BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. 41’ 00” LS. Sedangkan...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. 41’ 00” LS. Sedangkan...
48
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian
1. Letak, Luas dan Jarak
Kecamatan Bantarujeg secara astronomis terletak pada 1080 11’ 00” BT
sampai 1080 24’ 00” LS sampai 70 41’ 00” LS. Sedangkan secara administratif
Kecamatan Bantarujeg termasuk kedalam wilayah Kabupaten Majalengka, adapun
batas wilayahnya adalah sebagai berikut.
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Maja.
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Talaga
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis.
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Lemahsugih
Kecamatan Bantarujeg memiliki wilayah seluas 65,088 Km2 yang terdiri
dari 13 desa. Desa yang memiliki wilayah terluas adalah Desa Gununglarang,
yaitu 11,12 Km2. Sedangkan Desa yang mempunyai luas wilayah terkecil, yaitu
Desa Cinambo seluas 1,97 Km2.
Jarak yang ditempuh untuk menuju ibukota Kabupaten Majalengka dari
Kecamatan Bantarujeg adalah 31 Km2. Sedangkan jarak dari Kecamatan
Bantarujeg ke Bandung adalah 122 Km2. Untuk lebih jelasnya tentang lokasi
penelitian dapat dilihat pada gambar 4.1 Peta Administratif Kecamatan
Bantarujeg.
49
50
Untuk luas masing-masing Desa di Kecamatan Bantarujeg yaitu sebanyak
13 Desa dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Luas masing-masing Desa di Kecamatan Bantarujeg
No Nama Desa Luas Wilayah
(Km2) Persentase
1 Bantarujeg 2,96 4 2 Babakansari 7,41 11 3 Wadowetan 6,05 9 4 Gununglarang 11,12 17 5 Cikidang 5,98 9 6 Haurgeulis 5,15 8 7 Cinambo 1,97 3 8 Sukamenak 6,91 10 9 Salawangi 4,56 7 10 Silihwangi 3,78 6 11 Cimangguhilir 4,30 7 12 Cipeundeuy 2,73 4 13 Sindanghurip 2,96 5
Jumlah 65,88 100 Sumber: Monografi Kec Bantarujeg, 2009
2. Iklim
Iklim adalah rata – rata cuaca untuk waktu yang lama dan meliputi daerah
yang sangat luas. Klasifikasi iklim yang digunakan disini adalah menurut Schmidt
dan Ferguson (dalam Rafi’i, 1995:259) “Tipe iklim suatu daerah dapat ditentukan
dengan memperhatikan jumlah rata-rata bulan basah dan bulan kering dalam
kurun waktu 10 tahun hingga 20 tahun”.
Bulan basah adalah bulan yang curah hujannya lebih dari 100 mm. bulan
kering adalah bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm. bulan yang curah
hujannya antara 60-100 mm digolongkan pada bulan lembab.
51
Rumus yang digunakan untuk menentukan tipe iklim menurut Schmidt
Ferguson adalah sebagai berikut.
(Rafi’i, 1995:43)
Keterangan :
Q = Tipe iklim Schmidt Ferguson
Md = Rata-rata banyaknya bulan kering dibagi oleh lama waktu pengamatan
Mw = Rata-rata banyaknya bulan basah dibagi oleh lama waktu pengamatan.
Klasifikasi nilai Q untuk penentuan tipe iklim suatu daerah menurut
Schmidt dan Ferguson disajikan pada tabel 4.2 sebagai berikut:
Tabel 4.2 Nilai Tipe Iklim
Tipe Nilai (%) Sifat A 0 < Q < 14,3 Sangat Basah B 14,3 < Q < 33,3 Basah C 33,3 < Q 60 Agak Basah D 60 < Q < 100 Sedang E 100 < Q < 167 Agak Kering F 167 < Q < 300 Kering G 300 < Q < 700 Sangat Kering H Q > 700 Ekstrim Kering
Sumber : Suryatna Rafi’i, 1995 Data curah hujan di Kecamatan Bantarujeg pada tabel 4.3 sebagai berikut.
Q =
52
Tabel 4.3 Curah Hujan Bulanan Kecamatan Bantarujeg
Tahun 2000 sampai Tahun 2009
Bln Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 J 406 475 525 438 535 498 494 564 340 431 F 437 169 946 304 423 423 671 453 206 443 M 375 387 527 308 712 389 229 446 511 283 A 412 282 378 134 148 411 389 380 353 160 M 190 193 105 55 124 34 305 54 70 227 J 40 150 73 0 158 137 26 149 16 181 J 65 81 61 0 0 89 0 0 0 6 A 35 0 67 19 0 0 0 0 0 0 S 12 15 0 45 0 0 0 0 7 0 O 255 353 0 130 0 59 0 40 958 0 N 310 434 513 211 229 168 35 85 283 240 D 255 319 417 446 379 307 365 311 359 370
Jumlah 2792 2858 3612 2090 2705 2515 2514 2482 3096 2335
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Majalengka 2010 Dari tabel di atas diperoleh data bahwa selama sepuluh tahun rata-rata
curah hujan terbanyak tiap bulan terjadi pada bulan Januari hingga April, dan
Oktober sampai Desember. Curah hujan pada bulan Mei sudah mulai menurun,
kondisi tersebut berlangsung sampai pada bulan September.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa budidaya tembakau di
Kecamatan Bantarujeg dilaksanakan pada cocok untuk dilakukan pada Bulan Juni
sampai September karena tembakau yang dibudidayakan adalah tembakau musim
kemarau Voor Oogst (VO).
Berikut adalah rata –rata jumlah hujan per bulan dalam kurun 10 Tahun
dapat dilihat pada tabel 4.4.
53
Tabel 4.4 Jumlah Curah Hujan Bulanan Kecamatan Bantarujeg
Tahun 2000 sampai Tahun 2009 No Bulan Jumlah Rata-rata 1 Januari 4706 392 2 Februari 4475 373 3 Maret 4167 347 4 April 3047 254 5 Mei 1357 113 6 Juni 930 78 7 Juli 302 25 8 Agustus 242 20 9 September 79 6 10 Oktober 1795 15 11 November 2508 209 12 Desember 3528 294
Jumlah 27136 2126 Sumber : Hasil Penelitian 2010
Berikut jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah tertera pada tabel 4.5
di bawah ini.
Tabel 4.5 Jumlah Bulan Kering dan Bulan Basah setiap Tahun (2000-2009)
di Kecamatan Bantarujeg
No Tahun Jumlah Curah Hujan
Rata-rata Curah Hujan
Tahunan
Bulan Kering
Bulan Lembab
Bulan Basah
1 2000 2792 233 3 1 8 2 2001 2858 238 2 1 9 3 2002 3612 301 2 3 7 4 2003 2090 174 5 0 7 5 2004 2705 226 4 0 8 6 2005 2515 210 4 1 7 7 2006 2514 209 6 0 6 8 2007 2482 207 5 1 6 9 2008 3096 258 4 1 7 10 2009 2335 195 4 0 8
Jumlah 26999 2251 39 7 73 Sumber : Hasil Perhitungan peneliti, 2010
54
Dari tabel di atas, diperoleh jumlah curah hujan selama 10 tahun sebanyak
26999 mm, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2251 mm/ tahun. Adapun
jumlah bulan kering selama 10 tahun (2000-2009) yaitu 39 dan jumlah bulan
basah selama 10 tahun (2000-2009) adalah 73. Dari data tersebut diperoleh rata-
rata bulan kering (Md) 39/10 = 3,9 dan rata-rata bulan basah (Mw) 73/10 = 7,3.
Untuk memperoleh nilai Q digunakan rumus menurut Schmidt Ferguson, yaitu :
Q = Md x 100% Mw
= 3,9 x 100% 7,3
= 53,42%
Dari hasil perhitungan di atas diperoleh nilai Q = 53,42%, maka
Kecamatan Bantarujeg menurut Schmidt Ferguson termasuk tipe iklim C (agak
basah), karena nilai Q berada pada 33,3% < Q < 60%.
Iklim menurut sifat dan unsur yang dimilikinya dapat dibedakan
berdasarkan tempat dan ketinggian, seperti yang dikemukakan oleh Junghuhn
(dalam Rafi’i, 1995:195) adalah
a. Zone iklim panas, antara ketinggian 0-700 m dpl. Di daerah ini ditanam
padi, jagung, tebu, kelapa tumbuh dengan baik.
b. Zone iklim sedang, antara ketinggian 700-1500 m dpl. Di daerah ini baik
untuk tumbuhan kelas perkebunan seperti karet, kopi, kina.
c. Zone iklim sejuk, antara ketinggian 1500-2500 m dpl. Di daerah ini
merupakan wilayah yang baik bagi tumbuhan pinus, jenis holtikultura,
seperti sayuran, bunga dan sebagainya.
55
d. Zone iklim dingin, antara ketinggian 2500-3300 m dpl.
e. Zone iklim salju, di atas ketinggian 3300 m dpl.
Tabel 4.6 Pembagian Iklim Menurut Junghuhn
Ketinggian tempat (m) Daerah /iklim Temperatur (oC) 0-650 Panas 26,3
650-1500 Sedang 22,17,1 1500-2500 Sejuk 17,1-11
>2500 Dingin 11,1-6,2 Sumber : Suryatna Rafi’i, 1995 Berdasarkan kriteria dan klasifikasi iklim Junghuhn diatas, di Kecamatan
Bantarujeg sebagian besar termasuk ke dalam zone sedang karena sebagian besar
wilayahnya terletak antara 650-1500 dimana kondisi iklim ini berpengaruh
terhadap tingkat kesuburan tanaman tembakau karena tanaman tersebut cocok
untuk tumbuh di derah Zone iklim sedang..
3. Tanah
Di daerah penelitian yaitu Kecamatan Bantarujeg, jenis tanah yang
tersebar adalah tanah latosol, tanah litosol dan tanah podsolik merah kuning.
Tanah latosol merupakan tanah yang terletak pada ketinggian 300-900 m dpl.
Tanah ini memiliki lapisan solum yang tebal sampai sangat tebal, yakni berkisar
antara 1,35-5 m bahkan lebih, sedangkan batas antara horizon tidak begitu jelas,
berwarna merah coklat sampai kekuning-kuningan, kandungan bahan organiknya
antara 3-9% pH tanah 4,5-6,5 yaitu asam sampak agak asam, tekstur tanah adalah
liat, sedangkan strukturnya remah dan konsistensinya gembur, permeabilitas tanah
mudah sampai agak sukar, tanah latosol terdapat di Desa Sukamenak.
56
Tanah litosol merupakan tanah yang memiliki lapisan solum yang sangat
tipis sampai tidak ada paling tebal solumnya 50 cm saja. Kandungan bahan
organiknya sangat rendah sampai tidak ada, warna tanah dan teksturnya kasar
yaitu berpasir struktur tidak ada atau berbutir lepas, pH dan permeabilitas
bervariasi. Tanah ini terdapat di Desa salawangi, Cimangguhilir, Cipeundeuy,
Sindanghurip, dan Cinambo, sedangkan tanah podsolik merah kuning mempunyai
ketebalan solum antara 50-180 cm dengan batas horizon yang nyata, bahan induk
liat dan pasir, batu pasir dan batu liat, warna tanah merah, struktur gempal dan
teksturnya lempung berpasir hingga liatl sedangkan tanah podsolik merah kuning
terdapat di Desa Sukamenak.
4. Geomorfologi
Bentukan geomorfologi yang terdapat di daerah penelitian yaitu bentukan
Denudasional yang terbentuk karena adanya proses gradasi yang meliputi proses
gradasi dan agradasi. Dalam kurun waktu yang lama proses gradasi dan agradasi
ini dapat merubah permukaan bumi menjadi suatu daratan yang seragam, dalam
perubahan bentuk permukaan bumi proses yang paling dominan adalah proses
degradasi yang ditunjukkan oleh hilangnya lapisan demi lapisan dari permukaan
akibat terjadinya pelapukan batuan yang terangkut oleh erosi dan longsoran,
bentukan ini terdapat di Desa Bantarujeg, Cinambo, dan Ciranca.
5. Hidrologi
Sungai yang terdapat di Kecamatan Bantarujeg adalah mempunyai pola
aliran dendritis, induk yang mengalir di Kecamatan Bantarujeg adalah Sungai
Cilutung yang induknya berasal dari Kecamatan Talaga kemudian mengalir
57
melalui Desa Salawangi, Desa Cikidang, Desa Wadowetan, Desa Bantarujeg,
Desa Babakansari, Desa Gununglarang dan keluar dari Kecamatan Bantarujeg
menuju Kecamatan Maja. Hidrologi ini berpengaruh pada mudah atau tidaknya
pengairan tanaman tembakau. Untuk lebih jelasnya tentang keadaan Hidrologi di
Kecamatan Bantarujeg dapat dilihat pada Peta Hidrologi dibawah;
6. Penggunaan Lahan
Penggunaan tanah di Kecamatan Bantarujeg sebagian diperuntukan untuk
lahan pertanian (sawah), Perkebunan, dan Peternakan, sedangkan sisanya
merupakan lahan kering yang dapat digunakan untuk bangunan dan fasilitas-
fasilitas lainnya. Untuk lebih jelasnya tentang penggunaan lahan di Kecamatan
Bantarujeg dapat dilihat pada Peta penggunaan Lahan dibawah;
58
59
60
B. Kondisi Sosial
1.Jumlah Penduduk Berdasarkan Sex Ratio
Jumlah penduduk Kecamatan Bantarujeg pada tahun 2009 sebanyak
47.241 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 13.798 KK . Jumlah
penduduk tersebut jika dilihat dengan perincian 23.924 penduduk laki-laki dan
23.317 penduduk perempuan, dari data tersebut dapat diketahui jumlah Sex Ratio
nya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
= 23.924
23.317 x 100
= 103
Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa dari setiap 100 orang
penduduk perempuan terdapat 103 orang penduduk laki-laki. Hal ini menunjukan
bahwa Sex Ratio penduduk Kecamatan Bantatrujeg lebih banyak jumah laki-
lakinya.
Adapun kepadatan penduduk di Kecamatan Bantarujeg diperoleh dari
perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah luas wilayah. Jumlah penduduk
Kecamatan Bantarujeg pada tahun 2009 adalah 47.241 jiwa dan jika dibagi
dengan jumlah luas wilayah seluas 65,88 yaitu 0,7 per ha.
SR = Jumlah penduduk laki-laki Jumlah penduduk perempuan X 100
61
2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Produktif dan tidak Produktif
Jika penduduk tersebut dilihat dari segi produktivitasnya, maka dapat
dikelompokan kedalam beberapa kelompok usia kelompok usia belum produktif
berkisar antara usia 0-14 tahun, kelompok usia 15-65 tahun dianggap sebagai usia
produktif, dan kelompok usia 65 tahun keatas dianggap sebagai kelompok usia
tidak produktif. Komposisi penduduk Kecamatan Bantarujeg dapat dilihat pada
tabel 4.7.
Tabel 4.7 Komposisi Penduduk Kec Bantarujeg Menurut Usia belum Produktif, Usia
Produktif, dan Tidak Produktif No Kelompok Usia Jumlah % 1 0-14 5.654 12 2 15-65 28.965 65 3 >65 10.622 23
Jumlah 47.241 100 Sumber:Data Monografi Kec Bantarujeg 2009
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar Penduduk di
Kecamatan Bantarujeg berada pada kisaran Usia Produktif yaitu sebanyak 28.965
orang atau sekitar 65%, sedangkan jumlah Penduduk yang belum Produktif
sebanyak 5.654 orang atau sekitar 12%, dan jumlah Penduduk yang tidak
Produktif sebanyak 10.622 orang atau sekitar 23%.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Sumber Daya Manusia yang
ada di Kecamatan Bantarujeg terutama pada usia produktif sangat potensial jika
bisa dikelola dengan baik untuk mengolah Sumber Data Alam yang ada yang
hasilnya akan bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk tersebut.
62
3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian bagi Penduduk adalah merupakan hal yang paling
penting, karena dari hal inilah semua kebutuhan dapat terpenuhi ataupun
sebaliknya, komposisi mata pencaharian Penduduk Kecamatan Bantarujeg dapat
dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Bantarujeg
No Mata Pencaharian Jumlah % 1 Petani 28.026 53 2 PNS 800 2 3 Pengrajin 819 2 4 Pedagang 4.711 10 5 Peternak 215 1 6 Buruh 10.189 21 7 Lain-lain 2.461 5
Jumlah 47.241 100% Sumber:Data monografi Kecamatan Bantarujeg, 2009
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar Penduduk
Kecamatan Bantarujeg berprofesi sebagai petani sebanyak 53% kemudian bekerja
sebagai buruh 21%, berprofesi sebagai PNS 2%, Peternak 1%, bekerja sebagai
pengrajin 2%, berprofesi sebagai pedagang 10%, dan lain – lain sebanyak 5%.
Penduduk yang bermata pencaharian sebagai Pedagang dan Buruh
sebagian besar sudah tidak tinggal di Kecamatan Bantarujeg lagi karena mereka
umumnya pergi merantau ke Kota – kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan
Bantarujeg bermata pencaharian sebagi petani, buruh, dan pedagang.
63
C. Karakteristik Responden Petani Tembakau
1. Jenis Kelamin
Manusia adalah makhluk hidup yang dapat berusaha sendiri untuk dapat
memilih sendiri berbagai jenis pekerjaan untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Seperti bagi petani tembakau di Kecamatan Bantarujeg, mereka
berusaha untuk tetap hidup dengan cara bekerja sebagai petani tembakau.
Dari penelitian diperoleh bahwa dari 80 petani yang dijadikan responden
13 diantaranya perempuan dan laki-laki sebanyak 67 orang. Dari 67 petani yang
berjenis kelamin laki-laki 25 diantaranya melibatkan istri mereka untuk bersama-
sama bekerja. Jadi, jumlah responden berdasarkan jenis kelamin terdiri atas 13
orang atau sebesar 17% perempuan. Sedangkan 67 orang atau sebesar 83% laki-
laki. Berdasarkan persentase yang ditunjukan oleh masing-masing jenis kelamin,
maka keterlibatan dalam aktifitas kerja di kebun didominasi oleh laki-laki yang
berperan sebagai kepala keluarga, perempuan yang bekerja hanya sebatas untuk
membantu perekonomian keluarga. Keterangan lebih kelas dapat dilihat pada
tabel 4.9.
Tabel 4.9 Jenis Kelamin Petani Sebagai Responden
No Jenis Kelamin F % 1 Laki –laki 67 83 2 Perempuan 13 17
Jumlah 80 100% Sumber : hasil penelitian, 2010 2. Usia
Dalam ketenagakerjaan dibagi menjadi usia produktif dan non produktif.
Yang temasuk kedalam usia produktif mulai dari 15-64 tahun. Sedangkan usia
64
nonproduktif meliputi 0 – 14 tahun dan yang berusia 65 tahun keatas, untuk lebih
jelasnya tentang usia petani tembakau dapat dilihat pada tabel 4.10
Tabel 4.10 Usia Petani
No Usia (tahun) F % 1 < 25 - - 2 25 – 40 30 35 3 41 – 55 43 34 4 >55 7 9
Jumlah 80 100 Sumber : hasil penelitian, 2010
Tabel di atas menunjukan bahwa usia responden seluruhnya berusia
produktif. Frekuensi tertinggi berada pada Usia 41-55 tahun, kemudian 25 – 40
tahun, dan > 55 tahun.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
petani usianya relatif tua. , Faktor usia memegang peranan penting dalam bertani
karena semakin tua usia maka semakin berkurang pula tenaga seorang petani
dalam melakukan kegiatan pertanianya.
3. Jumlah Tanggungan Keluarga
Para petani tembakau selain bervariasi secara usia, juga bervariasi dari
jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki, diketahui bahwa jumlah petani yang
memiliki jumlah tanggungan keluarga < 3 orang sebanyak 52%, kemudian petani
yang memiliki tanggungan keluarga 3 – 6 orang sebanyak 31%, petani yang
memiliki tanggungan keluarga 6 -9 orang sebanyak 13%, dan yang memiliki
tanggungan keluarga > 9 orang sebanyak 4%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel 4.11.
65
Tabel 4.11 Jumlah Tanggungan Keluarga
No Jumlah Tanggungan Keluarga F % 1 < 3 Orang 42 52 2 3 - 6 Orang 25 31 3 6 - 9 Orang 10 13 4 > 9 Orang 3 4
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jumlah tanggungan
keluarga para petani berbeda – beda, dan petani semuanya sudah mempunyai
tanggungan, tidak ada petani yang belum memiliki tanggungan dalam, hal ini
tidak ada petani yang belum menikah.
7. Pendidikan
Tingkat pendidikan petani di daerah penelitian sangat bervariasi, dan
sebagian besar dari mereka tidak sekolah, tamat SD, dan hanya sebagian kecil
tanat SMP, tidak ada petani yang tamat SMA maupun perguruan tinggi, untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.12.
Tabel 4.12 Pendidikan Responden
No Latar Belakang Pendidikan F % 1 Tidak sekolah 66 82 2 SD 10 13 3 SMP 4 5 4 SMA - - 5 Perguruan tinggi - -
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil penelitian, 2010
Dari tabel 4.12 tersebut menunjukan tingkat pendidikan responden
didaerah penelitian masih rendah, hal ini bisa dilihat dari jumlah persentase
66
tingkat pendidikan responden, yaitu 82% tidak sekolah, sebanyak 13% tamat SD,
dan 5% tamat SMP
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa rendahnya tingkat
pendidikan petani sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pola budidaya
tembakaunya, karena hal tersebut akan berkaitan dengan kemampuan petani
dalam mengolah dan mengorganisasi budidaya tembakau yang mereka miliki.
8. Keterampilan Petani
Dapat diketahui bahwa keterampilan petani di daerah penelitian sebagian
besar diperoleh dari belajar sendiri, bertanya kepada petani yang lain, dan
bertanya kepada orang tua, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.13.
Tabel 4.13 Asal Keterampilan Responden
No Keterampilan Yang Diperoleh F % 1 Kursus - - 2 Bertanya kepada petani lain 23 29 3 Bertanya kepada orang tua 10 12 4 Belajar Sendiri 47 59
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Tabel tersebut menunjukan 12% responden mendapatkan keterampilan
dalam bertani tanaman tembakau berasal dari bertanya kepada orang tua, 29%
responden mendapatkan keterampilan dari bertanya kepada petani yang lain,
sedangkan sisanya sebanyak 59% mereka belajar sendiri dan didukung dengan
pengalaman yang mereka punya, dan tidak ada responden yang mendapatkan
keterampilan dari kursus.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani
selama ini mengandalkan dari belajar sendiri dalam menjalankan budidaya
67
pertanian tembakau, sedangkan keterampilan yang diperoleh dari bertanya kepada
orang tua menunjukan bahwa hal tersebut menunjukan suatu budaya keterampilan
yang diwaiskan secara turun temurun.
9. Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja merupakan salah satu faktor pendukung dalam
keberhasilan suatu kegiatan usaha, dikarenakan semakin lama seorang Petani
tersebut bekerja dalam bidangnya maka pengalaman dan keterampilan ilmu
bertaninya juga akan semakin baik dan semakin baik pula hasil produksi tanaman
yang dikelolanya. Berikut ini pengalaman kerja petani tembakau dapat dilihat
pada tabel 4.14.
Tabel 4.14 Pengalaman Kerja Responden
No Lama Kerja Petani Tembakau F % 1 < 1 tahun 2 2 2 1 - 5 tahun 5 6 3 5 -10 tahun 30 38 4 > 10 tahun 43 54
Jumah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Dari tabel diatas diketahui sebanyak 2 % Petani baru bekerja selama < 1
tahun, 6 % telah bekerja selama 1 – 5 tahun, 38 % Petani telah bekerja selama 5 –
10 tahun, dan 54 % Petani telah bekerja selama > 10 tahun.
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa lebih dari sebagian
besar petani telah bekerja dalam sektor pertanian tembakau selama lebih dari 10
tahun .
68
D. Pola Budidaya Tanaman Tembakau
1. Luas Kepemilikan Lahan
Luas Lahan pertanian tembakau yang ada di Kecamatan Bantarujeg adalah
seluas 740 Ha yang tersebar di beberapa Desa. Berikut ini adalah luas lahan
pertanian yang dimiliki oleh responden yang dapat dilihat pada tabel 4.15
Tabel 4.15 Luas Kepemilikan Lahan Pertanian
No Luas Lahan Pertanian F % 1 < 0, 5 Ha 14 18 2 0,5 - 1 Ha 66 82 3 1 – 1,5 Ha - - 4 >1,5 Ha - -
Jumlah 80 100% Sumber: hasil penelitian, 2010
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sekitar 82 % petani tembakau di
Kecamatan Bantarujeg memiliki luas lahan pertanian seluas 0,5 - 1 Ha, , dan
sisanya sebanyak 18 % Petani memiliki lahan pertanian seluas < 1 Ha, tidak ada
petani yang memiliki lahan >1 Ha.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani
memiliki lahan pertanian tembakau yang cukup luas sangat sedikit dikarenakan
terbatasnya lahan yang dimiliki dan besarnya modal yang harus dikeluarkan
dalam budidaya tembakau.
2. Status Lahan Pertanian
Status lahan pertanian adalah tentang kepemilikan lahan pertanian yang
digarap oleh Petani dalam satu kali masa panen atau lebih. Berikut ini merupakan
tabel tentang status lahan pertanian pada tanaman tembakau di Kecamatan
Bantarujeg.
69
Tabel 4.16 Status Kepemilikan Lahan Pertanian
No Status Lahan F % 1 Milik Sendiri 68 85 2 Menyewa 12 15
Jumlah 80 100
Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Tabel tersebut menunjukan bahwa sebagian besar responden yaitu 85%
memiliki lahan garapan sendiri dan dikelola sendiri, 15% responden menyewa
lahan dari orang lain, umumnya para petani menyewa lahan pertanian dari orang
lain dengan kepemilikan yang luas dan memilih untuk disewakan daripada
digarap sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
petani tembakau di Kecamatan Bantarujeg status kepemilikan lahan pertanianya
adalah milik sendiri, sehingga pendapatan yang akan mereka dapat nantinya akan
utuh dan tidak akan terpotong oleh beban sewa lahan yang harus mereka bayar.
3. Pergiliran Tanam
Seperti diketahui bahwa tanaman tembakau akan tumbuh bagus pada saat
musim kemarau seperti tembakau Virginia yang ditanam di Bantarujeg, maka
pada saat musim hujan tiba umumnya para petani menanam lahan pertanian
mereka dengan tanaman yang lain atau melakukan pergiliran tanaman, tanaman
yang biasanya ditanam pada saat pergiliran tanam adalah padi, palawija, dan
sayur – sayuran, untuk jelasnya mengenai pergiliran tanam dapat dapat dilihat
pada tabel 4.17.
70
Tabel 4.17 Pergiliran Tanam
No Pengiliran Tanaman F % 1 Padi 37 46 2 Palawija 19 22 3 Sayuran 27 32
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Tabel diatas menunjukan bahwa 46 % responden memilih untuk menanam
padi pada saat pergiliran tanaman tiba, 22 % responden memilih menanam lahan
mereka dengan tanaman palawija pada saat musim hujan tiba, dan sisanya
sebanyak 32 % memilih menanam sayuran pada lahan mereka yang hasilnya
selain untuk memenuhi kebutuan sendiri juga untuk dijual ke Pasar.
Pergiliran tanaman (rotasi) dalam budidaya tanaman tembakau merupakan
bagian yang penting karena berkaitan dengan perlindungan tanaman dari
serangan hama dan penyakit. Dengan adanya pergiliran tanaman, siklus hidup dari
hama dan penyakit menjadi terputus.
4. Pengolahan Lahan Pertanian
Pengolahan lahan mempunyai tujuan dan fungsi agar lahan bisa
memberikan dukungan untuk tumbuh kembang tanaman. Pengolahan lahan
pertanian dilakukan diawal sebelum melakukan penanaman, Berikut merupakan
pola pengolahan lahan pertanian tembakau di Kecamatan Bantarujeg:
a. Pembibitan
Pembibitan merupakan salah satu langkah dari budidaya tembakau,
Penggunaan bibit unggul merupakan salah satu faktor penting untuk
meningkatkan produksi pertanian. Ciri-ciri suatu bibit unggul yaitu berproduksi
tinggi, tanah hama dan penyakit, berkualitas baik dan beradaptasi tinggi dengan
71
lingkungan, dalam hal ini sebagian besar para petani lebih suka membeli bibit
tembakau dari pedagang bibit maupun dari petani tembakau lain yang mempunyai
bibit tembakau yang banyak, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.18.
Tabel 4.18 Asal Bibit Tembakau
No Asal bibit tembakau F % 1 Pedagang Bibit 69 86 2 Menanam Sendiri 11 14
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Dari tabel 4.18 dapat disimpulkan bahwa ternyata sebagian besar petani
lebih memilih untuk membeli bibit tembakau sebanyak 86% daripada petani yang
memilih untuk menanam sendiri bibit tembakaunya sebanyak 14% para petani
menganggap bahwa menanam bibit sendiri memerlukan waktu yang cukup lama,
sedangkan jika membeli akan lebih mudah dan dapat cepat untuk ditanam pada
lahan yang telah disediakan.
b. Kebutuhan Bibit Tembakau
Kebutuhan bibit tembakau biasanya disesuaikan dengan luas lahan yang
dimiliki oleh petani, semakin luas lahan yang dimiliki maka akan semakin banyak
jumlah bibit tembakau yang dibutuhkan.
Tabel 4.19 Kebutuhan Bibit Tembakau
No Jumlah Bibit F % 1 < 1000 batang - - 2 1000 – 2000 batang - - 3 3000 – 4000 batang - - 4 <4000 batang 80 80
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
72
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa seluruh petani membutuhkan
lebih dari 4000 batang bibit tembakau dalam satu kali musim tanam dengan fakta
bahwa dalam lahan seluas 1 Ha di Kecamatan Bantarujeg membutuhkan jumlah
bibit tembakau sebanyak 15.000 batang, maka jika petani yang kepemilikan
lahanya dibawah 1 Ha maka jumlah bibit tembakau yang dibutuhkan sebanyak
7.500 batang.
c. Penyiraman dan Pengairan
Untuk mendapatkan produksi dan kualitas tembakau yang tinggi perlu
adanya sistem pengairan yang tepat. Sebab untuk pertumbuhan terbaiknya,
tanaman tembakau memerlukan air yang sesuai dengan kebutuhan yang
diinginkan. Penyiraman dan pengairan dimaksudkan untuk melengkapi
kekurangan air yang diberikan oleh alam sehingga untuk setiap daerah tidak sama,
melainkan disesuaikan dengan curah hujannya. Penyiraman dilakukan sore hari,
jumlah air yang diberikan sekitar 1-2 liter per tanaman. Pada umur 7-25 HST,
interval penyiraman diperjarang menjadi 3-5 hari sekali dengan jumlah air yang
diberikan sekitar 3-4 liter per tanaman. Setelah umur 25 HST tanaman sudah
mulai kuat, interval penyiraman makin diperjarang sampai seminggu sekali
dengan jumlah air yang diberikan sekitar 4 liter per tanaman. Akan tetapi secara
umum bisa dibuat patokan penyiraman berdasarkan pengalaman penanaman
tembakau sebelumnya.
d. Pemupukan
Pemupukan merupakan faktor terpenting dalam pemeliharaan tanaman.
Sebab, pemupukan mempunyai hubungan langsung dengan tingkat dan kualitas
73
produksi. Produktivitas yang tinggi akan diperoleh jika selama masa pertumbuhan
tanaman tidak banyak mengalami hambatan yang cukup berarti. Pengaruh dari
hambatan yang terjadi selama pertumbuhan akan tampak secara langsung pada
kualitas daun tembakau yang dihasilkan, untuk lebih jelasnya tentang pemupukan
dapat dilihat pada tabel 4.20.
Tabel 4.20. Pemupukan
No Pemupukan F % 1 Pupuk Organik 10 12 2 Pupuk Anorganik 7 9 3 Pupuk Organik dan Anorganik 63 79
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Dari tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar petani menggunakan
kombinasi antara pupuk organik dan anorganik dalam pemupukan tanaman
tembakaunya, sedangkan sisanya sebanyak 12% petani hanya menggunakan
pupuk organik saja dalam pemupukanya, dan hanya 9% saja petani yang
menggunakan pupuk anorganik.
e. Pendaringan, Penyiangan, dan Pembumbunan
Ketiga kegiatan ini saling berkaitan karena merupakan satu rangkaian.
Pendangiran dan pembumbunan untuk menggemburkan tanah di sekitar tanaman.
Sedangkan penyiangan bertujuan menghilangkan gulma sehingga dalam
menyerap unsur hara, tanaman tidak akan terganggu. Biasanya kegiatan tersebut
dilakukan bersamaan untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya, ketika
dilakukan pendangiran, tanah lapisan atas terangkat sehingga secara tidak
langsung gulma yang tumbuh di lapisan ini terangkat pula. Pendangiran dilakukan
74
dengan cara mencabut gulma yang tumbuh di atasnya, sedangkan pembumbunan
dilakukan dengan cara menggemburkan kembali tanah yang telah padat.
f. Pemberantasan Hama dan Penyakit
Pembasmian hama dan penyakit adalah suatu cara dalam pertanian untuk
mencegah terserangnya tanaman oleh hama dan penyakit yang dapat dilakukan
dengan cara mengadakan perawatan secara teliti. Pemberantasan hama dan
penyakit ini dapat dilakukan dengan berbagai cara baik secara tradisional maupun
secara modern.
5. Biaya
Biaya dalam budidaya tembakau adalah jumlah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan budidaya tembakau, dalam hal ini biaya
yang dikeluarkan oleh petani dalam rangka budidaya tembakau yang meliputi
biaya pengolahan, pembibitan, pemupukan, penyiangan, dan tenaga kerja.
Budidaya tembakau adalah salah satu kegiatan budidaya yang dalam masa
pemeliharaanya membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga ketika harga
tembakau turun yang biasanya disebabkan oleh turunya hujan yang
berkepanjangan , maka petani akan merugi karena tanaman tembakau akan rusak,
sedangkan jika tanaman tembakau tidak terganggu oleh hujan maka harga di
pasaran cenderung stabil bahkan naik karena hasil panen yang bagus dan proses
penjemuran yang baik sehingga akan menghasilkan tembakau yang berkualitas.
Untuk jelasnya tentang biaya yang harus dikeluarkan oleh petani pada masa
budidaya tembakau per 1 hektar dapat dilihat pada tabel 4.21.
75
Tabel 4.21 Biaya Budidaya Tembakau
Pemeliharaan Upah Tenaga Kerja (Rp)
Jumlah Tenaga Kerja Jumlah
Pria Wanita Pria Jumlah Wanita Jumlah Pembibitan 450.000 Pengolahan Tanah 20.000 60 1.200.000 Penanaman 20.000 12.500 10 200.000 30 375.000 575.000 Pupuk Buatan 660.000 Insektisida 250.000 Fungisida 50.000 Pemupukan Dasar 20.000 12.500 10 200.000 10 125.000 325.000 Pemupukan Utama 20.000 12.500 10 200.000 15 187.500 387.500 Pemberantasan Hama 20.000 8 160.000 160.000 Penyiangan dan Pendaringan
20.000 12.500 20 400.000 28 350.000 750.000
Penyiraman 12.500 10 125.000 125.000 Pemangkasan 12.500 10 125.000 125.000 Nyirung 12.500 30 375.000 375.000 Panen 20.000 12.500 24 480.000 20 250.000 780.000 Transportasi 300.00 Perajangan 20.000 12.500 6 120.000 6 75.000 195.000 Penjemuran 12.500 20 250.000 250.000
Jumlah 6.957.000 Sumber: Hasil Perhitungan peneliti, 2010
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah keseluruhan biaya yang
harus dikeluarkan oleh petani dalam masa budidaya tembakau per 1 hektar adalah
Rp 6.957.000.
6. Panen
Pemetikan daun tembakau dipetik pada tingkat kemasakan yang optimal
yaitu apabila sudah berwarna hijau kekuning-kuningan. Daun yang telah masak
optimal akan menghasilkan hasil tembakau rajangan yang bermutu baik.
Pemetikan dilakukan daun demi daun yang telah masak sebanyak 1-3 helai per
pohon dalam selang waktu 2-6 hari.
76
Pemetikan dilakukan pada pagi hari. Dalam sekali petik, hanya dipetik
satu jenis daun saja misalnya jenis daun pasir atau daun kaki saja. Sebelum
diangkut daun yang telah dipetik diletakkan di keranjang dengan posisi berdiri,
apabila daun itu berembun dan basah tapi kalau daun sudah kering (tidak
berembun) dapat diatur posisi tidur. Dalam menunggu proses pengolahan
selanjutnya daun hijau diletakkan diatas lantai yang telah diberi alas. Berikut
merupakan tabel hasil panen tanaman tembakau yang sudah kering per 1 hektar.
Tabel 4.22. Jumlah Panen Tembakau
Panen Jumlah (Kg) Harga (Rp) Jumlah 1 220 20.000 4.400.000 2 770 35.000 26.950.000 3 110 15.000 1.650.000 1.100 33.000.000
Sumber: Hasil perhitungan peneliti, 2010
Dari tabel diatas diketahui bahwa dari 1 hektar luas lahan budidaya
tembakau dapat menghasilkan sekitar 1.100 Kg tembakau rajangan kering siap
jual dengan jumlah pendapatan kotor sekitar 33 juta, dari sini dapat diketahui
jumlah pendapatan petani dalam satu musim budidaya tembakau yaitu dengan
cara jumlah pendapatan tembakau dikurangi oleh biaya sehingga nantinya akan
menghasilkan jumlah pendapatan bersih petani.
Jumlah Pendapatan Petani = Pendapatan Hasil Panen – Biaya
= Rp 33.000.000 – 6.957.000
= Rp 26.043.000
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapatan petani dalam 1
Ha luas kepemilikan lahan budidaya tembakau akan menghasilkan pendapatan
bersih sekitar Rp 26.043.000, untuk petani yang luas kepemilikan lahanya kurang
77
dari 1 Ha Jumlah pendapatan bersih yang diterima hanya setengahnya dari jumlah
pendapatan bersih petani yang luas kepemilikan lahanya 1 Ha yaitu sekitar Rp
13.021.500.
E. Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tembakau
Kehidupan masyarakat petani yaitu yang meliputi kondisi sosial, ekonomi
masyarakat petani di Kecamatan Bantarujeg, penulis menggunakan lima
parameter sebagai indikator penelitian, yaitu tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan, tingkat kesehatan, bentuk perumahan dan pemilikan sarana
transportasi dan komunikasi. Berikut ini akan di uraikan analisis hasil penelitian
dari masing-masing indikator tersebut.
1. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur
kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat. Dengan melihat tingkat pendapatan
maka dapat diketahui tingkat kelayakan hidup petani dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tingkat pendapatan penduduk berkaitan erat dengan mata
pencahariannya, untuk lebih jelasnya tentang pendapatan petani tembakau dapat
dilihat pada tabel 4.23.
Tabel 4.23. Pendapatan Petani Tembakau Per Musim Tanam
No Jumlah Pendapatan F % 1 Rp. 1 – 10 jt - - 2 Rp. 11 – 20 jt 14 18 3 Rp. 21 – 30 jt 66 82 4 > Rp. 30 jt - -
Jumlah 80 100% Sumber:hasil penelitian, 2010
78
Dari tabel diatas dapat diketahui sebagian besar petani tembakau yaitu
82% memiliki pendapatan antara Rp 21 – 30 juta dalam satu musim budidaya,
sedangkan 18% petani memiliki pendapatan antara Rp 11 – 20 juta. Hal tersebut
tidak terlepas dari luas kepemilikan lahan pertanian tembakau yang berbeda-beda,
dimana petani yang memiliki lahan pertanian yang lebih luas maka hasilnya akan
berbeda dari petani yang memiliki luas lahan pertanian yang lebih sedikit.
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang penting di dalam kehidupan masyarakat
karena tingkat pendidikan dapat dijadikan sebagai indikator tingkat pengetahuan
suatu masyarakat. Tingkat pendidikan juga dapat dijadikan sebagai salah satu
indikator dalam menentukan kondisi sosial ekonomi masyarakat, karena nantinya
akan mengetahui keterbukaan terhadap inovasi-inovasi baru yang mempercepat
laju modernisasi dan pada akhirnya akan mempengaruhi kesejahteraan penduduk
itu sendiri.
Kesadaran masyarakat dalam hal pendidikan merupakan salah satu syarat
demi terciptanya pemerataan pendidikan, dimana jika rasa kesadaran akan
pentingnya pendidikan sudah ada, maka otomatis hal tersebut akan sangat
membantu dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri, berikut ini kesadaran
pentingnya pendidikan responden dapat diihat pada tabel 4.24.
Tabel 4.24 Kesadaran Pendidikan
No Pendidikan F % 1 Penting 71 89 2 Tidak Penting 9 11
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
79
Dari tabel 4.24 diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah responden yang
memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan mencapai 89 % sedangkan
sisanya sekitar 11% memandang bahwa pendidikan tidaklah terlalu penting.
Walaupun demikian kesadaran akan pentingnya arti pendidikan bagi generasi
muda di Kecamatan Bantarujeg telah mengalami peningkatan. Hal ini dapat
dilihat dari kecenderungan sebagian besar responden untuk memberikan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan lebih tinggi pada
anak-anaknya. Untuk jelasnya mengenai tingkat pendidikan anak responden dapat
dilihat pada tabel 4.25.
Tabel 4.25. Pendidikan Anak Responden
No Pendidikan Anak Responden F % 1 SD 17 21 2 SMP 19 23 3 SMA 20 25 4 Perguruan Tinggi 24 30
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Dari tabel tersebut diketahui bahwa 30% anak responden mempunyai
pendidikan sampai lulus perguruan tinggi, lulus SD 21%, lulus SMP 23%, dan
sisanya 25% merupakan lulusan SMA.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan
anak responden di daerah penelitian cukup bagus, dimana kesadaran responden
selaku Orang Tua dalam memberikan pendidikan yang layak bagi anak mereka
menjadikan masalah pendidikan begitu penting.
80
3. Tingkat Kesehatan
Fungsi sosial ekonomi masyarakat dapat berkembang dengan baik jika di
dukung oleh kesehatan masyarakat. Hal ini dapat berkaitan dengan produktivitas,
karena semakin tinggi tingkat kesehatan mayarakat, maka semakin tinggi pada
produktivitasnya. Masyarakat yang mempunyai nilai produktivitas tinggi akan
dapat bekerja dengan baik, maka hasil yang diperolehpun akan semakin baik
juga. Berikut ini merupakan tabel tentang upaya responden dalam memenuhi
tingkat kesehatan di Kecamatan Bantarujeg.
Tabel 4.26. Upaya Responden Dalam Berobat
No Pengobatan F % 1 Dukun 2 3 2 Puskesmas 58 72 3 Dokter Praktek 15 19 4 Rumah Sakit 5 6
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa 72% responden lebih
memilih pengobatan ke puskesmas yang letaknya di ibukota Kecamatan, sekitar
19% memilih pengobatan ke Dokter praktek, 6% responden berobat ke Rumah
Sakit, dan masih ada responden yang memilih pengobatan ke Dukun.
Secara umum, kesadaran masyarakat Kecamatan Bantarujeg dalam
masalah kesehatan cukup tinggi, hal itu tercermin dari sedikitnya jumlah
responden yang memilih pengobatan ke dukun dan lebih memilih menjalani
pengobatan Dokter praktek, Puskesmas, maupun Rumah Sakit. sedangkan
mengenai ketersediaan sarana WC dapat dilihat pada tabel 4.27.
81
Tabel 4.27 Ketersediaan Sarana WC
No Ketersediaan Kamar Mandi F % 1 Ya 70 87 2 Tidak 10 13
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sekitar 87% responden
petani tembakau di Kecamatan Bantarujeg telah memiliki kamar mandi ,
sedangkan sekitar 13% responden tidak memiliki sarana kamar mandi. Sebagian
besar responden memilih untuk membuat kamar mandi terletak di dalam rumah
karena dapat memudahkan mereka untuk menjangkau kamar mandi tersebut
dibandingkan jika letaknya berada diluar rumah. Untuk jelasnya dapat dilihat pada
tabel 4.28.
Tabel 4.28 Letak Kamar Mandi
No Letak Kamar Mandi F % 1 Di dalam rumah 60 75 2 Di luar rumah 20 25
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Dilihat dari tabel diatas, jumlah responden yang memiliki kamar mandi
yang letaknya di dalam rumah sekitar 75%, sedangkan yang memilki kamar
mandi yang letaknya berada di luar rumah adalah 25%. Hal tersebut dapat dilihat
sebagai kesadaran dari responden dalam masalah kesehatan. Sedangkan mengenai
ketersediaan air bersih dapat dilihat pada tabel 4.29.
82
Tabel 4.29. Ketersediaan Air Bersih
No Ketersediaan Air Bersih F % 1 Sungai - - 2 Mata Air 47 59 3 Sumur 23 29 4 PDAM 10 12
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Tabel 4.29 menunjukan bahwa sebagian besar responden 59% di
Kecamatan Bantarujeg menggunakan mata air sebagai sumber utama, 12% petani
responden menggunakan air PDAM serta 29% memanfaatkan sumur, dan tidak
ada responden yang menggunakan sungai.
Responden yang menggunakan mata air sebagai sumber air utama lebih
banyak, karena ada sumber mata air tersebut tidak perlu mengeluarkan biaya
banyak, dimana dalam memanfatkan sumber mata air hanya perlu membuat
tempat penyimpanan air serta selang untuk mengalirkan air ke Rumah - rumah
penduduk.
4. Kepemilikan Rumah
Kondisi perumahan penduduk merupakan salah satu indikator di dalam
meningkatkan kesejahteraan tingkat sosial ekonomi penduduknya, karena salah
satu aspek kesejahteraan penduduk akan tercermin melalui keadaan rumahnya.
Tingkat perumahan ini dapat dilihat dah status rumah, dan kondisi rumah.
Berdasarkan hasil penelitian, status rumah responden di Kecamatan
Bantarujeg dapat dilihat pada tabel 4.30.
83
Tabel 4.30. Status Rumah Responden
No Status Rumah F % 1 Sendiri 63 79 2 Mertua 17 21 3 Sewa / Kontrak - -
Jumlah 80 100% Sumber: Hasi Penelitian, 2010
Tabel 4.30 menunjukan bahwa sebagian besar responden yaitu 79% telah
memiliki rumah sendiri, 21% masih ikut dengan orang tua. Tidak ada seorangpun
responden yang mengontrak atau menyewa rumah, karena hal seperti ini tidak
biasa dilakukan. di daerah yang umumnya berada di pedesaan dan jauh dari pusat
Kota, sebab sebagian besar warga di Kecamatan Bantarujeg adalah penduduk
asli.
Selanjutnya tentang kondisi rumah yang meliputi dinding dan lantai
rumah dapat dilihat pada tabel 4.31 dan tabel 4.32.
Tabel 4.31. Kondisi Dinding Rumah Responden
No Kondisi Dinding Rumah F % 1 Permanen 65 81 2 Non Permanen 15 19 3 Semi Permanen - -
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Tabel 4.31 menunjukan bahwa sebagian besar responden sebanyak 81%
memiliki Rumah dengan kondisi dinding Rumah yang telah permanen, 19%
responden memiliki rumah dengan kondisi dinding yang non permanen dan tidak
ada responden yang memiliki rumah semi permanen.
84
Tabel 4.32. Kondisi Lantai Rumah Responden
No Kondisi Lantai Rumah F % 1 Tanah - - 2 Dilapisi Semen 13 16 3 Dilapisi Ubin / Tegel 44 55 4 Dilapisi Keramik 23 29
Jumlah 80 100% Sumber:Hasil Penelitian, 2010 Tabel 4.32 menunjukan bahwa 55% jumlah responden memiliki rumah
dengan kondisi lantai telah dilapisi oleh ubin, 16% responden memilki rumah
dengan kondisi lantai yang dilapisi semen, 29% lantai rumah responden yang
dilapisi keramik, dan tidak ada responden yang rumahnya masih beralaskan
tanah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar rumah
responden di Kecamatan Bantarujeg termasuk kedalam keadaan yang cukup
pantas untuk ditinggali oleh penghuninya karena sebagian besar lantai telah dalam
kondisi dilapisi oleh ubin atau tegel, berdasarkan hal tersebut peneliti mengambil
kesimpulan bahwa petani tembakau di Kecamatan Bantarujeg termasuk kedalam
Keluarga Sejahtera 1(KS 1) karena telah terpenuhi kebutuhan makan, bagian
terluas rumah bukan terbuat dari tanah, dan bila anak sakit dibawa ke Puskesmas
5. Kepemilikan Sarana Informasi dan Transportasi
Kepemilikan sarana Informasi dan transfortasi merupakan salah satu
indikator untuk melihat kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat. Fasilitas
tranportasi dan komunikasi ini akan memperlancar mobilitas penduduk Desa–
desa yang bersangkutan. Dengan demikian, Desa-desa tersebut dan terutama Desa
yang letaknya jauh dari pusat keramaian akan mudah menyerap unsur-unsur
85
modernisasi dan inovasi baru secara lebih cepat sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kondisi sosial ekonomi penduduk yang berada di wilayah tersebut.
Adapun kepemilikan sarana informasi responden yang dapat dilihat pada
tabel 4.33.
Tabel 4.33 Kepemilikan Sarana Informasi
No Kepemilikan Sarana Informasi
dan Komunikasi F % 1 TV 43 54 2 Radio 10 12 3 Telepon 12 15 4 HP 15 18
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
Tabel 4.33 menunjukan bahwa 54% responden di Kecamatan Bantarujeg
telah memiliki sarana informasi berupa TV sebagai sarana hiburan mereka dan
12% responden lainya memiliki radio, 18% responden memiliki sarana
komunikasi berupa HP yang biasanya diperlukan untuk mempermudah
komunikasi dengan para petani yang lainya, dan 15% responden telah memiliki
telepon.
Dapat disimpulkan bahwa kepemilikan sarana informasi di daerah
penelitian cukup bagus. Sedangkan mengenai kepemilikan sarana transportasi
responden dapat dilihat pada tabel 4.34.
Tabel 4.34. Kepemilikan Sarana Transportasi
No Sarana Transportasi F % 1 Tidak Memiliki - - 2 Sepeda 3 4 3 Motor 48 60 4 Mobil 29 36
Jumlah 80 100% Sumber: Hasil Penelitian, 2010
86
Tabel 4.34 menunjukan bahwa sebagian besar responden yaitu 60% telah
memiliki sarana transportasi berupa motor, 36% responden memiliki mobil, dan
4% memiliki sepeda. Dapat disimpulkan bahwa kepemilikan sarana transportasi
responden di daerah penelitian telah dalam tahap menyeluruh baik kepemilikan
sarana transportasi baik motor maupun mobil.