BAB III rev - EPrintseprints.walisongo.ac.id/1490/4/115112028_Tesis_Bab3.pdfdi kota Thus, dipangkuan...
Transcript of BAB III rev - EPrintseprints.walisongo.ac.id/1490/4/115112028_Tesis_Bab3.pdfdi kota Thus, dipangkuan...
58
BAB III AL-GAZALI DAN JIHAD
Al-Gazali memang telah memilih tasawwuf sebagai jalan hidupnya.
Keputusan tersebut diambil setelah melalui jalan panjang. Dia belajar fikih hingga
terkenal sebagai seorang ahli fikih. Dia belajar teologi hingga dikenal sebagai seorang
teolog terkemuka dari lingkungan Asy’ari. Dia juga memperdalam filsafat hingga
karya-karyanya terasa dengan penjelasan-penjelasan yang filosofis. Semua itu tidak
memuaskan batinnya hingga ahirnya berlabuh pada tasawwuf.
Pilihannya pada tasawwuf bukan sesuatau yang lahir dari ruang hampa. Ada
banyak factor yang membuatnya memilih tasawwuf. Perjalanan hidupnya, situasi
politik yang melingkupinya serta ilmu yang telah dipelajarinya memilki kontribusi
terhadap keputusannya memilih tasawwuf. Dalam bab ini akan diuraikan sejarah
hidup, situasi social politik dan pandangan jihad fikih maupun tasawwuf al-Gazali.
A. Sejarah hidup dan karyanya
Tokoh Islam yang satu ini memang dikenal sebagai inteletual muslim
hebat. Karya-karyanya banyak dikaji oleh orang-orang setelahnya , bahkan oleh
orang non muslim hingga saat ini. Sejarah hidupnya dipenuhi dengan cerita
panjang perjalanan intelektul hingga hampir-hampir tidak dapat ditemukan
sejarah kehidupan domestiknya. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi, Abu Hamid al-Gazali.
Namanya mirip dengan nama pamannya yaitu Ahmad bin Muhammad al-Syaikh
59
Abi Hamid al-Gazali al-Kabir al-Qadim. Beliau menyandang gelar Hujjatul Islam
(al-Gazali I, 1997:9).
Ada dua pendapat tentang nama julukan al-Gazali. Sebagian berpendapat
bahwa nama Ghazali disandarkan pada tempat dia dilahirkan yaitu Ghazalah.
Ghazalah adalah sebuah nama desa yang berada di wilayah Thus. Sebagian yang
lain berpendapat bahwa julukan al-Gazali diambil dari pekerjaan ayahnya sebagai
seorang pemintal yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ghazzal. Jika
disandarkan pada pekerjaan ayah maka nama al-Gazali ditulis dengan dua huruf z
(zet) menjadi al-Ghazzali (az-zarkali, VII, t.t.:22). Menyandarkan julukan pada
pekerjaan keluarga juga biasa dipakai oleh orang-orang Jurjan.
Imam al-Gazali lahir di kota Thus, Khurasan, Persia (sekarang Republik
Islam Iran) (Siraj, 2012:7). Beliau lahir pada tahun 450 H atau 1058 M, dua
tahun setelah Tugril Bik, penguasa Saljuk menyingkirkan kekutan Buwaihi di
Bagdad atau setelah satu abad lebih (108 tahun) wafatnya al-Farabi. Para ahli
sejarah berselisih pendapat tentang asal usul keluarga al-Gazali. Sebagian
berpendapat bahwa keluarga al-Gazali adalah keturunan Arab sementara sebagian
lainnya berpendapat bahwa keluarga al-Gazali asli keturunan Persia.
Ayahanda Imam al-Gazali adalah seorang fakir yang shalih dan taat
kepada agama. Beliau menafkahi keluarganya dengan rizki yang halal. Beliau
sangat gemar bersilaturrahmi kepada para alim ulama dengan harapan kelak
generasi penerusnya menjadi seorang yang alim berkat barakah alim ulama.
Beliau tidak henti-hentinya memohon kepada Allah supaya putra-putranya kelak
menjadi faqih (ahli fikih) dan waid (pemberi nasihat). Allah mendengarkan doa
60
seorang hambanya yang bersungguh-sungguh dan mengabulkan doa ayahanda
Imam al-Gazali tersebut. Memang benar, berkat doa ayahnya, Imam al-Gazali
tumbuh dan berkembang menjadi seorang tokoh besar Islam yang sangat alim dan
bijaksana. Sedangkan adiknya, Ahmad,dikenal sebagai orang yang suka memberi
nasehat.
Menjelang wafat, ayahnya mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya
kepada temannya dari kalangan sufi yang shalih. Ayahnya juga meninggalkan
sedikit harta untuk bekal pendidikan anak-anaknya. Kepada beliau, al-Gazali dan
adiknya belajar khat dan adab. Saat harta peninggalan tidak lagi cukup untuk
memenuhi kehidupan mereka dan sang kawan tidak lagi mampu mengusahakan
kebutuhan mereka maka al-Gazali dan adiknya dimasukan ke madrasah yang
mengajarkan fikih dan memberikanan beasiswa bagi para siswanya. Kondisi
tersebut diceritakan al-Gazali dalam kalimatnya yang terkenal, “aku mencari ilmu
bukan karena Allah. Namun ilmu yang kudapatkan menolak digunakan kecuali
untuk Allah. (az-Zabidi I, 1989:269).
Setelah ayahnya meninggal, sahabat ayahnya yang seorang sufi dan
shalih itu mendidik dan memelihara keduanya dengan penuh kasih sayang sampai
harta warisan ayahnya habis sedangkan guru sufi yang hidup miskin itu tidak
mampu memberikan biaya hidupa kepada keduanya. Guru sufi yang
mengasuhnya kemudian menganjurkan kepada mereka agar masuk ke salah satu
madrasah di kota Thus untuk mengeyam pendidikan dengan program beasiswa.
Inilah titik awal permulaan perkembangan intelektual dan spiritual Imam al-
Gazali sampai akhir hayat (Zurkani, 1996:64).
61
Tidak ada banyak informasi yang bisa digali mengenai wanita-wanita
disekelilingnya. Tidak diketahui dengan siapa al-Gazali menikah. Hanya
dikabarkan bahwa al-Gazali memiliki tiga anak perempuan. Salah satunya
bernama Sittu al-Muna yang memberi cucu laki-laki kepada al-Gazali dengan
nama Ubaidillah. Mengenai ibundanya, hanya diketahui bahwa ibunya masih
hidup beberapa tahun setelah ditinggal suaminya. Bahkan sang ibu sempat tinggal
di Bagdad bersama anak-anaknya dan merasakan serta menyaksikan keberhasilan
mereka (Muawwad, 1997:11). Beliau meninggal pada umur lima puluh lima
tahun, pada tahun 505 H yang bertepatan dengan tanggal 19 Desember 1111 M
di kota Thus, dipangkuan saudara Imam al-Gazali yang bernama Ahmad
disebelah timur benteng dekat Tabaran berdekatan dengan makam penyair
terkenal bernama al-Firdausi (Qayyum, 1985:1).
Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya telah menjadi tradisi
ilmuwan pada saat itu. Begitu juga Imam Al-Gazali. Ia memulai belajar di kota
Thus, ke Jurjan, kemudian pindah Naisabur. Dari Naisabur berpindah ke Bagdad,
Damaskus, Baitul Maqdis, Makkah, Mesir dan kemudian kembali ke Thus hingga
ahir hayatnya. Di kota Thus al-Gazali belajar fikih dari Syaikh Ahmad bin
Muhammad Ar Radakani. Menginjak usia remaja, keinginannya memperluas
pengetahuannya mendorongnya meninggalkan Thus menuju Jurjan. Di sana
belajar ilmu kepada Imam Abu Nashr Al Ismaili. Semasa di Jurjan beliau sempat
menulis kitab yang berjudul Al- Ta‘liqat. Kitab tersebut merupakan hasil catatan
al-Gazali dari apa yang ia pelajari dari gurunya.
62
Terkait dengan Ta’liqat, ada cerita menarik. Setelah dari Jurjan al-Gazali
kembali ke T us. Dalam perjalanan menuju kampung halaman, seluruh barang
bawaannya dirampas oleh sekawanan perampok. Dia mengikuti kawanan
perampok tersebut hingga sampai ke markas mereka. Sesampai di markas, al-
Gazali menemui kepala rampok dan meminta agar barang dikembalikan. Dia
hanya meminta agar buku catatan yang ada dalam tasnya dikembalikan. Dia
mengatakan bahwa catatan tersebut sangat berarti baginya karena merupakan
hasil kerja keras selama menimba ilmu dan menyerap pengetahuan dari gurunya
di Jurjan. Permintaan tersebut hanya ditertawakan kepala perampok seranya
mengatakan bahwa sekarang al-Gazali tidak lagi bisa mengaku telah menyerap
ilmu gurunya karena buku yang merupakan hasil serapan telah dipisahkan dari
dirinya, al-Gazali kehilangan ilmunya. Meski ahirnya buku tersebut
dikembalikan, namun kejadian tersebut menyadarkan al-Gazali bahwa
pengetahuan adalah apa yang ada di kepalanya dan bukan yang ada dicatatannya.
Itulah yang mendorongnya menghapal seluruh isi catatan (kitab Ta liqat) selama
tiga tahun di kampong halamannya (as-Subki, VI, 1413 H.:195).
Pada tahun 471 H, Imam al-Gazali berangkat ke Naisabur. Beliau mulai
memperdalam ilmu di Madrasah/Universitas Nid amiyah di Naisabur ibu kota
Turki Saljuk dan pusat ilmu pengetahuan nomor dua setelah Bagdad yang pada
waktu itu dipimpin oleh Imam al-Juwaini seorang ahli Fikih, Ushul Fikih, Ilmu
kalam dan seorang guru besar di Madrasah Nid amiyah yang beraliran
Asy’ariyah Syafi’iyah yang diberi gelar penghormatan dengan sebutan “Imam al-
Haramain” (Imam kota Makkah dan Madinah). Selama delapan tahun al-Gazali
63
berguru dengan Imam al-Juwaini untuk mengembangkan potensi dan bakat
terpendam beliau (Nasution, 1978:41). Hubungan Imam al-Gazali dengan
gurunya ini sangat dekat sekali, hanya kematianlah yang dapat memisahkan
beliau dengan gurunya.
Dari gurunya inilah Imam al-Gazali berhasil menguasai dengan baik ilmu
fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah
dan filsafat secara terus menerus sehingga beliau mampu bertukar pikiran dengan
segala aliran dan agama bahkan mulai mengarang buku-buku ilmiah dalam
berbagai disiplin ilmu (Dunya, t.t.:23). Beliau pun memahami perkataan para ahli
ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang
membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (as-Subki, VI, 1413 H.:191). Imam
al-Gazali kemudian mendapat gelar “al-Bahru al-Mugriq” (Samudra yang
menenggelamkan) dari sang guru setelah memandang dan mengetahui bahwa
ilmu pengetahuan Imam al-Gazali cukup luas dan mendalam. Al-Gazali kemudian
diangkat menjadi guru diberbagai fakultas di Madrasah Nidamiyah, bahkan beliau
sering menggantikan guru yang berhalangan mengajar. Pada usia yang sangat
begitu muda, yaitu 25 tahun, al-Gazali diangkat menjadi dosen di Universitas
Nidamiyah tersebut oleh Imam al-Haramain dari tahun 475-479 H. Nama al-
Gazali cepat sekali harum dan terkenal, apalagi setelah dipercaya oleh gurunya
untuk menggantikan kedudukannya baik sebagai guru besar maupun sebagai
rektor universitas tersebut.
Setelah Imam Haramain meninggal pada tahun 479 H, al-Gazali berangkat
menemui Perdana Menteri Nid am al-Muluk. Perdana Menteri Nid am al-
64
Muluk mengangkat Imam al-Gazali menjadi rektor universitas tersebut untuk
menggantikan gurunya. Pada saat itu usia beliau baru memasuki 29 tahun, akan
tetapi beliau telah memperlihatkan kecerdasan dan kecakapan yang luar biasa.
Karena kecerdasan dan kecermerlangan pemikirannya beliau menarik
perhatian perdana menteri dari Sultan Turki yang berkuasa dibawah pemerintah
Daulat Abbasiyah dari bagdad. Imam al-Gazali diundang dan diangkatnya
menjadi professor pada universitas yang didirikannya di ibukota negara. Dengan
demikian dalam usia ke-33 tahun al-Gazali telah memperoleh kedudukan yang
tinggi dalam dunia ilmu pengetahuan pada masanya.
Selama al-Gazali berada di Bagdad, beliau terus mendalami kajian-kajian
dan mendalami ilmu pengetahuannya seperti mengkaji kitab-kitab Ibnu Sina dan
al-Farabi yang berdampak kepada pola pikir Imam al-Gazali. Bukan hanya
mengkaji pengetahuan-pengetahuan kedua tokoh itu saja, akan tetapi beliau
banyak melakukan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai ilmu pengetahuan
dan pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masa itu seperti mengkaji
filsafat, teologi, aliran bathiniyyah dan tasawwuf (Siraj, 2012:9).
Bertepatan tahun 485 H/ 1092 M terjadilah peristiwa terbunuhnya Perdana
Menteri Nidam al-Muluk di tangan seorang pemuda dari kalangan bathiniyyah.
Kemudian di tahun 486 H Sultan Malik Sah meninggal dunia. Peristiwa tersebut
sangat memukul Imam al-Gazali mengingat kedua tokoh tersebut adalah tulang
punggung Imam al-Gazali. Sebab merekalah yang menyokong Imam al-Gazali
memperbaiki sistem pendidikan, perbaikan bidang agama dan sosial politik
dalam pemerintahan. Dampak dari merosotnya etika masyarakat dan pejabat
65
pemerintahan saat itu mengakibatkan perang saudara dikalangan pejabat
pemerintahan antara generasi penerus Sultan dengan Perdana Menteri dalam
memperebutkan kekuasaan. Setelah lima tahun paska kejadian yang memilukan,
Imam al-Gazali mengajukan pengunduran dirinya untuk berhenti mengajar di
Universitas Nid amiyah (Siraj 2012:4-5).
Imam al-Gazali memiliki derajat dan jabatan yang demikian tinggi, namun
semua itu tidak membuatnya sombong dan hubbu ad-dunya. Tragedi-tragedi yang
sangat memprihatinkan pada masa itu membuat hati al-Gazali menjadi sedih dan
berharap suatu saat dapat memperbaiki situasi ini menjadi lebih baik. Beliau
memutuskan untuk meninggalkan semua apa yang telah dicapainya dan
melakukan perjalanan spiritual untuk menemukan kebenaran. Bertepatan pada
bulan Dzul Qa’dah tahun 488 H, Imam al-Gazali berpamitan berangkat
mengerjakan ibadah haji dan mengangkat Ahmad (saudaranya) untuk menduduki
posisinya.
Kepergian al-Gazali dari Bagdad menjadi fase baru bagi perkembangan
intelektualnya. Al-Gazali memasuki fase baru yang disebut dengan istilah
“Skeptisisme”. Imam al-Gazali menderita sakit yang parah selama enam bulan
sampai-sampai dokter sulit untuk menemukan penawarnya. Hakikat sakit yang
diderita al-Gazali bukanlah sakit fisik, akan tetapi lebih disebabkan hati dan
perasaan al-Gazali yang demikian bimbang sehingga beliau sangat ingin
menemukan kebenaran yang sejati sehingga perasaan beliau sangat menderita
yang berdampak kepada fisik (Siraj, 2012:5).
66
Al-Gazali mengalami masa keemasan perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Saat itu banyak bermunculan faham dan aliran yang terkadang
saling menyerang antara satu aliran dengan lainnya. Masing-masing aliran
mengklaim alirannya itulah yang paling benar sesuai dengan ajaran Islam yang
sesungguhnya. Aliran-aliran tersebut diklasifikasikan oleh Imam al-Gazali
menjadi beberapa aliran-aliran pemikiran ialah aliran bathiniyyah, kalam, filsafat
dan tasawwuf (al-Gazali, t.t.d:3). Tanpa ragu beliau mulai mengkaji satu persatu
aliran untuk mengetahui lebih dalam hakikat masing-masing aliran. Semula al-
Gazali mempelajari ilmu kalam sehingga mampu membuahkan hasil karya
karangan kitab yang menjelaskan tentang ilmu kalam. Tujuan ilmu kalam adalah
mempertahankan dan menjaga akidah ahlu as-sunnah dari segala bentuk bida h
dan meyakinkan hati manusia tentang kebenarannya. Maksud ini tercapai namun,
menurut al-Gazali, para hali kalam menggunakan premis-premis yang digunakan
oleh lawannya. Ilmu kalam lebih pas disebut ilmu mujadalah dari pada ilmu
mencari kebenaran. Maka al-Gazali beranggapan bahwa ilmu kalam sukses
memenuhi maksud illmu kalam tapi tidak dapat memenuhi maksud al-Gazali
yang ingin menemukan hakekat sesuatu Namun hal itu masih belum dapat
memuaskan Imam al-Gazali (al-Gazali, t.t.d:9).
Setelah selesai mempelajari ilmu kalam, selanjutnya Imam al-Gazali
mempelajari tentang filsafat. Filsafat adalah ilmu yang lebih mengedepankan akal
dan rasio. Imam al-Gazali mengkaji secara fokus kitab-kitab tentang filsafat
seperti kitab karangannya Al-Farabi dan Ibnu Sina serta buku-buku lainnya yang
berkaitan dengan filsafat. Al-Gazali mengaku bahwa belajar filsafat di tengah
67
kesibukannya menulis dan mengajar 300 klompok siswa. Dalam waktu dua tahun
beliau selesai memahami aliran-aliran filsafat. Dari situ al-Gazali menyimpulkan
bahwa banyak ajaran filsafat yang keluar dari ajaran agama dan bahkan
menyebabkan kekufuran (al-Gazali, t.t.d:11).
Dengan mempelajari filsafat ternyata Imam al-Gazali bukannya merasa
puas, justru sebaliknya. Pada gilirannya beliau fokus mempelajari Aliran
batiniyah. Aliran tersebut berbalik arah dengan filsafat, sebab Bathiniyah tidak
memberikan ruang gerak yang leluasa terhadap kebebasan akal. Jalan yang
ditempuh adalah taqlid terhadap imam yang Ma‘sum yang selalu muncul setiap
zaman (Siraj, 2012:10). Aliran Bathiniyah berpendapat bahwa akal manusia tidak
akan lepas dari kesalahan-kesalahan dan hakikat kebenaran bukan bersumber dari
akal saja, tetapi juga harus bersumber dari imam yang Masum melalui para rasul.
Imam al-Gazali bisa menerima gagasan tersebut, akan tetapi beliau masih belum
merasa puas.
Akhirnya Imam al-Gazali sampailah kepada tasawwuf. Sebagaimana yang
dilakukan sebelumnya, Imam al-Gazali sangat fokus mempelajari tasawwuf.
Dalam pengkajiannya, beliau menelaah kitab-kitab para sufi yang bertemakan
tasawwuf seperti kitab karangan Abi Thalib al-Makki yang berjudul qut al-qulub,
kitab karangan al-Muhasibi, Junaidi, al-Syibli, Abu Yazid al-Busthami dan yang
lainnya. Setelah mempelajari tasawwuf, ternyata tasawwuf bisa memberikan
pengaruh terhadap kondisi jiwa al-Gazali atas kebimbangannya. Setelah
menengok ke belakang pada kehidupannya yang terdahulu, al-Gazali merasakan
ada kesenjangan hidup yang ditempuhnya dengan kemewahan bila dibandingkan
68
dengan tradisi hidup para sufi yang penuh dengan kesederhanaan dan keikhlasan.
Dari situlah Imam al-Gahzali menyadari bahwa kebahagiaan hakiki hanya bisa
diperoleh dengan tidak menjadikan dunia sebagai kecintaan dan tujuan, sebab
dunia bisa melenakan manusia. Kebahagiaan hakiki adalah kehidupan setelah di
dunia ini. dan kebahagiaan dapat diraih ketika di dunia mapun di akhirat adalah
jika manusia tidak cinta kepada dunia. Beliau terus merenungkannya hingga
beliau menemukan titik terang (al-Gazali, t.t.d:28-29).
Sebelum menemukan keyakinan pada tasawwuf, al-Gazali mengalami
keguncangan jiwa selama enam bulan. Terjadi tarik menarik antara syhawat dunia
dan kepentingan ahirat. Tarik menarik antar keduanya begitu hebat dan tidak
berkesudahan hingga lisannya tersa terkunci untuk membaca buku dan tidak
mampu mengucapkan kata-kata meski hanya satu kalimat saja. Kegundahan
hatinya berpengaruh terhadap keadaan fisiknya. Tidak ada minuman yang mampu
direguknya, tidak ada makanan yang mampu ditelannya. Keadaan ini semakin
memperlenah kondisi fisiknya hingga hanya sikap pasrah kepada Allah yang bisa
dilakukan. Dalam kepasrahan, Allah membuka hati al-Gazali, memberikan
kemudahan memilih meninggalkan kemewahan dunia (al-Gazali, t.t.d:30).
Uzlah (pengasingan diri) dari keraguan adalah rasionalisasi dari
perkembangan pemikirannya. Keinginan Imam al-Gazali bukan lagi urusan
duniawi, akan tetapi jiwa yang damai. Hal tersebut tidak bisa didapat melewati
akal, akan tetapi melalui intuisi yang merupakan konsep paling esensial didalam
tasawwuf Nasution, 1996:48). Begitulah, ahirnya al-Gazali memutuskan untuk
meninggalkan Bagdad dan menetap di Damaskus. Hanya harta secukupnya yang
69
dia bawa sebagai bekal dan sedikit simpanan untuk keperluan anak-anak. Sisanya
diwakafkan untuk kepentingan umat Islam. Untuk menghindari pertanyaan
Halifah dan kolega, al-Gazali berpamitan kepada mereka akan menunaikan
ibadah haji.
Menginjak usia Imam al-Gazali yang ke tiga puluh delapan tahun, beliau
mulai kehidupan baru sebagai seorang sufi. Tahun 489 H Imam al-Gazali
memasuki kota Damaskus, yaitu kota yang penuh kedamaian dan banyak dihuni
kalangan sufi. Di dalam Masjid Umawi, beliau melakukan i‘tikaf dan dzikir
kepada Allah sepanjang waktu hanya berbekal makanan dan minuman yang
seadanya. Beliau memasuki proses tasawwuf yang dinamakan suluk sufi dengan
riyad ah dan latihan kerohanian dengan menjalankan segala bentuk ibadah dan
menjauhi segala larangan serta menundukkan nafsu sahwat. Beliau juga
melakukan mujahadah yang dilakukan dengan kemantapan hati dan kesungguhan
dalam melawan dan menundukkan nafsu kurang lebih dua tahun selama berada di
Damaskus. Al-Gazali lebih banyak mengahbiskan waktunya berkhalwat di
menara masjid dengan menutup rapat-rapat pintunya. Kemudian beliau berziarah
ke Baitul Maqdis. Di sana al-Gazali melakukan hal sama di masjad Kubbah Batu
(al-Gazali, t.t.d:31).
Setelah hampir dua tahun di Damaskus, Imam al-Gazali berangkat menuju
ke Baitul Maqdis Palestina dan menetap disana untuk beberapa lama. Selama
disana beliau juga mengunjungi kota Hebron dan Yaerusalem, kedua kota itu
merupakan tanah air para nabi-nabi sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa, dan
disana beliau berharap dapat membebaskan diri dari angkara nafsu sahwat yang
70
ingin ditundukkannya. Pada tahun 490 H, Paus Urbanus II mengirimkan bala
tentara pasukan Salib yang datang dari Eropa untuk merebut Palestina dari kaum
Muslim. Setelah mereka menduduki palestina, maka terjadilah peperangan yang
dahsyat antara pasukan Islam dan tentara salib dan terjadilah pembunuhan besar-
besaran yang dilakukan oleh pasukan salib terhadap kaum muslimin di kota
tersebut. Akhirnya Imam al-Gazali dengan sangat terpaksa meninggalkan
Palestina dan mengembara ke daerah Mesir (Masduki, 2000: 175). Mesir pada
masa itu sedang mengalami masa kemunduran. Beliau berada di Mesir untuk
beberapa waktu saja. Kemudian beliau melanjutkan pemngembaraannya ke
Makkah dan Madinah untuk menjalankan rukun Islam ke lima yakni ibadah Haji.
Pada waktu Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa daerah Khurasan,
Imam al-Gazali dimohon bisa hadir dan menetap di Naisabur. Akhirnya Imam al-
Gazali pergi ke Naisabur, menetap disana dan mengajar di madrasah An
Nidzamiyah untuk beberapa saat. Selang beberapa lama, Imam al-Gazali memilih
pulang ke negerinya sendiri dengan menjalankan aktifitas mempelajari ilmu dan
beribadah kepad Allah. Disana Imam al-Gazali mendirikan madrasah di samping
tempat tinggalnya dan membangun asrama bagi orang-orang sufi. Imam al-Gazali
habiskan sisa umurnyanya dengan mengkhatam Al Qura n, berkumpul dengan
ahli ibadah, mengajar ilmu kepada para murid-muridnya, melakukan ibadah-
ibadah kepada Allah dan menjauhkan diri dari pergaulan kehidupan manusia
hingga akhir hayatnya (Khalikan, IV, t.t.: 219).
Adapun karya-karya Imam al-Gazali sebagai berikut (Siraj, 2012: 15-16):
71
No Kategori Nama Kitab
1. Politik
a. Al-Tibr al-Masbuk fi Nas ihat al-Muluk b. Madkha al-Suluk c. Sirr al-‘Alamin d. Fad ail al-Bat iniyah wa Fad ail al-Mustaz
Hijriyah e. Hujjat al-Haq f. Mufassal al-Khilaf g. Al-Daraj h. Fatihah al-Ulum i. Suluk al-Sult anah
2. Filsafat
a. Maqas id al-Falasifah b. Tahafut al-Falasifah c. Al-Ma’arif al-‘Aqliyah d. Faisa al-Tafriqa Baina al-Zindiqah e. Al-Himatu fi Makhluqi Ilahi f. Hakikat al-Ruh g. Mustaz hiri h. Risalat al-Laduniya i. Mizan al-Amal j. Al-Fikrah al-Ibrah k. Al-Ma’arif Majar al-Ilmi al-Aqliyah wa Ila hiyah
al-Muntaqid l. Muhak, al-Nazar fi al-mantiq m. Majr al-Ilmi fi Fanni al-Mantiq
3. Akhlak dan Tasawwuf
a. Ihya Ulum ad-Din b. Al-Munqid Min al-Dhalal c. Al-Adab fi ad-Din d. Al-Qowaid al-Ans ar e. Maqas id al-hasan Syarh Asma Ilahi al-Husna f. Minhaj al-Abidin g. Nashihat al-Talzim h. Asrar al-Anwar i. Mak Syifat al-Qulub j. Bidayat al-Hidayat k. Kimiyau Sa‘adat l. Ayyuha al-Walad
4. Aqidah (ilmu Kalam)
a. Ar-Risalah al-Qudsiyyah b. Al-Qist as al-Mustaqim c. Faishal al-Tafriqah al-Islam wa al-Zundaqah d. Iljam al-Awwal min Ilm al-Kalam e. Qawaid’ al-Qawaid f. Al-Iqtis ad fi al-I’tiqad
5. Fiqh a. Al-Mustasfa min Us ul al-Fiqh
72
b. Al-Manhul wa al-Muntahal c. Wajiz fi Furu’ d. Khulasat al-Fiqh e. Al-Durr Manz um fi sirr al-Makhtum Wasiat f. Al-Basit g. Al-Wasit h. Fatawa al-Gazali i. Al-Ta’liqah j. Tahz ib al-Ushul k. Ghayat al-ghawr fi diryat al-dawar
6. Tafsir
a. Jawahir al-Qur’an b. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil c. Al-Durr al-Fakhira d. Al-Qaul tl-Tawil fi Tafsir al-Tanzil
B. Kondisi Sosial Politik dan Agama
Pemikiran seorang tokoh tidak bisa terlepas dari kondisi sosial masyarakat
dan situasi politik yang melingkupinya. Al-Gazali hidup pada masa pergolakan
pemikiran dalam keagamaan dan dalam bidang politik. Kerajaan besar yang
dipimpin oleh seorang khalifah sedang mengalami disintegrasi dan bermunculan
kerajaan-kerajaan kecil yang baru. Kekuatan-kekuatan besar tidak lagi didominasi
oleh pusat, melainkan berada didaerah-daerah. Persatuan umat Islam terpecah
belah dikarenakan mereka mengikuti penguasa-penguasa mereka dan dari
masing-masing mereka memiliki pandangan politik dan aliran sendiri. Saling
merebut kekuasaan dan menjatuhkan sesama umat Islam sering terjadi. Sejak al-
Mutawakkil naik tahta (850), kekhalifahan Bani Abbasiyah tidak lagi sepenuhnya
dapat menguasai pemerintahan. Mereka sangat tergantung pada tentara bayaran
dari Turki. Kemudian mereka berada dalam pengaruh Bani Buwaihi yang
berkebangsaan Persia. Dinasti Buwaihi yang beraliran Syi’ah, selalu
menyebarkan ajaran Syi’ah dan menentang aliran-aliran diluar Syi’ah. Dalam
73
perkembangannya mereka bekerjasama dengan masyarakat yang beraliran
Mu’tazilah, sehingga dapat memperkuat kekuasaannya. Setelah itu masuk Bani
Saljuk yang menggantikan pengaruh Bani Buwaihi (Machasin, 2004:109).
Kemenangan Bani Saljuk yang beraliran Sunni, memberinya kesempatan
mengambil alih pemerintahan khilafah dari dinasti Buwaihi. Namun, dinasti
Buwaihi menaruh bara dendam kepada bani Saljuk, sehingga mereka
menjalankan gerakan bawah tanah untuk merongrong kekuasaan bani Saljuk.
Selain itu, di Mesir muncul aliran Syi’ah lainnya yang bernama Isma’iliyah
dibawah naungan Dinasti Fatimiyah. Aliran tersebut dipandang oleh bani Saljuk
yang beraliran sunni sebagai aliran yang menyesatkan. Bahaya dari kaum Eropa
juga muncul setelah masuknya pasukan salib ke Palestina.
Kehidupan beragama umat Islam saat itu juga terbelah ke dalam berbagai
golongan. Tiap-tiap golongan terpecah ke dalam berbagai sekte. Kondisi ini
muncul sebagai akibat dari interaksi ajaran Islam dengan ajaran dan pengetahuan
dari luar Islam. Faham, ajaran dan pengetahuan dari Persi, Yunani dan India
disebut sebagai yang terbesar dalam memberikan penagaruh terhadap corak
Islam. Itulah Islam yang keberagaman coraknya masih bisa kita saksikan hingga
hari ini. Keragaman faham terkadang melahirkan pertentangan antara yang satu
dengan yang lainnya. Kolaborasi ulama dan penguasa terkadang memunculkan
pemaksaan satu faham tertentu kepada seluruh rakyatnya. Pembentukan lemabaga
mihnah oleh khalifah menjadi salah satu bukti adanya pemaksaan kehendak dari
satu kelompok kepada kelompok lainnya.
74
Para penguasa dan elit politik berlomba-lomba mendekati para elit agama
untuk menarik simpati masyarakat dan legitimasinya. Pembentukan
perkampungan militer yang dilakukan khilafah melahirkan elit keagamaan baru.
Para elit ini kemudian melepaskan diri dari otonomi yang dijalankan khilafah.
Dalam hal arahan moral dan bimbingan keagamaan, massa umat Islam berkiblat
pada mereka dari pada kepada khalifah (Lapidus, 1999: 149). Otoritas keagamaan
khalifah berhadapan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga sectarian dalam umat
Islam. Menguatnya posisi elit keagamaan dan tumbuhnya sektarianisme
mendorong khalifah melakukan pendekatan kepada para elit untuk mendapatkan
legitimasi. Ketergentungan khalifah pada elit agama (baca: ulama) menyuburkan
munculnya elit agama yang tidak memiliki niat tulus dalam memberikan nasihat
kepada khalifah. Keberadaan elit agama yang tidak memilki nita tulus dipotret
oleh al-Gazali saat memberikan nasihatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik
Syah as-Saljuqi. Al-Gazali (1988: 18) mengatakan:
Hendaklah merasa rindu kepada para ulama serta mendengarkan dan melaksanakan nasehat-nasehatnya. Takutlah terhadap ulama syu, yaitu para ulama yang hanya menginginkan dunia. Sesungguhnya mereka memujimu, memberikan anjuran dan nasehat kepadu serta mencari kerelaanmu hanya untuk mendapatkan harta dunia yang engkau milki dengan berbagai cara.
C. Jihad dalam Prespektif Fikih al-Gazali
Fikih dalam makna etimologis adalah mengetahui dan memahami.
Adapun dalam terminology ahli fikih adalah mengetahui hukum-hukum syariat
yang telah ditetapkan bagi orang mukallaf (mendapat beban hukum/tanggung
jawab) (al-Gazali, 1413 H.: 5). Tanpa fikih manusia tidak akan tahu tanggung
75
jawabnya sebagai seorang hamba. Al-Gazali (1413 H.: 4) membagi ilmu menjadi
tiga. Pertama adalah ilmu aqli (rasio) murni yang pada dasrnya tidak didorong
atau dilarang oleh agama dalam penggunaanya. Termasuk dalam kelompok ini
adalah ilmu ukur, ilmu teknik, perbintangan dan yang sejenisnya. Ilmu ini bersifat
z anni (dugaan semata). Kedua adalah ilmu naqli (wahyu) murni seperti ilmu
hadis, tafsir dan ilmu-ilmu yang tidak menggunakan penalaran. Ketiga adalah
ilmu yang menggabungkan antara aqli dan naqli yang disertai dengan penalaran
terhadap syariat. Termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu fikih. Inilah derajat
ilmu yang paling tinggi.
Di lingkungan mazhab Syafi’i, pendapat-pendapat fikih al-Gazali tidak
menjadi rujukan utama. Dalam lingkungan mazhab Syafi‘i, pendapat yang
diunggulkan adalah pendapat Imam Nawawi disusul kemudian pendapat Imam
Rafi‘i. Pendapat-pendapat fikih al-Gazali relative datar dan tidak ada yang
berbeda dari pendahulunya. Begitu juga dalam masalah jihad. Pendapat-
pendapatnya dapat juga ditemukan dalam pendapat fuqaha (ahli fikih)
sebelumnya. Bahkan al-Gazali tidak membahas secara rinci pemanfaatan
ganimah.
Menurut al-Gazali, jihad adalah berperang menghadapi orang kafir yang
masuk menginfasi negara Islam maupun yang berada dinegara mereka sendiri.
Adapun tujuan dari jihad dengan menggunakan senjata adalah dakwah Islamiyah
dan memperlihatkan kebenaran agama Allah di muka bumi. Jihad wajib
dilakukan oleh umat Islam. Adakalanya wajib aini (orang per orang) dan
adakalanya wajib kifai (kolektif). Jihad bersifat wajib aini manakala orang kafir
76
menyerang masuk ke negara Islam. Jihad menjadi wajib kifai manakala tujuan
syariat yakni dakwah Islamiyah telah dapat dipenuhi oleh sebagian umat Islam
(al-Gazali, VII, 1417: 6).
Kewajiban menegakkan agama Islam dengan menggunakan senjata (jihad)
merupakan sebagian dari salah satu dari tiga kewajiban yang bersifat kolektif.
Pertama, kewajiban yang terkait langsung dengan masalah keagamaan, semisal
melakukan dakwah dengan menggunakan ilmu, amar makruf nahi munkar,
menghidupkan ka’bah dengan pelaksanaan ibadah haji dan menjawab salam.
Jihad masuk dalam kategori ini. Kedua, hal-hal yang terkait dengan hajat hidup
umat Islam seperti membuat pakaian, mengusahakan kebutuhan pangan dan
mengentaskan kemiskinan. Ketiga, kewajiban yang merupakan pelengkap dari
kedua kewajiban lainnya seperti memandikan, mengkafani dan mengubur mayit,
memberikan kesaksian serta hal lain yang mendukung terwujudnya dakwah
Islamiyah (al-Gazali, VII, 1417 H.: 6-7).
Jihad harus dilakukan minimal sekali dalam setahun. Di luar itu
disunnahkan memperbnayak jihad dalam tahun-tahun tersebut. Namun jihad
menjadi wajib lebih dari sekali dalam setahun jika keadaan menuntut untuk itu.
Pada masa awal permulaan Islam di Madinah, hukum jihad adalah fardlu ain bagi
para sahabat. Nabi membagi diantara para sahabat. Sebagian turut serta dalam
peperangan sebagian lainnya tetap berada di Madinah untuk menjaga negara.
Sepeninggal Rasuullah, hukum perang menjadi fardu (wajib) kifayah. Tidak ada
ketentuan yang mengatur tentang urutan negara musuh manakah yang menjadi
target utama. Keputusannya ditentukan oleh pemimpin dengan
77
mempertimbangkan kemaslahatan dan menyebarkan tantangan dan ketakutan
(terror) pada semua negara musuh. Al-Gazali tidak menyebut adanya kewajibkan
pemberitahuan atau adanya dakwah Islam di negara yang menjadi tujuan
penyerangan sebelum dilakukan penyerangan. (al-Gazali, VII, 1417 H.:6).
Tidak semua orang Islam wajib mengangkat senjata menghadapi musuh.
Mereka adalah anak-anak, orang yang sudah renta, para wanita, orang yang
sedang sakit, orang buta dan orang yang tidak memilki bekal untuk berangkat
perang seperti orang yang tidak memilki senjata atau tidak memilki kendaraan
atau tidak mempunyai harta yang cukup untuk menafkahi keluarga selama
ditinggal perang. Selain itu ada juga orang yang pada dasarnya tidak memiliki
kewajiban syar’i ikut serta beperang. Mereka adalah para budak, orang yang
masih menanggung hutang dan orang yang tidak mendapat izin dari kedua orang
tua (al-Gazali II, 1997:188).
Jihad menjadi wajib aini (wajib bagi setiap orang) manakala orang kafir
masuk menyerbu ke satu wilayah Islam. Seluruh penduduk yang ada di wilayah
tersebut wajib mengangkat senjata. Para pemilik budak harus memerdekakan
budaknya. Orang tua harus mengizinkan anak-anaknya yang telah mampu
berperang. Bahkan para wanita dan orang yang sebelumnya tidak berkewajiban
perang wajib mengangkat senjata jika memang hal tersebut diperlukan (al-Gazali,
VII, 1417:6-7).
Ada lima aturan yang harus diikuti dalam menjalankan peperangan.
Pertama, Boleh memanfaatkan kafir d immi (orang kafir yang hidup di Negara
Islam dengan cara membayar jizyah/ upeti) dan orang musyrik (sebagai tentara
78
atau mengatur strategi) sepanjang mereka dapat dipercaya. Juga diperbolehkan
menggunakan budak yang telah mendapat ijin dari tuannya serta remaja yang
belum mencapai usia akil balig. Kedua, Orang yang berkewajiban perang tidak
diperkenankan menyewa orang Islam lainnya untuk menggantikanya mengikuti
perang. Ketiga, Dilarang membunuh sanak kerabat seperti ayah atau ibu, anak-
anak dan para wanita. Keempat. Diperkenankan menggunakan manjaniq (alat
pelontar batu besar) ke dalam benteng pertahanan musuh meski di dalamnya ada
anak-anak atau wanita. Selain manjaniq, juga diperkenankan mengobarkan api
atau membanjiri wilayah musuh. Kelima. Tidak diperkenankan lari dari kancah
peperangan (al-Gazali II, 1997: 189-191). Ada dua pendapat terkait dengan para
pendeta, orang yang sudah renta dan orang lumpuh. Pendapat pertama
mengatakan bahwa mereka boleh dibunuh karena mereka merupakan bagian
orang-orang yang harus diperangi. Pendapat kedua mengatakan bahwa mereka
tidak boleh dibunuh karena nabi melarang Halid bin Walid membunuh mereka
(al-Gazali, VII, 1417 H.: 20).
Para wanita dan anak-anak yang menjadi tawanan tidak boleh dibunuh.
Mereka hanya boleh dijadikan budak. Istri orang kafir jika ditawan dan kemudian
dijadikan budak maka hukum ikatan perkawinannya menjadi batal, baik ditawan
sendirian atau bersama suaminya. Hal yang sama juga berlaku bagi hubungan
pernikahan wanita harbi (wanita yang tinggal di nagara kafir) dengan laki-laki
kafir z immi. Begitu juga wanita kafir kitabi (wanita Yahudi atau nasrani) yang
menjadi istri orang Islam. Jika mereka ditawan dan dijadikan budak maka hukum
79
perninakahnya dengan lelaki muslim menjadi batal (al-Gazali, VII, 1417 H.: 27-
28).
Ada larangan yang harus ditaati dalam peperangan yang terjadi di nagara
musuh. Tidak diperkenankan merusak (termasuk memakan) barang-barang yang
mungkin bisa dijadikan ganimah (rampasan perang). Tetapi para mujahid (orang
yang berperang) diperbolehkan mengambil makanan atau apapun yang diperlukan
dari tangan orang kafir sekedar untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu, juga tidak
diperbolehkan membunuh hewan kecuali kuda yang digunakan untuk berperang.
Adapun kitab suci orang kafir atau buku-buku yang berisi kekufuran boleh di
bakar atau dirusakkan (al-Gazali, VII, 1417 H.: 31).
Harta yang diperoleh dari negara musuh dapat dibedakan menjadi lima.
Pertama, ganimah yaitu harta yang diperoleh dari negara musuh seusai
peperangan atau biasa disebut dengan rampasan perang. Kedua, fai yaitu harta
didapat dari negara kafir tetapi tidak dengan jalan peperangan. Termasuk di
dalamnya adalah upeti negara kafir kepada Negara Islam. Kategori pertama dan
kedua dikuasai oleh negara dan dibagikan sesuai aturan yang berlaku. Ketiga,
sesuatau yang diambil oleh individu muslim dengan cara mencuri atau mencopet
dari negara musuh. Harta kategori ketiga menjadi miilik individu. Keempat,
hewan liar dan tumbuh-tumbuhan. Harta kategori ini boleh diambil oleh siapa
saja. Kelima, harta temuan menjadi milik penemunya salama diyakini bukan
barang milik orang Islam (al-Gazali, VII, 1417 H.: 32).
Orang kafir tidak diperkenankan tinggal di Negara Islam dengan aman
secara Cuma-Cuma. Imam (pemimpin Negara Islam) diperkenankan memberikan
80
kepastian keamanan bagi oaring kafir yang tinggal di negara Islam dengan syarat
membayar jizyah (upeti). Perjanjian antara Negara Islam dengan orang non
muslim yang tinggal di Negara Islam disebut dengan akad d immah (al-Gazali,
VII, 1417 H.: 58).
Akad d immah sah jika memenuhi lima syarat (al-Gazali II, 1997: 197-
201). Pertama, akad d immah harus dilakukan dengan menggunakan ijab dan
kabul antara imam atau wakilnya dengan individu non muslim yang meminta
kepastian keamaan. Kedua, Perjanjian hanya boleh dilakukan oleh imam. Orang-
per orang muslim tidak diperkenankan mengadakan akad zimmah tanpa seijin
imam. Ketiga, akad jizyah hanya untuk kafir kitabi (orang kafir yang memilki
kitab suci) yang telah dewasa. Oleh karena itu anak-anak, wanita dan budak tidak
perlu mengadakan akad zimmah untuk bisa tinggal di Negara Islam. Mereka
cukup mengikuti sanak kerabatnya yang telah mengadakan akad zimmah.
Keempat, mereka boleh tinggal di manapun dalam Negara Islam kecuali wilayah
Hijaz yang meliputi Makkah, Madinah, Najed, Yamamah, Thaif dan Khaibar.
Mereka juga bebas bepergian kemanapun juga dengan syarat tidak tinggal di satu
tempat lebih dari tiga hari (di luar hari datang dan pulang). Kelima, harus
membayar hal-hal sebagai berikut:
1. Jizyah. Jizyah adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan setahun sekali
dengan besaran sesuai dengan akad yang telah disepakati dengan imam
2. D iyafah, Diyafah adalah suguhan yang harus disediakan orang kafir kepada
orang Islam yang bermalam ditempat tersebut sebanyak-banyak tiga hari tiga
malam.
81
3. Ihanah. Ihanah adalah sikap tunduk dan merendahkan diri saat membayarkan
kewajibannya.
4. Pajak perdagangan. Kafir zimmi wajib membayar pajak sebesar sepuluh
persen dari nilai barang dagangannya jika melakukan perdagangan di wilayah
hijaz.
5. Kharaj. Kharaj adalah pajak hasil bumi.
Adapun hak dan kewajiban kafir d immi yang tinggal di Negara Islam
adalah sebagai berikut (al-Gazali II, 1997: 201-202):
1. Berhak mendapatkan jaminan keamanan jiwa dan harta dari Negara.
2. Berhak mendapatkan kenyamanan dalam beribadah
3. Berhak menggunakan tempat ibadah sesuai dengan keyakinannya
4. Dilarang membangun tempat ibadah baru. Mereka hanya diperbolehkan
menggunakan temapat ibadah yang telah ada
5. Dilarang meninggikan bangunan melebihi bangunan tetangganya yang
beragama Islam
6. Dilarang menunggang kuda(alat transportasi) yang mewah
7. Harus memakai cirri-ciri tertentu sehingga membedakan dirinya dari orang
Islam
8. Harus berhukum dengan hukum Islam, jika ada persoalan hukum dengan
orang islam. Jika ada persoalan diantara mereka senidiri maka boleh memilih
anatar menggunakan hukum Iislam atau hukum mereka sendiri
D. Jihad dalam Prespektif Tasawwuf al-Gazali
82
Tasawwuf adalah sebuah rangkaian perjalanan yang awalnya adalah
pengetahuan, tengahnya adalah perbuatan dan puncaknya adalah pemberian.
Dengan ilmu manusia mengetahui maksud dan tujuan dari kehidupan. Dengan
amal perbuatan manusia menggapai tujuan. Dan dengan pemberian (Allah)
manusia sampai pada tujuan (al-Gazali, 1971a:17). Dalam menjalani rangkaian
perjalanan, seseorang harus berupaya keras menundukan nafsunya. Upaya
tersebut dikenal dengan istilah mujahadah.
Mujahadah dan jihad memilki akar kata yang sama. Keduanya adalah
masdar dari fi’il madi ja hada (جاھد) yang berarti mengerahkan segala upaya.
Kata jihad banyak digunakan dalam domain fikih sedangkan kata mujahadah
banyak digunakan dalam domain tasawwuf. Di dalam jihad, upaya keras
diarahkan untuk menundukkan orang kafir. Sedangkan dalam mujahadah, upaya
keras dilakukan untuk menundukkan hawa nafsu. Meski demikian, dalam wacana
tasawwuf, sesekali al-Gazali menggunakan kata jihad untuk menunjuk
pengerahan daya untuk menundukan hawa nafsu.
Hubungan antara tasawwuf dengan fikih seperti hubungan antara kulit dan
isi, atau antara ruh dan badan. Gerakan badan tanpa ruh laksana gerakan orang
mabuk atau orang mengigau, tidak berarti apa-apa. Begitu juga pelaksanaan
perintah sebagaimana yang diataur dalam fikih tidak akan menemukan tujuannya
tanpa diisi dengan roh tasawwuf. Al-Gazali (t.t.f: 160) menyatakan bahwa
pelaksanaan ibadah tanpa disertai roh tasawwuf tidak akan bisa sampai kepada
Allah. Fikih merupakan pekerjaan lahir yang benar dan salahnya menjadi ukuran
83
bagi hakim untuk menghukum atau tidak. Ketika orang telah menjalankan shalat
sesuai dengan aturan fikih maka tidak ada jalan bagi hakim untuk menghukum
orang tersebut tanpa peduli apakah shalat tersebut dilakukan dengan sepenuh hati
atau dengan hati yang kosong (dari Allah).
Al-Gazali menggunkan istilah mujahadah an-nafsi (selanjutnya disebut
mujahadah) untuk menunjukan usaha yang dilakukan seseorang untuk
mengalahkan sifat-sifat buruk dirinya. Tujuan dari laku sufi adalah sampai
kehadirat Allah ( وصول الي اهللا ) dengan selamat dengan cara menapaki tangga
(stage) tertentu. Dalam perjalanan menapaki tangga akan muncul berbagai
rintangan yang timbul dari hawa nafsu. Pada situasi seperti inilah seseorang yang
sedang berjalan menuju Allah harus mengerahkan semua daya dan upayanya
mengalahkan rintangan-rintangan yang timbul dai hawa nafsu. Pengerahan segala
dan upaya dalam rangka menundukkan hawa nafsu inilah yang disebut dengan
istilah mujahadah.
Tujuan dari mujahadah adalah upaya memperbaiki diri (manusia) sebagi
khalifah Allah agar dapat sampai dan dekat kepada Allah. Namun antara Allah
dan manusia ada penyekat yang mengahalangi manusia bisa sampai kepada Allah.
Al-Gazali (t.t.e: 73) menyebut ada empat perkara yang menjadi penghalang antara
Allah dan manusia. Masing-masing adalah harta benda duniawi, kedudukan dan
pangkat, taqlid serta perbuatan maksiat. Keempat perkara ini terlebih dahulu harus
disingkirkan sebelum seseorang memsuki lapangan jihad yang sesungguhnya. Al-
84
Gazali menyebutnya dengan istilah muqaddamat al-jihad (hal-hal yang
mendahului jihad).
Dalam bermujahadah, seseorang tidak dapat meninggalkan riyad atu an-
nafs (ریاضة النفس). Riyadoh merupakan latihan-latihan yang dilakukan seorang
salik (orang yang berjalan menuju Allah) untuk membiasakan diri melakukan
kebaikan. Hubungan antara mujahadah dan riyadoh dapat diibarat orang yang
sedang sakit tidak dapat berjalan kemudian berupaya agar bisa berjalan. Agar
dapat berjalan kembali maka dia harus menghilangkan rasa malas melatih diri
untuk dapat berjalan. Menghilangkan rasa malas adalah mujahadah dan latihan
berjalan adalah riyadoh.
Untuk sampai kepada Allah seorang hamba harus menapaki jalan yang
panjang. Permulaan dari jalan tersebut adalah taubat. Al-Gazali (IV, t.t.a:2)
menyebut taubat sebagai modal orang-orang yang beruntung, sebagai titik
permulaan orang yang berjalan menuju Allah, kunci istiqamah dan sebagai titik
pijak awal bagi para muqarrabin (orang yang dekat kepada Allah) menjadi hamba
pilihan. Bersamaan dengan taubat, seorang hamba harus melaksanakan kewajiban
dan meninggalkan larangan Allah. Taubah dan menjalankan perintah adalah dasar
sebelum kemudian menapaki tangga-tangga hingga sampai kepada Allah. Dalam
menapaki tangga itulah seorang akan menghadapi kendala yang harus diatasi
dengan cara mujahadah.
1. Maqamat: Tangga Menuju Allah
85
Maqamat (مقامات) merupakan bentuk jamak dari maqa m (مقام).
Secara harfiah berarti tempat. Dalam istilah tasawwuf maqamat berarti
tempat-tempat yang harus dilalui secara gradual oleh seseorang yang berjalan
menuju Allah. Al-Gazali tidak secara eksplisit memberikan definisi tentang
maqamat. Namun dari berbagai pernyataannya dapat ditarik satu kesimpulan
bahwa maqam adalah tempat seorang hamba di hadapan Allah. Menurut al-
Gazali, Setiap maqam terdiri dari ilmu, h al (keadaan yang diperoleh dari
pengetahuan) dan amal (tindakan). Ilmu adalah dasar sebuah maqam. Dari
ilmu lahir h al dan dari h al lahir amal (al-Gazali, IV, t.t.a: 61). Untuk dapat
mencapai satu maqam tertentu seorang hamba dapat mengusahakannya
dengan usaha dan kerja keras (al-Gazali, IV, t.t.a: 75). Jadi, maqam adalah
sesuatu yang dapat diusahakan sedangkan h al adalah bagian yang tak
terpisahkan dari suatu maqam.
Pendapat al-Gazali tidak jauh berbeda dengan as-Suhrawardi. Dia
melihat bahwa maqam dan h al merupakan dua entitas yang sulit dibedakan
(serupa) karena keduanya saling memasuki wilayah lainnya. Sehingga satu
entitas disebut maqam oleh sebagian ulama dan oleh sebagian ulama lain
disebut sebagai h al. Namun as-Suhrawardi mengingatkan bahwa pada
hakekatnya maqam dan hal adalah dua entitas yang dapat dibedakan. Maqam
adalah satu entitas yang bersifat tetap dalam diri seorang salik, sementara
h al adalah entitas yang berubah-ubah dalam diri seseorang. Selain itu h al
merupakan pemberian dari Allah (as-Suhrawardi, IV, tt: 281-283).
86
Maqam pertama adalah taubat disusul kemudian maqam sabar dan
syukur, raja’ dan khauf, zuhud, tawakkal serta mahabbah. Jika diibaratkan
dengan sebuah tangga, maqam tertinggi adalah mahabbah. Di bawahnya ada
maqam rid a dan maqam sabar yang berada satu tingkat dibawah maqam
rid a (al-Gazali, IV t.t.a: 67). Pada bagian lain al-Gazali mengatakan bahwa
maqam sabar bisa dicapai hanya manakala seorang salik telah melewati
maqam raja’ dan khauf (al-Gazali, IV, t.t.a: 164).
a. At-Taubah
Secara singkat taubat dapat diartikan sebagai kembali dari
kesalahan. Dasar dari tabubat adalah kesadaran akan besarnya bahaya
sebuah perbuatan dosa. Perbuatan dosa dapat menghalangi hubungan
antara seorang hamba dengan kekasihnya yakni Allah. Pengetahuan yang
disertai dengan keyakinan terhadap implikasi sebuah dosa melahirkan
penyesalan (nadamah) dan kehendak (iradah) untuk berbuat sesuatu bagi
masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Berbuat bagi masa lalu adalah
menutupi kekurangan dan menebus dosa yang telah lalu. Berbuat bagi
masa sekarang adalah meninggalkan perbuatan dosa. Berbuat untuk masa
akan datang adalah berniat tidak melakukan dosa (al-Gazali, IV, t.t.a: 3).
Dengan demikian taubah mensaratkan tiga hal yakni menyadari akibat
dari dosa yang telah dilakukan, menyesali dan kemudian berniat tidak
akan mengulangi kembali.
b. Sabar dan Syukur
87
Al-Gazali (IV, t.t.a: 61-62) memulai penjelasan mengenai sabar
dengan memberikan perbedaan antara sifat hewan, manusia dan malaikat.
Hewan adalah mahluk Allah yang hanya diberi syhawat (keinginan), tanpa
diberi kekuatan yang mampu melawan syahwat tersebut. Oleh karena itu
seluruh prilakunya didasarkan atas syahwat tersebut. Malaikat adalah
mahluk yang senantiasa ingin selalu dekat kepada Allah dan tidak memilki
syahwat. Oleh karena itu tidak diperlukan kerja keras menundukan
syahwat agar dapat dekat kepada Allah. Sedangkan manusia adalah
mahluk yang pada permulaan pertumbuhannya hanya memilki syahwat
memenuhi kebutuhan makannya. Kemudian berkembang syahwat
bermain, bersolek dan kemudian syahwat biologis. Dari sisi ini manusia
tak ubahnya seperti hewan.
Namun menjelang usia akil balig, Allah memberikan anugrah
berupa petunjuk (al-Quran dan as-Sunnah) dan kekuatan. Dengan
petunjuk, manusia mengetahui Allah, mengetahui rasul-Nya, mengetahui
yang bermanfaat dari yang tidak berguna dan mengetahui perintah dan
larangan. Petuntuk memang telah diberikan oleh Allah. Namun petunjuk
tidak dapat diraih hanya dengan berpangku tangan. Al-Gazali (t.t.b: 3)
mengatakan bahwa untuk mendapatkan pentunjuk (hidayah) ada titik awal
yang harus dilalui yakni menjalankan perintah, meninggalkan larangan
dan melaksanakan kesunahan.
Namun seringkali orang mengetahui yang berguna tapi tidak mau
melaksanakan karena hambatan nafsu syahwatnya. Pada situasi seperti itu
88
Allah mengutus malaikat yang menguatkan manusia melakukan hal yang
bermanfaat. Dua anugrah inilah yang membedakan manusia dari binatang.
Kekuatan dan syhawat ibarat dua tentara yang saling mengalahkan.
Adakalanya kekuatan mampu mengalahkan syahwat dan ada kalanya
kalah. Kemampuan manusia mengalahkan hawa nafsu dengan berdasar
pada petunjuk inilah yang disebut dengan sabar. Meski kekuatan adalah
pemberian Allah namun kekuatan dapat ditingkatkan kemampuannya
dalam mengalahkan syahwat. Al-Gazali (IV, t.t.a: 74) menyebut dua cara
yakni menginternalisasi manfaat mujahadah menundukan hawa nafsu dan
membiasakan diri melawan hawa nafsu sedikit demi sedikit. Perbuatan
yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan terhadap makna sabar
melahirkan h al (keadaan) yang disebut sabar1. H al sabar melahirkan
perbuatan yang mengarah pada penundukan terhadap syahwat.
Adapun syukur secara sederhana diartikan sebagai menggunakan
kenikmatan sesuai dengan maksud pemberi nikmat. Sebagaimana
maqamat lainnya, syukur juga terdiri dari ilmu, h al dan amal. Hal
pertama yang mesti diketahui oleh orang yang bersyukur adalah
mengetahui si pemberi nikmat dengan segala sifat-sifatnya, bentuk nikmat
yang telah diterima dan menyadari bahwa kenikmatan tersebut adalah
nikmat yang diberikan kepadanya.
1 Dengan demikian sabar bisa berarti hal dan juga bisa berarti maqam. Al-Gazali (IV, t.t.a:
139) ketika menjelaskan tentang raja’ mengatakan bahwa raja bisa menjadi maqam dan juga bisa menjadi hal. Raja’ menjadi maqam ketika bersifat tetap dan menjadi h al ketika merupakan akibat dari perbuatan lain dan mudah menghilang. Artinya hal tidak bersifat tetap.
89
Pengetahuan terhadap kenikmatan melahirkan perasan senang
terhadap pemberi nikmat yang disertai dengan sikap tunduk dan rendah
diri di hadapan pemberi nikmat. Seseorang yang mendapatkan pemberian
dari orang lain ada kalanya senang atas barang yang diberikan atau atas
perhatian yang diberikan si pemberi atau atas barang dan kemudian
memanfaatkan barang tersebut untuk melayani pi pemberi. Al-Gazali (IV,
t.t.a: 81) mengibaratkan orang yang mendapat kenikmatan dari Allah
dengan seseorang yang mendapat hadiah seekor kuda dari seorang raja.
Kemungkinan yang dialami si penerima adalah: pertama, senang dengan
kuda pemberian tersebut karena dia sedang memerlukan kuda.
Kegembiraannya berhenti hanya sampai disitu sehingga tidak ada bedanya
antara kuda pemberian si raja atau si gembel. Kedua, senang karena
adanya perhatian dari raja pada dirinya sehingga kuda tersebut menjadi
berharga meski sesungguhnya berang tersebut tidak berharga. Seandainya
dia menemukan kuda di jalan yang sama atau lebih bagus dari pemberian
raja maka kuda temuan tidak dirasa lebih menyenangkan dibanding
pemberian raja. Ketiga, Merasa senang dengan kuda pemberian dan
kemudian memanfaatkannya untuk tujuan yang dapat mendekatkan
dirinya pada sang raja. Perasaan senang yang ketiga inilah yang
semestinya muncul dari pengetahuan atas adanya sebuah nikmat.
Perasaan senang kemudian diikuti oleh perbuatan, baik perbuatan
yang berupa ucapan, gerak anggota tubuh maupun perbuatan hati.
Perbuatan hati adalah berniat melakukan kebaikan. Perbuatan tubuh
90
adalah menggunakan nikmat sesuai denga peruntukannya. Adapun
perbuatan lisan adalah mengucap kalimah syukur (al-Gazali, IV, t.t.a:81).
Meski al-Gazali menempatkan maqam sabar sebelum maqam raja’
dan khauf, namun al-Gazali mengingatkan bahwa sabar tidak mungkin
terwujud tanpa ada raja’ dan khauf yang mendahuluinya. Nalarnya,
seseorang mampu bersabar menjalankan perintah atau meninggalkan
larangan karena ada harapan terhadap surga dan takut terhadap neraka.
Tanpa harapan dan rasa takut, mustahil orang mampu bersabar (al-Gazali,
IV, t.t.a: 164).
c. Raja’ dan Khauf
Raja’ diartika sebagai harapan akan terwujudnya suatu keinginan
yang mungkin dapat dicapai dengan suatu ikhtiar. Sifat raja bisa berarti
maqam sekaligus juga bisa berarti h al. Sebagai sebuah maqam, raja juga
tersusun dari tiga unsur yakni mengetahui, mengalami dan kemudian
mengamalkan. Mengetahui adalah memahami bahwa surga Allah akan
diberikan kepada orang yang mematuhi perintahnya. Pemahaman ini
melahirka suatu keadaan dimana orang berharap mendapat surga Allah.
Harapan ini melahirkan tindakan yang dapat mewujudkan keinginan
tersebut. Maka orang senantiasa berbuat kebaikan dan meninggalkan
larangan demi mendapatkan janji Allah tersebut (al-Gazali, IV, t.t.a: 140)
Sedangkan khauf adalah perasaan cemas akan sebuah ancaman di
masa mendatang yang timbul dari suatu kesalahan yang telah dilakukan
pada masa lalu. Khauf bisa juga diartikan sebagai kecemasan akan
91
timbulnya sesuatu yang tidak menyenangkan. Perasaan khauf timbul dari
pengetahuannya atas dosa-dosa yang telah dilakukan pada masa lampau.
Seorang hamba yang telah berbuat salah merasa cemas terhadap tidak
adanya ampunan atas dosa-dosanya. Pengetahuannya terhadap akibat-
akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya melahirkan keadaan takut
(khauf). Perasaan takut yang dihadapi seseorang menjalar ke seluruh
tubuh dan anggota badan serta tercermin dalam sikap. Karena takut
ancaman Allah orang menjadi menangis kemudian menunjukan
ketaatannya pada Allah (al-Gazali, IV, t.t.a: 153).
Antara khauf dan raja’ tidak dapat ditanyakan mana yang lebih
utama. Al-Gazali (IV, t.t.a: 161) mentamsilkan keduanya laksana air dan
roti. Bagi orang yang lapar, roti lebih diperlukan. Bagi yang haus air lebih
diperlukan. Namun bagi yang lapar sekaligus haus maka kedua-duanya
diperlukan.
d. Zuhud
Zuhud diartikan sebagai tidak mencintai dan meninggalkan selain
Allah menuju kepada Allah. Dalam hal meninggalkan duniawi,
disyaratkan adanya kemampuan menggenggam duniawi tetapi tidak
dilakukannya karena memilih yang lebih mulia yakni kehidupan akhirat.
(al-Gazali, IV, t.t.a: 212). Maqam zuhud diawali dengan pengetahuan
bahwa kehidupan akhirat lebih baik dari pada kehidupan dunia ini.
Kenikmatan akhirat lebih abadi dibandingkan kenikmatan dunia. Al-
92
Gazali (1971a: 81) menjadikan surat al-A’la ayat 16 dan 172 sebagai dasar
pengetahuan terhadap zuhud. Selain itu pengetahuan terhadap ketidak
bermaknaan dunia ini di hadapan Allah juga bisa menjadi sebab lahirnya
zuhud.
Dari pengetahuan ini akan lahir keadaan (h al) zuhud yankni
menyingkirkan keinginan-keinginan duniawi demi meraih keagungan-
keagungan di sisi Allah. Buah dari keadaan ini adalah memberikan
miliknya pada yang membutuhkan dengan suka rela demi mencapai rida
Allah (1971a: 82). Orang yang berderma karena terpaksa atau dengan
senang hati tapi bukan untuk mendapat rida Allah bukan disebut sebagai
zahid (orang yang zuhud).
e. Tawakkal
Tawakkal adalah berpegang teguh dengan janji-janji Allah dengan
keteguhan yang tidak tergoyahkan oleh selain Allah. Mutawakkil (orang
yang tawakkal) meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa apa yang telah
ditentukan Allah pasti akan terjadi meski semua orang berusaha
menolaknya (al-Gazali, 1971b,: 114). Dasar dari maqam tawakkal adalah
mengetahui bahwa Allah tidak tergantung kepada siapapun. Kemudian
dan hikmah Allah sangat luas serta kemampuan dan kekuatan Allah
adalah sempurna.
2 Ayat tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
والآخرة خیر وأبقى بل تؤثرون الحیاة الدنیا
Artinya: tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. 17. sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
93
Pengetahuan di atas melahirkan keadaan jiwa dimana hatinya
terhubung pada Allah dan oleh karenanya memperoleh ketenangan jiwa.
Buah dari keadaan jiwa seperti ini adalah tidak melakukan usaha-usaha
duniawi kecuali yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tujuan dari tawakkal adalah mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dan
menolak kerusakan (kemud aratan) (al-Gazali, 1971a: 83).
f. Mahabbah
Maqam mahabbah adalah puncak dari maqamat. Al-Gazali
(IV,t.t.a: 286) menyebutnya sebagai puncak tertinggi dari derajat seorang
salik dan merupakan tujuan ahir dari maqamat. Di atas mahabbah tidak
ada lagi maqam kecuali buah dari mahabbah (semisal syauq, unsi dan
rida). Taubah, sabar, zuhud dan maqamat lainnya sesungguhnya adalah
pendahuluan atau penghantar kepada maqam mahabbah. Ketinggian
derajat maqam mahabbah, sebagaimana dikutip al-Gazali (t.t.a:286), dapat
dilihat dalam sabda Nabi Muhammad ketika menjawab pertanyaan
sahabat Abu Razin tentang hakikat iman. Beliau mengatakan:
قلت یا رسول اهللا كیف اإلیمان قال أن یكون اهللا ورسولھ أحب إلیك مما
سواھما وأن تقذف في النار أحب إلیك من أن تشرك باهللا
Artinya: Saya (Abu Razin) bertanya “bagaimana (hakikat) imann wahai Rasulahhah?” Nabi menjawab, “ manakala Allah dan Rasulnya lebih dicintai dari pada selainnya dan tinggal di neraka lebih baik dari pada harus mensekutukan Allah3.
3 Hadis tersebut juga dapat ditemukan dalam hadis riwayat at-T abrani (I, 1984:220).
94
Mahabbah adalah kecenderungan terhadap sesuatau yang
menyenangkan. Jika mahabbah bertambah kuat maka lahir keadaan asyiq
(rindu) kepada yang dicintai. Mahabbah lahir dari pengenalan. Ketika
seseorang mengenal sesuatu dan kemudian mendapatkan kesenangan
maka dia akan mencintainya. Pengenalan tidak mungkin ada jika manusia
tidak memilki indra untuk menangkap yang ada. Bagaimana mungkin
manusia dapat mengenal Allah yang tidak bisa diindra?
Menurut al-Gazali (t.t.a: 289), manusia memiliki indra keenam
yang disebut dengan akal, cahaya dari Allah, hati atau nama-nama
lainnya. Indra keenam memilki kepakaan diatas indra-indra lainnya. Mata
hati lebih peka dari pada mata lahir. Keindahan yang ditangkap oleh hati
lebih agung dan lebih sempurna dari keindahan yang ditangkap indra.
Dengan alasan ini tidak dapat dipungkiri adanya mahabbah kepada Allah.
Mahabbah dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yakni (1)
mencintai diri sendiri, (2) mencintai lainnya kerena kepentingan dirinya
dan (3) mencintai lainnya karena lainya, bukan karena dirinya. Sudah
menjadi watak manusia mencintai drinya sendiri. Manusia menginginkan
kelanggengan dan kesempurnaan dirinya dan tidak menyukai hal-hal yang
merusak dirinya. Bahkan seandanya tidak ada pahala dan siksa setelah
mati, manusia juga tidak menginginkan kematian. Tidak ada yang lebih
dicintai manusia kecualai keabadian dirinya. Inilah mahabbah manusia
pada dirinya sendiri (t.t.a: 289).
95
Manusia memilki watak mencintai sesuatu yang dapat membuat
hantianya senang. Seseorang mencintai dokter oleh karena dokter dapat
mnyembuhkan sakitnya bukan karena dokter pada dirinya sendiri. Oleh
karena itu, selain pada dirinya, manusia juga mencintai yang ada di luar
dirinya karena hal tersebut membantu terwujudnya kelanggengan dan
kesempurnaan dirinya. Manusia menginginkan kesehatan dan keselamatan
anggota tubuhnya karena hal itu dapat menyokong keabadian dan
kesempurnaan dirinya. Manusia mencintai harta karena denga harta
tersebut menusia mampu mewujudkan ambisinya. Manusia mencintai
semua itu bukan karena pada dirinya ada sesuatu yang layak dicintai tapi
semua itu dicintai kerena dengannya manusia dapat mewujudkan cintanya
terhadap diri sendiri. Inilah cinta manusia pada selain dirinya karena
kepentingan dirinya (t.t.a: 289).
Manusia juga dapat menyukai seseutu yang ada di luar dirinya
kerena memang sesuatu tersebut memilki daya tarik pada dirinya sendiri
untuk dicintai. Manusia menyukai lukisan karena lukisan memilki
keindahan pada dirinya sendiri. Cintanya pada lukisan bukan karena
lukisan tersebut membantu mewujudkan ambisinya tapi karena pada diri
lukisan ada keindahan yang membuat menusia mencintainya. Inilah
bentuk cinta manusia pada selain dirinya karena memilki keindahan yang
layak dicintai, bukan karena kepentingan dirinya. Jikalau terhadap lukisan
yang bersifat indrawi manusia dapat memberikan cintanya maka tidak
96
mustahil dengan indra keenam manusia dapat mengenal dan mencintai
Allah (t.t.a: 290).
2. Hambatan dan Cara Mengatasinya
Seluruh rangkaian perjalanan seorang hamba menuju Allah dengan
melewati berbagai maqamat dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Dalam perjalanannya seorang hamba mendapati banyak rintangan yang
menghalanginya sampai kepada Allah. Ada empat perkara yang seringkali
menjadi penghalang yakni dunia, mahluk, setan dan hawa nafsu (al-Gazali,
t.t.c: 4). Di sinilah seorang hamba wajib menjalankan jiha d an-nafsi untuk
mencapai tujuan yang diinginkan (al-Gazali, 1971c: 79).
a. Hambatan Dunia
Duniawi dan ukhrawi adalah dua entitas yang berlawanan.
Keduanya tidak dapat disatukan. Oleh al-Gazali (t.t.c: 13) keduanya
digambarkan laksana istri pertama dan istri mudanya. Jika suami
menunjukan perasaan bangga dan cintanya pada salah satunya maka akan
mengurangi rasa bangga dan cintanya pada yang lainnya. Barang siapa
condong kepada kehidupan duniawi tentu akan berpaling dari kehidupan
ukhrawi. Al-Gazali mencontohkan pengakuan sahabat Abi Darda yang
mengatakan: “aku berusaha menyatukan antara ibadah dan perniagaan
namun tidak mampu. Kemudian aku mementingkan ibadah dan
meninggalkan perniagaan.”
Halangan dunia harus diatasi dengan sikap zuhud dari persoalan-
persoalan duniawi. Sikap zuhud ini diperlukan karena dua alasan,
97
pertama, untuk menumbuhkan rasa tenteram saat melaksanakan ibadah.
Orang yang hatinya dipenuhi rasa cinta barang-barang duniawi akan
membuatnya sibuk dengan dunia dan menjadikannya lalai terhadap
kewajiban ukhrawinya. Hati hanya ada satu. Jika telah dipenuhi dengan
duniawi maka ukhrawi akan terlupakan.
Kedua, dengan zuhud dari kehidupan duniawi, kwalitas ibadah
akan meningkat. Nabi bersabda, “dua rakaat dari hamba yang alim dan
zahid lebih dicintai Allah dari pada ibadah bertahun-tahun yang
dilakukan ahli ibadah (yang tidak alim dan zahid. Pent.).” (al-Gazali, t.t.c:
13). Para ahli ibadah (orang yang banyak beribadah) yang tidak zahid
hatinya dipenuhi oleh persoalan duniawi. Keadaan ini menjadikan ibadah
yang dilakukan jauh dari sikap khusu’ dan hudur (kehadiran Allah dalam
hati).
b. Hambatan Mahluk
Manusia adalah makhluk sosial. Adalah watak dasar manusia
untuk bersosialisai dengan yang lain. Namun kerap kali bentuk sosialisasi
antar manusia yang dihadirkan oleh sekelompok masyarakat menghalangi
perjalanan menuju Allah. Oleh karena itu al-Gazali (t.t.c:15) menyarankan
untuk melakukan uzlah, menjauhkan diri dari kelompok masyarakat yang
dapat menghalangi sampai kepada Allah. Dengan mensarikan dari
beberapa hadis, al-Gazali (t.t.c: 15-16) mengidentifikasi tiga kelompok
98
masyarakat yang sebaiknya dijauhi yakni (1)4 masyarakat yang
membiasakan diri mengabaikan janji-janjinya dan menganggap ringan
amanah yang diembannya; (2)5 masyarakat yang tidak lagi memiliki rasa
aman terhadap kawannya dan (3) masyarakat yang memilki banyak ahli
pidato tetapi tidak banyak cerdik pandai, banyak para peminta tapi tidak
banyak yang memberi dan hawa nafsu telah menjadi panglima ilmu.
Dalam situasi itu shalat telah ditinggalkan, suap telah menjadi budaya dan
agama telah ditukar dengan harta dunia yang tidak seberapa.
Namun, uzlah bukan satu-satunya pilihan. Uzlah adalah pilihan
terakhir manakala dalam bersosialisasi seorang hamba tidak mampu lagi
memberikan manfaat pada orang lain atau bahkan khawatir hanyut dalam
irama kehidupan mereka. Al-Gazali (t.t.b: 30) mengatakan bahwa jika
dalam bersosialisasi seseorang tidak mampu lagi melaksankan
kewajibannya pada Allah maka uzlah menjadi pilihan yang lebih baik.
c. Hambatan Setan
4 Inti dari gambaran masyarakat tersebut dapat ditemukan dalam hadis riwayat al-Hakim
sebagaimana berikut (al-Hakim, IV, 1990:473): رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم إذا رأیت الناس مرجت عھودھم وخانت أماناتھم وكانوا ھكذا قال
ل الزم وشبك بین أصابعھ فقمت إلیھ فقلت لھ كیف أصنع عند ذلك یا رسول اهللا جعلني اهللا فداك قابیتك واملك علیك لسانك وخذ ما تعرف ودع ما تنكروا علیك بأمر خاصة نفسك ودع عنك أمر
العامة5 Inti dari gambaran masyarakat tersebut dapat ditemukan dalam hadis riwayat al-Hakim
sebagaimana berikut (al-Hakim, II, 1990:171): یوشك أن یأتي زمان یغربل الناس غربلة و یبقى حثالة : لم قال رسول اهللا صلى اهللا علیھ و س أن
و أماناتھم و اختلفوا فكانوا ھكذا و شبك بین أصابعھ قالوا فكیف بنا مرجت عھودھم من الناس قد تأخذون ما تعرفون و تذرون ما تنكرون و تقلبون على أمر خاصتكم و : یا رسول اهللا ؟ قال تدعون أمر عامتكم
99
Setan merupakan salah satu musuh manusia. Dia akan senantiasa
berusaha menjadikan manusia tersesat dari jalan yang lurus. Ada banyak
peringatan Allah kepada manusia agar menjauhi setan sebagaimana
disebutkan dalam beberapa ayat al-Quran. Salah satunya sebagaimana
yang tersurat dalam surat Fatir ayat 6 yang artinya: “sesungguhnya setan
adalah musuh kalian semua. Maka jadikanlah setan sebagai musuh.”
Dengan meminjam pendapat ulama lain, al-Gazali (t.t.c: 21)
menawarkan dua pilihan dalam menahan godaan setan. Pertama, dengan
cara memohon kepada Allah agar diberi perlindungan dari godaan setan.
Sesungguhnya setan adalah anjing yang dikirim oleh Allah untuk
manggoda manusia. Manusia yang sibuk melawan setan hanya akan
menemukan kelelahan dan menyianyiakan waktu dan tidak tertutup
kemungkinan setan yang akan mengalahkan manusia. Itulah sebabnya
kembali pada Allah dengan senantiasa memohon agar dihindarkan dari
setan merupakan jalan terbaik. Kedua, dengan cara mujahadah, berusaha
sekuat daya dan upaya menolak serta melwan bujukan setan (t.t.c: 21).
Dengan menggunakan hidayah yang telah diberikan oleh Allah, manusia
dapat membedakan antara hasutan setan dan anjuran Allah.
Al-Gazali menyarankan agar menggunakan kedua cara tersebut di
atas sekaligus. Dimulai dengan memohon perlindungan kepada Allah.
Namun seringkali Allah masih saja mengirim setan kepada hambanya.
Bukan berarti Allah tidak mengabulkan permohonan namun Allah ingin
menguji kesungguhan hambaNya dalam menjalankan perintah dan
100
meninggalkan laranganNya. Manakah diantara hambanya yang sungguh-
sungguh berusaha dan yang hanyut dengan godaan setan. Dalam surat Ali
Imran ayat 142 Allah berfirman yang artinya: “Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang
yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.”
d. Hambatan Hawa Nafsu
Dari empat hambatan, hawa nafsu merupakan hambatan terbesar
karena dia merupakan musuh yang ada dalam diri manusia. Selain itu
hawa nafsu adalah musuh yang dicintai manusia. Umumnya manusia itu
buta terhadap kekurangan kekasihnya. Jika manusia telah menganggap
baik segala yang keluar dari nafsunya maka dapat dipastikan akan
menemui kerusakan. Hanya dengan mengekang hawa nafsu dan memohon
perlindungan kepada Allah yang dapat menyelamatkan manusia dari
kerusakan.
Al-Gazali mentamsilkan jiwa dan raga manusia laksana sebuah
kerajaan, ada raja, pembantu raja, dan ada rakyat jelata. Raja dan rakyat
secara bersama-sama membangun kemajuan kerajaan. Begitu juga jiwa
dan raga manusia. Hati adalah raja kerajaan manusia. Hati adalah jisim
lembut yang bersifat robba niyyah ruha niyyah. Dengan hati, manusia
mengenal sesuatu. Dengan hati, manusia menerima perintah Allah.
Dengan hati pulalah manusia menemukan hakekat kemanusiaannya.
Sedangkan rakyat dan pembantunya adalah selain hati. Rakyatnya
ada yang kasat mata seperti tangan kaki dan sebaginya dan ada pula yang
101
tak dapt dilihat oleh mata seperti rasa senang, rasa marah dan sebagainya.
Pada dasarnya seluruh pembantu dan rakyat tunduk pada perintah sang
raja. Mereka secara bersama-sama membantu raja mencapai tujuan yaitu
sampai kepada Allah.
Secara garis besar, rakyat dapat dikelompokan ke dalam empat
golongan. Pertama adalah pendorong, yaitu sahwat yang mendorong
manusia melakukan sesuatu dan ghadab (perasaan marah) yang mencegah
manusia melakukan sesuatu. Kedua adalah penggerak. Dia adalah satu
kekuatan yang mendorong seluruh bagian yang terkait untuk bertindak
atau tidak bertindak. Penggerak ada disetiap anggota tubuh lahir maupun
batin. Ketiga adalah penunjuk jalan menuju sebuah pengetahuan. Mereka
adalah indra manusia. Keempat adalah kelompok penasihat yang terdiri
dari ilmu, hikmah dan tafakkur.
Dari semua kelompok, yang harus diwapadai adalah kelompok
pertama karena mereka terkadang tunduk pada raja namun tidak jarang
mereka melawan raja sehingga menyebabkan kerajaan menjadi binasa.
Pada saat nafsu dan ghadab tidak lagi berada pada jalan yang benar maka
diperlukan kelompok keempat untuk memberi nasihat (al-Gazali, III t.t.e:
3-6).
Al-Gazali menawarkan tiga cara mneyelamatkan diri dari
kerusakan yang ditimbulkan oleh nafasu, yakni (1) menahan diri dari
ajakan nafsu sahwat, (2) memberikan beban berat kepada nafsu dengan
cara memperbanyak ibadah dan (3) meminta perlindungan kepada Allah.
102
Denga tiga cara inilah manusia dapat selamat dari kerusakan (al-Gazali,
t.t.c: 25).