BAB IV ANALISIS MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA...

39
BAB IV ANALISIS MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN A. Pengembangan Lembaga Pendidikan Pesantren Istilah pengembangan mengandung pengertian yang luas terutama bila diterapkan dalam proses pembangunan bangsa yang besar seperti Indonesia, akan tetapi bila dikaitkan dengan pengertian pendidikan maka hal tersebut jelas menunjukkan suatu proses perubahan secara bertahap ke arah tingkat yang berkecenderungan lebih tinggi dan meluas serta mendalam yang secara menyeluruh dapat tercipta suatu kesempurnaan atau kematangan 1 . Pengembangan organisasi (lembaga) berhubungan dengan suatu strategi, sistem, proses-proses guna menimbulkan perubahan organisatoris sesuai dengan rencana, sebagai suatu alat guna menghadapi situasi-situasi yang berubah yang dihadapi oleh organisasi modern, dan yang berupaya untuk menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan mereka 2 . Oleh karenannya definisi pengembangan lembaga pendidikan pesantren hampir sama dengan konsep tersebut, yaitu proses yang berencana, dimanajemeni dan secara sistematis untuk mengubah kultur, sistem, dan perilaku organisasi, guna meningkatkan efektivitas dan kesehatan lembaga pesantren tersebut dalam memecahkan masalah dan pencapaian sasaran (tujuan) secara menyeluruh agar tercipta suatu kesempurnaan ataupun kematangan. Namun demikian aplikasi pengembangan lembaga di pesantren Darul Amanah tidak jauh berbeda dengan konsep tersebut di atas, hanya saja kesan yang sering muncul bahwa pengembangan lembaga identik dengan pengembangan yang bersifat fisik saja (mengarah pada sasaran fisik dan kongkrit). Padahal sasaran 1 H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cetakan ke-empat hlm. 208-209. 2 Winardi,. Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 210

Transcript of BAB IV ANALISIS MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA...

131

BAB IV ANALISIS MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA

DENGAN PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN

A. Pengembangan Lembaga Pendidikan Pesantren

Istilah pengembangan mengandung pengertian yang luas terutama bila

diterapkan dalam proses pembangunan bangsa yang besar seperti Indonesia, akan

tetapi bila dikaitkan dengan pengertian pendidikan maka hal tersebut jelas

menunjukkan suatu proses perubahan secara bertahap ke arah tingkat yang

berkecenderungan lebih tinggi dan meluas serta mendalam yang secara

menyeluruh dapat tercipta suatu kesempurnaan atau kematangan1.

Pengembangan organisasi (lembaga) berhubungan dengan suatu strategi,

sistem, proses-proses guna menimbulkan perubahan organisatoris sesuai dengan

rencana, sebagai suatu alat guna menghadapi situasi-situasi yang berubah yang

dihadapi oleh organisasi modern, dan yang berupaya untuk menyesuaikan diri

(adaptasi) dengan lingkungan mereka2. Oleh karenannya definisi pengembangan

lembaga pendidikan pesantren hampir sama dengan konsep tersebut, yaitu proses

yang berencana, dimanajemeni dan secara sistematis untuk mengubah kultur,

sistem, dan perilaku organisasi, guna meningkatkan efektivitas dan kesehatan

lembaga pesantren tersebut dalam memecahkan masalah dan pencapaian sasaran

(tujuan) secara menyeluruh agar tercipta suatu kesempurnaan ataupun

kematangan.

Namun demikian aplikasi pengembangan lembaga di pesantren Darul

Amanah tidak jauh berbeda dengan konsep tersebut di atas, hanya saja kesan yang

sering muncul bahwa pengembangan lembaga identik dengan pengembangan yang

bersifat fisik saja (mengarah pada sasaran fisik dan kongkrit). Padahal sasaran

1 H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000),

Cetakan ke-empat hlm. 208-209. 2 Winardi,. Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan, (Bandung: Mandar

Maju, 1994), hlm. 210

132

pengembangan lembaga seharusnya tidak hanya mengarah kepada bentuk fisiknya

saja akan tetapi lebih dari itu; meliputi pengembangan fisik maupun nonfisik.

Sasaran dan tujuan demikian tergantung pada diagnosis kebutuhan-

kebutuhan sesuatu organisasi, karena upaya pengembangan lembaga berkaitan

dengan metode-metode merangsang perubahan yang terpusat pada klien. Begitu

halnya dengan pengembangan suatu lembaga pesantren akan berbeda dengan

pengembangan lembaga-lembaga (organisasi) lain, seperti halnya perusahaan.

Menurut James L. Gibson, ada tiga sub sasaran pengembangan organisasi:

1. Perubahan Sikap 2. Modifikasi Perilaku 3. Menginduksi Perubahan Dalam Struktur dan Kebijakan3.

Darul Amanah sebagai lembaga yang baru berdiri (13 tahun) tentu sangat

membutuhkan perubahan dan perbaikan di segala bidang, yang mencakup tiga hal

di atas (perubahan sikap, modifikasi perilaku, menginduksi perubahan dalam

struktur dan kebijakan) atau bahkan lebih dari itu.

Menurut hemat penulis, pengembangan lembaga pendidikan pesantren

pada hakekatnya sama dengan konsep pengembangan lembaga-lembaga yang lain,

namun yang membedakan adalah kesiapan dari pesantren itu sendiri. Ketika

pesantren tersebut sudah siap dengan sistem manajemen modern maka ia harus

mengikuti perkebangan modern, begitu pula sebaliknya. Jika pesantren masih

menerapkan sistem manajemen tradisional (kuno) tentu akan susah untuk

mengikuti perkembangan modern, sehingga sasaran dan strategi

pengembangannya pun akan lain dan sangat mempengaruhi kualitas lembaga

pesantren tersebut.

1. Indikasi Keberhasilan Pengembangan Lembaga Pendidikan Pesantren

Ukuran keberhasilan pengembangan suatu lembaga sangatlah relatif dan

tergantung dari sejauh mana tujuan dan sasaran pengembangan yang

3 James L. Gibson, (et, al), Organisasi; Perilaku Struktur dan Proses, alih bahasa: Hunuk

Adiarni, (jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997).

133

direncanakan itu telah mereka capai. Untuk mendapatkan suatu keberhasilan

dalam pengembangan lembaga pesantren, maka harus difahami mengenai dasar

pengembangan manajemen berdasarkan Islam yang meliputi tujuh sasaran akhir

yang hendak dicapai, yaitu sebagai berikut:

1. Sikap mandiri yang berdasarkan keyakinan akan kemampuan diri (self-

confedence) yang mendalam dan istiqomah yang tumbuh karena penalaran

dan penghayatan intelektual dari pengenalan akan Allah (bertauhid).

Keyakinan akan menimbulkan rasa tanggung jawab, amanah, dan keikhlasan

dalam mengembangkan tugas yang dipikulkan kepadanya.

2. Kebebasan berkomunikasi secara merata dan terbuka tanpa dibatasi oleh

pangkat dan kedudukan.

3. Pengendalian pada kebijaksanaan musyawarah dalam menyelesaikan setiap

permasalahan yang timbul antara karyawan dan majikan atau pimpinan.

4. Pembinaan pengaruh hendaklah didasarkan pada keandalan (kompetensi)

ilmu pengetahuan teknis, bukan sekali-kali pada kekuasaan dan kedudukan

(egoisme) seseorang.

5. Terciptanya suasana yang memberikan peluang, bahkan menggalakkan

ekspresi pribadi; juga untuk berkembangnya tingkah laku yang berorientasi

pada tugas. Dengan kata lain, perlu ditumbuhkan suasana pribadi yang

egaliter.

6. Kesediaan dan kemampuan untuk menyelesaikan setiap konflik yang

senantiasa ada antara organisasi dan pribadi, secara rasional dan dewasa.

7. Kemampuan untuk menyalurkan setiap konflik menjadi suatu persaingan

yang sehat dan positif , berdasarkan asas musabaqah lil khairat.4

Dari tujuh dasar pengembangan manajemen tersebut di atas, maka sangat

relevan sekali jika dasar ini dijadikan sebagai pijakan dalam pengembangan

134

pesantren. Oleh karenanya, jika kita mampu menerapkan tujuh dasar tersebut

maka sudah barang tentu keberhasilan pengembangan lembaga pendidikan

pesantren akan didapatkan.

Darul Amanah sebagai salah satu lembaga yang mengembangkan sistem

modern sudah terlihat adanya indikasi dalam menerapkan tujuh dasar

pengembangan manajemen tersebut di atas, hal ini dilakukan secara periodik dan

bertahap, sebab segala sesuatu tidak mungkin berubah secara mendadak

(spontanitas). Namun demikian masih banyak kekurangan-kekurangan yang di

alami oleh pesantren Darul Amanah, kebebasan berkomunikasi misalnya,

seharusnya dilakukan secara terbuka dan merata tanpa dibatasi pangkat dan

kedudukan, akan tetapi yang sering terjadi di pesantren adalah sebaliknya. Di

Darul Amanah sedikit demi sedikit sudah menerapkan hal tersebut, namun ada

kalanya terdapat hambatan-hambatan seperti rasa takut dengan kyai, sanksi,

terasa kurang etis, dan lain-lain.

Adapun permasalahan kemandirian, musyawarah, kompetensi, pemberian

peluang pada personal, kemampuan menyelesaikan konflik secara dewasa, dan

bahkan kemampuan menyalurkan setiap konflik menjadi suatu kompetitif atas

dasar berlomba-lomba dalam kebaikan/prestasi (fastabiqul khoirot), selama ini

sudah dilakukan secara baik dan dianggap dalam proses perkembangan.

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengembangan lembaga

pesantren, maka kita harus tahu juga bagaimana tahap perkembangannya dan apa

saja indikatornya. Berikut penjelasan mengenai tahap-tahap perkembangan

PPDA dan indikator keberhasilannya dalam pengembangan lembaga;

a. Tahap-tahap Perkembangan Lembaga Pondok Pesantren Darul Amanah

Ada enam (6) tahap perkembangan lembaga pendidikan,

sebagaimana yang dijelaskan oleh Lappit dan Schmidt (1967) bahwa siklus

4 Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafei, Pengembangan Masyarakat Islam; Dari

135

kehidupan organisasi digambarkan melalui enam tahap perkembangan,

yaitu:5

a. Terciptanya organisasi baru (creating a new organization);

b. Hidup sebagai suatu sistem yang dapat berkembang (surviving as a viable

system);

c. Memperoleh stabilitas (gainning stability);

d. Memperoleh reputasi dan mengembangkan kebanggaan (gaining

reputation and developing puide);

e. Memperoleh keunikan dan kemampuan adaptasi (achieving uniqueness and

adaptability);

f. Membantu masyarakat (contributing to society).

Berdasarkan keenam tahap perkembangan tersebut di atas, maka

Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Darul Amanah termasuk pesantren

yang telah memiliki indikasi perkembangan dalam rangka mencapai

keberhasilan sesuai dengan pendapat kedua tokoh tersebut. Tahap

perkembangan PPDA sejak berdirinya tahun1990 sebagaimana sudah

dijelaskan pada bab III adalah sebagai berikut:

1. Tahap pendirian dengan membentuk sistem pesantren modern.

Dalam tahap pendirian ini, pesantren berusaha merancang

AD/ART, membentuk Yayasan atau menyusun struktur kepengurusan

secara modern6, membuat kurikulum juga secara modern. Oleh karena itu

Tradisi, Strategi, Sampai Tradisi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, September 2001), hlm. 143.

5 Keenam jenjang perkembangan organisasi tersebut tentu saja merupakan tahap-tahap organisasi dalam rangka mencapai keberhasilan. Bagaimanapun tingkat besar dan kecilnya suatu organisasi tidak dapat melepaskan diri dari tahap-tahap perkembangan tersebut. Lihat: Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), cetakan: kedua, Hlm. 71.

6 Struktur organisasi hendaknya mempunyai pola dasar sama sebagai berikut: (1). Pimpinan tertinggi: Kyai beserta pembantu-pembantunya, (2). Pengurus Pondok, yang terdiri dari: a. Lurah, b. Sekretaris, c. Pembina-pembina dalam bidang ilmiah, administrasi, keuangan dan dana, kesejahteraan dan kesehatan, serta hubungan luar (public relation), d. Dewan Musyawarah yang anggota-anggotanya terdiri dari kyai sebagai ketua, pembantu kyai dan pengurus keseluruhannya ditambah

136

PPDA berusaha agar memperbaharui sistem pesantren yang selama ini ada

(pesantren-pesantren salaf) dengan membuat pesantren ala Gontor, yang

merupakan sistem pendidikan baru bagi masyarakat di sekitar Sukorejo

Kendal.

Di dalam pondok-pondok pesantren yang sudah modern – seperti

Pesantren Darul Amanah, - dengan jumlah santrinya yang banyak, sudah

nampak dengan penerapan administrasi / manajemen yang baik seperti

adanya planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting,

dan budgeting (POSDCORB), berkat kemajuan berfikir Kyai dan pengurus

pondok yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori klasik manajemen,

seperti diantaranya yang dipelopori oleh Frederik Tailor (1856-1915)

dengan manajemen ilmiahnya berpandangan bahwa yang menjadi sasaran

manajemen adalah mendapatkan kemakmuran maksimum bagi pengusaha

dan karyawannya. Pelopor klasik lainnya yaitu Henri Fayol (1916)

menerbitkan Administration Industrielle et Generale yang berisi lima

pedoman manajemen, yaitu: perencanaan, pengorganisasian,

pengkomandoan, pengkoordinasian, dan pengawasan. Selanjutnya Gulick

dan Urwick (1930) populer dengan akronim POSDCORB (Planning,

Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting)7

sebagai kegiatan manajerial dan merupakan proses manajemen.

Dengan terciptanya organisasi baru ini, tentunya pesantren dengan

berbagai kekurangannya dalam mencapai tujuan harus memegang prinsip-

prinsip tertentu. Menurut teori sistem dalam “teori modern manajemen”8,

santri yang dipandang pantas menjadi anggota. Katakanlah misalnya, pengurus berfungsi sebagai “majelis Eksekutif” dan Dewan Musyawarah sebagai “Majelis Legislatif”. Lihat: H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cetakan ke-empat, hlm. 252.

7 Sedangkan prinsip-prinsip pokok menurut Fayol adalah: 1) kesatuan komando, 2) wewenang harus dapat didelegasikan, 3) inisiatif harus dimiliki oleh setiap manajer, 4) adanya solidaritas kelompok. Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 200), cetakan ke–tiga, Hlm. 22

8 Menurut Shrode elemen-elemen dasar organisasi mencakup: 1) tujuan, 2) teknik, 3) struktur, 4) orang, 5) informasi. Kelima elemen tersebut memproses sejumlah input yang bersumber dari

137

bahwa di dalam mencapai tujuan organisasi, harus didasarkan pada lima

asumsi dan lima prinsip bekerja. Kelima asumsi dan prinsip bekerja

tersebut adalah, sebagai berikut:

NO ASUMSI NO PRINSIP

1

2

3

4

5

Organisasi merupakan sistem

organisasi terbuka

Organisasi mencari prestasi

maksimum

Tujuan organisasi sangat

berjenis-jenis (bervariasi)

Tujuan organisasi saling

kebergantungan

Tujuan organisasi berubah-

ubah

1

2

3

4

5

Service untuk lingkungan

Prinsip optimasi

Multidimensional

Prinsip keharmonisan

Prinsip pengurangan resiko

Dengan demikian, tak pelak lagi jika pesantren Darul Amanah

memiliki banyak sekali bentuk organisasi yang ada di dalamnya, baik dari

Pengurus Yayasan, Pengurus Pondok, Dewan Guru, Dewan Santri,

Pengurus OSIS, Pengurus OPDA (putra dan putri), Pengurus Pramuka,

Pengurus Persida, Pengurus Koperasi, Pengurus Muhadhoroh, Pengurus

Asrama, Pengurus Majid, Pengurus Kelas, dan lain-lain, yang kesemuanya

itu selalu didasarkan pada pengembangan penerapan manajemen secara

modern dan profesional.

lingkungan dan output-nya digunakan oleh lingkungan. Adapun prinsip-prinsip yang digunakan dalam manajemen berdasarkan sistem, mencakup: 1) manajemen berdasarkan sasaran (MBS), 2) manajemen

138

2. Menerima dan memasukkan hal-hal baru

Evektifitas dan efisiensi pendidikan Islam (pesantren) menuntut kita

untuk menerapkan pelbagai rekayasa dan rekadaya yang didasari oleh ilmu

pengetahuan teoritik dan praktis sesuai dengan sasaran yang digarap. Oleh

karena itu diperlukan sitem dan metode yang menarik. Orientasi

pendidikan Islam dalam zaman teknologi masa kini dan masa depan perlu

diubah pula9.

Sudah seharusnya pesantren Darul Amanah hidup sebagai suatu

sistem yang dapat berkembang (surviving as a viable system), dimana

berbagai konsep baru, pruduk baru, dan segala hal yang dianggap baru

selalu diterima dengan tanpa menghilangkan karakteristiknya sebagai

pondok pesantren, misalnya dengan memasukkan kurikulum SMU/SLTP

pada sekolah MA/MTs, membuka (kerja sama) perguruan tinggi, dan

akhir-akhir ini juga berusaha memasukkan Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK), kemudian memasukkan kursus Bahasa Asing,

memasukkan kursus komputer, elektronik, menjahit, dan berbagai macam

kesenian dan ketrampilan lainnya. Hal ini sesuai dengan konsep yang

sering ditawarkan: ”Mempertahankan hal-hal lama yang baik dan

menerima hal-hal baru yang lebih baik”

Oleh karena pesantren Darul Amanah selalu terbuka untuk

menerima masukan-masukan yang bersifat inovatif, maka sudah barang

tentu mereka berusaha mencari hal-hal baru dan memahami apa yang

dibutuhkan masyarakat pada masa yang akan datang. Dengan demikian

berdasarkan teknik (MBT), 3) manajemen berdasarkan struktur, 4) manajemen berdasarkan orang (MBO), 5) manajemen berdasarkan informasi (MBI). Nanang Fattah, Ibid., hlm. 30.

9 Yang semula berorientasi kepada kehidupan ukhrawi menjadi duniaw-ukhrawi bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya harus lebih diproyeksikan ke masa depan daripada masa kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau dan masa kinitetap dijadikan khasanah kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan ke masa depan, sehingga nostalgia ke masa keemasan dunia Islam masa lampau (abad 7 s/d abad 14) tidak perlu lagi meng-obsesi pemikiran kita. Lihat: H.M. Arifin, op.cit., hlm. 5-6.

139

corak lembaga pesantren Darul Amanah bersifat inovatif, bukan

melestarikan apa yang ada/jelek (maintenance), konservatif, pasif serta

dogmatis. Maka tak salah lagi jika pondok pesantren mengambil nasihat

salah seorang sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib ra. yang menegaskan:

“Didiklah anak-anak kalian tidak seperti yang didikkan kepada kalian sendiri, oleh karena mereka itu diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda dengan generasi zaman kalian”10.

Dengan mengambil nasihat shahabat di atas tentunya pesantren

Darul Amanah terlihat selalu berkembang, baik secara fisik (gedung yang

selalu bertambah, fasilitas yang lengkap, pendanaan yang cukup dengan

berbagai unit usahanya, siswa /santri yang selalu bertambah, dan lain

sebagainya) maupun perkembangan yang berbentuk nonfisik (seperti

kualitas santri, guru, dan karyawan meningkat, motifasi kerja tinggi,

solidaritas dan kerja sama terjalin dengan baik, adanya peningkatan

kualitas manajemen dan lain sebagainya).

3. Memperoleh stabilitas (gainning stability)

Indikasi stabilitas Pondok Pesantren adalah kemapanannya dalam

hal pengelolaan santri, karyawan, dan SDM lain, penyusunan kurikulum,

serta kemapanannya dalam mengelola dana dengan membuat unit usaha

secara mandiri. Oleh karena itu pengelolaan pesantren secara menyeluruh

harus dilakukan secara profesional. Untuk mendapatkan profesionalisme

dalam lembaga pendidikan pesantren tentunya tidak terlepas dari

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana yang

dikemukakan oleh Hounton sebagai berikut:

10 Ibid.. hlm. 33.

140

1). Profesi harus dapat memenuhi kebutuhan sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterima oleh masyarakat dan prinsip-prinsip itu telah benar-benar well-established, 2). Harus diperoleh melalui latihan kultural dan profesional yang cukup memadai, 3). Menguasai perangkat ilmu pengetahuan yang sistematis dan kekhususan (spesialisasi), 4). Harus dapat membuktikan skill yang diperlukan masyarakat dimana kebanyakan orang tidak memiliki skill tersebut yaitu skill sebagian merupakan pembawaan dan sebagian merupakan hasil belajar, 5). Memenuhi syarat penilaian terhadap penampilan dalam pelaksanaan tugas dilihat dari segi waktu dan cara kerja. 6). Harus dapat mengembangkan teknik-teknik ilmiah dari hasil pengalaman yang teruji, 7). Merupakan tipe pekerjaan yang memberikan keuntungan yang hasil-hasilnya tidak dibakukan berdasarkan penampilan dan elemen waktu, 8). Merupakan kesadaran kelompok yang dipolakan untuk memperluas pengetahuan yang ilmiah menurut bahasa teknisnya, 9). Harus mempunyai kemampuan sendiri untuk tetap berada dalam profesinya selama hidupnya, dan tidak menjadikan profesinya sebagai batu loncatan ke profesi lainnya. 10). Harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa anggota-anggota profesionalnya menjunjung tinggi dan menerima kode etik profesionalnya11. Contoh yang dapat dilihat yaitu dalam pengelolaan santri misalnya,

stabilitas input santri PPDA sejak tahun 2000/2001 hingga tahun

2003/2004 ini secara kuantitas dan kualitas teratur dan tidak

menghawatirkan, contoh lain juga dapat dilihat dari kemapanan

manajemen yang selama ini diterapkan, dimana mereka sudah mengenal

planning, organizing, actuating, dan controling / evaluating.12

4. Memperoleh reputasi dan mengembangkan kebanggaan (gainning

reputation and developing puide)

11 Ibid., hlm. 105-106. 12 Kemudian di lain pihak, pengelolaan dana pun mampu meningkat secara pesat, dengan

berkembangnya kantin, waserda, dapur umum, wartel, unit simpan-pinjam, dan perkebunan, bahkan hasil bersih dari koperasi Al-Amanah yang diperoleh tiap tahun mencapai lebih dari Rp. 75.000.000, belum lagi dengan penghasilan usaha-usaha lain yang selama ini sedang dikembangkan secara intensif. Lihat dalam: Laporan Tahunan Yayasan PPDA, 17 Agustus 2003

141

Dengan umur yang relatif muda (hampir 14 tahun) ini PPDA sudah

mendapatkan legitimasi dari masyarakat bahwa ia adalah pesantren yang

maju dan berkualitas (Favorit / elit) yang mampu meraih prestasi dan

mampu menyaingi berbagai pesantren maupun madrasah yang ada di

daerah Kabupaten Kendal. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya prestasi

yang pernah diraih, baik prestasi nilai ujian Ebtanas, prestasi dari berbagai

macam perlombaan, pelatihan, dan lain-lain. Adapun data yang pernah

diperoleh antara lain sebagai berikut:

1. Tingkat MTs. Yaitu sejak tahun pelajaran 1993/1994 (lulusan pertama) sampai tahun pelajaran 2002/2003 ini selalu mendapatkan peringkat pertama se- KKM MTs. Negeri Kendal dan pringkat 10 besar diraih oleh MTs. Darul Amanah antara 5 – 6 anak.

2. Tingkat MA. Selama 5 tahun (1996 s/d 2001) MA Darul Amanah selalu menduduki tingkat pertama hasil EBTA/Ebtanas atau UAM/UANAS se KKM MAN Kendal, sedangkan untuk tahun berikutnya oleh Panitia Ujian KKMA tidak dibuat peringkat13.

Dari tahun-ketahun alumni Darul Amanah selalu lulus dengan prestasi

yang memuaskan, sehingga pimpinan pesantren merespon prestasi yang

telah diperoleh tersebut dengan mengeluarkan kebijakan yang sangat

mendukung dan memotivasi santri, contohnya seperti:

1. Memberikan Piagam Penghargaan bagi Rangking I, II dan III serta

mengumumkannya pada setiap akhir periode (pembagian Raport).

2. Memberikan beasiswa bagi santri kelas III MTs. (rangking I / II / III)

yang meneruskan kelas IV TMI (I MA) di Darul Amanah hingga ia

lulus kelas VI (III MA).

3. Mengangkat santri berprestasi dan solid terhadap almamater untuk ikut

mengajar (pengabdian) di pesantren Darul Amanah, kemudian ia juga

bisa meneruskan kuliah sekaligus di PPDA.

13 KH. Mas’ud Abdul Qodir, Daftar Prestasi Santri MTs – MA dan Kitab-Kitab yang diajarkan, dalam (Sukorejo: Laporan Tahunan Yayasan PPDA, 17 Agustus 2003).

142

5. Memperoleh keunikan dan kemampuan adaptasi (achieving uniqueness

and adaptability)

Keunikan pesantren Darul Amanah dapat dilihat dari berbagai segi,

baik model pesantrennya, perkembangan fisiknya, prestasi santrinya,

prestasi guru dan kyainya, serta perkembangannya secara komprehenship

mampu membuat banyak orang kagum, terpesona dan tertarik untuk

mengetahui apa rahasia yang ada di balik itu semua.

Kemampuan PPDA untuk beradaptasi dengan masyarakat sekitar

merupakan salah satu faktor keberhasilan yang selama ini ia peroleh.

Kurikulum misalnya14, PPDA selama ini mampu menampung berbagai

aspirasi masyarakat, dimana kebutuhan masyarakat Sukorejo-Kendal akan

ilmu pesantren (agama) dan sekolahan (umum) keduanya sangat diminati

oleh mereka, belum lagi bahasa resmi yang digunakan santri setiap hari

dengan bahasa Arab dan Inggris, yang menjadikan kesan menonjol (segi

bahasaannya) dibanding pondok atau sekolah lain. Di sisi lain PPDA juga

menampung dan mengembangkan bakat minat santrinya, baik bidang seni,

ketrampilan maupun keorganisasian15.

Dengan demikian, keunikan Pesantren Darul Amanah dengan

model semi modern (kurikulum Depag, Pesantren salaf dan Pesantren

Gontor) yang selama ini diterapkan PPDA sangat prospektif untuk

dikembangkan di wilayah Sukorejo Kabupaten Kendal.

6. Membantu masyarakat (contributing to society)

14 Kurikulum yang digunakan yaitu perpaduan antara Pondok Modern Gontor, Kurikulum

Departemen Agama, ditambah pelajaran kitab kuning. Sedangkan bahasa pengantar di dalam kelas adalah bahasa Arab untuk pelajaran agama dan bahasa Inggris untuk pelajaran umum, lainnya dipakai bahasa Indonesia. PPDA, Profil, op.cit.

15 Pondok Pesantren Darul Amanah menyadari bahwa kelak santrinya akan menjadi bagian dari masyarakat yang menduduki lapisan pemimpin juga da’I yang trampil, maka diselenggarakan pendidikan ktrampilan diantaranya: (a). Pendidikan dakwah, latihan pidato dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris, (b). Pendidikan berorganisasi, (c). Seni bela diri, (d). Seni baca Al-Qur’an, (e). Pendidikan ketrampilan lainnya seperti kursus sablon, komputer, dan lain-lain. PPDA, Profil, op.cit.

143

Pesantren Darul Amanah hingga saat ini sudah mampu memberikan

kontribusi yang sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat,

yang merupakan agence of cange (agen prubahan) kultur maupun

peradaban masyarakat Muslim dengan landasan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sekeliling khususnya dan masyarakat Muslim

Indonesia umumnya, baik kesejahteraan lahiriah maupun bathiniah.

Out came PPDA sudah dianggap baik, hal ini terbukti dengan

banyak alumni yang mengajar di berbagai madrasah maupun sekolah-

sekolah, bahkan banyak juga yang menjadi tokoh masyarakat, dan lain-lain.

Adapun bantuan pesantren terhadap masyarakat sekitar yang selama

ini diberikan sangatlah banyak, baik materiil maupun spirituil. Hal ini bisa

dilihat dengan adanya jadwal ceramah agama (pengajian), pengajian

akhirussanah, kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar, kesempatan

menjual barang/jajan di kopontren, bantuan madrasah, dan lain-lain.

b. Indikasi Keberhasilan Lembaga PPDA

Ada beberapa indikasi pokok yang dapat dipakai sebagai kriteria

keberhasilan pesantren Darul Amanah, yaitu:

1. Tercapainya tujuan Pesantren.

Tujuan pesantren Darul Amanah secara garis besar sebagaimana

tercantum dalam Visinya yaitu “.terbentuknya lembaga pendidikan yang

Islami dan bermutu yang mampu melahirkan generasi yang menguasai

ilmu agama, menguasai iptek, berfikir bebas, mandiri dan berakhlak

mulia serta memiliki kerangka karangan yang konstruktif, prospektif dan

inofatif.16 Namun untuk mengetahui apakah suatu tujuan lembaga

16 indikator penguasaan ilmu agama adalah: mampu membaca, memahami kitab-kitab

berbahasa Arab, dan mampu memecahkan masalah-masalh keagamaan yang muncul di masyarakat. indikator penguasaan Iptek yaitu: Mampu mengoperasikan komputer, mampu menggunakan laboratorium dan teknologi, dan mampu membuat atau merangkai peralatan elektronik sederhana.. Indikator berfikir bebas yaitu: tidak terpancang pada salah satu madzhab, dan bebas mengeluarkan

144

pesantren sudah tercapai secara maksimal atau belum, maka jawabannya

adalah relatif, namun secara umum besar-kecilnya keberhasilan itu dapat

dilihat dari indikator-indikator yang ada.

Keberhasilan pesantren Darul Amanah dalam mencapai tujuan

dapat diketahui diantaranya dengan mengetahui keadaan santri baik yang

masih berada di PPDA maupun mereka yang sudah alumni (yang sudah

terjun ke masyarakat) dan yang meneruskan ke jenjang pendidikan

berikutnya.

2. Pesantren mampu memenuhi dan memanfaatkan segala sumber yang ada

secara maksimal.(SDM, SDA, Unit Usaha, dll.)

Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Darul Amanah

meliputi Karyawan, Guru dan Santri, telah dapat dipenuhi dengan baik

dan dikelola secara profesional, hal ini terlihat dengan peningkatan gaji

guru, pelatihan, pendidikan, pengembangan kurikulum, pendanaan,

sarana pendidikan dan lain-lain.

Sedangkan Sumber Daya Alam (SDA) yang selama ini pesantren

miliki cukup memuaskan dan dapat dikelola dengan baik, seperti

pengadaan sumber air bersih, perkebunan cengkih, penanaman melinjo,

penanaman pohon jati emas, dan lain lain.

Unit Usaha dari berbagai macam bentuk telah dikembangkan oleh

pesantren baik warung serba ada, kantin, dapur umum, warung telkom,

unit simpan-pinjam, klinik kesehatan, tailor, pangkas rambut, dan lain-

lain. Adapun hasil dari unit usaha itu semua dapat digunakan untuk

pembangunan gedung dan pemenuhan segala sarana-prasarana pesantren

yang ada.

ide-ide pemikiran. Indikator mandiri yaitu: tidak selalu bergantung dari jakarta dan menyelesaikan masalah individu. Indikator berakhlak mulia ialah: menjadikan semua golongan umat Islam sebagai teman, menganggap perbedaan sebagai keragaman dalam ber-“Islam”, tidak menciptakan suasana konflik dalam masyarakat, dan segala perkataannya mencerminkan akhlak Islami. Profil PPDA, Bab I Pendahuluan; tentang Visi dan Misi PPDA, (Sukorejo: Yayasan PPDA, 2004), hlm. 5.

145

3. Bawahan dan mitra kerja (masyarakat) merasa puas.

Dengan berbagai kebijakan pimpinan pesantren dan hasil kinerja

seluruh komponen lembaga pesantren Darul Amanah hingga mencapai

keberhasilan yang memuaskan ini, tentunya seluruh masyarakat dan unsur

yang ada di dalam maupun di luar pesantren Darul Amanah dapat

menikmati hasilnya dengan antusias dan bangga. Menyusul adanya

usaha-usaha lembaga untuk merubah dan mengembangkan segala

kekurangan yang ada di dalam pesantren, baik manajemen dan

administrasinya maupun usaha menciptakan rasa harmonis dan

bekerjasama di lingkungan pesantren dengan berbagai pendekatan yang

dilakukan, seperti manajemen konflik, manajemen SDM, dan lain

sebagainya.17

4. Terdapat kesepakatan antara anggota dalam lembaga pesantren dari

berbagai tingkatan terhadap apa yang akan dan sedang dilakukan.

Dengan berbagai teknik dan pendekatan dalam memberikan

informasi, penjelasan dan petunjuk pelaksanaan, pimpinan pesantren

beserta stafnya mampu membuat seluruh anggota (unsur SDM) pesantren

mau mendukung dan sepakat atas segala kebijakan yang sedang maupun

yang akan dilaksanakan. Hal ini dapat dilakukan dengan lancar karena

kapandaian pemimpin dalam menjalankan tugasnya, seperti halnya jika

ada seorang atau beberapa orang yang kurang sepakat atas suatu

kebijakan, maka ia dipanggil untuk mengungkapkan isi hatinya di

hadapan pimpinan secara pribadi sehingga ia bisa memahami maksud

17 Bahkan masyarakat luas baik Kabupaten Kendal, Batang, Temanggung, Kodya Semarang,

Jakarta, Tegal, Pekalongan, Pemalang, bahkan Lampung sekalipun merasa bangga, terutama wali murid dan masyarakat yang telah menerima hasil pendidikan dari Darul Amanah ini. Karena memang asal santri Darul Amanah berasal dari berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Barat bahkan luar Jawa sekalipun. Lihat Tabel Data Daerah Asal Santri Pesantren Darul Amanah.

146

dan tujuan yang telah disepakati bersama dan harus segera

dilaksanakan18.

5. Pesantren memberikan pelayanan yang paling baik terhadap kepentingan

masyarakat.

Dengan berbagai masukan dan saran dari seluruh masyarakat

pesantren Darul Amanah mampu memberikan pelayanan yang sangat

memuaskan, hal ini diakui oleh beberapa wali santri yang telah

dikonfirmasi saat pengambilan Raport hasil Semesteran pada tanggal 2

Pebruari 2004 sebagai berikut:

“ Memang, selama ini kami merasakan bahwa pesantren Darul Amanah ini selalu memberikan yang terbaik buat santri dan kami sebagai wali murid, sebab jika dilihat dari pembayaran SPP, biaya Makan, Kost, Listrik, PPPK, Air bersih dan lain-lain sangatlah murah dan pelayanan yang diberikan ternyata lebih dari yang kami duga sebelumnya. Kami heran dengan uang sekitar RP. 200.000 setiap bulan mampu untuk memenuhi semua pembayaran di atas, bahkan makan sehari 3x bisa tercukupi. Hal ini jika dihitung-hitung sangat tidak mungkin. Ya, mungkin itulah yang dinamakan barokah.” 19

Selain biaya yang murah, ternyata fasilitasnya pun lumayan

lengkap dibanding dengan sekolah-sekolah lain yang ada di Sukorejo

Kendal. Baik berupa gedung sekolah, ruang pertemuan, masjid, fasilitas

telepon, air bersih yang melimpah, lapangan sepak bola, dan lain-lain. dan

itu semua mampu memberikan manfaat bagi semua masyarakat sekitar

dan bahkan masyarakat luar daerah.

18 Kemudian yang lebih mendukung lagi adalah dengan adanya tata tertib yang begitu ketat

dan mendidik, baik untuk santri, guru maupun untuk karyawan. Dan tata tertib itu diikuti dengan sanksi yang benar-benar pasti. Lihat tata tertib PPDA, Tata-Tertib Santri PPDA, Tata-Tertib Guru dan Karyawan PPDA.

19 Wawancara dengan wali santri, tentang Perkembangan dan Pelayanan Pesantren Darul Amanah, (Sukorejo: PPDA, Senin, 2 Pebruari 2004), pukul 11.30 WIB.

147

B. Manajemen Konflik di Pondok Pesantren

Konflik dapat berarti perjuangan mental yang disebabkan tindakan-

tindakan atau cita-cita yang berlawanan.20 Atau dengan kata lain konflik adalah

bentuk perasaan yang tidak beres yang melanda hubungan antara satu bagian

dengan bagian lain, satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan

kelompok lain21. Sebagaimana kita ketahui konflik dapat secara positif

fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh

ia bergerak melawan struktur22. Dengan demikian, Manajemen konflik adalah

seni mengatur dan mengelola konflik yang ada pada organisasi agar menjadi

fungsional dan bermanfaat bagi peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi

Istilah manajemen konflik sebenarnya berasal dari konsep manajemen

modern secara umum, bukan berasal dari lembaga-lembaga religius seperti

pondok pesantren. Dengan demikian, konsep manajemen konflik akan difahami

dengan interpretasi yang berbeda-beda tergantung dari siapa yang memakainya,

pemahaman masyarakat di lingkungan pesantren akan berbeda dengan

pemahaman masyarakat di lingkungan industri ataupun kepolisian. Sebagaimana

diketahui bahwa ada beberapa pandangan mengenai arti konflik sebagai berikut:

1. Pandangan tradisional, menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari.

2. Pandangan aliran hubungan manusiawi, menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan organisasi. Karena keberadaan konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari, maka aliran ini mendukung penerimaan konflik tersebut dan menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi prestasi suatu kelompok.

3. Pandangan ineraksionis, John Aker dari IBM menjelaskan konflik perspektif interaksionis, bahwa pendekatan interaksionis mendorong konflik pada kedaan yang “harmonis”, tidak adanya perbedaan pendapat

20 Komaruddin, Ensiklopedia Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 151. 21 Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 128. 22 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.

115

148

yang cenderung menyebabkan organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi23.

1. Arti konflik dan manajemen konflik bagi pondok pesantren

Adapun pemahaman mengenai konflik yang terjadi di pesantren juga

berbeda-beda satu sama lain tergantung dari kemampuan dan keluasan

personal dalam memahami konflik. Ada kemungkinan konflik diartikan secara

tradisional yang sering mengakibatkan timbulnya sikap kurang kritis, kurang

inovatif, dan suasana menjadi statis. Ada kemungkinan diartikan sesuai

dengan pandangan aliran hubungan manusiawi yang mendukung penerimaan

konflik dan menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi prestasi

suatu kelompok, dan bahkan ada juga yang sesuai dengan pandangan

interaksionis yang menganggap bahwa suatu lembaga tanpa adanya konflik

akan statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan

inovasi.

Manajemen konflik di pesantren Darul Amanah diinterpretasikan

bermacam-macam sebagaimana yang telah dideskripsikan pada bab III, yang

merupakan hasil wawancara: ada yang mengatakan bahwa konflik adalah

pertentangan, dualisme kepentingan, perbedaan pendapat, atau diartikan juga

dengan adanya dua tujuan yang berlawanan. Sehingga manajemen konflik

dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyelesaikan konflik atau

indentifikasi permasalahan dan selanjutnya dicarikan jalan keluarnya

(problem solving). 24

Para guru dan seluruh masyarakat pesantren Darul Amanah lebih

memahami konflik secara modern, karena memang sistem pendidikan

23 Sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pimpinan organisasi

untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu menimbulkan semangat dan kreatifitas kelompok. Lihat: Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Opcit, hlm. 98-99.

24 Wawancara dengan beberapa Ustadz dan ustadzah, Tentang Definisi, Bentuk Konflik dan Manajemen Konflik, (Sukorejo: Kantor Ustadz PPDA, Hari Sabtu, Tanggal: 17 Januari 2004) Pukul 12.00-13.30 WIB.

149

pesantren Darul Amanah menganut pesantren modern Gontor, Ponorogo.

Pandangan Modern tentang konflik adalah: (1). Konflik tidak dapat dihindari,

(2). Konflik muncul karena aneka macam sebab, (3). Konflik membantu,

kadang-kadang menghambat pekerjaan dengan derajat berbeda-beda, (4).

Tugas Manajemen adalah memanaj tingkat konflik dan memecahkannya, (5).

Hasil pekerjaan optimal memerlukan konflik moderat.25

Berbeda dengan ustadz Junaedi Abdul jalal, S.Pd.I, ia menganggap

bahwa konflik yang terdapat di pesantren Darul Amanah ada yang bersifat

modern dan ada juga yang bersifat tradisional, konflik tradisional adalah

konflik yang berupa tuntutan unsur pesantren (Guru, Murid, Karyawan dll)

yang irrasional dan berlebihan. Sedangkan konflik modern adalah berupa

pendapat, ide-ide dan masukan yang bersifat membangun (konstruktif) atau

ide-ide supaya pesantren dapat maju.

2. Sumber konflik di pondok pesantren

a. Kebijakan sebagai sumber konflik.

Kebijakan inilah yang selanjutnya sering menimbulkan persoalan

sampai menjadi sebuah konflik. Timbulnya konflik dari sebuah kebijakan

dapat terjadi dari karena adanya pihak-pihak dalam penentuan kebijakan

tersebut dimana tidak semua pihak dapat terakomodasi dengan kebijakan

tersebut.26 Hal ini dapat terjadi karena:

1. Substansi kebijakan yang mana dapat saja tidak diterima oleh pihak-

pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut.

2. Adanya individu dan atau pihak yang mempunyai akses lebih terhadap

kebijakan tersebut sehingga ada pihak yang tidak terakomodasi dengan

kebijakan tersebut.

25 Winardi, Opcit., hlm. 65. 26 Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan dasar yang berupa perbedaan tujuan dari

pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Ibid.

150

Proses penentuan kebijakan itu sendiri melalui tahapan-tahapan

sbb :

a. Identifikasi persoalan kebijakan termasuk permintaan publik untuk

ditindak lanjuti oleh pemerintah

b. Penentuan agenda atau menentukan focus perhatian media massa pada

permasalahan kebijakan publik yang akan dilakukan

c. Formulasi kebijakan dari lembaga yang berwenang untuk diajukan

pada lembaga yang menentukan kebijakan itu dapat dilaksanakan atau

tidak

d. Legitimasi kebijakan sebagai suatu tindakan politis untuk memperoleh

kekuatan

e. Implementasi kebijakan oleh lembaga eksekutif

f. Evaluasi kebijakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan

tersebut27.

b. Sumber-sumber konflik lain

Ross (1993) mengemukakan dua sumber konflik yang terjadi

dalam sebuah organisasi atau kelompok. Kedua sumber konflik itu adalah :

1. Teori struktur sosial. Menekankan pada persaingan antara pihak-pihak

yang berkepentingan sebagai motif utama sebuah konflik. Tindakan

terhadap pihak lain dalam pemikiran teori struktur social akan

menciptakan tantangan nyata untuk meningkatkan solidaritas dan

respon kolektif dalam menghadapi lawan. Selanjutnya pihak-pihak

tersebut melakukan konsolidasi secara sadar sehingga membentuk

suatu kekuatan dalam menghadapi konflik tersebut. Disisi lain struktur

27 Tahapan-tahapan diatas menunjukan adanya celah yang dapat menimbulkan konflik dimana

pihak-pihak yang mempunyai kepentingan akan terbentuk seiring dengan berjalannya tahapan-tahapan diatas. Oleh karena itu kebijakan menjadi suatu hal yang sensitive yang dapat menjadi sebuah konflik. Winardi, op.cit.

151

social ini berhubungan erat dengan teori kelompok elit yang mana

konflik sangat sering terjadi dalam hal ini

2. Teori Psychocultural. Menekankan pada konflik sebagai kekuatan

psikologi dan cultural. Teori ini menunjukan bahwa suatu pihak perlu

memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal dan tingkah laku pihak

lain. Oleh karena itu kondisi social dan hubungan dengan pihak lain

menjadi suatu hal penting untuk diperhatikan dalam menghadapi

konflik ini karena kondisi psikologis dan culutaral ini merupakan

sebuah kekuatan nyata.28

3. Strategi manajemen konflik di pondok pesantren.

Menurut Ross (1993) strategi dalam memecahkan konflik adalah:

a. Menyelamatkan diri (Self-help)

Strategi self-help sering dilihat sebagai suatu tindakan sepihak yang

bersifat destruktif. Tindakan ini kadang dilakukan oleh pihak yang kuat

untuk menekan pihak yang lemah. Strategi self-help ini dapat digunakan

untuk tindakan yang konstruktif dalam bentuk menarik diri, menghindar,

tidak mengikuti, atau melakukan tindakan independen.29 Self-help ini juga

sering dilakukan oleh beberapa orang di pondok pesantren Darul Amanah

dalam upaya mengatasi konflik internal. Biasanya hal ini dipakai oleh

seorang kyai sendiri terutama apabila permasalahan yang timbul itu tidak

memungkinkan diselesaikan secara bersama (musyawarah). (Langkah-

28 Kedua sumber konflik diatas memerlukan penanganan yang berbeda. Teori structural

menerangkan bahwa strategi manajemen konflik memerlukan perubahan kondisi organisasi pihak tersebut secara mendasar. Kepentingan yang divergen sangat sulit untuk dijembatani. Teori psychocultural conflict dalam melakukan manajemen konflik memfokuskan pada proses yang dapat mengubah persepsi atau mempengaruhi hubungan antara pihak-pihak kunci. Dalam pandangan teori ini kepentingan lebih bersifat subjektif dan dapat berubah dibanding dalam pandangan teori struktural. Ibid.

29 Pihak yang lemah sangat tepat jika menerapkan strategi ini. Karena self-help merupakan tindakan sepihak yang potensial dapat meningkatkan respon, meyebabkan strategi ini sulit untuk mencapai solusi yang konstruktif. Ibid.

152

langkah yang dapat diambil dalam menerapkan strategi self-help, antara

lain: keluar dari tekanan, menghindari, mencari dukungan atas tindakan

yang akan dilaksanakan sebagai akibat dari kewengan yang dimiliki sangat

kecil), dan saling berbenturan kepentingan.

b. Solusi penyelesaian masalah (Joint problem solving). Joint problem

solving memungkinkan adanya kontrol terhadap hasil yang dicapai oleh

kelompok-kelompok yang terlibat. Masing-masing kelompok mempunyai

hak yang sama untuk berpendapat dalam menentukan hasil akhir. Strategi

ini membutuhkan penelusuran terhadap persoalan yang dihadapi.

Keputusan yang diambil secara bersama dapat dikatakan berasal dari

pendapat kelompok menurut standar masing-masing.30 Langkah-langkah

yang dapat dilakukan dalam strategi ini, yaitu: 1) Identifikasi kepentingan-

kepentingan yang terlibat dalam konflik sangat kompleks), 2) memberikan

penilainnya terhadap kepentingannya, 3) Pihak ketiga diperlukan untuk

memfasilitasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik), 4) harus

berkomunikasi aktif, 5) keputusan yang diambil harus dijalankan oleh

masing-masing pihak.

c. Perlunya pihak ketiga (Third-party decision making)

Konflik yang dihadapi individu, kelompok, dan masyarakat kadang

tidak dapat diselesaikan tanpa adanya pihak ketiga. Dalam strategi ini,

pihak ketiga membuat keputusan yang mengikat berdasarkan aturan-aturan

untuk mencapai hasil yang pasti. Strategi ini sedikit menawarkan

kompromi atau penyelesaian masalah secara kreatif, karena pihak ketiga

mempunyai otoritas penuh

4. Metode-metode Manajemen Konflik di Pondok Pesantren

1. Stimulasi (merangsang) Konflik.

30 Keputusan yang bersifat integrasi ini dapat melibatkan berbagai isu. Kesepakatan yang

diambil memberikan keuntungan tiap kelompok dengan kadar yang berbeda, seperti dalam "the prisoner’s dilemma game". Ibid.

153

Seperti telah disebutkan dimuka, konflik dapat menimbulkan

dinamika dan pencapaian cara-cara yang lebih baik dalam

pelaksanaan kegiatan kerja suatu kelompok. Situasi di mana konflik

terlalu rendah akan menyebabkan karyawan takut berinisiatif dan

menjadi pasif. Kejadian-kejadian, perilaku dan informasi yang dapat

mengarahkan orang-orang bekerja lebih baik diabaikan; para anggota

kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan

pelaksanaan kerja.

Metode stimulasi konflik meliputi: (1). Pemasukan atau

penempatan orang luar ke dalam kelompok, (2). Penyusunan kembali

organisasi, (3). Penawaran bonus, pembayaran insentif dan

penghargaan untuk mendorong persaingan, (4). Pemilihan manajer-

manajer yang tepat, da (5). Perlakuan yang berbeda dengan

kebiasaan.31 Metode-metode di atas digunakan oleh pesantren Darul

Amanah ketika terjadi kelesuan dan tidak adanya kesemangatan para

guru maupun karyawan. Biasanya kyai mengeluarkan kebijakan yang

masih memungkinkan banyak penafsiran dan banyak alternatif untuk

melakukan kebijakan tersebut, seperti kebijakan kontrofersial, dan

lain-lain.

2. Pengurangan dan Penekanan Konflik

Manajer (Kyai) biasanya lebih terlibat dengan pengurangan

konflik daripada stimulasi konflik. Metode pengurangan konflik

menekankan terjadinya antagonisme yang ditimbulkan oleh konflik.

Jadi, metode ini mengelola tingkat konflik melalui “pendinginan

suasana” tetapi tidak menangani masalah-masalah yang semula

menimbulkan konflik. Dua metode dapat digunakan untuk

mengurangi konflik. Pendekatan efektif pertama adalah mengganti

31 Lihat juga: James AF. Stoner dan R. Edward Freeman, Opcit, hlm. 562.

154

tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih bisa

diterima kedua kelompok. Metode efektif kedua adalah

mempersatukan kedua kelompok yang bertentangan untuk

menghadapi “ancaman” atau “musuh” yang sama.32

Sedangkan menurut James AF. Stoner sekurang-kurangnya

ada 3 metode untuk mengurangi konflik, yaitu: (1). Memberikan

informasi menyenangkan antara kelompok satu dengan kelompok

lain, (2). Meningkatkan kontak sosial yang menyenangkan dengan

berbagai cara, (3). Konfrontasi, atau berunding dan memberikan

penjelasan tentang berbagai informasi33. Hal-hal di atas juga sering

dilakukan oleh KH. Mas’ud Abdul Qodir sebagai pimpinan pesantren

Darul Amanah.

3. Penyelesaian Konflik

Metode penyelesaian konflik yang akan dibahas berikut

berkenaan dengan kegiatan-kegiatan para manajer yang dapat secara

langsung mempengaruhi pihak-pihak yang bertentangan. Metode-

metode penyelesaian konflik lainnya yang dapat digunakan,

mencakup perubahan dalam struktur organisasi, mekanisme

koordinasi, dan sebagainya. Ada tiga metode penyelesaian konflik

yang sering digunakan, yaitu:

a. Dominasi dan penekanan. Hal ini dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu: (1). Kekerasan (forcing), yang bersifat

menekan otokratik; (2). Penenangan (snoothing), merupakan

cara yang lebih diplomatis; (3). Penghindaran (avoidance),

dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang tegas;

(4). Aturan mayoritas (majority rule), mencoba untuk

32 T. Hani Handoko, Opcit, hlm. 351. 33 Lebih jelas lihat: James A.F. Stoner, Opcit., hlm. 563.

155

menyelesaikan konflik antar kelompok dengan melakukan

pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil.

b. Kompromi. Melalui kompromi, manajer mencoba menyelesaikan

konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh

pihak-pihak yang bersangkutan. Bentuk-bentuk kompromi

meliputi: (1) pemisahan (separation), (2). Perwasitan

(Arbitrasi), (3). Penyuapan (bribing).

c. Pemecahan masalah integratif. Dengan metode ini, konflik antar

kelompok diubah menjadi situasi pemecahan masalah bersama

yang dapat diselesaikan melalui teknik-teknik pemecahan

masalah. Ada 3 metode pemecahan konflik integratif: (1).

Konsensus, (2). Konfrontasi, dan (3). Penggunaan tujuan yang

lebih tinggi.34

Dari deskripsi analisis mengenai manajemen konflik di atas,

sebenarnya teori manajemen konflik sudah diterapkan di pesantren Darul

Amanah, hanya saja banyak yang kurang menyadari akan hal itu.

Walaupun ada yang belum pernah mendengar istilah tersebut, namun

mayoritas dari unsur pesantren Darul Amanah sudah memahaminya.

Mereka semua mengakui betapa pentingnya manajemen konflik bagi suatu

lembaga pendidikan khususnya pesantren. Dan mereka sangat

mengkhawatirkan betapa parahnya jika tidak adanya manajemen konfl€ik

di pesantren. Harapan mereka terutama Dewan Guru agar supaya

manajemen konflik ini benar-benar diaplikasikan di pesantren secara

komprehenship.

34 T. Hani handoko, Opcit., hlm. 352-353.

156

C. Manajemen Konflik Relevansinya Dengan Pengembangan Lembaga

Pendidikan Pesantren.

Manajemen konflik sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab

sebelumnya ternyata sangat relevan dengan pengembangan Lembaga Pendidikan

Islam khususnya pondok pesantren, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang

sudah dideskripsikan pada bab IV, dimana konflik (baik diciptakan, maupun

alamiah) jika bisa dikelola dengan profesional maka mampu memberikan

kontribusi positif bagi inovasi baru, dan efektifitas lembaga dalam

menyelenggarakan pendidikannya itu.

Sistem pendidikan Islam (pesantren, madrasah, sekolah Islam) di

Indonesia pada umumnya sangat lemah dan kualitasnya selalu tertinggal dengan

pendidikan umum lainnya. Kelembagaan sistem pendidikan Islam Indonesia juga

teralienasi, dan tidak jelas bedanya dengan pranata-pranata sosial Islam lain.

seluruh kelembagaannya bersifat non-formal dan milik pribadi, tidak profesional

dan bukan milik institusi.35. Pesantren Darul Amanah merupakan salah satu

lembaga pendidikan Islam yang menerapkan sistem modern, dimana hampir

seluruh kelembagaannya bersifat formal (kecuali hal-hal tertentu saja) dan

merupakan milik institusi (Yayasan). Dalam pengelolaan manajemen dan

administrasi tentunya berlaku secara modern pula, hal ini bisa dilihat pula dalam

mensikapi adanya konflik yang selama ini terjadi, dan mereka sudah seharusnya

menerima dan menganggap konflik sebagai aset yang dapat memberikan inovasi

dan mampu mengelola konflik lembaga menjadi konstruktif.

Berikut ini analisis hasil penelitian manajemen konflik relevansinya

dengan pengembangan lembaga pendidikan pesantren, baik konflik intrapersonal,

35 Dengan perkembangan zaman, kebutuhan untuk mempertegas batas-batas lembaga

pendidikan dan pranata sosial keagamaan adalah kebutuhan mendesak. Maka, sikap profesional semakin tumbuh pula. Meskipun demikian, masih adanya ganjalan serius, yaitu pertumbuhan kuantitatif jauh menggebu, sedangkan pertumbuhan kualitatif nyaris terabaikan. Secara jujur Barat justru berangkat dari titik strategi kualitatif, sedangkan kita berangkat dari titik dari kuantitatif dan masih mementingkan pemerataan. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cetakan II, hlm. 36

157

interpersonal, intragroup, intergroup, maupun interorganisasi, yang telah dialami

oleh Pesantren Darul Amanah Sukorejo Kendal Jawa Tengah.

1. Manajemen Konflik Intrapersonal Relevansinya dengan Pengembangan

Lembaga Pondok Pesantren

Konflik intrapersonal ialah konflik dimana seseorang dapat mengalami

konflik internal dalam dirinya karena ia harus memilih tujuan yang saling

bertentangan. Ia merasa bimbang mana yang harus dipilih atau dilakukan.

Konflik dalam diri seseorang juga dapat terjadi karena tuntutan tugas yang

melebihi kemampuannya.36

Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi bagi individu

ketika keahlian, tujuan atau nilai-nilai digelar untuk memenuhi tugas-tugas

atau pengharapan yang jauh dari menyenangkan. Konflik intrapersonal

merintangi kehidupan sehari-hari dan dapat menghentikan kegiatan beberapa

orang. “Manajemen stres” adalah obat penawar yang jitu untuk mengatasi

konflik jenis ini.37

Konflik tipe ini bisa terjadi pada setiap individu yang berada dalam

lingkungan masyarakat pesantren, baik Santri, Karyawan, Guru (Ustadz), dan

bahkan Pengurus Yayasan serta Kyai sekalipun. Dan jika konflik yang terjadi

mampu dikelola dengan baik tentu yang didapat adalah akibat-akibat positif

dan konstruktif.

Manajemen konflik intrapersonal di PPDA dapat dilakukan oleh

individu yang mengalami konflik itu sendiri, sehingga hasil dan tidaknya

manajemen konflik itu sangat tergantung dari bagaimana personal (individu)

itu dalam menganalisa, mensikapi, mencari solusi atas konflik yang terjadi

36 Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, Perilaku Keorganisasian, Edisi pertama,

(Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm. 103. 37 Bila kita sampai pada tingkat setres yang “mematikan”, kita berada dalam konflik

intrapersonal Tahap Dua, dan pada Tahap Tiga, konflik intrapersonal memiliki sifat destruktif

158

pada dirinya. Namun apabila secara pribadi ia tidak mampu menyelesaikan,

maka dalam hal ini biasanya membutuhkan intervensi (bantuan) dari pihak

lain. Adapun akibat-akibat positif atau menguntungkan dari adanya konflik

intrapersonal (di dalam individu) ini maka seseorang akan:

1. Memahami kekurangan diri sendiri

2. Mampu menyelesaikan permasalahan secara mandiri (self problem

solving)

3. Memotivasi diri untuk mampu berkembang

4. Meningkatkan kualitas diri dan kinerja secara efektif

5. Mendekatkan diri pada Allah SWT.

6. Jika ada kesulitan dalam penyelesaian secara pribadi maka diperlukan

dengan adanya intervensi dari orang lain (trutama atasan), yang

menghasilkan:

a. Adanya Guru Bimbingan Konseling (BK) b. Adanya Kedekatan Pimpinan dengan Guru dan santri (nasihat-

nasihat secara pribadi) c. Adanya kedekatan Guru dengan Santri d. Adanya keterbukaan antara individu dengan individu lainnya38.

Bagan Proses Manajemen Konflik Intrapersonal dan Hasilnya:

misalnya akan menjurus ke arah tindakan bunuh diri. Lihat: William Hendricks, Bagaimana Mengelola Konflik, penterjemah: Arif Santoso, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. pertama, hlm. 44.

38 Hasil wawancara . op.cit.

Konflik Intrapersonal

Proses Manajemen

Konflik

Penyelesaian secara pribadi

Penyelesaian intervensi

Hasil yang diperoleh

Sumber Konflik

159

2. Manajemen Konflik Interpersonal (antar individu) Relevansinya dengan

Pengembangan Lembaga Pondok Pesantren .

Konflik antar individu terjadi sering kali disebabkan oleh adanya

perbedaan tentang isu, tindakan, dan tujuan tertentu, di mana hasil bersama

sangat menentukan. Konflik interpersonal lebih jamak diasosiasikan dengan

manajemen konflik karena konflik ini melibatkan sekelompok orang.

Bagaimana seorang individu mengatasi konflik (interpersonal) akan

menentukan apakah konflik interpersonal itu dapat diselesaikan secara

efektif. Konflik tidak dapat diatasi secara eksternal tanpa seseorang itu

memiliki kendali secara internal. Namun biasanya seorang guru/ustadz,

pimpinan (Kyai) atau atasan sangat berperan dalam menyelesaiakan konflik

tersebut. Adapun hasil yang diperoleh dari konflik tersebut adalah:

1. Manajemen konflik antara seorang santri dengan seorang santri yang lain - Meningkatnya persaingan dalam berprestasi - Ukhuwah Islamiyah terjalin dengan baik - Terbentuknya Sarana Latihan Pengembangan bakat-minat (seperti

bela diri, dan lain-lain) - Perubahan sistem pemilihan (demokrasi terpimpin), pelatihan

kepemimpinan, dan seleksi bagi calon pengurus. - Meningkatnya Profesionalisme Kepengurusan Organisasi Santri

(seperti OSIS, OPDA, Pramuka, Persida, dan-lain-lain) - Pelatihan-pelatihan bagi santri berprastasi dan berbakat

2. Hasil manajemen konflik antara seorang guru dengan seorang guru lain - saling pengertian - Memacu prestasi antara guru-guru - Persamaan persepsi / tujuan - program pertemuan rutin Dewan Guru - Mempersatukan persepsi, menimbulkan keakraban, dan rasa

persaudaraan 3. Konflik antara seorang santri dengan seorang guru

- penyelenggaraan ramah-tamah antara santri dan guru - Penyadaran / nasehat terhadap santri dan guru juga sering dilakukan

oleh pimpinan pesantren baik dalam forum formal (ceramah, upacara) maupun nonformal (pribadi).

- Dibuatnya kotak saran bagi para guru dan pengurus39.

39 Wawancara dengan Ustadz Junaedi, op.cit.

160

Bagan Proses Manajemen Konflik Interpersonal dan Hasilnya:

3. Manajemen Konflik Intragroup Relevansinya dengan Pengembangan

Lembaga Pondok Pesantren.

Konflik yang terjadi ini lebih banyak disebabkan karena salah paham,

rasa curiga, iri hati dan rasa ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu

penyelasaiannya adalah dengan beberapa cara dan pendekatan.

Banyak sekali sumber yang menyebabkan timbulnya konflik di

dalam kelompok, akan tetapi secara garis besar berdasarkan penelitian ada

empat sumber, yaitu:40

40 Dari hasil penelitian para ahli, bahwa penyebab timbulnya konflik dalam kelompok

bermacam-macam, diantaranya adalah:1. Adanya kesalahfahaman (kegagalan dalam komunikasi), 2. Keadaan pribadi individu-individu yang saling konflik, 3. Perbedaan nilai, pandangan dan tujuan, 4. Perbedaan standar penampilan (performance), 5. Perbedaan-perbedaan yang berkenaan dengan cara, 6. Hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban, 7. Kurangnya kemampuan dalam unsur-unsur berkomunikasi, 8. Hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan, 9. Adanya frustasi dan kejengkelan. 10. Adanya kompetisi karena memperebutkan sumber yang terbatas, 11. Tidak menyetujui butir-butir dalam peraturan dan kebijakan. Lihat: Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Administrasi; Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993). Hlm. 235-236

Konflik Interpersonal

Proses Manajemen

Konflik

Kadar dan situasi konflik

Hasil yang diperoleh

Sumber Konflik

Model Kepemimpinan

Sikap individu yg. terlibat

konflik

Model Kepemimpinan

161

a. Ketergantungan dan kebersamaan dalam menggunakan sumber

b. Perbedaan dalam kelompok tentang tujuan, nilai dan persepsi

c. Ketidakseimbangan kekuasaan

d. Kekaburan (ambiguitas)

Adapun hasil yang diperoleh dengan adanya manajemen konflik

intragroup di Pesantren Darul Amanah adalah:

1. Manajemen konflik guru dengan guru lainnya

Seorang pimpinan harus memahami apa yang terjadi pada

bawahannya, sehingga pendekatan penyelesaian konflik bisa dilakukan

secara tepat. Manajemen konflik pada guru dengan guru lebih sering

dilakukan oleh mereka sendiri dan intervensi Kyai (pimpinan).

a. PPDA sering memberlakukan hukuman (sanksi) bagi yang melanggar peraturan dengan tanpa pandang bulu, baik santri, karyawan dan bahkan ustadz sekalipun.

b. Konfrontasi bagi yang terlibat konflik c. Peringatan dan Pengarahan Kyai terhadap mereka yang terkena kasus d. Adanya pertemuan-pertemuan yang bisa dijadikan fasilitas “sering

ide” dan sarana menjalin keakraban serta sebagai sarana untuk saling mengenal satu sama lain.

e. Membiarkan supaya dapat diselesaikan secara pribadi bagi yang terlibat konflik, terutama jika permasalahannya kecil dan sepele.41

2. Manajemen konflik seorang santri dengan santri lain

Manajemen konflik antara santri dengan santri biasanya dilakukan

melalui intervensi pengurus santri, guru / ustadz dan terkadang oleh kyai.

a. Membentuk Bagian Keamanan OPDA untuk menangani kasus b. Memberikan pengarahan-pengarahan c. Konfrontasi bagi yang terlibat d. Melatih bela diri bagi para pengurus khususnya kelas III MA (VI TMI). e. Penerapan sanksi yang mendidik dan membuat kapok f. Menyatukan tujuan, nilai dan persepsi g. Memberlakukan segala sesuatu secara adil h. Membagi tugas sesuai dengan kemampunnya42

41 Sebagaimana yang disebutkan dalam bab III tadi di atas, hasil wawancara dan dokumentasi. 42 Ibid.

162

Bagan Proses Manajemen Konflik Intragroup dan Hasilnya:

4. Manajemen Konflik Intergroup Relevansinya dengan Pengembangan

Lembaga Pondok Pesantren

Manajemen konflik intergroup di PPDA ini sangat relevan dengan

pengembangan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Adapun hasil yang

diperoleh dengan manajemen konflik tersebut adalah:

1. Penyelesaian konflik antara dewan guru dengan santri

Dari adanya manajemen konflik ini ternyata sangata relefan untuk

mengembangkan inovasi baru bagi segala permasalahan tekni yang

melibatkan guru dan santri. hasil pengembangannya diantaranya:

Terbentuknya tata tertib guru dan tata tertib santri secara komprehensip

dan mendalam, adanya pengarahan rutin bagi guru-guru oleh pimpinan

pesantren, adanya pelatihan bagi guru-guru tertentu (untuk menambah

profesionalisme bagi guru bersangkutan), adanya program mengaji kitab

kuning bagi para guru baik yang ada di asrama maupun yang lajo (pulang

pergi), pengarahan secara pribadi oleh pimpinan pesantren bagi guru

yang bermasalah dengan santri, dan lain-lain, adanya pengarahan bagi

santri kaitannya dengan tata tertib dan bagaimana cara menghormati

Konflik Intragroup

Proses Manajemen

Konflik

Kadar dan situasi konflik

Hasil yang diperoleh

Sumber Konflik

Intervensi

Kyai / pimpinan

Interaksi dan informasi

kelompok

Sikap masing-masing

individu

163

guru. Hal ini dilakukan setiap awal semester atau setiap upacara dan

senam pagi.

2. Penyelesaian konflik antara Guru dengan Kyai atau Pengurus Yayasan. a. Keluhan guru terhadap gaji. Hal ini menyebabkan adanya

kesefahaman antara kedua belah pihak, adanya keterbukaan

keuangan dan kepercayaan seperti adanya Laporan Keuangan setiap

tahun, adanya pemikiran untuk mencari donatur (temporer) dari para

pengusaha dermawan, kemudian berusaha menaikkan insentif bagi

para guru / ustadz dan ustadzah agar supaya merasa senang karena

kesejahteraan mereka terpenuhi dan pada giliranya mereka menjadi

semangat (Ghirah) dan profesional dalam bekerja atau

pengabdiannya di pesantren Darul Amanah

b. Perbedaan pandangan guru terhadap kebijakan dan sistem

pesantren. Adanya kebebasan berpendapat, mengeluarkan ide-ide

konstrutif, adanya kesempatan berekspresi dan mengungkapkan isi

hati,a danya “forum dengar pendapat” (tertutup maupun terbuka)

secara sopan dan etis, itulah diantara hasil yang diperoleh dari

manajemen konflik.

3. Hasil manajemen konflik antara pengurus koperasi dengan santri.

diantaranya adalah pelayanan yang memuaskan, karyawan-karyawannya

ramah, berkualitas dan profesional, karena mereka telah diikutkan dal€am

berbagai pelatihan koperasi baik tingkat Kabupaten ataupun Kodya dan

Propinsi, kemudian banyak dibukanya usaha-usaha baru, pengadaan

Fasilitas yang lengkap dan masih banyak lagi

4. Kebijakan pesantren tentang persamaan perlakuan terhadap guru. Dengan

manajemen konflik ternyata mampu memberikan kjontribusi positif yaitu

kesefahaman antar mereka yang terlibat konflik, adanya pendidikan

tambahan bagi guru yang masih memerlukan hal itu, menyeleksi para

calon guru, membuka Kelas Jauh Perguruan Tinggi guna melengkapi dan

164

memenuhi standar Sarjana (S-1) sebagaimana yang diusulkan oleh

banyak guru yang berijazahkan Sarjana.

Bagan Proses Manajemen Konflik Intergroup dan Hasilnya:

5. Manajemen Konflik Interorganisasi (antar Lembaga) Relevansinya

dengan Pengembangan Lembaga Pondok Pesantren

Manajemen konflik interorganisasi di PPDA ini sangat relevan

dengan pengembangan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Adapun hasil

yang diperoleh dengan adanya manajemen konflik tersebut adalah:

a. Manajemen Konflik Unsur Pesantren dengan Masyarakat Sekitar, hasil

yang diperoleh dari konflik ini sebagai berikut: Adanya Introspeksi ke

dalam lembaga pesantren sendiri, kyai sering memberikan penjelasan-

penjelasan mengenai kesibukan yang ia hadapi dan meminta dukungan

moril maupun materiil terhadap perkembangan pesantren, terutama pada

forum-forum formal di masyarakat, kyai berpartisipasi dalam mengisi

Khutbah Jum’ah di Kampung, kyai ikut kegiatan Tahlil dan Yasin setiap

malam Jum’at, kyai mengikuti Rapat-rapat yang diselenggarakan

masyarakat sekitar , pembuatan Lapangan Sepak Bola bersama antara

Konflik Intergroup

Proses Manajemen

Konflik

Kadar dan situasi konflik

Hasil yang diperoleh

Sumber Konflik

Intervensi

Kyai / pimpinan

Interaksi dan informasi

kelompok

Model dan kebijakan

Kepemimpinan

165

pesantren dengan masyarakat, santri yang terlibat konflik disidang

Pengurus OPDA dan bahkan Langsung oleh Guru/Ustadz, serta dijatuhi

hukuman yang sesuai dengan aturan, peraturan diperketat yang berkaitan

dengan masyarakat kampung, larangan berkeliaran di masyarakat

kampung, menyadarkan seluruh santri akan tanggung jawabnya menjaga

nama baik almamater, meningkatkan disiplin dalam berbagai aspek,

memberi kesempatan kerja kepada masyarakat kampung, membuka

peluang bisnis (setor jajan / barang di koperasi pesantren), pesantren

membantu kampung pada proyek-proyek tertentu, seperti pembangunan

Masjid, Lapangan, alat-alat olah raga, dan lain-lain), membagikan Zakat

Fitrah dan Daging Qurban pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Qurban,

membantu pendirian Madrasah Diniah, pengajian akhirussanah

melibatkan masyarakat kampung, mengisi pengajian di masjid / mushalla-

mushalla masyarakat kampung

b. Unsur Pesantren Dengan Orsospol atau Ormas.

Dengan seringnya terjadi benturan-benturan, maka Prinsip

Pesantren tetap dipegang teguh: “PPDA berdiri di atas dan untuk semua

golongan”. Adapun hasil yang diperoleh dengan manajemen konflik ini

adalah sebagai berikut: Adanya larangan untuk tidak menampakkan

atribut organisasi (ormas / orsospol) apapun selama berada di pesantren,

adanya kebebasan bagi ustadz dan santri untuk aktif dalam berbagai

organisasi sesuai dengan keyakinannya masing-masing, adanya larangan

membenarkan golongan sendiri saja dan menyalahkan golongan lain

(fanatisme golongan), rasa aman dan suasana demokratis benar-benar bisa

tercipta dengan baik.

166

Bagan Proses Manajemen Konflik Interorganisasi dan Hasilnya:

D. Rekapitulasi Deskripsi Hasil Temuan Penelitian

Matriks berikut mendeskripsikan mengenai manajemen konflik

relevansinya dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam (pesantren):

Manajemen Konflik Relevansinya Dengan Pengembangan Pesantren:

Bentuk Konflik, Penyelesaian Konflik dan Hasilnya N

O Jenis-jenis

Konflik

Bentuk Konflik Manajemen

Konflik

Hasil yang diperoleh

1

Intrapersonal

(konflik

di dalam diri

individu)

Individu

Santriwan /

santriwati

Individu Ustadz

/ Ustadzah

Individu

Stimulasi

konflik (jika

tidak ada atau

butuh konflik)

Manajemen

stres; (diajarkan

dzikir, puasa,

Ide-ide konstruktif, inovasi

baru, dan pengayaan

kreatifitas

Ketenangan, ketentraman, dan

kedekatan dengan Allah SWT.

Profesional, kedewasaan,

kepuasan, perhatian, dan

Konflik Interorganisasi

Proses Manajemen

Konflik

Kadar dan Situasi Konflik

Hasil yang diperoleh

Sumber Konflik

Keterlibatan Pengurus Yayasan

Interaksi Sosial

Masyarakat

Kebijakan Kelembagaan

Pesantren

Pendekatan Manajemen

Konflik

167

Karyawan

Individu Kyai

(Pimpinan

pesantren)

tahajud, dll)

Pengawasan

dan Pembinaan

Pengarahan dan

penyadaran

Bimbingan dan

Konseling

kemandirian

Kesadaran, introspeksi diri

Kesemangatan, Motivasi,

percaya diri, dan problem

solving (solusi: penyelesaian

masalah)

2 Interpersonal

(konflik

antar

individu)

Seorang santri

dengan santri

lainnya

Seorang ustadz

dengan ustadz

lainnya

Seorang ustadz

dengan seorang

santri

Konfrontasi

(dipertemukan)

Penyadaran dan

pengarahan

Problem solving

/ solution

(Solusi

pemecahan

masalah)

Perdamaian, kesefahaman,

kesepakatan dan kooperasi

(kerja sama)

Introspeksi diri dan saling

menghargai

Penambahan fasilitas (sarana

pondok, media belajar, dll.)

Pemenuhan kualitas, seperti

pelatihan, kursus, maupun

pendidikan khusus.

3 Intragroup

(konflik di

dalam

kelompok)

Seorang ustadz

dengan

kelompok

ustadz yang lain

Seorang santri

dengan

kelompok santri

yang lain

Seorang ustadz

dengan para

santri

Kompromi

Konfrontasi

(forum resmi

maupun

nonresmi)

Penenangan

(smoothing)

Pemecahan

masalah

integratif.

Kompetisi atau

komando

otoritatif

Kooperasi (kebersamaan /

kerja sama / ketergantungan)

Persamaan tujuan, nilai dan

persepsi (menyatukan visi dan

misi pesantren)

Saling mengenal dan

memahami satu sama lainnya

Kesadaran dan introspeksi diri

Pengembangan kualitas

ilmiah; seperti mendirikan

peguruan tinggi, pelatihan-

pelatihan dan lain-lain.

Persaingan ketat (fastabiqul

168

khairat)

Keseimbangan / kesesuaian

kekuasaan.

Job discribtion yang jelas

4 Intergroup

(konflik

antar

kelompok)

Dewan guru /

ustadz dengan

para santri

Dewan guru /

ustadz dengan

kyai (pimpinan

pesantren)

Pengurus

koperasi dengan

para santri

Bagian

administrasi /

TU dengan para

santri

Karyawan

dengan para

santri

Karyawan

dengan kyai /

pimpinan

pesantren

Kompromi

Pengarahan dan

penawaran-

penawaran

Akomodasi

(meratakan)

Pemecahan

masalah

integratif

Problem solving

solution

Kepuasan kepentingan parsial

semua pihak

Adanya tawar-menawar untuk

mencapai pemecahan-

pemecahan “akseptabel”

seperti efektifitas pelayanan,

peningkatan kualitas SDM,

dll.

Mempertahankan

keharmonisan

Penambahan fasilitas (sarana

pondok, gedung, media

belajar, dll.)

Peningkatan mutu lembaga,

profesionalisme, kenaikan

karier, insentif memadai, dll.

Adanya Anggaran Pendapatan

dan Belanja Pendidikan

(APBP) dan Laporan Tahunan

(Laporan Pertanggung

Jawaban / LPJ

Program pengembangan panca

jangka

5 Interorganisa

si (konflik

antar

Unsur pesantren

dengan

masyarakat

Penghindaran

(avoidance)

Dominasi atau

Ketentraman, keharmonisan

dan kepuasan

Pencapaian tujuan dan target

169

lembaga /

konflik

dengan

lembaga

luar)

sekitar

Unsur pesantren

dengan

orsospol

maupun ormas

penekanan

Kompromi

Konfrontasi

Penenangan

(smoothing)

yang telah direncanakan

Keharmonisan dan kooperatif-

inovatif

Kebebasan dan demokratis

Keakraban dan kooperatif

Introspeksi dan perbaikan diri

Ada tiga metode penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu

dominasi atau penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah integratif.

Metode-metode ini berbeda dalam hal efektifitas dan kreatifitas penyelesaian

konflik serta pencegahan situasi konflik di masa mendatang.

Adapun gaya atau pendekatan seseorang dalam hal menghadapi sesuatu

situasi konflik dapat diterangkan sehubungan dengan tekanan relatif atas apa

yang dinamakan cooperativeness (keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan

minat pihak lain) dan assertiveness (keinginan untuk memenuhi keinginan dan

minat diri sendiri). Adapun gaya dan intensi yang diwakili masing-masing gaya

sebagai berikut: (1). Tindakan menghindari, (2). Kompetisi atau komando

otoritatif, (3). Akomodasi atau meratakan, (4). Kompromis, (5). Kolaborasi

(kerja sama) atau pemecahan masalah.

.