BAB IV

25
BAB IV PEMBAHASAN Daerah pengamatan pada fieldtrip kali ini berada di sekitar kawasan Bayat. Fieldtrip ini, bertujuan untuk mengamati berbagai macam batuan beserta mineralnya, baik secara megaskopis maupun mikroskopis. Adapun stasiun pengamatan pada fieldtrip kali ini ada 4, adapun pembahasan per STA adalah sebagai berikut. 4.1. STA 1 STA ini berada di daerah Watu Prau. Di daerah ini terdapat dua LP yang keduanya berjarak + 150 meter antara LP 1 dengan LP 2. 4.1.1.LP 1 STA 1 / LP 1 terletak di antara G. Pendul dan G. Semangu. Orientasi medan dari daerah ini berdasarkan hasil pengeplotan dengan kompas geologi adalah sebesar N 178 o E terhadap G. Pendul dan N 332 o E terhadap G. Semangu. Pada daerah Watu Perahu tepatnya pada STA 1 LP 1 ini terdapat singkapan batugamping Nemulites. Dikatakan batugamping nemulites dikarenakan pada batuan gamping ini terdapat fosil Numulites. Oleh karena itu, batuan ini

description

laporan bayat

Transcript of BAB IV

BAB IV

BAB IV

PEMBAHASAN

Daerah pengamatan pada fieldtrip kali ini berada di sekitar kawasan Bayat. Fieldtrip ini, bertujuan untuk mengamati berbagai macam batuan beserta mineralnya, baik secara megaskopis maupun mikroskopis. Adapun stasiun pengamatan pada fieldtrip kali ini ada 4, adapun pembahasan per STA adalah sebagai berikut.

4.1. STA 1STA ini berada di daerah Watu Prau. Di daerah ini terdapat dua LP yang keduanya berjarak + 150 meter antara LP 1 dengan LP 2.

4.1.1. LP 1

STA 1 / LP 1 terletak di antara G. Pendul dan G. Semangu. Orientasi medan dari daerah ini berdasarkan hasil pengeplotan dengan kompas geologi adalah sebesar N 178oE terhadap G. Pendul dan N 332oE terhadap G. Semangu. Pada daerah Watu Perahu tepatnya pada STA 1 LP 1 ini terdapat singkapan batugamping Nemulites. Dikatakan batugamping nemulites dikarenakan pada batuan gamping ini terdapat fosil Numulites. Oleh karena itu, batuan ini dapat dipastikan sebagai batuan sedimen karena pada batuan ini terdapat fosil Numulites, karena fosil hanya dapat terendapkan pada batuan sedimen. Singkapan batugamping yang berisi fosil Numulites ini berdimensi panjang 4,5 m dan lebar 2 m. Di seberang lokasi singkapan batugamping ini juga terdapat singkapan batuan yang sama dengan dimensi yang lebih kecil yaitu 3 m x 2 m.

Batugamping ini dapat terbentuk karena kemungkinan adanya pengangkatan (uplift) dari dasar laut. Uplift ini terjadi akibat pertemuan antara Eurasian Plate (lempeng benua Eurasia) dengan Indo-Australian Plate (Lempeng Samudera Indo-Australia) yang menyebabkan terjadinya subduksi dan mengakibatkan dasar laut dimana kedua lempeng tersebut bertemu mengalami pengangkatan. Bukti yang dapat dilihat bahwa daerah ini dulunya merupakan dasar laut adalah dengan ditemukannya fosil foraminifera berjenis numulites, yang dimana organisme ini merupakan organisme yang hanya hidup di daerah laut. Sebelum terjadi pengangkatan, organisme numulites yang telah mati tersebut mengendap di dasar laut yang kemudian terubah menjadi fosil karena pengaruh tekanan dan perubahan suhu yang terjadi akibat proses subduksi tersebut. Setelah terjadi proses pemfosilan akibat pengaruh subduksi, dasar laut tersebut muncul ke permukaan dan menjadi suatu daratan seperti yang dapat dilihat pada saat ini, yang semua prosesnya terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.

Pengamatan Mikroskopis

Pada thin section dari sampel batuan yang telah disayat, dapat diamati beberapa fosil Numulites dari golongan Foraminifera. Kenampakan dari fosil ini yaitu berbentuk seperti kulit kerang dan berwarna abu-abu gelap jika dilihat menggunakan mikroskop polarisasi dengan nikol sejajar.

Pengamatan Megaskopis

Batuan ini memiliki tekstur klastik, dengan unsurnya berupa fragmen, semen dan matriks, karena batuan ini tersusun atas klastika-klastika yang terjadi karena proses pengendapan secara mekanis dan juga mineral penyusun batuan ini berasal dari batuan asal yang mengalami transportasi dan kemudian terendapkan pada lingkungan sedimen.

Komposisi penyusun batuan ini adalah fosil Numulites sebagai fragmen, material karbonat berukuran pasir sebagai matrik dan semen berupa material karbonatan. Material karbonat pada batuan ini berwarna abu-abu dan penyebarannya merata. Adapun material karbonatan ini diketahui dikarenakan timbulnya gelembung gas dan mengeluarkan suara mendesis setelah ditetesi HCl 0,1 M.

Jika ditinjau secara megaskopis, kita bisa melihat bahwa warna dasar dari batuan ini adalah abu - abu, dengan strukturnya yang berupa masif atau pejal. Teksturnya adalah klastik yaitu tersusun atas fragmen, matrik dan semen. Fragmen dari batuan ini berupa fosil Numulites, sedangkan matrik batuan ini adalah batupasir halus dengan semennya berupa material karbonatan. Ukuran butirnya adalah pasir halus yang berukuran 1/8mm-1/4mm. Berdasarkan tingkat sortasinya batuan ini tergolong batuan sedimen dengan sortasi baik atau well sorted, karena besar butirannya merata atau sama besar di segala tempat, kemasnya adalah tertutup dimana antar butiran batuan saling bersentuhan satu sama lain.4.1.2. LP 2

STA 1 / LP 2 ini juga terletak didaerah Watu Perahu, daerah lokasi ini berjarak sekitar 150 m dari LP1 ke arah barat. Di lokasi pengamatan ini dapat dilihat adanya singkapan batuan metamorf foliasi dengan dimensi + 5 x 3 m. Batuan metamorf ini merupakan batuan metamorf foliasi ,dikarenakan terlihatnya struktur parallel yang disebabkan oleh adanya penjajaran mineral mineral penyusun batuan tersebut, yaitu mineral mika, kuarsa, dan mineral karbonatan.

Batuan metamorf dapat terbentuk pada daerah yang merupakan zona subduksi, dan daerah patahan. Adanya tekanan dan perubahan suhu akibat adanya subduksi maupun karena terjadinya suatu struktur geologi, akan menyebabkan batuan-batuan yang sudah ada pada daerah tersebut mengalami proses metamorfik. Adapun lokasi pengamatan di STA 1 LP 2 ini termasuk zona subduksi akibat pertemuan antara Eurasian Plate (lempeng benua Eurasia) dengan Indo-Australian Plate (Lempeng Samudera Indo-Australia), sehingga terjadi perubahan tekanan dan suhu yang menyebabkan terbentuknya batuan metamorf.

Pengamatan mikroskopis

Pada thin section dari sampel batuan yang telah disayat, dapat diamati beberapa mineral yang merupakan penyusun batuannya. Adapun mineral yang dapat terlihat antara lain :

KuarsaPada pengamatan menggunakan mikroskop dengan ortoskop nikol sejajar, mineral ini memiliki warna dasar colorless yaitu putih yang mengindikasikan bahwa sifat kimia mineral ini adalah asam atau termasuk jenis mineral felsic. Bidang batas mineral kurang jelas, sehingga cenderung memiliki relief yang rendah. Ketika meja objek dinaikkan, garis Becke tampak mengarah ke dalam sehingga dapat diketahui bahwa reliefnya positif, jadi relief pada mineral ini adalah positif rendah. Mineral ini memiliki bentuk granular, yaitu memiliki bentuk membulat dan bidang batas antar mineral termasuk anhedral yang berarti mineral tersebut tidak dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri secara keseluruhan, dan tidak terdapat adanya belahan, pecahan maupun pleokroisme pada mineral tersebut. Pengamatan selanjutnya menggunakan ortoskop nikol bersilang. Warna interferensinya adalah abu-abu orde I sampai pink orde II. Pada posisi terang maksimum saat kompensator dimasukkan, ternyata warnanya berubah menjadi lebih lkuat. Hal tersebut menandakan terjadi adisi atau penambahab orde interferensi, dimana orde warna interferensi bertambah menjadi lebih tinggi setelah dilakukan pengamatan dengan kompensator kemudian dibandingkan dengan tabel interferensi warna ( Michel Levy Chart ). Mineral ini memiliki gelapan bergelombang yang dapat terjadi pada mineral yang mengalami distorsi atau tegangan sehingga orientasi sebagian sisi kristal mengalami perubahan berangsur-angsur, dan kedudukan gelapan masing-masing berbeda. Berdasarkan uraian di atas, dengan adanya warna yang colorless, gelapannya yang bergelombang, tidak memiliki belahan dan pecahan dan relief positif rendah, maka dapat disimpulkan bahwa mineral tersebut adalah kuarsa. Kuarsa merupakan mineral yang terdapat dalam batuan beku felsic, misalnya batuan granit, batupasir, kuarsit, dan sebagainya. Berdasarkan literatur yang ada, mineral ini memiliki sistem kristal hexagonal dan merupakan mineral anisotropik sumbu satu.

Plagioklas

Pada pengamatan dengan mikroskop nikol sejajar didapatkan bahwa warna dasar dari mineral tersebut yaitu colorless yaitu warna yang mengindikasikan memiliki sifat kimia asam atau merupakan mineral felsic. Bentuk dari mineral tersebut adalah prismatik, yang berarti memiliki bentuk yang menyudut, dengan bidang batas subhedral, yang berarti mineral tersebut dibatasi oleh hanya sebagian bidang mineralnya sendiri. Mineral ini memiliki pecahan yang tidak teratur (uneven) yakni pecahannya tidak memiliki pola. Bidang batas mineral tidak terlalu jelas, sehingga cenderung memiliki relief yang rendah. Ketika meja objek dinaikkan, garis Becke tampak mengarah ke dalam sehingga diketahui bahwa reliefnya positif. Mineral ini memiliki belahan yang satu arah dan tidak memiliki pleokroisme karena apabila meja objek diputar, mineral tidak menampakkan perubahan warna. Pengamatan selanjutnya menggunakan cara nikol bersilang dimana kompensator pada tubus difungsikan. Warna interferensi yang didapat setelah digunakan nikol bersilang adalah Putih ( orde 1 ) menuju kuning ( orde 1 ). Setelah diamati kedudukan gelapan pada mineral, jenis gelapannya adalah gelapan miring dengan sudut 49o. Mineral ini memiliki kembaran karlsbat - albit. Tanda rentang optik dari mineral ini adalah positif. Hal ini dapat diketahui dari warna Putih ( orde 1 ) menuju kuning ( orde 1 ). Mineral ini dapat dikatakan adisi setelah dilakukan pengamatan dengan kompensator kemudian dibandingkan dengan tabel interferensi warna ( Michel Levy Chart ). Berdasarkan deskripsi warna,bentuk, reliefnya yang positif, terdapat belahan 1 arah dan pecahan, serta memiliki warna interferensi Putih menuju kuning,maka dapat disimpulkan bahwa mineral ini adalah Plagioklas.

Pada pengamatan mikroskopis, tidak ditemukan adanya mineral mika dan karbonatan. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan pada thin section dari batuan sampel, mineral mika dan karbonatan tersebut tidak ikut tersayat, sehingga mineral tersebut tidak dapat diamati secara mikroskopis.

Pengamatan megaskopis

Warna dasar dari batuan ini adalah hitam keabu - abuan. Warna gelap tersebut menunjukkan bahwa mineral ini terbentuk oleh magma yang bersifat basa. Struktur batuannya adalah foliasi schistosic, karena pada batuan terlihat adanya susunan paralel mineral mineral yang berlembar, pada umumnya berupa mineral mineral mika.

Batuan ini memiliki tekstur kristaloblastik, karena tekstur asal dari batuan ini sudah tidak tampak akibat dari proses rekristalisasi. Berdasarkan ukuran butirnya, batuan ini memiliki tekstur fanerit, karena butiran butiran kristalnya masih dapat dilihat dengan mata telanjang. Berdasarkan bentuk individu kristalnya, batuan ini termasuk dalam tekstur subhedral idioblastik, karena sebagian bidang kristalnya dibatasi oleh bidang kristal itu sendiri, dan sebagian lagi dibatasi oleh bidang kristal dari kristal yang lain. Kemudian, berdasarkan bentuk mineralnya, teksturnya termasuk granoblastik karena mineralnya berbentuk granular, equidimensional, dan batas mineralnya tidak jelas ( sutured ).

Komposisi mineral penyusun batuan ini adalah kuarsa dan muskovit. Mineral kuarsa dapat diidentifikasi dengan melihat warnanya yang putih, cerat putih serta memiliki kekerasan 7 dalam skala mohs. Kelimpahannya dalam batuan metamorf ini sangat sedikit, sekitar 20%. Selain kuarsa, terdapat juga mineral muskovit yang berwarna gelap, dengan kilap lemak, bentuk subhedral.

Batuan ini termasuk metamorf foliasi. Penamaan batuan ini bisa ditentukan berdasarkan komposisi strukturnya. Dengan strukturnya yang foliasi schistosic, maka batuan ini dapat dinamakan sekis.4.2. STA 2

Stop site ini terletak di daerah Gunung Konang, dengan jarak 1 km dari STA 1. Untuk mencapai lokasi ini, kita harus menaiki lereng yang cukup terjal sejauh + 100 m yang terletak diselatan Gunung Konang. Di stasiun pengamatan ini terdapat singkapan dari batuan metamorf yang rekahan rekahannya terisi oleh kuarsa, yang kemudian membentuk urat kuarsa. Dalam Bowens Reaction Series, kuarsa terbentuk dititik pembekuan yang paling rendah, sehingga kemungkinan urat - urat kuarsa ini terbentuk setelah terbentuknya batuan metamorf tersebut. Setelah batuan metamorf tersebut terbentuk, mineral-mineral kuarsa yang baru terbentuk akan mengisi rekahan rekahan yang terdapat pada batuan metamorf tersebut.

Pada saat observasi, urat urat kuarsa yang ada telah mengalami pergeseran, yang kemungkinan bisa disebabkan oleh aktivitas penduduk sekitar yang menggunakan lahan tersebut sebagai jalan setapak dan perkebunan, akibat dari pergerakan bumi, atau akibat dari pelapukan yang terjadi di batuan metamorf dimana rekahan rekahan tersebut berada. Saat observasi, batuan metamorf yang ada kondisinya cukup rapuh, yang kemungkinan disebabkan pelapukan, sehingga posisi rekahan rekahan yang terisi mineral kuarsa pada batuan tersebut akan ikut bergeser.

Pengamatan Mikroskopis

Pada thin section dari sampel batuan kuarsa yang telah disayat, dapat diamati mineral yang merupakan penyusun batuannya, yaitu : Kuarsa

Pada pengamatan menggunakan mikroskop dengan ortoskop nikol sejajar, mineral ini memiliki warna dasar colorless yang mengindikasikan bahwa sifat kimia mineral ini adalah asam atau termasuk jenis mineral felsic. Mineral ini memiliki bentuk prismatik, yang bererti memiliki bentuk menyudut, anhedral yang berarti mineral tersebut tidak dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri secara keseluruhan dan tidak terdapat adanya belahan, pecahan maupun pleokroisme pada mineral tersebut. Bidang batas mineral kurang jelas, sehingga cenderung memiliki relief yang rendah. Ketika meja objek dinaikkan, garis Becke tampak mengarah ke dalam sehingga dapat diketahui bahwa reliefnya positif, jadi relief pada mineral ini adalah positif rendah. Pengamatan selanjutnya menggunakan ortoskop nikol bersilang. Warna interferensinya adalah abu-abu orde I sampai orange orde II. Pada posisi terang maksimum saat kompensator dimasukkan, ternyata warnanya berubah menjadi lebih kuat. Hal tersebut menandakan terjadi adisi atau penambahan orde interferensi, dimana orde warna interferensi bertambah menjadi lebih rendah setelah dilakukan pengamatan dengan kompensator kemudian dibandingkan dengan tabel interferensi warna (Michel Levy Chart). Mineral ini memiliki gelapan bergelombang yang dapat terjadi pada mineral yang mengalami distorsi atau tegangan sehingga orientasi sebagian sisi kristal mengalami perubahan berangsur-angsur, dan kedudukan gelapan masing-masing berbeda. Berdasarkan uraian di atas, dengan adanya warna yang colorless, gelapan bergelombang, tidak memiliki belahan dan pecahan dan relief positif tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa mineral tersebut adalah kuarsa.

Pengamatan Megaskopis

Warna dasar dari batuan sampel dari urat kuarsa ini adalah putih kecoklatan. Warna cerah tersebut menunjukkan bahwa mineral ini terbentuk oleh magma yang bersifat asam. Struktur batuannya adalah non foliasi hornfelsic, dikarenakan lapisan pada batuan metamorf ini tidak jelas, tapi terlihat adanya mozaik butiran butiran mineral yang berukuran seragam (equidimensional). Batuan ini memiliki tekstur kristaloblastik, karena tekstur asal dari batuan ini sudah tidak tampak akibat dari proses rekristalisasi. Berdasarkan ukuran butirnya, batuan ini memiliki tekstur afanitik, karena butiran butiran kristalnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Berdasarkan bentuk individu kristalnya, batuan ini termasuk dalam tekstur anhedral, karena kristalnya dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan lain di sekitarnya, dan xenoblastik karena mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral. Kemudian, berdasarkan bentuk mineralnya, teksturnya termasuk granoblastik karena mineralnya berbentuk granular, equidimensional, dan batas mineralnya tidak jelas ( sutured ).

Batuan ini memiliki komposisi mineral kuarsa,dengan tingkat penyebaran dari kuarsa pada batuan ini mencapai 100 %, sehingga bisa dikatakan bahwa batuan ini monomineralik.

Berdasarkan klasifikasi W.T Huang (1962) dengan melihat struktur, tekstur, dan komposisi mineralnya, yang 100 % kuarsa, dapat diperoleh nama batuan ini adalah quartzite.

4.3. STA 3

Lokasi pengamatan stop site ketiga terdapat di daerah pagar jurang, dengan jarak + 700 meter ke arah timur laut dari tempat pemberhentian bus di tepi jalan raya Pager Jurang. Di stasiun pengamatan ini dapt ditemukan singkapan batuan metamorf dengan ukuran yang cukup besar dengan lebar sekitar 3 meter. Batuan asal dari batuan metamorf ini adalah batuan beku dengan mineral penyusun berupa olivine dan piroksen, dimana batuan beku tersebut adalah batuan beku yang bersifat ultra mafic. Karena terjadi proses metamorfik, maka mineral penyusun batuan tersebut juga ikut terubah menjadi mineral serpentine. Batuan metamorf pada STA ini kemungkinan terbentuk akibat pertemuan antara Eurasian Plate (lempeng benua Eurasia) dengan Indo-Australian Plate (Lempeng Samudera Indo-Australia) yang menyebabkan daerah ini menjadi zona subduksi , sehingga terjadi perubahan tekanan dan suhu yang menyebabkan terbentuknya batuan metamorf. Akibat dari subduksi tersebut, mengakibatkan terjadi uplift sehingga dasar laut muncul ke permukaan dan menjadi suatu daratan seperti yang dapat dilihat sekarang. Karena batuan metamorf ini didominasi oleh mineral serpentin, maka batuan ini termasuk dalam batuan metamorf serpentinit.

Pengamatan Mikroskopis

Pada thin section dari sampel batuan metamorf serpentinit yang telah disayat, dapat diamati mineral yang merupakan penyusun batuannya, yaitu : Serpentine

Pada pengamatan dengan mikroskop nikol sejajar didapatkan bahwa warna dasar dari mineral tersebut yaitu gelap kecoklatan yaitu warna yang mengindikasikan memiliki sifat kimia basa atau merupakan mineral mafic. Bentuk dari mineral tersebut adalah fibrous, yang berarti memiliki bentuk terlihat seperti serat. Mineral ini memiliki pecahan yang tidak teratur (uneven) yakni pecahannya tidak memiliki pola. Mineral ini tidak memiliki belahan dan pleokroisme karena apabila meja objek diputar, mineral tidak menampakkan perubahan warna. Bidang batas mineral tidak terlalu jelas, sehingga cenderung memiliki relief yang rendah. Ketika meja objek dinaikkan, garis Becke tampak mengarah ke luar sehingga diketahui bahwa reliefnya negatif. Pengamatan selanjutnya menggunakan cara nikol bersilang dimana kompensator pada tubus difungsikan. Warna interferensi yang didapat setelah digunakan nikol bersilang adalah hijau orde II sampai abu-abu orde I. Setelah diamati kedudukan gelapan pada mineral, jenis gelapannya adalah gelapan miring dengan sudut 50o. Tanda rentang optik dari mineral ini adalah negatif. Hal ini dapat diketahui dari warna interferensinya dari hijau orde II sampai abu-abu orde I. Mineral ini dapat dikatakan substraksisetelah dilakukan pengamatan dengan kompensator kemudian dibandingkan dengan tabel interferensi warna ( Michel Levy Chart ). Berdasarkan deskripsi warna,bentuk fibrous, reliefnya yang rendah dan negatif, tidak terdapat belahan dan pecahan uneven, serta memiliki warna interferensi hijau orde II sampai abu-abu orde I,maka dapat disimpulkan bahwa mineral ini adalah Serpentine. Pengamatan Megaskopis

Warna dasar dari batuan sampel dari batuan serpentinit ini adalah kehijauan. Warna tersebut menunjukkan bahwa mineral dalam batuan ini bersifat ultra basa. Struktur batuannya adalah foliasi schistosic, karena terlihat kenampakan struktur planar pada suatu masa batuan, yang terbentuk karena adanya susunan parallel mineral-mineral pipih, prismatic atau lentikular (umumnya mika atau klorit) yang berukuran butir sedang sampai kasar. Batuan ini memiliki tekstur kristaloblastik, karena tekstur asal dari batuan ini sudah tidak tampak akibat dari proses rekristalisasi. Berdasarkan ukuran butirnya, batuan ini memiliki tekstur faneritik, karena butiran butiran kristalnya masih dapat dilihat dengan mata telanjang. Berdasarkan bentuk individu kristalnya, batuan ini termasuk dalam tekstur anhedral, karena kristalnya dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan lain di sekitarnya, dan xenoblastik karena mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral. Kemudian, berdasarkan bentuk mineralnya, teksturnya termasuk granoblastik karena mineralnya berbentuk granular, equidimensional, dan batas mineralnya tidak jelas ( sutured ).

Batuan ini memiliki komposisi mineral yang didominasi oleh serpentine, dengan warna hijau, kilapnya lemak, penyebaran dalam tubuh batuan merata, dan kelimpahannya sekitar 90%. Karena batuan ini didominasi oleh mineral serpentin, maka batuan ini termasuk dalam batuan metamorf Serpentinit. 4.4. STA 4

Stasiun pengamatan selanjutnya terdapat di daerah Gunung Kampak, yang merupakan stasiun pengamatan ke 4 sekaligus merupakan stasiun pengamatan terakhir dari rangkaian acara fieldtrip praktikum mata kuliah Mineralogi kali ini. Lokasi ini berjarak sekitar 3 km ke arah utara dari STA 3. Pada lokasi ini, dapat dilihat adanya singkapan batuan yang litologinya didominasi oleh batugamping, dengan struktur yang berlapis - lapis, warna putih kekuningan, masif, dan dengan tebal lapisan sekitar 30 40 cm. DIlihat dari batuannya yang bersifat masif, maka batugamping pada STA ini kemungkinan besar berasosiasi dengan kompleks terumbu karang ( reef ) yang sebelumnya terdapat di dasar laut. Penyebabnya kemungkinan hampir sama dengan STA STA sebelumnya, dimana batugamping ini dapat terbentuk karena adanya pengangkatan (uplift) dari dasar laut. Uplift ini terjadi akibat pertemuan antara Eurasian Plate (lempeng benua Eurasia) dengan Indo-Australian Plate (Lempeng Samudera Indo-Australia) yang menyebabkan terjadinya subduksi dan mengakibatkan dasar laut dimana kedua lempeng tersebut bertemu mengalami pengangkatan.

Pengamatan Mikroskopis

Pada thin section dari sampel batugamping yang telah disayat, dapat diamati mineral yang merupakan penyusun batuannya, yaitu :

Kalsit

Pada pengamatan dengan mikroskop nikol sejajar didapatkan bahwa warna dasar dari mineral tersebut yaitu colorless. Bentuk dari mineral tersebut adalah prismatik, yang berarti memiliki bentuk yang menyudut, dan anhedral yang berarti mineral tersebut tidak dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri secara keseluruhan. Mineral ini memiliki pecahan yang tidak teratur (uneven) yakni pecahannya tidak memiliki pola. Mineral ini memiliki belahan 3 arah, yang pada pengamatan mikroskopik hanya dapat dilihat 2 arah, tidak terdapat pleokroisme karena apabila meja objek diputar, mineral tidak menampakkan perubahan warna. Bidang batas mineral agak jelas, sehingga cenderung memiliki relief yang sedang. Ketika meja objek dinaikkan, garis Becke tampak mengarah ke luar sehingga diketahui bahwa reliefnya negatif. Pengamatan selanjutnya menggunakan cara nikol bersilang dimana kompensator pada tubus difungsikan. Warna interferensi yang didapat setelah digunakan nikol bersilang adalah kuning orde II sampai pink orde IV. Setelah diamati kedudukan gelapan pada mineral, jenis gelapannya adalah gelapan miring dengan sudut 40o. Tanda rentang optik dari mineral ini adalah positif. Hal ini dapat diketahui dari warna interferensinya dari kuning orde II sampai pink orde IV. Mineral ini dapat dikatakan adisi setelah dilakukan pengamatan dengan kompensator kemudian dibandingkan dengan tabel interferensi warna ( Michel Levy Chart ). Dari sifat-sifat optik yang telah diketahui melalui pengamatan mikroskopik dengan nikol sejajar dan nikol bersilang, maka dapat kita ketahui bahwa mineral ini memiliki sifat yang khas, yaitu memiliki belahan tiga arah, sehingga mineral ini adalah mineral kalsit. Pengamatan MegaskopisWarna dasar dari batuan sampel dari batugamping ini adalah putih kecoklatan. Struktur batuannya adalah masif, dan termasuk batuan sedimen non klastik karena tersusun atas Kristalin karbonat yang terjadi karena proses pengendapan yang mengkristal kembali menjadi mikrokristalin.

Material karbonat pada batuan ini berupa kalsit berwarna putih kecoklatan, kekerasan 3 dalam skala MOHS dan penyebarannya yang merata. Berdasarkan strukturnya yang masif, dan teksturnya berupa klastik kristalin karbonat, maka batuan ini berasal dari hasil presipitasi kimiawi karena proses pelapukan dan proses rekristalisasi dari materal gamping lainnya.Berdasarkan ciri - ciri tersebut maka batuan ini dapat dinamakan batugamping Kristalin Karbonat.

Gambar 4.1. Batugamping dengan fosil Numulites pada STA 1 LP 1

Gambar 4.2. Batuan metamorf foliasi schistosic pada STA 1 LP 2

Gambar 4.3. Batuan metamorf pada STA 2

Gambar 4.4. Urat kuarsa pada STA 2

Gambar 4.5. Batuan Metamorf Serpentinit

Gambar 4.6 Contoh batugamping pada STA 4

Gambar 4.7

Daerah pada STA 4 yang litologinya didominasi oleh batugamping