BAB III_GA.docx

download BAB III_GA.docx

of 18

Transcript of BAB III_GA.docx

25

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

III. 1. Anestesi UmumAnestesi umum (General Anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu: 1, 2 Hipnotik (tidur) Analgesia (bebas dari nyeri) Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)Untuk mecapai trias tersebut, dapat digunakan satu jenis obat, misalnya eter atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, analgetik, dan obat pelumpuh otot. Agar anastesi umum dapat berjalan dengan baik, pertimbangan utamanya adalah memiliki anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anastetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anastetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang baik, kesadaran cepat kembali. Syarat utama melakukan anestesia umum ialah untuk menjaga agar jalan nafas selalu bebas, berjalan lancar, dan teratur.1,3

III. 2. Stadium AnestesiGuedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium yaitu: 2,40. Stadium IStadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini 1. Stadium II Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur. 1. Stadium IIIStadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu: Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun). Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi. Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun). Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).1. Stadium IVStadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

III. 3. Penilaian dan Persiapan Pra AnestesiDokter spesialis anestesi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Tujuan utama kunjungan pra anestesia adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.1Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan di operasi.1

III. 3. 1. AnamnesisRiwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah, sehingga dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.1Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi kerja sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.1

III. 3. 2. Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi maupun pemasangan LMA. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.1

III. 3. 3. Pemeriksaan Laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 40 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. 1

III. 3. 4. Kebugaran Untuk AnestesiPembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.1Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari. 1

III. 3. 5. Klasifikasi Status FisikIII. 3. 5. 1. Skor ASAKlasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.ASA 1 : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimiaASA 2 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik ringan atau sedangASA 3 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, aktivitas lebih terbatasASA 4 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saatASA 5 : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jamASA 6 : Pasien dengan mati batang otak yang organnya akan digunakan untuk tujuan donorPada bedah cito atau darurat biasanya dicantumkan huruf E. Misalnya, pada pasien yang sehat secara, fisiologik, psikiatrik dan biokimia tetapi harus dilakukan tindakan emergensi maka ditandai dengan ASA 1-E.

III. 3. 5. 2. Skor MallampatiSkor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan intubasi.1Kelas 1 : tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnyaKelas 2 : palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atasKelas 3 : Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidahKelas 4 : Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

Gambar 1. Penilaian Skor Mallampati

III. 3. 6. Masukan OralRefleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.1

III. 4. Teknik AnestesiTeknik anesthesia umum yakni:1. Anestesia umum intravena : Dimana dilakukan penyuntikkan obat-obat anesthesia parenteral langsung kedalam pembuluh darah vena.1. Anesthesia umum inhalasi : dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat-obatan anesthesia inhalasi berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anesthesia langsung ke udara inspirasi.Anestesia imbang yakni mempergunakan kombinasi obat-obatan intravena maupun anesthesia inhalasi atau kombinasi teknik anesthesia umum dengan analgesik regional untuk mencapai trias anestesi. Teknik anesthesia umum inhalasi terdiri atas :1. Teknik anestesi napas spontan dengan sungkup mukaIndikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancar. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderitaKedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.1. Teknik anestesi napas spontan dengan pipa endotrakea (ETT)Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkup muka.Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.1. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea (ETT) dan napas kendali 1. Teknik anestesi napas spontan dengan cuff LMA Setelah induksi, dipastikan kondisi pasien sudah tidak berespon dengan mandibular yang relaksasi dan tidak berespon pada tindakan jaw thrust. Tetapi insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Setelah cLMA dimasukkan, balon dikembangkan dan cuff di fiksasi dan disambungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.1. Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.Napas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila napas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan napas spontan dengan membantu usaha napas sendiri secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.Ekstubasi dapat dilakukan setelah napas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.

III. 4. 1. Anestesia Umum Dengan cLMA Napas SpontanAnestesi umum dengan LMA napas spontan adalah suatu teknik anestesi umum dimana volume tidal serta rasio ekspirasi dan inspirasi spontan tanpa bantuan operator. Pipa LMA dapat dimasukkan melalui oro atau nasotrakeal. Rata-rata yang digunakan no. 3 untuk wanita dan no. 4 untuk pria. Untuk anak ukuran ini rata- rata sebesar jari kelingking. Dengan tehnik ini, pasien dalam keadaan tanpa depresi nafas sempurna, sehingga pasien dapat bernapas spontan tanpa bantuan.

III. 4. 2. Indikasi Anestesi Umum1. Infant & anak usia muda2. Dewasa yang memilih anestesi umum3. Pembedahannya luas / ekstensif4. Penderita sakit mental5. Pembedahan lama6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan7. Riwayat penderita toksik/ alergi obat anestesi lokal

III. 4. 3. Indikasi Anestesi Umum cLMA dengan Napas Spontan1. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. cLMA bukanlah penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi1. Pada penatalaksanaan difficult airway yang diketahui atau yang tidak diketahui1. Untuk tindakan operasi yang lama1. Keadaan umum pasien cukup baik (ASA I atau ASA II)1. Lambung harus dalam keadaan kosong

III. 5. PremedikasiSebelum pasien diberi obat anestesi, langkah sebelumnya adalah dilakukan premedikasi yaitu tindakan awal anesthesia dengan memberikan obat-obat pendahuluan 1-2 jam sebelum induksi anestesia yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif, dan analgetik dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya:11. meredakan kecemasan dan ketakutan2. memperlancar induksi anestesia3. mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus4. meminimalkan jumlah obat anestetik5. mengurangi mual-muntah pasca bedah6. menciptakan amnesia7. mengurangi isi cairan lambung8. mengurangi refleks yang membahayakanKecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. 1Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam.3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.5. Antihistamin, misal prometazine.6. Antasida, misal gelusil.7. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine.Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan antikolinergik.Obat premedikasi yang digunakan dalam kasus ini adalah:a. Sulfas Atropin Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Terhadap SSP, atropin merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak. Dalam dosis 0,5 mg atropin merangsang N vagus 6 dan menurunkan frekuensi jantung. Pada dosis yang besar sekali atropin menyebabkan depresi nafas, eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi, dan perangsangan lebih jelas di pusat yang lebih tinggi. Lebih lanjut dapat terjadi depresi dan paralisis medulla oblongata. Terhadap saluran nafas. Atropin mengurangi sekresi hidung, mulut, faring, dan bronkus. Terhadap system kardiovaskuler. Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang sering digunakan, frekuensi jantung menurun, mungkin disebabkan karena perangsangan nukleus nervus vagus. Bradikardi biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung. Terhadap saluran cerna. Atropin bersifat menghambat peristaltik lambung dan usus serta mengurangi sekresi liur dan lambung. Saluran kemih. Saluran kemih ini dipengaruhi oleh atropin dalam dosis yang agak besar (kira-kira 1 mg), yang akan menyebabkan retensi urin yang disebabkan oleh relaksasi muskulus detrusor dan konstriksi sfingter uretra. Efek samping atau toksik pada orang muda adalah mulut kering, gangguan miksi, dan meteorismus. Pada orang tua terjadi efek sentral terutama sindrom demensia. Efek samping lain bisa juga timbul muka merah yang disebabkan efeknya terhadap vasodilatasi pembuluh darah. Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg. Dosis : 0,01-0,02 mg/ kgBB. Pemberian : SC, IM, IV

b. Fentanyl Fentanyl merupakan analgetik golongan opioid dengan lama kerja sedang ( 30 menit) yang menimbulkan efek analgesia anesthesia yang lebih kuat dengan depresi napas yang lebih ringan. Farmakologi : Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanyl 75-125 kali lebih poten disbanding morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanyl dibanding morfin. Depresi dan ventilasi tergantung pada dosis dan dapat berlangsung lama disbanding analgesia. Stabilitas kardiovaskular dipertahankan walaupun dalam dosis besar saat digunakan sebagai anestetik tunggal. Farmakodinamik : menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolisme otak, dan tekanan intracranial, meningkatkan aksi anestetik local pada blok saraf tepi. Keadaan sebagian disebabkan oleh sifat anestetik local yang lemah (dosis yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap reseptor opiat pada terminal saraf tepi). Farmakokinetik : Aksi awitan: IV (dalam 30 detik), IM ( 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.1Obat induksi yang dipakai pada kasus ini adalah:a. Di-Isopropyl Phenol (Propofol, Diprivan)Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur. Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi anestesi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan phlebitis atau trombosis.2Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian Propofol IV terjadi depresi pernapaasan sampai apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat dengan premedikasi dengan opiat. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan menurun. Tak jelas adanya interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan Propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual, muntah dan sakit kepala mirip dengan thiopental. Cepatnya induksi dan pemulihan dari anestesi berguna dalam pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur yang cepat dan singkat.2 Sediaan : dalam ampul, 200mg/20ccDosis : 2-3 mg/kg BBPemberian : IV

III. 6. 2.Induksi IntramuscularSampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

III. 6. 3. Induksi InhalasiObat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat : Tidak Berbau Menyengat / Merangsang Baunya Enak Cepat Membuat Pasien Tertidur.Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.1Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.1Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.1Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.1

III. 6. 4. Induksi Per RektalCara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

III. 7. Pelumpuh OtotPelumpuh otot digunakan sebagai fasilitasi tindakan laringoskopi dan intubasi. Pelumpuh otot terdiri atas 2 golongan yakni: 11. Pelumpuh otot depolarisasi (DMR = Depolarisasi Muscle Relaxan) Succynilcholine (Sch) Dekametonium1. Pelumpuh otot non-depolarisasi (NDMR = Non Depolarisasi Muscle Relaxan) Short-Acting : Mivacurium Intermediate-Acting : Atracurium, Cis-atracurium, Vecuronium, dan Rocuronium Long-Acting : Pancuronium, Doxacuronium, dan PipecuroniumGolongan non-depolarisasi merupakan senyawa yang larut dalam air sehingga tidak menembuh sawar otak dan plasenta.1Obat pelumpuh otot yang dipakai pada kasus ini:a. AtracuriumTujuan : Merelaksasi otot selama pembedahan, menghilangkan spasme laring dan efek jalan nafas selama anestesi yang memudahkan nafas kendali selama anestesi. Dosis : Intubasi: IV (0.3 0.5mg/kg) Maintanance: IV (0.1-0.2mg/kg) (10-50% dari dosis intubasi). Infus : 2-15g/kg/menit Prapengobatan / priming : IV (10% dari dosis intubasi) diberikan 3-5 menit sebelum dosis relaksan depolarisasi/nondepolarisasi. Pengenceran untuk infus : 20mg dalam 100ml larutan D5W atau NS (0.2mg/ml); 50mg dalam 100ml larutan D5W atau NS (0.5mg/ml). Farmakologi : Metabolit primernya adalah laudanosis, suatu stimulan otak yang terutama diekskresikan di urin. Farmakodinamik :Berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada lempeng akhir motorik, menyebabkan terjadinya pelepasan histamin, penurunan tekanan arteri, dan peningkatan nadi.Farmakokinetik : Awitan aksi: 2-3 menit. Durasi 20-35 menit. Metabolisme : eliminasi dengan hidrolisis ester dan hofmann (proses nonbiologis). Dapat terjadi penumpukan (akumulasi pada pemberian berulang) dan akticasi SSP dari hasil eliminasi Hoffman Eliminasi: plasma, hati, dan ginjal. Efek samping : Kardiovaskular : hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi sinus Pulmoner : hipoventilasi, apnea, bronkospasme, laringospasme, dispnea. Musculoskeletal : Blok yang tidak adekuat, blok yang lama. Dermatologi : Ruam, urtikaria

III. 8. Rumatan AnestesiRumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anestesi intravena total) atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.1Anestesi inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah :1. N2O1. Halotan1. Enfluran1. Isofluran1. SevofluranAnestesi inhalasi yang digunakan pada kasus ini adalah:a. N2O (Gas gelak, laughing gas, nitorous oxide)Tujuan : Sedasi ,analgesi, dan amnesia . Dosis : Dewasa. 25-50% N20 dengan oksigen. Untuk anestesi umum 40%-70% melalui ETT atau sungkup muka. Farmakologi : Dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1.5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anestetik lemah tetapi analgesianya kuat. Farmakodinamik : N2O menginhibisi aksi potensil system saraf pusat secara parsial. N2O juga dapat meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intracranial seta menurunkan aliran darah hepar dan ginjal. Pada akhir anestesi N2O dihentikan, maka N2O akan cepat mengisi alveoli sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi maka diberikan O2 selama 5-10 menit. Farmakokinetik : Awitan aksi inhalasi 2-5 menit. Absorpsi cepat melalui paru, Metabolisme tubuh 50% dari semula210

4Kesadaran Sadar penuh Bangun jika dipanggil Tidak ada respon atau belum sadar210

5Warna kulit Kemerahan atau seperti semula Pucat Sianosis210

Aldrete score 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.Tabel 1. Aldretes Score

7