Bab iv

13

Click here to load reader

Transcript of Bab iv

Page 1: Bab iv

10

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Peristiwa Kerusuhan Suporter

Banyak sekali kerusuhan-kerusuhan suporter yang terjadi di Indonesia

contoh-contohnya adalah sebagai berikut:

4.1.1. Kerusuhan Lebak Bulus

Pertandingan lanjutan Liga Indonesia 2007 antara Persib Bandung

dan Persija Jakarta di Stadion Lebak Bulus pada hari Kamis (16/8) 2007

diwarnai dengan aksi teror.Laga yang akhirnya dimenangi Persija dengan

skor 1-0 diawali dengan perilaku tidak menyenangkan dari suporter

Persija.Perilaku tak menyenangkan ini dimulai saat Persib menuju stadion,

bus yang mengangkut mereka ditimpuki batu. Kaca bus hampir di semua sisi

hancur. Beberapa ofisial dan pemain terluka akibat pecahan kaca. Saat

hendak menuju ruang ganti stadion, Zaenal Arif dan Eka Ramdani terkena

pukulan dari oknum suporter yang memakai atribut Jakmania. Kiper Persib,

Tema Musadat, juga sempat tergeletak terkena lemparan benda keras pada

pertengahan babak pertama. Kondisi sama dialami Lorenzo Cabanas saat

hendak mengambil tendangan bebas pada babak kedua. Official Persib yang

berada di bench tak luput dari lemparan botol mineral dari oknum suporter di

atas tribun. "Dalam kondisi begini pemain kelas dunia mana pun tak akan

konsentrasi bertanding," kata Yossi Irianto, manajer Persib. Pengurus The

Jakmania menyayangkan sikap tak simpatik anggota dan simpatisannya.

Menurut Ketua suporter Persija, Danang Ismartani, aksi brutal dipicu dendam

teror yang diterima Bambang Pamungkas dkk. di Bandung pada putaran

pertama. Karena kejadian ini Komisi disiplin BLI bersikap adil dan

menghukum suporter Persija dengan hukuman dilarang menonton

pertandingan yang dilakukan Persija.

Page 2: Bab iv

11

4.1.2. Kerusuhan Persija

Pertandingan semifinal Liga Djarum 2007 di Gelora Utama Bung

Karno, Rabu (06/02/2008) antara PSMS Medan dengan Persipura

Jayapura,diakhiri dengan kerusuhan. Pertandingan yang dimenangi PSMS

Medan lewat drama adu pinalti, membuat para suporter Persija yang ada di

sana mengolok-olok suporter Persipura. Tidak senang atas perlakuan

suporter Persija, suporter Persipura pun rusuh dengan suporter Persija.

Kerusuhan ini mengakibatkan tewasnya salah satu suporter Persija.

Berdasrkan kerusuhan ini Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga

(Menegpora) Adiyaksa Dault, melarang semua klub lokal untuk

menggunakan Stadion GBK dalam event apapun, Menegpora sudah tidak

bisa mentolerir lagi aksi anarkis yang sering dilakukan pendukung klub, dan

tewasnya seorang Jakmania semakin menguatkan keputusan

tersebut.Menurut Menegpora, kerusuhan demi kerusuhan yang sering terjadi

dalam sepak bola Nasional, sudah harus dihentikan, jika tidak Menegpora tak

segan-segan menghentikan Liga Indonesia, bahkan untuk partai final musim

ini yang hanya tinggal menunggu hari sekalipun. Jika GBK tertutup untuk klub

lokal, maka partai final musim ini yang mempertemukan All Sumatera final

antara Sriwijaya FC vs PSMS Medan dipastikan tidak akan di gelar di GBK,

Menegpora menyarankan Stadion Gelora Jaka Baring Palembang menjadi

alternatifnya.

4.2. Penyebab Kerusuhan Suporter

Mengingat akhir-akhir ini banyak terjadi kerusuhan suporter di daerah-

daerah sekitar Indonesia, apakah penyebab kerusuhan suporter ini.

Penyebab kerusuhan itu antara lain adalah:

4.2.1. Kurang dewasanya para suporter dalam mengendalikan emosi

Kedewasaan dalam berfikir memang dibutuhkan semua orang, dalam

hal ini para supoter. Kita bisa lihat, orang yang masuk menjadi

Page 3: Bab iv

12

kelompok suporter memiliki berbagai profesi mulai dari pelajar,

mahasiswa, karyawan, dan lain-lain. Bagi karyawan dan orang yang

sudah dewasa seharusnya mampu mengendalikan diri sehingga dapat

menjadi suporter yang baik, jangan hanya dapat membuat kerusuhan.

Selain itu mereka juga harus memberitahu pada yang lebih muda

sehingga yang lebih muda pun tahu dan tidak membuat kerusuhan.

Jika hal ini masih dipertahankan kerusuhan-kerusuhan lainnya

mungkin akn terjadi.

4.2.2. Fanatisme yang berlebihan dari suporter

Fanatisme satu kata yang menandakan kesukaan, kecintaan,

kegemaran kepada sesuatu. Baik itu benda, warna, dan lain-lain. Kelompok

suporter pasti memiliki fanatisme pada tim daerahnya. Namun seringkali

fanatisme suporter itu terlalu berlebihan sehingga mereka tidak bisa melihat

tim mereka kalah. Dalam hal itu mereka mencari cara lain salah satunya

membuat kerusuhan.

4.2.3. Kurangnya pengamanan

Pengamanan dalam suatu pertandingan penting sekali peranannya

dalam berlangsungnya jalan pertandingan. Pengamanan di suatu

pertandingan juga ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusuhan suporter.

Tapi pengamanan yang dikerahkan nampaknya kurang maksimal dapat

dilihat masih banyak terjadi kerusuhan. Hal ini merupakan sektor yang harus

diperbaiki agar dapat mengurangi tragedi-tragedi kerusuhan di Indonesia.

4.2.4. keadaan stadion yang kurang baik

Keadaan stadion mungkin sebab terkecil terjadi kerusuhan. Namun hal

ini pun masih harus diperhatikan. Masih banyak stadion-stadion yang masih

Page 4: Bab iv

13

tidak mampu menghalau suporter, seperti pagar yang kurang tinggi dan

kokoh. Jika hal ini dapat diperbaharui di stadion-stadion di Indonesia

suporterpun dapat terhalau karena baiknya keadaan stadion.

4.3. Dampak Kerusuhan Suporter

Kerusuhan suporter yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan dampak-

dampak negatif seperti:

4.3.1. Jatuhnya banyak korban.

Suatu kerusuhan suporter tentu akan berakibat fatal. Tidak jarang bagi

setiap kerusuhan yang memakan korban jiwa. Tidak hanya satu atau dua

korban jiwa bahkan puluhan orang pun dapat menjadi korban jiwa. Dan baru

akhir-akhir ini kerusuhan antara suporter Persija-Persipura yang

mengakibatkan tewasnya satu suporter Persija.

4.3.2. Makin buruknya citra persepakbolaan Indonesia terutama nama PSSI.

Citra olahraga sepakbola di suatu negara menjadi kebanggaan bagi

negara tersebut. Bagi rakyat Indonesia citra inilah yang diharapkan

agar membaik. Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan.

Kita bisa lihat Timnas Indonesia tidak dapat menunjukan prestasi yang

baik, ditambah dengan kerusuhan-kerusuhan suporter. Untuk itulah

nama PSSI yang dituntut agar dapat memperbaiki citra sepakbola

Indonesia. Jika tidak nama PSSI lah yang menjadi semakin buruk.

4.3.3. Rusaknya keadaan stadion akibat kerusuhan.

Kerusuhan suporter memang akan mengakibatkan kerugian-kerugian

diantaranya adalah rusaknya fasilitas-fasilitas stadion. Akibatnya terasa

sekali pada pembina stadion yang harus memperbaiki keadaan stadion

seperti semula agar layak untuk digunakan kembali.

4.3.4. Keselamatan pemain di masing-masing tim terancam.

Page 5: Bab iv

14

Tidak jarang bagi para suporter untuk rusuh di dalam lapangan bukan

hanya di luar stadion. Kerusuhan yang berlangsung di dalam lapangan inilah

yang lebih berbahaya. Selain menunda jalannya pertandingan, hal ini juga

membahayakan pemain. Tidak jarang para suporter rusuh karna ada salah

satu pemain yng mungkin membuat suporter jengkel degan kelakuannya

sehingga suporter masuk ke dalam lapangan untuk menyerang pemain. Jika

suda begini pemain pun akan rugi karna tidak dapatmengikuti pertandingan

timnya.

4.3.5. Pertandingan yang berlangsung menjadi tertunda.

Kerusuhan suporter yang berdampak besar sering sekali membuat

panitia pelaksana kerepotan baik dengan keadaan stadion yang rusak

ataupun wasit & pemain yang terkena sasaran kerusuhan. Untuk itu panitia

pelaksana mengambil keputusan untuk menunda pertandingan.

4.3.6. Klub yang didukung suporter bermasalah akan mendapat sanksi.

Setiap kerusuhan suporter pasti akan menimbulkan kerugian bagi

suporter tersebut. Kerugian itu adalah sebuah hukuman. Bagi PSSI hukuman

berupa sanksi yang sering diberikan bagi suporter bermasalah. Sanksi yang

diberikan biasanya adalah dilarang menonton pertandingan timnya.

4.3.7. pemindahan pertandingan

Jika dalam event sepakbola pertandingan final adalah hal yang

diutamakan. Mulai dari penetapan lapangan sampai wasit. Namun jika

lapangan yang ditetapkan bermasalah seperti baru saja terjadi kerusuhan di

lapangan tersebut. Lapangan tersebut harus disterilkan terlebih dahulu dan

panitia pelaksana harus memindahkan pertandingan ke lapangan yang

lainnya. Permasalahan ini sma seperti final LDI 2007 lalu. Pertandingan final

yang harusnya dilaksanakan di Stadion Gelora Bung Karno ini harus

Page 6: Bab iv

15

mengalami pemindahan pertandingan. Pertandingan antara PSMS Medan

dan Sriwijaya FC ini akhirnya dilaksanakan di Stadion Jalak Harupat,

Bandung dan mengalami pemunduran waktu pertandingan.

4.4. Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat

Pendekatan (STM) Sains Teknologi Masyarakat merupakan

terjemahan dari science technology and society approach (STS) yang

merupakan pendekatan pembelajaran, dikembangkan berdasarkan pada

filosofis kontruktivisme. Pendekatan pembelajaran tersebut telah berkembang

pesat di Amerika dan Inggris sejak awal tahun 1970-an. Pendekatan STM (

Sains Teknologi Masyarakat ) didasarkan pada perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan Sains Teknologi Masyarakat.

(http://pelangi.dit-pp.go.id).

Sedangkan menurut para tokoh lain bahwa pendekatan Sains

Teknologi Masyarakat (STM)merupakan salah satu pendekatan

pembelajaran kontekstual yang dapat membantu orang untuk membuat

pelajaran menjadi lebih berarti. Karena di dalam Sains Teknologi Masyarakat

(STM) ini berkatain dengan kehidupan yang nyata, dalam pembelajaran yang

bersumber dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) disini

masyarakat memiliki perasaan, perhatian, kemauan, ingatan dan pikiran yang

mengalami perubahan berkat pengalaman hidup. Pengalaman dengan teman

sebayanya berpengaruh kepada kemampuan menyerap dan perilaku belajar.

Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang

memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan

pembelajaran dapat dikatakan terjadi belaajr, apabila terjadi prsoes

perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman.

Page 7: Bab iv

16

4.4.1. Peneraparapan Pendekatan Teknologi melalui “National Suporter ID

Card (NASIC)”

Dalam pendekatan teknologi adalah pendekatan yang digunakan

dalam memberikan terobosan terbaru yang meminimalisir atau mengurangi

terjadinya konflik di antara pendukung(Suporter) club sepak bola di

Indonesia. Salah satu solusi yang diberikan adalah pembuatan “National

Suporter ID Card (NASIC)”

NASIC adalah sebuah kartu anggota berupa ID card yang berlaku secara

nasional. ID card ini harus dimiliki oleh seluruh suporter klub sepakbola di

Indonesia, yang menunjukan bahwa terjalin dalam ikatan suporter sepakbola

Indonesia.

Untuk mendapatkan NASIC tidak semudah mendapatkan kartu

anggota biasa yang dapat diperoleh di sekretariatan perkumpulan suporter

sepak bola yang bersangkutan. NASIC akan dibuat dan diberikan langsung

dari pemerintah. Dan untuk mendapatkan NASIC maka perlu mengikuti

sebuah pelatihan dan seminar tentang suporter klub sepakbola Indonesia. Di

dalam seminar itu akan diberikan materi-materi serta penyuluhan-penyuluhan

tentang peraturan-peraturan suporter yang berlaku secara nasional dan

dilegalkan oleh pemerintah.

Dengan adanya NASIC maka akan tersaring suporter-suporter yang

baik dan berkulitas. Setelah mengikuti seminar NASIC maka akan diadakan

sebuah test yang digunakan untuk mengambil NASIC tersebut. Dengan

begitu, maka suporter di indonesia akan semakin berkualitas dan tersertifikasi

secara nasional juga memberikan ide-ide kreatif yang mereka tuangkan

dalam mendukung klub kebanggan mereka saat bertanding. Tidak

menyangkut kemungkinan, akan diadakan lomba-lomba antar suporter untuk

menjalin hubungan baik antar suporter sepakbola di Indonesia. NASIC akan

Page 8: Bab iv

17

digunakan sebagai salah satu syarat untuk menonton pertandingan klub

sepakbola.

NASIC akan menjadi solusi tepat dalam mengatasi konflik yang terjadi

di antara suporter klub sepakbola Indonesia.

4.4.2. Peneraparapan Pendekatan sosial Masyarakat

Kenapa keributan antarsuporter begitu marak, perkelahian

antarpemain jadi trendi, bahkan menimpuki pemain yang kita dukung pun

merupakan merebak? Jangan bilang karena kita dasarnya tak tahu aturan.

Penjelasan itu tak benar sama sekali.

Budaya adalah titik tolak banyak hal. Secara lebih spesifik, kita di sini

bicara soal norma dan nilai, dua hal yang menjadi dasar pembentukan kode

moral sebuah budaya, sistem-sistem simbol di mana perilaku diberi label "

baik", "buruk", "benar", atau "salah". Dengan begitu, satu perilaku hanya

disebut sebagai penyimpangan (deviance) atau normal jika kita mengetahui

siapa pelakunya dan dalam konteks sosial atau budaya apakah dia bertindak.

Secara sosiologis, perilaku normal adalah perilaku yang

mengonformasi aturan dan norma kelompok di mana satu perilaku terjadi. Di

sisi lain, penyimpangan (deviant behavior) adalah perilaku yang gagal

melakukan konformasi terhadap aturan dan norma kelompok (Durkheim,

1960). Karena kode moral sangat beraneka di antara satu kelompok dengan

kelompok lain, kita mesti memahami kode moral kelompok asal pelaku satu

perilaku. Pun begitu jika kita ingin mencari solusi tepat yang dapat

menghentikan perilaku tersebut tidak terjadi lagi. Tanpa memahami kode

moral yang menjadi konteks sosial dan budaya pelaku satu tindakan

penyimpangan, upaya mencari sosial dapat dianggap tidak mungkin berhasil.

Page 9: Bab iv

18

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka

menghentikan perilaku menyimpang atau deviant behavior ini. Satu yang

paling populer adalah mekanisme kontrol sosial, yang terdiri atas bagian: alat

kontrol internal dan alat kontrol eksternal.

Dalam kontrol internal, hal pertama yang mesti ada adalah proses

sosialisasi terhadap norma dan nilai, yang selanjutnya merupakan sosialisasi

terhadap kode moral. Selanjutnya, sebagai akibat dari proses sosialisasi itu,

kode moral satu kelompok mesti terinternalisasi, menjadi satu bagian dari

kehidupan emosional dan kognitif individu sehingga jika ia melakukan satu

deviance, ia akan mengalami berbagai konflik emosi seperti rasa bersalah,

perasaan tidak nyaman, ketegangan, kegelisahan, hingga satu gejala yang

disebut sebagai self-depreciation.

Dalam kontrol eksternal, satu elemen yang penting adalah sanctions.

Sanctions bisa positif dan negatif. Dalam pengejawantahannya, sanctions ini

kerap disebut punishment (hukuman) jika negatif dan reward (imbalan) jika

positif—ini kerap diaplikasikan dalam perilaku organisasi atau manajemen

sumber daya manusia. Artinya, pemegang otoritas (dalam konsep Max

Weber) memang kerap memegang peran sentral dalam eksternal kontrol

terhadap deviant behavior, yang di dalamnya termasuk tindakan kriminal.

Masalah muncul di sini. Dalam menganalisis aksi-aksi kerusuhan

suporter dalam dunia sepakbola Indonesia, suara yang kerap keluar selalu

bernada pesimistis dan penuh rasa putus asa: "Ah, susah. Orang Indonesia

norak." Psikologi orang kalah (psychology of losers), satu hal yang

dideskripsikan Azyumardi Azra dalam artikel opininya di Kompas hari ini (4/9),

pun mendekam dalam diri kita. Seolah-olah masalah yang menjangkiti

sepakbola Indonesia bukan sesuatu yang dapat diatasi. Selain itu, sikap lain

yang muncul adalah mentalitas deterministik. Artinya kacau atau tidaknya

suporter kita bergantung pada kesadaran tiap individu dalam kerumunan

suporter itu sendiri! Ini jelas satu proposisi yang absurd karena kesadaran

Page 10: Bab iv

19

individu dalam kerumunan jelas tidak akan bisa berfungsi. Dalam satu

kerumunan (crowd) individualitas bisa larut. Yang tertinggal hanyalah

psikologi, logika, kode moral, dan perilaku kerumunan. Jadi jelas bahwa

gagasan menunggu kesadaran bisa mulai disimpan rapi di tong sampah.

Satu hal penting yang mesti dicermati dari masyarakat yang menjadi

konteks terjadinya satu kerusuhan adalah logika sosial dan budaya yang

berlaku dalam masyarakat tersebut. Nilai dan norma apa yang berlaku di

dalamnya? Kode moral apa yang berlaku di dalamnya? Berbuat rusuh dan

kacau dalam pertandingan sepakbola merupakan satu kesalahan jangan-

jangan hanya merupakan kode moral kita, bukan mereka. Untuk tahu

bagaimana kode moral mereka, akan sangat membantu jika kita mengetahui

apa kode moral opinion leader atau patron-patron mereka. Ya, dalam konteks

kerusuhan sepakbola Indonesia, kita mesti mengetahui bagaimana kode

moral para gubernur, bupati, manajer tim, pemodal, hingga pentolan suporter

mereka.

Para suporter, dalam logika strukturasi ala Anthony Giddens, adalah agensi-

agensi yang hidup dalam struktur. Dalam mind set Micehele Foucault, kita

bisa menganggap mereka sebagai agensi yang hidup dalam habitus. Untuk

memahami motives dan drives mereka, jelas kita mesti memahami habitus

mereka.

Ambivalensi nilai bukan hal aneh bagi masyarakat Indonesia , yang

tingkat pendidikannya masih terbilang amat rendah secara kuantitas dan

terbelakang secara kualitas. Apa yang dianggap baik di sekolah, bisa

dianggap menggelikan di masyarakat. Apa yang dianggap satu keharusan

dalam undang-undang lalu lintas bisa dianggap sebagai kekonyolan di jalan

raya. Lihat saja berapa banyak pengendara motor yang berhenti di garis putih

atau tetap bertahan di jalurnya yang macet dan tidak pindah ke jalur yang

berlawanan arah. Satu contoh lain adalah logika berpikir "budaya asik" yang

muncul di Indonesia--sebagai implementasi dan dampak relativisme moral

Page 11: Bab iv

20

yang amat dikhawatirkan Paus Benediktus--sejak 1970-an. Jika diamati

secara serius, sosok-sosok yang proses sosialisasi amat maksimal--sehingga

bisa disebut gaul--amat permisif dan terbuka pada deviasi-deviasi perilaku.

Mereka kerap menjadi agen-agen--dalam logika Giddens--yang

mempengaruhi struktur untuk menerima deviant behavior. Kenapa? Karena

habitus mereka mensyaratkan demikian. Radikalisme bukanlah satu hal yang

sangat "gaul" dan dapat mengganggu penerimaan kelompok terhadap diri

mereka. Bahkan prinsip dan identias nyata dapat mereka anggap tidak perlu.

Dalam budaya "gaul", satu hal yang sangat penting adalah karakter "dapat

diterima semua kelompok yang memiliki kode moral berbeda-beda". Untuk

dapat diterima di mana-mana seperti itu, identitas kode moral dan prinsip

menjadi sesuatu yang bisa ditabukan. Agensi-agensi seperti ini masuk ke

dalam kelompok dan larut dalam dalam kode moral kelompok tersebut. Jika

kemudian mereka pindah kelompok, kode moral mereka pun akan berubah.

Itu yang terjadi pada banyak individu dalam kelompok suporter Indonesia.

Situasi akan semakin parah jika satu kelompok suporter dihuni oleh mayoritas

individu yang nilai dan norma koralitasnya belum terbentuk secara baku,

misalnya teenager (13-19 tahun). Namun, itu pun tidak berarti bahwa yang

gaek tidak dapat terpengaruh. Yang berusia 30-an atau 40-an pun masih

banyak yang tidak (atau belum) memiliki kode moral yang baku sehingga

permisif terhadap fenomena apa pun.

Ini adalah buah kegagalan pendidikan sebagai proses sosialisasi

terhadap nilai. Orientasi pendidikan yang bergeser menjadi "institusi

pemenuhan kebutuhan tenaga kerja" telah menciptakan individu-individu

kosong tanpa nilai. Dalam logika sistem pendidikan seperti ini, pragmatisme

John Dewey sangat kental membayangi. Abstraksi kehidupan dan

internalisasi fenomena menjadi sesuatu yang dianggap merepotkan. Individu

dipacu untuk mengejar kemampuan praktis, betapa pun sederhananya

kemampuan itu.

Page 12: Bab iv

21

Solusi dari semua masalah di atas adalah proses resosialisasi, satu

konsep yang mendasari pembentukan institusi-institusi sosial yang penting di

masyarakat dalam menanggulangi deviant behavior: penjara! Ya,

resosialisasi adalah elemen terpenting dalam institusi yang disebut penjara—

meskipun ini dikritik habis-habisan oleh Foucault. Namun, resosialisasi tidak

hanya bisa dilakukan di penjara. Media dan ruang publik (konsep public

sphere Jurgen Habermas) dapat menjadi sarana resosialisasi yang ampuh.

Berbagai strategi komunikasi publik dapat didayagunakan untuk melakukan

proses resosialisasi ini, yang diharapkan dapat menggerus nilai-nila i negatif,

lalu menggantinya dengan nilai dan norma positif. Ini yang dilakukan di

Inggris pada era Maggie Thatcher.

Saat upaya di atas dilakukan, langkah eksternal kontrol juga mesti

tetap berjalan. Peran polisi sebagai alat hukum dan PSSI sebagai regulator

mesti berjalan secara poten, tanpa terpengaruh sedikit pun oleh budaya

"asik" khas generasi 70-an, 80-an, hingga 90-an dan saat ini. Itu penting

dilakukan sebagai shock therapy sekaligus seleksi natural terhadap perilaku.

Tanpa punishment dan reward yang strict dan stringent--dua karakter yang

perlu dimiliki pemegang otoritas--, deviant behavior akan tetap ada. Apalagi

kalau pemegang otoritasnya justru yang melakukan deviance. Kalau sudah

begitu, pilihannya hanya dua: jadi masyarakat "asik" yang superpermisif atau

masyarakat deterministik yang ultraputus-asa.

Page 13: Bab iv

22