Makalah Maulid Nabi Saw
-
Upload
nurse-wiwin-lestari -
Category
Documents
-
view
814 -
download
1
Transcript of Makalah Maulid Nabi Saw
MAKALAH MAULID NABI SAW ( PSIKOLOGI SOSIAL )
Filed under: Uncategorized — milyandra @ 4:45 am
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya
sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas tinjauan kepustakaan ini tepat pada waktunya.
Kami menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah
ini di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
bantuan semua pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
19 Juli 2008
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk
membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras
mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara
salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam
saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang
umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah
tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang
persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi –orang Eropa menyebutnya Saladin, seorang pemimpin
yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau
570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub –katakanlah dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya
berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai
Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan
kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau
umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender
Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara
massal.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata
khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi),
Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan
instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing
segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580
Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai
kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak
pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan
Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi
hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual,
sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang
pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi
beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan
sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama
adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai
sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa
kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-
sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan
umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far
al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan,
Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang
disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih
terkenal dengan nama penulisnya.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan
hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali.
Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem
direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali,
sampai hari ini.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan
dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik
masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk
Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah
Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga
bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid
Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang
yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu
gerbang “pengampunan” yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia
mengampuni).
Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata
“gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton
menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti
nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso
(menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Idul Adha).
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU).
Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala oleh anak-anak NU.
Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang
diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada
yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga
kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada
yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga
yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba’ (kitab sejenis Barzanji). Bisa juga ditambah
dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil
berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah hasanah dari para muballigh
kondang.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang
di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang
diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi
tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan
(bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya),
mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa
menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di Hari Kiamat.” Sahabat Umar
bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah
sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
A. Tujuan
”Kaum muslimin tidak boleh mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam pada malam 12 Robi’ul Awwal dan juga pada waktu yang lain, sebagaimana mereka juga
tidak boleh merayakan hari kelahiran selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena
perayaan hari-hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, lebih dari itu,
Rasulullah sendiri tidak pernah merayakan hari kelahirannya semasa hidup beliau, beliau adalah
penebar agama Islam dan pembuat syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak
memerintahkan untuk melakukan perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di masa generasi yang
utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah bid’ah…” (“Majmu’ fatawa wa Maqolaat al-
Mutanawwi’ah”(4/289).)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab:
النبي مولد ,(مولد، adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang dalam tahun
Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab
berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat
Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi
kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
A. Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi,
seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-
1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin
sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta
meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib
melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
A. Hukum Memperigati Maulid Nabi Muhammad SAW
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih
payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah
ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?
Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath’i (pasti), bahkan sebagian
ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam
ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka
peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas)
Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi syar’i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika
sekiranya acara peringatan maulid Nabi r disyari’atkan dalam agama kita, maka pastilah acara
maulid ini telah di adakan oleh Nabi r atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada
ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada
ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya
hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran
agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak
diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-
Nya dengan acara peringatan maulid Nabi r tersebut.
Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai
kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah r, maka
bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari
jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan
bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari’at
baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun
termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha’i islam itu jadi agama
bagimu“. Q.S; Al-Maidah : 3.
Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r
termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah
dirayakan sebelum Rasulullah r meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian
dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama,
karena Allah ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk
kamu agamamu“.
Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari
kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam
agama (bid’ah) sesudah wafatnya Rasulullah r, dan pada perkataannya
terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah :
3) .
Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara
peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan
(mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW,
serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh
dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari
ibadah. Cinta kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan
seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi
kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan
seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan)
Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam
kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam
mengamalkan syari’at Nabinya r.
A. Sejarah Munculnya MAulid NAbi Muhammad SAW
Sesungguhnya penyelenggaraan perayaan yang memperingati peristiwa-perisiwa Islam
tertentu yang kemudian dijadikan sebagai perantara untuk mendapat berkah itu, pada mulanya
hanya dikenal oleh kelompok kebatinan yang buruk. Mereka adalah Bani Ubaid Al Qaddah yang
menamakan dirinya sebagai Fatimiyyun.1
Upacara maulid adalah termasuk perbuatan yang dicontohkan oleh para ahli penyimpangan
dan kesesatan, sesungguhnya orang yang pertama yang memunculkan perayaan upacara maulid
adalah orang-orang dari Bani Fatimiyyun dari golongan Ubaidiyyun yang hidup dikurun waktu
ke-4 Hijriyah.
Mereka ini sengaja mengklaim dirinya sebagai pengikut Fathimah radhiallahu anha secara
dzalim dan untuk mencemarkan nama baiknya padahal sebenarnya mereka adalah sekelompok
orang-orang Yahudi atau ada yang mensinyalir bahwa mereka dari orang Majusi (penyembah
api) bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok Atheis.2
Pendapat lain, seperti Imam As Suyuthi dalam Husnul Maqshud fi Amal Al Maulid
menegaskan:
“Orang yang pertama kali mengadakan peringatan hari Maulid Nabi adalah penduduk Irbal, Raja
Agung Abu Sa’id Kau Kaburi 3 bin Zainuddin Ali bin Bakitkin, seorang raja negeri Amjad.4
Dan ini diikuti oleh Syaikh Muhammad bin Abu Ibrahim Alu Syaikh:
“Bid’ah peringatan Maulid Nabi ini, pertama kali diadakan oleh Abu Sa’id Kau Kaburi pada
abad ke-6 H”
Syaikh Hamud Tuwaijiri:
“Upacara peringatan maulid adalah bid’ah dalam Islam yang diadakan oleh sulthan Irbal pada
akhir abd ke-6H atau pada awal abad ke-7H.”
Al Ubaidiyyun memasuki Mesir 362H dan raja terakhirnya Al Adhid meninggal 567H,
sedangkan penguasa Irbal dilahirkan 549H dan meninggal 630H, ini menjadi bukti bahwa
kelompok Ubadiyyun lebih dahulu daripada penguasa Irbal -Al Malik Al Mudzaffar- dalam
mengadakan upacara peringatan maulid Nabi.
Bukan tidak sah mengatakan bahwa penguasa Irbal adalah orang yang pertama kali
mengadakan Maulid Nabi di Maushil, karena yang dilakukan Al Ubaidiyyun diadakan di negeri
sendiri -Mesir, seperti yang dijelaskan dalam buku-buku sejarah. Wallahu a’lam.5
A. Maulid Nabi tidak di bolehkan
Jutaan umat Islam di seluruh belahan dunia memperingati tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap
tahun, memperingati hari kelahiran Rasulullah saw. Kaum muslimin saling memberi ucapan
selamat, hadiah, dan aneka hidangan yang dipersiapkan untuk peringatan tersebut, bahkan
penjual aneka makanan mendapatkan pesanan yang beragam dan melimpah, sesuai kebiasaan
dan tradisi khas tempat masing-masing.
Waktu berjalan, peringatan maulid Nabi berkembang secara resmi di kalangan pejabat, raja
dan pemimpin umat Islam dengan saling memberi ucapan selamat, do’a-do’a keberkahan, bagi-
bagi hadiah untuk penghafal Al Qur’an, orasi dan pidato politik.
Pertanyaannya adalah, Kapan peringatan maulid Nabi bermula ?
Apakah peringatan maulid Nabi di benarkan dalam Islam ?
Apa hukumnya secara syariah memperingati maulid ini?
Pertanyaan-pertanyaan yang terus terulang saat ada peringatan maulid setiap tahunnya.
Bersamaan dengan itu, masih ada perdebatan seputar hukum memperingati maulid, meskipun
Rasulullah saw sendiri tidak pernah memperingati hari kelahirannya, begitu juga dengan para
sahabat dan tabi’in yang merupakan generasi pilihan.
a. Tradisi Fathimiyyah
Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok pendukung Fathimah
putri Nabi, mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali yang mengadakan peringatan
hari kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengadakan peringatan secara besar-besaran, mereka
membagi-bagikan aneka makanan. Di samping memperingati kelahiran Nabi, mereka juga
memperingati hari-hari kelahiran keluarga “ahlul bait” Nabi saw.
Inilah kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak mutlak peringatan
Nabi, dan memasukkan katagori bid’ah dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya.
Rasulullah saw tidak pernah memperingati hari kelahirannya sepanjang hidupnya, begitu juga
para sahabat dan tabi’in.
“ : في أحدث من وسلم عليه الله صلى القائل وهو
رد فهو منه ليس ما هذا ”أمرنا
“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan agama kami yang tidak ada dasar hukumnya,
maka ia tertolak.” Artinya tidak termasuk dari ajaran Islam.
Para penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid ketika masa
Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran syi’ah. Tujuan dari
peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh sekaligus da’i, Abdul Karim Al Hamdan,
adalah penyebaran aqidah syi’ah dengan kedok cinta keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-
praktek yang tidak diperbolehkan hukum, seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin
dengan cara-cara sufiestik yang sudah menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada selain
Allah, bernadzar kepada selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk peringatan maulid Nabi
semenjak kelomopk Fathimiyyin sampai sekarang, baik di Mesir atau di belahan dunia lainnya.
a. Mengapa Kita Tidak Memperingati ?
Dalam sudut pandang yang berbeda, Dr. Muhammad ‘Alawi Al Maliki Al Husni, seorang ahli
fiqh, memandang bolehnya memperingati maulid Nabi dengan diisi kegiatan yang bertujuan
mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi saw dan memperdengarkan pujian-pujian
terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan, menyenangkan dan memberi kegembiraan terhadap
umat Islam. Meskipun ia menekankan tidak adanya pengkhususan peringatan pada malam hari
tertentu, karena itu termasuk katagori bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan hari kelahirannya, beliau bersyukur
kepada Allah pada hari itu, atas nikmat diciptakan dirinya dimuka bumi dengan membawa misi
rahamatan lil’alalmin, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ketika Rasulullah
saw ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari Senin dalam setiap pekan, beliau bersabda
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, ( ولدت فيه يوم ,Itu hari“ .(ذلك
saya dilahirkan.”
Terkait bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melaksanakan maulid, Dr Al Husni mengatakan,
“Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh generasi awal Islam, tidak otomatis menjadi
bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Justru perlu dikembalikan kepada persoalan aslinya, yaitu
sesuatu yang membawa mashlahat secara syar’i menjadi wajib hukumnya, sebaliknya sesuatu
yang menjerumuskan kepada haram, maka hukumnya haram.”
Menurut padangan Dr. Al Husni, jika memperingati maulid Nabi membawa mashlahat secara
syar’i, maka hukumnya dianjurkan, karena di dalamnya ada kegiatan dzikir, sedekah, memuji
Rasul, memberi makan fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang diperbolehkan karena membawa
manfaat.
a. Tergantung Kegiatan
Sebagian ulama mengingkari peringatan maulid, karena di dalamnya bercampur dengan
bid’ah dan kemungkaran yang terjadi sebelum abad Sembilan Hijriyah, dengan bersandar pada
hukum asli, yaitu “Menolak kerusakan lebih di dahulukan dari pada meraih mashalahat.”
Ulama ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin Al Fakihani juga membolehkan. Sebagian ada
yang malah menganjurkan, seperti Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar Al Asqalani,
namun mereka mengingkari praktek-praktek bid’ah. Pendapat mereka ini bersandar pada
firman Allah swt, { الله بأيام ”.Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah“ {وذكرهم
Sejumlah ulama Al Azhar, terutama Syaikh ‘Athiyyah Shaqr rahimahullah, telah berfatwa
tentang dibolehkannya memperingati maulid Nabi dengan syarat.
Fatwa itu tertuang sebagai berikut, “Rasulullah saw telah menetapkan bahwa hari di
mana beliau dilahirkan memiliki keutamaan dibanding dengan hari-hari lainnya. Setiap mukmin
hendaknya bersungguh-sungguh dalam meraih keagungan pahala, mengutamakan amal. Itulah
alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada Allah swt atas pemberian-Nya yang sangat
besar, berupa kelahiran Nabi akhir zaman yang memberi petunjuk kepada kita menuju syari’at-
Nya yang membawa kelestarian. Namun dengan syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya
secara khusus. Bahkan dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt atas apa yang
disyariatkan, mengenalkan manusia keutamaan dan keagungan pribadi Rasul, tidak keluar dari
koridor syariat dan berubah menjadi hal yang diharamkan secara hukum, seperti ikhthilat atau
campur baur laki-laki dan perempuan, cenderung kepada kegiatan yang tidak ada gunanya dan
hura-hura, tidak menghormati baitullah, dan termasuk yang dikatagorikan bid’ah adalah tawasul
terhadap kuburan, sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan bertentangan dengan adab.
Jika yang dominan adalah kegiatan-kegiatan seperti di atas, maka yang diutamakan
adalah mencegah kerusakan sebagaimana kaidah ushul. “Mencegah kerusakan lebih didahulukan
dari pada meraih maslahat.”
Namun jika hal-hal positif lebih dominan dan manfaat secara syar’i didapatkan, maka
tidak ada larangan memperingati maulid Nabi dengan tetap mengantisipasi hal-hal negatif sesuai
kemampuan.” Allahu ‘alam
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi r dengan tujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r termasuk
dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara
baru pada agama Allah (bid’ah) yang bukan syari’at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid
Nabi r termasuk bid’ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan.
Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara
peringatan maulid Nabi r terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar,
yang tidak dibenarkan syar’i, indera maupun akal. Dimana mereka
mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung pengkultusan
terhadap Nabi r, hingga terjadi pengagungan yang melebihi
pengagungannya kepada Allah ta’ala –kita berlindung kepada Allah dari hal
ini-.
Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian
orang yang mengikuti acara peringatan maulid Nabi tersebut , dimana
ketika dibacakan kisah maulid (kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada
perkataan (dan lahirlah Musthafa r), maka mereka semua serentak berdiri.
Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah r telah datang, maka kami
berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan ruhnya. Dan ini jelas
suatu kebodohan.
Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati
kedatangan ruh Nabi r, karena Rasulullah r merasa enggan (tidak senang)
apabila ada sahabat yang berdiri untuk menghormatinya. Padahal kecintaan
dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah r melebihi yang
lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan
mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan Rasulullah r dengan
perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat Rasulullah r
masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia
setelah beliau meninggal dunia?.
Bid’ah ini, maksudnya adalah bid’ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3
(tiga) kurun waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).
sesungguhnya Peringatan maulid Nabi r telah menodai kesucian aqidah dan
juga mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki
dan wanita) serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya.
A. Saran – saran
Implementasi dari syahadat Laa Ilaa illalloh adalah tauhid yaitu menunggalkan
(mentauhidkan) Alloh di dalam peribadatan dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, baik di dalam Rububiyah, Uluhiyah an asma’ wa shifat-Nya. Adapun konsekuensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah adalah, mentauhidkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam di dalam ittiba’ (peneladanan) dan tidaklah mengamalkan suatu ibadah melainkan
sebagaimana yang dituntunkan oleh beliau ‘alaihis Sholatu was Salam.
Rasulullah sendiri menyatakan bahwa amalan bid’ah itu tertolak, walaupun yang
mengamalkannya ikhlas lillahi Ta’ala, dan setiap bid’ah itu adalah sesat. Sebagian salaf bahkan
mengatakan, bahwa amalan bid’ah itu lebih dicintai syaithan daripada maksiat, karena orang
yang bermaksiat dia faham bahwa dirinya dalam kesalahan sehingga diharapkan ia dapat
bertaubat. Sedangkan orang yang mengamalkan bid’ah, menganggap apa yg ia lakukan adalah
baik sehingga sulit baginya bertaubat.
Islam itu agama sempurna dan wajib atas kita mengamalkannya secara kaafah. Kita wajib
mengingkari kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan seluruhnya. Bukannya kita hanya
mengingkari kemaksiatan, namun ridha dan mendiamkan dosa yang lebih besar, yaitu syirik (yg
tidak diampuni Alloh) dan bid’ah (yang dinyatakan sesat oleh Rasulullah).
Ummat Islam akan maju apabila umat ini mau kembali kepada agama sebagaimana yang dibawa
oleh para pendahulu mereka yang shalih. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullahu,
“Tidak akan sukses keadaan ummat ini melainkan kembali sebagaimana suksesnya salaf shalih
terdahulu”.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/12/1/pustaka-172.htm 2. http://www.box.net/encoded/6870461/67171703/226a37b841e29f599bfb2 3. Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam, tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah –
4. Al-Qaulul Fashlu fi Hukmil Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-Anshariy.
5. Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany.
About these ads