BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN adat...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN adat...
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian
4.1.1 Kelurahan Jaya dan Sejarah Terbentuknya
Desa Djai (Kelurahan Jaya ) di tinjau dari dari sejarah maka pada awalnya
secara kelembagaan adalah merupakan bagian dari Kerajaan Kesultanan Tidore.
Berdasarkan Bobato adat Kesultanan Tidore, Daerah atau wailayah Djai (zaman
Kesultanan belum ada sebutan desa) itu dipimpin oleh seorang kepala wilayah atau
daerah adat yang disebut Fomanyira dan selanjutnya wilayah atau daerah adat Djai
tersebut dikenal dengan sebutan Soa Fomanyira Djai. Masyarakat yang bermukim di
daerah adat Fomanyira Djai merupakan penduduk asli Setempat.
Sesuai dengan kelembagaan Kesultanan Tidore Fomanyira Djai adalah daerah
adat dibawah Daerah Otonom Gimalaha Nyili Gam Tufkange atau dalam bahasa
indonesia Gam Tufkange berarti delapan kampung atau desa. Secara kelembagaan
berdasarkan bobato, struktur adat Kerajaan Kesultanan Tidore, sebutan Gimalaha
atau Sangadji adalah sebuah Daerah otonom Kesultanan Tidore yang membawahi
beberapa daerah adat Fomanyira.
Wilayah atau daerah adat di bawah kepemimpinan Gimalaha Nyili
Gamtufkange adalah sebagai berikut :
1. Wilayah pusat Pemerintahan Gimelaha Nyili Gamtufkange yang dipimpin
langsung oleh Gimelaha
2. Fomanyira Tambula
3. Fomanyira Tomagoba
4. Fomanyira Tuguwaji
5. Fomanyira Goto
6. Fomanyira Failuku
7. Fomanyira Sautu
8. Fomanyira Djai
Dari daerah adat atau wilayah kepemimpinan dari Sebuah daerah adat
Fomanyira yang berada dalam stuktur kelembagaan Kesultanan Tidore, maka struktur
kelembagaan secara lengkap dari Fomanyira Djai dapat digambarkan sebagai berikut
:
Gambar 1
Struktur Kelembagaan Pemerintahan Fomanyira Djai
SIMO GAM
TOLAMO HALI Atau
TOLAMO SOA
FOMANYIRA
GOSIMO GAM HAKIM SYARA
Keterangan :
1. Fomanyira adalah nama sebutan Kepala Daerah Adat
2. Simo Gam adalah nama sebutan Sekretaris Daerah Adat
3. Dewan Syara adalah nama sebutan Para Penghulu
4. Gosimo Gam adalah nama sebutan Dewan Adat
5. Tolamo Hali/Soa adalah nama sebutan Kepala Soa (Hali) atau Kepala Lingkungan
6. Tolamo Kici adalah nama sebutan Kepala Pemuda.
(Sumber : Arsip Sejarah Kelurahan Jaya 2001)
Menurut Abubakar Tosofu (Wawancara 9 Mei 2013) Jabatan Fomanyira
adalah jabatan seumur hidup yakni dapat diangkat kembali Fomanyira, jika
Fomanyira sebelumnya telah berhalangan tetap atau meninggal dunia. Fomanyira
Gam Djai dipilih dari tiga keturunan yang berasal dari tiga soa yang berada di
wilayah adat Fomanyira Djai yaitu Soa Djai Mayou, Soa Soakanora dan Soa
lingalamo. Apabila fomanyira yang berasal dari salah satu soa seperti soa Soakanora
meneniggal maka akan digantikan oleh soa Lingalamo dan jika fomanyira dari Linga
TOLAMO KICI
MASYARAKAT
Lamo meninggal maka akan digantikan dari soa Djaimayou. Fomanyira Gam Djai
pada awal pembentukan hingga sekarang telah dipimpin oleh 24 Fomanyira atau telah
berusia 24 regenerasi dengan uraian masa jabatan dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 1
Daftar Uraian Masa Jabatan Fomanyira Gam Djai.
Fomanyira
ke Nama
Masa Jabatan
(Tahun) Keterangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Fomanyira
Ngusumalamo
Fomanyira Madero
Fomanyira
Ngusumadongo
Fomanyira Ngiri
Fomanyira Rahman
Fomanyira Kamisi
Fomanyira Salama
Fomanyira Hasan
Fomanyira Rabu
Fomanyira Tabaga
Fomanyira Solo
Fomanyira Laiman
Fomanyira Rahim
Fomanyira Karim
Fomanyira Sri
Fomanyira Diyali
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak tercatat
Tidak ada keterangan
Tidak ada keterangan
Tidak ada keterangan
Tidak ada keterangan
Tidak ada keterangan
Tidak ada keterangan
Turunan Fomanyira 4
Turunan Fomanyira 5
Turunan Fomanyira 6
Turunan Fomanyira 7
Turunan Fomanyira 8
Turunan Fomanyira 9
Turunan Fomanyira 10
Turunan Fomanyira 11
Turunan Fomanyira 12
Turunan Fomanyira 13
17
18
19
20
21
22
23
24
Fomanyira Misi
Fomanyira Gulaman
Fomanyira Salama
Fomanyira Abdul
Karim
Fomanyira Abdul
Gani
Fomanyira Abdul
Salam
Fomanyira Mahangiri
Fomanyira Salasa
Tidak tercatat
1902 – 1919
1919 – 1940
1940 – 1958
1958 – 1978
1978 – 1983
1983 – 2001
2001 –
sekarang
Turunan Fomanyira 14
Turunan Fomanyira 15
Turunan Fomanyira 16
Turunan Fomanyira 17
Turunan Fomanyira 19
Turunan Fomanyira 18
Turunan Fomanyira 20
Turunan Fomanyira 22
Sumber : Arsip Kelurahan Jaya Tahun 2002
Pada tahun 1956 Sistem kelembagaan adat Fomanyira Djai ini belum juga
terdegradasi karena wilayah Tidore ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Provinsi
Irian Barat. Pada masa pemerintahan ini Presiden Soekarno mengangkat Sultan
Zainal Abidin Syah selaku Raja atau Sultan Kerajaan Tidore sebagai Gubernur
Pertama Irian Barat pada tahun 1956-1961 sehingga sistem kelembagaan Kesultanan
Tidore masih dipakai dan berjalan sebagaimana bobato adat Kesultanan Tidore.
Setelah Papua masuk sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
pusat pemerintahan Irian Barat di Soasio Tidore dikembalikan dan Wilayah Kerajaan
Tidore diberi Status ibu kota dari Daerah Administratif Halmahera Tengah, maka
seluruh Perangkat pemerintahan daerah yang berada di lingkungan Kesultanan Tidore
mulai dibentuk. Sejak itulah daerah Adat Fomanyira Djai yang dipimpin oleh
seorang Fomanyira dirubah statusnya menjadi Desa Djai yang dipimpin oleh seorang
Kepala Desa. Setelah terjadi perubahan status tersebut, maka desa Djai secara
kelembagaan adat tidak lagi berfungsi secara formal melainkan sebagai kelembagaan
adat yang dapat berperan sesuai dengan kegiatan kebudayaan daerah, selain itu dalam
hal melaksanakan kegiatan yang terkait dengan adat istiadat di lingkungan Kelurahan
Jaya maka Fomanyira harus berkoordinasi dan meminta persetujuan dengan pihak
pemerintah desa .
Desa Djai merubah statusnya dari nama desa menjadi kelurahan Pada Tahun
1982 atas usul dari Pemerintah Daerah Administratif Kabupaten Halmahera Tengah
Kepada Pemerintah Provinsi Maluku. Atas usul tersebut kemudian Desa Djai dirubah
statusnya dari nama desa menjadi Kelurahan yang dipimpin oleh seorang Kepala
Kelurahan dan nama Djai diubah menjadi Jaya.
1.1.2. Keadaan Geografis
Geografis adalah salah satu aspek yang penting dalam mengetahui keadaan
suatu daerah. Faktor tersebut sangat penting untuk mengetahui unsur-unsur lain bagi
kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Untuk itu Secara geografis Kelurahan Jaya
Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulaun merupakan salah satu kelurahan yang
berada di Propinsi Maluku Utara. Kelurahan jaya memiliki batasan-batasan wilayah
yaitu sebagai berikut:
• SebelahUtara berbatasan dengan Kelurahan Fobaharu
• Sebelah selatan berbatasan dengan Hutan Lindung Kie Matubu
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Gubu Kusuma
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kalaodi
Kelurahan Jaya terletak pada ketinggian 400 meter dari permukaan laut
dengan luas wilayah 488 ha dan luas pemukiman sekitar 10 ha. Dengan demikian
maka kelurahan Jaya merupakan daerah yang berada di daratan yang tinggi atau
pegunungan, terletak pada pegunungan dan memiliki wilayah yang cukup luas dan
strategis maka daerah ini sangat cocok untuk daerah pemukiman penduduk dan
pertanian, baik pertanian tanaman pangan maupun perkebunan.
1.1.3. Keadaan Penduduk
Masyarakat yang mendiami di kelurahan Jaya pada umumnya merupakan
masyarakat asli Tidore dan sebagian berasal dari daerah lain yang tinggal dan
menetap di daerah itu. Penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang
perkembangan dan pembangunan suatu daerah karena penduduk yang memiliki
kualitas yang baik akan menjadi modal penting bagi pembagunan daerah maupun
negara.penduduk akan menjadi sumberdaya manusia yang sangat menentukan
keberhasilan pembangunan jika memiliki kualitas yang baik. Tanpa peran penduduk
pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan tidak akan
bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan karena penduduk adalah subjek dan objek
dari aktifitas segala bidang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian di kelurahan Jaya,
Jumlah penduduk Kelurahan Jaya sejumlah 721 jiwa dengan tingkat penyebaran
penduduk berdasarkan jenis kelamin dan penyebaran tingkatan pendidikan sebagai
berikut :
Tabel 2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kelurahan Jaya Kecamatan
Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan.
No.
Skala Umur
Jenis Kelamin
Jumlah Laki-Laki Perempuan
1
2
3
4
5
0-4
5-9
10-14
15-19
20-24
26
18
33
33
26
22
32
32
37
26
48
50
65
69
52
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
25-19
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65-69
70-74
75 Tahun ke atas
33
26
29
23
22
35
13
8
8
6
8
27
36
36
28
22
26
12
17
7
11
7
59
62
65
51
44
59
25
25
15
17
15
Total 721
(Sumber: Data Profil kelurahan Jaya 2012)
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam masyarakat,
dalam arti sebuah sikap pandangan serta pola pikir tradisional dan sulit meenerima
hal-hal yang bersifat baru. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
keberhasilan pembangunan. Faktornya sangat bergantung pada sumber daya
manusianya yang mempunyai keahlian serta diikuti fasilitas yang mendukung.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini,
pembangunan suatu daerah atau wilayah itu sangatlah penting. Hal ini bergantung
pada kualitas dari sumber daya manusia yang dimiliki daerah tersebut. Untuk
mengetahui jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan, berikut ini adalah
gambaran tabel penyebaran penduduk yang berada di Kelurahan Jaya menurut tingkat
pendidikan :
Tabel 3
Penyebaran Tingkat Pendidikan Penduduk
Kelurahan Jaya Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan
Tingkat Tamat Pendidikan
Penduduk
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki Perempuan
Usia belum masuk sekolah 26 24 50
TK 8 13 21
SD sederajat 98 96 194
SLTP sederajat 106 148 254
SLTA sederajat 52 62 114
Diploma (D1, D2 dan D3) 15 21 36
Sarjana 25 14 39
Tidak sekolah 6 7 13
Total 721
Sumber : Data Profil Kelurahan Jaya Tahun 2012
1.1.4. Keadaan Iklim
Iklim yang berkembang di daerah Kota Tidore Kepulauan khususnya di
Kelurahan Jaya tidak terlepas dari iklim yang berkembang di daerah sekitarnya di
Propinsi Maluku Utara, yaitu iklim tropis dan iklim musim. Oleh karena itu iklim di
daerah Kota Tidore Kepulauan sangat dipengaruhi oleh dua variasi antara tiap bagian
wilayah iklim di Maluku Utara. Secara umum iklim pada daerah ini dipengaruhi oleh
empat musim yaitu utara atau barat selatan, timur dan dua musim peralihan. Kota
Tidore Kepulauan dipengaruhi oleh musim utara pada bulan April dan Maret,
pancaroba pada bulan April, musim selatan pada bulan April-September yang disebut
angin timur dan pancaroba pada bulan September.
Curah hujan rata-rata pada derah ini adalah 462.21 mm/tahun, dengan jumlah
hujan 82 hari/tahun. Musim hujan biasanya tejadi pada bulan Desember-Mei dengan
curah hujan tinggi dan di bulan Mei dan curah hujan rendah. Pada bulan Oktober, di
daerah sekitaran Propinsi Maluku Utara ini juga memiliki 2 musim yang sangat
dipengaeruhi hembusan angin yaitu hembusan angin utara dan selatan. Kecepatan
arah angiin yang berkembeng menunjukan arah dominan pada bulan Januari-April
serta bulan November-Desember, pada bulan Mei –Oktober angin akan bergerak ke
selatan. Sedangkan Arah angin barat laut terjadi pada bulan Maret-Mei yang disebut
sebagai musim barat, Juni dan Agustus adalah musim peralihan dan September-
November arah angin akan bergerak menuju arah tenggara.
1.1.5. Kondisi Agama dan Sosial Budaya
a. Agama
Kehidupan suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh agama dimana agama
merupakan salah satu pembangunan manusia dari segi mental dan spiritual didasari
dengan agama yang di anut. Agama menjadi pedoman hidup bagi manusia untuk
mengatur pelaksanaan hidupnya sehingga dengan ketaatan pada Agama secara
langsung telah mengajarkan manusia untuk patuh dan taat dalam menjalankan aturan.
Untuk lebih jelasnya jumlah penduduk menurut agama dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4
Jumlah Penduduk Menurut Agama Kelurahan Jaya
Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Tahun 2012
No. Agama Jumlah
1 Islam 721
2. Kristen -
3. Hindu -
4. Budha -
Total 721
Sumber data :Profil Kelurahan Jaya Kecamatan Tidore Utara 2012
Kelurahan Jaya memiliki masyarakat yang mayoritasnya adalah masyarakat
yang beragama islam. Meskipun begitu, penduduknya masih mempercayai pada hal-
hal gaib, roh-roh halus, jin dan berbagai hal mistik lainnya. Hal ini menunjukan
bahwa sistem kepercayaan pada masyarakat kelurahan Jaya adalah system
kepercayaan yang beragam, dimana meyakini ajaran agama islam yang bercampur
dengan kepercayaan asli atau animise dan dinamisme.
b. Sosial Budaya
Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada
sejumlah nilai budaya satu dengan yang lain berkaitan hingga merupakan satu
sistem. Sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan yang
memberi motivasi kuat terhadap arah kehidupan masyarakatnya. (Koentjaranigrat
2009: 153-154).
Rasid L. A. Karim (Wawancara 11 mei 2013) Masyarakat yang berada di
Kelurahan Jaya merupakan masyarakat yang memiliki pola pikir dan cara pandang
yang telah diwariskan secara turun temurun, pandangan pada adat dan kebiasaan yang
sudah ada sebagaimana masyarakat tradisional lainnya. Sistem kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal mistik banyak diwujudkan dalam upacara-upacara adat
dengan mempersembahkan sesajen merupakan budaya yang tak asing lagi dan sering
dilakukan pada oleh masyarakat di Kelurahan Jaya.
Pengaruh awal ajaran animisme telah menyimpan sebuah kebiasaan yang
sampai sekarang masih dipegang teguh oleh masyarakat kelurahan Jaya. Hal ini
tercermin dalam kebiasaan masyarakat yang membakar kemenyan dan menyiapkan
sesajen yang sering dilakukan dalam pelaksanaan upacara-upacara seperti pada
prosesi Ritual Upacara adat Legu Dou Gam Djai.
Masyarakat Kelurahan Jaya memiliki budaya yang pada dasarnya sama
seperti kebudayan masyarakat yang berada di Kota Tidore Kepulauan dan pada
umumnya di Maluku Utara. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang historis yang
panjang dan berpengaruh terhadap adat istiadat yang pada dasarnya mempunyai
budaya yang sama yang sering dikenal dengan budaya Moloku Kie Raha.
Menurut Jainab Said dalam Skripsinya Dinamika Tradisi Legu Gam dalam
prespektif masyarakat Tidore menjelaskan bahwa “Masuknya agama Islam di Maluku
juga turut mempengaruhi budaya serta adat istiadat yang berada di daerah ini terlihat
dari satu semboyan yang sama yang sering kita dengar dengan suatu bahasa kiasan
(Adat bersendikan agama dan agama bersendikan kitabullah)”.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Dasar Pelaksanaan Upacara Adat Legu Dou Gam Djai
Manusia hidup dari tradisi, demikian juga ritual adat yang diwujudkan dalam
berbagai upacara adat yang tidak hanya sebuah proses mengenang atas apa yang telah
diwariskan oleh nenek moyang namun selalu menjadi rajutan makna persaudaraan,
ungkapan simbolis hubungan antara manusia dengan sesama, manusia dengan wujud
tertinggi, dan alam sekitarnya.
Sebagaimana masyarakat kelurahan Jaya yang pada umumnya masih memiliki
pekerjaan sebagai petani. Hidup masyarakat sangat tergantung dengan alam yang
selalu disyukuri bila mendapatkan hasil pertanian yang baik. Masyarakat kelurahan
Jaya ini Memiliki sebuah tradisi Upacara Adat yang dilakukan paska panen besar.
Upacara adat tersebut adalah Upaacara Adat Legu dou Gam Djai, pelaksanaan
upacara adat Legu Dou di wilayah adat Fomanyira Djai (Kelurahan Jaya sekarang)
adalah keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan secara ritual antara semua
komponen kelembagaan adat ditingkat Fomanyira Djai, Gimalaha Nyili
Gamtufkange dan pengakuan pihak Kerajaan Kesultanan Tidore yang kemudian
dituangkan dalam bobato adat Kerajaan Kesultanan Tidore. Upacara adat Legu Dou
yang dilaksanakan ditingkat Fomanyira Djai lebih bermakna pada upacara dalam
mensyukuri hasil panen. Upacara adat dalam mengsyukuri hasil panen tersebut juga
terbagi atas tiga bentuk acara yaitu upacara adat Ngam Piga Range, Upacara adat
Ngam Piga Sio dan Upacara adat Ngam Raja Range yang lebih dikenal dengan
Upacara adat Legu Dou Gam Djai. (Wawancara Kader Usman 8 Mei 2012)
Secara etimologi Legu Dou Gam Djai berasal dari bahasa Tidore yaitu dari
kata “Legu” yang artinya Upacara atau Pesta dan “Dou” artinya daerah atau areal
lahan pertanian, sedangkan “Gam” artinya kampung atau desa dan “Djai”
merupakan nama desa. Prosesi pelakasanaan upacara adat Legu Dou Gam Djai ini
sangat bergantung kepada Fomanyira selaku pemangku adat tertinggi di tingkat
wilayah adat Gam Djai.
Menurut Senen A. Karim (Wawancara 8 Mei 2013) bahwa Tingkatan
pelaksanaan upacara adat paska panen atau peerayaan syukuran yang dilaksanakan di
wilayah adat Fomanyira Djai ini juga sangat bergantung kepada hasil panennya dan
Dorora Nyira, Fomanyira memilki hak veto tunggal yang dikenal dengan istilah “
Dorora Nyira” yang artinya niat Fomanyira atau permohonan doa oleh Fomanyira
secara pribadi melalui sebuah proses ritual pada saat persiapan pembukaan lahan baru
pada musim tanam. Prosesi ritual yang dimaksud adalah prosesi ritual “Tofo Belo
Gura Hong” yang lebih memberikan makna atas permohonan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar dijauhkan dari segala musibah dan bencana pada prosesi
pembukaan lahan baru nanti dan semoga dimurahkan segala rezki pada saat musim
tanam atas tanaman yang diinginkan. Ritual ini juga dapat diartikan sebagai
pengungkapan nazar atau janji dari seorang Fomanyira yaitu jika pada musim
bercocok tanam nanti benar-benar berhasil dan dilimpahkan rezki oleh Allah SWT
dengan memberikan hasil panen yang baik dan banyak, maka pada prosesi panen
nanti akan dilakukan perayaan syukuran dengan melaksanakan upacara adat.
Setelah masyarakat memetik hasil panennya, maka Fomanyira sebagai
pemangku adat atau pemimpin tertinggi di wilayah adat Fomanyira Djai akan
manggil seluruh komponen adat yang berada dalam wilayah Fomanyira Djai untuk
berkumpul untuk membicarakan masalah pengaturan pelaksanaan upacara apa yang
akan dilakukan nanti dengan melihat hasil panen yang di dapat dan menentukan
kapan waktu pelaksanaannya. Prosesi memilih atau menentukan jenis upacara adat ini
selain merupakan bagian dari Dorora Nyira, pada prosesi ini umumnya disesuaikan
dengan kondisi hasil panen sebagai berikut :
1. Jika pada prosesi panen hasil dikenai gagal panen atau tidak memberikan
keuntungan yang cukup, maka pelaksanaan upacara adat yang dipilih adalah
Upacara adat Ngam Piga Range (makanan tiga piring). Upacara adat ini
dikategorikan tingkatan upacara paling bawah artinya hanya dirayakan secara
sederhana dengan masing-masing Hali atau Soa menyajikan ritual sesuai Bobato
Gosimo namun mempunyai makna yang sama yaitu melakukan syukuran.
2. Jika pada prosesi panen hasil hasil nanti menghasilkan panen yang melimpah,
maka jenis upacara adat yang dipilih adalah upacara adat Ngam Piga Sio
(makanan Sembilan piring) atau upacara adat Ngam Raja Range (makanan tiga
raja) yang dikenal Upacara adat Legu Dou Gam Djai. Upacara adat Ngam Piga
Sio merupakan jenis upacara yang tingkatan upacaranya dikategorikan tingkat
menengah artinya dirayakan tidak terlalu sederhana dan tidak terlalu mewah atau
jenis Upacara Biasa, Sedangkan Upacara adat Legu Dou Gam Djai dapat
dilaksanakan, jika benar-benar hasil panen cukup melimpah dan upacara ini
melibatkan semua komponen masyarakat baik yang berdomisili di daerah bobato
Gam Djai (Kelurahan Jaya) maupun anak cucu diluar daerah atau disebut sebagai
perayaan akbar atau perayaan besar.
4.2.2. Prosesi Pelaksanaan Upacara Adat Legu Dou Gam Djai
Prosesi pelaksanaan upacara adat Legu Dou gam Djai yang merupakan
upacara syukuran yang dilakukan masyarakat kelurahan Jaya paska panen besar.
Pelaksanaan upacara adat Legu Dou Gam Djai sebagai upacara syukuran ini
merupakan upacara adat yang dilakukan secara turun temurun. sejak Fomanyira
pertama sampai dengan sekarang prosesi upacara adat Legu Dou selalu dilakukan
namun pada kepemimpinan Fomanyira pertama sampai dengan Fomanyira ke-10 atau
Fomanyira Tabaga upacara adat ini masih pusatkan di lahan pertanian, dimana pada
lahan pertanian akan dibagun rumah-rumah adat untuk dilakukan prosesi upacara
Legu Dou ini.
Pada masa kepemimpinan Fomanyira Solo (Fomanyira Djai yang ke-11)
prosesi Upacara Adat Legu Dou ini kemudian dipindahkan dan tidak lagi dilakukan
dilokasi areal lahan pertanian, melainkan dipindahkan dan dipusatkan di pemukiman
desa dengan rumah adat mulai dibangun secara permanen. (Wawancara Salasa Saha
15 mei 2013 )
Prosesi upacara adat legu dou gam Djai ini memiliki tata cara dan tahapan-
tahapan ritual yang harus dilakukan. Ritual-ritual tersebut di antaranya sebagai
berikut :
a. Ritual Tagi Domong Malofo dan ritual Sogoko Sibua.
Proses ritual Tagi Domong Malofo adalah prosesi ritual menjiarahi kuburan
moyang, Prosesi ini merupakan tahapan permulaan ritual dari prosesi Upacara Adat
Legu Dou. Prosesi ini bermakna mengambil bagian pertama dari hasil panen dari
masyarakat yang berada di lingkungan fomanyira Djai untuk dijadikan sebagai
sesajen untuk atau dikenal dengan istilah “Hoi Mayou fo gahi Sou” . hasi panen yang
telah dikumpulkan akan dipakai dalam prosesi menjiarahi kuburan nanti. Prosesi ini
harus dilakukan pada awal hari atau hari senin pagi. Setiap areal kebun milik petani
yang berada dalam lingkungan Fomanyira Djai yang siap dipanen diharuskan
membuka sedikit hasil panennya untuk di jadikan sesajen, bila hasil pertanian yang
dibudidayakan adalah tanaman jagung, maka setiap lahan kebun biasanya diambil
kurang lebih lima batang pohon jagung dan masing-masing petani akan
membawakannya kerumah adat untuk prosesi ritual. (Wawancara Rasid L.A. Karim
11 Mei 2013)
Prosesi awal Ritual Tagi domong malofo ini dilakukan oleh Fomanyira yang
didampingi oleh Simo Gam, Seluruh Gosimo Gam dan Kaum Syara dirumah adat
dengan membaca doa-doa di depan pintu rumah adat. Hasil panen seperti jagung
yang telah dikumpulkan akan dipilih beberapa pohon lagi untuk prosesi ritual
selanjutnya dengan cara jagung tersebut diserahkan oleh Fomanyira Gam Djai ke
Simo Gam untuk membawanya pada prosesi jiarah ke kuburan nanti. Setelah prosesi
ritual awal dilakukan dirumah adat, Fomanyira kemudian mengutus Simo Gam untuk
menunjuk dua orang Gosimo Gam dan beberapa orang untuk mendampingi gosimo
gam berangkat menuju ke- dua bukit yang dimana pada bukit itu terdapat kuburan
moyang.
Dua buah bukit yang dimaksud tersebut adalah bukit Frang dan bukit
Ngolendongo, di kedua bukit ini terdapat kuburan tua (disebut Jere oleh orang
Tidore) yang diyakini memiliki kekuatan gaib, Jagung yang dijadikan sebagai sesajen
kemudian dibawa dan ditaruh pada kuburan tersebut untuk dilakukan sebuah proses
ritual dengan membakar kemenyan disertai dengan pembacaan doa-doa oleh Gosimo
Gam. setelah selesai melakukan ritual kemudian kembali dan melapor ke Fomanyira.
Pelaksanaan ritual Tagi Domong Malofo tersebut dilakukan bersamaan hari
dengan prosesi ritual Sigoko Sibua. Prosesi ini dilakukan juga pada Pada pagi dini
hari dimana Simo Gam bersama Fomanyira melakukan ritual dirumah adat
bersamaan dengan ritual Tagi Domong Malofo. Disaat Gosimo Gam dan beberapa
orang yang ditunjuk keluar dari rumah adat menuju dua buah bukit untuk melakukan
Ritual Tagi Domong Malofo, maka disaat itu pula keluar Simo Gam (Sekretaris
Fomanyira) menuju hutan bambu untuk mecari bambu yang akan dipakai sebagai
permulaaan ritual Sigoko Sibua , Kata Sigoko didefenisikan sebagai membangun dan
Sibua adalah rumah sehingga Sigoko Sabua diartikan sebagai membangun rumah.
Membangun rumah yang dimaksud adalah sebuah rumah kecil yang dibangun
didepan rumah adat yang akan difungsikan sebagai rumah sesajen yang nantinya akan
dipakai dalam prosesi ritual puncak nanti. Rumah ini akan dihiasi dan dijadikan
sebagai tempat menaruh berbagai hasil panen berupa buah-buahan dan aneka jenis
makanan yang sudah dimasak sebagai sesajen.
Menghadapi persiapan pelaksanaan ritual Sigoko Sibuah, sebelumnya telah
dibebankan kepada para petani atau masyarakat yang dikenal dengan istilah “ Dati “
dalam bentuk menyiapkan segala perangkat kebutuhan terkait prosesi ritual Sigoko
Sibuah. Disaat hari pelaksanaan Simo Gam pada pagi dini hari melakukan prosesi
ritual yang dimulai dari rumah adat kemudian keluar menuju ke-hutan mengambil
bambu untuk melakukan prosesi ritual potong bambu sebagi pertanda dimulainya
prosesi ritual sigoko sibua. Disaat tersebut seluruh masyarakat diminta bersama-sama
berperan aktif untuk saling membantu dalam membangun rumah adat ini secara cepat
agar rumah adat tersebut dapat terselesaikan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan yaitu satu hari. \
Pada prosesi Upacara adat legu dou gam Djai masyarakat yang berada dalam
lingkungan wilayah fomanyira Djai semuanya ikut serta dan berperan aktif. Dimana
para kaum pria melakukan tugasnya sementara para wanita membantu dengan
mempersiapkan dalam hal logistik. Ini menandakan bahwa masyarakat yang berada di
kelurahan Jaya masih mempunyai nilai gotong royong yang masih tinggi dan baik.
Setelah menjalani kedua prosesi ritual dan rumah adat yang dibuat
terselesaikan maka para masyarakat dipersilahkan beristirahat dan melakukan
persiapan-persiapan lain untuk ritual selanjutnya pada malam harinya yaitu prosesi
ritual lama-lama.
b. Ritual Lama-lama
Menurut Salasa Saha (Wawancara 15 mei 2013) Ritual Lama-Lama
merupakan bagian dari tata cara upacara adat Legu Dou Gam Djai. Lama-lama
adalah ungkapan berbagai syair dengan menggunakan bahasa Tidore asli atau lebih
dikenal dengan istilah bahasa Tidore tempo dulu yang isinya menceritakan kembali
tentang sejarah perjuangan, ungkapan syukur kepada Allah SWT dan pesan-pesan
dari para leluhur yang melambangkan makna kehidupan sosial yang dicontohkan
oleh para moyang atau leluhur yang disebut dengan nama “ Gosimo se papa se tete”
kepada khalayak generasi baru. Prosesi ini dilakukan secara kelompok dengan jumlah
personil ± 30 orang dan di iringi dengan bunyi pukulan dari alat musik trdisional
yaitu Tifa dan Saragi (Gong).
Personil yang terkumpul sebanyak 30 orang adalah merupakan representasi
perwakilan dari tiga Soa atau Hali yang terdiri dari Hali Jaimoayou, Hali Lingalamo,
Hali Soakonora. Setelah telah terpilih, maka Fomanyira mengangkat salah satu orang
sebagai komandan atau ketua dengan syarat orang tersebut harus menguasai
pelaksanaan ritual lama-lama secara syariat dan hakikat.. Adapun ungkapan atau
syair-syair yang digunakan dalam ritual lama-lama yaitu sebagai berikut:
� LAMA-LAMA
Dodara Manyinga Filonga....
Ngolo Yo Kololi Ino....
Ngolo Dai Te Parade....
Raja Makore....
Mago Gosa Mou-Mou...
Lo Lobi Se Kamo...
.GORU
Maitara To Dodara....
Kie Tidore Mangofa....
Ngolo Madoba Guraci....
Sio Intan Permata....
Toro Isa Uci Isa...
Sio Kona Jai-Jai...
Hira Buku Ee La Sigo Liho...
Mi Lami Gomongo Lama Guraci...
Hama Mulo Ngona ee....
Hama Mulo Ngori ee....
Mai Sai Alo Bata Woo Malenge-Lenge.....
Nyili Woo Ma Roa-Roa Siwo Toro Wo Sala Toma Nyili.....
Ma Ito Siwo Selo Idara Siwo I Jo, Ngaju Ee.......
� DIBO-DIBO
Jou Raja Toma Ngolo.....
Jou Raja Toma Kie.....
Tona So Dodona Mi Karama....
Yaru Si Nyo Nyaru Barakati......
Tona Si Do Dona Tifa.....
Yaru Si Nyo Nyaru Lama....
Tona Si Do Dona Pita.....
Yaru So Nyi Nyaru Mesa......
Tona Si Yolenge Tubu Rao.....
Si Yo Rika Jaga Rao..
Hate Bulo Ma Dubo Ka Lenge-Lenge....
Yo Lenge Ma Siyo Lenge Tubu Rao...
Tusa Jora Ma Malako Ka Janga-Janga...
Nguti Hunya Ma Ma’bi Kawale-Wale......
Bai Kole Mi Migo Igu Si Magosi.....
Bai Lete Mi Mi Borari Si Marado....
� SI BOLO WOKA
Marua Woka Ee Woka Woka Se Katala Ma Ngofa Suku...
Marua Soro Ee Soro Ia Yo Jangi Luri.....
Marua Saya Ee Saya Ngasi Kasi Bura Ma Rako Nyelo....
Marua Lasa Ee Lasa Fosi Dia Sari-Sari Tailule Tia Lasa....
Marua Ngare Ee Ngare Wo Mote Majonga Horu Wo Yau....
Marua Ma Jojiko Jiko Solo To Solo Ua.....
Marua hate ee hate lola bunga jangi toma dowong....
Marua namo ee namo luri ma dodera semjojuhu....
� LO LESA
Mali Gotu Toma Ngolbanga……..ooo Aci.....
Ngato Uli Ma Barakati………….ooo Lama....
Barakati Papa Se Tete…………..ooo Moi....
Ri Suba Sanga Isa………………ooo Leo-Leo....
Fo Seba Isa Majou …………….ooo Kati....
Lolobi Hate Lolamo…………….ooo Masi Dalu....
Fo Sari Ma Alo-Alo……………..ooo Fo Malule...
� LE-LE
Toma Banga Si Tosupu ......
Rai Pai Oka Majimo........
Konanga To Mina Daka......
No Ino Madero Kanena .....
Hoda Mi Bilang Sala.....
Lahi Ma’af Dofu-Dofu......
(Sumber : Arsip Sejarah Kelurahan Jaya 2001)
Prosesi ritual lama-lama ini diyakini memiliki nilai yang sangat sakral
sehingga prosesi ritual ini hanya dapat dilakukan pada perayaan upacara adat legu
dou. Prosesi ritual lama-lama pada prinsipnya sama dengan prosesi ritual Daradia
pada Upacara Adal Legu Gam, namun hanya memilki perbedaan istilah yang
menunjukan tingkatan pelaksanaan upacara. Ritual Daradia hanya dapat dilakukan
pada saat upacara Legu Gam yang dipusatkan pada Kadaton Kesultanan Tidore.
Perbedaan tingkatan inilah sehingga sering pula orang menyebut Upacara Adat Legu
Dou merupakan miniatur dari Pelaksanaan Upacara Adat Legu Gam.
c. Ritual Tabe Uku
Menurut Salasa Saha (Wawancara 15 mei 2013) Ritual Tabe Uku adalah
merupakan acara puncak dari pelaksanaan upacara adat Legu Dou. Pada prosesi
tersebut ritualnya laksanakan pada pagi selasa dini hari. pelaksanaan ritual ini di
tandai dengan dibunyikannya tifa sebagai tanda dimulainya acara atau dikenal dengan
Kage sibua dan diiringi dengan tarian soya-soya.
Tarian Soya-soya adalah tarian perang yang berasal Maluku Utara. Tarian
Soya-soya dilakukan dengan dilandasi dengan gerakan dan seni perang. Ritual tarian
soya-soya sering dilakukan pada upacara-upacara adat. Tarian soya-soya untuk
pelaksanaan upacara adat Legu Dou sangatlah berbeda dengan tarian soya-soya pada
umumnya. Gerakannya berbeda dan personilnya telah ditentukan.
Personil pada Tarian Soya-Soya pada umumnya jumlahnya tak terbatas,
namun harus dengan jumlah ganjil. Maksudnya para penari yang jumlahnya genap
sebagai pasukan perang dan penari yang satu orang itu sebagai komandan pasukan
atau kapita perang. Para penari juga membawa perisai atau Salawaku di tangan kiri
dan tangan kanan memegang ngana-ngana. Ngana-Ngana adalah seruas bambu yang
diberi hiasan daun palam berwarna merah, kuning dan hijau, kemudian disampingnya
dipasang kerincingan, sehingga bila digoyang akan berbunyi.
Menurut Ahmad M. Saleh (wawancara 9 mei 2013) Personil dalam tarian
soya-soya pada pelaksanaan ritual Upacara adat Legu Dou hanya terdiri dari 7 orang.
Pengambilan personilnya juga dikhususkan, dimana yang bisa diambil hanyalah dari
turunan pihak 3 raja (raja range) dan Soa Tomayou selaku Bobato Kornono
Kesultanan Tidore dengan perincian perwakilan sebagai berikut :
1. Soa Djai Mayou 2 orang
2. Soa Lingalamo 2 orang
3. Soa Soakonora 2 orang
4. Soa Tomayou 1 orang
Semua personil adalah para pemuda yang dipilih sesuai kemampuan dalam
menari tarian soya-soya. Ketujuh personil yang dipilih dari ke empat soa tersebut
akan dikarantina di satu rumah yang telah dipilih, di tempat itu para personil dilatih
sampai betul-betul menguasai tarian soya-soya. Selama di karantina dan melakukan
latihan, mereka dipimpin oleh salah seorang Gosimo Gam yang telah secara ritual
menguasai nilai ritual pelaksanaan tarian soya-soya. Menjelang hari pelaksanaan
Upacara adat Legu Dou Gam Djai, para personil melakukan ritual awal dengan
menari didepan Gosimo Gam pada siang menjelang sore. Selama karantina setiap
Soa atau lingkungan menunjukan salah seorang pemudi untuk mendampingi para
personil tarian dalam pelayanan makanan dan pakaian kepada pemuda perwakilan
soanya.
Pada dasarnya tarian Soya-soya yang di tampilkan pada prosesi upacara adat
Legu Dou Gam Djai gerakan tariannya berbeda dengan tarian soya-soya yang biasa di
tampilkan di upacara adat yang berada di wilayah kesultanan Tidore, sehingga tarian
soya-soya ini hanya dapat tampil pada pelaksanaan Upacara adat Legu Dou. Tarian
soya-soya ini juga cukup memiliki nilai sakral atau diyakini memilki nilai mistik atau
hikayat sehingga sangat dipantangkan untuk di tampilkan diluar pelaksanaan Upacara
Adat Legu Dou, konon jika dipentaskan diluar pelaksanaan upacara legu dou,
diyakini oleh masyarakat akan menyalahi bobato dan mengakibat mendapat bala atau
bahaya dalam bentuk ditimpa bencana.
Begitu setelah selesai pelaksanaan ritual kage sabua semua masyarakat
kemudian beramai-ramai mengikuti prosesi Fatom Ngam Sibua atau mengatur
sesajen brupa hasil buah-buahan dan makanan lain yang telah disediakan kemudian
ditaruh di tempatnya di sibua kecil yang telah di buat. Prosesi tersebut melibatkan
seluruh komponen masyarakat berada dalam lingkungan wilayah Fomanyira Djai
dengan turut serta membantu menyajikan berbagai macam makanan sebagai sesajen
pada sibua (Rumah adat mini) yang dibangun didepan rumah adat
Fomanyira.masyarakat yang mengikuti upacara adat juga diharuskan memakai
pakaian adat dan tidak boleh memakai pakaian lain.
Setelah sejajen diatur maka para penari soya-soya melakukan tariaan untuk
menjemput Fomanyira keluar dari Rumah Adat menuju ke sibua untuk melakukan
ritual selanjutnya. Dengan baju kebesarannya, Fomanyira melakukan prosesi ritual
tabe uku dengan mengucapkan mantra atau kata-kata bebeto di rumah sibua kecil
(Rumah adat mini) dan diikuti oleh seluruh masyarakat, seteleh pembacaan bobeto
maka acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa keselamatan dari imam
Togubu. Imam togubu merupakan perwakilan imam dari pihak kerajaan kesultanan
Tidore.
Dalam pelaksanaan ritual tabe uku ini juga disaksikan oleh Sultan Tidore dan
Imam Tomayou sebagai perwakilan Bobato Kornono Nyili Gam Tufkange. Begitu
selesai Fomanyira melalukan prosesi ritual tabe uku dan pembacaan doa maka
dilanjutkan dengan penjemputan ngam Raja range (makanan tiga raja) oleh penari
soya-soya. Makanan tiga raja merupakan sesajen dari nasi yang telah dihiasi agar
telihat indah, representasi dari tiga makanan ini adalah tiga soa yang berada di
wilayah adat fomanyira Djai yaitu Soa Konora, Soa Djai Mayou dan Soa Lingalamo.
Ketiga makanan atau Sesajen yang telah dihiasi ini kemudian dibawa ke
rumah adat atau tempat pelaksanaan upacara. Setelah ketiga makanan ini terkumpul
fomanyira kemudian melakukan ritual akhir yaitu ritual pembacaan mantra-mantra
atau doa-doa pada sesajen ini sebagai ungkapan rasa syukur dari Fomanyira yang
mewakili seluruhan masyarakat yang berada di wilayah adat Fomanyira Djai. Setelah
selesai pembacaan doa-doa maka pelaksanaan upacara adat Legu Dou ini pun
dinyatakan berakhir. dengan berakhirnya upacara adat Legu Dou gam Djai maka
sesajen yang telah dipakai dalam prosesi ritual-ritual di dalam rumah adat mini dan
ketiga makanan dari tiga soa tersebut bagikan ke seluruh tamu dan masyarakat
dengan keyakinan bahwa makanan tersebut dapat membawa berkah atau kemurahan
rizki bagi yang memakannya.
4.2.3. Makna Upacara Adat Legu Dou Gam Djai
Upacara adat Legu dou gam Djai pada dasarnya merupakan suatu upacara
yang dilakukan paska melakukan panen besar. Pelaksanaan Upacara Legu Dou Gam
Djai mempunyai makna sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas
nikmat dan rizkinya dengan memberikan hasil panen yang melimpah dan
memberikan kenyamanan dan ketentraman dalam hidup. Selain sebagai ungkapan
rasa syukur untuk menjaga dan melestarikan tradisi turun temurun dari para leluhur,
ditinjau dari adat-istiadat, maka masyarakat kelurahan Jaya termasuk masyarakat
yang taat kepada aturan adat. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan Upacara Adat
Legu Dou yang selalu dilaksanakan sejak Moyangnya terdahulu sampai sekarang
masih di jalankan dan masih di pertahankan. Upacara ini juga bermakna sebagai
Sarana Mempererat Tali Persaudaraan dan kekeluargaan antara Masyarakat di
kelurahan Jaya dan terdapat nilai gotong royaong yang sangat tinggi dari masyarakat.
Menurut Senen A. Kaarim (wawancara 11 mei 2013 ) bahwa Tidak semua
orang mengetahui tentang makna Upacara Adat Legu dou sesungguhnya, maknanya
hanya ada di hati orang-orang yang percaya akan hal-hal yang ghaib dan Pada intinya
Upacara Adat Legu Dou ini adalah upacara syukuran terhadap Apa yang diberikan
oleh Allah S.W.T paska panen yang melimpah. adapun makna makna lain yang
terkandung dalam tahapan-tahapan prosesi ritual yang terdapat dalam upacara adat
legu dou di antaranya sebagai berikut:
1. Ritual tagi domong malofo
Prosesi Ritual tagi domong malofo mempunyai makna simbolik sebagai
ungkapan rasa terimakasih kepada moyang terdahulu dengan menjiarahi kuburan
moyang. Pada prosesi ini terlihat dari cara menjiarahi dengan membawa hasil
panen seperti jagung yang telah dipanen sebagai sesajen. Syukuran ini di
implementasikan dalam bentuk membaca doa di kuburan dengan membakar
kemenyan. Hal ini menunjukan bahwa prosesi upacara adat Legu Dou
merupakan penghubung antara masyarak sekarang dengan moyang terdahulu.
2. Ritual Lama-lama
Ritual lama-lama pada upacara adat legu dou mempunyai makna menceritakan
kembali sejarah perjuangan para leluhur dalam membangun Desa Djai, hal ini di
tunjukan dalam bentuk lirik-lirik yang terkandung dalam lagu yang di pakai
dalam ritual lama-lama yang menceritakan perjuangan yang telah di lakukan
dalam prosesi ritual lama-lama dalam,selain itu juga lama-lama juga dapat di
maknai sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan
raahmat dalam bentuk pesan-pesan dari para leluhur yang melambangkan makna
kehidupan sosial yang dicontohkan oleh para moyang atau leluhur yang disebut
dengan nama “ Gosimo se papa se tete” kepada khalayak generasi baru.
3. Ritual tabe uku
Ritual tabe uku bermakna sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT atas
berkat dan limpahan rizki yang melimpah, serta meminta keselamatan dan di
jauhkan dari segala hal yang buruk. Makna simbolik yang sangat menonjol di
sini adalah sesajen yang di sediakan, dimana sesajen menunjukan rasa
terimakasih atas hasil panen dari masyarakat yang berada di lingkungan
Fomanyira Djai yang telah dikumpulkan. Penggunaan hasil panen ssebagai sesaji
ini adalah sebuah harapan untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat dari Allah
S.W.T. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat yang berada di Desa Djai
mensyukuri nikmat yang telah diberikah oleh Allah S.W.T dalam bentuk hasil
panen yang melimpah
.
4.3. Pembahasan
4.3.1. Pelaksanaan Upacara Adat legu Dou Gam Djai
Masyarakat kelurahan Jaya mempunyai kebudayaan dan kesenian yang
berdasarkan adat istiadat daerah, sehingga dalam pelaksanaannya terdapat upacara-
upacara adat resmi menurut adat istiadat setempat. Upacara adat legu dou gam Djai
merupakan salah satu upacara adat yang dalam pelaksanaannya berdasarkan
kebudayaan daerah tergolong dalam upacara adat resmi yang terdapat di kelurahan
Jaya.
Terkait dengan pelaksanaan upacara adat Legu Dou Gam Djai dengan
adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini. Masyarakat
yang berada di daerah adat fomanyira Djai ini masih menganggap bahwa tradisi legu
dou gam Djai ini merupakan milik masyarakat yang berada di daerah gam Djai. Oleh
sebab itu kesadaran untuk memiliki dan melaksanakan upacara adat Legu Dou Gam
Djai dari masyarakat yang hidup di Zaman sekarang beranggapan bahwa perlu
dilaksanakan dan dilestarikan karena upacara adat Legu Dou Gam Djai merupakan
salah satu adat yang diwariskan secara turun temurun.
Pelaksanaan upacara adat Legu Dou Gam Djai merupakan upacara syukuran
hasil panen dari masyarakat yang berada di kelurahan Jaya yang secara adat yang
termasuk dalam wilayah adat soa fomanyira Djai kepada Allah S.W.T atas berkat
rahmat dan hidayatnya yang memberikan hasil panen yang melimpah. Upacara
syukuran yang berada di wilayah kelurahan Jaya ini pada dasarnya sangat bergantung
pada niat atau nazar dari Fomanyira atau yang dikenal dengan Dorora Nyira serta
hasil panen yang di dapat setelah panen, dimana hasil panen masyarakat sangat
menentukan tingkat-tingkat pelaksanaan upacara adat.
Jika pada prosesi panen hasil dikenai gagal panen atau tidak memberikan
keuntungan yang cukup, maka pelaksanaan upacara adat yang dipilih adalah Upacara
adat Ngam Piga Range (makanan tiga piring). Upacara adat ini dikategorikan
tingkatan upacara paling bawah artinya hanya dirayakan secara sederhana dengan
masing-masing Hali atau Soa menyajikan ritual sesuai Bobato Gosimo namun
mempunyai makna yang sama yaitu melakukan syukuran.
Sedangkan bila pada prosesi panen hasil hasil nanti menghasilkan panen
yang melimpah, maka jenis upacara adat yang dipilih adalah upacara adat Ngam Piga
Sio (makanan Sembilan piring) atau upacara adat Ngam Raja Range (makanan tiga
raja) yang dikenal Upacara adat Legu Dou Gam Djai.
Upacara adat Ngam Piga Sio merupakan jenis upacara yang tingkatan
upacaranya dikategorikan tingkat menengah artinya dirayakan tidak terlalu sederhana
dan tidak terlalu mewah atau jenis Upacara Biasa, Sedangkan Upacara adat Legu
Dou Gam Djai dapat dilaksanakan, jika benar-benar hasil panen cukup melimpah dan
upacara ini melibatkan semua komponen masyarakat baik yang berdomisili di daerah
bobato Gam Djai (Kelurahan Jaya) maupun anak cucu diluar daerah atau disebut
sebagai perayaan akbar atau perayaan besar.
Pada prosesi upacara adat Legu Dou Gam Djai terdapat beberapa tahapan-
tahapan ritual yaitu (1) dimulai dari ritual tagi domong malofo yang dilakukan pada
hari pertama. Ritual ini merupakan ritual menjiarahi kuburan para leluhur di dua bukit
yang berada di kelurahan Jaya dengan mebawa sesajen dan membakar kemenyan
disertai dengan membacakan doa-doa. (2) ritual lama-lama, ritual ini merupakan
ritual menghibur fomanyira dengan cara menyanyikan sayir-syair yang isinya
menceritakan tentang pesan-pesan para leluhur yang di iringi dengan alat musik
tradisional yaitu tifa dan seragi atau gong. (3) ritual tabe uku atau ritual puncak dari
upacara adat legu dou gam Djai. Pada ritual ini dilakukan pembakaran kemenyan
dengan pembacaan bobeto atau sumpah dari fomanyira sebagai perwujudan dari rasa
syukur kepada Allah S.W.T dan pembacaan doa dihadapan masyarakat kelurahan
Jaya dan tamu-tamu kehormatan dari kesultanan tidore.
Dalam ritual-ritual tersebut juga ditampilkan kesenian-kesenian daerah
seperti tarian soya-soya. Setelah pelaksanaan ritual tabe uku maka prosesi akhir
adalah menjemput makanan tiga raja atau ngam raja range sebagai sesajen inti dari
pelaksanaan upacara adat Legu Dou oleh penari soya-soya untuk dibawa ke rumah
adat atau tempat pelaksanaan upacara untuk dilakukan pembacaan mantra dan doa-
doa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah S.W.T dan para leluhur yang telah
memberikan hasil panen yang melimpah. Dengan berakhirnya seluruh rangkaian
prosesi ritual pada ipacara adat legu Dou gam Djai maka makanan yang menjadi
sesajen ini kemudian dibagikan dengan kepercayaan mendapatkan berkah dan rizki
bila memakannya.
4.3.2 Makna Upacara Adat Legu Dou Gam Djai
Masyarakat yang berada di kelurahan Jaya pada umumnya menyadari betapa
pentingnya dimensi religius dalam Upacara adat. Karena itu pada Prosesi Upacara
adat Legu Dou Gam Djai, mereka selalu mengundang kehadiran dari leluhur serta
memohon restu padanya, dengan membawa persembahan, melakukan ritual dengan
membaca doa-doa atau meletakan sesajaen pada tempat khusus. Karena pada pada
reluhurlah mereka dipertemukan nilai tertinggi dari kehidupan dan dasar eksistensi
atau keberadaannya.
Pelaksanaan upacara legu dou gam Djai pada dasarnya mempunyai makna
sebagai ungkapan syukur dari masyarakat kelurahan Jaya kepada Allah S.W.T atas
berkat dan rahmatnya yang telah memberikan hasil panen yang melimpah. adapun
makna makna lain yang terkandung dalam tahapan-tahapan prosesi ritual yang
terdapat dalam upacara adat legu dou di antaranya, pertama:makna dari ritual tagi
domong malofo dan sigoko sibua. Prosesi Ritual tagi domong malofo mempunyai
makna simbolik sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada moyang terdahulu dengan
menjiarahi kuburan moyang. Pada prosesi ini terlihat dari cara menjiarahi dengan
membawa hasil panen seperti jagung yang telah dipanen sebagai sesajen. Syukuran
ini di implementasikan dalam bentuk membaca doa di kuburan dengan membakar
kemenyan. Hal ini menunjukan bahwa prosesi upacara adat Legu Dou merupakan
penghubung antara masyarak sekarang dengan moyang terdahulu.
Kedua, makna dari Ritual lama-lama pada upacara adat legu dou mempunyai
makna menceritakan kembali sejarah perjuangan para leluhur dalam membangun
Desa Djai, hal ini di tunjukan dalam bentuk lirik-lirik yang terkandung dalam lagu
yang di pakai dalam ritual lama-lama yang menceritakan perjuangan yang telah di
lakukan dalam prosesi ritual lama-lama dalam,selain itu juga lama-lama juga dapat di
maknai sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan raahmat
dalam bentuk pesan-pesan dari para leluhur yang melambangkan makna kehidupan
sosial yang dicontohkan oleh para moyang atau leluhur yang disebut dengan nama “
Gosimo se papa se tete” kepada khalayak generasi baru.
Ketiga. Makna dari Ritual tabe uku. Ritual tabe uku bermakna sebagai
ungkapan syukur kepada Allah SWT atas berkat dan limpahan rizki yang melimpah,
serta meminta keselamatan dan di jauhkan dari segala hal yang buruk. Makna
simbolik yang sangat menonjol di sini adalah sesajen yang di sediakan, dimana
sesajen menunjukan rasa terimakasih atas hasil panen dari masyarakat yang berada di
lingkungan Fomanyira Djai yang telah dikumpulkan.
Penggunaan hasil panen sebagai sesaji ini adalah sebuah harapan untuk
mendapatkan petunjuk dan rahmat dari Allah S.W.T. Hal ini menunjukan bahwa
masyarakat yang berada di Desa Djai mensyukuri nikmat yang telah diberikah oleh
Allah S.W.T dalam bentuk hasil panen yang melimpah. Sedangan ngam raja range
atau tiga makanan raja merupakan makna dari tiga soa yang berada di kelurahan Jaya
yaitu Soa Djai mayou, Soa kanora dan Soa Linga Lamo
Pelaksanaan Upacara adat Legu Dou Gam Djai ini dilakukan dengan
menghimpun seluruh keluarga besar dan semua anggota masyarakat yang berada di
kelurahan Jaya yang merupakan simbol dari persaudaraan antara sesama manusia.
Semua berpartisi dalam setiap kegiatan ritual-ritual yang terdapat pada saat prosesi
Upacara berlangsung.kegiatan yang tak ternilai harganya ketika semua anggota
masyarakatmenunjukan solidaritas kebersamaan terhadap sesama dengan cara mereka
masing-masing.
Ditinjau dari aspek sosial, ternyata upacara adat Legu Dou Gam Djai
mempunyai dampak yang sangat besar dalam berkehidupan masyarakat.dimana pada
akhir acara kemudian sesajen dibagikan kepada seluruh warga masyarakat dan para
tamu yang hadir pada prosesi upacara adat mempunyai nilai dan makna dimana
dengan adanya upacara adat Legu Dou Gam Djai ini seluruh masyarakat yang dan
tamu yang ada merasa terhimpun dan merasakannya sendiri indahnya hidup dalam
kebersamaan yang memang sudah ;lama dilakukan oleh para nenek moyang terdahulu
agar tetap dipertahankan..
Dalam dunia pendidikan suatu upacara adat tertentu sangatlah penting dimana
nilai dan makna dari upacara adat tertentu dalam bidang pendidikan akan mendidik
manusia menjadi lebih baik dan menjadi tempat belajar bagi yang membutuhkannya.
Makna dan nilai pendidikan yang terdapat pada upacara adat legu dou gam djai
sangatlah nyata dan berdampak sangat luas. Apa yang dilakukan pada prosesin ritual
akan contoh moral pada orang yang hidup di masa sekarang atau yang akan datang.
Misalnya seperti nilai kebersamaan dalam upacara adat ini akan menjadi pelajaran
berharga bagi generasi baru untuk mengikuti dan menjalankannya. Setiap hal baik
yang dilaksanakan pada upacara adat legu dou ini akan selalu mengingatkat pada
generasi baru dimanapun mereka berada.