Bab iv hasil dan pembahasan

41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Deskripsi Desa Sarimukti Berdasarkan Data Profil Desa Sarimukti Tahun 2011, Desa Sarimukti memiliki empat batas wilayah yang meliputi Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy sebagai batas wilayah utara; Desa Rajamandala, Kecamatan Cipatat sebagai batas wilayah selatan; Desa Kertamukti, Kecamatan Cipatat sebagai batas timur; dan Sungai Citarum, Kecamatan Cianjur sebagai batas wilayah sebelah barat. Topografi Desa Sarimukti terdiri atas dataran rendah 478 ha dan perbukitan 445 ha. Total luas wilayah Desa Sarimukti mencapai ± 923 ha yang didominasi oleh hutan produksi milik Perhutani seluas 445 ha. Curah hujan harian yang terdapat di Desa Sarimukti saat dilakukan penelitian (akhir September – akhir Oktober) terdiri atas curah hujan harian rata-rata sekitar 1500-2500 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 30 hari, kelembaban rata- rata 6 % dan suhu rata-rata harian 23,3 o C.

Transcript of Bab iv hasil dan pembahasan

Page 1: Bab iv hasil dan pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Deskripsi Desa Sarimukti

Berdasarkan Data Profil Desa Sarimukti Tahun 2011, Desa Sarimukti

memiliki empat batas wilayah yang meliputi Desa Nanggeleng, Kecamatan

Cipeundeuy sebagai batas wilayah utara; Desa Rajamandala, Kecamatan Cipatat

sebagai batas wilayah selatan; Desa Kertamukti, Kecamatan Cipatat sebagai

batas timur; dan Sungai Citarum, Kecamatan Cianjur sebagai batas wilayah

sebelah barat. Topografi Desa Sarimukti terdiri atas dataran rendah 478 ha dan

perbukitan 445 ha. Total luas wilayah Desa Sarimukti mencapai ± 923 ha yang

didominasi oleh hutan produksi milik Perhutani seluas 445 ha. Curah hujan

harian yang terdapat di Desa Sarimukti saat dilakukan penelitian (akhir

September – akhir Oktober) terdiri atas curah hujan harian rata-rata sekitar 1500-

2500 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 30 hari, kelembaban rata-rata 6 %

dan suhu rata-rata harian 23,3 oC.

Desa Sarimukti berada pada ketinggian 319 m di atas permukaan laut

(dpl). Jumlah Penduduk terdiri atas 4.994 orang yang terdiri atas 1.505 kepala

keluarga (KK) dengan persentase perkembangan sebesar 3,3% (pada tahun

2011-2012) dan memiliki 13 unit organisasi rukun warga (RW) dan 40 unit

organisasi rukun tetangga (RT). Desa Sarimukti memiliki lokasi bersinggungan

langsung dengan TPAS Sarimukti yang tepatnya di kawasan RW 2 Desa

Sarimukti, yaitu berada pada kawasan batas wilayah utara desa.

Page 2: Bab iv hasil dan pembahasan

37

2. Deskripsi TPAS Sarimukti

TPAS Sarimukti secara administrasi berada di di Blok Gedig, Desa

Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang berada pada

ketinggian rata-rata 316 m dpl. Luas lahan TPAS Sarimukti ± 25 ha, terdiri atas

± 23 ha milik Perhutani dan ± 2 ha milik Pemerintah Kota Bandung. Secara garis

besar penggunaan lahan di TPAS Sarimukti adalah 17 ha untuk lahan

penimbunan dengan sistem controlled landfill, 3.750 m2 digunakan sebagai

tempat pengolahan kompos, 5 ha untuk jalan dan drainase, 2 ha untuk sarana dan

prasarana penunjang dan sisanya sebagai lahan pengembangan landfills. Lahan

penimbunan sampah dibagi dalam 5 zona penimbunan (lahan kerja), 2 zona telah

dilakukan pengurugan, sedangkan sisanya masih dilakukan kegiatan

penimbunan.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan terhadap sampah yang

terdapat di pasar oleh pihak pengelola (yaitu BPSR) diperoleh komposisi dari

jenis sampah tersebut, yaitu 80% sampah organik, 8% sampah kertas, 6%

sampah plastik, 4% sampah logam dan 2% sampah lainnya, sehingga komposisi

dan berat sampah yang masuk ke TPAS Sarimukti dengan volume 120 m3/hari

adalah terdiri dari 96 m3 sampah organik, 8,6 m3 sampah kertas, 7,2 m3 sampah

plastik, 4,8 m3 sampah logam dan 2,4 m3 sampah lainnya. Iklim TPAS Sarimukti

berdasarkan data yang diperoleh dari Stasiun BMG Wilayah II (dalam AMDAL

TPAS Sarimukti 2011) terlihat bahwa suhu udara rata-rata bulanan terukur 16,7-

32,3 C, kelembaban udara terukur antara 64-86%, dengan curah hujan

menunjukkan nilai antara 10-526 mm per bulan.

Page 3: Bab iv hasil dan pembahasan

38

Daerah studi TPAS Sarimukti memiliki 2 satuan geomorfologi yaitu

perbukitan bergelombang (agak curam) dengan kemiringan 15-25% dan satuan

geomorfologi curam dengan kemiringan 25-40% (data geomorfologi dalam

AMDAL TPAS Sarimukti 2011). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia

(SNI) 03 - 3241 - 1994 bahwa pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir

sampah tidak boleh mempunyai kemiringan lereng melebihi 20%. Apabila

merujuk jangkauan optimum sudut lereng untuk pemanfaatan lahan maka

pemanfaatan lahan untuk TPAS berdasarkan kondisi geomorfologi adalah

kurang tepat karena dengan kemiringan lereng yang relatif bergelombang (agak

curam) dan curam akan memudahkan terjadinya longsoran atau pergerakan dari

material sampah ataupun massa batuan sebagai dasar dari penimbunan sampah,

terutama menuju pemukiman warga Desa Sarimukti yang bersinggungan dengan

tempat kegiatan TPAS, yaitu pemukiman rukun warga (RW) 2 Desa Sarimukti.

B. Kualitas Air Sungai Berkaitan dengan Keberadaan TPAS Sarimukti

Pengukuran parameter kualitas air dilakukan terhadap parameter bau,

warna, rasa, padatan total terlarut (TDS), pH, BOD, COD, DO, Fecal Coliform

dan Total Coliform. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air pada seluruh stasiun

penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa keberadaan TPAS Sarimukti

mengakibatkan bau pada Stasiun II yang merupakan outlet pembuangan lindi

dan Stasiun III yang berjarak ± 1,5 km setelah outlet tersebut.

Page 4: Bab iv hasil dan pembahasan

Tabel 1. Hasil Analisis Kualitas Air di Seluruh Stasiun Penelitian

ParameterBaku

Mutu

STASIUN

I II III IV V VI

Bau - Tidak Berbau Berbau Berbau Tidak Berbau Tidak Berbau Tidak Berbau

Rasa - Tidak Berasa Berasa Berasa Tidak Berasa Tidak Berasa Tidak Berasa

Warna* - 91,67 ± 14,43 4291,67 ± 72,17 2391,67 ± 1942,35 50 ± 25 91,67 ± 28,87 83,33 ± 38,19

TDS (Total Dissolved

Solid)**1000 290 ± 5,20

15223,33 ±

2053,447501 ± 4680,04 180,33 ± 8,08

565,33 ±

251,98277,67 ± 74,89

pH 6-9 8,23 ± 0,10 8,14 ± 0,06 8,11 ± 0,14 7,38 ± 0,02 7,92 ± 0,32 7,92 ± 0,12

Fecal Coliform*** 100029633,33 ±

22558,89

57800 ±

80387,31142000 ± 97015,46

101533,33 ±

83956,73

57000 ±

48445,85

16933,33 ±

25172,47

Total Coliform*** 500029633,33 ±

22558,89

57800 ±

80387,31

256666,67 ±

125830,57

101533,33 ±

83946,73

57000 ±

48445,85

17666,67 ±

24562,03

Oksigen Terlarut (DO)** 4 7,36 ± 0,69 0,13 ± 0,01 1,57 ± 2,45 7,31 ± 0,84 6,33 ± 2 7,05 ± 0,87

BOD** 3 9,93 ± 5,6611746,67 ±

787,992746,67 ± 220,30 8,17 ± 1,89 234 ± 334,62

27,33 ±

7,37

COD** 25 19,93 ± 10 17273,33 ± 4151,67 ± 262,69 16,60 ± 5,72 376,53 ± 46,53 ± 6

39

Page 5: Bab iv hasil dan pembahasan

40

1106,41 540,53

Timbal (Pb)** 0,03 0,01 0,27 ± 0,23 0,12 ± 0,20 0,01 0,10 ± 0,16 0,07 ± 0,10

Keterangan: * = dalam kolori ; ** = dalam mg/l; *** = dalam MPN/100ml

Page 6: Bab iv hasil dan pembahasan

41

Stasiun I yang merupakan stasiun kontrol dan berada sebelum

pembuangan lindi tidak dihasilkan bau. Stasiun IV yang berada pada Sungai

Cipicung diperoleh hasil yang tidak berbau, hal tersebut dikarenakan tidak

langsung terkena pembuangan lindi meskipun berlokasi di sekitar TPAS

Sarimukti. Pengaruh pembuangan lindi tidak nampak pada Stasiun V dan VI

dikarenakan terjadi pengenceran dari Sungai Cipicung dan Sungai Cimeta.

Daryanto (2009) mengemukakan bahwa kualitas bau air bergantung pada

sumber airnya ataupun masukan yang terintroduksi pada badan sungai melalui

aliran air tanah maupun air permukaan. Darmono (2001) mengemukakan pula

bahwa bau air dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor seperti

mikroorganisme akuatik perairan, effluent rumah tangga, industri maupun

tempat pengelolaan sampah. Bau yang dijumpai pada Stasiun II dan III

diindikasikan oleh karena adanya pengaruh aliran permukaan yang mengandung

lindi, yang masuk ke Sungai Cilimus dari TPAS melalui outlet kolam pegelolaan

lindi.

Hasil pengukuran parameter rasa menunjukkan hasil yang selaras dengan

parameter bau, dimana Stasiun II dan III menimbulkan rasa dalam air yang

diukur. Stasiun I dan IV sebagai kontrol diperoleh hasil yang tidak berasa, lalu

pada Stasiun V dan VI diperoleh hasil yang tidak berasa pula. Air yang normal

seharusnya tidak memiliki rasa, air yang berasa dapat terjadi dikarenakan

terdapat penyimpangan yang diakibatkan oleh adanya introduksi bahan asing

atau kontaminan. Fardiaz (1992) dan Wardhana (2001) mengemukakan bahwa

air yang tidak normal umumnya memiliki rasa yang tidak normal dan bau yang

Page 7: Bab iv hasil dan pembahasan

42

tidak normal pula selain itu air yang digunakan untuk kehidupan seharusnya

tidak berasa, berbau, dan berwarna.

Hasil pengukuran parameter warna (Gambar 3) dengan indikator Platinum

Cobalt (Pt.Co) menunjukkan bahwa terdapat perubahan warna sungai pada

Stasiun II dengan nilai warna air sebesar 4291,67 kolori dan Stasiun III sebesar

2391,67 kolori, dimana secara kasat mata ditunjukkan dengan warna hitam

pekat. Perubahan warna air pada dua stasiun tersebut dikarenakan terdapat

pengaruh masukkan lindi dari outlet TPAS Sarimukti.

I II III IV V VI0.00

500.00

1000.00

1500.00

2000.00

2500.00

3000.00

3500.00

4000.00

4500.00

5000.00

Stasiun Pengamatan

War

na

(K

olor

i)

Gambar 3. Warna pada Seluruh Stasiun Pengamatan

Harrison (1994) menyatakan bahwa tingginya nilai kolori pada perairan

yang dikarenakan adanya introduksi lindi terdiri atas berbagai macam bahan

seperti senyawa organik, anorganik, logam berat dan mikroorganisme

berkonsentrasi tinggi pada lindi. Manahan (1984) menyatakan pula bahwa warna

Page 8: Bab iv hasil dan pembahasan

43

sungai yang terkontaminasi lindi umumnya berwarna hitam karena ikatan timbal

dengan -Fe(OH)22-, -MnO2- ataupun dengan -CO2

2- yang terlarut serta terabsorbsi

pada koloid di dalam perairan.

Stasiun I yang memiliki nilai warna air sebesar 91,67 kolori merupakan

stasiun kontrol yang berada kurang lebih 1 km sebelum outlet TPAS, sedangkan

pada Stasiun IV yang berada di Sungai Cipicung (namun masih berada di sekitar

TPAS Sarimukti) juga merupakan stasiun kontrol diperoleh nilai warna air

sebesar 50 kolori. Effendi (2003) menyatakan bahwa perairan alami tidak

berwarna atau memiliki nilai warna lebih kecil 10 kolori, perairan memiliki

warna kuning kecoklatan seperti daerah rawa-rawa dan umumnya memiliki

rentang nilai warna perairan pada 200 - 300 kolori. Nilai warna air pada Stasiun

V dan VI kembali menyerupai pada Stasiun I yang merupakan kontrol, hal

tersebut dikarenakan telah terjadi degradasi konsentrasi lindi akibat proses

pengenceran yang berasal dari Sungai Cipicung dan Sungai Cimeta.

Hasil pengukuran parameter kualitas air selanjutnya yaitu TDS (Total

Dissolved Solid). Gambar 4 menunjukkan nilai TDS yang tinggi pada Stasiun II

yaitu 15223,33 mg/l dan Stasiun III 7501 mg/l, dimana jumlah tersebut

melampaui baku mutu yang ditentukan yaitu 1000 mg/l berdasarkan PP No.82

Tahun 2001. Sedangkan pada stasiun I, IV, V dan VI diperoleh nilai masing-

masing yaitu 290 mg/l, 180,33 mg/l, 565,33 mg/l dan 277,67 mg/l.

Nilai TDS yang tinggi pada Stasiun II dan III selaras dengan hasil bau dan

warna yang diperoleh karena dipengaruhi oleh lindi yang berasal dari TPAS

Sarimukti. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa peningkatan nilai TDS pada

Page 9: Bab iv hasil dan pembahasan

44

perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan tanah, dan

pengaruh antropogenik (limbah domestik).

I II III IV V VI0.00

2000.00

4000.00

6000.00

8000.00

10000.00

12000.00

14000.00

16000.00

Stasiun Pengamatan

Kon

sen

tras

i TD

S (

mg/

l)

Gambar 4. Residu Terlarut (TDS) pada Seluruh Stasiun Pengamatan

Rendahnya nilai TDS pada stasiun I dan IV dikarenakan kedua stasiun

tersebut belum dipengaruhi oleh keberadaan buangan lindi dari TPAS tersebut.

Sedangkan rendahnya nilai TDS pada stasiun V dan VI dikarenakan terjadi

degradasi konsentrasi lindi akibat proses pengenceran dari Sungai Cipicung dan

Sungai Cimeta.

Hasil pengukuran parameter pH menujukkan derajat kemasaman yang

relatif basa di seluruh stasiun penelitian (Gambar 5), namun pada Stasiun IV

diperoleh nilai pH yang relatif lebih masam jika dibandingkan yang lainnya

yaitu sebesar 7, 38. Stasiun IV belum terintroduksi oleh lindi yang berasal dari

TPAS Sarimukti. Rendahnya nilai pH menunjukkan bahwa aktivitas domestik

seperti contohnya kegiatan pertanian mempengaruhi derajat kemasaman dan

Page 10: Bab iv hasil dan pembahasan

45

konsentrasi ion hidrogen dalam perairan (Khalil et al., 2011). Wardhana (2001)

menyatakan bahwa perairan yang baik bagi kehidupan yaitu yang memiliki pH

berkisar 6 – 7,5, sedangkan menurut Effendi (2003), perairan yang cocok bagi

kehidupan biota akuatik yaitu yang memiliki kisaran pH 7 – 8,5. Berdasarkan

Wardhana (2001) maka pH di lokasi penelitian berada pada batas yang baik bagi

pertumbuhan biota akuatik. Berdasarkan Effendi (2003) maka pH di lokasi

penelitian cocok bagi kehidupan biota akuatik.

I II III IV V VI7.20

7.40

7.60

7.80

8.00

8.20

8.40

Stasiun Pengamatan

pH

(u

nit

)

Gambar 5. pH pada Seluruh Stasiun Pengamatan

Baku Mutu Air Kelas II yang terdapat pada PP No.82 Tahun 2001

menentukan Konsentrasi toleransi terhadap pH untuk peruntukkannya yaitu pada

rentang 6 – 9. Derajat kemasaman pada seluruh stasiun penelitian berdasarkan

PP No.82 Tahun 2001 dapat dinyatakan masih dalam batas toleransi sesuai

peruntukkannya.

Hasil pengukuran parameter oksigen terlarut (DO) pada Gambar 6

menunjukkan bahwa pada Stasiun II dan III yang terkena masukkan lindi

Page 11: Bab iv hasil dan pembahasan

46

didapatkan oksigen terlarut yang rendah yaitu sebesar 0,13 mg/l dan 1,57 mg/l.

Penurunan oksigen terlarut dikarenakan oleh proses dekomposisi (Ayala et al.,

2009). Menurut pendapat Effendi (2003), penurunan oksigen terlarut dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kenaikan pH (basa), tingginya

dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik. Stasiun kontrol

(Stasiun I dan IV) diperoleh oksigen terlarut yang tinggi. Stasiun V dan VI

didapatkan oksigen terlarut yang meningkat.Tingginya oksigen terlarut pada

Stasiun V dan VI tersebut menunjukkan pengaruh lindi telah berkurang secara

gradual karena pengenceran dari Sungai Cipicung dan Sungai Cimeta.

I II III IV V VI0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

Stasiun Pengamatan

Kon

sen

tras

i DO

(m

g/l)

Gambar 6. Oksigen Terlarut (DO) pada Seluruh Stasiun Pengamatan

Hasil pengukuran parameter BOD dan COD (Gambar 7) menunjukkan

terjadi peningkatan nilai BOD dan COD (Stasiun II dan Stasiun III). Konsentrasi

BOD dan COD pada Stasiun I masing-masing 9,93 mg/l dan 19,93 mg/l.

Peningkatan konsentrasi BOD dan COD yang signifikan terjadi pada Stasiun II

masing-masing 11746,67 mg/l dan 17273,33 mg/l. Konsentrasi BOD yang tinggi

tersebut menunjukkan tingginya bahan organik yang harus di dekomposisi oleh

Page 12: Bab iv hasil dan pembahasan

47

mikroorganisme dalam perairan tersebut, termasuk lindi yang berasal dari TPAS

Sarimukti. Effendi (2003) menyatakan bahwa secara tidak langsung BOD

merupakan gambaran banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme

aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air.

I II III IV V VI0.00

2000.00

4000.00

6000.00

8000.00

10000.00

12000.00

14000.00

16000.00

18000.00

20000.00

BOD

COD

Satsiun Pengamatan

Kon

sen

tras

i BO

D d

an C

OD

(m

g/l)

Gambar 7. BOD dan COD pada Seluruh Stasiun Pengamatan

Tingginya konsentrasi COD pada Stasiun II dan III menunjukkan bahwa

terdapat bahan organik yang sukar untuk didegragasikan secara biologis pada

perairan sungai tersebut. Menurut Wardhana (2001) dan Effendi (2003) COD,

jumlah bahan organik yang teroksidasi tinggi secara kimiawi terdiri dari bahan

organik dapat terdegradasi secara biologis (biodegradable) dan yang sukar

terdegradasi secara biologi (non-biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (dalam

fasa gas).

Page 13: Bab iv hasil dan pembahasan

48

Hasil analisis konsentrasi BOD dan COD di seluruh stasiun penelitian jika

dibandingkan dengan Baku Mutu Air Kelas II dalam PP No.82 Tahun 2001 telah

melampaui Konsentrasi maksimum yang ditentukan sesuai peruntukannya.

Sesuai pernyataan Effendi (2003) bahwa perairan yang memiliki konsentrasi

BOD dan COD tinggi sebaiknya tidak dipergunakan bagi kepentingan perikanan

dan pertanian ataupun pemanfaatan lainnya seperti MCK. Hasil BOD dan COD

di Stasiun I dan IV sebagai stasiun kontrol didapatkan hasil yang tidak

memenuhi baku mutu. Hal ini karena bahan organik yang berasal dari aktivitas

domestik di sekitarnya.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa parameter timbal (Pb) mengalami

peningkatan signifikan terutama pada Stasiun II dengan konsentrasi sebesar 0,27

mg/l kemudian juga pada Stasiun III sebesar 0,12 mg/l (Gambar 8).

I II III IV V VI0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

Stasiun Pengamatan

Kon

sen

tras

i Pb

(m

g/l)

Gambar 8. Timbal (Pb) pada Seluruh Stasiun Pengamatan

Konsentrasi kelarutan timbal yang didapatkan pada Stasiun II dan III

dikarenakan lindi yang berasal dari TPAS Sarimukti. Hal ini didukung dengan

Page 14: Bab iv hasil dan pembahasan

49

hasil analisa logam pada kolam pengelolaan lindi TPAS Sarimukti yang

diperoleh hasil analisa timbal yang tinggi pula yaitu 0,206 mg/l (Lampiran III).

Keberadaan timbal yang tinggi di TPAS dikarenakan karakteristik sampah yang

mengandung baterai, bahan pelapis kabel, kaleng wadah makanan (yang

mengandung glaze), sisa cat dan sisa oli kendaraan bermotor (Ball, 2003 dan

Environmental European Commission, 2002). Effendi (2003) menyatakan pula

bahwa umumnya Konsentrasi timbal di perairan relatif kecil karena kelarutannya

yang rendah dan ditemukan dalam bentuk tersuspensi, namun toksisitasnya

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah konsentrasinya, kadar oksigen

dan pH.

Degradasi konsentrasi lindi dan konsentrasi Pb yang berasal dari TPAS

Sarimukti selanjutnya terjadi secara gradual pada Stasiun V dan VI dikarenakan

proses pengendapan maupun pengenceran dari Sungai Cipicung dan Cimeta.

Konsentrasi timbal pada Stasiun II, III, V dan Stasiun VI berada pada batas yang

telah melampaui baku mutu. Baku Mutu Air Kelas II dalam PP No.82 Tahun

2001 bahwa Konsentrasi maksimum timbal (Pb) yaitu tidak >0,01 mg/l,

sedangkan hasil pada stasiun penelitian tersebut sangat jauh melampaui

Konsentrasi maksimum yang telah ditentukan. Oleh karena hal tersebut, air pada

stasiun-stasiun tersebut masih dianggap terkontaminasi dan tidak memenuhi

syarat untuk dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Sarimukti yang berada dekat

TPAS dan dilalui Sungai Cilimus (Stasiun II dan III) dan Sungai Cipicung

(Stasiun V), serta Sungai Cimeta (Stasiun VI).

Page 15: Bab iv hasil dan pembahasan

50

Hasil pengukuran parameter Fecal Coliform dan Total Coliform

ditujukkan pada Gambar 9. Jumlah Fecal Coliform dan Total Coliform pada

stasiun kontrol (Stasiun I dan IV) diperoleh hasil yang tinggi. Lalu mengalami

peningkatan pada Stasiun II dan III kemudian terjadi penurunan di Stasiun V dan

VI.

I II III IV V VI0.00

50000.00

100000.00

150000.00

200000.00

250000.00

300000.00

Fecal Coliform

Total Coliform

Stasiun Pengamatan

Fec

al C

olif

orm

dan

Tot

al C

olif

orm

(MP

N/1

00m

l)

Gambar 9. Fecal Coliform dan Total Coliform pada Seluruh Stasiun Pengamatan

Tingginya Fecal Coliform dan Total Coliform pada stasiun kontrol

tersebut karena adanya aktivitas domestik, pertanian maupun peternakan

disekitarnya (Dimambro et al., 2007). Stasiun II dan III terjadi peningkatan

karena berdekatan dan terkena langsung masukkan lindi dari TPAS. Penurunan

pada Stasiun V dan VI terjadi karena jumlah limbah yang mulai berkurang

akibat pengeceran dan jarak tempat tinggal masyarakat yang jauh dengan kedua

stasiun tersebut.

Page 16: Bab iv hasil dan pembahasan

51

Menurut Fardiaz (1992) dan Yu (2000), jumlah Fecal Coliform dan Total

Coliform yang tinggi dapat terjadi akibat tingginya kontaminasi bakteria

patogenik yang berasal dari saluran pencernaan manusia maupun hewan dan

agen patogenik lainnya yang berasal dari bahan limbah pencemar seperti limbah

pembuangan sampah. Menurut Baku Mutu Air Kelas II pada PP No.82 Tahun

2001, batas jumlah maksimum yang diperbolehkan terkandung dalam perairan

yaitu 1000/100 ml untuk Fecal Coliform dan 5000/100 ml untuk Total Coliform,

sehingga jumlah bakteri patogen pada stasiun tersebut melampaui ketentuan

yang dipersyaratkan dan telah mengalami kontaminasi mikroorganisme

patogenik.

Hasil pengukuran parameter kualitas air Sungai Cilimus. Cipicung dan

Sungai Cimeta dapat pula ditentukan status mutunya dengan menggunakan

Metode Storet. Metode ini digunakan untuk mengetahui parameter-parameter

yang telah memenuhi ataupun yang melampaui baku mutu air yang telah

ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Prinsip dasar dari Metode Storet adalah

dengan membandingkan antara data kualitas air yang ditentukan sesuai dengan

peruntukkannya (Baku Mutu Air Kelas II dalam PP No.82 Tahun 2001).

Penilaian dilakukan berdasarkan sistem nilai dari US EPA (United States

Environmental Protection Agency) dengan diklasifikasikan atas 4 kelas, yaitu :

1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 → memenuhi baku mutu

2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 → cemar ringan

3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 → cemar sedang

4) Kelas D : buruk, skor >= -31 → cemar berat

Page 17: Bab iv hasil dan pembahasan

52

Berdasarkan hasil perhitungan dengan Metode Storet terhadap keenam

stasiun penelitian tersebut (Lampiran IX) diperoleh hasil skor pada setiap stasiun

yaitu : Stasiun I = -42 (Cemar Berat); Stasiun II = -70 (Cemar Berat); Stasiun III

= -71 (Cemar Berat); Stasiun IV = - 37 (Cemar Berat); Stasiun V = -57 (Cemar

Berat); dan Stasiun VI = -55 (Cemar Berat).

Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara umum perairan Sungai Cilimus,

Cipicung dan Sungai Cimeta telah mengalami pencemaran yang terlampau

tinggi, terutama pada Stasiun II dan III yang terintroduksi langsung bahan

pencemar lindi. Pencemaran pada Stasiun I yang tinggi merupakan hulu sungai

diakibatkan oleh tingginya aktivitas manusia pada kawasan tersebut

sebagaimana yang terjadi pada Stasiun IV. Sedangkan pada Stasiun V dan VI

memiliki tingkat cemaran yang tinggi meskipun tidak setinggi pada Stasiun II

dan III dikarenakan kelarutan bahan pencemar telah mengalami degradasi dan

pengenceran secara gradual dari Sungai Cipicung (Stasiun V) dan Sungai

Cimeta (Stasiun VI).

C. Perilaku Kesehatan Masyarakat Berkaitan dengan Keberadaan TPAS Sarimukti

a. Pengetahuan

Pengetahuan yang rendah berkenaan dengan pengetahuan tentang

kesehatan terhadap keberadaan TPAS Sarimukti diperoleh bahwa sebesar 63%

responden memiliki pengetahuan yang rendah dan hanya 37% responden yang

memiliki pengetahuan sedang (Lampiran VI dan Gambar 10). Rendah dan

sedangnya pengetahuan responden menunjukkan pula bahwa sebagian besar

Page 18: Bab iv hasil dan pembahasan

53

masyarakat Desa Sarimukti yang berada di dekat TPAS dan yang memanfaatkan

air sungai yang terkontaminasi memiliki pengetahuan yang rendah mengenai

kesehatan dan sampah yang masih pada tingkat tahu (know) (Notoatmodjo,

2003), tetapi belum menuju pada kesadaran (awareness) dalam mengadopsi

perilaku baru untuk memperbaiki maupun meningkatkan kondisi yang berkaitan

dengan kesehatan mereka yang berkenaan dengan keberadaan TPAS Sarimukti.

Sedangkan tidak diperoleh hasil reponden yang memiliki pengetahuan tinggi

atau 0%, dimana hal ini dikarenakan bahwa berdasarkan hasil data umum pada

kuesioner mengenai pendidikan responden diperoleh bahwa umumnya

merupakan lulusan Sekolah Dasar. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu bahwa

masyarakat tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai dampak negatif

yang mungkin di alami oleh warga yang bertempat tinggal di sekitar TPAS baik

itu mengenai dampak sampah itu sendiri ataupun penyakit dan kondisi sosial

ekonomi dari pihak yang terkait.

Rendah Sedang Tinggi0

10

20

30

40

50

60

70 63

37

Persentase (%)

Pengetahuan

Per

sent

ase

(%)

Gambar 10. Pengetahuan Masyarakat Desa Sarimukti Terhadap Keberadaan TPAS Sarimukti

Page 19: Bab iv hasil dan pembahasan

54

b. Sikap

Sikap masyarakat Desa Sarimukti secara umum yaitu bersikap netral

berkenaan dengan sikap tentang kesehatan terhadap keberadaan TPAS Sarimukti

dimana diperoleh hasil kuesioner sebesar 74% responden bersikap netral dan

hanya 26% responden yang bersikap positif (Lampiran VI dan Gambar 11).

Sikap netral yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sarimukti terhadap

keberadaan TPAS Sarimukti cenderung dikarenakan masyarakat tidak

menginginkan terjadi masalah sosial diantara mereka dengan pihak pemerintah

setempat, pemerintah daerah, pengelola TPAS, kepolisian dan media, meskipun

dalam internal activity seperti berfikir, persepsi dan emosi tidak menyetujui

keberadaan dari TPAS tersebut. Pengetahuan dalam perilaku pada hakikatnya

adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri dalam mencari informasi atau

sekedar tahu sehingga memiliki bentangan yang luas hingga pada kegiatan

internal seperti berfikir, persepsi dan emosi (Notoatmodjo, 2003).

Negatif Netral Positif0

10

20

30

40

50

60

70

80 74

26 Persentase (%)

Sikap

Per

sent

ase

(%)

Gambar 11. Sikap Masyarakat Desa Sarimukti Terhadap Keberadaan TPAS Sarimukti

Page 20: Bab iv hasil dan pembahasan

55

Netralitas masyarakat tersebut pada kenyataannya dipengaruhi pula oleh

rendahnya pengetahuan yang dimiliki sehingga masyarakat tersebut

berkecenderungan terdapat keterbatasan dalam mengungkapkan pernyataan dan

persepsi yang mereka miliki. Sedangkan, sikap positif yang dilakukan oleh

sebagian masyarakat Desa Sarimukti menunjukkan bahwa pada dasarnya

masyarakat berkeinginan untuk menerima dan merespon hal-hal yang dapat

meningkatkan ataupun memperbaiki kondisi kesehatan mereka, keinginan tersebut

di dorong oleh faktor sosial ekonomi dan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan

akibat dampak yang dialami dengan keberadaan TPAS Sarimukti. Notoatmodjo

(2003) mengatakan bahwa menerima dan kemudian merespon dari adanya

stimulus ataupun objek yang mempengaruhi merupakan indikasi dari adanya

sikap, meskipun bentuk dari respon tersebut baik ataupun salah.

Sikap negatif responden tidak didapatkan karena merupakan sikap yang

tidak merespon ataupun yang paling dasar yaitu tidak menerima keberadaan

TPAS Sarimukti sedangkan pada kenyataannya mereka memberikan suatu respon

terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan keberadaan TPAS. Sebagaimana yag

dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa menerima yang merupakan

tingkatan awal dari suatu sikap dipengaruhi oleh bentuk emosi untuk mau dan

memperhatikan terhadap adanya suatu stimulus. Selaras itu dinyatakan oleh

Allport (1954) dalam Notoatmodjo bahwa, sikap yang utuh ditentukan oleh

keyakinan, berpikir, pengetahuan dan emosi serta kecenderungan untuk bertindak.

Maka sikap negatif merupakan sikap yang diawali oleh tidak menerima sesuatu

hal karena didasarkan oleh emosi, keyakinan dan kecenderungan untuk bertindak

Page 21: Bab iv hasil dan pembahasan

56

yang tidak sesuai mengenai suatu stimulus ataupun objek yang mempengaruhi

pembentukan sikap mereka.

c. Tindakan

Tindakan masyarakat Desa Sarimukti umumnya bertindak netral

berkenaan dengan tindakan tentang peningkatan dan perbaikan kesehatan

terhadap keberadaan TPAS Sarimukti, dimana diperoleh hasil kuesioner sebesar

94% responden bertindak netral dan hanya 6% responden yang bertindak aktif

(Lampiran VI dan Gambar 12). Hal ini dikarenakan masyarakat Desa Sarimukti

yang berada disekitar TPAS Sarimukti cenderung kurang melakukan tindakan

dalam peningkatan maupun perbaikan kondisi keehatannya karena kurang

tersedianya sarana untuk memotivasi terhadap kondisi kesehatan, fasilitas dan

pelayanan berkenaan dengan keberadaan TPAS Sarimukti meskipun secara

persepsi, motivasi dan emosi tidak menginginkan dampak negatif yang telah

dialami dan akan terjadi dikemudian hari.

Pasif Netral Aktif0

102030405060708090

100 94

6

Persentase (%)

Tindakan

Per

sent

ase

(%)

Gambar 12. Tindakan Masyarakat Desa Sarimukti Terhadap Keberadaan TPAS Sarimukti

Page 22: Bab iv hasil dan pembahasan

57

Notoatmodjo (2006) menjelaskan bahwa tindakan seorang individu

maupun kelompok individu tidak akan terjadi jika tidak terdapat dorongan atau

motivasi oleh faktor pendorong seperti fasilitas dan sarana yang akan

mempengaruhi tindakannya, dalam hal ini promosi kesehatannya. Tindakan

dalam upayanya memelihara, mempertahankan dan meningkatkan kondisi

kesehatannya serta memperoleh kesembuhan merupakan suatu bentuk perilaku

kesehatan (Sarwono, 2007).

Tindakan negatif terhadap keberdaan TPAS Sarimukti tidak diperoleh

karena masyarakat berfikir mengenai terlalu tingginya resiko yang akan diterima

jika tidak melakukan penentangan terhadap pihak terkait dan juga rendahnya

fasilitas komunikasi yang layak bagi kegiatan mediasi antara masyarakat dan

pihak terkait tersebut.

Perilaku kesehatan masyarakat yang terbentuk diawali oleh upaya

memperoleh pengetahuan lalu membentuk suatu sikap dan kemudian jika

individu tersebut memiliki motivasi tertentu kemudian menghasilkan tindakan

(praktik) yang berasal dari suatu respons masyarakat terhadap stimulus

lingkungan yang mempengaruhi kesehatannya.

Perilaku kesehatan yang terbentuk dalam masyarakat Desa Sarimukti

mengenai keberadaan TPAS Sarimukti berdasarkan hasil crosstabulation atau

tabulasi silang (Lampiran X) diperoleh sebanyak 57 orang atau 96,6% responden

yang memiliki pengetahuan rendah lebih bertindak netral dan hanya 2 orang atau

3,4% responden berpengetahuan rendah lebih bertindak positif. Sedangkan

sebanyak 31 orang atau 88,6% yang memiliki pengetahuan sedang lebih

Page 23: Bab iv hasil dan pembahasan

58

bertindak netral namun hanya 4 orang atau 11,4% responden yang

berpengetahuan sedang lebih bertindak positif.

Hasil tabulasi silang tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar

masyarakat hanya memiliki pengetahuan yang sebagaian besar berpengetahuan

rendah meskipun terdapat beberapa masyarakat yang telah memperoleh sedikit

informasi melaui media cetak maupun sarana informasi lainnya terhadap

keberadaan TPAS Sarimukti dan cenderung membatasi besarnya pengetahuan,

bentuk sikap dan kemudian tindakan mereka sebagai upaya untuk memperbaiki

kondisi kesehatannya, selain itu masyarakat kurang memberikan respon dalam

bentuk tindakan (praktik), hal tersebut hanya akan dilakukan jika terdapat

stimulus dan motivasi dalam perbaikan kondisi kesehatannya, sebagai contoh

yaitu seperti partisipasi mereka dalam penyediaan air bersih dan partisipasi

dalam puskesmas gratis yang dilakukan oleh pihak pengelola TPAS, pemerintah

daerah dan puskesmas setempat. Berdasarkan pendapat Notoatmodjo (2006),

perilaku kesehatan merupakan upaya peningkatan dan perbaikan kondisi

kesehatan secara internal maupun eksternal terhadap sakit dan penyakit,

kesehatan lingkungannya, dan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang

mempengaruhinya. Perwujudan perilaku kesehatan dalam bentuk tindakan yang

nyata terhadap suatu kondisi tertentu yang dimulai pada tingkatan persepsi dan

kemudian memberikan suatu respon terpimpin (Guided Respons) jika terdapat

dorongan atau motivasi yang menyertainya.

Hasil tabulasi silang antara sikap dengan tindakan (Lampiran X) diperoleh

bahwa 66 orang atau 94,3% responden yang memiliki sikap netral akan lebih

Page 24: Bab iv hasil dan pembahasan

59

bertindak netral. Sedangkan 22 orang atau 91,7% responden memiliki sikap

positif dan bertindak netral, namun hanya 2 orang atau 8,3% responden yang

memiliki sikap positif dengan tindakan yang lebih positif. Sikap netral terhadap

keberadaan TPAS Sarimukti dengan tindakannya yang netral tersebut

berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa responden tersebut terjadi

karena sebagian besar masyarakat merasa tidak memiliki kemampuan yang

cukup secara sosial-ekonomi untuk merubah keadaan yang ada di lingkungan

mereka dan sangat mengharapkan terhadap peran dari pihak pemerintah

setempat untuk dapat menyalurkan aspirasi mereka dan sangat mengharapkan

terhadap peran dari pihak pemerintah setempat untuk dapat menyalurkan aspirasi

mereka. Kurang aktif dan interaktifnya pemerintah setempat dengan masyarakat

yang dipimpinnya mengakibatkan kurangnya pertukaran informasi dan

penyuluhan mengenai kesehatan lingkungan yang ada dengan adanya

keberadaan TPAS Sarimukti tersebut. Selain itu, kurangnya motivasi dan ikatan

emosional antara pemerintah setempat, pemerintah daerah serta pihak pengelola

TPAS Sarimukti dimana kurang perduli dengan keadaan lingkungan yang ada di

kawasan tersebut dan hanya sebatas birokrasi serta pemenuhan kompensasi

dampak.

Pembentukan perilaku kesehatan merupakan suatu respon yang nampak

(overt behavior) terhadap faktor yang mempengaruhinya dengan diindikasikan

oleh tindakan terhadap perbaikan, penjagaan maupun peningkatan kondisi

kesehatannya dengan diawali oleh proses pencarian informasi dan ilmu sebagai

proses pengetahuan yang kemudian terbentuk suatu sikap yang terinternalisasi.

Page 25: Bab iv hasil dan pembahasan

60

Berdasarkan hubungan silang antara pengetahuan dan sikap masyarakat Desa

Sarimukti dengan tindakannya terhadap keberadaan TPAS Sarimukti

menunjukkan bahwa perilaku masyarakat yang berinteraksi langsung dengan

TPAS Sarimukti lebih bertindak netral dikarenakan keterbatasan pengetahuan

mereka terhadap upaya penjagaan, perbaikan dan peningkatan kondisi kesehatan

mereka akibat keberadaan TPAS Sarimukti.

Selaras dengan keterbatasan pengetahuannya tersebut sikap yang terbentuk

lebih pada sikap yang netral, berdasarkan hasil wawancara terhadap Ketua RW 2

Desa Sarimukti (Bapak Amad) yang merupakan kawasan terdekat dengan TPAS

Sarimukti menyatakan bahwa kegiatan mediasi dan komunikasi antara

masyarakat dengan pihak-pihak yang terkait sangat terbatas dan tidak berjalan

dengan baik sehingga alur persepsi masyarakat terhadap dampak keberadaan

TPAS Sarimukti dengan upaya pengurangan dampak yang dilakukan oleh pihak

terkait cenderung tidak efektif. Akibat dari hal tersebut yaitu masyarakat

cenderung tidak bersikap negatif untuk tidak menimbulkan masalah dengan

pihak terkait namun tidak pula bersikap positif karena dampak yang diterima

kenyataannya masih dirasakan oleh mereka terutama kondisi kesehatan mereka

akibat dampak yang dihasilkan oleh TPAS Sarimukti tersebut. Hal tersebut

selaras dengan pendapat Scott (1989) yang menyatakan bahwa aksioma

“dahulukan selamat” merupakan suatu konsekuensi logis dari suatu

ketergantungan ekologis masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah dimana

mengandung preferensi relatif bagi kepastian subsistensi diatas keadaan

ekonomi yang sangat tinggi saat ini. Oleh karena itu, masyarakat Desa Sarimukti

Page 26: Bab iv hasil dan pembahasan

61

cenderung berperilaku netral dengan mencari opsi-opsi yang relevan dengan

kondisi mereka meskipun dampak yang dihadapi secara faktual sangat tidak

menguntungkan baik dari kondisi kesehatan maupun keberlanjutan keadaan

sosial ekonominya dan politik yang mempengaruhi (Beranek, 1992).

D. Hubungan antara Kualitas Air Sungai dan Perilaku Kesehatan Masyarakat Berkaitan Keberadaan TPAS Sarimukti

Kualitas air pada Sungai Cilimus, Cipicung dan Sungai Cimeta yang

tercemar dalam kondisi yang berat dipengaruhi oleh introduksi lindi yang

dihasilkan oleh TPAS Sarimukti. Sedangkan pada stasiun kontrol yang berada

pada Sungai Cilimus dan Cipicung yang belum terkena masukkan lindi telah

mengalami pencemaran karena kegiatan domestik yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Sarimukti.

Pengetahuan masyarakat yang rendah dan sikapnya yang tidak menolak

maupun menerima keberadaan TPAS Sarimukti tersebut berpengaruh pada

perilaku kesehatan masyarakat dalam memanfaatkan air sungai yang tercemar

berat tersebut. Perilaku kesehatan masyarakat terhadap dampak pencemaran air

sungai yang mereka manfaatkan untuk kegiatan MCK sehari-hari cenderung

dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan rendahnya pengetahuan mengenai

bahaya, dampak serta upaya penjagaan maupun peningkatan kesehatan terhadap

keberadaan TPAS. Meskipun sebagian besar masyarakat bersikap tidak

menyetujui keberadaan TPAS Sarimukti yang mempengaruhi kualitas air sungai

yang mereka manfaatkan namun mereka tidak dapat pula menolak keberadaan

TPAS tersebut dikarenakan faktor internal (seperti tingkat pendidikan, jenis

Page 27: Bab iv hasil dan pembahasan

62

pekerjaan, biaya dan waktu) dan faktor eksternal seperti tekanan pihak pengelola,

rendahnya proses mediasi dan kurangnya sarana maupun prasarana untuk

mengurangi beban dampak yang dihasilkan oleh keberadaan TPAS.

Kualitas air sungai yang tercemar berat oleh lindi dan berdampak pada

kesehatan masyarakat nampak dengan timbulnya penyakit seperti diare dan

dermatitis yang dialami oleh masyarakat Desa Sarimukti (Lampiran II), dimana

hal tersebut tidak selaras dengan perilaku masyarakat terhadap penjagaan dan

peningkatan kondisi kesehatannya dengan masih memanfaatkan air sungai

tersebut untuk kegiatan MCK. Rendahnya ketersediaan air yang memadai untuk

memenuhi kegiatan tersebut dan jauhnya jarak lokasi sumber air lain merupakan

faktor pendorong lain yang mempengaruhi pemilihan masyarakat dalam

memanfaatkan air sungai yang telah tercemar lindi dari TPAS Sarimukti tersebut.