BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN...

17
60 BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT ZAITUN TUAPUKAN I. Pendahuluan Kehadiran gedung ibadah yang megah dan bagus tidak saja dipandang sebagai ruang persekutuan yang nyaman dan aman bagi warga gereja, akan tetapi keberadaan gedung ibadah juga merupakan suatu kebanggaan bagi seluruh masyarakat desa Tuapukan. Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun merupakan icon kebanggaan dan sebuah prestasi yang mengangkat nama baik seluruh masyarakat desa Tuapukan meskipun berada di tengah konteks kemiskinan. Desa Tuapuakn merupakan desa yang masih ketinggalan dalam bidang ekonomi. Namun, masyarakat desa Tuapukan dapat dikatakan memiliki potensi dalam diri mereka untuk mencapai perubahan sosial. Salah satu bukti, bahwa masyarakat desa Tuapukan memiliki potensi, yaitu mereka mampu bekerja sama dan berjuang membangun gedung kebaktian walaupun dalam keterbatasan ekonomi. Sikap antusias membangun gedung ibadah adalah peluang bagi seluruh masyarakat desa Tuapukan (dalam hal ini juga warga gereja GMIT Zaitun) untuk menghadirkan transformasi atas realitas sosial seperti kemiskinan. Artinya, gereja memiliki peran dan pengaruh untuk memberikan motivasi serta membangun kesadaran warga gereja dalam melakukan perubahan sosial di desa Tuapukan sebagaimana yang mereka lakukan untuk membangun gedung ibadah yang megah. Masyarakat desa Tuapukan dan warga gereja memiliki potensi untuk memperbaiki kehidupan sosial, dan untuk menggali potensi tersebut maka memerlukan kesadaran dalam diri.

Transcript of BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN...

Page 1: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

60

BAB IV

GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT

JEMAAT ZAITUN TUAPUKAN

I. Pendahuluan

Kehadiran gedung ibadah yang megah dan bagus tidak saja dipandang sebagai

ruang persekutuan yang nyaman dan aman bagi warga gereja, akan tetapi keberadaan

gedung ibadah juga merupakan suatu kebanggaan bagi seluruh masyarakat desa Tuapukan.

Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun merupakan icon kebanggaan dan sebuah prestasi

yang mengangkat nama baik seluruh masyarakat desa Tuapukan meskipun berada di

tengah konteks kemiskinan. Desa Tuapuakn merupakan desa yang masih ketinggalan

dalam bidang ekonomi. Namun, masyarakat desa Tuapukan dapat dikatakan memiliki

potensi dalam diri mereka untuk mencapai perubahan sosial. Salah satu bukti, bahwa

masyarakat desa Tuapukan memiliki potensi, yaitu mereka mampu bekerja sama dan

berjuang membangun gedung kebaktian walaupun dalam keterbatasan ekonomi.

Sikap antusias membangun gedung ibadah adalah peluang bagi seluruh masyarakat

desa Tuapukan (dalam hal ini juga warga gereja GMIT Zaitun) untuk menghadirkan

transformasi atas realitas sosial seperti kemiskinan. Artinya, gereja memiliki peran dan

pengaruh untuk memberikan motivasi serta membangun kesadaran warga gereja dalam

melakukan perubahan sosial di desa Tuapukan sebagaimana yang mereka lakukan untuk

membangun gedung ibadah yang megah. Masyarakat desa Tuapukan dan warga gereja

memiliki potensi untuk memperbaiki kehidupan sosial, dan untuk menggali potensi

tersebut maka memerlukan kesadaran dalam diri.

Page 2: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

61

II. Gedung Ibadah sebagai Wujud Syalom Allah

Pemerintahan desa Tuapukan mencatat, bahwa desa Tuapukan memiliki jumlah

penduduk 2.236 yang termasuk dalam 500 KK (Kepala Keluarga) tergolong miskin, 150

KK penjual gula merah, 130 KK memiliki rumah bebak dan 354 KK menggunakan

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dengan kategori kehidupan masyarakat desa

Tuapukan ini, maka dapat disimpulkan bahwa desa Tuapukan merupakan desa Kristen

yang juga masih tertinggal dalam bidang ekonomi yang mana mengakibatkan adanya

ketinggalan dalam pendidikan, sumber daya manusia yang rendah, dan pengangguran.

Dengan kata lain, adanya persoalan sosial seperti kemiskinan yang merupakan pergumulan

dalam kehidupan masyarakat desa Tuapukan,

Pergumulan masyarakat desa Tuapukan terkait persoalan kemiskinan merupakan

tantangan iman dan pergumulan yang perlu dijawab oleh gereja (dalam hal ini GMIT

Jemaat Zaitun). GMIT Jemaat Zaitun hadir di tengah persoalan sosial seperti kemiskinan,

dan dalam kondisi tersebut maka gereja kembali dipanggil untuk melihat visi dan misi

akan kehadirannya di tengah dunia. Di mana gereja hadir tidak dengan

“ketelanjangannya,” akan tetapi kehadiran gereja dengan tujuan yang ingin dicapai, yakni

sebagaimana yang dinyatakan dalam visi dan misi gereja.

Pesan penting dalam kehidupan bergereja berdasarkan visi dan misi gereja, yaitu

bagaimana gereja dapat berupaya untuk menyatakan Syalom Allah bagi dunia. Syalom

Allah dimaknai sebagai kesanggupan gereja untuk menyatakan kehendak Allah melalui

sikap-sikap konkret dalam hidup bergereja. Untuk mewujudkam visi gereja, yakni hadir di

tengah dunia atas teladan Yesus Kristus, maka GMIT terpanggil untuk melaksanakan misi

pelayanan dalam bidang Koinonia, Marturia, Diakonia, Liturgia, dan Oikonomia. Kelima

bidang yang menjadi bagian penting dalam kehidupan bergereja, karena melalui kelima

bidang ini akan terpancar visi dan misi gereja dalam tindakan yang konkret.

Page 3: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

62

Hal tersebut sebagaimana yang tecatat dalam bab sebelumnya terkait program

pelayanan tahunan yang dilakukan dalam hidup bergereja di GMIT Jemaat Zaitun. Di

mana dalam pelaksanaan pelayanan tahunan, dilakukan berdasarkan kelima bidang yang

diatur sesuai visi dan misi gereja. GMIT Jemaat Zaitun telah menerapkan kehidupan

bergereja berdasarkan kelima bidang dengan baik. Dalam program pelayanan tahunan

disusun sesuai dengan bidangnya masing-masing, dan gereja berupaya untuk mencapai

program pelayanan yang dirancang secara bersama-sama. Namun, pada tahap ini di tengah

fenomena kemiskinan yang dihidupi oleh masyarakat desa Tuapukan, maka gereja kembali

diajak untuk melihat visi dan misi seperti apa yang telah diwujudkan dalam program

pelayanan tahunan berdasarkan pergumulan atas realitas sosial.

GMIT Jemaat Zaitun memiliki anggota gereja yang menghidupi nilai spiritual

begitu tinggi. Artinya, bahwa warga gereja begitu memperhatikan nilai religiositasnya (ke-

iman-annya) dibandingkan dengan kehidupan sosial. Hal tersebut berdampak pada sikap

antusias membangun gedung ibadah meskipun di tengah keterbatasan ekonomi. Gedung

ibadah dianggap sebagai wujud mereka menyampaikan Syalom Allah di tengah dunia,

karena gedung ibadah merupakan ruang yang tepat untuk membangun iman. Kehidupan

yang berpusat pada gedung ibadah dan Yesus Kristus sebagai kepala gereja. Dalam hal ini,

Leonardo Boff menyatakan, bahwa iman yang hidup akan Yesus Kristus mengandaikan

komitmen dan keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk penindasan.1

Dengan kata lain, penegasan Boff tentang iman manusia terhadap Yesus Kristus

bukanlah sebatas bagaimana manusia dapat membangun kehidupan rohani yang semakin

baik, tetapi iman yang hidup adalah bagaimana manusia mampu menyatakan pembebasan

bagi dunia, karena Yesus Kristus adalah pembebas. Mengimani Yesus Kristus, dan

membangun persekutuan dalam rumah Tuhan (baca:gedung ibadah) berarti belajar

1 Leonardo Boff, Yesus Kristus Pembebas (Maumere: LPBAJ, 1999), 15.

Page 4: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

63

meneladani sikap Yesus yang hadir di tengah dunia sebagai penyelamat dan pembebas. Hal

inilah yang masih belum begitu terlihat dalam kehidupan bergereja di GMIT Jemaat

Zaitun. Di mana gereja berupaya untuk mencapai visi dan misi GMIT, akan tetapi tindakan

dan upaya yang dilakukan masih bersifat seremonial dan vertikal. Keyakinan warga gereja

kepada Yesus Kristus Sang pemilik gereja bernilai tinggi, namun sikap dalam kehidupan

sosial masih begitu minim.

Dengan demikian, untuk melihat kembali akan visi dan misi gereja, di tengah

fenomena kemiskinan dan kekhasan desa Tuapukan yang adalah desa Kristen, maka di

sinilah gereja dapat melihat teologi pembebasan sebagai cara memerangi kemiskinan

dalam upaya mewujudkan visi dan misi GMIT yang sebenarnya. Teologi pembebasan

adalah upaya refleksi atas praksis pembebasan kaum miskin dengan cara mengangkat

realitas sosial kaum miskin dalam dialog dengan sabda Tuhan.2 Gereja tidak menjadi

gereja yang hanya bersifat seremonial, tetapi gereja juga perlu memperhatikan kehidupan

sosial atau secara horizontal.

Dalam mewujudkan hal ini maka gereja perlu untuk melakukan teologi

pembebasan. Dalam arti ini, teologi pembebasan merupakan satu corak baru dalam

hermeneutik di mana realitas sosial orang miskin diangkat ke dalam pengertian teologis.3

Artinya, realitas kemiskinan tidak sekadar diterima sebagai sebuah fenomena sosial dan

kultural, melainkan juga dipahami dalam perspektif teologi, yakni kehadiran Allah dalam

realitas itu dan perjuangan kaum miskin akan pembebasan dilihat dalam perspektif realitas

Allah.4 GMIT Jemaat Zaitun masih menerjemahkan visi dan misi GMIT sebatas

kehidupan gerejawi. Artinya, belum ada sikap sosial yang disinggung dan dijadikan

sebagai bagian dalam hidup bergereja. Gedung ibadah dimaknai sebagai rumah Tuhan

2 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik (Salaitiga: Satya Wacana University Press,

2015), 32. 3 Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 33. 4 Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 33.

Page 5: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

64

yang merupakan bagian dari wujudnya Syalom Allah, namun gedung ibadah belum

dimanfaatkan dengan baik dalam memberikan perubahan sosial. Oleh karena itu, pada

bagian ini maka gereja masih memerlukan adanya transformasi pemahaman, sehingga

gereja hadir di tengah dunia dan menyatakan Syalom Allah melalui tindakan-tindakan

konkret yang melibatkan kepedulian serta kepekaan atas realitas sosial.

III. Rumah Tuhan sebagai Ruang Alienasi Sosial

Desa Tuapukan merupakan desa Kristen, dan juga salah satu desa yang tertinggal

dalam bidang ekonomi. Kedua hal yang perlahan-lahan begitu melekat dalam kehidupan

masyarakat desa Tuapukan, dan kedua hal ini juga pada dasarnya saling memiliki keterkaitan

satu dengan yang lain. Sebagaimana yang dikatakan Aloysius Pieris, bahwa upaya teologis

untuk menghadapi agama-agama Asia tanpa memberikan perhatian terhadap aspek

kemiskinan di Asia atau sebaliknya memperhatikan kemiskinan tanpa memberikan perhatian

pada aspek religius, maka hal tersebut akan menjadi sia-sia.5 Keberagaman agama di tengah

konteks kemiskinan, membuat aspek religius dan sosial perlu berjalan secara bersama-sama.

Menurut Pieris, keberagaman agama di Asia merupakan salah satu solusi bagi orang Asia

untuk memberantas kemiskinan.

Masyarakat desa Tuapukan (dalam hal ini warga gereja GMIT Jemaat Zaitun),

memiliki nilai juang untuk membangun kehidupan spiritual yang begitu tinggi. Mereka begitu

menjunjung tinggi nilai religiositas dalam kehidupan mereka dibandingkan aspek sosial.

Kerinduan dan upaya membangun kehidupan rohani yang begitu besar dibandingkan nilai

kehidupan lainnya, maka hal ini yang dikatakan Pieris bahwa akan menjadi sia-sia. Artinya,

bahwa sepatutnya mereka memperhatikan kehidupan secara seimbang dari berbagai aspek.

Nilai spiritual yang tinggi dihidupi sepatutnya dapat berpengaruh dan memberikan dampak

5 Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation (New York: Orbis Books, 1988), 69.

Page 6: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

65

baik dalam memperhatikan persoalan sosial seperti kemiskinan. Begitu juga berdasarkan

realitas sosial maka sepatutnya mempengaruhi kehidupan spiritual warga gereja.

Melihat fenomena kemiskinan di desa Tuapukan, maka kemiskinan yang terjadi

merupakan kemiskinan mutlak. Kemiskinan mutlak, yaitu kebutuhan-kebutuhan pokok yang

primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, kerja yang wajar dan pendidikan dasar

tidak terpenuhi, apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi

atau lingkungan hidup yang menyenangkan.6 Dengan kata lain, kemiskinan multak berarti

kehidupan orang-orang yang merasakan hidup dalam kemelaratan, misalkan seperti kelaparan

dan sumber daya manusia (SDM) yang begitu rendah dikarenakan ketinggalan pendidikan.

Sikap warga gereja dan masyarakat sekitar yang kurang memberikan kepekaan

terhadap persoalan kemiskinan, karena mereka menganut ideologi konservatif sebagaimana

yang diuraikan oleh Banawiratma. Ideologi konservatif menjujung tinggi pengalaman

mengenai struktur sosial.7 Artinya, bahwa setiap nilai yang sudah ditetapkan dalam struktur,

sangat dipegang teguh oleh kaum konservatif. Pada umumnya, kaum konservatif memandang

masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri. Akibatnya mereka tidak

memandang masalah kemiskinan sebagai masalah yang serius, karena mereka merasa bahwa

penyebab kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri.8

Hal tersebut tercermin dalam kehidupan warga gereja dan masyarakat sekitar, baik

dalam lingkup gerejawi maupun sosial. Mereka menilai dan memaknai kemiskinan sebagai

sebuah nasib yang hanya perlu didoakan dan berserah kepada Tuhan. Dalam penyerahan pada

Tuhan, maka bagi warga gereja untuk mengatasi kemiskinan yang diperlukan adalah

kesadaran diri sendiri dan bantuan dari pemerintahan. Gereja tidak dipandang sebagai pemain

6 J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 126.

7 A. Suryawasita, Analisis Sosial dalam Tulisan J. B. Banawiratma, Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 16.

8 A. Suryawasita, Analisis Sosial, 17.

Page 7: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

66

utama dalam penyelesaian persoalan kemiskinan, karena bagi mereka gereja hanyalah

bertugas untuk membangun iman.

Warga gereja GMIT Jemaat Zaitun memiliki sikap antusias untuk membangun

gedung ibadah dengan biaya yang besar meskipun di tengah kondisi ekonomi yang terbatas.

Hal tersebut dilakukan berdasarkan pemahaman mereka yang fundamental tentang gereja.

Pemahaman tentang gereja dan pengalaman spiritual warga gereja mampu mempengaruhi

sikap mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan gedung ibadah. Warga gereja

memaknai gedung ibadah sebagai rumah Tuhan, di mana dalam rumah Tuhan itu mereka

akan mendapatkan kedamaian, kesejahteraan, ketentraman dan mampu mengikat tali

persaudaraan. Melalui rumah Tuhan, maka mereka tidak saja dapat membangun persekutuan

dengan Tuhan tetapi juga dengan sesama, dan di dalamnya mampu membangun iman

mereka. Rumah Tuhan sebagai tempat di mana dapat “mendamaikan” mereka yang di luar

gereja terlihat renggang, dan menenangkan mereka yang di luar gereja memiliki banyak

pergumulan.

Pemaknaan-pemaknaan tersebutlah yang menjadi pengaruh dan peran penting di balik

sikap pembangunan gedung ibadah. Sebagaimana pemahaman gereja yang disampaikan

dalam konsili Vatikan II, yakni gereja dipandang sebagai sakramen yang adalah tanda dan

sarana persatuan mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.9

Gereja sebagai sakramen, yaitu sebagai “ruang” untuk mempersatukan manusia dengan

Tuhan dan dengan sesama. Secara fundamental pemahaman demikian dihidupi oleh warga

gereja bahkan menjadi bagian dalam pengalaman spiritual mereka.

Berdasarkan pemahaman dan pengalaman spiritual inilah, maka adanya nilai juang

untuk membangun rumah Tuhan, karena bagi mereka rumah Tuhan sepatutnya lebih

diutamakan daripada rumah mereka sendiri sebab berkat yang mereka terima juga berasal

9 Tom Jacobs., dkk, Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 25.

Page 8: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

67

dari Tuhan. Di balik memaknai gedung ibadah sebagai rumah Tuhan, ada juga harapan dari

warga gereja atas pembangunan gedung ibadah. Warga gereja bersedia berjuang dan

berpartisipasi membangun gedung ibadah dalam kondisi tidak mendukung, karena mereka

berharap melalui gedung ibadah yang bagus dapat berpengaruh dalam pertumbuhan iman

mereka. Gedung ibadah tidak saja membantu terjadinya pertumbuhan iman warga gereja,

tetapi juga membantu melepaskan mereka dari segala pergumulan hidup yang dihadapi.

Melalui persekutuan yang dibangun, ibadah-ibadah atau puji-pujian yang dilatunkan dalam

gedung ibadah yang bagus, tidak saja meningkatkan nilai religiositas dalam diri warga gereja,

tetapi juga memberi ruang bagi warga gereja untuk terlepas dari tanggung jawab duniawi

meskipun hal tersebut hanya dirasakan dalam waktu satu sampai dua jam.

Fenomena yang terjadi dalam kehidupan bergereja di GMIT Jemaat Zaitun

merupakan suatu fenonema alienasi sosial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx, bahwa

agama (dalam hal ini gereja) merupakan sebuah opium bagi warga gereja (masyarakat), yaitu

kehadiran gereja mampu menghilangkan rasa sakit dan sekaligus menciptakan fantasi.10

Uraian Marx tentang agama sebagai opium bagi masyarakat, menunjukkan bahwa gereja

yang adalah bagian dari agama juga dapat disebut sebagai ruang alienasi sosial.

Pandangan Marx tentang agama sebagai opium terlihat dalam kehidupan warga gereja

GMIT Jemaat Zaitun. Di mana mereka melihat keberadaan gereja sebagai opium yang dapat

menciptakan fantasi, yakni memberikan kedamaian, ketentraman, dan melepaskan mereka

dari pergumulan hidup sehari-hari. Kenyamanan dalam gedung ibadah tentu tidak ada dalam

diri warga gereja secara terus-menerus, tetapi paling tidak hal tersebut selalu didapatkan

ketika berada dalam gedung ibadah. Dengan demikian, hal ini yang dikatakan bahwa gedung

ibadah (baca:rumah Tuhan) secara tidak langsung dibangun untuk menjadi ruang alienasi

sosial dari kehidupan warga gereja dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dalam kondisi

10

Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Qalam: Yogyakarta, 2001), 237.

Page 9: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

68

yang terbatas ataupun tidak, warga gereja tetap berjuang untuk mencapai pembangunan

gedung ibadah yang megah dan bagus.

Warga gereja GMIT Jemaat Zaitun menjadikan gedung ibadah atau rumah Tuhan

sebagai ruang alienasi sosial. Hal tersebut berarti keberadaan gedung ibadah akan semakin

membuat mereka kurang memberikan perhatian pada pesoalan sosial. Warga gereja

menganggap persoalan sosial seperti kemiskinan adalah pergumulan individual, dan untuk

memberikan perubahan sosial atau memberantas kemiskinan adalah semata-semata tugas

pemerintahan. Bagi warga gereja, persoalan kemiskinan bukanlah persoalan bersama dan

juga bukan merupakan tanggung jawab penuh oleh gereja. Adanya pemahaman demikian,

karena warga gereja memahami tanggung jawab gereja hanyalah sebatas persekutuan-

persukutuan yang dibangun, dan perlu upaya untuk terus-menerus meningkatkan nilai

religiositas yang mana dapat membagun iman mereka pada kehidupan sehari-hari.

Keberhasilan membangun gedung ibadah yang megah dipengaruhi oleh pemahaman tentang

gereja yang fundamental. Begitu juga kurangnya perhatian pada persoalan sosial seperti

kemiskinan, karena minimnya pemahaman warga gereja tentang kemiskinan itu sendiri.

Hingga tahap ini, warga gereja lebih menjadikan gedung ibadah sebagai pusat

kehidupan mereka dibandingkan memberikan perhatian pada persoalan kemiskinan di desa

Tuapuakan. Namun, gedung ibadah sebagai pusat kehidupan hanyalah dilihat dan dimaknai

sebagai ruang persekutuan yang sakral. Di mana dalam gedung ibadah, maka yang

dilakukan masih sebatas persekutuan-persekutuan minggu, kegiatan-kegiatan gerejawi

seperti perayaan hari raya gerejawi, tetapi belum bermanfaat dalam melakukan

pemberdayaan yang memberikan perubahan sosial. Gereja hadir di tengah dunia dan dalam

realitas sosial, akan tetapi gereja belum secara sungguh-sunggu ada untuk dunia dalam

menjawab pergumulan dunia yang adalah realitas sosial. Catatan penting yang

disampaikan oleh Andreas A. Yewangoe, yaitu bahwa gereja ada dalam dunia, tetapi tidak

Page 10: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

69

berasal dari dunia.11

Artinya, bahwa gereja dihadirkan di tengah dunia, tetapi gereja bukan

milik dan ciptaan dunia. Hal itu berarti, gereja hadir dalam dunia atau ada dalam dunia

dengan tugas penting yang diembannya, yaitu menyatakan kerajaan Allah bagi dunia.

Dengan kata lain, Yewangoe menegaskan bahwa gereja adalah gereja bagi orang lain.12

Dalam hal ini, gereja tidak hadir untuk diri sendiri melainkan gereja ada dalam dunia bagi

orang lain, bagi mereka yang membutuhkan kehadiran gereja demi mencapai kehidupan

layak, perubahan sosial, dan keadilan.

Pemahaman tersebut yang masih belum begitu dihidupi dengan baik oleh warga

gereja GMIT Jemaat Zaitun. Di mana, dalam kehidupan bergereja maka warga gereja masih

melihat gereja sebagai identitas keagamaan mereka yang benar-benar perlu diperhatikan.

Namun, perhatian yang diberikan hanya sebatas internal, yakni untuk membangun diri sendiri

dan belum secara eksternal seperti uraian di atas bahwa gereja adalah gereja bagi orang lain.

Gereja bagi orang lain, berarti gereja hadir memberikan kepedulian dan kepekaan terhadap

kehidupan sekitar, dan gereja yang mampu membangun kehidupan vertikal (persekutuan

dengan Tuhan) dan horizontal (relasi dalam kehidupan sosial) secara seimbang.

Gereja ada dan hidup (bereksistensi) tidak dalam suatu ruang yang kosong, melainkan

gereja hadir dalam suatu konteks kehidupan masyarakat tertentu secara nyata.13

Sebagaimana

yang digaribawahi oleh Yinger, bahwa agama yang sempurna bagaimanapun tetap harus

berupa fenomena sosial.14

Agama harus bisa diidentifikasi sebagai kenyataan penting, bahwa

keyakinan yang ada di dalamnya juga memiliki dampak pada asosiasi manusia.15

Dengan

kata lain, keberadaan agama perlu memberikan dampak baik dalam kehidupan manusia, dan

11

Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto “gereja di dalam dunia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 3.

12 Yewangoe, Tidak Ada Ghetto, 4.

13 Daniel Numahara., dkk, Di dalam Dunia tetapi Tidak dari Dunia (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,

2004), 148. 14

Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi: Religiositas Sipil di Indonesia (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), 86.

15 Kholiludin, Pancasila dan Transformasi, 86.

Page 11: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

70

salah satu peran yang perlu diperlihatkan oleh agama, yaitu ada dalam lingkup fenomena

sosial.

IV. Hakekat Hubungan Persekutuan dan Ketaatan Gereja Kepada Kristus

Pemahaman fundamental tentang gereja yang dihidupi oleh warga gereja GMIT

Jemaat Zaitun, menghadirkan hubungan persekutuan yang terlihat erat antara manusia

(warga gereja) dengan Tuhan ketika berada dalam gedung ibadah. Selain adanya nilai

persekutuan yang erat, ada juga sikap ketaatan gereja kepada Kristus Sang kepala gereja.

Sebagaimana yang dipahami oleh Gerrit Singgih tentang gereja, yakni sebagai tubuh

Kristus. Gereja sebagai tubuh Kristus berarti kita (umatNya) adalah bagian tubuh dan tidak

pernah bisa terlepas dari tubuh.16

Ada ikatan yang kuat antara manusia dengan Tuhan dan

manusia dengan sesamanya.

Pemahaman gereja sebagai tubuh Kristus ini terlihat dalam kehidupan bergereja

GMIT Jemaat Zaitun. Sikap antusias membangun gedung ibadah karena gedung ibadah

dimaknai sebagai rumah Tuhan yang sakral, dan tidak sebatas itu. Persekutuan dan

ketaatan gereja kepada Kristus menghadirkan semangat juang membangun gedung ibadah

meskipun di tengah konteks kemiskinan, karena gedung ibadah dipandang sebagai ruang

yang mampu memberikan ikatan erat antara Tuhan dengan manusia, dan manusia dengan

sesama.

Ada beberapa hal yang menjadi dasar pembentukan persekutuan dan ketaatan

gereja kepada Kristus, yaitu dimensi sosial-teologis, dimensi spiritual, gereja sebagai

rumah Tuhan dan sebuah persembahan syukur, dan juga gereja sebagai pusat kehidupan

bergereja. Dalam dimensi sosial-teologis, maka warga gereja memandang kehadiran

gedung ibadah tidak saja sebagai ruang persekutuan, tetapi juga bermanfaat untuk kegiatan

16 Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka

Kristen, 1997), 8.

Page 12: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

71

lainnya seperti pemberdayaan. Namun, hal tersebut dapat dilaksanakan bila kegiatan yang

dilakukan juga mendukung pembangunan kerohanian warga gereja. Ada hal yang dikritisi

oleh Gutierrez dalam berteologi, yakni gereja seringkali hanya menangani hal-hal religius,

sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah masalah negara (dunia).17

Kemiskinan dianggap sebagai masalah profan yang tidak merupakan bagian dari

kehidupan beragama, sehingga seringkali kemiskinan dianggap sebagai sebuah tanggung

jawab negara (pemerintah) bukan gereja.18

Kekritisan yang diberikan oleh Gutierrez

kembali mengajak warga gereja GMIT Zaitun untuk melihat dasar dimensi sosial-teologis

sebagai pembentukan persekutuan mereka dengan Tuhan. Artinya, bahwa warga gereja

pada dasarnya memiliki kerinduan untuk memberikan nilai lain atas pemanfaatan gedung

ibadah, yakni adanya pemberdayaan yang berdampak pada pembebasan. Namun, ruang

pembebasan yang diberikan masih terlihat dengan nilai religositas yang begitu tinggi.

Sebagaimana yang berulang kali ditekankan oleh informan dalam penelitian, bahwa

mereka setuju dan bersepakat untuk menjadikan gedung ibadah sebagai ruang

pemberdayaan, tetapi yang harus diingat ialah tidak terlepas dari pembangunan iman

warga gereja. Tujuan penting yang diharapkan dari gedung ibadah adalah sebagai ruang

pertumbuhan iman warga gereja. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa ada

kerinduan dalam diri warga gereja untuk melakukan perubahan melalui gedung ibadah,

akan tetapi suatu perubahan yang masih bersifat internal.

Hal tersebut sebagai gambaran kehidupan bergereja, di mana adanya dimensi

spiritual yang begitu berpengaruh dalam diri warga gereja. Warga gereja melihat betapa

pentingnya membangun persekutuan dengan Tuhan, karena melalui persekutuan itulah

mereka dapat menemukan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Hal

itulah yang membuat warga gereja menghadirkan sikap juang membangun gedung ibadah

17

Marthin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Kanisius 2002), 19. 18 Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, 19.

Page 13: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

72

dan menjadikan gedung ibadah sebagai pusat kehidupan dari segala aspek kehidupan

mereka. Gedung ibadah dijadikan sebagai pusat kehidupan, karena di dalam gedung ibadah

dapat melepaskan mereka dari kenyataan hidup yang membuat mereka terbelenggu dalam

ketidaknyamanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx, bahwa gereja hanya sebagai

opium, sebagai ruang yang memberikan kenyamanan meski itu hanya sesaat.

V. Gereja di Tahap Prakondisi Lepas Landas

Pada prinsipnya, warga gereja GMIT Jemaat Zaitun memiliki motivasi dan potensi

untuk melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, motivasi dan

potensi itu perlu kembali digali dan membutuhkan dorongan dari luar atau secara eksternal.

Proses pembangunan gedung ibadah merupakan pergumulan besar yang digumuli oleh

pendeta jemaat dan panitia pembangunan. Pergumulan besar yang dihadapi, yaitu mereka

harus berjuang untuk memotivasi dan membangun kesadaran warga gereja agar bersepakat

dan berjuang bersama untuk membangun gedung ibadah dengan estimasi biaya dan

perencanaan pembangunan yang akan dilakukan. Di mana, pada awalnya warga gereja

tidak setuju dengan adanya pembangunan gedung ibadah karena bagi mereka estimasi

biaya yang dibuat tidak akan mampu dicapai, dan mereka merasa tidak sanggup

membangun gedung ibadah yang megah sebagaimana saat ini telah berdiri dengan indah.

Kekhwatiran dan keraguan warga gereja merupakan kelemahan bagi pendeta jemaat dan

panitia pembangunan untuk melangkah maju dalam pembangunan gedung ibadah.

Namun, karena perjuangan memotivasi warga jemaat terus-menerus dilakukan,

maka pada akhirnya mereka mampu membangun gedung ibadah dengan megah

sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Fenomena pembangunan gedung ibadah GMIT

Jemaat Zaitun menunjukkan, bahwa pada dasarnya warga gereja (dalam hal ini juga

Page 14: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

73

masyarakat desa Tuapukan) dapat mewujudkan perubahan dalam kehidupan mereka.

Namun, perubahan itu akan terjadi bila ada dorongan dan motivasi secara eksternal.

Melihat minimnya kesadaran dalam diri warga gereja untuk memberikan

perubahan sosial dalam kehidupan mereka, maka dalam hal ini gereja dapat hadir untuk

memahami bagaimana kehidupan sosial dan religius secara utuh dijalani oleh warga

gerejanya. Gereja juga perlu melihat bagaimana pemahaman warga gereja tentang persoalan

sosial yang sebernarnya adalah realitas sosial di tengah kehidupan mereka. Ada lima tahap

pembangunan yang digunakan oleh W. W. Rostow untuk “mengukur” serta meninjau tahap

perkembangan masyarakat dalam kehidupannya.

Lima tahap pembangunan yang dimaksud oleh Rostow. Pertama, Masyarakat

Tradisional; dalam tahap ini masyarakat belum begitu menguasai ilmu pengetahuan yang

ada, sehingga manusia hanya tunduk kepada alam, dan mengikuti arus kehidupan yang ada.19

Kedua, Prakondisi untuk Lepas Landas; pada tahap ini masyarakat sudah lebih bergerak

daripada masyarakat tradisional, namun untuk mengalami perubahan dan perkembangan

tahap ini membutuhkan dorongan dan bantuan secara eksternal.20

Artinya, untuk lepas dari

kehidupan masyarakat tradisional, maka masyarakat tidak dapat mengubah dirinya sendiri.

Ketiga, Lepas landas; pada tahap ini telah ada perkembangan lebih maju dari tahap

sebelumnya.21

Dalam tahap ini, masyarakat sudah dapat mengendalikan hambatan-

hambatan yang ada dan masyarakat sudah memiliki investasi serta tabungan. Keeempat,

Bergerak ke kedewasaan; industri berkembang dengan pesat. Untuk itu, pada tahap ini

mengalami peningkatan pesat dari tahap-tahap sebelumnya.22

Kelima, Jaman Konsumsi

masal yang tinggi; karena kenaikan pendapatan masyarakat, maka konsumsi tidak lagi

terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih

19 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996). 26. 20 Budiman, Teori Pembangunan, 26 21

Budiman, Teori Pembangunan, 27. 22 Budiman, Teori Pembangunan, 28.

Page 15: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

74

tinggi.23

Pada tahap ini nilai produksi dan konsusmi semakin tinggi, dan perkembangan

ekonomi mulai terlihat. Sebagaimana uraian Rostow terkait lima tahap pembangunan yang

dideskripsikannya, maka GMIT Jemaat Zaitun dapat digolongkan dalam tahap prakondisi

untuk lepas landas. Artinya, untuk melakukan perubahan sosial, maka warga gereja

(masyarakat desa Tuapukan) tidak dapat berjuang dan berjalan sendiri. Untuk itu, mereka

membutuhkan fasilitator sebagai motivasi dan dorongan secara eksternal.

Masyarakat desa Tuapukan tidak bisa melakukan perubahan melalui dirinya

sendiri. Oleh karena itu mereka membutuhkan gereja sebagai fasilitator yang hadir di

tengah kehidupan sosial mereka. Dengan demikian, gereja yang ada di dunia adalah gereja

bagi orang lain, yakni dapat berfungsi di tengah kehidupan desa Tuapukan. Melalui tahap

ini maka gereja dapat memerankan tugasnya sebagai fasilitator untuk membangun

kesadaran masyarakat desa Tuapukan, memberikan motivasi dan dorongan untuk

mewujudkan perubahan sosial seperti menanggulangi persoalan kemiskinan.

IV. Sistem Tu’u Sebagai Upaya Perubahan Sosial

Desa Tuapukan dan GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan mencatat memiliki penduduk

dan warga jemaat yang kurang lebih 90% adalah Suku Rote. Kebudayaan Rote yang

mengental dihidupi di Desa Tuapukan, maka tidak heran bila dalam kehidupan bergereja

juga terlihat jelas adanya unsur-unsur etnis Rote yang selalu digunakan dalam kehidupan

bergereja. Ada beberapa unsur etnis Rote yang digunakan dalam kehidupan bergereja,

yaitu sistem Tu’u yang adalah salah satu adat Suku Rote yang biasanya dilaksanakan

ketika akan merayakan pesta pernikahan. Sistem Tu’u ini juga digunakan gereja dalam

rangka pembangunan gedung ibadah. Sistem Tu’u tidak saja mampu menggerakkan

masyarakat desa Tuapukan (dalam hal ini warga gereja) untuk mengumpulkan dana demi

23 Budiman, Teori Pembangunan, 28.

Page 16: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

75

membangung gedung ibadah, tetapi juga memberikan nilai kesatuan yang dapat

menyatukan mereka dalam satu tanggung jawab untuk berjuang menyelesaikan

pembangunan gedung ibadah.

Selain sistem Tu’u dijadikan sebagai sarana pengumpulan dana pembangunan

gedung ibadah, arsitektur gedung ibadah juga menggunakn unsur budaya Rote, yaitu

menara topi Ti’i langga24

, dan juga di bawah lingkaran Ti’i langga ada tenunan Suku Rote

yang digunakan sebagai simbol identitas orang Rote. Kedua simbol yang digunakan dan

kebudayaan orang Rote yang dilaksanakan dalam kehidupan bergereja menunjukkan,

bahwa kebudayaan Rote memiliki peran penting dalam hidup bergereja dan begitu kental

dihidupi. Melihat keberadaan etnis Rote yang begitu besar mengambil bagian dalam

kehidupan bergereja, maka untuk mencapai perubahan sosial (dalam hal ini gereja)

memiliki potensi yang baik melalui apa yang telah mereka bangun dalam mewujudkan

gedung ibadah yang megah. Artinya, bahwa untuk mencapai perubahan sosial atau

memberikan solusi bagi masyarakat desa Tuapukan terhadap persoalan sosial, maka gereja

hadir sebagaimana mulanya gereja memotivasi warga jemaat untuk berjuang membangun

gedung ibadah melalui keberadaan mayoritas (baca: budaya Suku Rote).

Sistem Tu’u yang dibangun untuk mengumpulkan dana pembangunan kini dapat

dialihkan untuk menjadi ruang perubahan sosial dalam memerangi kemiskinan di desa

Tuapukan. Begitu juga dengan nilai juang panitia pembangunan yang telah berhasil

memotivasi anggota jemaat untuk membangun gedung ibadah meskipun di tengah

ketebatasan ekonomi. Kepanitian dapat terus menjalankan tugas membangun kesadaran

warga gereja dan juga masyarakat desa Tuapukan secara keseluruhan untuk merespon

persoalan kemiskinan yang adalah realitas sosial. Dengan begitu, segala motivasi dan

24

Ti’i langga adalah topi tradisional suku Rote. Topi ini juga biasa digunakan dalam acara-acara adat Rote dan juga merupakan salah satu simbol identitas orang rote.

Page 17: BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/4/T2_752015027_BAB IV... · GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT JEMAAT

76

potensi yang justru lahir dari diri masyarakat Tuapukan dapat diimplementasikan lewat

pencapaian perubahan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan desa Tuapukan.

V. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan dan diuraikan di atas, maka terlihat

bahwa GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan membangun kehidupan bergereja dengan nilai

spiritual yang lebih daripada aspek sosial. Artinya, bahwa warga gereja melihat persoalan

sosial sebagai pergumulan masyarakat desa Tuapukan, akan tetapi tidak dijadikan sebagai

pergumulan bersama yang juga adalah tugas gereja. Gereja menghadirkan aspek religiositas

yang berpengaruh dalam kehidupan anggota jemaat. Hal ini tidak saja berpengaruh dalam

kehidupan bergereja tetapi juga kehidupan sosial.

Gedung gereja yang megah dan besar serta biaya pembangunan yang mahal, berhasil

dicapai oleh anggota jemaat meskipun dalam keterbatasan ekonomi atau di tengah fenomena

kemiskinan. Ada sikap antusias dalam pembangunan gedung ibadah berdasarkan aspek

spiritual yang melekat dalam diri anggota jemaat. Nilai religiositas yang tinggi daripada nilai

sosial, membuat gereja lebih berfokus pada pembangunan gedung ibadah daripada

pembangunan jemaat atau pemberdayaan masyarakat sekitar. Dengan demikian, perjalanan

hidup bergereja di GMIT Jemaat Zaitun hingga saat ini masih hanya sebatas kegiatan-

kegiatan gerejawi yang bersifat pembangunan iman warga gereja. Sebagaimana data

penelitian dan uraian di atas, maka jelas dapat dikatakan bahwa keberadaan gedung ibadah di

tengah kehidupan bergereja GMIT Jemaat Zaitun merupakan ruang alienasi sosial.