yang diberikan oleh
keadilan.21
Sifat hukum bukan kekuasaan. Harus
diselesaikan dulu bahwa hukum dan kekuasaan atau
negara adalah dua hal yang berbeda eksistensi hukum
tidak bergantung pada kekuasaan atau negara namun
pada nilai kemanusiaan yang sifatnya universal yaitu
keadilan. Pandangan yang berkembang dalam
pemikiran hukum moderen bahwa kaidah hukum
adalah kaidah-kaidah yang dalam penerapannya
ditunjang oleh suatu kekuasaan.22 Pandangan
21 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 126. 22 Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara
Sosiologis, Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, Hlm. 2
85
demikian menekankan bahwa eksistensi hukum
terletak pada kekuasaan.
Eksistensi hukum tidak bergantung pada
kekuasaan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II
mengenai tataran hukum bahwa predikat hukum
diberikan oleh keadilan jadi tanpa kekuasaan hukum
tatap saja hukum. Sebaliknya kekuasaan tanpa hukum
adalah kesewenang-wenangan. Berbicara sanksi pasti
berbicara kekuasaan karena sanksi dan kekuasaan
adalah dua hal yang selalu hadir bersamaan, sanksi
tanpa kekuasaan adalah tidak mungkin, karena
sifatnya adalah tindakan paksaan terhadap pihak lain
yang melakukan pelanggaran hukum oleh karena itu
sanksi harus dipertahankan dengan kekuasaan
(power). Sanksi tanpa hukum dalam artian
diberlakukan semata-mata untuk mempertahankan
kekuasaan dan kehendak penguasa belaka adalah
perampokan maka dari itu tetap saja kejahatan.
Hukum tanpa lembaga paksa atau sanksi tetap hukum.
Hukum pada dasarnya tanpa adanya paksaan di
dalamnya tetap saja tatap saja dapat dikatakan
hukum, selama di dalamnya mengandung nila-nilai
dari norma atau kaidah. Hukum dengan pemahaman
seperti ini pada dasarnya tidak usah dipaksakan.
Sifat hukum adalah normatif. Hans Kelsen yang
menerangkan bahwa hukum merupakan kaidah yang
berada di ranah keharusan atau tentang apa yang
seharusnya bukan apa yang terjadi, seorang yang
membeli barang seharusnya membayar, persoalan pada
prakteknya si pembeli membayar atau tidak, hal
tersebut merupakan persoalan lain di luar hukum.23
Mengenai sifat normatif hukum Theo Huijbers
menerangkan demikian:
Bila hukum diakui sebagai normatif, diakui bahwa
hukum itu mewajibkan, bahwa hukum harus ditaati.
Ketaatan itu tidak dapat disamakan dengan ketaatan terhadap perintah (Austin). Hukum ditaati, bukan
karena terdapat suatu kekuasaan di belakangnya,
melainkan karena mewajibkan itu termasuk hakikat
hukum sendiri. 24
Hakekat hukum adalah terdapat pada sifatnya
yang normatifnya karenanya memang setiap orang
merasa berkewajiban untuk mentaatinya sebagai
sebuah norma dan sifat tersebut tidak akan hilang
bilamana pada prakteknya manusia tidak mentaatinya.
Demikian lanjut Theo Huijbers:
Pada hakikatnya hukum adalah norma yang
mewajibkan. Hal ini jelas, sebab apabila suatu
pemerintah tidak berhasil mengefektifkan suatu
peraturan (ump. tentang pajak), sehingga peraturan itu
kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut sebagai norma tidak hilang. Bahkan para tokoh neopsitivisme
abad ini (a.l. Hart) menerima, bahwa salah satu unsur
hakiki dari hukum adalah bahwa hukum bersifat
normatif dan karenanya mewajibkan.25
Tidak benar kalau dikatakan hukum itu
dipaksakan, pendapat yang benar adalah hukum itu
dipatuhi. Kenapa hukum itu dipatuhi, bukan
23 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat
dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 61. 24 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 46. 25 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 46.
87
dipaksakan, karena tuntutan yang diberikan oleh
hukum adalah berdasarkan rasional manusia dimana
hukum menghendaki sesuatu yang baik dan mulia
terjadi dalam kehidupan manusia, dengan tuntutan
seperti ini manusia tidak memerlukan paksaan untuk
tunduk terhadap hukum. Pemahaman yang tepat
dalam mengambarkan sikap manusia terhadap hukum
adalah Kepatuhan terhadap hukum bukan ketakutan
terhadap hukum.
Hukum senantiasa dapat ditemukan dalam aturan
hukum, norma hukum dan asas hukum dengan
demikian dapat dikatakan hal inilah yang menjadi
kepastian hukum yang sesungguhnya.
2. Kepastian Hukum dan Sanksi
Bukan karena peraturan tersebut memiliki sanksi
sehingga dapat disebut sebagai hukum akan tetapi
predikat hukum didapatkan karena peraturan tersebut
berdasarkan hukum, maksud berdasarkan hukum di
sini adalah dalam artian ketika peraturan tersebut jika
dirunut ke atas materi muatan atau substansinya akan
berpangkal pada asas hukum. Aturan yang di
dalamnya berisikan norma yang berpangkal pada asas
hukumlah yang kemudian memiliki predikat sebagai
hukum sehingga di dalamnya dimuat adanya sanksi,
sebenarnya sanksi tersebut adalah bentuk dari atau
tuntutan dari penegakan hukum, karena aturan
hukum didesain sedemikian rupa untuk sebuah
peristiwa tertentu sehingga aturan tersebut juga harus
didesain untuk dapat diterapkan maka dari itu
dilekatkanlah sanksi di dalamnya.
Keberadaan sanksi dalam aturan hukum
sebenarnya adalah mempertegas bahwa ada nilai, ada
kebenaran atau ada hukum yang memang layak untuk
dipertahankan dan harus dipertahankan yang diatur
dalam aturan hukum, karena jika tidak demikian maka
sanksi sama dengan kesewenang-wenangan yang
membabi buta. Jadi penanda predikat hukum dalam
aturan hukum adalah bukan karena ada sanksinya
tetapi karena nilai yang dipertahankan oleh aturan
tersebut.
Pemahaman di atas sangat ditentang oleh
pendangan positivistik yang berargumen bahwa jika
sifat hukum yang tanpa sanksi dipertahankan maka
hukum yang seperti ini tidak dapat diterapkan.
Istilah Positivisme Hukum lahir pada abad ke 19
pertamakali digunakan oleh Henry Saint Simon (1760-
1825) yang kemudian dikembangkan oleh Aguste
Comte (1798-1857) dan berkembang di Eropa
kontinental khususnya di Perancis26. Latar belakang
lahirnya pemikiran positivisme hukum adalah sebagai
reaksi terhadap pemikiran aliran hukum alam, dimana
aliran positivisme hukum secara tegas membedakan
26 Otje Salman dan Anthoni F. Susanto, Teori Hukum :
Mengingat, Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali, Refika
Aditama, Bandung, 2013, Hlm. 79.
89
antara hukum dan moralitas. 27 Selanjutnya menurut
positivisme hukum bahwa tidak ada hukum lain selain
hukum positif, hukum harus memenuhi beberapa
unsur yaitu. Adanya perintah (command), kewajiban
(duty), sanksi, dan kedaulatan.28
Positivisme hukum dibangun atas dasar bahwa ilmu
pengetahuan merupakan satu-satunya pengetahuan
ilmiah dan menolak setiap pertanggungjawaban yang
melampaui batas fakta empiris. Penekanan positivisme
hukum adalah pada bentuk hukum itu sendiri yaitu
dapat ditangkap oleh indra yaitu hukum tertulis atau
yang kita kenal dengan sebutan peraturan perundang-
undangan sekaligus menolak hal-hal yang berbau
metafisik atau sebagaimana dianut dalam paham
hukum alam.29 Sehingga sifat kelimuannya hukum
merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan
tertutup (close logical system) bahwa ilmu hukum
(jurisprudence) hanya dipandang sebagai teori hukum
positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya
sendiri, tanpa memperhatikan kebaikan dan
keburukannya.
Adalah John Austin yang merupakan salah satu
pelopor pemikiran positivisme hukum dengan teori
pemahamannya bahwa hukum adalah perintah
27 Munir Fuadi, Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum,
Op.Cit., Hlm. 67. 28 A. Mukthie Fadjar, Teori Hukum Kontemporer (Edisi Revisi),
Setara Press, Malang, 2013.Hlm.10. 29 Otje Salman dan Anthoni F. Susanto, Op.Cit., Hlm. 80.
penguasa.30 Menurut Austin hukum di dalamnya
mengandung suatu perintah, sanksi dan kedaualatan.
Menurut Austin dalam perintah tersebut terkandung
tiga unsur yaitu, pertama: bahwa suatu pihak
menghendaki bahwa orang lain melakukan
kehendaknya, kedua: pihak yang diperintah akan
mengalami penderitaan jika perintah itu tidak ditaati,
ketiga: bahwa perintah tersebut adalah pembedaan
kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang ke
empat: menderitakan pihak yang tidak taat hanya
dapat terlaksana jika yang memberikan perintah adalah
pihak yang berdaulat.31 Bahwa :
Tidak penting mengapa orang mentaati perintah-
perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati karena merasa berwajib mentaati kepentingan umum, ada
yang mentaati sebab takut akan kekacauan, ada yang
mentaati sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal
mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi.32
Demikian dari pemahamannya di atas dapat
dikatakan Austin memandang bahwa aspek normatif
dari hukum adalah merujuk pada aturan-aturan
tingkahlaku yang mengatur perbuatan manusia secara
lahiriah belaka.33 Kaidah hukum harus mengandung
sanksi yang teratur dan rapi dan pasti dan dijalankan
oleh badan untuk melaksanakannya.34 Manusia tidak
30 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat
dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 58. 31 Ibid., Hlm. 59. 32 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 41. 33 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum , Kencana
Prenanda Media Group, Jakarta, 2009, Hlm. 6. 34 Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara
Sosiologis, Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, Hlm. 2
91
perlu berfikir, hanya perlu patuh dan melaksanakan
apa perintah hukum terlepas ia suka atau tidak suka,
apakah ia melakukannya dengan tertekan atau tidak,
karena yang terpenting adalah manusia mentaati
hukum.
Hukum harus dapat diterapkan maka dari itu
hukum harus memiliki sanksi, Sebagaimana dikatakan
oleh Satjipto Raharjo bahwa: “Hukum dibuat untuk
dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut sebagai
hukum, apabila hukum tidak pernah dilaksanakan.”35
Pandangan tersebut berhubungan sangat dipengaruhi
dengan eksistensi hukum sebagai sebuah ilmu, bahwa
ilmu hukum merupakan ilmu yang sosial yang bersifat
empirik dengan metode pembenarannya adalah
korespondensi. Demikian bahwa hukum harus
berkorespondensi dengan fakta. Sehingga jika hukum
tidak dapat diterapkan maka hukum tersebut tidak
memiliki kesesuaian dengan fakta maka hukum
tersebut bukanlah hukum.36 Agar hukum dapat
diterapkan hukum harus dipaksakan, paksaan tersebut
adalah sanksi. Ketika dalam hukum diletakkan dengan
35 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hlm. 1. 36 Hukum tidak berkorespondensi dengan fakta. karena
eksistensi hukum Ilmu hukum adalah sebuàh Ilmu karena
hukum memiliki standar Ilmiahnya sendiri dimana metode yang
digunakan adalah Deduktif yang bawaannya Preskriptif atau sarat
nilai karena ilmu hukum bersifat menganjurkan tidak hanya sekedar mengemukakan apa adanya (deskriptif) sebagaimana di
ilmu sosial atau ilmu alam. Dengan kebenaran dalam kerangka
keilmuan Ilmu Hukum adalah kebenaran koherensi. Dalam artian
sesuatu dapat disebut hukum dilihat dari koherensinya dengan
kaidah dan asas hukum bukan dengan fakta.
sanksi bagi siapa pun yang melanggarnya maka dengan
demikian hukum dapat diberlakukan atau dengan kata
lain memiliki kepastian.
Sanksi ada sebagai tuntutan kepastian hukum
dalam pengertian positivisme hukum. Pandangan
positivisme hukum membawa postulat bahwa hanya
perintah satu-satunya unsur mutlak dari hukum
(Hukum Positif) adalah dibuat oleh penguasa, tidak
penting bagaimana isinya apakah adil atau tidak
keadilan yang ditekankan adalah keadilan prosedural,
jadi hukum yang tidak adil dan semena-mena dan
menindas rakyat tatap saja dapat dipaksakan sebagai
hukum.
C. Hukum dan Sanksi
1. Ketentuan Hukum dan Ketentuan Peraturan
Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II
mengenai konsep hukum sampai dengan peraturan
hukum yang dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai kategori hukum serta hal-hal yang
memvalidasi sebuah peraturan hukum yang pada
intinya ketentuan hukum memiliki perbedaan dengan
ketentuan peraturan.
Ketentuan hukum diturunkan dari norma hukum
yang jika dirunut ke atas akan berakhir dengan
berpangkal pada asas dalamnya mengandung nilai
moral, hal ini jelas berbeda dengan konsep ketentuan
93
peraturan sebagaimana dianut oleh aliran positivisme
hukum.
Perkembangan pemikiran positivisme hukum
dibagi atas tiga penggolongan teori yaitu, positivisme
hukum analitis (Analytical legal positivism)
Dikemukakan oleh John Austin (The Province of
Jurisprudence Determined, 1832), positivisme hukum
murni atau Teori hukum Murni yang dipelopori oleh
Hans Kelsen, dan teori positivisme hukum empirik
H.L.A. Hart (The Concept of Law, 1961).
Menurut John Austin, hukum harus dipahami
bahwa Hukum merupakan perintah penguasa yang
berdaulat dalam suatu negara, jadi dasarnya adalah
“principle of origin” (asas sumber). Selanjutnya Austin
mengatakan bahwa Hukum merupakan sistem logika
yang bersifat tetap dan tertutup (close logical system)
sehingga ilmu hukum (jurisprudence) hanya dipandang
sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri, tanpa memperhatikan
kebaikan dan keburukannya. Kesimpulan Austin
bahwa Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur
yaitu. Adanya perintah (command), kewajiban (duty),
sanksi, dan kedaulatan.37
H.L.A. Hart, yang berpandangan bahwa: Hukum
merupakan perintah dari penguasa (command of human
being). Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan
37 A. Mukthie Fadjar, Op.Cit., Hlm. 10.
moral. Pentingnya analisis konsepsi hukum dan harus
dibedakan dari studi yang historis maupun sosiologis
dan harus dibedakan dengan penilaian yang bersifat
kritis. Sistem hukum merupakan sistem yang logis,
tetap, bersifat tertutup. Pertimbangan moral tidak
dapat dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan
yang harus dibuktikan dengan argumentasi rasional.38
Dasar-dasar pokok adalah teori hukum murni
Hans Kelsen Adalah, Tujuan teori hukum, seperti Ilmu
Hukum adalah mengurangi kekalutan dan
meningkatkan kesatuan (unity). Teori hukum adalah
ilmu, bukan kehendak, keinginan, ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang
hukum yang seharusnya ada. Ilmu hukum adalah
normatif, bukan ilmu alam. sebagai suatu teori tentang
norma, teori hukum tidak berurusan dengan efektifitas
norma-norma hukum. Suatu teori hukum adalah
formal, suatu teori tenang cara pengaturan dan isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
Hubungan antara teori hukum dan sistem hukum
positif tertentu adalah seperti antara hukum yang
mungkin dan hukum yang ada.39
Secara garis besar inti dari pemikiran aliran
hukum positivisme hukum adalah terdiri dari beberapa
poin yang mendasar yaitu : pertama, Suatu tatanan
38 H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan: Sebuah
Kajian Filsafat Hukum, Kencana Prenanda Media Group, Jakarta,
2012, Hlm.55 39 Ibid., Hlm. 57. Lihat juga A. Mukthie Fadjar, Op.Cit., Hlm.
11.
95
hukum negara bukan karena mempunyai dasar dalam
kehidupan sosial, juga bukan karena bersumber pada
jiwa bangsa dan juga bukan karena dasar-dasar
hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk
positifnya oleh instansi yang berwenang; kedua,
Hukum harus dipandang dalam bentuk formalnya;
ketiga, Hukum kebiasaan tidak dapat diterima sebagai
hukum yang sungguh-sungguh.40dan yang Keempat
bahwa Isu hukum diakui ada, tetapi bukan karena
bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran
ilmiah dari ilmu hukum.41
Yang menjadi identik dari hukum ajaran
positivisme hukum bahwa, dalam hukum adalah
peraturan perundang-undangan yang merupakan satu-
satunya sumber hukum dan tidak ada hukum selain
peraturan perundang-undangan.42 Aliran positivisme
hukum pada pokoknya menganggap bahwa hukum
adalah ketentuan tertulis yang dibuat oleh penguasa
tidak penting seperti apa materi muatan yang
terkandung di dalamnya tetap saja ketentuan tersebut
harus dipaksakan, demikian dapat disimpulkan bahwa
ketentuan peraturan adalah produk kekuasaan.
Hukum tidak semata-mata kekuasaan hukum
bahkan lebih besar dari pada kekuasaan, karena
40 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit.,Hlm. 154, Dikutip dari
Samidjo dan A. Sahal, Tanya Jawab Pengantar Ilmu Hukum ,
Amirco, Bandung, 1986, Hlm. 88. 41 A. Mukthie Fadjar, Loc.Cit. 42 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hlm. 56.
hukum yang memberikan kekuasaan bukan
sebaliknya, hukum pada setiap bentuknya apapun itu
pasti sifat utamanya adalah normatif karena
mempreskripsikan tingkahlaku manusia untuk
mendatangkan damai sejahtera bagi manusia.
Ketentuan peraturan adalah produk kekuasaan
dan yang diutamakan adalah bentuk formalnya, belum
tentu itu dapat disebut sebagai hukum karena bisa jadi
ketentuan tersebut dibuat hanya untuk melegalkan
sebuah kekuasaan atau bisa jadi peraturan tersebut
tidaklah adil dalam hal materi muatannya bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan contohnya peraturan
yang dibuat Nazi pada masa perang dunia ke II yang
mengakibatkan tragedi Holocaust.
Hukum tidak tergantung pada bentuknya akan
tetapi kepada nilai yang diemban, maka dari itu
apapun bentuknya apakah berupa kebiasaan, perintah,
larangan, dibuat oleh penguasa berupa peraturan
perundang-undangan atau bukan, dilekatkan dengan
sanksi atau tidak, selama mengandung nila moral
maka hukum tersebut pasti bersifat normatif.
2. Sanksi Dalam Hukum
Meskipun dalam pembahasan pembahasan-
pembahasan di atas telah dikemukakan hakekat dari
hukum bahwa hukum adalah keadilan dalam bentuk
apapun atau setidaknya kalau itu peraturan maka
peraturan tersebut harus adil. Bahwa hakekat hukum
tidak tergantung dati ada atau tidak adanya saksi yang
97
dilekatkan padanya. Akan tetapi harus diakui bahwa
dalam kenyataan hukum selalu hadir dengan adanya
sanksi.
Begitu melekat eratnya kata sanksi dalam hukum
dapat dilihat di Indonesia kata sanksi adalah
mengunakan kata “hukum” itu sendiri hanya ditambah
dengan imbuhan “an” jadinya “hukuman”43 meskipun
istilah tersebut adalah istilah yang sering digunakan
oleh orang awam namun penggunaan istilah tersebut
cukup membuktikan bahwa ada pemahaman kalau
hukum dan sanksi adalah sama. Sehingga sangat perlu
juga untuk dibahas mengapa sanksi muncul dan
seperti apa eksistensinya dalam hukum.
Sanksi dalam bahasa Inggris Sanction44 Menurut
Utrecht bahwa yang dimaksud dengan sanksi adalah
akibat dari sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari
pihak lain baik itu manusia atau lembaga sosial atas
sesuatu perbuatan manusia.45
Dalam Black's Law Dictionary pengertian sanksi
dijelaskan sebagai berikut:
SANCTION, In the original sense of the word, a penalty or punishment provided as a means of enforcing obedience to a law. In jurisprudence, a law is said to have a sanction when there is a state which will
43 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), Op.Cit., Hlm.
2. 44 Echols, John M. dan Hassan Sadly, Kamus Indonesia –
Inggris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002. 45 Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T.
Penerbit dan Balai Buku “Ichtiar”, Jakarta, 1962, Hlm. 17.
intervene if it is disobeyed or disregarded. Therefore international law has no legal sanction.46
Pada dasarnya sanksi merupakan sesuatu yang
bersifat negatif, bentuknya bermacam-macam
bentuknya mulai dari perampasan paksa atas harta
kekayaan individu, perampasan kebebasan, serta
sampai pada pencabutan nyawa manusia.47 Pada
pokoknya sanksi adalah tindakan menderitakan
individu yang menjadi sasaran sanksi tersebut.
Agar hukum dapat diterapkan hukum harus di-
paksakan, paksaan tersebut adalah sanksi. Ketika
hukum diletakkan dengan sanksi bagi siapa pun yang
melanggarnya maka dengan demikian hukum dapat
diberlakukan atau dengan kata lain memiliki kepastian.
Positivisme hukum dibangun atas dasar bahwa
ilmu pengetahuan merupakan satu-satunya
pengetahuan ilmiah dan menolak setiap
pertanggungjawaban yang melampaui batas fakta
empiris. Penekanan positivisme hukum adalah pada
bentuk hukum itu sendiri yaitu dapat ditangkap oleh
indra yaitu hukum tertulis atau yang kita kenal dengan
sebutan peraturan perundang-undangan sekaligus
menolak hal-hal yang berbau metafisik atau
sebagaimana dianut dalam paham hukum alam.48
46 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary 4th, West
Publishing CO, St. Paul Minn, 1968, Hlm. 1507. 47 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), Op.Cit., Hlm.
2. 48 Otje Salman dan Anthoni F. Susanto, Op.Cit., Hlm. 80.
99
Kepastian hukum mengandung dua pengertian
yaitu yang pertama bahwa aturan yang bersifat umum
membuat individu mengetahui perbuatan apa saja yang
dibolehkan dan sebaliknya perbuatan mana yang
dilarang. Kedua bahwa setiap individu dilindungi dari
tindakan kesewenang-wenangan pemerintah karena
aturan yang bersifat umum akan membuat individu
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan negara atas individu.49
Dalam pemikiran pisitivisme hukum Kepastian
hukum merupakan tuntunan utama terhadap hukum.
Penjelasannya bahwa supaya hukum menjadi positif,
hukum harus berlaku dengan pasti. Hukum harus
ditaati, bahwa supaya hukum ditaati maka hukum
harus dilekatkan dengan sanksi dengan demikian
hukum sungguh-sungguh positif.50 Hukum dituntut
untuk memiliki kepastian dengan maksud bahwa
hukum tidak boleh berubah-ubah. Sebuah undang-
undang yang telah diberlakukan akan mengikat bagi
setiap orang dan sifatnya tetap sampai undang-undang
tersebut ditarik kembali.
Sanksi ada karena positivisme hukum. Agar
hukum dapat diterapkan hukum harus dipaksakan,
paksaan tersebut adalah sanksi. Ketika dalam hukum
diletakkan dengan sanksi bagi siapa pun yang
49 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 137. 50 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya
Media, Salatiga, 2011, Hlm. 33-34.
melanggarnya maka dengan demikian hukum dapat
diberlakukan atau dengan kata lain memiliki kepastian.
Hukum merupakan norma utama yang
mengandung saksi di dalamnya.51 Keberadaan sanksi
adalah hakekeat dari kepastian hukum yang sifatnya
empirik. Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum
tidak dapat lagi disebut sebagai hukum, apabila hukum
tidak pernah dilaksanakan.52 Sehingga sanksi
merupakan tuntutan kepastian hukum.
Aturan yang di dalamnya berisikan norma yang
berpangkal pada asas hukumlah yang kemudian
memiliki predikat sebagai hukum sehingga di dalamnya
dimuat adanya sanksi, sebenarnya sanksi tersebut
adalah bentuk dari atau tuntutan dari penegakan
hukum, karena aturan hukum didesain sedemikian
rupa untuk sebuah peristiwa tertentu sehingga aturan
tersebut juga harus didesain untuk dapat diterapkan
maka dari itu dilekatkanlah sanksi di dalamnya.
51 Munir Fuadi, Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum,
Op.Cit., Hlm. 107. 52 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hlm. 1.