BAB III TEMPO DAN PEMBERITAAN ALIANSI GERAKAN ANTI...
Transcript of BAB III TEMPO DAN PEMBERITAAN ALIANSI GERAKAN ANTI...
BAB III
TEMPO DAN PEMBERITAAN ALIANSI GERAKAN
ANTI PEMURTADAN
3.1. Sejarah dan Perjalanan TEMPO
TEMPO didirikan pada 1971 oleh sejumlah intelektual muda yang
waktu itu gelisah melihat situasi sosial politik kian tak menentu. Salah
satu gejala yang mencolok adalah politisasi pers untuk mendukung
ideologi kelompok. Melihat gejala yang tak sehat itu, beberapa intelektual
muda seperti Goenawan Mohamad, Nono Anwar Makarim, dan Fikri Jufri
tergerak untuk mendirikan media yang bebas dari politik dan
menyuarakan informasi yang objektif.46
Dibawah Yayasan Jaya Raya yang diketuai oleh Ciputra, TEMPO
lahir dengan konsep yang dibuat oleh Gunawan Muhammad yang berasal
dari Ekspres dan beberapa orang dari Djaja. Yayasan Jaya Raya
menggabungkan Ekspres dengan Djaja merupakan yayasan yang
beranggotakan para pengusaha dari Jakarta yang membantu pembinaan
olahraga DKI Jakarta. Karena berbagai masalah yang meliputi Djaja, Ali
Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu, menyerahkan
permasalahan yang dihadapi oleh Djaja kepada para wartawan yang
kemudian untuk diswastakan dan dinaungi oleh Yayasan Jaya Raya.47
46 Http://Www.Equinoxpublishing.Com 47 Soebagyo, Djoko. 2001. Ideologi pada Cover Majalah Berita, Representasi Ideologi
Pemihakan Media. Pada Cover Majalah Mingguan TEMPO Tahun 1971-1982, Tahun 1982-1994 dan Tahun 1998-1999. (Tidak Dipublikasikan. Skripsi UGM) Hlm. 140.
57
58
Mei 1970, mereka menerbitkan majalah Ekspres. Tapi eksperimen
itu gagal karena intervensi penguasa. Goenawan keluar dari Ekspres,
diikuti oleh kawan-kawannya, Fikri Jufri, dan Christanto Wibisono.
Setelah menunggu hampir setahun, mereka akhirnya sepakat menerbitkan
TEMPO. Kemudian lahirlah TEMPO, majalah berita swasta mingguan
dengan surat ijin terbit 31 Desember 1970 dan surat ijin cetak 12 Januari
1971 dan mulai terbit secara Cuma-Cuma pada tanggal 1 Maret 1971.
Secara fisik dan isinya, majalah TEMPO mirip dengan majalah Time
terbitan Amerika.
Secara fisik, awal TEMPO terbit memberikan kekhasan tersendiri
pada bentuknya, baik dari segi tata letak (lay out), ilustrasi dan cover.
Dimulai dengan edisi perdana pada tanggal 1 Maret 1971 yang
mengangkat perbulutangkisan Indonesia dengan cover gambar
pebulutangkis Minami yang sedang bertanding, atas hal ini TEMPO
mendapat sambutan yang cukup signifikan dari masyarakat pembaca,
maupun dari kalangan industri pers. Semenjak itu, dimulai edisi-edisi yang
dianggap isinya tidak sekadar jurnalisme pada waktu itu dengan
kedalaman isinya baik pada isi laporannya maupun bentuk isi visual cover.
Hadirnya beberapa mantan wartawan dari Ekspres dan Djaja
memunculkan kegiatan pers yang tidak jauh dari kedua media yang
terdahulunya, yakni mingguan dan bergambar. Goenawan Muhammad
pada waktu itu menjadi orang yang berperan sebagai konseptor yang
dibantu oleh Fikri Jufri, Cristianto Wibisono dan beberapa orang lain yang
59
memilih karakter Time, News Week, Del Spigel sebagai acuan majalah
TEMPO serta dengan gaya penulisan yang berbau sastra dan lugas agar
enak dibaca. Nama TEMPO dipilih agar mudah diingat dan menjadi
sebutan yang khas bagi penerbitan majalah berkala. Alasan lain bagi
Goenawan Muhammad adalah kata TEMPO relatif mudah untuk
diucapkan dan sifatnya yang mingguan.
Hadirnya majalah TEMPO mendapat sambutan yang baik dari
kalangan pembaca maupun praktisi pers lainnya. Praktisi pers tidak
merasa asing lagi terhadap mereka karena orang TEMPO sebelumnya juga
bekerja pada Ekspres dan Djaja. TEMPO merupakan majalah yang
membutuhkan sangat banyak reporter dan penulis. Pada waktu itu, belum
lazim adanya banyak reporter dan penulis karena beberapa majalah dan
penerbitan lainnya hanya membutuhkan beberapa orang untuk bekerja di
redaksi. Akan tetapi karena merujuk pada gaya penulisan majalah Time,
sehingga TEMPO mengekor menjadi bentuk tulisan yang berbentuk
investigative dan lebih mendalam sehingga tidak aneh jika membutuhkan
banyak reporter dan penulis. Dalam hal ini Goenawan Muhammad yang
berperan dalam mengarahkan gaya penulisan, karena Goenawan
Muhammad lah yang paling paham tentang gaya penulisan. Plot atau
gambaran yang disajikan akhirnya memunculkan sebuah gaya jurnalisme
yang tidak hanya penulisan saja, tetapi bentuk investigasi yang merupakan
hal yang baru bagi jurnalisme Indonesia.
60
Pada pemberitaan pertama pada tanggal 1 Maret 1971
menampilkan laporan utama yaitu “Tragedi Minami dan Konggres PBSI”
mendapat tanggapan dari masyarakat luas termasuk dari kalangan praktisi
pers. Pada tahun 70-an para praktisi pers menganggap bahasa yang
digunakan oleh TEMPO menjadi acuan. Pada headline nya berbunyi
Bunyi “Krak” Dalam Tragedi Minami, TEMPO mencoba memberikan
gaya bahasa penulisan yang tidak lazim pada waktu itu. Tetapi hal ini
ternyata membawa ciri tersendiri karena gaya dalam TEMPO menjadikan
pembaca lebih bisa menikmati bahan bacaan dengan lebih terlibat
didalamnya.
Satu hal yang membedakan TEMPO dari media lainnya adalah
cara mengemas kritik. TEMPO melontarkan kritik dengan gaya bahasa
yang renyah dan nyaman. Motto TEMPO yang terkenal, "enak dibaca dan
perlu", hingga kini mewarnai pemberitaan TEMPO. Gaya jurnalisme yang
diusung TEMPO ini, ingin mendobrak kebekuan bahasa pada masa itu,
yang terlalu kental dengan slogan dan bombasme.48
Majalah TEMPO selama tiga periode telah mengalami berbagai
perubahan bentuk dan karakter yang berjalan menimbulkan naik turunnya
kesan bayangan dari majalah Time. Tahun 1971-1978 merupakan tahun-
tahun berkiblatnya pada majalah Time baik gaya jurnalismenya maupun
tata letaknya. Selanjutnya pada tahun 1978-1982 merupakan usaha
48 Op.cit. Http://Www.Equinoxpublishing.Com
61
TEMPO untuk mencoba lepas dari Time, setelah ini, TEMPO benar-benar
lepas dari Time.49
3.1.1. TEMPO dan Orde Baru
TEMPO lahir dan mati di zaman Orde Baru. Beberapa
pendiri TEMPO adalah para aktivis mahasiswa tahun 1965/1966
yang ikut menggulingkan Soekarno dan kemudian menempuh jalan
masing-masing untuk ”mengisi” zaman Orde Baru. Beberapa di
antaranya lalu mendirikan TEMPO, setelah gagal berkongsi
dengan pengusaha pers kala itu, BM Diah, untuk majalah Ekspres-
nya. TEMPO luput dari pembredelan dua kali pada masa Orde
Baru, tahun 1974 dan 1978, tetapi tak bisa mengelak ketika
pemberitaannya pada 1982 saat terjadi insiden Lapangan Banteng
menjelang Pemilu 1982 dianggap pemerintah mengganggu
keamanan. Untuk itu, GM harus menandatangani kesepakatan
dengan Departemen Penerangan untuk tidak meliput isu-isu yang
sensitif, termasuk yang menyangkut keluarga ”Cendana”.50
3.1.2. Pembredelan Pertama di Tahun 1982
TEMPO mengalami pembredelan pertama kali pada tahun
1982 setelah edisi 10 April 1982 yang mengangkat tema tentang
kekalahan bulu tangkis Indonesia dan baru muncul lagi setelah
edisi 12 Juni 1982 dengan gambar cover Maradona sedang
membawa bendera.
49 Op.cit. Soebagyo, Djoko. Hlm 144 50 Http : //Www.Kompas.Com/Cetak.
62
Setelah pembredelan yang pertama pada tahun 1982,
TEMPO sudah mulai meninggalkan gaya Time dengan diganti
dengan ulasan gaya TEMPO. Usaha untuk meninggalkan gaya
bahasa Time sudah dimulai sejak tahun 1978. Walaupun sudah
mengalami pembredelan pada tahun 1982, majalah TEMPO tetap
saja tidak mengalami perubahan yang signifikan. Gaya bahasanya
tetap saja seperti yang dahulu dan banyak meresahkan pejabat.
Sehingga TEMPO mengalami pembredelan untuk kedua kalinya
pada tahun 1994, yakni pada edisi nomor 17 tahun XXIV Juni
1994.
3.1.3. Pembredelan kedua pada tahun 1994
Istirahat terpanjang TEMPO terjadi setelah pembredelan 21
Juni 1994. Sejak itu wartawan TEMPO melakukan gerilya, seperti
dengan mendirikan TEMPO interaktif secara klandestin, atau
mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada 1995.
Perjuangan ini membuktikan komitmen TEMPO pada
demokratisasi dan kebebasan pers, yang pada zaman Orde Baru
dipasung secara sistematis.51
Majalah TEMPO mengalami kebekuan karena pembredelan
selama empat tahun mulai tahun 1994 hingga akhirnya muncul lagi
menjadi majalah komersial pada 6 Oktober 1998 dengan
51 Op.cit. Http://Www.Equinoxpublishing.Com
63
perwajahan yang lebih baru. Alasan pembredelan yang kedua
adalah dianggap telah menyimpang dari substansi pemberitaan.
Majalah TEMPO mengalami beberapa perubahan yang
sangat menonjol pada segi perwajahan, ini nampak karena
pengaruh dari bentuk fisik majalah Time, dengan gaya tata letak
dan desain cover yang lebih baru dengan sentuhan manipulasi
grafis komputer.
Format majalah TEMPO paska tahun 1998 secara tata letak
berbeda dibanding dengan edisi sebelumnya, pada sisi ekonomi
dan bisnis. Hal ini dilakukan karena banyaknya majalah politik
yang banyak beredar dengan gaya perwajahan yang hampir sama
seperti Gatra, Gama dan Forum.
Perubahan yang dilakukan oleh majalah TEMPO tidak
hanya pada tulisan dan bahasa beritanya saja, akan tetapi juga
visualisasi gambar menjadi lebih bagus untuk diminati. Hal ini
tentunya sangat menguntungkan bagi pembaca yang memerlukan
sesuatu yang lebih rekreatif secara visual dari sekedar membaca
berita politik agar tidak jenuh.52
3.1.4. TEMPO Sebagai Perusahaan Media
Dualisme posisi TEMPO sebagai institusi ekonomi dan
bisnis serta lembaga pers merupakan dua hal yang sering dihadapi
oleh perusahaan media. Dua hal tersebut kemudian dilihat dari sisi
52 Op.cit. Novi Maria Ulfah. Hlm. 58
64
ekonomi dan pers dalam fungsi jurnalisme. Pertama memberikan
kelangsungan hidup sebagai suatu kebutuhan dan satunya ruh
dalam karakter media dengan kata yang sederhana dapat dikatakan
sebagai jiwa dan tubuh. Benturan diantara keduanya justru
biasanya akan memunculkan polemik karena fungsi ekonomi akan
memberikan peluang yang baik dalam menyampaikan informasi
secara bebas.
TEMPO lahir dan besar pada zaman Orde Baru, disokong
oleh pengusaha yang juga dibesarkan Orde Baru, tetapi Orde Baru
pula yang mematikannya.53
Yayasan Jaya Raya dibawah naungan Pemda DKI Jakarta
sejak awal menjadi donatur tetap bagi TEMPO yang kemudian
memulai usahanya menjadi sektor swasta. Orang-orang dari
yayasan yang masih mempunyai kepentingan dengan Pemda DKI
Jakarta yaitu Ciputra sebagai ketua yayasan merupakan orang yang
dipercaya oleh Ali Sadikin untuk memperbaiki kondisi yang terjadi
di tubuh majalah Djaja yang bangkrut. Pada saat itu campur tangan
dari yayasan sangat sedikit karena sudah mempercayakan kepada
Goenawan Muhammad sebagai pengelola majalah tersebut. Faktor
yang menyebabkan kebangkrutan majalah Djaja pada waktu itu
adalah ketidakpuasan para wartawan dan karyawan yang dianggap
53 Op.cit. Http : //Www.Kompas.Com/Cetak.
65
terlalu berbau pemerintah sehingga perlu dikelola sendiri atau
diswastakan, sehingga lahirlah majalah TEMPO.
Yayasan Jaya Raya yang menaungi majalah TEMPO
melalui PT. Grafiti Press bertahan bulan Juni 1994. Pembatalan
SIUP TEMPO yang bernomor 025/SK/Menpen/SIUP/CI/1985
pada tanggal 24 Desember 1995 ini berakibat pada berhentinya
kegiatan perekrutan PT. Grafiti Press dan memunculkan alternatif
untuk menerbitkan majalah dengan format yang baru.
Pada kasus pembredelan majalah TEMPO tahun 1994
adalah pihak penerbit yakni PT. Grafiti Press seolah tidak mau
kehilangan para pembacanya yang sudah mencapai ratusan ribu,
karena pada waktu itu belum ada majalah yang mempunyai
kredibilitas seperti TEMPO. Sebuah majalah yang mampu
menyajikan bacaan dan informasi yang mendalam disertai dengan
kritik dengan gaya bahasa tutur.
Sehingga timbullah pemikiran dari Grafiti Press untuk
mengisi kekosongan itu dengan cara membuat majalah baru. Pada
akhirnya, beberapa mantan wartawan TEMPO membentuk majalah
dengan format yang sama dengan nama yang beda yakni GATRA.
TEMPO merupakan bagian dari kelas menengah Orde
Baru, dan TEMPO pun yang menghasilkan kelas menengah
tersebut. Untuk itu TEMPO merupakan bagian dari fondasi
ekonomi yang menyokong Orde Baru. Jika kita cermati, periode
66
ketika TEMPO berjaya pada dekade 1980-an, anggaran belanja
iklan perusahaan-perusahaan banyak masuk ke media cetak.
Jumlahnya minimal mencapai 50 persen dari total belanja iklan
tersebut. Sejak tahun 1982 itu, televisi yang ada kala itu, TVRI, tak
lagi boleh beriklan. Maka, kue iklan itu pun lari ke media-media
cetak. Inilah yang membuat majalah TEMPO menjadi cukup kaya
untuk pindah kantor ke wilayah elite di daerah Kuningan. Gaji para
wartawan TEMPO pun mencapai puncaknya saat itu.54
Setelah terbit pada tahun 1998 TEMPO bernaung pada PT.
Arsa Raya Perdana dan berkembang berada dibawah PT. TEMPO
Inti Media Tbk. Pada tahun 1998, TEMPO mengalami kerugian
sebesar 4,5 Milyar walaupun pada tahun 1999 mengalami
keuntungan sebesar 1,9 milyar Rupiah. Perjalanan pada tahun ini
yang menyebabkan TEMPO mengambil keputusan untuk
mengembangkan perusahaannya. Hal ini mengakibatkan
penawaran saham majalah TEMPO kepada publik pada tanggal 15
Desember 2000. hal ini didasarkan pada pertimbangan perluasan
usaha yang meliputi koran TEMPO, radio TEMPO, stasiun TV
TEMPO, sampai kantor berita TEMPO.55 Meskipun terdapat
54 Op.cit. Http : //Www.Kompas.Com/Cetak. 55 Koran TEMPO terbit setiap hari dengan desain yang berbeda dengan korang umumnya,
selain ukurannya yang lebih simpel juga desain tata letaknya yang ringan sehingga memanjakan pembacanya untuk menikmati. TEMPO juga menerbitkan TEMPO English Edition dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, ini dimaksudkan agar TEMPO lebih banyak diakses oleh khalayak. Selain di dunia cetak TEMPO juga telah merambah ke dunia maya dengan TEMPO Interaktif (www.tempointeraktif.com) dan TEMPO News Room serta PDAT (Pusat Data dan Analisa TEMPO) (www.pdat.co.id).
67
pertimbangan lain yaitu untuk mendapatkan perhatian dari
masyarakat luas. Perluasan usaha ini menunjukkan bahwa TEMPO
mempunyai keinginan untuk mendapatkan akses berita semaksimal
mungkin.56
Ada anggapan yang menarik bahwa mereka yang
menguasai media, maka mereka yang akan menguasai dunia dan
kebenaran. Dalam anggapan inilah terdapat titik kritis kebebasan
media ini tentunya sedikit mengesampingkan anggapan bahwa
media berada pada titik bebas yang tidak bisa lepas. Media berada
pada dua tataran sekaligus yaitu bebas dari keprihatinan untuk
menyampaikan informasi tetapi tidak bisa dilepaskan dari asal
informasi dan kepentingannya.
Ada dua hal yang menjadi dua titik perhatian majalah
TEMPO yaitu dari sisi visual dan jurnalismenya. Segi penulisan
pada majalah TEMPO menghadirkan karakter yang khas pada
setiap alasannya. Sedangkan dari sisi visual menjadikan trendsetter
bagi perkembangan visualisasi media.
Jurnalisme yang dikembangkan oleh majalah TEMPO
adalah jurnalisme sastrawi, yakni sebuah gaya penulisan yang
merupakan perpaduan antara penulisan gaya sastra dan jurnalistik.
Kemudian oleh banyak kuli tinta dijadikan sebagai acuan dalam
penulisan berita.
56 Op.cit. Novi Maria Ulfah. Hlm. 62
68
Selain itu TEMPO juga mempunyai orang-orang yang
mempunyai kompetensi pada sastra dan seni. Misalnya, Putu
Wijaya, Jim Supangat, Burhan Raswanto, Bastari Asnin, James
Royn Lapian, Goenawan Muhammad, Yudistira, AN. Massardi
dan Taufiq Ismail yang aktif pada masa penerbitannya.
Pada saat itu masih banyak penulis muda yang mutu
tulisannya sangat baik seperti: Farid Jaban, Laela S. Khudori, dan
Rustam M. Mandayun. Majalah TEMPO juga melibatkan beberapa
tokoh seniman untuk menangani bidang lain selain penulisan.
Tercatat Dede Eri Suprian seorang pelukis realis terbaik pada tahun
1970 sampai 1980-an, Rafjul Kahfi sebagai pelukis cover, dan
Trianto dalam menangani dalam pembuatan ilustrasi untuk cover
dan halaman dalam majalah TEMPO. Dalam majalah TEMPO
yang lahir bukan hanya artikel berita tetapi juga cerita pendek,
novel, naskah drama, dan berbagai karya sastra lainnya.
Majalah TEMPO menyediakan halaman kolom yang berisi
tentang ulasan politik, sosial, budaya, olahraga, yang diisi oleh
penulis lepas, politisi, agamawan dan sebagainya. Hal ini
mengindikasikan bahwa TEMPO bukanlah media yang tertutup
bagi nilai-nilai diluar penulisannya. Selain itu dalam kolom
majalah TEMPO dimanfaatkan sebagai kroscek dan koreksi
terhadap isi berita. Banyaknya tokoh yang menghiasi dalam kolom
majalah TEMPO antara lain William Liddle ahli politik dari Ohio
69
University, Abdurahman Wahid mantan Presiden RI. Kuntowijoyo,
Umar Kayam, Ignas Leiden, Emil Salim, Nurcholis Majid (Alm.),
Umar Wirahadi Kusuma, Donald K Emmersen.
Setelah melewati masa pembredelan sebanyak dua kali,
TEMPO mengalami berbagai pergantian wartawan dan orang-
orang yang berada dibelakngnya. Namun slogan “enak dibaca dan
perlu “ tetap digunakan dan muncul setiap kali majalah TEMPO
terbit.
Visualisasi pada cover majalah TEMPO juga terdapat
perubahan yakni pada jenis font dan juga pada garis tepi merah
yang kini telah tiada. Simbol-simbol yang metafora juga banyak
tertuang pada halaman dalam sehingga yang tersampaikan adalah
pesan yang tidak lugas dan cenderung sarat makna.
Porsi penyajian berita dan visualisasi dalam majalah
TEMPO memang dibuat seimbang, hal ini yang menjadikan
pembeda antara majalah TEMPO dengan majalah yang lainnya.
Ide, gagasan dan ideologi inilah yang kemudian dijadikan
trensender bagi media lain di Indonesia. Tentunya kemunculan
ide-ide ini karena pihak redaksi memberikan gambaran garis besar
bagaimana gambar/tema yang akan diangkat dalam cover nantinya.
Sehingga terbentuklah ilustrasi pada cover yang atraktif dan
menarik konsumen.
70
Kolaborasi antara teknologi dan kecemerlangan ide-ide
kemudian muncullah metafora cover yang sarat dengan isi pesan
dalam berita. Majalah TEMPO sangat jarang memunculkan cover
foto tanpa efek komputer. Karena kompleksitas dari ide yang
dimunculkan tidak akan mungkin bila diwakilkan dengan hanya
menampilkan satu gambar tokoh dengan satu situasi saja. Sehingga
kesan yang ditampilkan pada cover telah mengangkat semua
kompleksitas tema dalam majalah.
Tempo memang tak mudah ditundukkan. Karena
pemberitaannya yang relatif imbang. Tempo sendiri menyadari
posisinya. Karena itu, agar tetap survive, ia harus menggunakan
trik dan strategi.
Semua strategi itu dipakai untuk menjamin kelangsungan
Tempo sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan
bertubi-tubi dari rezim tidak meluluhkan semangat wartawan
Tempo untuk menghadirkan fakta lebih jernih ke hadapan publik.
Ditambah lagi kehadiran "Catatan Pinggir" Goenawan Mohamad
pada setiap edisi, yang mencoba mengkritik perpolitikan tanah air
dengan satir dan ironinya yang khas, memperkaya Tempo menjadi
lebih dari sekadar majalah yang "enak dibaca".57
57 Op.cit. Http://Www.Equinoxpublishing.Com
71
3.2. Pemberitaan TEMPO Mengenai Aktifis Aliansi Gerakan Anti
Pemurtadan Paska Penutupan Gereja-gereja di Bandung
Paska peristiwa penutupan gereja-gereja di Bandung, majalah
TEMPO hanya sekali menurunkan berita Aktifis Aliansi Gerakan Anti
Pemurtadan yaitu pada edisi 5-11 September 2005. Pada edisi tersebut
TEMPO menurunkan tulisannya sebanyak enam judul meliputi berita dan
opini mengenai Aktifis Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan. Dapat
dijelaskan sebagai berikut:
No Judul Jumlah hlm Edisi 1 2 3 4 1 Sengketa Izin Rumah
Tuhan 1 5-11 Sept 2005
2 Sebatang Salib yang Dikunci
3 5-11 Sept 2005
3 Terpaksa Melanggar demi Ibadah
1 5-11 Sept 2005
4 Aliansi dari Buahbatu 2 5-11 Sept 2005 5 H Muhammad Mu’min:
Kami Akan Menyandera Pendeta
1 5-11 Sept 2005
6 Secarik Kertas, Beragam Soal
1 5-11 Sept 2005
Tabel 3.1 Judul Berita Majalah Tempo Edisi 5-11 September 2005
Dari ke enam tulisan ini akan diambil tiga jenis berita yang akan
dianalisis menggunakan kognisi sosial Teun Van Dijk.
Semenjak peristiwa penutupan gereja di Dayeuh Kolot, Bandung
Hari Minggu, tgl 21 Agustus 2005 TEMPO hanya sekali memberitakan
pada edisi 5-11 September 2005 dengan jumlah sembilan halaman dari
138 halaman. Sembilan halaman tersebut terdiri dari satu halaman opini
72
yang ditulis oleh redaktur dan delapan halaman berisi reportase yang
ditulis oleh wartawan.
Dalam pemberitaan pertama wartawan mengambil judul Sebatang
Salib yang Dikunci.
Setting background yang dipilih adalah sebuah potret kerukunan
yang digambarkan dengan sebuah masjid dan gereja yang berdampingan
serta seorang pendeta yang sedang menurunkan salib dari sebuah tempat
ibadah.
Wartawan banyak memberikan makna dan ruang kepada umat
Nasrani melalui gambar dan banyaknya nara sumber dari umat Nasrani
sehingga mendominasi dalam kasus penutupan gereja-gereja di Bandung.
Wartawan pada awalnya menggambarkan proses penutupan gereja
yang berbarengan dengan acara perpisahan antara jemaat gereja Dayeuh
Kolot kota Bandung dengan pendeta Yuyun Noormalia. Acara perpisahan
ini kemudian mendadak berubah menjadi tegang setelah didatangi oleh
puluhan orang dari Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan dan Barisan Anti
Pemurtadan. Mereka dikomandani oleh H Muhammad Mu’min. Tidak
sempat terjadi kekerasan fisik, hanya gebrakan meja yang sempat terekam
oleh wartawan.
Peristiwa semacam ini ternyata bukan kali pertama terjadi, ada
beberapa gereja di Bandung yang sudah ditutup oleh mereka. Dituturkan
sekurangnya dalam dua pekan sudah ada tiga tempat ibadah yang telah
disegel.
73
Kabar penutupan tempat ibadahpun dengan cepat menyebar.
Semangat menutup rumah ibadah tak berizinpun kian menyebar ke
berbagai arah hingga Tangerang, Banten serta Bogor.
Selain itu juga wartawan menuliskan bahwa SKB Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri merupakan sumber kericuhan. Ini merupakan
surat yang mengatur perihal pembangunan tempat ibadah dan penyebaran
agama. Setiap kali ada aksi penutupan gereja polemik tentang SKB ini
mencuat.
Kalangan minoritas menganggap SKB ini sudah tidak sesuai
dengan perkembangan jaman sehingga perlu adanya revisi. Ternyata tidak
hanya dari kaum minoritas yang setuju dengan adanya peninjauan SKB,
Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah, ikut mengamini langkah
presiden yang menyuruh beberapa menterinya untuk meninjau ulang SKB.
Disisi lain digambarkan berbagai anggapan bahwa gereja menjadi
basis pemurtadan yang terjadi di Bandung. Pastor Robani Setiawan selaku
penanggungjawab rumah ibadah Margahayu Raya menepis tudingan itu.
Dia menunjukkan beberapa karyawan yang bekerja di gereja juga tetap
muslim, dan melaksanakan shalat. Tidak ada masalah.
Namun pada akhir Agustus lalu tempat ibadah itu ditutup.
Beberapa warga sekitar dan puluhan anggota BAP mendatangi rumah
tersebut dan meminta pastor Setiawan, menghentikan kegiatan
peribadatan. Penutupan ini dilakukan karena warga sudah lama merasa
74
keberatan, ditambahkan bahwa pengurus tempat ibadah tersebut juga
pernah ditegur oleh aparat kecamatan tapi kegiatan peribadatan jalan terus.
Berbagai kekecewaan menggumpal, menyesaki dada para tokoh-
tokoh Kristiani. Selain mendesak untuk diadakannya peninjauan SKB,
mereka juga menyimpan beberapa ganjalan yang ada pada aparat
keamanan yang kurang netral. Mantan Ketua Umum PGI menuding acara
penutupan gereja ini direstui oleh aparat keamanan dan pemerintah
setempat.
Kapolres Bandung Timur AKBP Edison Sitorus menyatakan, saat
itu polisi memang membiarkan penutupan gereja tadi. Karena bukan
AGAP tetapi muspika setempat yang meminta penutupan. Ditambahkan
bahwa wewenang polisi hanya mengamankan agar tidak terjadi bentrok.
Pada akhir berita dituliskan mengenai komentar ketua FPI, Habib
Rizieq. Mengenai SKB silakan agama lain memperjuangkan untuk
dirubah. Namun dirinya juga mengaku punya hak untuk memperjuangkan
agar SKB tetap diberlakukan.
Pada judul yang kedua yakni Terpaksa Melanggar demi Ibadah,
laporan ini hanya ditulis dalam satu halaman. Adapun pilihan gambar
yang ditampilkan adalah sebuah jajaran ruko yang di tengahnya terdapat
sebuah ruko yang dijadikan tempat ibadah oleh umat Nasrani.
Wartawan menggambarkan bentuk bangunan gereja yang terselip
diantara jajaran ruko di Velbak, Kebayoran Baru Jakarta. Dari luar tampak
tidak beda dengan ruko disekitarnya. Catnya yang busam, pintunya yang
75
terbuat dari besi lipat. Juga tidak ada papan nama ataupun salib yang
biasanya menjadi pengenal sebuah gereja. Bangunannya yang seluas
lapangan voli itu ramai hanya pada hari minggu saja, selebihnya sepi.
Sebenarnya tidak hanya sulitnya mendapatkan ijin untuk
membangun tempat ibadah, yang menyebabkan menjamurnya tempat
ibadah kaum Nasrani. Banyaknya aliran juga menjadi penyebab utama
kasus ini. Ini merupakan dilema bagi mereka.
Kemudian mereka mencari jalan keluar untuk permasalahan
tersebut, mereka mempunyai dua cara yakni dengan cara meminjam
rumah ibadah lain yang sudah berizin untuk melaksanakan ibadah. Yang
kedua adalah menyewa ruko atau rumah tinggal untuk beribadah, meski
tak berizin. Gereja-gereja yang tak mengantongi izin inilah yang menjadi
sasaran kemarahan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan dan Barisan Anti
Pemurtadan.
Pada akhir berita wartawan menampilkan harapan dari mantan
Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pendeta Natan
Setiabudi yakni banyaknya aliran dalam Kristen Protestan yang ada bisa
menyatu. Sehingga umat protestan bisa melaksanakan ibadah dimanapun
serta permasalahan tempat ibadah sebagian bisa teratasi. Ditambah
optimisme dia, pasti ada jalan keluar yang dapat ditempuh dengan cara
dialog dengan umat Islam sebagai mayoritas. “Jika kedua pihak ini sudah
bisa saling memahami, pasti ada jalan keluar.”
76
Pada berita selanjutnya wartawan menggambarkan tentang
sekelumit Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan dalam judul Aliansi Dari
Buahbatu. Pilihan gambar yang ditampilkan adalah sosok Imam Ahmad
Munadi seorang anggota Barisan Anti Pemurtadan dengan setting rompi
BAP dan tumpukan buku. Selain itu juga ditampilkan gambar proses
negosiasi penutupan tempat ibadah gereja di Margahayu oleh Barisan Anti
Pemurtadan.
Wartawan pada awal berita menggambarkan profil dan penampilan
Imam Ahmad Munadi yang merupakan salah satu anggota dari Barisan
Anti Pemurtadan di Bandung. Dengan janggut lebat menjuntai hingga
menutupi dagu. Tubuhnya pendek hanya 160 sentimeter. Ia bergabung
dengan Barisan Anti Pemurtadan diawali dengan seringnya membaca
buletin Ahlussunnah wal Jamaah yang pada akhir-akhir terbitannya
membahas upaya pemurtadan yang dilakukan oleh para pemuka Kristiani.
Ia berkisah bagaimana pengalaman pertamanya ikut menutup
gereja-gereja yang didirikan tanpa seijin pemerintah, baik yang
menggunakan komplek pertokoan maupun rumah-rumah penduduk.
Nyalinya ciut, apalagi ketika harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Tapi setelah berkali-kali aksi ternyata lancar-lancar saja. Dalam
melaksanakan aksinya ia bersama dengan ratusan anggota Barisan Anti
Pemurtadan.
Barisan Anti Pemurtadan (BAP) lahir dari kelompok pengajian Al-
Fajar di Buahbatu Bandung. Jemaah pengajian ini beragam, mulai dari
77
pedagang, pegawai swasta, mahasiswa hingga dosen. Mereka
melaksanakan pengajian tiap akhir pekan dengan pengasuh oleh Athian
Ali M. Da’i, Ketua Forum Ulama Indonesia (FUUI). Disitu tidak hanya
mengkaji tentang ilmu fiqh, tauhid, hadits dan qur’an tak jarang juga
mereka mendiskusikan apa yang mereka sebut sebagai upaya pemurtadan
umat di Jawa Barat. Yang unik dari mereka juga berlatih ilmu bela diri
pada Rabu malam di halaman masjid Al-Fajar.
Kajian tentang pemurtadan umat dibagi kedalam tiga tahap. Tahap
pertama berlangsung dua hari dan menginap satu malam di masjid Al-
Fajar. Yang dipelajari antara lain kristologi alias ilmu yang mempelajari
tentang ajaran agama Nasrani, dan pembahasan tentang penyebaran agama
Nasrani lengkap dengan bukti-bukti upaya pemurtadan di Jawa Barat serta
daerah-daerah lain di Indonesia.
Yang kedua lama pembelajarannya adalah tiga bulan, materinya
hampir sama dengan tahap pertama hanya saja sedikit ada penambahan
tentang hukum pendirian tempat ibadah. Setelah empat bulan mengikuti
kajian, para peserta memasuki tahap yang terakhir yakni tahap
pendalaman. Dan kemudian mereka secara resmi mendirikan Barisan Anti
Pemurtadan. Kemudian pada bulan April bersama 27 ormas Islam seperti
Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, Persatuan Islam (Persis), dan BAP
secara resmi mendirikan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP).
Aliansi ini diketuai oleh H Muhammad Mu’min, seorang dosen di Sekolah
78
Tinggi Ilmu Ekonomi Bandung. Mereka mengklaim beranggotakan 50
ribu orang.
Dalam edisi ini dijelaskan yang menjadi sasaran adalah tempat-
tempat penjualan minuman keras di Bandung. Puluhan toko penjual
minuman keras menjadi sasarannya. Tidak hanya itu targetnya, para
penjudi juga salah satu sasarannya. Seperti digambarkan pada bulan lalu
ratusan anggota AGAP menggerebek sejumlah tempat perjudian di
Bandung. Kegiatan semacam ini bukan berarti AGAP kebal hukum,
buktinya pada kasus penutupan toko penjual minuman keras H
Muhammad Mu’min dijadikan sebagai tersangka.
Keanggotaan AGAP tidak ditutup bagi kaum hawa, ada sepertiga
dari kaum adam jumlah mereka. Mereka hanya dilibatkan dalam
investigasi terhadap gereja-gereja liar. Jika bukti-bukti sudah lengkap,
mereka lalu menghubungi aparat kepolisian dan kepala wilayah setempat
sebagai penengah. Jika tuntutan untuk menghentikan peribadatan tidak
digubris maka AGAP akan mengerahkan massa.