BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN DAKWAH AHMAD...
Transcript of BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN DAKWAH AHMAD...
72
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN DAKWAH AHMAD HASSAN
TENTANG PROBLEMA SOSIAL KEAGAMAAN DITINJAU
DARI TEORI PROBLEMA SOSIAL KEAGAMAAN YANG
ADA 4.1. Pokok-Pokok Pemikiran Dakwah Ahmad Hassan tentang Problema
Sosial Keagamaan
Dalam fase pencarian bentuk bagi politik Indonesia pada dua dekade
seputar kemerdekaan, A. Hassan telah secara aktif ikut serta dalam dialog
terbuka antar berbagai arus pemikiran yang hidup di masyarakat. Hal ini
bisa terlihat dalam tulisan-tulisannya, antara lain, Islam dan Paham
Kebangsaan (1941). Dalam buku itu A. Hassan menggambarkan bagaimana
sikap Islam terhadap politik khususnya di Indonesia, dan dengan semangat
demokratis mengemukakan apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah.
Membaca tulisan-tulisan itu, sama sekali tidak menemukan paham
fanatisme, suatu kesan yang biasanya hanya diperoleh oleh mereka yang
tidak paham cara berpikir kesejarahan, dan tidak mengetahui nilai perbedaan
pemikiran dalam menemukan apa yang selanjutnya dipandang baik dan
benar.
Ahmad Hassan dalam menyusun buku: Islam dan Kebangsan
melalui pergolakan pikirannya yang melihat kondisi Indonesia dan tokoh
Soekarno cenderung sekuler dan terlalu menitik beratkan nasionalisme
73
sehingga kebangsaan dianggap sebagai dasar yang tertinggi dan yang
lainnya seperti agama khususnya Islam tidak boleh ikut campur dalam
urusan negara. Dari sini A. Hassan menyusun buku Islam dan Kebangsaan.
Buku ini disusun sebagai hasil debat dan polemis dengan Soekarno. Dari
sini pula tampak corak buku tersebut yaitu hasil dari:
Pertama, debater. Dalam hal ini beliau mempertahankan
pendapatnya dengan menggunakan jalan debat secara terbuka dan tertutup.
Terbuka ia lakukan manakala persoalannya sudah menyangkut kepentingan
orang banyak. Misalnya dalam menggulirkan gagasan negara Islam. Ia
mengajak debat terbuka dengan Soekarno. Dalam pandangannya bahwa
debat merupakan bentuk tukar pikiran dan pembahasan mengenai suatu hal
dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-
masing. Bagi Ahmad Hassan, debat bisa menghasilkan sebuah kesepakatan
bila tidak bermuatan kepentingan pribadi melainkan kembali kepada dasar
al-Qur'an dan hadis. Tertutup, apabila masalahnya hanya bersifat pribadi
yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan orang banyak.
Kedua, polemis. Metode ini dimanfaatkan olehnya dalam perdebatan
mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka di media massa.
Hal ini kemudian ia tuangkan secara sistematis dalam buku yang berjudul:
Islam dan Kebangsaan.
Ketiga, sic et non. Metode ini bersifat dialogis. Ia gunakan dalam
bentuk dialog atau tanya jawab, dan lazimnya ia gunakan ketika membahas
masalah masail fiqhiyyah. Metode ini misalnya ia wujudkan dalam bentuk
74
buku-bukunya antara lain: Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama,
Bandung: CV.Diponegoro, 2003; At-Tauhid, Bandung: CV.Diponegoro,
1987
Dengan melihat tulisan-tulisan Ahmad Hassan, akan bisa menangkap
apa yang sesungguhnya ia cita-citakan bagi masyarakat Indonesia. Ahmad
Hassan dalam buku Islam dan Kebangsaan menginginkan agar umat Islam
melaksanakan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan semurni-
murninya, baik dalam tingkat individu, keluarga/masyarakat/dan negara.
Pelaksanaannya harus didasarkan pada pemahaman yang benar menurut
nas-nas Al-Qur'an dan Sunnah, serta pengingkaran semua hal yang berbau
bid'ah dan khurafat. Untuk mencapai itu umat Islam harus melakukan
ijtihad, atau sekurang-kurangnya ittiba, dan menjauhi taklid, suatu penyakit
yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Kerangka berpikir di atas oleh
A. Hassan disebut "mengikuti jejak salaf", jajaran generasi-yang terdekat
baik secara waktu maupun ajaran dengan Nabi Muhammad saw.
Hal-hal seperti tersebut di atas tampaknya merupakan tema yang
selalu berulang-ulang sepanjang sejarah Islam setelah terjadinya kontak
antara ajaran Islam dengan berbagai pemikiran asing yang mengakibatkan
kaburnya ajaran otentik Islam. Seperti diakui oleh Persis sendiri dalam
Mukaddimah Qanun Asasi (anggaran dasarnya), bahwa kondisi semacam itu
senantiasa memunculkan mujaddid, seperti telah ditegaskan oleh Nabi
Muhammad saw, pada awal setiap abad. Tema-tema ishlah atau tajdid,
misalnya bisa ditemukan dalam kebanyakan pemikir Hambali, Muhammad
75
'Abduh (w. 1905) dan Rasyid Ridha (w. 1935). Tetapi perlu disadari bahwa
arus pemikiran Islam itu terus bergerak secara kumulatif dari sumber yang
sama, Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi situasi dan tantangan yang berbeda akan
memerlukan respon dengan penekanan yang berbeda. Di situlah terlihat jasa
A. Hassan dalam bangunan pemikiran Islam di Indonesia.
Untuk melihat secara jelas ketajaman dan tekanan simbol-simbolnya,
pemikiran A. Hasan dalam bukunya Islam dan Kebangsaan perlu diletakkan
dalam konteks kesejarahan pada awal abad ke-20. Kemajuan sikap dan
pemikirannya telah mendorong umat Islam untuk meninjau kembali setiap
adat dan kebiasaan yang selama ini dianggap mapan dan tidak perlu
dipertanyakan lagi seperti yang dianut oleh "kaum tradisionalis". Umat
Islam telah ditantang untuk berpikir kritis dengan kritik-kritiknya yang
tajam terhadap setiap tindakan dan pemikiran yang tidak bersumber dari
ajaran agama. Tantangan A. Hassan untuk berpikir kritis itu bukan berarti
mengajak orang untuk anti-dogma, dan bahkan dengan tajam dalam
bukunya itu ia mengkritik orang-orang sekuler, yang diwakili oleh
penganjur "paham kebangsaan".
Salah satu kesalahpahaman yang dikritik secara tajam oleh A.
Hassan dalam bukunya Islam dan Kebangsaan ialah ide sekuler dalam
hubungan antara Islam dan paham kebangsaan (nasionalisme). Setelah
berkembang pada abad ke-18 di Eropa Barat, paham kebangsaan itu baru
masuk ke Indonesia pada abad ke-20, yang ditandai dengan munculnya ide
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atas dasar ideologi "asli". Ada
76
kecenderungan bahwa ideologi "asli" itu dimaksudkan untuk menolak apa
saja yang berbau "asing" termasuk memisahkan kehidupan politik dari asas-
asas agama.
Polemik mengenai ideologi ini telah melibatkan sejumlah tokoh
dengan pendapat yang berbeda-beda. Terhadap lawan pahamnya, seperti
Soekarno dan Soetomo, A. Hassan melancarkan kritiknya secara tajam, ia
menyatakan dalam bukunya Islam dan Kebangsaan bahwa paham
kebangsaan seperti yang dipahami oleh mereka itu adalah sama dengan
'ashabiyyah, fanatisme kesukuan, suatu semangat solidaritas yang ditentang
oleh Islam.
Kritik seperti itu dilakukan oleh A. Hassan dengan cara yang tajam
dan terbuka terhadap siapa saja yang dianggap salah, termasuk terhadap
mereka yang secara pribadi maupun aspirasi dekat dengannya. la pernah
mengkritik Hasbi ash-Shiddiqie karena soal "jabat tangan", Umar Hubaisy
dan Bey Arifin soal madzhab, dan juga Hamka tentang paham kebangsaan.
Semua kritik itu dilakukan dengan tajam sekali, sehingga kadang-kadang
menimbulkan kesan kebencian. Kesan tersebut sebenarnya tidak tepat,
karena kejujuran dan keikhlasanlah yang menyebabkan kritik itu pedas,
bahkan terkadang kelewat pedas menurut ukuran perasaan "Jawa". Orang
sering terkejut bahwa A. Hassan yang keras dalam kritik itu adalah A.
Hassan yang lemah-lembut dalam pergaulan.
Di samping sebagai kritikus, A. Hassan juga dikenal sebagai seorang
polemis dan debater. Polemik dan debat digunakan sebagai senjata untuk
77
mematahkan paham lawannya, dan membuktikan kebenaran pahamnya
sendiri. Dalam hal seperti itu, pendengar atau pembaca diharapkan dengan
mudah memahami mengapa sesuatu faham itu salah atau benar/berdasar
kaidah agama atau logika. Misalnya dalam perdebatan dengan Wahhab
Hasbullah, orang ditantang untuk memilih kebenaran, setelah tahu alasan
diperbolehkan atau diharamkan taklid. Begitu juga dalam polemik dengan
Hussein al-Habsyi tentang soal mazhab. Menurut A. Hassan, bermadzhab
sama dengan bertaklid, dan haram hukumnya menurut agama. Selama
hidupnya A. Hassan telah melakukan beberapa perdebatan dengan pendeta-
pendeta Kristen, tokoh-tokoh Ahmadiyah, golongan ateis, Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI) dan ulama tradisional.
Ahmad Hassan dalam bukunya" Islam dan Kebangsaan"
mengungkapkan beberapa problema sosial. Buku ini berisi tiga hal yang
sangat menarik untuk diungkap yaitu pertama, masalah kemerdekaan
beragama dalam menegakkan hukum Islam; kedua, makna kebangsaan;
ketiga, ajaran Islam sebagai dasar kehidupan
4.1.1. Kemerdekaan Beragama dalam Menegakkan Hukum Islam
Sebagaimana telah diutarakan dalam bab tiga skripsi ini, bahwa
dalam pandangan A.Hassan bahwa di Indonesia sudah ada kemerdekaan
beragama tapi hanya sebatas kebebasan dalam menjalankan ibadah ritual
juga hanya sebatas penegakan hukum nikah, talak dan ruju. Sedangkan
penegakan hukum Islam dalam arti keseluruhan yang meliputi di
78
dalamnya masalah hukum pidana belum mendapat kebebasan. Yang ada
justru hukum warisan kolonial Belanda.
Apa yang diungkapkan oleh A.Hassan ini ia tujukan pada masa
pemerintahan Soekarno. Karena di dalam buku Islam dan Kebangsaan
itu terdapat di dalamnya sekilas polemik antara A.Hassan dengan
Soekarno.
Dengan memperhatikan pemikiran A. Hassan tersebut, menurut
analisis penulis bahwa sebetulnya di Indonesia bisa saja ditegakkan
hukum Islam. Namun demikian untuk bisa berlaku tidak cukup lewat
kekuasaan seorang kepala negara semata pada waktu itu yang menjadi
presiden Soekarno. Jika memang rakyat Indonesia menghendaki
penegakan hukum Islam maka hal itu hanya bisa diwujudkan bila wakil-
wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif mengajukan usul
pemberlakuan hukum Islam. Jadi pendapat A.Hassan tentang tidak
adanya kebebasan di Indonesia dalam menegakkan hukum Islam kurang
tepat.
Meskipun Soekarno termasuk presiden yang lebih banyak
terpengaruh dengan konsep dan teori Barat atau buku-buku orientalis
dan terpengaruh pula dengan sistem pemerintahan Turki di bawah
pimpinan Kemal Attaturk sebagaimana tuduhan A.Hassan, namun hal
itu tidak berarti Soekarno bisa menghitam putihkan pelaksanaan hukum
di indonesia. Undang-undang bukan hasil seorang presiden semata
melainkan produk dari lembaga eksekutif dan legislatif.
79
Dalam perspektif A.Hassan bahwa tidak tegaknya hukum Islam
di Indonesia merupakan problema sosial keagamaan. Dalam hal ini
penulis berpendapat bahwa hal itu ada benarnya karena pada waktu itu
banyak umat Islam yang suara-suaranya dimatikan oleh soekarno seperti
dipenjara dan dituduh anti revolusi. Kondisi ini mendorong A.Hasan
membuat kesimpulan sebagai masalah besar yang harus dijernihkan.
Menurut analisis penulis bahwa keinginan A.Hassan untuk
memberlakukan hukum Islam di Indonesia menunjukkan bahwa ia
menginginkan pemberlakuan hukum Islam dituangkan dalam konstitusi
negara. Keinginan ini menunjukkan bahwa hukum Islam harus dilegal
formalkan.
Menurut analisis penulis, hukum Islam tidak perlu dimasukkan
secara legal formal dalam konstitusi, yang penting nilai–nilai hukum
Islam dijalankan, artinya yang berlaku boleh saja dengan nama hukum
ciptaan manusia tapi yang penting substansinya tidak bertentangan
dengan dasar-dasar atau prinsip-prinsip al-Qur'an dan hadis.
Bagaimana pun juga pemaksaan penegakan hukum Islam di
Indonesia akan berimplikasi terhadap agama lain. Tentunya penganut
non Islam akan keberatan dengan pemberlakuan tersebut dan dianggap
sebagai bentuk diskriminasi dalam bernegara. Masalah lain yang muncul
bahwa penulis melihat hukum Islam pun masih berbenturan pada level
perbedaan pendapat yang terkotak-kotak dalam mazhab yaitu ada
mazhab Syafi'i Hanafi, Maliki dan Hambali. Jadi ketika hukum Islam
80
ditegakkan ini pun akan mengundang perdebatan yaitu mazhab mana
yang dipakai bagi yang pro Syafi'i tentu akan menganggap tidak benar
pendapat mazhab lain dan ini bisa terjadi di kalangan fanatik mazhab.
Implikasinya akan membuka peluang perpecahan antara sesama umat
Islam. Berbeda halnya bila hanya menyangkut masalah hukum perdata
maka hal ini boleh saja masuk dalam bentuk undang-undang, tapi jika
menyangkut hukum publik misalnya hukum pidana maka penjatuhan
sanksi hukum berupa perampasan kemerdekaan seseorang atau sanksi
yang ditujukan pada fisiknya si terpidana maka ini akan mengundang
pro kontra yang luar biasa seperti soal qisas, hudud, diyat, jilid, rajam
dan sebagainya.
Namun sebagai sebuah pesan dakwah, bahwa keinginan
A.Hassan patut diapresiasi karena hal itu menjadi indikasi bahwa ia
merasa berkewajiban menyampaikan hukum Allah. Tapi ketika
pendapatnya digulirkan dalam ruang lingkup negara maka hal ini perlu
dipertimbangkan lebih dalam. Terutama menyangkut aspek kesatuan
bangsa yang bersifat majemuk.
4.1.2. Makna Kebangsaan
Istilah kebangsaan yang dipergunakan oleh para pemimpin
Indonesia di tahun dua puluhan dan permulaan tiga puluhan mempunyai
arti chauvinisme, netral agama dan bahkan anti Islam.
Paham nasionalisme netral agama ini, secara agak berhasil, telah
diperkenalkan dan disebarkan oleh Ir. Soekarno dan kawan-kawan di
81
sekitar tahun dua puluhan. Salah satu faktor yang mempermudah
Soekarno menyebarkan paham tersebut adalah karena, pada waktu itu,
banyak orang Islam bersekolah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
Belanda dan pendidikan Belanda ini telah berhasil memisahkan
golongan terpelajar Muslim dari agama mereka.
Persis (Persatuan Islam), sebagai salah satu organisasi Islam
pada masa itu dengan diwakili oleh dua orang tokoh terkemukanya, A.
Hassan dan M. Natsir, beranggapan bahwa paham ini sangat
membahayakan kehidupan beragama pada umumnya dan Islam pada
khususnya. Oleh karena itu paham ini tidak boleh terus meluas dan
harus ditanggapi secara serius. Maka tampillah mereka, bersama-sama
dengan penulis-penulis lainnya, menurunkan artikel-artikel bersambung
di berbagai media massa pada waktu itu, di antaranya melalui majalah
Islam terkenal "Pembela Islam".
Dalam tulisan-tulisannya, Natsir yang menggunakan nama
samaran A. Muchlis itu banyak membicarakan perkembangan
Nasionalisme Indonesia, dan mulai timbulnya paham ini dengan
mengambil kesimpulan tentang Nasionalisme itu dari pandangan dan
pernyataan para pemimpin kalangan kebangsaan. Adapun A. Hassan
mendasarkan pendapatnya pada pengertian Nasionalisme, yang
menurutnya bahwa paham "kebangsaan" adalah sama dengan pengertian
'ashabiyah di zaman Jahiliyah. Sedangkan menurut beberapa Hadis
bahwa orang yang menyerukan 'ashabiyah, berperang karena 'ashabiyah
82
dan berjuang dengan dasar atau asas 'ashabiyah adalah tidak termasuk
golongan ummat Muhammad Saw. Maka A. Hassan menyimpulkan
bahwa Nasionalisme atau paham kebangsaan bertentangan dengan
Islam.
Satu-satunya asas perjuangan kaum Muslimin adalah Islam itu
sendiri. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia asas Islam telah
terbukti dapat membangkitkan rasa persatuan dan semangat juang yang
militan. Pada masa itulah Partai Sarekat Islam dan Muhammadiyah telah
memiliki anggota ratusan ribu, mempunyai cabang di seluruh tanah air,
dan sebagai dikatakan Natsir: "Pergerakan Islamlah yang lebih dulu
membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-
mula menanam bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat
kepulauan dan kepropinsian, yang mula-mula menanam persaudaraan
dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali ke-
Islaman.
A. Hassan berpendapat bahwa paham kebangsaan telah
memisahkan kaum Muslimin Indonesia dari saudara-saudara mereka di
luar Indonesia, sedang menurut al-Qur'an semua muslimin itu
bersaudara. Ia juga berkesimpulan bahwa memasuki partai kebangsaan
berarti dosa, karena partai yang berasaskan kebangsaan sudah tentu
tidak akan menjalankan hukum Islam dan orang yang tidak
menggunakan dengan hukum Islam adalah fasiq, zhalim atau kafir.
83
Pendapat dan pikirannya ini didasarkan pada ayat-ayat Qur'an dan
Hadis-hadis yang ia pahami.
Pengertian Islam yang merupakan bagian kedua dari buku ini
adalah tangkisan A. Hassan terhadap tulisan Ir. Soekarno "Memudakan
Pengertian Islam" yang dimuat berturut-turut dalam majalah Panji Islam
nomer 12 — 16 tahun 1940. Tulisan Soekarno ini telah pula disatukan
dengan karangan-karangan lainnya dalam buku Dibawah Bendera
Revolusi I, halaman 369 — 402.
A. Hassan berkesimpulan bahwa tulisan Soekarno dengan judul
tersebut bukanlah memudakan atau menyegarkan pengertian Islam
sebagai yang dikandung oleh judul "Me-muda-kan Pengertian Islam"
akan tetapi justru merendahkan dan memutar-balikkan ajaran Islam.
Oleh karena itulah maka tangkisan A. Hassan itu diberi judul
"Membudakkan Pengertian Islam", yang terdengar ada persamaan bunyi
dengan judul karangan Soekarno tersebut.
Dalam menulis bantahannya, A. Hassan yang untuk artikel
bersambung itu menggunakan nama samaran MS, banyak menggunakan
kata atau kalimat-kalimat kasar yang sebenarnya merupakan kata dan
kalimat-kalimat yang dipergunakan oleh Soekarno dalam mengecam
golongan Islam. Bahasa Soekarno itu dikembalikan oleh A. Hassan
untuk lebih mempertajam bantahan beliau. Kalau diperhatikan
karangan-karangan para penulis di masa itu, maka rupanya cara
berpolemik semacam ini sudah merupakan gaya yang berlaku pada
84
waktu itu. A. Hassan sebenarnya tidak pernah menulis dengan bahasa
yang kasar. Kalau dalam tulisan atau bantahan beliau terdapat kata-kata
yang terasa kasar itu adalah sebagai balasan terhadap mereka yang telah
mendahului menyerang beliau atau menghinakan Islam. Dan, seperti
dengan tepat diungkap oleh Mohamad Roem: "Tidak saja sasaran
Pembela Islam, itu ditujukan kepada dunia Barat yang terpelajar, tetapi
juga terhadap pengertian-pengertian yang salah, dan caranya sering
tajam dan tegas seperti sudah menjadi kebiasaan di Persatuan Islam.
Yang kena serangan itu tentu merasa sakit, dan adakalanya Persatuan
Islam mendapat kritik, bahwa caranya pemimpin-pemimpinnya
memperbaiki terlalu tajam sehingga menyakiti hati orang. Dalam pada
itu kita tahu kata-kata, bahwa kebenaran itu memang sering pahit.
Sedang membela dengan cara menyerang adalah sesuai dengan ilmu
militer, yaitu pembelaan yang paling baik adalah menyerang. Tetapi
akibat yang abadi dari penulisan di Pembela Islam itu adalah bahwa
pembaca-pembacanya dirangsang untuk memikirkan lebih seksama
tentang ajaran-ajaran Islam".
Menurut analisis penulis, bahwa apa yang diungkapkan
A.Hassan ada benarnya juga karena jika paham kebangsaan menjadi
landasan dalam bernegara dan hukum Islam di kesampingkan ini akan
membuat bangsa Indonesia melupakan ajaran Islam. Sebab segalanya
adalah karena kebangsaan akan menimbulkan kesan bahwa paham ini
mempunyai kekuatan yang sama dengan ajaran agama. Namun
85
demikian, menurut penulis, A. Hasan pun terasa kurang bijak karena
Soekarno melihat kondisi bangsa Indonesia baru membangun negara
maka dibutuhkan persatuan dan kesatuan. Soekarno mungkin melihat
kemajemukan bangsa ini sangat rentan disintegrasi karena itu Soekarno
menggulirkan gagasan nasionalisme untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Hanya saja Soekarno pun terlalu liberal dalam
menanamkan nasionalisme sehingga rambu-rambu agama khususnya
Islam kurang diperhatikan dan membuat para ulama kurang sependapat
dengan ide-ide Soekarno. .
Terlepas dari kekurang bijakan masing-masing, namun ada satu
hal yang perlu dicatat bahwa kondisi bangsa Indonesia pada waktu itu
memang memerlukan persatuan dalam membangun negara guna
mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah.
4.1.3. Ajaran Islam sebagai Dasar Kehidupan
Masyarakat Islam bagi A. Hassan merupakan pilihan lain dari
paham kebangsaan yang dianggapnya tidak memberikan tempat bagi
agama, Islam adalah sesuatu yang tertinggi dan terluas menerjang batas-
batas kebangsaan dan ketanah-airan. Kebenaran Islam adalah muthlaq
sedang paham buatan manusia adalah nisbi.
Menurut A. Hassan segala masalah yang berkecamuk di tengah
masyarakat dapat diselesaikan melalui ajaran dan cara-cara Islam.
Dalam sebuah masyarakat, bahkan negara dan bangsa yang berdasar
kepada Islam pemilihan khalifah atau ketua pemerintahan dapat melalui
86
wakil-wakil rakyat yang dinamakan Ahlul Halli wal 'Aqdi atau dipilih
langsung oleh rakyat tanpa perantaraan wakilnya.
Adapun mengenai pemeluk agama lain, pemerintah memberikan
kebenaran dalam hal ini:
a. Makan dan minum kecuali minuman keras.
b. Berpakaian, asal menutup aurat.
c. Beribadah menurut cara masing-masing agama.
d. Mendirikan tempat-tempat ibadah.
e. Pembagian pusaka dan hukum perkawinan menurut cara mereka.
f. Mendirikan tempat-tempat pendidikan agama dengan cara mereka.
g. Mendirikan mahkamah yang memutuskan perselisihan di antara
mereka.
h. Duduk dalam pemerintahan Islam asal jangan sampai mengalahkan
yang beragama Islam (Hassan, 1984: 149).
Hassan tidak memberikan batasan khusus tentang bentuk
masyarakat dan pemerintahan cara Islam itu. Mengenai bentuk,
nampaknya beliau memasukkan pada katagori keduniaan, yang dapat
berubah menurut tempat dan waktu. Yang penting, menurut beliau,
adalah asas atau dasar bagi sebuah masyarakat dan negara itu yakni al-
Islam.
Buku Islam dan Kebangsaan merupakan kumpulan karangan A.
Hassan tentang Islam dan paham kebangsaan yang pernah dicetak dalam
sebuah buku tersendiri dengan judul Islam dan Kebangsaan. Buku
87
kedua adalah karangan beliau dalam membantah Ir. Soekarno. Tulisan
beliau ini belum pernah dibukukan akan tetapi pernah dimuat dalam
bentuk artikel bersambung dalam majalah Al-Lisan mulai nomer 48
sampai dengan nomer 52 tahun 1940. Sedang bagian ketiga ialah
Pemerintahan Cara Islam yang merupakan pikiran beliau tentang cara
pemerintahan menurut Islam. Buku inipun pernah dicetak secara
terpisah oleh Persatuan Islam Bagian Pustaka Bangil.
Menurut analisis penulis, bahwa pendapat A.Hassan yang
menganggap ajaran Islam serba lengkap dalam mengatur masyarakat
dan negara, ini terlalu keras. Prinsip-prinsip Islam dalam masyarakat
dan bernegara ada dalam al-Qur'an dan hadis, tapi tidak berarti lengkap
dan terinci mengatur persoalan masyarakat dan negara mulai dari hak
dan kewajibannya masyarakat dan negara seperti, eksekutif, wewenang
legislatif, tugas dan kewajiban lembaga yudikatif dan seluk beluk
pemerintahan daerah. Masalah ini masuk dalam wilayah ciptaan
manusia dan masuk dalam ruang lingkup ijtihad.
Agama punya peranan yang besar dalam menyinari umara,
sehingga agama menjadi petunjuk bagi para pemimpin dalam
menyelenggarakan roda pemerintahan. Demikian pula negara memiliki
peranan yang besar dalam memberi kekuasaan pada para ulama dalam
menata agama dan umatnya. Agama, masyarakat dan negara tidak bisa
dipisahkan tapi tidak berarti agama lengkap memuat sejumlah aturan
main dalam mekanisme kehidupan masyarakat, negara dan
88
pemerintahan. Hal itu diserahkan pada manusia untuk menciptakan
aturannya.
4.2. Relevansi Pemikiran Dakwah Ahmad Hassan dengan Dakwah Saat ini
Pesan dakwah A. Hassan yang diklasifikan dalam tiga tema utama
yaitu pertama, masalah kemerdekaan beragama dalam menegakkan hukum
Islam; kedua, makna kebangsaan; ketiga, ajaran Islam sebagai dasar
kehidupan. Ketiga tema ini pada intinya, A.Hassan menghendaki
ditegakkannya hukum Islam dengan nama masyarakat Islam dan dalam
konteks negara tentunya negara Islam.
Menurut analisis penulis bahwa Indonesia bukanlah negara agama
dalam arti berdiri di atas satu agama. Karena itu para pendiri bangsa
mencetuskan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Sebetulnya
bila nilai-nilai pancasila dijadikan pedoman, diamalkan dan dihayati maka
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia merupakan konsensus bersama untuk meletakkan negara
Indonesia di atas falsafah yang universal dan bisa diterima oleh semua
agama. Karena itu pendirian A.Hassan sulit diwujudkan dan bertentangan
dengan konsensus bersama itu.
Sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa bangsa
Indonesia terdiri atas pemeluk agama dan kepercayaan, katakanlah
masyarakat bertuhan. Indonesia didirikan oleh masyarakat yang secara
tradisional, beragama. Bagi masyarakat yang kental dengan ajaran agama,
89
apapun agamanya, tentu merasa lebih cocok bila peraturan
bermasyarakatnya diambil dari agama juga.
Masyarakat tradisional semacam ini tidak pernah punya pikiran
memisahkan agama dengan negara. Maka ketika merumuskan dasar negara,
Pancasila, para tokoh tidak meninggalkan ikatannya dengan Tuhan. Negara
Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Selanjutnya dasar
negara ini dijabarkan di dalamnya berupa bab dan pasal-pasal. Pelaksanaan
agama dilindungi oleh Undang-undang. Dengan Pancasila ini bangsa
Indonesia tidak menghendaki membangun negara sekuler. Ini dapat
dimengerti karena sebagian besar komponen bangsa adalah umat beragama,
dan pengalaman untuk pemilahan, yang biasa disebut sekularisasi, belum ada.
Karenanya, sekularisme yang mengambil bentuk paham komunis ateis tidak
dapat diterima untuk mayoritas bangsa.
Menurut penulis, bangsa Indonesia tidak pula mendirikan negara
berdasarkan agama tertentu karena ketika mendirikannya diperjuangkan oleh
orang-orang yang agamanya berbeda-beda. Dari sini penulis melihat bahwa
Pancasila mempunyai implikasi: 1. Bangsa Indonesia harus berketuhanan. 2.
Bangsa Indonesia secara kreatif menampilkan dirinya sebagai makhluk sosial
yang mewujudkan persatuan, keadilan, kemanusiaan dan kedamaian sesuai
dengan perkembangan zaman. 3. Sistem dan mekanisme penyelenggaraan
negara atau pemerintahan sejalan dengan ajaran agama. Persoalannya adalah
90
seberapa jauh ajaran agama berperan mewarnai sistem dan mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa pesan dakwah
A. Hassan ada relevansinya dengan dakwah saat ini. Dakwah saat ini
mengalami sejumlah problema sosial yang tidak sedikit yaitu adanya
keinginan sebagian umat Islam yang bersemangat untuk menegakkan
hukum Islam di Indonesia tampaknya tidak pernah padam. Hal ini tampak
dari pergulatan politik nasional belakangan ini, yang menunjukkan realitas
sejumlah partai Islam dan ormas Islam (kecuali Nahdiatul Ulama dan
Muhammadiyah) menyuarakan tuntutan pemberlakuan syariat Islam dan
kemerdekaan beragama dalam menegakkan hukum Islam.
Memang, hukum Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia.
Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa
berusaha untuk menegakkan hukum Islam di daerahnya. Setelah penjajahan
Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha
menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur hukum Barat ataupun
hukum adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam
menempatkan penegakan hukum Islam sebagai cita-cita. Setelah Indonesia
merdeka, usaha pemberlakuan syariat Islam tidak juga berhenti. Ada yang
dengan berangsur-angsur menegakkannya dalam kehidupan politik, seperti
misalnya perjuangan diberlakukannya Piagam Jakarta di dalam Majelis
Konstituante, dan terus-menerus diperjuangkan umat Islam secara politik dan
kultural meskipun belum berhasil memberlakukan syariat Islam secara total.
91
Adanya keinginan pemberlakuan hukum Islam tidak sebatas masalah
nikah, waris dan wakaf telah menimbulkan perbedaan pendapat dalam
menyikapi hubungan antara agama dan negara.
Dalam Oxford Advanced Leaner's Dictionary of Current English,
dinyatakan, bahwa
"Religion: believe in the existenced of God or gods, Who has/have created the universe and given man a spiritual nature which continuous to exist after the dead of the body" (Hornby, 1984: 725). (agama adalah suatu kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Esa, atau Tuhan-tuhan, yang telah menciptakan alam semesta, dan memberikan roh kepada manusia yang akan tetap ada setelah matinya badan). Dalam konteksnya dengan arti agama di atas, Abdullah menyatakan:
Agama lebih-lebih teologi tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya tetapi secara tidak terelakkan juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi) (Abdullah, 2004: 10).
Sedangkan biasanya kata Islam diterjemahkan dengan “penyerahan
diri”, penyerahan diri kepada Tuhan atau bahkan kepasrahan (Arkoun, 1996:
17). Adapun negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah
(governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga
negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah (Budiardjo, 1992:
40).
Ditinjau dari sudut hukum tatanegara, negara itu adalah suatu
organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja daripada alat-
92
alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja mana
melukiskan hubungan, pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing
alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Soehino,
1985: 149).
Islam sebagai agama menuntun manusia ke jalan yang benar baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat bahkan negara. Islam bukan
sekedar ajaran ritualitas melainkan juga memberi petunjuk yang fundamental
tentang bagaimana hubungan manusia dengan masyarakat bahkan dengan
negara. Sehubungan dengan itu, di kalangan umat Islam sampai sekarang
terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.
Pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam
pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan
Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap
dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara (Sjadzali, 1993: 1-2 dan 9-10).
Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Ketiga
menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan
bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga
menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
93
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara (Sjadzali, 1993:
1-2 dan 9-10).
Persoalan relasi agama dan negara di masa modern merupakan salah
satu subjek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak
hampir seabad lalu hingga sekarang ini tetap belum terpecahkan secara tuntas
(Zada, 2002: 100). Hal ini dapat dilihat perdebatan yang terus berkembang.
Fenomena yang mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah
konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu
negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-sama dan
untuk mencapai cita-cita suatu masyarakat. Di sini otoritas politik memiliki
urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk institusi yang
disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut, di antara kaum muslimin merasa
perlu untuk merumuskan konsep negara (Kamaruzzaman, 2001: V).
Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori
tentang hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar
dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik
(unified paradigm), paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dan
paradigma sekularistik (secularistic paradigm).
Paradigma pertama menyatakan bahwa hubungan antara agama dan
negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Asumsinya ditegakkan di atas
pemahaman bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang mempunyai
kelengkapan ajaran di semua segmen kehidupan manusia, termasuk di bidang
praktik kenegaraan. Karenanya, umat Islam berkewajiban untuk melaksanakan
94
sistem politik Islami sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
dan empat al-Khulafa' al-Rasyidin. Pandangan ini menghendaki agar negara
menjalankan dwifungsi secara bersamaan, yaitu fungsi lembaga politik dan
keagamaan. Menurut paradigma ini, penyelenggaraan suatu pemerintahan
tidak berdasarkan kedaulatan rakyat melainkan merujuk kepada kedaulatan
ilahi (divine sovereignity), sebab penyandang kedaulatan paling hakiki adalah
Tuhan. Pandangan ini mengilhami gerakan fundamentalisme.
Paradigma kedua berpendirian bahwa agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, antara keduanya terjalin hubungan timbal-balik atau saling
memerlukan. Dalam kerangka ini, agama memerlukan negara, karena dengan
dukungan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan
agama, karena agama menyediakan seperangkat nilai dan etika untuk
menuntun perjalanan kehidupan bernegara. Paradigma ini berusaha keluar dari
belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan: integralistik dan
sekularistik. Selanjutnya, paradigma ini melahirkan gerakan modernisme dan
neo-modernisme.
Paradigma ketiga merefleksikan pandangan sekularistik. Menurut
paradigma ini, agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda,
sehingga tidak dapat dikaitkan secara timbal-balik. Islam dimaknai menurut
pengertian Barat yang berpendapat bahwa wilayah agama sebatas mengatur
hubungan individu dan Tuhan. Sehingga mendasarkan agama kepada Islam
atau upaya untuk melakukan determinasi Islam terhadap bentuk tertentu dari
negara akan senantiasa disangkal (Amir, 2003: 15).
95
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, menurut Qardawi, kaum
muslimin di sepanjang sejarahnya tidak mengenal pemisahan antara agama
dan negara, kecuali setelah munculnya pemikiran sekularisme pada zaman
sekarang (Qardawi, 1977: 10). Islam yang dibawa oleh al-Qur'an dan Sunnah,
yang dikenal oleh kaum salaf dan khalaf adalah Islam integral yang tidak
mengenal pemisahan antara agama dan negara (Qardawi, 1977: 20).
Meskipun demikian, Negara Islam tidak mementingkan bentuk dan
nama. Walaupun sejarah Islam sendiri mengungkapkan adanya "Imamah" dan
"Khilafah". Kedua kata ini mempunyai arti yang luas dan dalam. Menurut
Qardawi, bahwa ajaran Islam harus diwujudkan dalam kehidupan negara.
Alat-alat negara harus melaksanakan nilai-nilai ajaran Islam. Meskipun Islam
tidak mengatur persoalan negara secara detail tapi prinsip-prinsipnya ada
dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis. Persoalan bagaimana bentuk negara dan
pemerintahan itu, maka hal ini menyangkut persoalan ijtihad. Dalam konstitusi
negara boleh dicantumkan dan boleh juga tidak dicantumkan tentang negara
Islam. Yang penting substansi ajaran Islam dilaksanakan (Qardawi, 1977: 35).
Dengan melihat berbagai pandangan di atas maka menunjukkan bahwa
dakwah Islam dihadapkan oleh tantangan yang semakin berat yaitu
mendamaikan tiga kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda. Dari
sini tampak bahwa pemikiran tentang kebangsaan, kemerdekaan beragama
dalam konteks penegakan hukum Islam dan dasar pemerintahan Islam bukan
hanya baru muncul saat ini, melainkan Ahmad Hassan telah menggulirkan
gagasan penegakan hukum Islam. Pernyataan ini maksudnya bahwa pesan
96
dakwah Islam agar bisa dimengerti dan disadari oleh mad'u maka aspek
historis dan fenomena saat ini dapat dijadikan pesan dakwah yang yang
mengena pada kebutuhan mad'u.
Dengan demikian pesan dakwah A. Hassan ada hubungan yang erat
dengan problema dakwah saat ini dalam konteks perseteruan tiga kelompok
yang berbicara eksistensi negara dengan agama. Dengan melihat dan
mempelajari pesan dakwah Ahmad Hassan, maka dapat ditegaskan bahwa
pesannya mengandung dakwah dan merupakan bagian dari problema sosial
dari dahulu hingga saat ini.
Adapun kelemahan-kelemahan Ahmad Hassan dalam nenyampaikan
gagasan dan pemikirannya yaitu:
1. Terlalu keras dalam menyampaikan pemikirannya. Kondisi ini kurang bisa
diterima kalangan Soekarno atau pengikut-pengikutnya pada waktu itu;
2. Pemikirannya masih bersifat umum, sehingga pembaca kurang bisa
memahami alasan-alasan yang dikemukakan Ahmad Hassan
3. Dalam menyampaikan keinginannya, Ahmad Hassan kurang mampu
meyakini para pembaca waktu itu, sehingga banyak kritik yang
dilontarkan pada pemikiran Ahmad Hassan.