BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil …repository.uinsu.ac.id/152/5/BAB 4-5.pdf · 73...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil …repository.uinsu.ac.id/152/5/BAB 4-5.pdf · 73...
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Perkembangan Bank Syariah
Pada tahun 1963 Ahmad El Najjar mendirikan sebuah bank simpan pinjam
yang berbasis bagi hasil di kota Mit Ghamr, Mesir. Bank ini menerapkan konsep
tanpa bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan
industri secara langsung dalam bentuk kerja sama dan membagi keuntungan yang
didapat dengan para penabung. Bank inilah menjadi cikal bakal munculnya bank
syariah dan mengalami perkembangan, sehingga sampai tahun 1967 sudah berdiri
9 bank dengan konsep serupa di Mesir.112
Langkah Mit Ghamr mendirikan berbasis bagi hasil ternyata memberikan
inspirasi bagi umat Islam di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa
prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1975 disponsori
oleh 22 negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Bank ini menyediakan bantuan finansial untuk pembangunan negara-negara
anggotanya, membantu untuk mendirikan bank Islam di negara masing-masing,
dan memainkan peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan
keuangan Islam. Hingga sekarang Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat
di Jeddah, Arab Saudi telah memiliki lebih dari 43 negara.113
Di belahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam
kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank
(1975) di Uni Emirat Arab, Faisal Islamic Bank of Sudan (1977) di Sudan, Faisal
Islamic Bank of Egypt (1977) di Mesir, serta Kuwait Finance House (1977), di
Kuwait. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat
Indonesia. Berdiri tahun 1991, yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha
112 Antonio, Bank Syariah, h. 18. 113 Ibid., h. 23.
74
muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter sehingga ekuitasnya hanya
tersisa sepertiga dari modal awal.114
Islamic Development Bank (IDB) kemudian memberikan suntikan dana
kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan
laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur dalam Undang-
undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan. Kemudian diikuti oleh Bank Syariah Mandiri yang mendapat
izin operasional pada tahun 1999 dari Bank Indonesia. Bank Syariah Mandiri
merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya
pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti
(BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN).115
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu
Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah.
Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank
diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank
Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan
Nasional (Tbk).116 Jika dibandingkan dengan negara lain, respon Indonesia
sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sangat terlambat.
Wacana pembentukan sistem ekonomi syariah mungkin telah didengungkan pada
awal tahun 1980 sebagai alternatif sistem ekonomi kapitalis. Namun tindakan
yang dilakukan untuk membentuk sistem ekonomi tersebut serta membawa sistem
ekonomi syariah ke dalam tatanan praktis tidak mendapat kemajuan yang berarti.
Keterlambatan Indonesia dalam membangun ekonomi syariah dapat
disimpulkan dengan melihat komparasi antar negara yang telah lebih dahulu
mendirikan lembaga keuangan syariah antara lain Mesir (1963, Islamic Ghmar
Bank), Uni Emirat Arab (1975, Dubai Islamic Bank), Kuwait (1977, Kuwait
114 Ibid., h. 23-26. 115 Ibid., h. 25-26. 116 Bank Indonesia, “Statistik Perbankan Syariah: Desember 2009”, www.bi.go.id,
diunduh 24 September 2010 jam 22.20.20, h. 1.
75
Finance House), Siprus (1983, Faisal Islamic Bank of Kibris), Malaysia (1983,
Bank Islam Malaysia Berhad), dan Turki (1984, Daar al-Maal al-Islami & Faisal
Finance Institution).
Pembentukan bank syariah yang pertama sekali di Indonesia terjadi lebih
kurang sepuluh tahun sejak wacana pembentukan bank syariah dilakukan pada
awal tahun 1980. Pendirian bank syariah ini diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan pihak-pihak lain. Prakarsa tersebut berhasil membentuk PT.
Bank Muamalat Indonesia yang ditandatangani pada 1 November 1991. Hingga
saat ini (2010), terdapat tiga Bank Umum Syariah yang beroperasi di Indonesia.
Komposisi ini dilengkapi dengan dua puluh delapan (28) Unit Usaha Syariah
(UUS). Perkembangan perbankan syariah di Indonesia untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar dan tabel sebagai berikut:
Sumber: Diolah dari Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia.117
Gambar 15 Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan Syariah
117 Ibid.
76
Tabel 4 Perkembangan Perbankan Syariah
Keterangan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Bank Umum Syariah - Jumlah bank - Jumlah kantor
2
57
2
86
2
105
2
209
3
266
3
304
3
349
3
401
5
581
6
711
Unit Usaha Syariah - Jumlah bank - Jumlah kantor
3
10
3
15
6
31
8
56
15 89
19
154
20
183
26
196
27
241
25
287
Total bank 5 5 8 10 18 22 23 29 32 31
Total kantor 67 101 136 265 355 458 632 597 822 998
Sumber: diolah dari Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia.118
Tabel 4 memperlihatkan bahwa Bank Umum Syariah (BUS) mengalami
pertumbuhan yang perlahan, hanya pada tahun 2008-2009 ada penambahan
jumlah bank, tetapi jumlah kantor pelayanannya terlihat cukup tinggi di mana
setiap tahunnya mengalami penambahan. Sedangkan pada Unit Usaha Syariah
(UUS) yang merupakan bagian dari bank konvensional perkembangannya
tergolong lumayan cepat, begitu juga dengan jumlah kantor pelayanannya.
Pada tahun 2009 terlihat adanya penurunan jumlah bank dari Unit Usaha
Syariah (UUS) dari bank konvensional yang pada tahun sebelumnya (2008)
berjumlah sementara pada tahun berikut (2009) berjumlah 25, hal ini disebabkan
oleh ada beberapa bank konvensional menggabungkan diri dengan bank
konvensional lainnya, selain itu ada juga dari Unit Usaha Syariah (UUS) yang
berubah status menjadi Bank Umum Syariah (BUS).
Adapun tahapan pengembangan perbankan syariah di Indonesia sebagai
berikut:
a. Tahun 1990, rekomendasi lokakarya Majelis Ulama Indonesia untuk
mendirikan lembaga perbankan syariah.
118 Ibid.
77
b. Tahun 1992, masuknya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di
Indonesia dengan dimungkinkannya suatu bank beroperasi dengan prinsip
bagi hasil (UU No.7 Tahun 1992).
c. Tahun 1992, beroperasinya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan
Bank Umum Syariah (BUS) untuk pertama kali.
d. Tahun 1998, dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system),
dengan dimungkinkannya bank konvensional membuka Unit Usaha Syariah
(UU. No.10 Tahun 1998).
e. Tahun 1998, penegasan peranan Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasan
perbankan syariah dan dapat melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan
prinsip syariah (UU No. 23 Tahun 1999).
f. Tahun 1999, diberlakukannya ketentuan kelembagaan bank syariah yang
pertama sesuai dengan karakteristik operasional bank syariah.
g. Tahun 1999, beroperasinya Bank Syariah Mandiri (BSM)
h. Tahun 2000, diterapkannya instrument keuangan syariah yang pertama kali
dan menandai dimulainya kegiatan di pasar keuangan antarbank dan kebijakan
moneter berdasarkan prinsip syariah.
i. Tahun 2001, dibentuknya satu kerja khusus (Biro Perbankan Syariah) di Bank
Indonesia yang menangani pengembangan perbankan syariah secara
komprehensif.
j. Tahun 2002, disusunnya cetak biru pengembangan perbankan syariah.
k. Tahun 2003, disusunnya naskah akademis Rancangan Undang-Undang (RUU)
perbankan syariah.
l. Tahun 2003, diberlakukannya ketentuan kehati-hatian yang pertama sesuai
dengan karakteristik operasional bank syariah, yaitu Kualitas Aktiva Produktif
(KAP) dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) bagi bank
syariah.
m. Tahun 2003, dikeluarkanya Fatwa Bunga Bank Haram oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
n. Tahun 2004, disusunnya ketentuan persyaratan, tugas, dan wewenang Dewan
Pengawas Syariah (DPS).
78
o. Tahun 2005, diberlakukannya ketentuan permodalan yang khusus bagi
perbankan syariah yang telah sesuai dengan standar internasional atau IFSB.
p. Tahun 2005, penjajakan ketentuan jaringan secara lebih efisien dan berhati-
hati.
q. Tahun 2005, inisiatif penyusunan linkage program sebagai dasar peran bank
syariah dalam optimalisasi voluntary sector.119
Sedangkan perkembangan regulasi bagi bank syariah, diuraikan sebagai
berikut:
a. Undang-undang Nomor 72 Tahun 1992 tentang Perbankan Syariah
menetapkan bahwa perbankan syariah di Indonesia menganut sistem
perbankan ganda (dual banking system).
b. Undang-undang No.10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan Undang-
undang No. 72 Tahun 1992, yang peraturan pelaksanaannya dituangkan dalam
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia dan dikuatkan dalam bentuk
Peraturan Bank Indonesia. Penggunaan istilah bank syariah tegas disebutkan
“Bank Berdasarkan Prinsip Syariah” dan Pasal 1 butir 13 disebutkan
berlakunya hukum Islam sebagai dasar transaksi di perbankan syariah.
c. Teknis operasional produk dan transaksi syariah yang digunakan pada bank
syariah diatur oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
d. Eksistensi bank syariah diperkuat dengan adanya Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memungkinkan kebijakan moneter
berdasarkan prinsip syariah.
e. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.120
Berdasarkan uraian tersebut tahapan perkembangan dan perkembangan
perbankan syariah di Indonesia mengalami kemajuan setiap tahunnya. Pemerintah
terus mengupayakan pengembangan perbankan syariah melalui kebijakan-
kebijakan baik melalui undang-undang maupun kebijakan moneter yang terus
mengalami perkembangan dan pembaharuan.
119 Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah., h. 20-21. 120 Ibid., h. 21.
79
2. Inflasi
Indikator yang digunakan Bank Indonesia untuk mengukur tingkat inflasi
adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK menunjukkan pergerakan harga dari
paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Data inflasi diperoleh dari
Bank Indonesia situs www.bi.go.id. Data inflasi yang diperoleh berbentuk data
bulanan. Pada awal periode pengamatan (Januari 2009) sebesar 9,17%, periode
selanjut mengalami penurunan, tetapi pada akhir periode pengamatan mengalami
peningkatan hingga mencapai 6,44%. Berikut ini disajikan perkembangan inflasi
setiap bulannya selama periode penelitian.
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.121
Gambar 16 Pergerakan Inflasi di Indonesia
Untuk lebih rinci mengenai perkembangan inflasi di Indonesia selama
periode pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut.
121 Diolah dari www.bi.go.id.
80
Tabel 5 Pergerakan Inflasi di Indonesia
Periode Tingkat Inflasi
Januari 2009 9,17 Februari 2009 8,60 Maret 2009 7,92 April 2009 7,31 Mei 2009 6,04 Juni 2009 3,65 Juli 2009 2,71 Agustus 2009 2,75 September 2009 2,83 Oktober 2009 2,57 Nopember 2009 2,41 Desember 2009 2,78 Januari 2010 3,72 Februari 2010 3,81 Maret 2010 3,43 April 2010 3,91 Mei 2010 4,16 Juni 2010 5,05 Juli 2010 6,22 Agustus 2010 6,44
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.122
Tingkat inflasi yang terjadi selama periode pengamatan belum mencapai
10%. Pada tahun 2009 rata-rata inflasi mengalami penurunan terutama di awal-
awal tahun hingga pertengahan, penurunan terjadi hingga Juli 2009, dan
berfluktuasi mulai Agustus s.d. Desember 2009. Berbeda dengan tahun 2010, di
mana inflasi cenderung meningkat hingga mencapai 6,44% pada Agustus 2010,
penurunan inflasi pada tahun ini hanya terjadi pada bulan Maret 2010. Dari tabel
dan grafik di atas, selama periode pengamatan (Januari 2009 s.d. Agustus 2010)
tingkat inflasi tertinggi terjadi pada bulan Januari 2009 yaitu sebesar 9,17%,
sedangkan inflasi terendah terjadi pada bulan Nopember 2009 sebesar 2,41%.
Secara teoritis berdasarkan parah tidaknya inflasi tersebut dapat digolongkan
menjadi inflasi ringan (di bawah 10% setahun), inflasi sedang (antara 10%-30%
setahun), inflasi berat (antara 30%-100% setahun), dan hiperinflasi (di atas 100%
122 Ibid.
81
setahun). Berdasarkan tingkat lonjakan inflasi yang bahwa inflasi yang terjadi di
Indonesia selama Januari 2009 s/d Agustus 2010 tergolong inflasi ringan, karena
tingkat inflasi yang ada masih berada di bawah 10%.
3. Kurs Rupiah
Kurs Rupiah yang dimaksud merupakan nilai USD 1 terhadap Rupiah.
Kurs rupiah pada penelitian ini diperoleh dari Bank Indonesia melalui situs
www.bi.go.id. Data kurs dalam bentuk harian, dimana data kurs yang
dipublikasikan Bank Indonesia berdasarkan hari kerja sementara penelitian ini
menggunakan data bulanan. Untuk mengubah data kurs menjadi data bulanan,
penulis mengambil atau menggunakan nilai tengah dari nilai tukar antara
pembukaan dengan penutupan, kemudian kurs harian tersebut dirata-rata untuk
memperoleh nilai kurs Rupiah setiap bulannya. Selama periode pengamatan
(Januari 2009 sampai dengan Agustus 2010) kurs Rupiah terhadap US Dollar
berkisar antara Rp 8,972 hingga Rp 11.853, dan cenderung mengalami penurunan
periode berikutnya, seperti yang ditampilkan pada gambar di bawah ini.
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.123
Gambar 17 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar
123 Ibid.
82
Untuk lebih rinci mengenai perkembangan kurs Rupiah terhadap US
Dollar selama periode pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6 Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar
Periode Kurs Rupiah (X2)
(Rp) Ln_X2
Januari 2009 11.167 9,32 Februari 2009 11.853 9,38 Maret 2009 11.850 9,38 April 2009 11.025 9,31 Mei 2009 10.393 9,25 Juni 2009 10.207 9,23 Juli 2009 10.111 9,22 Agustus 2009 9.978 9,21 September 2009 9.901 9,20 Oktober 2009 9.483 9,16 Nopember 2009 9.470 9,16 Desember 2009 9.458 9,15 Januari 2010 9.275 9,14 Februari 2010 9.348 9,14 Maret 2010 9.174 9,12 April 2010 9.027 9,11 Mei 2010 9.183 9,13 Juni 2010 9.148 9,12 Juli 2010 9.049 9,11 Agustus 2010 8.972 9,10
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.124
Selama tahun 2009 kurs Rupiah terhadap US Dollar berkisar antara 9-11
ribu Rupiah, dan Rupiah cenderung mengalami penurunan, peningkatan hanya
terjadi pada bulan Februari. Sedangkan pada Januari s.d. Agustus 2010 kurs
Rupiah terhadap US Dollar berkisar antara 8-9 ribu Rupiah, dan pergerakannya
berfluktuatif, sempat terjadi peningkatan pada bulan Februari dan Mei. Selama
periode penelitian, nilai kurs Rupiah terhadap US Dollar cenderung mengalami
penurunan. Selama periode pengamatan kurs Rupiah terhadap US Dollar tertinggi
pada bulan Februari 2009 sebesar Rp 11.853 dan terendah pada bulan Agustus
2010 sebesar Rp 8.972.
124 Ibid.
83
4. Non Performing Financing (NPF)
Non performing financing (NPF) adalah kemampuan bank dalam
mengumpulkan/menarik kembali margin bagi hasil dan pokok pembiayaan yang
disalurkan. Non performing financing juga menunjukkan kemampuan bank
syariah untuk mengelola pembiayaannya. Indikator pengukuran Non performing
financing berdasarkan pembiayaan bermasalah dibagikan dengan total
pembiayaan yang disalurkan. Pembiayaan bermasalah terdiri atas pembiayaan
tergolong kurang lancar, diragukan, dan macet. Dalam penelitian ini Non
performing financing perbankan syariah yang digunakan adalah yang tersedia dan
dipublikasikan pada situs Bank Indonesia (www.bi.go.id) melalui Statistik
Perbankan Syariah yang dikeluarkan setiap bulannya.
Non performing financing perbankan syariah yang dimaksud dalam
penelitian ini merupakan non performing financing Bank Umum Syariah (BUS)
dan Unit Usaha Syariah (UUS). Selama periode pengamatan (Januari 2009 sampai
dengan Agustus 2010) non performing financing perbankan syariah berfluktuasi
yang berkisar antara 3,89% hingga 5,72%, seperti yang ditampilkan pada gambar
di bawah ini.
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.125
Gambar 18 Perkembangan NPF Perbankan Syariah
125 Bank Indonesia, “Statistik Perbankan”,
84
Untuk lebih jelas tentang perkembangan Non performing financing (NPF)
perbankan syariah di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7 NPF Perbankan Syariah
Periode NPF Perbankan
Syariah (%) Januari 2009 4,39
Februari 2009 4,61
Maret 2009 5,14
April 2009 5,17
Mei 2009 4,77
Juni 2009 4,39
Juli 2009 5,15
Agustus 2009 5,61
September 2009 5,72
Oktober 2009 5,51
Nopember 2009 5,54
Desember 2009 4,01
Januari 2010 4,36
Februari 2010 4,75
Maret 2010 4,53
April 2010 4,47
Mei 2010 4,77
Juni 2010 3,89
Juli 2010 4,14
Agustus 2010 4,10 Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.126
Pada tahun 2009 NPF perbankan syariah cenderung lebih tinggi
dibandingkan tahun berikutnya, pada tahun ini NPF berkisar antara 4-5%,
tertinggi sempat mencapai 5,72% pada bulan September dan terendah sebesar
4,01%. Selama periode Januari s.d. Desember 2009 perbankan syariah belum
mampu memenuhi ketentuan dari Bank Indonesia, di mana NPF tidak boleh
melebihi dari 5%. Sedangkan untuk periode Januari s.d. Agustus 2010 NPF
126 Ibid.
85
perbankan syariah berkisar antara 3-4%, sedikit lebih baik dari tahun sebelumnya.
Pada periode ini NPF perbankan syariah tertinggi mencapai 4,75% pada bulan
Februari dan terendah sebesar 3,89% pada bulan Juni. Selama periode Januari s.d.
Agustus 2010 perbankan syariah telah memenuhi ketentuan dari Bank Indonesia,
di mana NPF tidak boleh melebihi dari 5%.
B. Pembahasan
1. Uji Statistik
Tujuan penelitian ini untuk membuktikan pengaruh inflasi (X1) dan kurs
rupiah (Ln_X2) baik secara parsial maupun simultan terhadap non performing
financing (Y). Pengujian pengaruh tersebut menggunakan uji-t, dan uji-F dan uji
R (regresi). Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini terdiri dari inflasi
(X1) dan kurs (X2). Berhubung data yang digunakan ada yang dalam bentuk
satuan Rupiah (dana pihak ketiga) dan dalam bentuk persen (FDR, SBI, dan
NPF), sehingga diperlukan penyamaan nilai tiap variabel yang berbeda-beda,
selain itu untuk memudahkan estimasi yang lebih efisien, serta mengurangi resiko
terkena multikolinearitas, maka model penelitian ditransformasi ke dalam model
Log. Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh secara parsial/terpisah
inflasi (X1), kurs (X2) terhadap non performing financing/NPF (Y). Pengujian ini
menggunakan uji-t, dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:
a. Ho : Tidak ada pengaruh inflasi terhadap non performing financing.
Ha : Ada pengaruh inflasi terhadap non performing financing.
b. Ho : Tidak ada pengaruh kurs terhadap non performing financing.
Ha : Ada pengaruh kurs terhadap non performing financing.
Ketentuan untuk menerima atau menolak hipotesis tersebut mengunakan
kriteria yaitu jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak, sedangkan jika t hitung < t
tabel maka Ha ditolak dan menerima Ho. Sedangkan jika menggunakan
probabilitas, jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima dan menolak Ha,
sedangkan jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan menerima Ha. Pengujian
86
ini menggunakan aplikasi SPSS 15.0 for Windows, diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 8 Hasil Pengujian Uji t
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -7,110 2,353 -3,022 ,008 LnX1 -,207 ,053 -,779 -3,915 ,001 LnX2 ,975 ,260 ,746 3,744 ,002
Sumber: Data diolah penulis, 2010.
Berdasarkan tabel 8 dapat dibuat persamaan regresi linier berganda
sebagai berikut:
LnY = a + b LnX1 + b LnX2 + e
LnY = (-7,110) - 0,207LnX1 + 0,975LnX2 + e
SE = (2,353) (0,053) (0,260)
t = (-3,022) (-3,915) (3,744)
Sig. = (0,008) (0,001) (0,002)
F = 9,496
DW = 1,780
Konstanta sebesar -7,110 menyatakan bahwa jika tingkat inflasi (LnX1),
kurs Rupiah terhadap US Dollar (LnX2) bernilai tetap, maka non performing
financing (LnY) perbankan syariah akan bernilai tetap yaitu sebesar -7,110. Dari
persamaan regresi linier berganda tersebut diperoleh tren masing-masing variabel
sebagai berikut:
a. Koefisien regresi inflasi sebesar -0,207, berarti setiap peningkatan inflasi
sebesar 1% akan menurunkan non performing financing sebesar 0,207%.
b. Koefisien regresi kurs sebesar 0,975 berarti setiap peningkatan nilai kurs
Rupiah atas US Dollar sebesar 1% akan meningkatkan non performing
financing sebesar 0,975%.
87
Hasil print out komputer dengan mempergunakan program SPSS 15
diperoleh hasil inflasi yang terjadi memiliki tanda koefisien regresi sebesar -
0,207. Nilai koefisien regresi sebesar -0,207 memberi kesan apabila tingkat inflasi
meningkat sebesar 1%, maka akan terjadi penurunan non performing financing
perbankan syariah di Indonesia sebesar 0,207%. Nilai statistik (t hitung) sebesar -
3,915 dan probabilitas (Sig.) sebesar 0,001. Sementara harga t-tabel untuk jumlah
data pengamatan sebanyak 20 dengan taraf signifikansi 5% dan dk = n – 2 = 18,
diperoleh t tabel sebesar 2,101. Jika harga t-hitung dibandingkan dengan harga t-
tabel, maka diperoleh bahwa:
LnX1 : 3,915 > 2,101 : Ho ditolak dengan menerima Ha
Begitu juga jika dibandingkan dengan probabilitas (Sig.), diperoleh sebagai
berikut:
LnX1 : 0,008 < 0,05 : Ho ditolak dengan menerima Ha
Berdasarkan ketentuan untuk menerima atau menolak hipotesis, maka
diperoleh keputusan bahwa inflasi memberikan pengaruh nyata terhadap non
performing financing perbankan syariah di Indonesia 95%, atau α = 0,05. Hal ini
sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa:
Ho : Tidak ada pengaruh inflasi terhadap non performing financing.
Ha : Ada pengaruh inflasi terhadap non performing financing.
Hasil print out komputer dengan mempergunakan program SPSS 15
diperoleh kurs yang terjadi memiliki tanda koefisien regresi sebesar 0,975. Nilai
koefisien regresi sebesar 0,975 memberi kesan apabila kurs Rupiah atas US Dollar
meningkat sebesar 1%, maka akan terjadi peningkatan non performing financing
perbankan syariah di Indonesia sebesar 0,975%. Nilai statistik (t hitung) sebesar
3,744 dan probabilitas (Sig.) sebesar 0,002. Sementara harga t-tabel untuk jumlah
data pengamatan sebanyak 20 dengan taraf signifikansi 5% dan dk = n – 2 = 18,
diperoleh t tabel sebesar 2,101. Jika harga t-hitung dibandingkan dengan harga t-
tabel, maka diperoleh bahwa:
LnX2 : 3,744 > 2,101 : Ho ditolak dengan menerima Ha
Begitu juga jika dibandingkan dengan probabilitas (Sig.), diperoleh sebagai
berikut:
88
LnX1 : 0,002 < 0,05 : Ho ditolak dengan menerima Ha
Berdasarkan ketentuan untuk menerima atau menolak hipotesis, maka
diperoleh keputusan bahwa kurs memberikan pengaruh nyata terhadap non
performing financing perbankan syariah di Indonesia 95%, atau α = 0,05. Hal ini
sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa:
Ho : Tidak ada pengaruh kurs terhadap non performing financing.
Ha : Ada pengaruh kurs terhadap non performing financing.
Sedangkan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh secara
bersama-sama inflasi (LnX1) dan kurs (LnX2) terhadap profitabilitas (LnY).
Dengan menggunakan hipotesis yaitu:
Ho : tidak ada pengaruh inflasi dan kurs terhadap non performing financing.
Ha : ada pengaruh inflasi dan kurs terhadap terhadap non performing financing.
Ketentuan untuk menerima atau menolak hipotesis mengunakan kriteria
yaitu:
a. Jika F hitung > F tabel, maka Ho ditolak.
b. Jika F hitung < F tabel, maka Ho tidak dapat ditolak.
Atau dapat juga berdasarkan probabilitas:
a. Jika probabilitas > 0,05, maka Ho tidak dapat ditolak.
b. Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan menerima Ha.
Hasil pengujian diperoleh hasil yaitu:
Pengujian ini menggunakan aplikasi komputer SPSS 15.0 for Windows,
diperoleh hasil yaitu:
Tabel 9 Hasil Pengujian Uji-F
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression ,137 2 ,069 9,496 ,002a
Residual ,123 17 ,007 Total ,260 19
Sumber: Data diolah penulis, 2010.
Berdasarkan hasil pengujian seperti pada tabel 4.6, menunjukkan bahwa
nilai F hitung sebesar 9,496 dengan probabilitas sebesar 0,002. Sementara harga
89
F-tabel untuk jumlah data pengamatan sebanyak 20 dengan taraf signifikansi 5%,
dengan dk pembilang atau k (jumlah variabel indenpenden) = 2, serta dk
penyebut = 20 (n – k – 1) = 17, diperoleh F-tabel sebesar 3,59. Jika harga F-hitung
dibandingkan dengan harga F-tabel, maka diperoleh bahwa:
9,496 > 3,59 : Ho ditolak dengan menerima Ha
Begitu juga jika dibandingkan dengan probabilitas (Sig.), diperoleh sebagai
berikut:
0,002 < 0,05 : Ho ditolak dengan menerima Ha
Berdasarkan kriteria penerimaan atau penolakan hipotesis, dengan melihat
hasil pengolahan data tersebut maka diperoleh keputusan bahwa inflasi dan kurs
memberikan pengaruh nyata terhadap non performing financing perbankan
syariah perbankan syariah di Indonesia 95%, atau α = 0,05.
Selanjutnya Koefisien Determinasi (R), uji ini mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah diantara nol dan satu. Nilai R yang kecil berarti kemampuan
variabel independent dalam menerangkan variabel dependen sangat terbatas. Nilai
yang mendekati satu berarti variabel independen memberikan hampir semua
informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Hasil
pengujian ditambilkan sebagai berikut:
Tabel 10 Koefisien Determinasi
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 ,726a ,528 ,472 ,08494
Sumber: Data diolah, 2010.
Nilai korelasi (R) variabel bebas (inflasi dan kurs) dengan variabel terikat
(non performing financing/NPF) sebesar 0,726, dengan R-Square sebesar 0,528,
berarti bahwa non performing financing/NPF dapat ditentukan oleh inflasi dan
kurs mampu mencapai sebesar 52,8% (0,528 x 100%) dan sisanya sebesar 47,2%
(100% - 52,8%) ditentukan oleh variabel lain di luar model penelitian ini.
90
Sedangkan nilai Standard Error of the Estimate hanya sebesar 0,08367. Nilai
tergolong kecil, sehingga model regresi sudah sangat tepat dan layak digunakan.
2. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk memperoleh model regresi yang
menghasilkan estimator linier tidak bias yang terbaik atau BLUE (Best Linear
Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi Asumsi Klasik. Pada
penelitian uji asumsi klasik yang digunakan adalah uji normalitas, uji
multikolinearitas, dan uji autokorelasi. Adapun pengujian yang digunakan adalah uji
normalitas, uji multikolinearitas, dan uji autokorelasi.
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal
ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki data normal atau
mendekati normal. Uji ini dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya
faktor gangguan yang dapat diketahui melalui uji Jarque-Bera Normality (JB test).
Formula Jarque Berra (JB test) berikut:.
úû
ùêë
é -+=
24)3(
6
22 KSnJB
Arti dari notasi n = besar sampel, S = koefisien Skewness dan K =
koefisien Kurtosis. Untuk dapat mengetahui normal atau tidaknya dengan
membandingkan nilai JBhitung = X2hitung dengan nilai X2tabel, dengan kriterian
keputusan sebagai berikut :
a. Bila nilai JB hitung > nilai X2 tabel, maka berdistribusi normal ditolak.
b. Bila nilai JB hitung < nilai X2 tabel, maka berdistribusi normal tidak dapat
ditolak.
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan SPSS 15 diperoleh nilai-
nilai sebagai berikut:
91
Tabel 10 Nilai-nilai untuk Perhitungan JB-test
N Skewness Kurtosis
Statistic Statistic Std. Error Statistic Std. Error
Unstandardized Residual 20 -1,108 ,512 1,035 ,992
Valid N (listwise) 20
Sumber: Data diolah, 2010.
Nilai Skewmess sebesar -1,108 dan Kurtosis 1,035. Jika nilai-nilai ini
dimasukkan ke dalam formula JB-test diperoleh sebagai berikut:
Berdasarkan hasil estimasi uji Jarque-Bera test di atas, diperoleh nilai
Jarque Bera test-statistik sebesar 17,65990083 sedangkan nilai X2tabel untuk df
20 dan α = 0,05 diperoleh sebesar 31,41043. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa nilai JB test statistik lebih kecil dari nilai X2tabel. {JB test hitung
(17,65990) < X2tabel (31,41043)}, yang berarti model empiris yang digunakan
mempunyai residual atau faktor pengganggu yang berdistribusi normal.
Selanjutnya akan disajikan hasil uji multikolinearitas. Adanya masalah
multikolinearitas jika terjadi hubungan antar variabel independen maka dinamakan
problem multikolinearitas. Untuk melihat ada tidaknya multikolinearitas dengan
92
melihat nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF), apabila Tolerance
lebih besar dari 0,10 (10%) atau nilai VIF lebih kecil dari 10 maka tidak terjadi
multikolinearitas.
Tabel 12 Hasil Uji Multikolinearitas
Model
Collinearity Statistics
Tolerance VIF 1 (Constant) LnX1 ,701 1,427 LnX2 ,701 1,427
Sumber: Data diolah penulis, 2010.
Hasil pengujian multikolinearitas diperoleh nilai Tolerance variabel Inflasi
(LnX1) memiliki sebesar 0,701 (70,1%) dengan nilai VIF sebesar 1,427, begitu
juga dengan Kurs (LnX2) memiliki nilai Tolerance sebesar 0,701 (70,1%) dengan
nilai VIF sebesar 1,427. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa kedua variabel
memiliki nilai Tolerance di atas (lebih besar dari) 10% dan nilai VIF di bawah
(lebih kecil dari) 10. Oleh karena kedua variabel independen memiliki nilai
Tolerance > 0,10 (10%) dengan nilai VIF < 10, maka dapat diputuskan tidak
terjadi multikolinearitas antar variabel bebas dalam model regresi.
Terakhir akan disajikan hasil uji autokorelasi. Autokorelasi digunakan
untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi ada korelasi antara kesalahan
pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya).
Model regresi yang baik seharusnya bebas dari autolorelasi. Deteksi adanya
autokorelasi yaitu dengan melihat besaran Durbin-Watson (D-W) berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
a. Bila nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du),
maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi
(du < DW < 4-du).
b. Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl), maka
koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif
(DW < dl).
93
c. Bila nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih
kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif (4-dl < DW).
d. Bila nilai DW terletak antara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW
terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan (dl <
DW < du).
Hasil pengujian autokorelasi dengan metode Durbin Watson (DW)
diperoleh sebagai berikut:
Tabel 13 Hasil Uji Autokorelasi
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate Durbin-Watson
1 ,726a ,528 ,472 ,08494 1,780
Sumber: Data diolah penulis, 2010.
Hasil pengujian autokorelasi diperoleh nilai Durbin-Watson sebesar 1,780.
Sedangkan nilai dl dan du untuk derajat kepercayaan (α) 5% (0,05) dengan jumlah
pengamatan (sampel) 20, serta jumlah variabel bebas sebanyak 2, diperoleh du
sebesar 1,5367 dan 4-du sebesar 2,4633. Jika nilai dibandingkan dengan ketentuan
di atas, maka nilai DW = 1,780 berada pada kriteria poin 1 yaitu bila nilai DW
terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien
autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi (dl < DW < 4-du).
Dengan pembuktian du < DW < 4-du [1,5367 < 1,780 < 2,4633].
3. Uji Aprioneri Ekonomik
Hasil pengujian diperoleh bahwa inflasi berpengaruh terhadap pembiayaan
bermasalah (non performing financing) perbankan syariah. Hasil pengujian juga
menunjukkan selama periode penelitian dari Januari 2009 s.d. Agustus 2010,
bahwa setiap penurunan inflasi akan mengakibatkan peningkatan pembiayaan
bermasalah (non performing financing) atau sebaliknya setiap peningkatan inflasi
perbankan syariah akan mengakibatkan penurunan pembiayaan bermasalah (non
performing financing) perbankan syariah. Dugaan inflasi memiliki pengaruh nyata
94
terhadap pembiayaan bermasalah (non performing financing) terbukti benar.
Berdasarkan asumsi ketika inflasi meningkat, kegiatan ekonomi cenderung akan
menyesuaikannya. Imbas dari kenaikan harga menyebabkan biaya produksi
meningkat, nilai uang akan menurun sehingga berakibat pada turunnya produksi
dan keuntungan. Imbasnya pada perbankan syariah, pembiayaan yang disalurkan
menjadi tidak lancar.
Secara teoritis, inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi
faktor produksi serta produk nasional.127 Hasil penelitian terdahulu juga
mendukung hasil penelitian ini. Diantaranya Danastri Sisherdianti, yang
melakukan penelitian di Bank Muamalat Indonesia. Hasil penelitian diperoleh
bahwa setelah krisis moneter (2003-2008) pembiayaan bermasalah (non
performing financing) yang ada di Bank Muamalat Indonesia merespon fluktuasi
yang terjadi pada variabel inflasi.128 Kemudian Yunis Rahmawulan, yang
melakukan penelitian pada perbankan syariah di Indonesia. Adapun hasil
penelitian tersebut diperoleh bahwa pembiayaan bermasalah (non performing
financing) dipengaruhi oleh inflasi pada 3 quarter sebelumnya.129 Inflasi adalah
gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus
meningkat (Rahardja dan Manurung). Inflasi yaitu, kenaikan dalam harga barang
dan jasa, yang terjadi karena permintaan bertambah lebih besar dibandingkan
dengan penawaran barang di pasar (Sukirno). Inflasi biasanya menunjuk pada
harga-harga konsumen, tetapi bisa juga menggunakan harga-harga lain (harga
perdagangan besar, upah, harga, aset dan sebagainya). Biasanya diekspresikan
sebagai persentase perubahan angka indeks.130 Inflasi diartikan sebagai
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.131
127 Nopirin, dalam Pratikno, “Pengaruh Nilai”, h. 33. 128 Sisherdianti, “Faktor-faktor”, h. 93. 129 Rahmawulan, “Perbandingan Faktor”, h. 94. 130 Huda, Ekonomi Makro, h. 175. 131 Bank Indonesia, “Pengenalan Inflasi”.
95
Jika dikaitkan dengan pembiayaan bermasalah (non performing financing)
perbankan syariah, berarti adanya permintaan atas barang yang banyak akan
mendorong kenaikan inflasi. Berarti kegiatan ekonomi termasuk usaha-usaha yang
dibiayai bank syariah akan lebih bergeliat sehingga pengembalian pembiayaan
kepada bank syariah menjadi meningkat. Ketika pada satu titik tertentu, dengan
terpenuhinya permintaan akan barang, jelas inflasi akan menurun dan kegiatan
ekonomi akan melesu, usaha-usaha yang selama ini memperoleh pembiayaan dari
bank syariah akan kesulitan mengembalikan pokok pembiayaannya. Sehingga
dapat dikatakan menurunnya tingkat inflasi akan meningkatkan NPF perbankan
syariah, hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini.
Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi
serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity
effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional
masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects. Efek atas pendapatan
(equity effect) sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang
diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap
akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk
kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya
inflasi.132
Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan adanya
inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase
yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan
uang dimana nilainya naik dengan prosentase lebih besar dari pada laju inflasi.
Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola
pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat. Hal inilah yang mungkin terjadi
pada penelitian ini, di mana menurunnya inflasi mempengaruhi kenaikan
pembiayaan bermasalah (non performing financing), karena pada golongan
tertentu ketika inflasi menurun pendapatan mereka juga menurun sehingga
kemampuan untuk mengembalikan pembiayaan kepada bank syariah menjadi
132 Nopirin, dalam Pratikno, “Pengaruh Nilai”, h. 33.
96
menurun dengan kata lain pembiayaan bermasalah (non performing financing)
akan meningkat.
Hal yang sama juga terjadi pada efek terhadap efisiensi (efficiency effects).
Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini
dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang
kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa
barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu akan
mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong
terjadinya kenaikan produksi barang tertentu. Hal ini mendorong perkembangan
usaha-usaha tertentu meningkat dan kemampuan mereka untuk mengembalikan
pokok pembiayaan kepada bank syariah juga meningkat. Ketika inflasi menurun
kegiatan usaha mereka juga melesu sehingga kemampuan untuk mengembalikan
pembiayaan kepada bank syariah menjadi menurun dengan kata lain NPF
meningkat.
Pada efek terhadap output (output effects), inflasi mungkin dapat
menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi
biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan
pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi.
Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi dapat mengakibatkan penurunan
output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis,
masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter,
yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dan output. Inflasi
bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi bisa juga dibarengi dengan
penurunan output.
Walaupun demikian, pihak pengusaha yang bersifat spekulen akan
meningkatkan keuntungan. Mereka memiliki aliran kas yang tinggi walaupun
nilainya rendah tetapi kewajibannya atas cicilan pembiayaan bank syariah nilainya
tetap, sehingga kemampuan membayar cicilan pembiayaan akan tinggi. Ketika
inflasi menurun kegiatan usaha mereka juga melesu, tetapi nilai uang masih
lambat untuk menguat, sehingga kemampuan untuk mengembalikan pembiayaan
97
kepada bank syariah menjadi menurun dengan kata lain pembiayaan bermasalah
(non performing financing) meningkat.
Hasil pengujian diperoleh bahwa inflasi berpengaruh terhadap pembiayaan
bermasalah (non performing financing) perbankan syariah. Adannya tingkat
pengembalian investasi yang tinggi mempengaruhi jumlah serta arah aliran modal
jangka panjang dan jangka pendek. Tingkat pendapatan investasi yang lebih
menarik akan mendorong pemasukan modal ke suatu negara. Penawaran valuta
asing yang bertambah ini akan meninggikan nilai mata uang negara yang
menerima modal tersebut. Di sisi lain usaha-usaha yang ada hubungannya dengan
aliran modal tersebut mengalami pertumbuhan dan perkembangan usaha sehingga
tingkat kelancaran pembiayaan bank syariah mengalami peningkatan, dengan kata
lain NPF turun.
Hasil pengujian juga menunjukkan selama periode penelitian dari Januari
2009 sampai dengan Agustus 2010 setiap peningkatan inflasi akan mengakibatkan
penurunan pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan syariah
atau sebaliknya setiap penurunan inflasi akan mengakibatkan peningkatan
pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan syariah.
Penurunan inflasi akan menurunkan pembiayaan bermasalah (non performing
financing) perbankan syariah dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan syariah
meningkat disebabkan faktor ekonomi makro.
b. Adanya penurunan inflasi mendorong manajemen perbankan syariah untuk
menyalurkan pembiayaan karena adanya tujuan untuk memaksimalkan
imbalan bagi hasil kepada penitip dana. Para manajemen berasumsi kondisi
perekonomian yang baik akan mendorong tingkat kelancaran pembiayaan.
c. Penurunan inflasi berarti harga barang turun sehingga kemampuan masyarakat
untuk menabung juga tinggi, sehingga dana pihak ketiga perbankan syariah
juga tinggi (kelebihan likuiditas), dan dunia usaha menjadi lebih produktif
dengan adanya permintaan dan penawaran atas produk dan jasa.
d. Penurunan inflasi juga mengakibatkan daya beli masyarakat meningkat,
sehingga mendorong deposan memperluas/ekspansi usahanya, karena adanya
98
permintaan yang meningkat. Kondisi ini mendorong deposan mengajukan
pembiayaan dari bank syariah, dan jika tanpa pemikiran dan pertimbangan
yang matang akan mengakibatkan pembiayaan bermasalah (non performing
financing) perbankan syariah meningkat.
Selama periode penelitian dari Januari 2009 sampai dengan Agustus 2010
setiap peningkatan kurs Rupiah akan mengakibatkan peningkatan pembiayaan
bermasalah (non performing financing) perbankan syariah atau sebaliknya setiap
penurunan kurs Rupiah akan mengakibatkan penurunan pembiayaan bermasalah
(non performing financing) perbankan syariah. Adanya pengaruh nilai kurs
Rupiah terhadap pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan
syariah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ketidaklancaran pembiayaan pada perbankan syariah bisa juga dipengaruhi
oleh variabel ekonomi makro, yang tidak hanya ditentukan oleh perilaku
individu deposan maupun ketelitian dan kecermatan bank syariah dalam
mengambil keputusan dalam menyalurkan pembiayaan.
b. Pembiayaan pada umumnya disalurkan pada sektor riil, sehingga ada kenaikan
nilai tukar Rupiah yang berdampak terhadap usaha deposan.
c. Pada sektor usaha tertentu ada kalanya kenaikan nilai tukar Rupiah dapat
memberikan kemajuan usaha, karena adanya selisih nilai tukar yang tinggi.
Karena kurs terus berfluktuasi setiap saat, maka nilai penjualan pun akan
berpengaruh. Perubahan kurs saat transaksi, pencatatan dan pelaporannya
(realisasinya) mengakibatkan terjadinya keuntungan ataupun kerugian dari
pertukaran yang akan dicerminkan dalam perhitungan laba rugi pada periode
tersebut. Resiko kurs adalah resiko bahwa kurs besok akan berbeda dengan kurs
hari ini. Ada tiga ukuran untuk resiko dari kurs, yaitu resiko translasi, resiko
transaksi, dan resiko ekonomi.
a. Resiko translasi. Asset dan kewajiban mata uang asing dianggap beresiko jika
nilai mata uang asing untuk tujuan akuntansi diterjemahkan ke dalam mata
uang domestik menggunakan kurs saat ini, kurs yang berlaku pada tanggal
neraca.
99
b. Resiko transaksi. Istilah yang menggambarkan kontrak transaksi valuta asing
netto dimana jumlah penyelesaian bisa terkena resiko perubahan kurs. Kontrak
piutang, utang dan penjualan atau pembelian dengan harga tetap adalah contoh
dimana nilai moneter tetap pada saat yang berbeda dengan saat dimana
transaksi sebenarnya diselesaikan.
c. Resiko ekonomi. Resiko ekonomi terhadap perubahan kurs bergantung pada
struktur persaingan pasar untuk bahan baku dan produk perusahaan dan
bagaimana pasar ini dipengaruhi oleh perubahan kurs. Pengaruh ini tergantung
pada beberapa faktor ekonomi, termasuk elastisitas harga pokok, tingkat
persaingan dari pasar asing dan tak langsung melalui pendapatan dan
perubahan kurs terhadap pasar itu.
100
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data maka diperoleh kesimpulan yaitu
Tingkat inflasi berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah (non performing
financing) perbankan syariah. Hasil pengujian juga menunjukkan selama periode
penelitian dari Januari 2009 sampai dengan Agustus 2010 setiap peningkatan
inflasi di Indonesia sebesar 1% akan mengakibatkan penurunan pembiayaan
bermasalah (non performing financing) sebesar 0,207 %. Sebaliknya setiap
penurunan inflasi di Indonesia sebesar 1% akan mengakibatkan peningkatan
pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan syariah di
Indonesia sebesar 0,207%.
Nilai kurs Rupiah atas US Dollar berpengaruh terhadap pembiayaan
bermasalah (non performing financing) perbankan syariah. Hasil pengujian juga
menunjukkan selama periode penelitian dari Januari 2009 sampai dengan Agustus
2010 setiap peningkatan kurs Rupiah sebesar 1% akan mengakibatkan
peningkatan pembiayaan bermasalah (non performing financing) sebesar 0,975%.
Sebaliknya setiap penurunan nilai kurs Rupiah sebesar 1% akan mengakibatkan
penurunan pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan syariah
di Indonesia sebesar 0,975%.
Secara bersama-sama (simultan), tingkat inflasi dan nilai kurs Rupiah
berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah (non performing financing)
perbankan syariah. Selama periode penelitian dari Januari 2007 sampai dengan
Desember 2009, menunjukkan bahwa pembiayaan bermasalah (non performing
financing) perbankan syariah dapat ditentukan oleh inflasi dan kurs mencapai
50,3% pada model penelitian ini.
B. Saran
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, di mana variabel kurs Rupiah
tidak terlalu merespon terhadap pembiayaan bermasalah (non performing
101
financing) perbankan syariah, maka hal ini dapat dijadikan pertimbangan
bagi perbank syariah untuk terus meningkatkan pembiayaan yang
disalurkan.
2. Perbankan syariah tidak perlu terlalu khawatir dengan gejolak
perekonomian, namun harus mempertimbangkan variabel-variabel lain di
luar variabel ekonomi antara lain keimanan, budaya, persaingan, ukhuwah,
saling tolong menolong untuk meningkatkan kegiatan penyaluran
pembiayaannya.
3. Perbankan syariah harus lebih giat lagi mengadakan penelitian-penelitian
yang hasilnya dapat dipakai untuk rujukan pengambilan kebijakan bank,
sehingga tujuan untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan dapat
mencapai hasil yang optimal dan tepat sasaran.
4. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan kepada peneliti lain
untuk menambahkan variabel ekonomi makro selain variabel di atas,
sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan ekonomi Islam.