BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. … · pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta...

64
1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dan Pertentangannya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Pelaksanaan kewenangan pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis untuk mengeksekusi benda jaminan dari debitor yang telah dijatuhi putusan pailit memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda dengan proses eksekusi atas benda jaminan debitor yang tidak dijatuhi putusan pailit, hal ini dikarenakan benda tidak bergerak yang dijadikan jaminan tersebut termasuk juga sebagai harta pailit (boedel pailit), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ini berarti dalam hal debitor dinyatakan pailit, maka kebendaan tersebut tetap merupakan harta pailit bagi kreditor secara umum, dengan ketentuan bahwa kreditor pemegang jaminan kebendaan tetap diberikan hak untuk menjual sendiri dan memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut (Pasal 55 UU Kepailitan dan PKPU), dan kreditor pemegang hak istimewa (yang disebutkan dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata) memiliki hak untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta pailit secara umum dan kebendaan tertentu dalam harta pailit 1 . Berdasarkan ketentuan tersebut maka seluruh harta kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada dan dimiliki oleh debitor pailit menjadi boedel pailit tanpa memperdulikan telah dibebani jaminan maupun tidak dibebani jaminan, yang kemudian akan menjadi jaminan pelunasan seluruh utang kreditor baik yang berkedudukan sebagai kreditor separatis maupun 1 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 28 77

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. … · pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta...

1

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dan Pertentangannya dengan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

Pelaksanaan kewenangan pemegang hak tanggungan selaku

kreditor separatis untuk mengeksekusi benda jaminan dari debitor yang

telah dijatuhi putusan pailit memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda

dengan proses eksekusi atas benda jaminan debitor yang tidak dijatuhi

putusan pailit, hal ini dikarenakan benda tidak bergerak yang dijadikan

jaminan tersebut termasuk juga sebagai harta pailit (boedel pailit),

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang

berbunyi: “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat

putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh

selama kepailitan”. Ini berarti dalam hal debitor dinyatakan pailit, maka

kebendaan tersebut tetap merupakan harta pailit bagi kreditor secara

umum, dengan ketentuan bahwa kreditor pemegang jaminan kebendaan

tetap diberikan hak untuk menjual sendiri dan memperoleh pelunasan

terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut (Pasal 55 UU Kepailitan dan

PKPU), dan kreditor pemegang hak istimewa (yang disebutkan dalam

Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata) memiliki hak untuk memperoleh

pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta pailit secara umum dan

kebendaan tertentu dalam harta pailit1.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka seluruh harta kekayaan yang

telah ada maupun yang akan ada dan dimiliki oleh debitor pailit menjadi

boedel pailit tanpa memperdulikan telah dibebani jaminan maupun tidak

dibebani jaminan, yang kemudian akan menjadi jaminan pelunasan seluruh

utang kreditor baik yang berkedudukan sebagai kreditor separatis maupun

1Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 28

77

2

kreditor biasa (konkuren), serta kreditor pemegang privilege (kreditor

preferen). Sikap UU Kepailitan yang tidak menempatkan harta Debitor

yang telah dibebani dengan Hak Jaminan di luar harta pailit merupakan

sikap yang meruntuhkan sendi-sendi sistem hukum Hak Jaminan. Hal itu

lebih lanjut telah membuat tidak ada artinya penciptaan lembaga Hak

Jaminan di dalam hukum perdata dan membuat kaburnya konsep dan

tujuan Hak Jaminan itu2. Kaburnya konsep hukum jaminan ini apabila

tidak dihentikan akan membuat berkurangnya minat pelaku usaha untuk

menggunakan pranata hak tanggungan untuk menjamin pelunasan piutang

kreditor.

Ketentun eksekusi UUHT, sebagaimana tercantum pada Pasal 6,

Pasal 20 ayat (1) dan (2) serta Pasal 21 UUHT. Pasal 6 UUHT berbunyi:

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama

mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan

sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya

dari hasil penjualan tersebut”. Pasal 20 ayat (1) UUHT berbunyi: “Apabila

debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak

Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan

piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada

kreditor-kreditor lainnya.

Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT berbunyi: “Atas kesepakatan

pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak

Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu

akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”.

Terkait dengan terjadinya kepailitan Pasal 21 UUHT menentukan bahwa:

2 Sutan Remy Syahdeini, Op. cit, hlm 135

3

“Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak

Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya

menurut ketentuan Undang-Undang ini”.

Eksistensi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk

mengeksekusi secara langsung benda jaminan guna memperoleh

pemenuhan piutang yang dimilikinya sesuai titel eksekutorial yang

terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan tetap diakui keberadaannya oleh

UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 55

ayat (1) yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan

sebagaimana dimaksuddalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap

Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau

hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-

olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini penting dan tepat untuk

melindungi hak kreditor pemegang hak tanggungan, akan tetapi menjadi

sia-sia karena terdapatnya ketentuan di dalam UU Kepailitan dan PKPU

yang menangguhkan dan membatasi hak pemegang hak tanggungan untuk

melakukan eksekusi atas benda jaminan debitor pailit tersebut

sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang

berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk

jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan

pernyataan pailit diucapkan”. Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal

57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud

dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka

waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Ketentuan kedua pasal

tersebut membatasi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk

melakukan eksekusi benda jaminan secara langsung karena adanya

penangguhan selama 90 (Sembilan puluh) hari dan pembatasan eksekusi

4

selama 2 (dua) bulan dan hal ini sangat kontradiktif dengan Pasal 21

UUHT yang memberikan perlakuan yang sama bagi kreditor pemegang

hak tanggungan untuk melakukan eksekusi meskipun terjadi kepailitan

pada diri debitor.

Menurut pendapat Sutan Remy Syahdeini, ketentuan terkait

penangguhan eksekusi (stay) memasung hak separatis dari kreditor

pemegang hak jaminan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

hukum jaminan bahwa hak separatis dari seorang Kreditor pemegang Hak

Jaminan ialah bahwa benda-benda yang dibebani dengan Hak Jaminan

(Hak Agunan) tidak termasuk dan berada di luar harta pailit3. Ketentuan

penangguhan eksekusi (stay) merupakan ketentuan yang merugikan hak

kreditor pemegang hak tanggungan dan mengakibatkan hak eksekusi harus

menunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Terkait dengan pembatasan

jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan juga merugikan hak kreditor

pemegang hak tanggungan karena hanya dapat melaksanakan haknya

dengan tenggat waktu yang sangat terbatas dan bila tidak dilaksanakan

sesuai jangka waktu tersebut kewenangan eksekusi beralih ke kurator,

beralihnya kewenangan ini sangat merugikan kepentingan dari kreditor

pemegang hak tanggungan, karena tidak hanya hilang hak eksekusinya

tetapi juga harus tunduk juga dengan prosedur pembagian pembayaran

sesuai UU Kepailitan dan PKPU yang menempatkan kreditor pemegang

hak tanggungan sebagai kreditor separatis yang memiliki posisi dibawah

kreditor preferen, yaitu kewajiban perpajakan dan biaya kepailitan. Akibat

inkonsistensinya UU Kepailitan dan PKPU menimbulkan persoalan yaitu

pertentangan UU Kepailitan dan PKPU dengan UUHT terkait prosedur

eksekusi pemegang hak tanggungan pada saat terjadi kepailitan,

diantaranya sebagai berikut:

1. Pertentangan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan

PKPU dengan Pasal 21 UUHT

3Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Faillissementsverordening

Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta , 2002, hlm. 285

5

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi: “Hak eksekusi

Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak

ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor

Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90

(sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit

diucapkan”.Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi:

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal

58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat

(1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling

lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Kedua pasal tersebut

bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 UUHT yang menentukan

bahwa: “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit,

pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak

yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini”.

Pertentangan yang terjadi anatara kedua peraturan perundang-undangan

tersebut terkait dengan prosedur eksekusi yang berlaku bagi pemegang

hak tanggungan selaku kreditor separatis apabila terjadi kepailitan.

Kelebihan yang dimiliki oleh pranata hukum hak tanggungan adalah

terkait dengam kemudahan eksekusi benda jaminan apabila debitor

wanprestasi, eksekusi benda jaminnan diatur oleh Pasal 20 ayat (1)

UUHT, yang berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, maka

berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak

Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan

piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari

pada kreditor-kreditor lainnya.

6

Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Atas

kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek

Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan

demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

semua pihak”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut eksekusi

benda jaminan melalui pranata hukum hak tanggungan menjamin

kemudahan bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan

eksekusi benda jaminan yaitu melalui: parate executie, eksekusi

berdasarkan titel eksekutorial, atau penjualan dibawah tangan. Akan

tetapi ketentuan ini mengalami kendala yang cukup pelik apabila

debitor yang bersangkutan pada saat yang bersamaan telah dinyatakan

pailit, karena ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) yang

memberikan penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan

pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan

diberlakukan.

Pemberlakuan penangguhan (stay) akan memberikan

konsekuensi bagi pemegang hak tanggungan yaitu hanya dapat

melakukan haknya untuk mengeksekusi benda jaminan setelah

lewatnya jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya

insolvensi, sedangkan pemberlakuan ketentuan pembatasan jangka

waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan memberikan konsekuensi

bagi kreditor pemegang hak tanggungan, yaitu harus segera

mengeksekusi benda jaminan selama jangka waktu 2 (dua) bulan

tersebut jika terlewati jangka waktu tersebut, maka kewenangan

eksekusi akan beralih kepada kurator selaku pengurus dan pemberes

boedel pailit, hal ini tentu tidak diinginkan oleh kreditor pemegang hak

tanggungan karena haknya untuk mengeksekusi benda jaminan menjadi

hilang. Hilangnya kewenangan ini bertentangan dengan teori keadilan

aristoteles yang mengenal adanya keadilan distributif, yang menentukan

bagian masing-masing pihak berdasarkan haknya, terkait hal ini, maka

7

sudah selayakna pemegang hak tanggungan memperoleh keadilan atas

pengakuan dan penjaminan hak eksekusi yang dimilikinya.

2. Benturan Kepentingan Para Kreditor

Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan

PKPU, kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai

hak eksekusi pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi

secara langsung atas benda jaminan sebagaimana diatur pada UUHT

menjadi kontradiktif, karena dengan adanya penangguhan dan

pembatasan tersebut akan mengekang hak pemegang hak tanggungan

yang notabene dilindungi oleh UUHT bahkan jikalau terjadi pada

debitor yang telah dinyatakan pailit, sebagaimana diatur pada Pasal 6,

Pasal 20 ayat (1) dan (2), serta Pasal 21 UUHT. Berdasarkan UUHT,

pemegang hak tanggungan tetap memiliki kewenangan untuk

mengeksekusi benda jaminan pada saat debitor wanprestasi meskipun

debitor yang bersangkutan telah dinyatakan pailit, akan tetapi hal

tersebut meskipun diakui eksistensinya oleh UU Kepailitan dan PKPU

akan tetapi keberadaannya mendapatkan pembatasan sehingga akan

menyebabkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan konflik bagi

para pihak yang berkepentingan di dalamnya karena tidak adanya

perlindungan hukum atas hak-hak yang dimilikinya. Terkait dengan hal

tersebut maka sudah seharusnya penangguhan eksekusi (stay) dan

pembatasan jangka waktu eksekusi dihilangkan dari UU Kepailitan dan

PKPU karena merugikan kepentingan hak kreditor pemegang hak

tanggungan dan dapat memicu adanya konflik antara kreditor pemegang

hak tanggungan dengan kreditor-kreditor lainnya.

Benturan kepentingan ini karena adanya perlakuan yang tidak

adil sebagai akibat adanya pembatasan hak bagi kreditor pemegang hak

tanggungan berupa penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan

jangka waktu eksekusi. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terkait

pengakuan dan penjaminan terhadap hak eksekusi kreditor pemegang

8

hak tanggungan dapat menimbulkan berbagai persoalan sehingga

benturan kepentingan para kreditor tidak dapat dihindari.

3. Tercapainya Tujuan Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT

Hukum sebagai suatu sistem memiliki tujuan yang hendak

dicapai, adapun tujuan hukum tersebut terjelma di dalam materi muatan

pada peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk selanjutnya

tercantum di dalam pasal-pasalnya. Tujuan hukum merupakan sesuatu

yang ingin dicapai oleh hukum tersebut sehingga menjadi penyebab

terbentuknya hukum yang pada dasarnya hukum bertujuan untuk

memberikan keadilan bagi para pihak dengan memberikan pengaturan

yang jelas dan tegas terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak

sehingga masing-masing pihak memperoleh bagian yang merupakan

haknya. Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan dapat

terlihat dengan tercapai tidaknya tujuan peraturan perundang-undangan

tersebut, peraturan perundang-undangan yang baik akan berisi materi

muatan yang aplikatif sehingga tujuan dari peraturan perundang-

undangan tersebut dapat terlaksana dengan baik.

Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan

masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan4.

Ketertiban dan keseimbangan merupakan tatanan yang dikehendaki

oleh hukum, karena dengan terciptanya ketertiban dan keseimbangan

maka hak-hak para pihak yang terkait di dalamnya akan terlindungi

sehingga menciptakan keadilan bagi semua pihak dan mencegah

terjadinya konflik. Ketertiban merupakan tatanan ideal di dalam

masyarakat, karena dengan adanya ketertiban akan terjadi

keseimbangan diantara hak dan kewajiban sehingga hak dan kewajiban

tersebut dapat diakui dan dijamin eksistensinya oleh hukum.

Tujuan pembentukan UUHT secara tegas tidak terdapat di

dalam UUHT, akan tetapi tersirat dari pertimbangan dan penjelasan

4Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm 22

9

umum UUHT yaitu untuk memberikan landasan hukum bagi lembaga

jaminan di Indonesia terkait pembebanan jaminan dengan

menggunakan jaminan benda tidak bergerak berupa tanah sebagaimana

dimaksud UUPA, yang sebelumnya hanya diatur dengan produk hukum

zaman kolonial Belanda yaitu Hypotheek sebagaimana diatur dalam

Buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan

ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542

sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Sementara itu

tujuan dari UU Kepailitan dan PKPU tercantum di dalam Penjelasan

Umum UU Kepailitan dan PKPU, yang berbunyi: “Ada beberapa faktor

perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaankewajiban

pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari perebutan harta

Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang

menagih piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari adanya

Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya

dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan

kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. Ketiga, untuk

menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah

seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha

untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang

Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya

perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta

kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya

terhadap para Kreditor.

Berdasarkan penjelasan umum UU Kepaiitan dan PKPU

tersebut tujuan utama dari pembentukan UU Kepailitan dan PKPU

adalah memberikan keadilan bagi semua pihak di dalamnya dengan

cara melindungi boedel pailit sehingga nilai boedel pailit dapat

maksimal guna membayar utang debitor pailit kepada para kreditornya.

Bentuk keadilan tersebut adalah terjaminnya pembagian boedel pailit

kepada seluruh kreditor secara seimbang berdasarkan prosentase besar

10

kecilnya piutang masing-masing dengan tetap memperhatikan

kekhususan bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (termasuk

hak tanggungan di dalamnya) sehingga merealisasikan asas pari passu

dan pro rata menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132

KUHPerdata.

Poin kedua tujuan UU Kepailitan dan PKPU secara tegas

menyebutkan pembentukan UU Kepailitan dan PKPU untuk

menghindari adanya kreditor separatis (termasuk kreditor pemegang

hak tanggungan) yang melakukan eksekusi hak yang dimilikinya tanpa

memperhatikan kepentingan debitor pailit dan kreditor konkuren, hal ini

berarti sebelum dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU seringkali

terjadi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan selaku kreditor

separatis melakukan eksekusi benda jaminan tanpa memperdulikan

kepentingan debitor pailit dan para kreditor lainnya khususnya kreditor

konkuren, misalnya eksekusi dilakukan sesuai kehendaknya sendiri

sehingga tidak ada kepastian waktu dilakukannya eksekusi tersebut

ataupun melakukan eksekusi melalui lelang dengan nilai limit yang

rendah sekedar untuk pelunasan piutangnya saja meskipun ini

diperbolehkan oleh hukum, akan tetapi hal ini dapat mendatangkan

kerugian pihak lain, karena.Terkait dengan adanya penangguhan

eksekusi yang diatur Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

memilki tujuan sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal tersebut,

yang berbunyi: “Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini

bertujuan, antaralain:

a. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau

b. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau

c. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara

optimal.

Hukum kepailitan merupakan jawaban atas kesulitan keuangan,

yang bukan hanya sebagai masalah ekonomi tetapi juga merupakan

masalah moral, politik, personal dan masalah sosial yang berakibat pada

11

partisipannya5. Lebih lanjut pada hukum kepailitan terdapat “circle of

responbility”, yang meliputi tiga elemen.Pertama, tanggung jawab

sosial debitor dalam kepailitan. Kedua, tanggung jawab para kreditor

terhadap para kreditor lainnya. Ketiga, tanggung jawab para debitor dan

kreditor terhadap masyarakat6. Berdasarkan hal tersebut tujuan

dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU adalah melindungi dan

menyeimbangan kepentingan para pihak yang terkait di dalamnya serta

kepentingan masyarakat luas yang dapat terkena imbas dari putusan

kepailitan tersebut. Benturan kedua peraturan perundang-undangan

terkait dengan tujuan masing-masing undang-undang yaitu adanya

penangguhan eksekusi (stay) bagi pemegang hak tanggungan pada saat

debitor pailit dengan tujuan pembentukan UUHT yang bertujuan

memberikan landasan hukum bagi pemegang hak tanggungan untuk

dapat mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi

sebagaimana dijamin oleh UUHT.

4. Terlaksananya Asas-Asas Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan

UUHT

Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum

yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret

dan pelaksanaan hukum7. Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo,

merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum.

Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa asas hukum

merupakan jantungnya peraturan hukum. penyebutan demikian karena

pertama merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu

peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada

5Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan

di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 30 6Ibid 7Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Op. cit, hlm. 135

12

akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut8. Asas hukum

memegang peranan penting karena merupakan roh atau jiwa dari

peraturan perundang-undangan tersebut sehingga apabila adanya

ketentuan-ketentuan yang tidak tercantum ataupun adanya ketentuan

yang menimbulkan multitafsir yang terdapat di dalam pasal-pasal

peraturan perundang-undangan tersebut maka dapat dipahami dengan

cara memahami asas-asas yang terdapat di dalamnya.

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa asas atau prinsip

hukum bukanlah peraturan konkret, melainkan merupakan pikiran dasar

yang umumsifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan

konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

merupakan hukum positif dan dapat didiketemukan dengan mencari

sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut9. Terkadang asas

atau prinsip hukum tersebut tidak tertulis secara konkret di dalam

peraturan perundang-undangan, akan tetapi asas atau prinsip hukum

tersebut “hidup” karena terjelma pada landasan dasar tujuan

pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dan merupakan

roh dari suatu peraturan perundang-undangan sehingga setiap pasal

yang ada di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari asas atau prinsip

hukum tersebut.

Asas hukum mengandung tuntutan etis, sehingga asas hukum

merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita

sosial dan pandangan etis masyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan,

bahwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah

sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis10

. Tatanan etis

merupakan nilai-nilai keadilan yang merupakan tujuan dari hukum itu

sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam

8Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm. 31 9 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan:Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana

Prenadamedia Group, Jakarta, 2008, hlm. 26 10Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm. 31-32

13

masyarakat sehingga hukum tersebut dapat dipertahankan dan ditaati

eksistensinya oleh semua pihak.Asas hukum bukan merupakan

peraturan hukum, akan tetapi asas hukum dapat digunakan untuk

memahami peraturan perundang-undangan karena di dalam asas-asas

hukum tersebut terkandung nilai-nilai etis.

Asas-asas hukum kepailitan tercantum di dalam Penjelasan

Umum UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Undang-Undang

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini

didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah :

a. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang

merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak,

terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan

pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain

pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya

penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang

tidak beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang

memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap

dilangsungkan.

c. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian,

bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan

bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk

mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang

mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap

Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.

d. Asas Integrasi

14

Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung

pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya

merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan

hukum acara perdata nasional”.

Sedangkan asas-asas hukum yang terdapat pada hak tanggungan

dapat dipahami dari beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UUHT,

yaitu:

a. Asas Kedudukan yang Diutamakan Bagi Pemegang Hak

Tanggungan

Pemegang hak tanggungan merupakan kreditor separatis,

kata separatis secara bahasa berarti terpisah, dikatakan terpisah

karena pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang

dipisahkan dari kreditor biasa dan diutamakan (droit de preference)

sebab haknya untuk mendapatkan pelunasan pembayaran utang

debitor didahulukan dari kreditor lainnya melalui benda yang

dijadikan jaminan kepadanya. Ketentuan yang mengatur mengenai

kedudukan yang diutamakan bagi pemegang hak tanggungan

terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 dan Penjelasan Umum UUHT,

yang berbunyi: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda

yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnyadisebut Hak

Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas

tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,berikut

atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentuterhadap

kreditor-kreditor lain”. Selanjutnya pada Penjelasan Umum UUHT,

menyatakan bahwa: “Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas

tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan

diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak

15

Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang

dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-

kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang

tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

b. Asas Kemudahan Eksekusi

Kreditor pemegang hak tanggungan memiliki kemudahan

untuk menjual sendiri benda jaminan apabila debitor wanprestasi

guna pelunasan piutang yang dimilikinya, hal inilah yang merupakan

kelebihan dari hak tanggungan sehingga menjadi pilihan bagi pihak

kreditor guna memperoleh perlindungan atas pelunasan piutangnya.

Eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang hak

tanggungan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: parate eksekusi,

eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, serta eksekusi penjualan di

bawah tangan.

Ketentuan terkait eksekusi ini diatur di dalam Pasal 20 ayat

(1) UUHT, yang berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, maka

berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek

Hak Tanggungan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalamPasal 14 ayat (2), obyek Hak

Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara

yangditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk

pelunasan piutang pemegang HakTanggungan dengan hak

mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa:

“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,

penjualan obyek Hak Tanggungan dapatdilaksanakan di bawah

16

tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi

yangmenguntungkan semua pihak”.

c. Asas Tidak Dapat Dibagi-bagi

Asas tidak dibagi-bagi yaitu bahwa pembayaran atas

sebagian utang tidak menyebabkan hapusnya sebagian benda yang

dijadikan benda jaminan, benda jaminan baru bebas apabila seluruh

utang telah dibayar lunas seluruhnya oleh debitor, ketentuan ini

terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Hak

Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika

diperjanjikan dalam AktaPemberian Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2)”. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UUHT

menentukan bahwa: “Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada

beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam AktaPemberian

Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang

dijamin dapat dilakukandengan cara angsuran yang besarnya sama

dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakanbagian

dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak

Tanggungan tersebut, sehinggakemudian Hak Tanggungan itu hanya

membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa

utangyang belum dilunasi”.

d. Asas Accesoir

Perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan dan

bukan merupakan perjanjian pokok, sehingga perjanjian hak

tanggungan itu ada jikalau perjanjian pokoknya ada, perjanjian

pokok tersebut yaitu perjanjian utang-piutang. Sifat accesoir hak

tanggungan diatur pada Penjelasan Umum UUHT yang berbunyi:

“Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan

atau accessoir pada suatupiutang tertentu, yang didasarkan pada

suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, makakelahiran

dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin

pelunasannya”

17

e. Asas Publisitas

Tujuan dari publisitas adalah supaya perjanjian yang dibuat

oleh pihak debitor dan kreditor tersebut diketahui oleh seluruh pihak

yang berkepentingan sehingga mejamin kepastian hukum terkait

perbuatan hukum yang dilakukan tersebut karena telah terdaftar.

Ketentuan terkait asas publisitas ini tercantum pada Pasal 13 ayat (1)

UUHT yang berbunyi: “Pemberian Hak Tanggungan wajib

didaftarkan pada Kantor Pertanahan”, selanjutnya Penjelasan Pasal

13 ayat (1) UUHT berbunyi: “Salah satu asas Hak Tanggungan

adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian

HakTanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak

Tanggungan tersebut dan mengikatnya HakTanggungan terhadap

pihak ketiga”.

f. Asas Spesialitas

Merupakan asas yang menghendai kejelasan keterangan

terkait subyek dan obyek atas hak tanggungan tersebut sehingga

menghindarkan kerancuan akibat ketidak jelasan keterangan terkait

subyek dan/atau obyek hak tanggungan. Ketentuan asas spesialitas

tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Di dalam

Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan

apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia,

baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di

Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan,

kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;

c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin

sebagaimana dimaksud dalam Pasal3 dan Pasal 10 ayat (1);

d. Nilai tanggungan;

e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

18

Kedudukan asas-asas hukum yang terdapat pada peraturan

perundang-undangan sebagai jantung hukum memegang peranan

penting untuk menjaga dan mengawal terlaksananya cita-cita hukum

yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan

tersebut, karena asas hukum ini merupakan roh yang menjiwai isi dari

pasal-pasal yang terdapat pada UUHT dan UU Kepailitan dan PKPU.

Akan tetapi terdapat asas hukum yang kontradiktif diantara kedua

peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu adanya asas keadilan

pada UU Kepailitan dan PKPU dan asas kemudahan eksekusi yang

dianut oleh UUHT. Asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU

menghendaki kreditor memperhatikan kepentingan kreditor lain pada

saat menuntut haknya dengan tidak bersikap sewenang-wenang,

meskipun tidak dinyatakan secara tegas kreditor yang dimaksud oleh

asas tersebut, akan tetapi ketentuan tersebut merujuk kepada kreditor

separatis yang termasuk di dalamnya kreditor pemegang hak

tanggungan yang memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas

benda jaminan, di sisi menurut asas kemudahan eksekusi yang dianut

oleh UUHT, kreditor pemegang hak tanggungan memiliki hak berupa

kemudahan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan apabila

debitor wanprestasi, yaitu dengan cara parate eksekusi, eksekusi

berdasarkan titel ekskutorial atau dengan penjualan di bawah tangan,

sehingga adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka

waktu eksekusi yang merupakan penjelmaan asas Asas keadilan pada

UU Kepailitan dan PKPU menjadi bertentangan dengan asas

kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT. Benturan asas hukum

tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus sehingga kedua asas-asas

hukum peraturan perundang-undangan tersebut dapat terlaksana.

Penggolongan kreditor yang dilakukan oleh UU Kepailitan dan

PKPU, sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU

Kepailitan dan PKPU yang membagi kreditor menjadi tiga yaitu: kreditor

preferen (kreditor pemegang hak istimewa), kreditor separatis (kreditor

19

pemegang hak jaminan kebendaan), serta kreditor konkuren (kreditor

biasa). Tujuan dari keadilan adalah untuk memberikan perlindungan

hukum bagi semua pihak yang terkait kepailitan yang menimpa debitor,

sehingga masing-masing kreditor terlindungiakan hak-haknya untuk

mendapatkan pembayaran piutang yang dimilikinya dari boedel pailit.

Keadilan yang dianut oleh Pancasila sebagaimana tercantum pada Sila

kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

sehingga keadilan bagi orang banyak harus lebih diutamakan dengan tetap

memperhatikan keadilan bagi setiap individu. Berdasarkan hal tersebut,

maka meskipun penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka

waktu eksekusi yang ditetapkan oleh UU Kepailitan dan PKPU merupakan

ketentuan yang diciptakan untuk memenuhi keadilan bagi masyarakat,

akan tetapi tidak dapat dibenarkan karena merugikan hak individu yang

pokok yaitu hak eksekusi yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak

tanggungan.

Pengaturan tentang kepailitan dalam undang-undang dilakukan

dengan tujuan untuk memberikan perlindungan yang adil dan seimbang

terhadap pihak kreditor maupun pihak debitor dalam menyelesaikan

permasalahan utang piutangnya11

. Keadilan bagi semua pihak merupakan

hal yang ingin dicapai oleh UU Kepailitan dan PKPU, karena keadilan

merupakan salah satu asas yang dianut dan akan direalisasikan oleh UU

Kepailitan dan PKPU. Menurut Penjelasan Umum UU Kepailitan dan

PKPU, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai

kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang

berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-

wenanganpihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan

masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor

lainnya. Keadilan yang ingin dicapai oleh UUHT adalah keadilan bagi

pemegang hak tanggungan untuk dapat melakukan eksekusi atas benda

jaminan apabila debitor melakukan wanprestasi. Keberadaan UUHT yang

11Dijan Widijowati, Hukum Dagang, CV. Andi, Yogyakarta, 2012, hlm. 219

20

memberikan hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk

mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi merupakan hal

yang harus diperhatikan dan dijamin kepastiannya, sehingga ketentuan

penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tidak

tepat, mekanisme pertanggungjawaban laporan hasil penjualan benda

jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan sudah cukup untuk

memberikan keadilan bagi seluruh pihak.

Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU harus mendapatkan

perhatian yang serius dari pemerintah dan legislator dengan dilakukannya

revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU khususnya ketentuan terkait

penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi,

sehingga akan terhindarkannya benturan kepentingan antara para kreditor

akibat adanya pertentangan antara Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1)

UU Kepailitan dan PKPU dengan Pasal 21 UUHT, terwujudnya asas-asas

dan tujuan hukum yang dianut dan tercantum di dalam UU Kepailitan dan

PKPU dan UUHT, serta terciptanya undang-undang yang memberikan

keadilan bagi kreditor pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi

terhadap benda jaminan pada saat debitor dijatuhi putusan pailit .

B. Upaya Mengatasi Inkonsistensi Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang dan Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kreditor

Pemegang Hak Tanggungan

Pranata hukum kepailitan dan hak tanggungan merupakan pranata

hukum yang diciptakan untuk menciptakan perlindungan hukum bagi

kreditor dan debitor terkait adanya perjanjian utang-piutang yang dibuat

oleh kedua belah pihak. Pemegang hak tanggungan selaku kreditor

separatis memiliki hak untuk didahulukan dan diutamakan atas

pembayaran piutang yang dimilikinya terhadap kreditor-kreditor lainnya

yang berkedudukan sebagai kreditor konkuren. UU Kepailitan dan PKPU

yang merupakan produk hukum yang lebih baru dibandingkan UUHT

21

tetap mengakomodir kedudukan yang didahulukan (droit de preference)

dan diutamakan bagi kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana

diatur Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 55

Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal

57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan lainnya, dapat

mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Selanjutnnya

Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Semua biaya kepailitan

dibebankan kepada setiap benda yangmerupakan bagian harta pailit,

kecuali benda yang menurutketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

55 telah dijual sendirioleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya”.

Hak didahulukan kreditor pemegang hak tanggungan tersebut

meskipun diakui oleh UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi pelaksanaan

hak tersebut diberikan pembatasan guna memberikan perlindungan hukum

kepada boedel pailit, yaitu dengan cara penangguhan eksekusi (stay) dan

pembatasan jangka waktu eksekusi, sebagaimana diatur Pasal 56 ayat (1)

dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan

dan PKPU berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya

yangberada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,ditangguhkan

untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal

putusan pernyataan pailit diucapkan”. Selanjutnya Pasal 59 ayat (1) UU

Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan

Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana

dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut

dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya

keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”.

Ketentuan yg inkonsisten UU Kepailitan dan PKPU terkait hak eksekusi

atas benda jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan tersbut

22

menimbulkan kejanggalan karena pengakuan yang dilakukan oleh UU

Kepailitan dan PKPU langsung diamputasi dengan adanya ketentuan

terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu

eksekusi yang merugikan kepentingan kreditor pemegang hak tanggungan.

Berdasarkan kedua pasal tersebut adanya putusan pailit atas debitor

memberikan konsekuensi yuridis bagi kreditor pemegang hak tanggungan

terkait pelaksanaan hak mendahului yang dimilikinya, mekanisme yang

harus dilalui oleh pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi

atas benda jaminan adalah setelah lewatnya masa penangguhan (stay)

selama 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya keadaan insolvensi

yaitu suatu keadaan apabila jumlah utang debitor lebih banyak daripada

nilai boedel pailit, setelah dimulainya masa eksekusi tersebut kreditor

pemegang hak tanggungan harus melaksanakan eksekusi selambat-

lambatnya selama jangka waktu 2 (dua) bulan.

Tujuan dari diberlakukannya penangguhan (stay) tersebut sebagai

berikut12

:

1. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian;

2. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit;

3. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.

Jika dilihat dari tujuan pemberlakuan penangguhan (stay) tersebut

tampak bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak realistis menempatkan

tujuan hukum kepailitan untuk memperbesar kemungkinan terciptanya

perdamaian, seharusnya upaya kepailitan merupakan upaya terakhir dan

sudah dimungkinkan lagi upaya perdamian, sehingga tidak diperlukannya

upaya hukum penangguhan (stay) tersebut. Selama berlangsungnya jangka

waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan

atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan

baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau

memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan13

. Ketentuan ini secara

12

Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 13Ibid

23

tegas melarang segala bentuk upaya hukum yang terkait atas boedel pailit,

tak dikecualikan atas kreditor apapun sehingga kreditor pemegang hak

tanggungan selaku kreditor separatis dikekang haknya karena tidak

dimungkinkan melakukan upaya hukum apapun atas benda jaminan yang

telah dinyatakan pailit tersebut

Keberlakuan hak eksekusi atas benda jaminan bagi kreditor

pemegang hak tanggungan sebagaimana diatur pada UUHT dapat ditinjau

dari teori yang terkait dengan benda jaminan, yaitu teori antara

(intermediate theory) dan teori executie. Teori antara (intermediate theory)

memberikan hak untuk memiliki, menguasai dan menikmati hasil kepada

pihak debitor, tetapi hak tersebut segera beralih ke pihak kreditor

pemegang jaminan ketika terjadi wanprestasi terhadap utang debitor14

.

Keberadaan hak tanggungan sebenarnya merupakan solusi yang

menguntungkan bagi pihak debitor dan kreditor, debitor masih memiliki

hak dan kesempatan untuk mengusahakan benda jaminan selama tidak

mengalihkan kepemilikannya dan kreditor terlindungi haknya untuk

memperoleh pembayaran piutang yang dimilikinya dengan cara

mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi sebagaimana

dianut oleh teori executie. Pada teori ini hak kreditor untuk menjual benda-

benda obyek jaminan utang adalah berdiri sendiri (zelfstanding) dari pihak

pemegang jaminan utang15

. Adanya hak eksekusi ini memberikan

kebebasan bagi kreditor untuk menjual sendiri benda jaminan apabila

debitor wanprestasi atas pembayaran utangnya.

Ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang memberlakukan masa

penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi

benda jaminan bagi kreditor pemegang hak tanggungan merupakan

inkonsisten terhadap sikap UU Kepailitan dan PKPU yang mengakui

adanya hak eksekusi bagi pemegang hak tanggungan, ketentuan yang

inkonsisten ini mengakibatkan membatasi dan membelenggu hak kreditor

14

Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Jakarta, 2014, hlm 5 15Ibid, hlm. 58

24

pemegang hak tanggungan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk

memperbaiki ketentuan UU Kepailitan dan PKPU sekaligus memberikan

perlindungan hukum kepada kreditor pemegang hak tanggungan dengan

cara-cara sebagai berikut:

1) Penerapan Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum menunjukkan fungsi hukum sebagai sarana

perlindungan kepentingan manusia sekaligus menunjukkan tujuan

hukum untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, sehingga di

dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.

Perlindungan hukum erat kaitannya dengan jaminan kepastian hukum,

karena dengan adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait

akan memberikan kepastian hukum atas pemenuhan hak-hak masing-

masing pihak. Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat

dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini.

Terkait kepailitan, setiap kreditor tentunya ingin memperoleh kepastian

hukum terkait pembayaran piutang yang dimilikinya, terlebih pada saat

terjadinya kepailitan yang tentunya melibatkan banyak kreditor,

sehingga dengan adanya kepastian hukum ini akan melindungi hak-hak

tiap kreditor, begitu pula halnya dengan kreditor pemegang hak

tanggungan yang harus mendapatkan perlindungan hukum atas hak

eksekusi yang dimilikinya atas benda jaminan milik debitor termasuk

apabila debitor dinyatakan pailit.

Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian

hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam

perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara

satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu

secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang

berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga

berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum

25

undang-undang tersebut . Berdasarkan hal tersebut, maka sudah

seharusnya materi muatan di dalam suatu produk hukum berupa

peraturan perundang-undangan memiliki pasal-pasal yang konsisten

sehingga pasal-pasal tersebut saling mendukung satu sama lain untuk

memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terdapat di

dalamnya, sehingga UU Kepailitan dan PKPU seharusnya juga

konsisten terhadap setiap pasal di dalamnya termasuk terkait pengakuan

atas hak eksekusi pemegang hak tanggungan yang diakui oleh Pasal 55

ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi kemudian oleh Pasal 56

ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU ditangguhkan dan

dibatasi pelaksanaannya. Inkonsistensi ini menyebabkan tidak

terlindunginya hak pemegang hak tanggungan untuk melakukan hak

eksekusinya.

Apabila dikaitkan dengan teori perlindungan hukum, peraturan

perundang-undangan diciptakan untuk memberikan perlindungan

hukum bagi seluruh kreditor yang memiliki piutang kepada debitor

dengan cara memberikan jaminan kepastian bagi kreditor untuk

memperoleh pembayaran piutang dari boedel pailit . Berdasarkan teori

perlindungan hukum sudah semestinya UU Kepailitan dan PKPU

konsisten terhadap pengakuan dan penjaminan hak pemegang hak

tanggungan dan tidak melakukan penangguhan (stay) dan pembatasan

jangka waktu eksekusi. Suatu produk hukum berupa peraturan

perundang-undangan haruslah konsisten pasal demi pasal sehingga

menciptakan aturan hukum yang aplikatif untuk menjamin kepastian

hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak di dalam kepailitan.

Menurut pendapat Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani,

secara teoritis perlindungan hukum dibedakan menjadi dua bentuk

yaitu: perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif.

Perlindungan hukum preventif memberikan kesempatan kepada rakyat

untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum

26

suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk definitif16

. Sedangkan

perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila

terjadi sengketa17

. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di

Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat

dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip

negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan

bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan

terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila dan seyogyanya

memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan

Pancasila18

. Kedudukan yang diutamakan dan didahulukan bagi

kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis merupakan

hak mutlak yang harus diakui dan dijamin eksistensinya karena menjadi

ciri khas dari jaminan kebendaan untuk memperoleh jaminan

kemudahan eksekusi apabila debitor wanprestasi, sehingga dengan

adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu

eksekusi tidak memberikan perlindungan hukum bagi kreditor

pemegang tanggungan.

2) Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis

Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali sini mengandung

makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan

aturan hukum yang umum19

. Berdasarkan asas ini harus ditentukan

terlebih dahulu ketentuan hukum yang bersifat Lex Specialis dan

ketentuan hukum yang bersifat Legi Generalis. Menurut pendapat

penulis, ketentuan UUHT merupakan Lex Specialis, karena UUHT

merupakan ketentuan yang secara khusus diciptakan untuk mengatur

16Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis

dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 264 17Ibid 18Philipus M. Hadjon, Op.cit, hlm. 20 19

Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.

102

27

perjanjian yang dilakukan oleh pihak debitor dan kreditor terkait

pemberian benda jaminan atas utang-piutang yang telah dilakukan oleh

kedua belah pihak yang memberikan kewenangan kepada kreditor

untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan tersebut apabila debitor

melakukan wanprestasi. Kemudahan melakukan eksekusi atas benda

jaminan tersebut merupakan upaya untuk memberikan perlindungan

hukum kepada kreditor sekaligus untuk mengembangkan perekonomian

negara dengan menciptakan lembaga jaminan untuk menstimulus pihak

perbankan memberikan kredit kepada masyarakat, sedangkan UU

Kepailitan dan PKPU merupakan Legi Generalis karena merupakan

ketentuan yang berlaku umum untuk memberikan perlindungan kepada

kreditor-kreditor untuk memperoleh pelunasan pembayaran piutang dari

debitor, yang umumnya merupakan kreditor konkuren yang tidak

memiliki jaminan kebendaan, sehingga terkait pengaturan mengenai

hak kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis untuk

mengeksekusi benda jaminan harus tunduk pada ketentuan yang

terdapat pada UUHT.

Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus

(specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis).

Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin, dengan asas ini

maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika

telah ada aturan yang bersifat khusus20

. Terkait dengan hal tersebut

apabila terjadi kepailitan, maka ketentuan hukum yang berlaku bagi

kreditor pemegang hak tanggungan adalah tetap UUHT dan ketentuan

yang diatur UU Kepailitan dan PKPU sebatas ketentuan tersebut tidak

diatur oleh UUHT. Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang

20Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Aturan Yang

Bersifat Umum, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21165-

aturan-yang-bersifat -khusus-mengesampingkan-aturan-yang-bersifat-umum, diakses tangggal 21

Maret 2016 pukul 19:00 WIB

28

harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis,

yaitu21

:

a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap

berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus

tersebut;

b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-

ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);

c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan

hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.

Penerapan asas Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis perlu

dilakukan demi terciptanya perlindungan hukum bagi kreditor

pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi benda jaminan yang

dimilikinya, sehingga tidak perlu adanya ketentuan penangguhan

eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang

menghambat dan menghalangi pelaksanaan hak pemegang hak

tanggungan.

3) Penyempurnaan Pengaturan dengan Melakukan Revisi terhadap

UU Kepailitan dan PKPU

Upaya hukum yang harus dilakukan untuk menjadikan konsisten

UU Kepailitan dan PKPU adalah dengan melakukan penyempurnaan

pengaturan dengan melakukan revisi terhadap UU Kepailitan dan

PKPU, karena Kepailitan dan PKPU inkonsisten dengan mengakui

kedudukan hak kreditor pemegang hak tanggungan akan tetapi

kemudian menerapkan ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay)

dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang merugikan bagi kreditor

21Hukumonline, Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-

legi-generalis, diakses tangggal 10 Desember 2015 pukul 19:00 WIB

29

pemegang hak tanggungan, berikut ini adalah alasan-alasan perlu

dilakukannya revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU:

a) Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU atas Pengakuan Hak

Eksekusi bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

UU Kepailitan dan PKPU yang tetap mengakomodir

kedudukan yang didahulukan (droit de preference) dan diutamakan

bagi kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana diatur Pasal

55 ayat (1), dan Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 55 Ayat

(1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,

Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan

fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan

lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi

kepailitan”. Selanjutnnya Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU

berbunyi: “Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda

yang merupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang

menurutketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah

dijual sendirioleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya”. Akan

tetapi, terdapat ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut

hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,

ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)

hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Pasal 59

ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Dengan tetap

memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor

pemegang hak sebagaimana dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus

melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2

(dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Ketentuan kedua pasal tersebut

30

membatasi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan

eksekusi benda jaminan secara langsung karena adanya penangguhan

selama 90 (Sembilan puluh) hari dan pembatasan eksekusi selama 2

(dua) bulan dan hal ini merupakan bentuk inkonsistensi UU

Kepailitan dan PKPU yang memberikan pengakuan akan tetapi

membatasi dan ketentuan ini juga sangat kontradiktif dengan Pasal

21 UUHT yang memberikan perlakuan yang sama bagi kreditor

pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi meskipun

terjadi kepailitan pada diri debitor.

Pasal 21 UUHT menentukan bahwa: “Apabila pemberi Hak

Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap

berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut

ketentuan Undang-Undang ini”, selanjutnya di dalam penjelasan

pasal tersebut ditentukan bahwa: “Ketentuan ini lebih memantapkan

kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan

mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak

Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan”. Berdasarkan

ketentuan pasal tersebut menjelaskan mengenai adanya kepailitan

tidak berpengaruh terhadap pelaskanaan hak kreditor pemegang hak

tanggungan, akan tetapi ketentuan ini tidak sepenuhnya dapat

diberlakukan karena adanya putusan pailit mengakibatkan status

benda jaminan menjadi boedel pailit, termasuk benda milik debitor

yang telah dibebani benda jaminan, sehingga segala perikatan berupa

kewajiban pembayaran yang harus dilakukan debitor pailit

menyesuaikan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang mengenal

adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu

eksekusi sebagaimana diatur Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1)

UU Kepailitan dan PKPU.

Terjadinya kepailitan pada debitor memberikan konsekuensi

yuridis bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila tidak

melakukan eksekusi dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, yaitu

31

beralihnya hak eksekusi tersebut demi hukum kepada kurator,

sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU yang

berbunyi: “Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi

agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor

pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut”.

Berdasarkan ketentuan pasal ini proses eksekusi beralih menjadi hak

kurator dengan tetap memberikan kedudukan yang diutamakan bagi

kreditor pemegang hak tanggungan tersebut, akan tetapi terdapat

perbedaan prioritas bagian yang diterima oleh kreditor pemegang

hak tanggungan apabila eksekusi dilakukan kurator, yaitu kreditor

pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis memperoleh

bagian hasil penjualan setelah sebelumnya digunakan untuk

pembayaran bagi kreditor preferen selaku pemegang hak istimewa

yaitu pajak dan biaya kepailitan, hal ini tidak akan diberlakukan

apabila eksekusi dilakukan sendiri oleh kreditor pemegang hak

tanggungan.

b) Pemberlakuan dan Penerapan Penangguhan Eksekusi (Stay) dan

Pembatasan Jangka Waktu Eksekusi Merugikan Kepentingan

Kreditor Pemegang Hak Tanggungan.

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU

Kepailitan dan PKPU yang mengatur mengenai mekanisme

penangguhan eksekusi (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan

pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan merupakan

mekanisme yang merugikan kepentingan kreditor pemegang hak

tanggungan dan tidak memberikan perlindungan hukum dan keadilan

bagi kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis,

karena pemberlakuan dan penerapan penangguhan eksekusi (stay)

dan pembatasan jangka waktu eksekusi tersebut disertai ketentuan

32

yang kurang memberikan perlindungan hukum bagi kreditor

pemegang hak tanggungan, yaitu:

(1) Perlindungan Hukum atas Benda Jaminan yang

Ditangguhkan Tidak Memberikan Keadilan bagi Kreditor

Pemegang Hak Tanggungan

Penangguhan ekesekusi benda jaminan (stay) yang

dilakukan oleh kurator akan sangat berpengaruh pada nilai jual

benda jaminan tersebut kedepannya, sehingga oleh karena itu

sudah seharusnya benda jaminan mendapatkan perlindungan

yang memadai supaya tidak terjadi penurunan nilai benda

jaminan tersebut. Pada saat penangguhan berlangsung, kurator

dapat menggunakan benda jaminan tersebut guna menjalankan

usaha debitor yang dianggap masih memilik prospek yang bagus

untuk meningkatkan nilai boedel pailit, dan atas penangguhan

tersebut disertai dengan perlindungan yang wajar atas benda

jaminan, hal ini sebagaimana tercantum pada Pasal 56 ayat (3)

UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Selama jangka waktu

penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator

dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak

maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa

benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam

rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan

perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak

ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Selanjutnya

Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi:

“Yang dimaksud dengan "perlindungan yang wajar" adalah

perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi

kepentingan Kreditor atau pihak ketiga yang haknya

ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan, hak

kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum.

Perlindungan dimaksud, antara lain, dapat berupa:

33

(a) Ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;

(b) Hasil penjualan bersih;

(c) Hak kebendaan pengganti; atau

(d) Imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang

yang dijamin) lainnya.

Meskipun ditangguhkan eksekusinya hak atas tanah

tersebut tidak boleh dipindahtangakan oleh kurator. Harta pailit

yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya

pada barang persedian (invetory) dan atau barang bergerak

(current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan

hak tanggungan atas kebendaan22

. Ketentuan terkait

penangguhan eksekusi (stay) dapat berakibat menurunkan nilai

jual benda jaminan yang dapat berakibat kerugian bagi kreditor

pemegang hak tanggungan untuk memperoleh pembayaran

piutang yang dimilikinya tersebut dari hasil penjualan benda

jaminan, ketentuan yang memberikan kemungkinan bagi

kreditor pemegang hak tanggungan untuk memperoleh ganti

rugi atas penurunan benda jaminan tersebut menjadi tidak

realistis apabila boedel pailit yang tersedia lebih sedikit dari

kerugian yang diakibatkan penurunan nilai benda jaminan,

mengingat boedel pailit tersebut telah digunakan oleh kurator

sehubungan dengan kegiatan pengurusan dan pemberesan yang

telah dilakukan kurator.

Hak tersebut di atas sengaja diberikan kepada Kurator

agar Kurator dapat menggunakan atau menjual harta pailit yang

berada dalam pengawasan Kurator terlebih dahulu, untuk

memenuhi kewajibannya, ini berarti tidak hanya kepentingan

kreditor yang diutamakan melainkan juga agar kepentingan

22Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit, hlm163

34

kelangsungan usaha debitor tetap terjaga23

. Urgensi pengaturan

terkait hal ini tidak tepat, meskipun usaha debitor masih

prospektif dijalankan akan tetapi debitor telah melakukan

wanprestasi, dan sudah selayaknya atas dasar wanprestasi

tersebut pemegang hak tanggungan melakukan hak eksekusi

yang dimilikinya sebagaimana telah diperjanjikan dalam APHT

terkait hak bagi kreditor pemeng hak tanggungan untuk

melakukan eksekusi apabila debitor wanprestasi dan hal ini juga

telah ditentukan di dalam Pasal 20 UUHT.

(2) Pemberian Hak bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

untuk Melakukan Perlawanan atas Penangguhan Eksekusi

(Stay) Tidak Cukup untuk Melindungi Hak Kreditor

Pemegang Hak Tanggungan

Penangguhan eksekusi (stay) yang diberlakukan atas

benda jaminan tentunya akan membatasi ruang gerak bagi

kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi

sendiri atas benda jaminan tersebut, sehingga apabila dilakukan

tanpa dasar yang tepat penangguhan eksekusi tersebut akan

merugikan kreditor pemegang hak tanggungan. Berakhirnya

jangka waktu eksekusi demi hukum terjadi saat kepailitan

diakhiri lebih awal atau setelah terjadinya insolvensi

sebagaimana diatur pada Pasal 57 ayat (1) yang berbunyi:

“Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1)

berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat

atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Pasal 178 ayat (1) UU

Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Jika dalam rapat pencocokan

piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana

perdamaian yang ditawarkan tidak diterima,atau pengesahan

23

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis:Kepailitan, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2002, hlm 58

35

perdamaian ditolak berdasarkan putusan yangtelah memperoleh

kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam

keadaan insolvensi”.

Berdasarakan kedua pasal tersebut berakhirnya jangka

waktu penangguhan eksekusi (stay) dapat terjadi karena

berakhirnya kepailitan lebih cepat atau terjadinya insolvensi,

yaitu suatu keadaan yang terjadi jika jumlah boedel pailit lebih

kecil daripada jumlah tagihan utang yang harus dibayar

sehingga mengakibatkan tidak dapat terbayar lunasnya seluruh

tagihan utang, sehingga pembagian dilakukan secara seimbang

berdasarkan presentase utang masing-masing kreditor,

dikecualikan bagi kreditor pemegang hak tanggungan yang

memiliki kedudukan yang lebih diutamakan dari kreditor

konkuren.

Berhentinya penangguhan eksekusi (stay) selain

berdasarkan kedua alasan tersebut dapat juga diakhiri dengan

dikabulkannya upaya hukum pengangkatan penangguhan yang

diajukan kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana

diatur pada Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) UU Kepailitan dan

PKPU. Pasal 57 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi:

“Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat

mengajukan permohonan kepada Kurator untuk

mengangkatpenangguhan atau mengubah syarat penangguhan

tersebut”. Pasal 57 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi:

“Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana

dimaksudpada ayat (1), Kreditor atau pihak ketiga dapat

mengajukanpermohonan tersebut kepada Hakim Pengawas”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut kreditor pemegang

hak tanggungan dapat mengajukan permohonan pengangkatan

penangguhan eksekusi apabila penangguhan eksekusi tersebut

dilakukan tanpa adanya perlindungan kepada benda jaminan

36

yang berakibat akan merugikan hak kreditor pemegang hak

tanggungan, adapun upaya hukum permohonan pengangkatan

penangguhan eksekusi tersebut dapat diajukan kepada kurator

dan apabila ditolak oleh kurator maka kemudian dapat diajukan

kepada hakim pengawas.

Prosedur untuk mengajukan upaya hukum pengangkatan

penangguhan eksekusi, adalah sebagai berikut:

(a) Kreditor pemegang hak tanggungan mengajukan permohonan

pengangkatan penanguhan eksekusi kepada kurator24

.

(b) Apabila permohonan ditolak oleh kurator, maka kreditor

pemegang hak tanggungan dapat mengajukan kepada hakim

pengawas25

.

(c) Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari

setelah permohonan diterima,wajib memerintahkan kurator

untuk segera memanggil dengansurat tercatat atau melalui

kurir, kreditor pemegang hak tanggungan untuk didengar

pada siding pemeriksaan atas permohonan tersebut26

.

(d) Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas

permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari27

.

(e) Penetapan Hakim Pengawas dapat berupa diangkatnya

penangguhan untuk satu atau lebih Kreditor, dan/atau

menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu

penangguhan, dan/atau tentang satu atau beberapa agunan

yang dapatdieksekusi oleh Kreditor28

.

24Pasal 57 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. 25Pasal 57 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU 26Pasal 57 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU 27

Pasal 57 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU 28Pasal 58 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

37

Terkait dikabulkan tidaknya permohonan pengangkatan

penangguhan, Hakim Pengawas mempertimbangkan29

:

(a) Lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah

berlangsung;

(b) Perlindungan kepentingan kreditor;

(c) Kemungkinan terjadinya perdamaian;

(d) Dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan

(e) Manajemen usaha Debitor serta pemberesan harta pailit.

Apabila Hakim Pengawas menolak untuk mengangkat

atau mengubah persyaratan penangguhan tersebut, Hakim

Pengawas wajib memerintahkan agar Kurator memberikan

perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi

kepentingan pemohon30

. Jika upaya hukum pengangkatan

penangguhan yang dilakukan oleh kreditor pemegang hak

tanggungan tersebut juga ditolak oleh hakim pengawas, maka

upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan

mengajukan perlawanan kepada hakim pengawas melalui

pengadilan niaga sebagaimana diatur pada Pasal 58 ayat (3) UU

Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Terhadap penetapan

Hakim Pengawas, Kreditor atau pihak ketigayang mengajukan

permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2)

atau Kurator dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan

dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan

diucapkan, dan Pengadilan wajib memutuskan perlawanan

tersebut dalam jangka waktu palinglambat 10 (sepuluh) hari

setelah perlawanan tersebut diterima”. Pasal 58 ayat (4) UU

Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa: “Terhadap putusan

Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat

diajukan upaya hukum apapun termasukpeninjauan kembali.

29

Pasal 57 ayat (6) UU Kepailitan dan PKPU 30Pasal 58 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU

38

Ketentuan yang memberikan kesempatan kepada

kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengajukan upaya

hukum permohonan pengangkatan dan perlawanan penetapan

hakim pengawas atas penangguhan eksekusi merupakan bentuk

perlindungan hukum bagi kreditor separatis terkait hak eksekusi

yang dimilikinya, akan tetapi ketentuan ini menurut pendapat

penulis, tidak cukup untuk melindungi kepentingan kreditor

pemegang hak tanggungan, karena pertimbangan hukum hakim

pengawas dalam memberikan putusan lebih condong kepada

kepentingan kreditor konkuren dan debitor pailit terkait

dikabulkan tidaknya permohonan pengangkatan penangguhan,

yang masih dipertimbangkannya kemungkinan tercapainya

perdamaian dan prospektif tidaknya usaha debitor, padahal

UUHT secara tegas menentukan apabila terjadi wanprestasi

yang dilakukan oleh debitor, maka kreditor pemegang hak

tanggungan dapat melakukan eksekusi, hak ini sebenarnya

diakui oleh UU Kepailitan dan PKPU akan tetapi UU Kepailian

dan PKPU telah mengamputasi hak tersebut dengan

memberikan ketentuan penangguhan (stay) yang merugikan dan

menghambat pelaksanaan hak kreditor pemegang hak

tanggungan tersebut.

(3) Bentuk Pertanggungjawaban Kurator terkait Penjualan

Benda Jaminan yang Dilakukan oleh Kurator Tidak diatur

Secara Tegas

Hal krusial yang tidak diatur secara tegas oleh UU

Kepailitan dan PKPU adalah pemberian kewenangan bagi

kurator untuk menjual benda jaminan yang tidak dieksekusi oleh

kreditor pemegang hak tanggungan selama jangka waktu 2 (dua)

bulan setelah berlakunya masa eksekusi, hal ini diatur pada

Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi:

“Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

39

(1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi

agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor

pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, kreditor pemegang hak

tanggungan hanya diberikan waktu selama 2 (dua) bulan untuk

melakukan eksekusi benda jaminan, dan setelah lewatnya jangka

waktu tersebut berakhir kewenangan yang dimiliki oleh kreditor

pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi benda jaminan

tersebut demi hukum beralih kepada kurator dan penjualan

benda jaminan menjadi tanggung jawab kurator. Beralihnya

kewenangan eksekusi benda jaminan kepada kurator membuat

semakin inkonsisten sikap UU Kepailitan dan PKPU terhadap

kreditor pemegang hak tanggungan, yang pada ketentuan Pasal

55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU mengakui eksistensi hak

eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan, akan tetapi

kemudian meniadakan hak eksekusi tersebut jika kreditor

pemegang hak tanggungan belum melakukan eksekusi dalam

jangka waktu 2 (dua) bulan, ketentuan ini juga menghancurkan

sendi-sendi hukum jaminan yang menjamin kemudahan

eksekusi bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk

melakukan eksekusi apabila debitor wanprestasi.

Terkait pelaksanaan kewenangan eksekusi oleh kurator

dilaksanakan sebagai berikut:

(a) Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata

cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan31

.

(b) Dalam hal penjualan di muka umumtidak tercapai maka

penjualan di bawah tangandapat dilakukan dengan izin

Hakim Pengawas32

.

31

Pasal 185 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. 32Pasal 185 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.

40

(c) Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak

dapatdibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan

yang haru dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin

Hakim Pengawas33

.

(d) Kurator berkewajiban membayar piutang Kreditor

yangmempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga

bendaitu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit34

.

Mekanisme penjualan benda jaminan yang dilakukan

oleh kurator layaknya kewenangan yang diberikan kepada

pemegang hak tanggungan oleh UUHT, yaitu dilakukan di muka

umum melalui pelelangan di Kantor Pelayanan Kekayaan

Negara dan Lelang (KPKNL) setempat. Permohonan Lelang

Harta Pailit dapat diajukan oleh kurator Harta Pailit yaitu Balai

Harta Peninggalan (BHP), atau kurator lain. Adapun

prosedurnya sebagai berikut35

:

(a) BHP atau Kurator mengajukan permohonan lelang pada

Kantor Lelang Negara (KLN) setempat, dengan melampirkan

Putusan Pailit dan Bukti-bukti Kepemilikan Atas Harta Pailit.

(b) KLN menetapkan tanggal dan waktu lelang.

(c) Dalam obyek lelang berupa tanah, KLN meminta SKPT ke

Kantor Pertanahan setempat.

(d) BHP atau Kurator menentukan Harga Limit dari Harta Pailit

dan mengadakan Pengumuman Lelang.

(e) Tiga hari sebelum lelang, BHP atau Kurator menyerahkan

bukti Pengumuman Lelang kepada KLN.

(f) Para peminat/peserta lelang harus menyetor uang jaminan

lelang dan dapat meminta penjelasan/keterangan mengenai

33Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU. 34Pasal 185 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU. 35

Elijana. S, dkk, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 556-557

41

objek lelang kepada KLN, BHP, atau Kurator serta bila perlu

dapat meminjam objek lelang.

(g) Pejabat lelang menetapkan pemenang lelang pada saat lelang

dan menandatangani Risalah lelang bersama-sama Penjual

(BHP/Penjual) dan Pemenang Lelang (Pembeli).

(h) Pembayaran Pemenang/Pembeli Lelang secara Kontan,

terdiri dari Harga Pokok, Bea Lelang Pembeli dan Uang

Miskin sesuai dengan ketentuan.

(i) BHP/Kurator dapat menerima hasil lelang setelah dipotong

Bea Lelang dan PPh (dalam hal objek lelang berupa tanah

dan atau bangunan)

(j) Pemenang/Pembeli Lelang dapat meminta Petikan Risalah

Lelang ke KLN untuk dipergunakan sebagai dasar peralihan

objek lelang.

Selain melalui lelang, penjualan benda jaminan oleh

kurator dapat juga melalui penjualan di bawah tangan atas izin

hakim pengawas, terkait izin yang diberikan oleh hakim

pengawas, maka hakim pengawas akan turut bertanggung jawab

atas penjualan di bawah tangan yang dilaksanakan oleh kurator.

Penjualan di bawah tangan yang dilakukan kurator ini sangat

riskan dengan praktik penyelewengan karena bisa saja kurator

melakukan kongkalikong dengan pihak pembeli ataupun debitor

pailit yang pada akhirnya menyebabkan benda jaminan terjual

dengan harga rendah dan merugikan kepentingan kreditor

pemegang hak tanggungan.

Ketentuan tersebut mengisyaratan penjualan barang

jaminan Hak Tanggungan bersama-sama menjadi satu dengan

seluruh harta (boedel) pailit yang penjualannya akan dilakukan

oleh kurator36

. Penjualan atas benda jaminan yang dilakukan

oleh kurator sangat riskan akan merugikan hak dari kreditor

36J. Andy Hartanto. Op.Cit, hlm 107

42

pemegang hak tanggungan, oleh karena itu pelaksanaan

penjualan yang dilakukan oleh kurator tersebut harus disertai

adanya mekanisme pertanggungjawaban kurator,

pertanggungjawaban kurator terkait kepailitan diatur pada Pasal

72 UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Kurator

bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam

melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang

menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”. Berdasarkan

ketentuan tersebut, apabila terdapat unsur kesalahan atau

kelalaian pada saat penjualan benda jaminan yang

mengakibatkan benda jaminan terjual dengan harga yang tidak

wajar ataupun adanya persekongkolan yang dilakukan kurator

dengan pembeli benda jaminan dan mengakibatkan piutang yang

dimiliki kreditor pemegang hak tanggungan tidak dapat terbayar

sepenuhnya, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat

melakukan mekanisme meminta pertanggungjawaban kurator

karena telah mengakibatkan kerugian bagi dirinya. Ketentuan

pertanggungjawaban kurator yang diatur oleh UU Kepailitan

dan PKPU tidak mengatur secara tegas bentuk-bentuk

pertanggungjawaban yang dapat dikenakan terhadap kurator

akan lebih baik jika pertanggungjawaban tersebut ditegaskan

juga mengenai ketentuan pidana dan perdata yang dapat

dikenakan kepada kurator, selain itu unsur kesalahan dan

kelalaian yang ditentukan tersebut hendaknya lebih dijabarkan

unsur-unsurnya sehingga tidak menjadi pasal karet yang sulit

untuk menjerat kurator yang merugikan kepentingan kreditor

pemegang hak tanggungan.

Ini berarti kurator dalam melakukan pengurusan dan

pemberesan tidak dapat bertindak sewenang-wenang, karena

apabila ada perbuatan kurator yang merugikan harta pailit, maka

harta pribadi kurator turut bertanggung jawab atas perbuatan

43

tersebut37

. Selain itu, pada diri kurator juga diwajibkan untuk

memberikan pelaporan kepada hakim pengawas terkait dengan

penyelenggaran tugas dan kewajibannya, sebagaimana diatur

pada Pasal 74 UU ayat (1) Kepailitan dan PKPU yang berbunyi:

“Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas

mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3

(tiga) bulan”. Ketentuan ini kurang efektif karena tidak adanya

ketentuan mengenai sanksi apabila kurator tidak memberikan

laporan tersebut, selain itu waktu 3 (tiga) bulan bahkan dapat

diperpanjang oleh hakim pengawas sangat tidak efektif karena

terlalu lama, sehingga sebaiknya ada mekanisme bagi kreditor

pemegang hak tanggungan untuk sewaktu-waktu dapat meminta

laporan kepada kurator apabila dikhawatirkan ada tindakan-

tindakan yang dilakaukan oleh kurator yang akan merugikan.

Upaya hukum lain yang dapat digunakan oleh kreditor

pemegang hak tanggungan adalah mengajukan keberatan atas

tindakan yang diambil oleh kurator terkait pengurusan dan

pemberesan benda jaminan, sebagaimana diatur Pasal 77 ayat

(1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Setiap Kreditor,

panitia kreditor, dan Debitor Pailit dapat mengajukan surat

keberatan kepada Hakim Pengawas terhadap perbuatan yang

dilakukan oleh Kurator atau memohon kepada Hakim Pengawas

untuk mengeluarkan surat perintah agar Kurator melakukan

perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah

direncanakan”.

Mekanisme pengajuan surat keberatan yang dapat

diajukan oleh kreditor, termasuk di dalamnya kreditor pemegang

hak tanggungan merupakan sarana perlindungan hukum bagi

kreditor pemegang hak tanggungan untuk memperjuangkan hak

yang dimilikinya atas benda jaminan yang berada di dalam

37Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 151

44

pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator.

Tahap-tahap pengajuan keberatan adalah sebagi berikut:

(a) Kreditor pemegang hak tanggungan mengajukan surat

keberatan kepada kurator melalui hakim pengawas.

(b) Hakim Pengawas harus menyampaikan surat keberatan

kepada Kurator paling lambat 3 (tiga) hari setelah surat

keberatan diterima38

.

(c) Kurator harus memberikan tanggapan kepada Hakim

Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah menerima surat

keberatan39

.

(d) Hakim Pengawas harus memberikan penetapan paling lambat

3 (tiga) hari setelah tanggapan dari Kurator diterima40

.

Menurut pendapat Jerry Hoff, terhadap kerugian yang

timbul sebagai akibat dari tindakan kurator bisa menjadi

tanggung jawab pribadi kurator, yang berarti menjadi beban

harta pribadi kurator untuk mengganti kerugian tersebut. Di sisi

lain, kerugian yang muncul sebagai akibat atas bertindak atau

tidaknya kurator dibebankan pada harta pailit untuk mengganti

kerugian tersebut41

. Tindakan yang dilakukan kurator terkait

penjualan benda jaminan yang merugikan bagi kreditor

pemegang hak tanggungan dapat dikategorikan sebagai bentuk

perbuatan melawan (onrechtmatige daad), sebagaimana diatur

pada Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tiap perbuatan

yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena

kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Penjualan benda

jaminan yang dilakukan oleh kurator apabila tidak dilakukan

dengan profesional dan transparan yang menyebabkan benda

38 Pasal 77 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU 39Pasal 77 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU 40Pasal 77 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU 41

Imran Nating, Pernanan Dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 116

45

jaminan terjual dengan harta rendah dan merugikan kreditor

pemegang hak tanggungan untuk memperoleh pelunasan

piutangnya, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat

mendalilkan ketentuan perbuatan melawan hukum tersebut untuk

menggugat kurator.

(4) Eksekusi Benda Jaminan Sulit Dilakukan dalam Jangka

Waktu 2 (dua) Bulan

Ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

mewajibkan kreditor pemegang hak tanggungan harus sudah

melakukan eksekusi benda jaminan selama jangka waktu 2 (dua)

bulan, jangka waktu yang diberikan oleh UU Kepailitan dan

PKPU tersebut apabila tidak ditaati akan memberikan

konsekuensi yuridis yakni setelah lewatnya jangka waktu

tersebut benda jaminan wajib diserahkan kepada kurator, dan

kurator akan melakukan penjualan benda jaminan tersebut

beserta boedel pailit lainnya dalam rangka pemberesan boedel

pailit. Proses eksekusi benda jaminan yang dilakukan oleh

kreditor pemegang hak tanggungan lazimnya dilakukan dengan

mengggunakan prosedur lelang melalui Kantor Pelayanan

Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang merupakan

lingkup Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Pengaturan terkait prosedur lelang di Indonesia diatur di

dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia

Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Pasal 1 angka (1) PMK Nomor 27/PMK.06/2016 berbunyi:

"Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum

dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang

semakin meningkatatau menurun untuk mencapai harga

tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang”. Lelang

dibedakan menjadi 2, yaitu lelang eksekusi dan lelang non

eksekusi, lelang atas benda jaminan merupakan jenis lelang

46

eksekusi sebagaimana diatur Pasal 1 angka (4) PMK Nomor

27/PMK.06/2016 yang berbunyi: “Lelang Eksekusi adalah

lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan

pengadilan,dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan

itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan”.

Berikut ini adalah jangka waktu penyelesaian lelang

melalui KPKNL: Lelang Eksekusi barang tidak bergerak atau

barang bergerak yang dijualbersama dengan barang tidak

bergerak 34 (tiga puluh empat) hari kerjadengan rincian:

(a) Jangka waktu penetapan hari dan tanggal lelang 1 (satu) hari

sejak dokumen permohonan lelang telah lengkap;

(b) Penyusunan Pengumuman Lelang 1 (satu) hari; Pengumuman

Lelang Pertama 15 (lima belas) hari dan Pengumuman

Lelang Kedua 15 (lima belas) hari, sehingga jumlah totalnya

adalah 30 (tiga puluh) hari;

(c) Pelaksanaan Lelang 1 (satu) hari;

(d) Penyampaian Kutipan Risalah Lelang 1 (satu) hari kerja

sejakpermintaan Kutipan Risalah Lelang dari pemenang

lelang42

.

Berdasarkan jangka waktu yang ditentukan pada Standar

Prosedur Operasi (Standard Operating Procedure) Kantor

Pelayanan KPKNL, kreditor pemegang hak tanggungan

memiliki kesempatan untuk melaksanakan penjualan benda

jaminan melalui KPKNL karena hanya memerlukan jangkat

waktu paling lama 34 (tiga puluh empat). Apabila saat

pelaksanaan lelang tidak ada peserta lelang sehingga tidak ada

pemenang lelang, maka kreditor pemegang hak tanggungan

dapat mengajukan permohonan kepada KPKNL untuk

42

Standar Prosedur Operasi (Standard Operating Procedure) Kantor Pelayanan Kekayaan

Negara dan Lelang (KPKNL)

47

menyelenggarakan lelang kembali yang lazim disebut lelang

ulang sebagaimana diatur Pasal 1 angka (24) PMK Nomor

27/PMK.06/2016 yang berbunyi: “Lelang Ulang adalah

pelaksanaan lelang yang dilakukan untuk mengulang lelang

yang tidak adapeminat, lelang yang ditahan atau lelang yang

Pembelinya wanprestasi”. Meskipun secara teori dapat jangka

waktu lelang bisa dilaksanakan dalam jangka waktu 34 (tiga

puluh empat) hari dan masih adanya upaya lelang ulang, akan

tetapi hal ini akan terasa sulit jika benda jaminan yang dibebani

hak tanggungan berjumlah banyak dengan nilai yang tinggi.

Di dalam praktik sangat sulit bagi seorang Kreditor

untnuk dapat melakukan eksekusi Hak-hak Jaminannya dalam

jangka waktu 2 (dua) bulan. Banyak faktor di luar kendali

Kreditor Pemegang Hak Jaminan yang berlarut-larutnya

eksekusi Hak Jaminan itu. Misalnya, mungkinkah bagi bank

untuk dapat menjual sebuah pabrik semen atau sebuah hotel

bintang 5 (lima) yang merupakan agunan bagi bank berdasarkan

pembebanan Hak Tanggungan hanya dalam jangka waktu 2

(dua) bulan saja43

. Sudah seharusnya tidak dilakukan

pembatasan jangka waktu eksekusi bagi kreditor pemegang hak

tanggungan, untuk memberikan perlindungan kepada kreditor

lain cukup dengan ketentuan mekanisme pertanggung jawaban

penyelenggaraan lelang saja.

.

Meskipun banyak menyudutkan kepentingan kreditor

pemegang hak tanggungan, akan tetapi ada beberapa ketentuan

43 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hlm. 292

48

UU Kepailitan dan PKPU yang terkait kreditor pemegang hak

tanggungan yang harus tetap dipertahankan karena memberikan

perlindungan bagi pemegang hak tanggungan, yaitu:

(1) Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Menggabungkan

Diri Menjadi Kreditor Konkuren Apabila Piutangnya

Belum Terlunasi dari Benda Jaminan

Jika dari awal diperkirakan hasil penjualan barang objek

jaminan hak tanggungan tidak akan mencukupi pembayaran

seluruh utang dari kreditor separatis pemegang hak tanggungan,

kreditor separatis pemegang hak tanggungan selain dapat

mendaftarkan diri selaku kreditor separatis dapat juga

mendaftarkan diri lagi selaku kreditor bersaing (konkuren)

terhadap sisa utang yang diperkirakan tidak akan dicukupi oleh

hasil eksekusi lelang jaminan utang tersebut . Meskipun hal ini

jarang terjadi karena biasanya nilai taksiran benda jaminan lebih

rendah dari nilai jualnya, akan tetapi apabila terjadi salah

perhitungan ataupun penurunan nilai jual karena faktor alam

akan menyebabkan nilai benda jaminan tidak cukup untuk

melunasi seluruh utang debitor kepada kreditor pemegang hak

tanggungan.

Adakalanya hasil penjualan melalui lelang masih tidak

cukup untuk melunasi utang debitor pailit, sehingga kreditor

pemegang hak tanggungan dapat mengatasi hal tersebut dengan

cara menggabungkan diri sebagai kreditor konkuren atas

kekurangan pembayaran tersebut. Ketentuan ini diatur pada

Pasal 60 ayat (3), Pasal 138 dan Pasal 189 ayat (5) UU

Kepailitan dan PKPU. Pasal 60 ayat (3) UU Kepailitan dan

PKPU berbunyi: “Dalam hal hasil penjualan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang

yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat

mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari

49

harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan

permintaan pencocokan piutang”. Pasal 138 UU Kepailitan dan

PKPU menentukan bahwa: “Kreditor yang piutangnya dijamin

dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak

agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang

diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan

dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut

kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan

benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak

yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut,

tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang

menjadi agunan atas piutangnya”. Lebih lanjut Pasal 189 ayat

(5) UU Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa: “Dalam hal

hasil penjualan benda sebagaimana dimaksud padaayat (4) tidak

mencukupi untuk membayar seluruh piutangKreditor yang

didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan

sebagai kreditor konkuren”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, UU

Kepailitan dan PKPU memberikan perlindungan hukum kepada

kreditor pemegang hak tanggungan atas pembayaran utang

debitor dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan diri

sebagai kreditor konkuren terkait kekurangan pelunasaan

pembayaran yang diperoleh dari eksekusi atas benda jaminan

tanpa perlu melepaskan kedudukannya selaku kreditor separatis,

sehingga hak dari kreditor pemegang hak tanggungan atas

pembayaran piutang yang dimilikinya lebih terjamin.

Berdasarkan ketentuan tersebut kreditor pemegang hak

tanggungan juga memiliki legal standing untuk mengajukan

permohonan pailit kepada debitornya, meskipun secara hukum

kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan sudah sangat

terlindungi dengan adanya titel eksekutorial pada sertifikat hak

50

tanggungan sehingga bisa melakukan eksekusi secara langsung

atas benda jaminan tersebut akan tetapi terkadang karena

kesalahan analisis benda jaminan (collateral) yang ternyata

memiliki nilai dibawah nilai analisis ataupun terjadinya suatu

musibah yang menyebabkan turunnya nilai benda jaminan, oleh

karena itu akan lebih menguntungkan jika ditempuh upaya

hukum pengajuan permohonan pailit.

(2) Upaya Hukum Kasasi yang dapat Diajukan oleh Pihak yang

Tidak Sebagai Subyek pada Permohonan Pailit tingkat

Pertama di Pengadilan Niaga

Kreditor pemegang hak tanggungan yang tidak sebagai

subyek pada permohonan pailit di pengadilan niaga dan merasa

tidak puas atas putusan pailit yang dijatuhkan kepada debitor,

maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi sebagaimana

diatur pada Pasal 11 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang

berbunyi: “Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), selain dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang

merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat

diajukan oleh Kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada

persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan

atas permohonan pernyataan pailit”. Berdasarkan ketentuan

pasal tersebut, pihak yang dapat mengajukan kasasi atas putusan

pailit yang dijatuhkan pengadilan niaga kepada debitor tidak

terbatas pada pihak-pihak yang sebagai subyek pada

permohonan pailit pada tingkat pertama di pengadilan saja, akan

tetapi dapat pula diajukan oleh kreditor lain yang merasa tidak

puas akan putusan pailit tersebut, termasuk di dalamnya kreditor

kurator. Tahap-tahap upaya hukum kasasi terkait putusan

kepailitan adalah sebagai berikut:

(a) Permohonan kasasidiajukan paling lambat 8 (delapan) hari

setelah tanggal putusanyang dimohonkan kasasi diucapkan,

51

dengan mendaftarkankepada Panitera Pengadilan yang telah

memutus permohonanpernyataan pailit44

.

(b) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal

permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada

pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani

panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal

penerimaan pendaftaran45

.

(c) Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada

PaniteraPengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan

kasasididaftarkan46

.

(d) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan

memorikasasikepada pihaktermohon kasasi paling lambat 2

(dua) hari setelah permohonankasasi didaftarkan47

.

(e) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori

kasasikepada panitera Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari

setelahtanggal termohon kasasi menerima memori kasasidan

panitera Pengadilan wajibmenyampaikan kontra memori

kasasi kepada pemohon kasasipaling lambat 2 (dua) hari

setelah kontra memori kasasi diterima48

.

(f) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori

kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang

bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14

(empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi

didaftarkan49

.

(g) Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi

danmenetapkan hari sidang paling lambat 2 (dua) hari

44 Pasal 11 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 45Pasal 11 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU 46Pasal 12 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 47Pasal 12 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU 48

Pasal 12 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU 49Pasal 12 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU

52

setelahtanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah

Agung50

.

(h) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan

palinglambat 20 (dua puluh) hari dan Putusan atas

permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat60 (enam

puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterimaoleh

Mahkamah Agung51

.

Ketentuan yang termuat pada Pasal 11 ayat (3) ini

merupakan payung hukum bagi kreditor pemegang hak

tanggungan apabila tidak puas atas putusan pailit tersebut, dan

merasa putusan pailit tersebut akan merugikan hak yang

dimilikinya, oleh karena itu adanya kesempatan bagi kreditor

yang tidak termasuk subyek pada tingkat pertama untuk

mengajukan kasasi merupakan bentuk perlindungan hukum bagi

pemegang hak tanggungan guna memperjuangkan haknya

supaya tidak terkena akibat kepailitan jika kepailitan tersebut

olehnya dianggap akan merugikan.

Penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi terhadap

UU Kepailitan dan PKPU mutlak harus dilakukan demi terciptanya

konsistensi UU Kepailitan dan PKPU sekaligus supaya sesuai dengan

UUHT dan memberikan perlindungan hukum bagi kreditor pemegang

hak tanggungan, ketentuan seperti ini apabila tidak direvisi akan

menyebabkan pertentangan antara kreditor pemegang hak tanggungan

dengan kreditor konkuren maupun dengan kurator selaku pengurus dan

pemberes boedel pailit, sebab berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU

ada mekanisme yang harus ditempuh oleh kreditor pemegang hak

tanggungan yaitu penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka

50

Pasal 13 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 51Pasal 13 ayat (2) dan (3) UU Kepailitan dan PKPU

53

waktu eksekusi yang akan dapat memicu terjadinya konflik pada

pelaksanaannya, sehingga UU Kepailitan dan PKPU harus direvisi agar

terjadi konsistensi dan kejelasan materi muatan yang terkandung di

dalamnya sehingga memberikan perlindungan hukum bagi kreditor

pemegang hak tanggungan atas hak eksekusinya.

Penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu

eksekusi harus dihilangkan, karena pemberlakuan ketentuan tersebut

sangat merugikan bagi kreditor pemegang hak tanggungan sekaligus

dapat melemahkan sendi-sendi hukum jaminan yang dapat

menghilangkan kepercayaan pihak kreditor untuk melakukan perjanjian

utang piutang karena lemahnya kedudukan kreditor pemegang hak

tanggungan apabila terjadi kepailitan.

54

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap

inkonsistensi penangguhan eksekusi dan pembatasan jangka waktu

eksekusi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, penulis

mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terhadap pengakuan hak

eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan terlihat dari sikap UU

Kepailitan dan PKPU yang memberikan pengakuan atas hak eksekusi

kreditor pemegang hak tanggungan akan tetapi kemudian menjadi

tidak realistis dengan pemberlakukan ketentuan terkait penangguhan

eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi. Inkonsistensi

UU Kepailitan dan PKPU tersebut mengakibatkan pertentangan pasal

56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan pasal 21

UUHT, benturan kepentingan para kreditor, tercapainya tujuan hukum

uu kepailitan dan pkpu dan uuht, serta terlaksananya asas-asas hukum

UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT.

2. Perlunya dilakukannya upaya-upaya untuk membuat UU Kepailitan

dan PKPU menjadi konsisten dengan cara: penerapan teori keadilan,

penerapan asas lex specialis derogat legi generalis serta

penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi yang terhadap

UU Kepailitan dan PKPU dengan menghapuskan ketentuan Pasal 56

ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) terkait penangguhan eksekusi (stay) dan

pembatasan jangka waktu eksekusi sebab ketentuan tersebut tidak

sesuai dengan teori keadilan karena tidak terlindunginya hak kreditor

pemegang hak tanggungan sebab: perlindungan hukum atas benda

131

55

jaminan yang ditangguhkan tidak memberikan keadilan bagi kreditor

pemegang hak tanggungan, pemberian hak bagi kreditor pemegang

hak tanggungan untuk melakukan perlawanan atas penangguhan

eksekusi (stay) tidak cukup untuk melindungi hak kreditor pemegang

hak tanggungan, bentuk pertanggungjawaban kurator terkait penjualan

benda jaminan yang dilakukan oleh kurator tidak diatur secara tegas,

serta eksekusi benda jaminan sulit dilakukan dalam jangka waktu 2

(dua) bulan, dan terkait perlindungan hukum yang harus

dipertahankan adalah hak kreditor pemegang hak tanggungan

menggabungkan diri menjadi kreditor konkuren apabila piutangnya

belum terlunasi dari benda jaminan dan upaya hukum kasasi yang

dapat diajukan oleh pihak yang tidak sebagai subyek pada

permohonan pailit tingkat pertama di pengadilan niaga.

B. Implikasi

1. Upaya untuk membuat konsisten UU Kepailitan dan PKPU perlu

dilakukan, yang bertujuan untuk menghindarkan benturan kepentingan

antara para kreditor akibat adanya pertentangan antara Pasal 56 ayat

(1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, mewujudkan asas-

asas dan tujuan hukum yang dianut dan tercantum di dalam UU

Kepailitan dan PKPU dan UUHT, serta terciptanya undang-undang

yang memberikan perlindungan hukum bagi para pihak.

2. Penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi terhadap UU

Kepailitan dan PKPU merupakan suatu keharusan untuk dilakukan

oleh pemerintah karena dengan adanya revisi tersebut dapat

menciptakan perlindungan hukum bagi pemegang hak tanggungan

atas hak eksekusi yang dimilikinya.

56

C. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan terkait dengan inkonsistensi

penangguhan eksekusi dan pembatasan jangka waktu eksekusi menurut

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, penulis mengambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Para pihak yang terkait di dalam proses kepailitan sebaiknya

menghormati dan mengakui adanya hak eksekusi yang dimiliki oleh

pemegang hak tanggungan, karena hak tersebut secara hukum telah

ditetapkan dan diatur oleh UUHT.

2. Hendaknya penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi

terhadap UU Kepailitan dan PKPU dengan menghilangkan ketentuan

terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu

eksekusi sehingga memberikan perlindungan hukum bagi kreditor

pemegang hak tanggungan dan mendukung eksistensi pranata hukum

hak jaminan berupa hak tanggungan

57

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku:

A.A. Andi Prayitno. 2010. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?. Surabaya:

Putra MediaNusantara.

Abdul Ghofur Anshori. 2013. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Prespektif

Hukum dan Etika. Yogyakarta: UII Press.

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti.

Achmad Alie. 2002. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ade Maman Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. 2002. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan.

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

A.P. Parlindungan. 1996. Komentar Undang-Undang Tentang Hak

Tanggungan & Sejarah Terbentuknya. Bandung: CV. Mandar Maju.

Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum – Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing.

Bernard Nainggolan. 2011. Perlindungan Hukum Seimbang Debitor,

Kreditor dan Pihak-Pihak Berkepentingan dalam Kepailitan. Bandung:

PT. Alumni

Burhan Ashofa. 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Dahlan Siamat. 1995. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Intermedia.

Dijan Widijowati. 2012. Hukum Dagang. Yogyakarta: CV. Andi.

Elijana.S, dkk. 2001. Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung:Alumni.

G.H.S. Lumbun Tobing. 1999. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta:

Erlangga.

Gatot Supramono. 2014. Perjanjian Utang Piutang. Jakarta: PT. Kencana

Prenamedia Group.

Gunawan Widjaja. 2009. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit.

Jakarta: Forum Sahabat.

58

Habib Adjie. 2014. Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT. PT

Citra Aditya Bakti:Bandung.

__________. 2000. Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan atas

Tanah. Bandung: Mandar Maju..

Herowati Poesoko. 2008. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan.

Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Imran Nating. 2004. Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator dalam

Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta:PT. RajaGrafindo

Persada.

Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.

J. Andy Hartanto. 2015. Hukum Jaminan dan Kepailitan-Hak Kreditor

Separatis dalam Pembagian Hasil Penjualan Benda Jaminan Debitor

Pailit. Surabaya: LaksBang Justitia.

Jimly Asshiddiqie. 2006. Teori Dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara.

Jakarta: InHilco.

J.J.M. Wuisman. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: UI Press.

J. Satrio. 2002. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak

Tanggungan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Johny Ibrahim. 2006.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.

Malang: Bayumedia Publishing.

Jono. 2008. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.

Karen Lebacqz. 2013.Six Theories of Justice (edisi terjemahan).

Bandung:Nusa Media.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004.Pedoman Menangani Perkara

Kepailitan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

_________________________________. 2005. Seri Hukum Harta

Kekayaan: Hak Tanggungan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit perbankan

Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

M. Hadi Subhan. 2008. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di

Peradilan. Jakarta:Kencana Prenadamedia Group.

M. Yahya Harahap. 2005. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang

Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Mulyoto.2016. Legal Standing. Yogyakarta: Cakrawala Media.

59

Munir Fuady. 2014. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti.

___________. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Erlangga.

Mochtar Kususmaatmadja. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam

Pembangunan. Bandung: Alumni.

Novianto M. Hantaro. 2012. Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan

Mengenai Peraturan Daerah,Serta Uji Materi Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Jakarta: Bappenas.

Peter Mahmud Marzuki. 2007.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.

Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa

Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

R. Subekti. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradinya Paramita.

________. 1991.Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut

Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rachmadi Usman.2008.Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta: Sinar

Grafika.

Rahayu Hartini. 2007.Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press.

____________. 2009.Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia:

Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Salim HS. 2004.Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada.

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Siti Anisah. 2008.Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam

Hukum Kepailitan di Indonesia. Yogyakarta: Total Media.

Soedikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia.

Yogyakarta: Liberty.

________________. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.

Yogyakarta: Liberty.

60

Sudarsono. 2007. Kamus Hukum.Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta.

Sunarmi. 2010. Hukum Kepailitan Edisi 2. Jakarta: PT. Sofmedia.

Sutan Remi Sjahdeinni. 1999. Hak Tanggungan-Asas-Asas Ketentuan

Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian

Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan. Jakarta: Alumni.

___________________. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami

Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.

Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

___________________. 2009.Hukum Kepailitan:Memahami Undang-

undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: PT. Pustaka

Utama Grafiti.

Tan Kamelo. 2004. Hukum Jaminan Fidusia. Bandung: Alumni.

Tan Thong Kie.2011. Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktik Notaris.

Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.

Wawan Muhwan Hariri. 2012.Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: CV.

Pustaka Setia.

Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman.2013.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada.

Zainal Asikin. 2013. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka Cipta.

____________. 2013.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada.

Dari Jurnal

Arnold Gulkowitz dan Brian E. Goldberg.2007. “Looking For Light at The

End of The Tunnel-Navigating The Subprime Mortgage Derivatives

Market in Banckruptcy”, dalam Bloomberg Corporate Law Journal

Volume 2.

Budi Agus Riswandi. 2014. “Sinkronisasi Pengadopsian Doktin

Perlindungan Hak Cipta Atas Pengaturan Teknologi Pengaman Dalam

Perundang-Undangan Hak Cipta DI Indonesia”. Penelitian Disertasi

Doktor UII.

61

David Adrian. 2014. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Atas Objek

Hak Tanggungan Dari Upaya Sita Jaminan Oleh Pihak

Ketiga”,dalamLex PrivatumVolume II Nomor 1.

Ferdinando Emanuel Gudipung. 2015. “Implementasi Kewenangan Bank

Indonesia dalam Kepailitan Lembaga Perbankan”, dalam Jurnal Hukum

Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum.

John W. Cairns. 2013. “Watson,Walton, And The History Of Legal

Transplants”, dalam Ga. J. Int’l & Comp. L. Vol 41.

Judith Greenstone Miller dan John C. Murray.2006. “Waivers of Automatic

Stay: Are They Enforceable (And Does the New Bankruptcy Act Make a

Difference)?, dalamProbate and Trust Law Journal Volume 41 Nomor

2.

Mark P. Cornell dan Kelly Ovitt Puc. 2009. “Debts, Divorce And

Bankruptcy Representing Family LawClients In A Down Economy”,

dalam New Hampshire Bar Journal.

Merdi Hajiji. 2013. “Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum

Indonesia”, dalam Jurnal RechtvindingVolume 2 Nomor 3.

Murdiono Sahupala. 2016.“Tugas Dan Wewenang Hakim Pengawas

Terhadap Pengurusan Dan Pemberesan Harta Debitor Pailit”, dalam Lex

Privatum, Volume IV Nomor 1.

Ni Nengah Sugihartini. 2015.“Pelelangan Obyek Hak Tanggungan Karena

Debitur Wanprestasi (Studi di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan

Lelang (KPKNL) Mataram)”, dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum

Universitas Mataram

Ricardo Simanjuntak. 2009. “Efektivitas UU Kepailitan Dalam Perspektif

Kurator Dikaitkan Dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas”,

dalam Jurnal Hukum BisnisVolume 28 Nomor 1, Jakarta: Yayasan

Pengembangan Hukum Bisnis.

Royke A. Taroreh.2014. “Hak Kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi

Benda Jaminan Debitor Pailit”, artikel dalam Jurnal Hukum Universitas

Samratulangi.Volume II Nomor 2.

Shandra Lisya Wandasari. 2013.“Sinkronisasi Peraturan Perundang-

Undangan dalam Mewujudkan Pengurangan Risiko Bencana”, dalam

UNNES Law Journal.

Siti Anisah. 2009.“Studi Komparasi Terhadap Perlindungan Kepentingan

Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan”, dalam Jurnal Hukum

No. Edisi Khusus Vol.:.

62

Surya Harinata. 2014. “Akibat Hukum Lewatnya Batas Waktu Kewajiban

Mendaftarkan APHT Oleh PPAT”, dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa

Universitas Surabaya Volume3 Nomor 2.

Tata Wijayanta. 2014.“Asas Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”,

dalamJurnal Dinamika Hukum; Volume14 Nomor 2, Fakultas Hukum

Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.

Ted A. Berkowitz dan Veronique A.Urban.2012. “Is Good Faith a Required

Element?”, dalam Pratt’s Journal of Bankruptcy Law Volume 8Nomor

4.

Dari Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah

Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usahan Milik

Negara.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

TentangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 17 Tahun

2000TentangPermohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor

49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

63

Standar Prosedur Operasi (Standard Operating Procedure) Kantor

Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)

Dari Internet

Alwesius, SKMHT : Problem Yang (Tak Boleh) Dipelihara,

http://medianotaris.com/skmht_problem_yang_tak_boleh_dipelihara_ber

ita302.html, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 08:00 WIB.

Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan

Aturan Yang Bersifat

Umum,http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/ artikel/167-artikel-

pajak/21165-aturan-yang-bersifat-khusus mengesampingkan-aturan-

yang-bersifat-umum, diakses tangggal 21 Maret 2016 pukul 19:00 WIB.

Fairus Harris, Keistimewaan Kreditor Separatis dalam Proses Kepailitan,

http://strategihukum.net/keistimewaan-kreditor-separatis-dalam-proses-

kepailitan, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 07:30 WIB.

Fidelis Harefa, Konsistensi Menjalankan Hukum Yang Benar Dalam

Perspektif Filsafat Hukum, http://fidelis.harefa.com/2015/11/konsistensi-

menjalankan-hukum-yang.html, diakses tanggal 14 Juni 2016 Pukul

10:00 WIB.

Hukumonline.Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi

Generalis.http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/

mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis, diakses tanggal 3

Maret 2016, Pukul 15:00 WIB.

___________. Kepailitan (2).http://www.hukumonline.com/klinik/detail

/cl4504/kepailitan-%282%29, diakses tanggal 8 April 2016 Pukul 15:30

WIB.

Hotmian Helena Samosir. Permasalahan Atas Wajib Pajak Yang

Dinyatakan Pailit Terkait Pemenuhan Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban

Perpajakan, diakses tanggal 4 April 2011 Pukul 07:10 WIB.

Krisnaptik, Teori Hukum Dan Pengertian, https://krisnaptik.com/polri-

4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/, diakses tanggal 12 April 2016

Pukul 21:30 WIB.

LCDC FH UGM.Profesi Hukum – Kurator.

http://lcdc.law.ugm.ac.id/detail_profesi-296-profesi-hukum--

kurator.html, diakses tangga l1 April 2016 Pukul 06:30 WIB.

Mulyadi Lilik, Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas Dalam Perkara

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

64

http://www.pn-bengkayang.go.id/files/download/e733b0809734fe0,

diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 07:00 WIB

PN Semarang. Menjadi Kreditor yang Efektifdalam Perkara Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), diakses

tanggal 11 April 2016 Pukul 07:00 WIB.

Trias Consultant, Legal Memorandum tentang Hak Tanggungan,

http://www.triasconsultant.com/legal-memorandum-tentang-hak-

tanggungan/, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 09:45 WIB