BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Setting...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Setting...
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Setting Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah sakit Tentara Tk II Prof.Dr. J.A
LATUMETEN Kota Ambon. Rumah sakit ini sendiri merupakan rumah sakit
swasta milik tentara angkatan darat yang berada di kecamatan Nusanive
kota Ambon. Letak Geografis Rumah sakit ini strategis yaitu di tengah kota
Ambon antara Rumah sakit Umum Daerah dan Rumah sakit GPM Ambon
dan merupakan rumah sakit yang sangat dekat untuk dijangkau dengan
menggunakan kendaraan umum seperti mobil dan motor. Rumah sakit ini
juga merupakan rumah sakit negeri kelas I yang memiliki jumlah tenaga
kerja didalamnya adalah 24 orang dokter dan jumlah perawat yang bekerja
adalah 101 orang, dimana tidak semuanya perawat dan dokter yang bekerja
disitu merupakan mayoritas masyarakat setempat tetapi ada pula dokter
maupun perawat yang berasal dari luar daerah Maluku. Penelitian ini
dilakukan selama 1 bulan yaitu pada bulan April hingga Mei 2016.
4.1.2 Proses Penelitian
Pada penelitian ini peneliti dibantu oleh staf rumah sakit untuk
mencari responden yang merupakan perawat yang bukan berasal dari
Maluku. Hasil dari pencarian responden tersebut adalah peneliti
32
mendapatkan 7 orang perawat yang merupakan perawat lintas budaya, dan
hanya 4 yang sesuai dengan karakteristik responden dalam penelitian ini.
Namun salah 1 dari 4 perawat tersebut menolak untuk menjadi responden.
Awal penelitian dilakukan pada 18 April 2016, sebelum melakukan
penelitian, peneliti melakukan kontrak waktu kepada responden dan
membuat informed consent. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik wawancara mendalam yang bersifat semi-struktur dengan total
pertanyaan 19 pertanyaan, adapun lamanya proses wawancara pada
masing-masing responden ± 1 jam dalam 1 kali pertemuan. Jumlah
wawancara yang dilakukan dengan responden adalah sebanyak 3 kali.
Pertemuan pertama adalah peneliti membina hubungan saling percaya
terlebih dahulu kemudian dilakukan wawancara awal untuk mengetahui
bahwa perawat ini sesuai dengan karakteristik penelitian atau tidak dan
untuk memastikan kesediaan perawat menjadi responden, sedangkan
pertemuan kedua untuk melakukan wawancara dengan menggunakan
pedoman wawancara yang telah disediakan, pertemuan yang ketiga adalah
untuk melengkapi data yang belum lengkap. Selama wawancara dalam
menjawab pertanyaan, semua responden menjawab dengan baik, dan tidak
ada kebingungan saat melakukan sesi wawancara tersebut dan jawaban
dari para responden adalah menggunakan bahasa Indonesia. Semua
pernyataan responden direkam dengan menggunakan telepon genggam.
Setelah data dikumpulkan dalam rekaman, peneliti mendengarkan
secara berulang-ulang kemudian membuat transkrip kedalam bentuk data
33
tertulis secara verbatim. Selanjutnya hasil transkrip dicari statement yang
signifikan dengan memberi warna (bolt) pada kalimat yang bermakna yang
berhubungan dengan fenomena yang diteliti untuk mendapatkan makna
serta gambaran tentang komunikasi lintas budaya perawat.
4.2. Gambaran Umum Partisipan
Responden dalam penelitian ini merupakan perawat yang bukan berasal
dari daerah Maluku yang berjumlah 3 orang yang masuk dalam kriteria yang
telah peneliti tentukan.
4.2.1 Informan 1
RP1 merupakan seorang wanita Ny M lahir di Malang pada tanggal
04 Maret 1984. Ny M sendiri merupakan lulusan D III keperawatan dan telah
berdomisili di kota Ambon selama 5 tahun karena mengikuti suaminya yang
pindah tugas dan tempat tinggalnya di asrama pangdam Skip Ambon. Ny M
sendiri telah bekerja selama 4 tahun di Rumah Sakit Tentara. Selama 4
tahun tersebut Ny M bekerja sebagai seorang perawat lintas budaya di
rumah sakit namun Ny M sendiri belum mampu menggunakan bahasa
setempat yaitu bahasa Ambon untuk berkomunikasi sehingga untuk
komunikasi sehari-harinya Ny M menggunakan bahasa Indonesia dan juga
sering menggunakan bahasa Jawa.
4.2.2 Informan 2
34
RP 2 merupakan seorang wanita Nn V, lahir di Yogyakarta 07
November 1990. Nn V merupakan lulusan D III keperawatan dan telah
tinggal di Ambon selama 3 tahun dan berdomisili di desa Tawiri, karena
mengikuti orang tuanya yang dipindah tugaskan ke kota Ambon. Nn V telah
bekerja di rumah sakit Tentara selama 3 tahun semenjak kedatangannya ke
kota Ambon. Selama 3 tahun terakhir telah berdomisili di kota Ambon bukan
berarti Nn V telah mampu menggunakan bahasa Ambon, akan tetapi yang
terjadi adalah Nn V masih belum mampu dan hanya bisa menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.
4.2.3 Informan 3
RP 3 merupakan seorang wanita Ny W, lahir di Majalengka 20 Mei
1980. Ny W juga merupakan seorang perawat lulusan D III Alasan Ny W
pindah ke kota ambon adalah memilih mengikuti suaminya yang pindah
tugas dan kemudian berdomisili di asrama militer Bentas kurang lebih 5
tahun terakhir. Ny W telah bekerja sebagai perawat di rumah sakit selama 5
tahun terakhir. Ny W selama 5 tahun bekerja menjadi perawat namun masih
belum mampu menggunakan bahasa Ambon untuk berkomunikasi namun
Ny W pernah mencoba beberapa kali untuk menggunakan bahasa Ambon
kepada rekan sejawatnya namun tidak mendapat respon yang baik karena
dibilang lucu dan oleh sebab itu Ny W tetap menggunakan bahasa
Indonesia untuk berkomunikasi.
4.3 Analisa Data
35
Hasil penelitian berupa hasil analisa tema yang mencakup deskripsi
hasil yang peneliti susun berdasarkan tema-tema yang di temukan tentang
gambaran komunikasi lintas budaya perawat, dan dari hasil penelitian
terlihat bahwa rata-rata para responden pendidikan terakhirnya adalah D III.
Pendidikan seseorang menjadi tolak ukur dalam pemahaman akan budaya.
Hal ini disebabkan karena pendidikan berkaitan erat dengan kemampuan
perawat untuk memahami kebudayaan yang dimiliki oleh orang lain.
Seorang perawat bukan hanya skillnya saja yang harus diasah akan tetapi
pengetahuan akan budaya juga sangat diperlukan. Oleh sebab itu semakin
tinggi pendidikan yang didapatkan oleh seorang perawat sangat diharapkan
semakin baik pula dia dalam kemampuan beradaptasinya. Hal ini didukung
dalam penelitian (Mareno dan Hart 2014) dengan judul cultural competency
among nurses with undergraduate and graduate degrees: implication for
nursing education dengan sampel 365 perawat yang berpartisipasi dan
hasilnya adalah tidak ada perbedaan yang berarti dari segi kesadaran,
keterampilan, kenyamanan saat bertemu dengan pasien, perawat yang
lulusan pascasarjana memiliki pengetahuan tentang budaya lebih tinggi dari
pada perawat yang lulusan sarjana. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
peneliti ini dilihat bahwa model pengambilan keputusan untuk pindah tempat
tinggal adalah sebagian besar mengikuti suaminya untuk berpindah tugas,
dan hanya seorang yang mengikuti orang tuanya untuk pindah. Kemudian
dari hasil analisis penelitian terdapat 5 tema besar yaitu, Cultural shock
yang dialami perawat lintas budaya, Kurangnya informasi yang dialami
36
perawat lintas budaya, Perbedaan dan hambatan komunikasi yang dialami
oleh perawat lintas budaya, serta Proses dan strategi adaptasi perawat
lintas budaya, Refleksi penelitian tentang komunikasi lintas budaya yang
terjadi di Rumah sakit.
4.3 Hasil Penelitian
4.3.1 Cultural Shock yang dialami perawat lintas budaya
Bagi perawat yang baru pertamakali datang ke Kota Ambon dimana
perawat tersebut memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat yang
di Ambon, maka seorang perawat dapat mengalami culture shock. Hasil
wawancara dan proses analisa data yang dilakukan peneliti mendapati
bahwa banyak perasaan-perasaan yang dimiliki oleh seorang perawat yang
akan menjadi perawat lintas budaya dan terpaksa meninggalkan daerah dia
yang sebelumnya kemudian pindah ke daerah yang baru dengan suasana
yang berbeda pula, dimana perasaan tersebut adalah perasaan di terima
dan ada juga berupa penolakan yang ada dalam diri perawat tersebut
perasaan diterima yaitu merasa senang dan nyaman. Para perawat tersebut
bukan hanya merasakan culture shock diawal mereka datang dan tinggal,
akan tetapi hingga saat peneliti melakukan penelitian mereka juga masih
tetap merasakan culture shock tersebut, dan untuk rentang waktu berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi, para responden
menyatakan mereka masih melakukannya hingga saat ini. Perbedaan yang
37
mereka rasakan sangat banyak yaitu mulai dari perbedaan bahasa, dan
budaya membuat mereka merasa harus mencoba untuk beradaptasi.
“menjadi perawat disini sungguh menyenangkan karena seiring waktu terasa nyaman saja. menyenangkan karena disini sesama perawatnya ramah, terus enak saja karena kalau kita menikmati pekerjaan kita kan pasti merasa enak saja” (RP I 44-49)
“senang. Karena namanya tugas harus dinikmati. senang saja karena saya sudah merasa nyaman bekerja di Rumah Sakit ini dengan rekan sejawat saya dan saya juga mulai menyukai bekerja dirumah sakit ini” (RP II 303-308)
Beberapa perasaan yang di miliki oleh para responden yang berupa
penolakan dan disebabkan oleh berbagai alasan seperti tidak menyukai,
ketakutan, kaget, khawatir dan cemas karena tidak mengetahui apapun
tentang daerah yang akan menjadi tempat domisili yang baru dan tempat
bekerja yang baru pula. Alasan-alasan seperti itulah yang merupakan suatu
tantangan tersendiri yang ada dalam diri responden karena mereka harus
merasakan perasaan-perasaan tersebut. Bukan hanya perasaan menolak,
akan tetapi ada juga yang mampu menerima keadaan tersebut juga.
“Bukannya tidak menyukai juga, tapi bagaimana yah, saya bukannya tidak menyukai rumah sakitnya. Tetapi saya awalnya tidak menyukai tempatnya saja. Saya dulu berpikir, kenapa saya harus bekerja jauh dari daerah asal saya. Saya kan masih baru juga jadi masih belajar menyukai daerah ini. saya masih belajar. Jadi saya yakin pasti saya bisa menyukai apa saja yang berhubungan dengan daerah dimana saya bekerja ini. Alasannya karena saya harus belajar menyesuaikan diri lagi, belajar tentang apa yang ada di daerah tersebut. Bagaimana orang-orang di daerah tersebut” (RP II 316-325)
Adapun respon negatif yang dirasakan responden adalah perasaan
yang ada saat pertamakali datang dan tinggal di kota Ambon sendiri
38
merupakan perasaan-perasaan dan pendapat yang bervariasi timbul dalam
diri para responden. Perasaan yang timbul dan dinyatakan oleh responden
adalah merupakan perasaan kaget, cemas maupun khawatir karena alasan
yang di miliki masing-masing responden. Bahkan ada responden yang
merasa ketakutan dengan alasan hal-hal yang telah terjadi sebelumnya
yang membuat tercemar nama daerah tersebut, dan juga ada para
responden juga yang merasa terganggu. Terganggunya para responden
bukan karena daerah yang dia tempati tetapi terganggu dengan
kebudayaan yang ada di daerah Maluku seperti cara bicara dan suara
orang Maluku yang begitu besar yang dimaksud peneliti suara orang Ambon
yang besar yaitu volume suara mereka yang keras seakan-akan hendak
berteriak antara satu sama lainnya, dan juga pembicaraan mereka yang
begitu cepat, dalam hal ini adalah orang Ambon saat berbicara tidak
mempedulikan bahwa adanya tanda titik untuk berhenti maupun tanda
koma untuk menahan napas mereka sehingga membuat para pendatang
baru seperti para responden merasa terganggu dengan hal-hal tersebut.
“waktu pertamakali sampai di Ambon yah kaget, dengan orang Ambon, wah mereka kok bicaranya bisa sekeras itu dan juga sangat cepat. Hanya seperti itu saja. dibilang terganggu.Setiap pendatang seperti saya pun pasti merasa terganggu yah. Saya sendiri yang tidak pernah berbicara sekeras dan secepat itu merasa wah, ini mereka berbicara atau berusaha membentak satu sama lain. karena saya sudah hamper 5 tahun tinggal disini, dan 5 tahun itu juga saya mulai belajar dan mulai peka dengan suara mereka dan bicaranya mereka yang cepat” (RP III 576-587)
4.3.2 Kurangnya informasi yang dialami perawat lintas budaya
39
Informasi merupakan suatu hal yang sangat penting karena tanpa
informasi kita tidak akan mengetahui apapun. Oleh sebab itu informasi
merupakan satu-satunya kunci supaya kita tidak akan merasa asing
maupun seperti orang yang tersesat didalam kebudayaan yang baru. Dua
dari responden mengatakan bahwa mereka datang ke kota Ambon tanpa
mengetahui tentang kebudayaan yang ada karena tidak ingin mencari tahu
dan juga tidak ingin tahu tentang kebudayaan yang ada di kota Ambon.
“saya belum tahu tentang kebudayaan yang ada dan awalnya saya tidak mau tahu. iya. Saya hanya berpasrah karena pada saat itu saya memang tidak mau untuk pindah ke kota ini” (RP II 352-356)
“saya tidak tahu apapun awalnya tentang kebudayaan disini. Kami hanya datang saja, karena berhubung suami saya pindah kerja ke kota ini” (RP III 593)
Salah satu responden memiliki pernyataan yang berbeda dari dua
responden yang lain adalah sebelum datang dia telah mencoba mencari
tahu tentang kebudayaan yang ada di kota Ambon dengan cara
menanyakan temannya, dan hal yang dia dapatkan adalah hal yang sama
dengan yang disampaikan oleh temannya padanya oleh sebab itu informasi
yang didapatkan dari temannya membantunya untuk mengenal sedikit
tentang daerah yang akan ditempatinya tersebut.
“yah saya sempat mencari tahu. yah saya cari tahu lewat teman saya yang sudah duluan pindah ke kota Ambon. Saya Tanya, Ambon itu sepertiapa sih? Kotanya bagaimana dan kebudayaannya bagaimana? Kata teman saya disini daerahnya panas, dan suasananya beda karena orangnya berbeda, serta budayanya jelas jauh berbeda dari tempat asal saya. Hanya seperti itu. Kalau pendapat saya sih hampir sama dengan teman saya. Disini panas, terus disini juga mahal kehidupannya dan yang paling penting disini itu beda bangat sama tempat di daerah saya tinggal dulu.
40
Kebudayaan yang berbeda dan ciri khas daerah yang berbeda pula. Budaya kami yang halus serta bicara kami yang lembut bertolak belakang dengan yang ada disini” (RP I 77-96)
Setelah ketiga responden datang ke kota Ambon dan mulai
mengenal tentang berbagai kebudayaan yang ada di Kota Ambon maka
pendapat-pendapat dan respon mereka terhadap kebudayaan bervariasi
pula RP I mengatakan bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat
Maluku bagus dan unik dengan tradisi mereka seperti makan patita.
Adapula yang dikatakan oleh RP II adalah mereka merasa kaget dengan
kebudayaan-kebudayaan yang ada terutama mereka merupakan pendatang
baru dan belum mampu menggunakan bahasa yang lain selain bahasa
Indonesia dan Jawa. RP III pun menyatakan bahwa dia merasa kaget
dengan kebudayaan yang ada karena perbedaan yang berarti seperti
budaya yang berbeda, kota yang berbeda dan penggunaan bahasa yang
berbeda pula.
“kebudayaannya bagus dan unik. ia uniknya itu seperti ada yang disini namanya makan patita. Saya awalnya bingung apa itu makan patita. Tapi setelah saya lihat teman-teman saya pergi, saya juga ingin. Kemudian saya ikut dan melihat sendiri. Ternyata itu untuk mengumpulkan semua orang dan makan bersama” (RP I 96-102)
“iya, saya merasa kaget karena saya kan orang baru, terus saya juga waktu itu hanya bisa berbahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa pun mendoknya setengah mati. iya. Itu juga salah satu alasan besar selain yang tadi saya katakan tentang konflik. Saya setelah datang saya takut karena tidak mengerti apa yang mereka katakan kepada saya. Baik teman sejawat maupun pasien” (RP II 362-368)
Ketika mengetahui tentang kebudayaan yang ada maka respon
mereka terhadap setiap perbedaan kebudayaan yang ada di kota Ambon
41
dan di daerah asal mereka sangatlah menarik perhatian peneliti karena
respon yang diberikan adalah perbedaan yang menurut peneliti merupakan
hal yang baru bagi mereka perawat lintas budaya. RP I menyatakan bahwa
jelas ada perbedaan kebudayaan yang terjadi seperti orang Ambon yang
memiliki watak yang kasar, suara yang keras dan kulit mereka yang gelap
serta yang sangat penting adalah bahasa yang digunakan sangatlah
berbeda. Kebingungan pun dirasakan oleh responden tersebut karena hal-
hal tersebut tidak pernah dia jumpai di daerah asalnya. RP II pun
menyatakan hal bahwa jelas ada perbedaan seperti di daerahnya yang di
Jogjakarta dia sering melihat banyak andong, namun pada kenyataannya
dia tidak menemukan hal tersebut di kota Ambon. Tidak hanya sampai di
situ perbedaan yang terjadi tetapi RP II menyatakan juga bahwa di
daerahnya dia menggunakan bahasa Jawa tetapi di Ambon dia harus
dituntut paling tidak untuk mengetahui bahasa Ambon. RP III memiliki
gambaran yang sama dengan RP II yaitu dari segi penilaian pada
pembicaraan yaitu di daerah asalnya RP III berbicara dengan suara yang
kecil dan halus tetapi yang dia dapatkan di Ambon adalah mereka berbicara
dengan suara yang keras dan nada yang kasar dan juga sangat cepat.
“yah jelas ada. ya seperti diketahui, orang Ambon sendiri kan berwatak kasar, suaranya yang keras dan kulit mereka yang coklat, dan yang paling penting itu bahasanya itu sangat berbeda. bingung sudah pasti karena perbedaan yang derastis, dan juga pasti merasa kaget karena hal-hal tersebut tidak pernah saya jumpai didaerah asal saya” (RP I 110-115)
42
4.3.3 Perbedaan dan hambatan komunikasi yang dialami oleh perawat
lintas budaya
Hasil riset dari ketiga responden ini ditemukan bahwa ada beberapa
hambatan komunikasi yaitu penggunaan bahasa yang berbeda. Setiap
orang yang datang dan mulai tinggal di tempat baru akan merasakan yang
namanya perbedaan kebudayaan. Perbedaan tersebut bisa membuat
mereka menerima dan bisa juga membuat mereka terganggu. Seperti yang
dipaparkan oleh para responden. RP I mengatakan bahwa ada perbedaan
komunikasi yang dialami yaitu kesulitan terutama dengan suara dan bahasa
yang digunakan masyarakat dan sering membuatnya tidak mengerti apa
yang dibicarakan oleh pasien maupun rekan sejawatnya dikarenakan
mereka yang berbicara dengan sangat cepat. RP II dalam masa
penyesuaian diri dikarenakan di daerah asalnya dia tidak pernah
mendengar kata-kata yang sangat kasar, akan tetapi hal tesebut dia dapati
di kota Ambon dan hal itu membuatnya merasa terganggu. RP III
mengatakan bahwa mengalami kesulitan itu pasti karena tidak semua orang
akan mampu menerima kebudayaan yang baru.
“jelas ada. Budayanya yang berbeda pasti menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Seperti didaerah saya yang tidak ada namanya budaya makan patita, disini ada. Kemudian suara mereka yang keras, di daerah saya kan orang bicaranya halus, tapi disini kan tidak. Maka pastinya saya harus mau tidak mau mencoba untuk menyesuaikan diri. masih merasa sedikit kesulitan terutama dengan suara dan bahasa yang digunakan. Kadang saya juga sering tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh pasien ataupun teman-teman saya karena mereka bicaranya sangat cepat” (RP I 124-130)
43
Ketiga responden menyatakan bahwa sangat perlu untuk
mempelajari setiap kebudayaan baru yang ada di suatu daerah, kerena
setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda dari daerah yang lainnya.
Terutama mereka sebagai pendatang hal tersebut sangat diperlukan karena
pekerjaan mereka sebagai perawat menuntut mereka untuk berkomunikasi
dan hal tersebut mendorong mereka untuk mengetahui hal apapun yang
berhubungan dengan pekerjaan mereka terutama tentang bahasa dan
kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Terutama daerah baru yang mereka
tempati sekarang ini karena masing-masing daerah memiliki keunikannya
masing-masing dalam penggunaan bahasa maupun cara mereka berbicara.
“sangat perlu. Apalagi bagi kami yang sebagai pendatang. Hal itu sangat diperlukan. karena pekerjaan saya menuntut saya untuk banyak berkomunikasi. Jadi saya harus professional dengan pekerjaan saya. Saya harus mendorong diri saya untuk perlu mengetahui apa saja dengan daerah tempat saya bekerja dan bahasa serta kebudayaan mereka. Sehingga saya bisa menolong dengan tepat tanpa membuat kerugian antara saya dan pihak manapun” (RP II 503-511)
Berbagai hal responden lakukan untuk berupaya beradaptasi
dengan kebudayaan yang ada di kota Ambon, karena jika tidak mencoba
untuk menyukai kebudayaan yang ada maka akan kesulitan untuk mulai
beradaptasi dengan kebudayaan yang ada pula. RP I mengatakan bahwa
dia mencoba beradaptasi dengan cara mengikuti kebudayaan yang
menurutnya pantas untuk di ikuti. Beda dengan RP II menyatakan bahwa
dia mulai mencoba beradaptasi dimulai dari lingkungannya bekerja dengan
cara mendengarkan setiap pembicaraan teman-temannya yang berasal dari
44
Ambon dan diapun mulai terbiasa dengan hal-hal tersebut. Sama seperti RP
III menyatakan bahwa dia harus mulai belajar menyukai dan menerima
setiap kebudayaan yang ada supaya dia mampu beradptasi. Semua strategi
yang dilakukuan oleh ketiga responden sedikit berbeda tetapi tujuan mereka
adalah mereka mencoba beradaptasi dengan kebudayaan yang ada
menggunakan cara mereka masing-masing.
“saya mencoba untuk mengikuti kebudayaan yang ada yang memang bisa saya ikuti dan memang kebudayaan yang pantas saya ikuti” (RP I 135)
“yah saya mulai dari lingkungan saya bekerja. Teman-teman saya kan banyak tuh yang orang Ambon, yah saya sering mendengar mereka berbicara dan saya mencoba untuk terbiasa dengan hal-hal tersebut” (RP II 401)
“yang pasti saya harus belajar menyukai dan menerima kebudayaan yang ada supaya saya bisa beradaptasi” (RP III 619)
Bukan hanya perbedaan kebudayaan saja yang sangat
mempengaruhi bagi seorang perawat lintas budaya, akan tetapi perbedaan
komunikasi pun sangat berpengaruh besar dalam hal ini, karena seorang
perawat lintas budaya bukan hanya diharuskan untuk mengetahui
kebudayaan yang ada, akan tetapi untuk mengetahui bahasa yang
digunakan oleh masyarakat setempat untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu
responden mengatakan bahwa ada perbedaan komunikasi yang berarti
antara daerah asalnya dan daerah baru yang di tempatinya yaitu kota
Ambon. RP I mengatakan bahwa ada perbedaan komunikasi yang berarti
karena di tempat asalanya dia sering berbicara dengan menggunakan
bahasa Jawa namun ketika di Ambon mereka menggunakan bahasa
45
Ambon untuk berkomunikasi hal tersebut membuatnya tidak mengerti
pembicaraan yang terjadi. RP II pun mendukung pendapat yang
disampaikan oleh RP I dengan statement bahwa ada perbedaan komunikasi
yang terjadi karena di daerah asalnya mereka hampir tidak pernah
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi karena mereka
sering menggunakan bahasa Jawa setiap harinya dan sama dengan
masyarakat di Ambon yang hampir tidak pernah menggunakan bahasa
Indonesia dan hanya berkomunikasi sehari-harinya menggunakan bahasa
mereka yaitu bahasa Ambon.
“jelas ada. Karena ditempat asal saya, bicaranya kebanyakan menggunakan bahasa Jawa. Kalau disini kan bicaranya pakai bahasa Ambon. Yah jelas aku ora mudeng toh” (RP I 152)
“jelas ada ya, mulai dari intonasinya yang beda, bahasa yang digunakan beda, dan yang pastinya punya tingkat kesulitan yang berbeda” (RP III 661)
Ketika komunikasi yang berbeda membuat perawat lintas budaya
menjadi kesulitan dalam menghadapinya maka menurut para responden
bahwa sangat penting untuk mempelajari bahasa daerah yang ada di
daerah yang di tempati sekarang karena akan sangat membantu untuk
memperlancar tugas dan tanggung jawab sebagai seorang perawat. Seperti
yang dikatakan oleh RP I dan RP III bahwa sangat perlu mempelajari
bahasa Ambon karena sebagian besar dari pasien dan perawat yang ada di
rumah sakit tersebut mayoritasnya menggunakan bahasa Ambon untuk
berkomunikasi dan juga banyak pasien yang datang kerumah sakit tersebut
dengan latar belakang yang berbeda-beda. Oleh sebab itu mengetahui
46
bahasa Ambon beberapa kalimat saja akan sangat membantu mereka. RP
II mengatakan bahwa sangat penting mempelajari bahasa yang ada karena
masing-masing daerah memiliki bahasa yang berbeda dan belum tentu
semua orang mampu untuk berbicara dan mengerti bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
“menurut saya perlu, karena hampir sebagian besar pasien dan karyawan di rumah sakit ini menggunakan bahasa Ambon. Jadi menurut saya mempelajari bahasa Ambon itu juga merupakan salah satu hal yang menurut saya penting” (RP I 157)
“ya pasti sangat penting, karena masing-masing daerah memiliki bahasanya masing-masing, dan belum tentu semua orang itu bisa mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh sebab itu menurut saya sangat penting untuk mempelajari setiap bahasa yang ada di daerah yang kita tempati” (RP II 451)
4.3.4 Proses dan strategi adaptasi perawat lintas budaya
Proses yang peneliti paparkan disini adalah bagaimana proses
komunikasi yang dilakukan oleh perawat lintas budaya saat melakukan
komunikasi baik dengan perawat maupun pasien yang ada di rumah sakit
tentara Ambon, mulai dari penggunaan bahasa yang digunakan saat
berinteraksi. Karena menurut RP III komunikasi yang baik itu komunikasi
yang bisa membuat orang yang sedang melakukan komunikasi dan lawan
bicaranya itu mengerti apa yang dibicarakan tanpa menyinggung satu sama
lainnya. Rata-rata responden menggunakan bahasa Indonesia untuk
berkomunikasi baik dengan pasien maupun rekan sejawat karena tidak
mengerti bahasa Ambon.
47
“saya saat pertama kali bertugas saya menggunakan bahasa Indonesia. Kadang saya suka keceplosan menggunakan bahasa Jawa” (RP I 141)
“saya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa” (RP II 405)
“komunikasi yang baik itu, yang bisa membuat orang yang sedang melakukan komunikasi dan lawan bicaranya itu mengerti apa yang mereka bicarakan. Tanpa menyinggung orang lain. saya menggunakan Bahasa Indonesia. Baik kepada pasien maupun kepada rekan sejawat saya. kalau pertamakali itu saya coba gunakan kepada rekan sejawat saya,itu juga mereka mengatakan, “ ih mbak lucu bangat sih kalau ngomongnya pakai bahasa Ambon”. Saya masih merasa ragu untuk menggunakan bahasa Ambon ke pasien takutnya pasien tidak mengerti apa yang saya maksudkan” (RP III 624-636)
Kesulitan yang dialami oleh seorang perawat lintas budaya yang di
paparkan oleh responden termasuk juga kesulitan dalam berkomunikasi hal
ini terlihat karena responden mengatakan bahwa mereka sangat kesulitan
menanggapi komunikasi yang terjadi karena cara berbicara orang Ambon
yang bergitu cepat. RP I mengatakan bahwa dia pernah megalami kesulitan
berkomunikasi saat pertamakali datang bertugas dan mendengar
pembicaraan orang Ambon dengan bicaranya mereka yang cepat serta
kata-kata yang digunakan serba baru didengarkan itu membuatnya bingung.
Hal tersebut bukan hanya dialami oleh RP I namun dialami juga oleh RP II
dan RP III dengan alasan mereka kesulitan dalam berkomunikasi
diakibatkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Ambon.
“kesulitan jelas ada. Karena saya harus mulai belajar untuk mengerti perkataan pasien yang menggunakan bahasa Ambon, dan saya sendiri belum mampu menggunakan bahasa Ambon” (RP II 456) merasa kesulitan, iya. Tetapi saya akan terus mencoba” (RP II 467)
48
“kesulitan sih iya, tapi lama kelamaan juga enjoy. Saya kesulitan itu jika pasien mengeluh atau berbicara secara cepat dengan menggunakan bahasa Ambon” (RP III 676) merasa kesulitan sih iya, karena kalau kita tidak merasa sulit, pastinya kita tidak mau berusaha untuk tahu” (RP III 687)
Strategi adaptasi adalah cara-cara yang dilakukan oleh responden
untuk beradaptasi dengan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi
saat mereka tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh keluarga maupun
pasien yang berasal dari Ambon yaitu responden akan mulai menanyakan
artinya, responden kadang meminta pasien menggunakan bahasa tubuh,
dan juga meminta penerjemah. Hal tersebut bukan hanya di lakukan oleh
seorang responden saja tetapi ketiga responden menggunakan hal yang
sama. RP I, II III mengatakan bahwa jika mereka mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi dengan pasien maupun keluarganya, maka mereka
akan meminta bantuan temannya untuk menerjemahkan maksud mereka
maupun sebaliknya, dan jika tidak mereka akan menanyakan artinya
tersebut kepada keluarga pasien yang sedang menjaga. Jika tidak ada
alternatif yang lain maka mereka akan menggunakan bahasa tubuh jika itu
sangat diperlukan dan jika itu satu-satunya cara.
“karena itu gunanya rekan sejawat yang bertugas bersama hari itu. Saya akan memintanya menjadi penerjemah bagi saya, karena seperti diketahui orang ambon kan bicaranya cepat, bisa-bisa saya jadi kebingungan dan tidak memahami maksud mereka. Jadi saya akan meminta penerjemah. saya akan meminta keluarga pasien untuk menjelaskan secara perlahan. Jika saya masih belum mengerti, saya akan meminta keluarga untuk menjelaskan di ruangan saya dan pastinya dengan bantuan translate dari teman saya. Nah itulah gunanya bahasa tubuh, saya akan menggunakan atau meminta keluarga menggunakan bahasa tubuh. Karena saya tidak memiliki alternative lainnya” (RP III 624-650)
49
Pernyataan para responden tentang mereka adalah seorang
perawat lintas budaya dan hal-hal yang termasuk sulit bagi seorang perawat
lintas budaya adalah mereka harus kembali beradaptasi dengan lingkungan
budaya dan bahasa yang ada di daerah tersebut. Ketiga responden
mengatakan bahwa mereka merupakan seorang perawat lintas budaya
dikarenakan mereka yang berasal dari luar daerah dan datang bekerja di
rumah sakit di Ambon. RP I, II III mengatakan bahwa hal yang sulit bagi
seorang perawat lintas budaya adalah dia harus beradaptasi dengan
lingkungan yang baru, budaya yang baru suasana yang baru serta bahasa
yang baru pula.
“menurut saya iya, karena saya memang bukan berasal dari daerah sini. Tetapi dari daerah lain, jadi saya memang masuk kategori perawat lintas budaya. Hal yang tersulit adalah, saya harus berpindah daerah, saya harus belajar beradaptasi lagi, saya harus belajar bahasa mereka juga, cara bicara mereka, budaya mereka” (RP II 472-477)
“Menurut saya, iya saya merupakan seorang perawat lintas budaya, karena saya bukan berasal dari Maluku, tetapi saya bekerja di Rumah sakit di Maluku. Saya yang masuk kategori sulit adalah, sulit untuk beradaptasi dengan bahasa masyarakat setempat” (RP III 692-696)
Bukan hanya merasa kebingungan saat berkomunikasi dengan
pasien, tetapi para responden juga merasa kebingungan saat melakukan
komunikasi dengan rekan sejawatnya, karena menurut mereka rata-rata
rekan sejawatnya saat berkomunikasi menggunakan bahasa Ambon dan itu
membuat mereka merasa kesulitan. Namun mereka tidak mengalami
kesulitan saat berkomunikasi dengan dokter yang bekerja di rumah sakit
50
tersebut sebab dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut ada pula yang
berasal dari Jawa dan rata-rata mereka berkomunikasi dengan dokter
menggunakan bahasa Indonesia. RP I II III mengatakan bahwa mereka
akan mengalami kebingungan berkomunikasi dengan rekan sejawatnya
ketika mereka melakukan operan karena mereka akan menggunakan
bahasa Ambon untuk berkomunikasi, akan tetapi responden tersebut tidak
memahami pembicaraan tersebut dikarenakan pembicaraan mereka juga
yang begitu cepat.
“iya. Pernah beberapa kali merasa kebingungan dan salah pengertian juga dengan apa yang dimaksud oleh pasien. Contohnya pada saat pasien merasa kesakitan dan mengeluh dengan bahasa Ambon, saya akan mulai kebingungan. Oleh sebab itu saya selalu membawa teman saya yang berasal dari Ambon saat menuju ke ruangan pasien dan dia akan menjadi seorang penerjemah bagi saya. Kalau dokter sih jarang yah, karena kebanyakan disini kan dokternya juga berasal dari Jawa. Kalau sama rekan perawat, jelas selalu bingung. Bingungnya itu waktu mereka melakukan operan. Ampun itu sampai saya kadang hanya melihat saja bingung apa yang mereka bicarakan. Karena mereka akan menggunakan bahasa Ambon saat berbicara, dan hampir 100% itu orang Ambon semua” (RP I 219-233)
“awalnya itu sering sekali bingung. Tapi sekarang sudah lumayan. kalau dari yang dulunya 100% bingung, sekarang sudah turun jadi 85%. kalau dengan dokter tidak, karena ada juga dokter yang bisa berbahasa Jawa tetapi rata-rata kan kita bicara sama dokter menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi dengan perawat bingung. Karena mereka juga berasal dari Ambon dan bicaranya mereka juga cepat” (RP II 483-490)
Berbagai macam strategi yang dilakukan oleh para responden saat
mereka tidak mengerti apa yang dikatakan oleh rekan sejawat mereka
adalah mereka mulai menanyakan maksud pembicaraan dari lawan bicara
mereka, meminta berbicara secara perlahan, dan ada juga yang akan
51
bertanya kembali apa yang dikatakan oleh perawat yang berasal dari
Ambon.
“saya akan menanyakan kalau dalam bahasa Indonesia artinya apa? dan mereka akan menjawabnya dalam bahasa Indonesia”(RP I 238)
“saya sering meminta mereka berbicara perlahan, atau paling tidak sering menggunakan bahasa indonesia. Adakalanya juga saya sering menanyakan itu artinya apa ? seperti itu” (RP II 496)
“saya akan bertanya kembali apa maksud mereka, dan meminta mereka menjelaskan dalam menggunakan bahasa Indonesia” (RP III 714)
4.3.5 Refleksi Penelitian Tentang Komunikasi Lintas Budaya yang
Terjadi Di Rumah Sakit
Hasil riset dari ketiga responden, yang peneliti angkat sebagai
penarikan kesimpulan kecil, dimana ditemukan proses adaptasi komunikasi
lintas budaya yang terjadi dimulai dari para responden dari kebudayaan
yang berbeda yaitu budaya Jawa datang dan tinggal di kota Ambon dengan
kebudayaan yang berbeda maka mereka akan mengalami shock culture
misalnya terjadinya perasaan penolakan dalam bentuk tidak menyukai,
khawatir, ketakutan, kaget, khawatir dan cemas.
Kekurangan informasi pun sangat berpengaruh karena seseorang
yang kurang informasi tentang daerah baru akan mengalami shock culture
maka akan dibutuhkan informasi tentang budaya dan bahasa yang
digunakan di daerah yang baru tersebut. Kekurangan informasi yang
dimaksud adalah mereka tidak berusaha untuk mencari tahu bagaimana
kebudayaan dan bahasa yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
52
Perbedaan akan menyebabkan berbagai jenis hambatan.
Perbedaan yang terjadi adalah perbedaan kebudayaan dan juga perbedaan
bahasa. Kedua hal tersebut menyebabkan berbagai hambatan yang dialami
oleh perawat lintas budaya yaitu hambatan dalam hal berkomunikasi yang
membuat mereka harus mencoba untuk beradaptasi guna mengurangi
culture shock.
Oleh sebab itu strategi-strategi adaptasi yang dilakukan adalah
semata-mata menyelamatkan mereka agar tidak melakukan kesalahan
dalam berkomunikasi di lingkungan baru tempat bekerja. Strategi yang
dilakukan adalah mereka mulai menanyakan maksud pembicaraan dari
lawan bicara mereka, meminta berbicara secara perlahan, dan ada juga
yang meminta penerjemah.
4.3.6 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan didalamnya,
yaitu tempat penelitian yang jauh, karena peneliti harus meneliti di Rumah
sakit Tentara yang berada di kota Ambon, kesibukan para responden yang
mengakibatkan harus melakukan wawancara sambil melakukan tugasnya
pada saat itu karena waktu tugasnya. Bukan tempat dan kondisi saat
melakukan wawancara saja yang menjadi hambatan dalam penelitian ini,
namun bahan refrensi mengenai Gambaran komunikasi lintas budaya
perawat sangat terbatas dan bahkan sangat sulit untuk didapatkan peneliti.
53
Komunikasi antara peneliti dengan partisipan saat penelitian dan
wawancara berlangsung juga menjadi kendala dalam penelitian ini,
terkadang beberapa pertanyaan peneliti memiliki jawaban yang berbeda
dari apa yang peneliti targetkan dengan apa yang para responden katakan,
sehingga peneliti berusaha untuk mencari bahasa atau cara lain agar
partisipan mengerti maksud dari pertanyaan tersebut dan menjawab sesuai
dengan jawaban yang ditargetkan peneliti. Dalam penelitian ini juga
terdapat keterbatasan lain yaitu peneliti tidak melakukan studi lapangan dan
hanya melakukan studi pustaka pada saat menyiapkan penelitian ini.
4.4 Pembahasan
4.4.1 Cultural Shock yang dialami perawat lintas budaya
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tiga partisipan
perawat lintas budaya yang bekerja di RST Ambon tentang perasaan-
perasaan yang muncul saat menjadi seorang perawat lintas budaya di
Rumah sakit Tentara dalam pembahasan ini berupa perasaan di terima
maupun tidak. Perasaan diterima seperti mereka mulai merasa senang dan
nyaman karena mulai menikmati tugas dan tanggung jawab mereka di
Rumah Sakit, tetapi dibalik perasaan menerima tersebut ada penolakan-
penolakan yang dilakukan yaitu adanya perasaan negatif seperti merasa
khawatir, tidak menyukai, merasa sunyi, kaget, cemas, khawatir, terganggu
serta menakutkan. sehingga mengakibatkan seorang perawat lintas budaya
mengalami culture shock. Meskipun masing-masing responden
54
berpengalaman bergerak dari satu budaya ke budaya lain sebagai individu,
ada kesamaan dalam pengalaman mereka. Misalnya, gagasan maupun
perasaan aneh yang datang berulang kali.
Penelitian yang dilakukan oleh Ruddock & Turner (2007) dengan
judul Developing cultural sensitivity: nursing students’ experiences of a
study abroad programme mengatakan bahwa mengembangkan sensitivitas
budaya merupakan interaksi yang rumit antara rasa nyaman yang tumbuh
secara pribadi dari pengalaman transisi dengan budaya lain, dan
menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya. Inti dari proses ini adalah
pengalaman siswa belajar dalam lingkungan yang tidak diketahui, adanya
stress dan variasi kejutan budaya, serta mengambil keputusan tentang
menerima budaya. Sehingga hal ini diperlukan semua wawasan terbuka
dan dinamis yang sensitif terhadap budaya yang berbeda.
Tak hanya itu adanya penelitian yang di lakukan oleh Hoye &
Severrinson (2010) dengan judul penelitian Professional and cultural
conflicts for intensive care nurses menyatakan bahwa perawat perlu
bernegoisasi dengan anggota keluarga yang berbeda budaya mengenai
permasalahan cara bicara. Dalam pertemuan antara keluarga dengan
perawat, perawat harus mampu menyeimbangkan antara etnosentrisme
dan kepekaan budaya, yang implikasinya untuk praktek adalah, guna
meningkatkan kompetensi perawat dalam penilaian keanekaragaman
budaya.
55
Salah satu hal yang bisa membantu kita memahami wilayah planet
atau ruang yang kita tempati ialah budaya. Bila seseorang memasuki
budaya asing, maka tempat tersebut menjadi asing bagi mereka orang-
orang asing, sehingga hampir semua petunjuk yang mereka ketahui itu
lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Walaupun orang tersebut
memiliki wawasan yang luas dan berperilaku baik, dia akan merasa
kehilangan pegangan. Kemudian anda akan mengalami kecemasan dan
frustasi. Orang-orang biasanya menghadapi frustasi dengan cara yang
hampir sama. mereka petama-tama akan menolak lingkungan yang
membuat mereka merasa tidak nyaman (Mulyana&Rahmat,2001;174).
Emosi dari salah satu aspek kebutuhan individu dan muncul dalam
theori Maslow tentang hirarki kebutuhan seperti perasaan harga diri.
keyakinan, prestasi, kemandirian, pengakuan dan perhatian. dengan tidak
semua yang penting yang sama bagi semua karyawan. selain emosi positif,
pekerja juga mungkin mengalami perasaan lebih negatif sehubungan pada
pekerjaan mereka, seperti stres yang dipercaya merasa bosan atau gelisah.
Oleh karena itu berbagai emosi dapat dialami dalam kaitannya untuk
bekerja. kebahagiaan adalah perasaan positif mengekspresikan
kesenangan, kepuasan serta perasaan bahagia bisa berhubungan dengan
harga diri dan kepercayaan diri yang positif sehingga merasa di kontrol atau
diberdayakan (oxford Dictionary 1974)
56
Manusia berkomunikasi tidak hanya dengan menggunakan kata-
kata. Nada suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya semua itu
mengundang makna yang diperhitungkan. Oleh sebab itu tidak hanya
bahasa yang bisa membingungkan tetapi juga perilaku nonverbal dari isyrat-
isyarat kultural. Anggukan seseorang bisa menjadi hal negatif bagi orang
lainnya. Disebabkan karena setiap kebudayaan memiliki kekayaannya
sendiri dari tanda-tanda bermakna, lambang-lambang, gerak gerik, konotasi
emosi, respons tradisional yang juga yang tidak kalah penting adalah diam
sekalipun mengandung makna. Hal ini didukung oleh teori Bennett (1998)
yang menyatakan bahwa pengamatan ini, mengidentifikasi kepekaan
budaya sebagai kesadaran akan pentingnya perbedaan budaya dan
menghormati pandangan orang tentang budaya lain. (Hansen 2001)
menyatakan seni bertemu orang-orang dari budaya lain terdiri dari
kemampuan untuk pindah ke dunia lain tanpa kehilangan diri sendiri,
sementara menjaga pikiran terbuka dan merangkul perbedaan dalam
masyarakat multikultural.
Chenoweth (2002) menyatakan bahwa, bagi perawat untuk
mendapatkan pengetahuan transkultural yang relevan keterampilan dan
sikap dalam memberikan perawatan yang sejalan dengan kebutuhan dan
pengalaman konsumen kesehatan, mereka harus menghormati sistem
budaya masyarakat dan kiat sukses. Dengan demikian, mereka harus
menyadari praduga mereka sendiri untuk menghindari stereotip, pelabelan
dan kategorisasi. Ini termasuk pertimbangan variasi antar dan dalam
57
kelompok, ras, usia dan jenis kelamin, sementara pada saat yang sama
menjadi peka terhadap kebutuhan mereka didefinisikan secara kultural.
Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa menelaah dan
mengkonfirmasikan nilai-nilai budaya sendiri dan prasangka yang penting
untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan budaya terhadap orang lain
(Riley 2000). Sementara Sutardy (2007)menyatakan bahwa, untuk
meningkatkan kepekaan terhadap budaya dan mendorong hubungan yang
baik dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, perlu
untuk memahami praduga sendiri, nilai-nilai seseorang dan kepentingan,
serta budaya sendiri.
McMurray (2000) setuju bahwa sensitivitas budaya membutuhkan
keterbukaan dan menghormati perbedaan budaya. Meskipun ia juga
menekankan bahwa sensitivitas budaya mencakup lebih dari bersikap
terbuka dan menghormati perbedaan budaya, hal itu juga memerlukan
pemahaman dinamika budaya lain, hanya dengan demikian perawat dapat
mulai menilai pola perilaku pada pasien dari latar belakang budaya yang
berbeda yang dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap pengelolaan
masalah kesehatan.
Culley (2008) juga berpendapat bahwa keperawatan transkultural
harus mengenali sifat cair budaya. Perawat harus melakukan lebih dari
mengubah sikap pribadi mereka dan meningkatkan pengetahuan mereka
tentang pandangan dunia yang berbeda. Guna untuk mengatasi
58
kesenjangan-kesenjangan dalam akses keperawatan kesehatan,
menunjukkan bahwa pertimbangan hubungan kekuasaan, status sosial-
ekonomi, jenis kelamin, perbedaan usia, struktur organisasi dan subjektif
pengalaman orang-orang dari kelompok budaya lain harus diperhitungkan.
Dengan cara individu melintasi budaya dapat digambarkan sebagai
mengalami tingkat kewaspadaan eksistensial. Banyak orang berjuang untuk
mengatasi perasaan tidak mampu dan frustrasi dalam mengubah
lingkungan mereka, beberapa menolak perubahan dan berjuang untuk cara-
cara lama mereka, sedangkan yang lain putus asa mencoba untuk "jadi
penduduk asli" dan hidup dengan rasa takut pada gagal dan putus asa.
Sejauh mana orang menjalani tantangan lintas-budaya seperti itu bervariasi,
tergantung pada situasi mereka melibatkan diri dan motif mereka untuk
pindah di dalam budaya lain. Alasan yang berbeda untuk melintasi budaya
mendampingi derajat yang berbeda dari komitmen bahwa individu merasa
menuju lingkungan baru mereka. Seperti para responden, yang datang ke
kota Ambon rata-rata karena mengikuti suaminya dipindah tugaskan dan
biasanya mengalami pergerakan tiba-tiba dan tidak disengaja. Karena sifat
tiba-tiba keberangkatan mereka dari daerah asal mereka, sebagian besar
responden memiliki sedikit kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk
hidup di daerah baru yang mereka tuju. setidaknya selama fase awal
perubahan, mereka cenderung mengalami kecemasan yang parah dan rasa
kehilangan (Campinha 1998).
59
Bagi para responden, pengembangan kepekaan budaya adalah
proses melingkar. Mengalami stres di lingkungan yang asing, mengambil
cara-cara budaya tuan rumah, dan membandingkan budaya mereka sendiri.
Ada didalam lingkungan yang mendukung memungkinkan responden untuk
merefleksikan secara kritis perbedaan yang menantang nilai-nilai pribadi
dan profesional mereka dan keyakinan. Hal ini menyebabkan pemahaman
yang lebih besar bahwa menjadi sensitif terhadap budaya lain yang terlibat
menjadi terbuka dengan konteks baru, termasuk struktur sosial dan politik,
serta keyakinan masyarakat tentang kesehatan dan penyakit. Pengamatan
ini konsisten dengan Campinha-Bacote (2002), yang mengklaim bahwa
menjadi peka budaya adalah proses yang berkelanjutan yang meliputi
elemen penting dari kompetensi budaya.
4.4.2 Kurangnya informasi yang dialami perawat lintas budaya
Bukanlah tugas yang mudah untuk menjadi seorang perawat.
Tantangan-tantangan yang dialami oleh perawat seperti perubahan-
perubahan yang ada, dimana perubahan tersebut dimulai dari
lingkungannya maupun klien. Dilihat dari segi lingkungan, perawat
dipertemukan selalu dengan globalisasi. Globalisasi sangatlah
mempengaruhi perubahan dunia terutama dalam bidang kesehatan.
Terjadinya perpindahan penduduk memaksa perawat untuk mampu
menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya. Oleh sebab itu semakin
banyak perpindahan penduduk, maka semakin beragam pula budaya dalam
60
suatu negara. Hal tersebut yang menjadikan perawat harus dapat
melakukan asuhan keperawatan yang bersifat tidak kaku di lingkungan yang
tepat. Pentingnya informasi tentang suatu kebudayaan baru akan
mengurangi dampak stress terhadap seorang perawat lintas budaya.
Sehingga hasil penelitian ini menunjukan bahwa dua dari responden datang
untuk bekerja di Rumah sakit di kota Ambon tanpa mengetahui tentang
kebudayaan yang ada karena tidak ingin mencari tahu, sedangkan salah
satu responden menyatakan sempat mencari tahu tentang informasi yang
ada mengenai kebudayaan yang dimiliki. Akan tetapi salah satu responden
yang mencari tahu tentang kebudayaan yang ada menyatakan bahwa
walaupun dia telah mencari tahu tentang kebudayaan yang ada hal tersebut
hanya tentang gambaran umum dari orang Ambon saja oleh sebab itu tetap
saja ada perbedaan yang berarti antara kebudayaan mereka dan
kebudayaan yang ada. Hal tersebut mengakibatkan munculnya perasaan
kaget, bingung, takut dan bisa mengakibatkan banyak perasaan aneh lain
yang muncul.
Padahal ketika seseorang memiliki kesadaran dan keinginan
memasuki budaya baru, berarti sudah melakukan persiapan yang matang
dan membekali dirinya dengan informasi-informasi yang mungkin akan
diperlukan. Akan menjadi hal berbeda ketika seseorang memasuki suatu
budaya baru dengan keterpaksaan, maka akan menimbulkan penolakan
dan rasa curiga terhadap kebiasaan, pola pikir dari budaya baru tersebut.
Sehingga menimbulkan kecemasan komunikasi yang mungkin akan muncul
61
diawal-awal proses adaptasi saat memasuki budaya baru adalah hal yang
wajar (Kim 1995).
(Turner 2005) Menyatakan bahwa budaya mempunyai pengaruh
luas terhadap kehidupan individu. Sebab itu perawat diharuskan untuk
mengenal latar belakang pasiennya. Misalnya bahasa dan kebudayaan,
kebiasaan hidup sehari-harinya, cara mengekspresikan perasaan, dan
praktik kesehatan sehari-hari. Adapun kultur juga terbagi dalam beberapa
sub-kultur. Sub-kultur merupakan kelompok dalam suatu kultur yang tidak
semuanya memiliki pandangan yang sama seperti sebuah kelompok kultur
yang lebih besar atau memiliki makna yang berbeda. Kebiasaan hidup juga
memiliki kaitan dengan kebiasaan cultural. Seperti nilai-nilai dari
kebudayaan timur, terkhususnya di Ambon yang menyebabkan persepsi
yang negatif dikarenakan kebiasaan orang Ambon yang bicaranya dengan
suara keras dan kasar serta cepat. Hal itu menyebabkan para pendatang
melabelkan orang Ambon sangat kasar dan jahat, tanpa mencoba menggali
informasi lebih dalam lagi tentang kebiasaan orang Ambon.
Tradisi atau kebiasaan juga merupakan suatu budaya, seperti yang
dikatakan responden bahwa kebudayaan orang Ambon unik. Tentang tradisi
orang Ambon yaitu salah satunya makan patita. Hal ini di dukung oleh (Hall
1966) yang menyatakan bahwa tradisi bisa mengekspersikan suatu budaya,
memberikan masyarakat didalamnya mempunya rasa memiliki dan
keunikan. Oleh sebab itu kita harus menghargai keunikan yang dimiliki
62
masyarakat dan berusaha untuk berkomunikasi dengan masyarakat dari
kelompok budaya tersebut.
(Manstead dan Hewstone, 1996) dalam menyatakan bahwa
stereotip mengenai orang lain sudah ada pada orang yang berprasangka
sebelum dia berusaha untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain
yang dikenai prasangka tersebut. Hal tersebut di karenakan keterangan-
keterangan yang kurang lengkap dan subjektif yang menyebabkan
terbentuknya sterotip.
Jika kita tidak berusaha menggali informasi tentang suatu
kebudayaan yang baru yang hendak kita masuki maka akan timbul
prasangka sosial. Prasangka sosial ini bergandengan pula dengan
stereotipe. Istilah ini mengacu pada suatu gambaran atau tanggapan
tertentu mengenai watak dan sifat pribadi orang golongan lain yang
bercorak negatif. Menurut (Manstead dan Hewstone, 1996) stereotipe
didefinisikan sebagai keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang
(perilaku, cirri kepribadian, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu
kebenaran kelompok sosial. Sebagai contoh, watak dan sifat semua orang
Negro adalah kurang ajar, bodoh, dan tidak sopan. Atau, banyak orang
yang menganggap bahwa orang Ambon memiliki temperamen keras dan
kasar dalam berinteraksi secara sosial dengan orang lain, cenderung tidak
peduli dengan orang lain, dan sebagainya.
Sebagaimana di Denmark perawat menjadi lebih beragam, perawat
harus mengembangkan pemahaman tentang budaya dan hubungannya
63
dengan penyakit dan kesehatan. Oleh karena itu penting kurikulum yang
mengekspos mahasiswa keperawatan dengan masalah budaya, membantu
mereka memperoleh pemahaman tentang pengaruh budaya terhadap
kesehatan, dan kesadaran tentang bagaimana latar belakang budaya
mereka sendiri mempengaruhi budaya lain. Perubahan yang dibuat untuk
Perawat Denmark. (Chegini 2010). Prinsip-prinsip yang diakui dan
ditetapkan oleh Dunia Organisasi Kesehatan, yang menentukan bahwa
orang memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi secara individual dan
kolektif merencanakan dan melaksanakan perawatan kesehatan mereka .
Perawat professional sangat membutuhkan pengetahuan khusus
tentang beragam budaya individu, keluarga, dan komunitas yang mereka
layani, namun tidak terbatas pada spesifik praktek budaya tentang
kesehatan, definisi, dan keyakinan tentang, kesehatan dan penyakit, variasi
biologis, pandangan dunia lintas budaya, pengalaman akulturasi, dan
kehidupan, seperti pengungsi dan status imigrasi, serta sejarah penindasan,
kekerasan, dan trauma yang diderita (Bukti Kesehatan Jaringan, 2006; ICN,
2006a; Asosiasi Nasional Pekerja Sosial, 2001).
4.4.3 Perbedaan dan hambatan komunikasi yang dialami oleh perawat
lintas budaya
64
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tiga partisipan
perawat lintas budaya yang bekerja di RST Ambon berbagai pendapat
mereka utarakan terutama pada perbedaan kebudayaan yang ada, yang
menyebabkan mereka harus berusaha untuk kembali menyesuaikan diri.
Bukan hanya perbedaan kebudayaan saja yang menjadi hambatan terbesar
mereka, namun perbedaan komunikasi juga sangatlah berpengaruh besar
terutama bagi para responden yang berbeda budaya dan bahasa ini, karena
setiap kelompok etnik pendatang memiliki kebudayaan, nilai, norma, tata
cara bahasa, dan pola tingkah laku tersendiri yang belum tentu sama
dengan penduduk lokal. Dimana perbedaan-perbedaan tersebut
mengakibatkan hambatan yang timbul dalam proses komunikasi yang
dilakukan oleh seorang perawat lintas budaya.
Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering melakukan
interaksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti
komunikasi akan berjalan mulus atau bahkan dengan sendirinya akan
tercipta saling pengertian, karena antara lain, sebagian diantara kita masih
punya kecurigaan terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul
dengan mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jirwe, Garish, Amami (2009)
mengenai pengalaman komunikasi lintas budaya mahasiswa, dengan
sampel 5 orang mahasiswa yang berasal dari Swedia dan 5 lainnya berlatar
belakang imigran. Dalam pertemuan perawat lintas budaya ini menemukan
65
tema-tema yaitu para mahasiswa keperawatan ini menyadari bahwa
komunikasi yang efektif menjadi hal yang sangat penting dalam melakukan
pertemuan lintas budaya dalam menangani pasien. Mereka mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasien yang komunikasi verbalnya
berbeda dari mereka. Sehingga membuat mereka mengembangkan strategi
berkomunikasi dengan pasien yang berbeda latar belakang dari mereka.
Keterbatasan tersebut memiliki dampak yang beresiko yaitu ketidakpuasan
layanan yang diterima oleh pasien yang dirawat oleh mereka.
Berbicara tentang menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya
dalam berbagai cara. Perawat bisa memegang keyakinan dan praktik yang
sangat berbeda dari pasien (Ferguson, 2006). Data mengenai perspektif
perawat terkait dengan kekuatan mereka, tantangan, daerah
ketidaknyamanan dan strategi dapat berguna untuk meningkatkan
kompetensi budaya. Data yang diterima dari studi bisa memberikan
kerangka untuk program keperawatan dalam mengembangkan dan
meningkatkan kurikulum. Data juga bisa menantang atau mendorong
penyedia layanan untuk meningkatkan kesadaran budaya, pengetahuan,
dan keterampilan, atau kompetensi budaya.
Budaya kesehatan profesional berasal dari latar belakang dan
pengalaman pelatihan medis mereka yang bervariasi di seluruh kategori
profesional. Namun, profesional kesehatan cenderung mengabaikan
budaya orang lain (bukan dirinya) yang unik dan mereka melihat seperti
66
hanya mereka yang memiliki budaya. Biasanya, sebagian besar dari
penyedia layanan kesehatan menganganggap berbeda pada pasien yang
"budaya", dan bahasa yang berbeda, berasal dari kelompok sosial yang
berbeda, atau berasal dari negara yang berbeda (Hood & Waldman 2003)
Jika seseorang dihadapkan dengan kebudayaan yang berlainan
sekali dari kebudayaannya, dia akan cenderung untuk menilai kebudayaan
itu menurut pandangan budayanya sendiri. Dalam antropologi budaya sikap
demikian dianggap menghalangi seseorang untuk dapat setepatnya
memahami suatu kebudayaan yang lain, karena itu penting sekali bagi
seorang yang meninggalkan daerah dan budayanya untuk melihat
kebiasaan-kebiasaan dalam suatu kebudayaan dalam konteks
masyarakatnya sendiri. Sikap demikian dinamakan kenisbian kebudayaan
(Ihromi 2006).
Perbedaan budaya dikatakan sebagai perilaku, sikap dan kebijakan
yang bersifat saling melengkapi dalam suatu system kehidupan sehingga
memungkinkan untuk berinteraksi secara efektif dalam suatu kerangka
berhubungan antar budaya didunia. Perbedaan budaya ini juga merupakan
suatu kemampuan dan system nilai yang dimiliki individu dalam berespons
secara efektif terhadap semua kebudayaan yang dihadapi, kelompok kelas
kehidupan, ras , latar belakang, etnik, agama, serta memahami perilaku
yang diaktualisasikan, memahami perbedaan dan kesamaan sistem nilai
yang dianut individu, keluarga, komunitas serta kemampuan memproteksi
67
dan memelihara harga diri siapapun yang dihadapi. Kompetensi budaya
diantaranya memahami dan menghormati perbedaan antara klien dan
keluarga mengenai sistem nilai yang dianut, pengalaman menerima
pelayanan kesehatan dan harapan. Pada kesempatan yang sama perawat
perlu mencermati potensi teraktualisasinya praktik keperawatan atau
kesehatan berbasis budaya. Asuhan keperawatan yang berbasis
kompetensi budaya memungkinkan perawat sebagai petugas pelayanan
kesehatan mengelola secara utuh elemen-elemen pelayanan kesehatan di
keluarga, termasuk mengelola hambatan atau tantangan di tingkat
komunikasi (Effendy 2009).
Pendekatan transkultural merupakan suatu perspektif yang unik
karena bersifat kompleks da sistematis secara alamiah yang secara
kontekstual melibatkan banyak hal, seperti bahasa yang digunakan, nilai
historis yang teraktualisasikan, tradisi, serta ekonomi. Konsekuensinya
perawat sebagai tenaga kesehatan perlu memahami perbedaan
kebudayaan diantara individu, keluarga, komunitas termasuk organisasi
pelayanan kesehatan (Effendy 2009).
Pola pikir umum tentang budaya mempengaruhi cara individu
berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Namun apa yang umum
dalam satu budaya mungkin bermasalah dalam budaya lain. contoh ini
menunjukkan betapa penting kedua pemahaman bahwa ada pola yang
68
berbeda dan perlu belajar berbagai cara agar dapat mengakomodasi dalam
sebuah pertemuan komunikasi antarbudaya (Goode & Jones 2009).
Setiap kali berdiskusi tentang bahasa dalam proses antarbudaya
maka tidak luput dengan mengikutsertakan pembahasan tentang isu-isu
bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang
bahasa asing, penerjemah bahasa dan dialek serta logat dalam kelompok
budaya orang lain. Komunikasi antar budaya terjadi pada saat dua atau
lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi.
Proses ini jarang atau hampir tidak pernah berjalan dengan lancar dan
tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antar
budaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat di
pelajari. Masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik
komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal. Khususnya, komunikasi
nonverbal, sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses
yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku non-
verbalnya sendiri, dilakukan tanpa berpikir, spontan dan tidak sadar
(Samovar & Porter, 1993). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita
sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku
komunikasi verbal maupun perilaku komunikasi nonverbal dalam budaya
lain. Kadang-kadang kita merasa terganggu dan tidak nyaman dalam
budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya,
perilaku komunikasi nonverbal jarang menjadi sesuatu hal penting yang
69
disadari, dan membuat kita sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti
mengapa kita merasa tidak nyaman.
Sebagaimana masyarakat terus menjadi lebih beragam budaya,
perawat harus berusaha untuk unggul melampaui hambatan dan kemajuan
ke arah kompetensi budaya untuk terus memberikan layanan berkualitas
dan mengurangi kesenjangan kesehatan (Velasquez 1998).
4.4.4 Proses dan strategi adaptasi perawat lintas budaya
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tiga partisipan
perawat lintas budaya yang bekerja di RST Ambon mengenai proses dan
strategi adaptasi yang mereka lakukan guna mengurangi perbedaan dan
hambatan komunikasi yang terjadi. Para responden menggunakan bahasa
Indonesia untuk berkomunikasi dan jika mengalami kesulitan akan
menggunakan alternative lain yaitu menggunkan bahasa tubuh atau pula
menggunakan penerjemah.
Saat sekelompok orang dengan latar belakang budaya yang
berbeda melakukan interaksi maka terjadilah komunikasi antar budaya. Hal
ini sangat jarang berjalan dengan lancar, karena kebanyakan situasi mereka
yang melakukan interaksi antar budaya tidak menggunakan bahasa yang
sama, namun bahasa tetap bisa dipelajari. Terjadi masalah komunikasi
yang lebih besar dalam area baik nonverbal maupun verbal. Pada
komunikasi nonverbal sangatlah rumit, dan kebanyakan merupakan proses
yang spontan. Kebanyakan orang sering tidak sadar akan sebagian besar
70
perilaku nonverbal mereka, yang dilakukan tanpa berpikir dan spontan serta
tidak sadar (Samovar & Porter, 1994). Sebagian besar kita sering tidak
menyadari akan sikap dan tindakan kita sendiri, sehingga sulit untuk
menguasai perilaku verbal maupun nonverbal dalam budaya lain. Sering
kita merasa terganggu dalam budaya orang lain, dikarenakan kita sering
merasa bahwa ada yang salah dengan kebudayaan tersebut. Pada perilaku
nonverbal jarang untuk menjadi sesuatu yang disadari, sehingga kita sulit
untuk mengetahui pasti mengapa kita sering merasa tidak nyaman.
Komunikasi antar budaya menjadi sangat penting dikarenakan
interaksi sosial dalam kehidupan keseharian kita adalah sesuatu yang tidak
dapat ditolak. Saat melakukan percakapan, antara dua orang biasanya 35%
percakapan yaitu komunikasi verbal sedangkan 65% lainnya merupakan
komunikasi nonverbal (Birdehistell, 1969).
Namun demikian, studi sistematis tentang komunikasi nonverbal
sejak lama telah diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional lebih fokus
pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup komuniksi dalam
bentuk yang lain. Sepertinya telah ada semacam prasangka yang tidak
beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, cukup banyak program-
program pengajaran bahasa asing yang biasanya mengabaikan perilaku
komunikasi nonverbal. Namun pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang
mempunyai makna universal khusus-nya adalah tersenyum, tertawa,
menangis, dan tanda marah. Karena itulah, orang sering salah dan
71
menganggap bahwa bila mereka berada di dalam suatu lingkungan dengan
kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya
mereka berpikir bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan
manual. Tetapi karena manusia mempunyai pengalaman hidup yang
berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menjelaskannya
dengan cara yang berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama
(Bennet 1998).
Fokus pada studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, pola-
pola tindakan, bagaimana menjaga makna, juga tentang bagaimana makna
dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam suatu kelompok sosial, kelompok
politik, kelompok budaya, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi
yang melibatkan interaksi antar manusia (Liliweri, 2004:10).
Akan tetapi studi sistematis tentang komunikasi nonverbal telah
lama diabaikan. Hal ini dikarenakan adanya semacam praduga tidak
beralasan tentang bidang tersebut. Contohnya kebanyakan program bahasa
asing seringkali mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Akan tetapi
pada kenyataan yang ada hanya sedikit saja komunikasi nonverbal memiliki
makna yang universal seperti menangis, tersenyum, tertawa dan tanda
marah. Oleh sebab itu orang sering beranggapan sendiri bahwa bila mereka
berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari mereka dan mereka
juga tidak mengerti bahasa yang digunakan, mereka berpikir bisa tertolong
dengan cukup mengetahui gerakan-gerakan manual. Akan tetapi karena
72
setiap manusia memiliki perbedaan pengalaman hidup dalam kebudayaan
yang berbeda, orang tersebut akan menyatakan secara berbeda pula
simbol-simbol dan tanda-tanda yang sama (Bennet 1998).
Studi tentang komunikasi dan kebudayaan juga berfokus pada pola-
pola tindakaan, bagaiamana makna dan pola-pola tersebut diartikan
kedalam masyarakat, bagaiamana menjaga makna, kelompok politik,
proses pendidikan, dan juga lingkungan teknologi yang melibatkan manusia
untuk berinteraksi (Liliweri, 2004).
Rahardjo (2005) mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi
lain, dikarenakan tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang
pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural maka
komunikasi antar budaya merupakan hal yang penting sehingga hal
tersebut menjadi perbedaan dengan kajian ilmu yang lainnya. Selanjutnya
pendapat Kim yang dikemukakan dalam Rahardjo ialah asumsi yang
mendasari komunikasi antar budaya antaralain dikarenakan setiap individu
yang memiliki budaya yang sama biasanya berbagi kesamaan-kesamaan
dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang-
orang yang berasal dari budaya yang berbeda.
Menurut pandangan peneliti tentang strategi adaptasi yang
dilakukan oleh para responden semuanya menggunakan bahasa tubuh atau
nonverbal saat menghadapi pasien yang hanya mampu menggunakan
bahasa daerah untuk berkomunikasi sehar-sehari. Hal pertama yang
73
diketahui dari pengalaman ketiga responden yaitu betapa terbatasnya
komunikasi bila tanpa kata-kata. Akhirnya dapat diketahui bahwa emosilah
yang secara penuh dikomunikasikan secara nonverbal.
Dalam kedua studi adaptasi pendek dan jangka panjang, penekanan
utama adalah sifat bermasalah pengalaman lintas-budaya. kebanyakan
peneliti cenderung melihat pengalaman antarbudaya dari pendatang,
terutama sebagai yang tidak diinginkan, membenarkan studi mereka
sebagai upaya ilmiah untuk menemukan cara-cara untuk membantu
kemudahan dalam keadaan sulit. Pandangan berbasis masalah adaptasi
lintas budaya yang paling jelas dalam studi kejutan budaya yang berfokus
hampir secara eksklusif pada reaksi frustasi pendatang, individu dengan
lingkungan baru mereka (Anderson 1994)
Kita memang berharap dan diharapkan untuk berbeda. Tetapi, kita
juga diharapkan untuk mampu menghormati dan menerima orang lain apa
adanya. Kitapun bisa tanpa memaksa kepribadian-kepribadian kita belajar
berkomunikasi dengan cara mengamati pola-pola dan tradisi mereka yang
tidak tertulis. Kesadaran akan adanya kekeliruan dalam hubungan lintas
budaya merupakan suatu langkah tepat dan besar, serta menerima fakta
bahwa pendirian yang kita miliki tak selamanya benar dibandingkan
pendirian orang lain merupakan langkah yang baik untuk beradaptasi. Hal
ini di dukung oleh (Bastable 1999) yang menyatakan Terlepas dari keadaan
pemindahan, semua pendatang baru dipaksa untuk melakukan
74
penyesuaian dengan cara kebiasaan mereka melaksanakan kegiatan hidup
mereka. Mereka yang gagal untuk melakukannya mungkin harus kembali ke
rumah sebelum waktunya atau menemukan diri mereka mengalami isolasi
emosional dan sosial dari lingkungan baru. Kebanyakan orang,
bagaimanapun, belajar untuk mendeteksi persamaan dan perbedaan antara
lingkungan baru mereka dan budaya rumah mereka, membuat mereka
menjadi semakin mahir dalam menangani situasi yang mereka hadapi.
Setiap tantangan adaptif, pada gilirannya, menawarkan mereka kesempatan
untuk tumbuh melampaui batas-batas budaya asli.
4.4.5 Refleksi Penelitian Tentang Komunikasi Lintas Budaya yang
Terjadi Di Rumah Sakit
Porter (1982) dalam bukunya Intercultural Communication
mengatakan, melalui pengalaman lintas budaya, kita menjadi lebih toleran
dan terbuka untuk menerima dan menghadapi keganjilan-keganjilan
budaya. Bila hal ini di dukung dengan study formal tentang konsep budaya,
kita tidak hanya memperoleh pandangan-pandangan baru untuk
memperibaiki hubungan-hubungan kita dengan orang lain, namun kita pun
menjadi sadar dampak budaya asli kita pada diri kita sendiri.
Dampak positif dari memahami budaya baru yang kita temui yaitu
untuk mengurangi gegar budaya (culture shock) dan meningkatkan
pengalaman-pengalaman antarbudaya. Tentu saja kita harus sadar bahwa
budaya dan perilaku itu relatif, dan karena itu kita harus lebih luwes dalam
75
interaksi dengan orang lain. Untuk memahami perbedaan-perbedaan
budaya lebih efektif, dalam proses ini adalah meningkatkan kesadaran
budaya seseorang secara umum, karena orang hanya memahami konsep
budaya dan cirri-cirinya sebelum ia memperoleh manfaat dari studi tentang
aspek-aspek budaya dan bahasa asing.