Bab III Retribusi

112
61 BAB III POTENSI DASAR PENDAPATAN ASLI DAERAH 3.1. Dinas Kelautan dan Perikanan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor perikanan dan kelautan DIY bersumber dari berbagai aktivitas di UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislautkan) DIY. Dislautkan DIY dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001, Jo Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Yogyakarta. Dislautkan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah di bidang kelautan dan perikanan, kewenangan dekonsentrasi serta pembantuan yang diberikan oleh pemerintah. Terkait dengan PAD, fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan seperti yang dituangkan dalam situs resminya adalah sebagai pelaksana koordinasi perizinan di bidang kelautan dan perikanan, pengujian dan pengawasan muut perikanan, pelayanan umum sesuai kewenangannya, dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Sesuai dengan struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, satuan kerja yang ada di Dinas Kelautan dan Perikanan terdiri atas satu kesekretariatan, tiga bidang (bidang kelautan dan pesisir, perikanan, dan bina usaha), dan 2 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yaitu UPTD Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan (BPTKP) berkedudukan di Cangkringan, Kabupaten Sleman dan UPTD Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, di Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Unit kerja penghasil PAD di Dinas Kelautan dan Perikanan DIY berasal dari UPTD BPTKP, UPTD PPP, dan kantor Dinas Kelautan dan Perikanan. Penyumbang terbesar PAD di Dinas Perikanan adalah UPTD BPTKP sehingga UPTD BPTKP merupakan tulang punggung sumber penerimaan PAD di sektor Perikanan dan Kelautan DIY. Penarikan PAD di Dinas Kelautan dan Perikanan diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif Retribusi Jasa Usaha dan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif

Transcript of Bab III Retribusi

Page 1: Bab III Retribusi

61

BAB III

POTENSI DASAR PENDAPATAN ASLI DAERAH

3.1. Dinas Kelautan dan Perikanan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor perikanan dan kelautan DIY bersumber dari

berbagai aktivitas di UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislautkan) DIY. Dislautkan DIY

dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001, Jo Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah

Provinsi Daerah Yogyakarta. Dislautkan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah

daerah di bidang kelautan dan perikanan, kewenangan dekonsentrasi serta pembantuan yang

diberikan oleh pemerintah. Terkait dengan PAD, fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan seperti

yang dituangkan dalam situs resminya adalah sebagai pelaksana koordinasi perizinan di bidang

kelautan dan perikanan, pengujian dan pengawasan muut perikanan, pelayanan umum sesuai

kewenangannya, dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan

fungsi dan tugasnya.

Sesuai dengan struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, satuan kerja

yang ada di Dinas Kelautan dan Perikanan terdiri atas satu kesekretariatan, tiga bidang (bidang

kelautan dan pesisir, perikanan, dan bina usaha), dan 2 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

yaitu UPTD Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan (BPTKP) berkedudukan

di Cangkringan, Kabupaten Sleman dan UPTD Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, di

Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Unit kerja penghasil PAD di Dinas Kelautan

dan Perikanan DIY berasal dari UPTD BPTKP, UPTD PPP, dan kantor Dinas Kelautan dan

Perikanan. Penyumbang terbesar PAD di Dinas Perikanan adalah UPTD BPTKP sehingga

UPTD BPTKP merupakan tulang punggung sumber penerimaan PAD di sektor Perikanan dan

Kelautan DIY.

Penarikan PAD di Dinas Kelautan dan Perikanan diatur berdasarkan Peraturan Daerah

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang ditindaklanjuti dengan Peraturan

Gubernur Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif Retribusi Jasa Usaha dan Peraturan

Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu yang kemudian

ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif

Page 2: Bab III Retribusi

62

Retribusi Perizinan Tertentu. Retribusi jasa usaha di Dinas Kelautan dan Perikanan DIY terdiri

atas retribusi pemakaian kekayaan daerah (sewa penggunaan lahan, jasa sertifikasi pengawasan

mutu hasil perikanan di LPPMHP, dan jasa pengujian laboratoium di BPTKP), retribusi jasa

usaha (pengelolaan pelabuhan perikanan pantai), retribusi penjualan produksi usaha daerah di

unit kerja budidaya air tawar, payau, dan laut, sedangkan retribusi perizinan tertentu meliputi

izin usaha perikanan (SIUP, SIPI, dan SIKPI). Penjelasan rinci mengenai unit penghasil PAD

dan sumber penerimaannya adalah sebagai berikut:

3.1.1. Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan

Perikanan.

Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan (BPTKP) adalah salah satu

Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY). Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan memiliki tugas

dan fungsi yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 39 Tahun 2008 tentang Rincian

Tugas dan Fungsi Dinas dan Unit Pelaksana Teknis pada DInas Kelautan dan Perikanan.

BPTKP bertugas menyelenggarakan pengembangan teknologi budidaya air Tawar, air payau,

dan air laut. Dalam melaksanakan teknis operasional, BPTKP mengelola kegiatan

pengembangan budidaya air tawar, air payau dan air laut. Tugas utama BPTKP adalah di bidang

perbenihan dan pengelolaan induk atau calon induk ikan/udang serta pengembangan dan

penerapan teknologi budidaya. Selain itu, BPTKP juga memberikan layanan teknis

pengendalian hama dan penyakit ikan (HPI). Dalam melaksanakan tugasnya, BPTKP memiliki

tujuh unit kerja yaitu: Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) sebanyak empat unit, Unit

Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) sebanyak dua unit, dan Unit Kerja Budidaya Air Laut

(UK BAL) sebanyak unit. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) meliputi UK BAT

Cangkringan, Wonocatur, Sendangsari, dan Bejiharjo. Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK

BAP) meliputi UK BAP Samas dan UK BAT Congot, sedangkan Unit Kerja Budidaya Air Laut

(UK BAL) adalah UK BAL Sundak.

1. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Cangkringan

Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Cangkringan terletak di Desa Argomulyo,

Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. UK BAT Cangkringan memiliki lahan seluas 7,5

ha dengan kolam yang dimiliki seluas 4,5 ha. Jumlah karyawan yang ada di UK BAT

Cangkringan pada tahun 2013 adalah sebanyak 12 orang yang terdiri atas 10 orang Pegawai

Page 3: Bab III Retribusi

63

Negeri Sipil (PNS) dan 2 orang tenaga honorer (PTT). Rincian fasilitas yang ada di UK BAT

Cangkringan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1.

Fasilitas di UK BAT Cangkringan

No. Peruntukan Jumlah (buah) Luas Keterangan

1. Kolam 103 4,7179 ha Kondisi baik

2. Bak 122 1.826 m 2 Kondisi baik

3. Gedung 26 1.251,5 m 2 Kondisi baik

4. Bangsal kerja 2 433,8 m 2 Kondisi baik

5. Laboratorium 3 211 m 2 Kondisi baik

6. Pasar ikan petani 1 220 m 2 Kondisi baik

7. Conical tank 2 20 m 3 Kondisi baik

8. Jalan aspal, parkir, halaman 1 300m2 x 2 Kondisi baik

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008

Penerimaan PAD di UK BAT Cangkringan bersumber pada retribusi penjualan

produksi usaha daerah dan penyewaan aset. Produk yang dijual UK BAT Cangkringan meliputi

penjualan induk, benih, telur, dan ikan konsumsi. Komoditas ikan yang dihasilkan selama

periode 2007-2013 diantaranya adalah ikan mas, nila merah, nila hitam, tawes, gurami, lele,

grass carp, udang galah, dan lobster. Total benih yang diproduksi UK BAT Cangkringan pada

tahun 2013 adalah sebanyak 5.374.450 ekor yang terdiri atas benih ikan mas (2.376.500 ekor),

nila merah (2.948.650 ekor), dan nila hitam (49.300 ekor), sedangkan ikan konsumsi yang

dijual adalah nila hitam sebanyak 2.500 kg. Dari sisi produksi benih, terjadi peningkatan

produksi dibandingkan tahun sebelumnya dimana jumlah produksi pada tahun 2012 adalah

sebanyak 3.716.643 ekor. Namun jika dilihat dari penjualan induk, terjadi penurunan yang

signifikan dimana pada tahun 2013 UK BAT Cangkringan tidak memproduksi induk. Hal

tersebut berbeda dengan pola penerimaan pada tahun-tahun sebelumnya dimana UK BAT

Cangkringan selalu memproduksi induk dan benih ikan, bahkan produksi induk UK BAT

Cangkringan pernah mencapai 5.344 kg pada tahun 2009.

Page 4: Bab III Retribusi

64

Gambar 3.1.

Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Cangkringan, 2006-2013

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)

Target PAD yang dibebankan kepada UK BAT Cangkringan selama periode 2006-2013

dapat dikatakan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hanya pada tahun 2010 dan

2011, tidak terjadi peningkatan target PAD. Target PAD yang dibebankan pada tahun 2006

adalah sebesar Rp160.002.200 dan meningkat menjadi Rp250.700.000 pada tahun 2013. Rata-

rata peningkatan target PAD selama periode 2006-2013 adalah sebesar 7% per tahun, bahkan

pada tahun 2012 dan 2013 pertumbuhan target PAD yang dibebankan pada UK BAT

Cangkringan mencapai 21%. Penerimaan PAD di UK BAT Cangkringan dapat dikatakan

cenderung fluktuatif dimana pada tahun 2009, 2011, dan 2013 mengalami pertumbuhan

penerimaan, sedangkan pada tahun 2007, 2008, 2010, dan 2012 mengalami penurunan

penerimaan. Secara agregat, rata-rata peningkatan penerimaan PAD UK BAT Cangkringan

adalah sebesar 11,19% (realisasi penerimaan tahun 2006 sebanyak Rp160.680.500 dan tahun

2013 sebanyak Rp250.774.00) dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu

sebesar 58,1%, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 30,58%.

Penurunan tersebut disebabkan adanya erupsi Gunung Merapi yang mengakibatkan banyak

induk dan benih yang mengalami kematian karena debu erupsi. Jika dilihat dari rasio antara

target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAT Cangkringan selalu mencapai target yang

dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 159,1%

(target sebesar Rp170.000.000 dan realiasai sebesar Rp270.476.800). Hanya pada tahun 2008,

100 100 96

145

101

159

104 100

-

20

40

60

80

100

120

140

160

180

-

50,000,000

100,000,000

150,000,000

200,000,000

250,000,000

300,000,000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Target (Rp) Realisasi (Rp) Persentase (%) Poly. (Realisasi (Rp))

Page 5: Bab III Retribusi

65

UK BAT Cangkringan tidak mampu mencapai target dimana rasionya hanya sebesar 95,73%

(target sebesar Rp164.000.000 dan realisasi sebesar Rp157.000.000). Dengan demikian,

dengan trend pertumbuhan yang positif dan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan

asli daerah, UK BAT Cangkringan diharapkan mampu mempertahankan atau meningkatkan

perfoma kerja untuk peningkatan mutu hasil produksi dan sumbangan yang lebih besar

terhadap pendapatan asli daerah.

2. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Wonocatur

Pada awalnya Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Wonocatur berlokasi di Desa

Tegalmulyo, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul dengan luas lahan sekitar 2 hektar,

namun pada bulan Juli 2008 lokasi Unit Kerja BAT Wonocatur pindah ke Desa Argomulyo,

Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. UK BAT Wonocatur menempati sebagian dari

area UK BAT Cangkringan tepatnya di bagian barat. UK BAT Wonocatur menempati tanah

seluas 1,155 hektar, yang terdiri atas lahan untuk perkolaman 0,575 ha, lahan hatchery, gudang

pupuk dan kapur serta bangunan kantor 0,192 ha dan untuk lain-lain 0,388 ha. Kondisi kolam

secara umum dapat dikatakan baik dengan bangunan permanen dan berdinding

tembok/beton.Pelaksanaan kegiatan teknis dan administrasi di UK BAT Wonocatur didukung

oleh 5 karyawan yang semuanya berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Penerimaan PAD di UK BAT Wonocatur bersumber pada penjualan produksi usaha

daerah. Produk yang dijual UK BAT Wonocatur meliputi penjualan induk, ikan konsumsi, dan

benih ikan. Komoditas ikan yang diproduksi selama periode 2007-2013 adalah ikan mas, nila

hitam, nila merah, lele, dan tawes. Setelah adanya reorientasi produksi yang dilakukan oleh

Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, UK BAT Wonocatur difokuskan untuk memproduksi

komoditas lele (induk dan benih). Total induk yang dihasilkan UK BAT Wonocatur pada tahun

2013 adalah sebanyak 467 kg (lele), sedangkan total benih yang diproduksi adalah sebanyak

2.029.250 ekor yang terdiri atas benih lele (1.974.250 ekor), nila hitam (40.000 ekor), dan nila

merah (15.000 ekor). Produksi benih pada tahun 2013 mengalami kenaikan jika dibandingkan

produksi tahun 2012 yang hanya berjumlah 1.707.000 ekor. Produksi benih tertinggi yang

dihasilkan UK BAT Wonocatur terjadi pada tahun 2011 dengan produksi sebanyak 2.642.750

ekor, sedangkan produksi induk tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 1.164 kg.

Page 6: Bab III Retribusi

66

Gambar 3.2.

Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Wonocatur, 2006-2013

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)

Penerimaan PAD yang ditargetkan kepada UK BAT Wonocatur selama tahun 2006-

2011 tidak mengalami peningkatan yaitu hanya sebesar Rp15.000.000, peningkatan target

PAD baru terjadi pada tahun 2012 menjadi Rp20.000.000, kemudian meningkat menjadi

Rp29.000.000 pada tahun 2013. Penerimaan PAD di UK BAT Wonocatur selama tahun 2006-

2010 cenderung stagnan yaitu pada kisaran angka Rp15.066.000.000-15.456.000. Kenaikan

penerimaan PAD secara signifikan terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar Rp41.506.350

(173,12%), kemudian mengalami penurunan pada tahun 2012 menjadi Rp28.440.000 (-

31,48%), dan meningkat kembali menjadi Rp31.485500 (10,78%). Rata-rata peningkatan

target selama tahun 2006-2013 adalah sebesar 11,16%, sedangkan rata-rata peningkatan

realisasi penerimaan adalah sebesar 21,63%. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi

penerimaan PAD, UK BAT Wonocatur selalu mencapai target yang dibebankan dengan rasio

pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 276,71% (target sebesar

Rp15.000.000 dan realiasai sebesar Rp41.506.250), sedangkan rasio pencapaian terendah

terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 100,44% (target sebesar Rp15.000.000 dan realisasi

sebesar Rp15.066.000).

102 103 100 101 101

277

142

109

-

50

100

150

200

250

300

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

35,000,000

40,000,000

45,000,000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Target (Rp) Realisasi (Rp) Persentase (%) Poly. (Realisasi (Rp))

Page 7: Bab III Retribusi

67

3. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Bejiharjo

Unit Kerja Budiddaya Air Tawar (UK BAT) Bejiharjo berada di Dusun Gelaran, Desa

Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. UK BAT Bejiharjo memiliki

luas lahan seluas 1,8 Ha yang terdiri atas bangunan dan gedung kantor seluas 0,7 Ha dan kolam

seluas 1,1 Ha. Tenaga kerja berjumlah 4 orang, terdiri dari 1 orang PNS dan 3 orang tenaga

honorer. Rincian fasilitas yang ada di UK BAT Bejiharjo adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2.

Fasilitas di UK BAT Bejiharjo

No. Peruntukan Jumlah

(buah)

Luas (m 2) Keterangan

1. Kolam pendederan 11 5.500 Baik

2. Kolam induk 7 3000 Baik

3. Kolam penetasan 4 123,2 Baik

4. Kolam pemijahan 1 65 Baik

5. Kolam penampungan benih 6 144 Baik

6. Bak pembenihan 2 6 Baik

7. Bak filter 1 50 Baik

8. Rumah jaga 1 72 Baik

9. Kantor 1 99 Baik

10. Gudang pakan 1 60 Baik

11. Kolam Tandon 1 500 Baik

12. Pagar Keliling 1 unit Baik

13. Pagar Kantor keliling 1 unit 180 baik

14. Gudang Pupuk 1 30 baik

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008

Penerimaan PAD di UK BAT Bejiharjo bersumber pada penjualan produksi usaha

daerah. Produk yang dijual di UK BAT Bejiharjo diantaranya adalah induk, ikan konsumsi,

dan benih. Komoditas ikan yang diproduksi selama periode 2007-2013 adalah ikan mas, nila

hitam, nila merah, tawes, dan lele. Setelah adanya reorientasi produksi yang dilakukan oleh

Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, UK BAT Bejiharjo difokuskan untuk memproduksi

komoditas lele (induk dan benih). Produksi induk tertinggi di UK BAT Bejiharjo terjadi pada

tahun 2010 yaitu sebanyak 577 kg, sedangkan produksi ikan konsumsi hanya terjadi pada tahun

2007 yaitu sebanyak 102,75 kg (tahun 2008-2013 tidak memproduksi ikan konsumsi). Dari sisi

produksi benih, produksi puncak terjadi pada tahun 2011 yaitu sebanyak 3.273.300 ekor,

sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2007 yang hanya memproduksi benih

sebanyak 345.500 ekor. Pada tahun 2013, produksi induk adalah sebanyak 255 kg (khusus lele),

sedangkan produksi benih di UK BAT Bejiharjo sebanyak 3.08.000 ekor dengan komoditas

Page 8: Bab III Retribusi

68

lele menyumbang produksi tertinggi yaitu sebanyak 1.288.000 ekor, diikuti tawes sebanyak

917.000 ekor, ikan mas (848.000 ekor), dan nila merah (28.000 ekor). Produksi benih pada

tahun 2013 masih di bawah produksi puncak, namun jika dibandingkan produksi pada tahun

2012 yang hanya 2.617.000 ekor yang mana berartoi telah terjadi kenaikan produksi benih

sebanyak 464.000

Gambar 3.3.

Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Bejiharjo, 2006-2013

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)

Rata-rata pertumbuhan target PAD yang dibebankan kepada UK BAT Bejiharjo selama

periode 2007-2013 adalah sebesar 24,61% dengan pertumbuhan target tertinggi terjadi pada

tahun 20o9 yaitu sebanyak 100%. Target PAD pada tahun 2006 adalah sebesar Rp11.016.000,

pada tahun 2008 target meningkat menjadi Rp12.500.000, kemudian meningkat 100% menjadi

Rp25.000.000 pada tahun 2009, hingga kemudian meningkat menjadi Rp41.000.000 pada

tahun 2013. Dari sisi penerimaan PAD, realisasi penerimaan PAD pada tahun 2006 adalah

sebesar Rp11.348.000 hingga kemudian meningkat menjadi Rp41.609.500 pada tahun 2013.

Rata-rata pertumbuhan realisasi PAD selama periode 2006-2013 adalah sebesar 25,34%,

dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebanyak 106,23%. Kenaikan

pertumbuhan realisasi penerimaan yang tinggi pada tahun tersebut berjalan seiring dengan

kenaikan target PAD yang signifikan (100%) sehingga dapat disimpulkan selama periode

tersebut bahwa kenaikan realisasi penerimaan PAD di UK BAT Bejiharjo bergantung pada

103 112

101 104 103

164

109 101

-

20

40

60

80

100

120

140

160

180

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

35,000,000

40,000,000

45,000,000

50,000,000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 9: Bab III Retribusi

69

target yang ditetapkan.Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK

BAT Bejiharjo selalu mencapai target yang dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi

terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 163,84% (target sebesar Rp25.000.000 dan realisasi

sebesar Rp40.959.100), sedangkan rasio pencapaian terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu

sebesar 101,34% (target sebesar Rp12.500.000 dan realisasi sebesar Rp12.667.000).

4. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Sendangsari

Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UKBAT) Sendangsari merupakan salah satu unit kerja

Budidaya Air Tawar UPTD BPTKP pada Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa

Yogyakarta yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pusat pengembangan budidaya air

tawar khususnya untuk komoditas gurame. UK BAT Sendangsari berada di Desa Sendangsari,

Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo dan dibangun pada tahun 1980 dengan sumber

Anggaran Proyek Bangun Desa. UK BAT Sendangsari berada pada ketinggian 200 m dpl

dengan luas areal seluruhnya adalahsebesar 2,5 Ha yang meliputi bangunan kolam seluas 1,7

Ha dan sisanya seluas 0,8 Ha digunakan untuk bangunan kantor, gudang, dan pekarangan.

Tenaga kerja berjumlah 6 orang. Rincian fasilitas yang ada di UK BAT Sendangsari adalah

sebagai berikut:

Tabel 3.3.

Fasilitas di UK BAT Sendangsari

No. Peruntukan Jumlah (buah) Luas total Keterangan

1. Kolam 24 1,8 ha Baik

2. Kolam permanen 10 100 m2 Baik

3. Bak 10 100 m 2 Baik

4. Bak pengendapan 1 20 m 3 Rusak

5. Hatchery 1 60 m2 Baik

6. Kantor BBI 1 105 m2 Baik

7. Rumah dinas 1 70 m2 Baik

8. Gudang 1 12 m2 baik

9. Pagar duri 1 1200 m2 Baik

10. Gudang Pupuk 1 33 m2 Baik

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008

Penerimaan PAD di UK BAT Sendangsari bersumber pada penjualan produksi usaha

daerah. Produk yang dijual di UK BAT Sendangsari diantaranya adalah ikan konsumsi, induk,

benih, dan telur ikan.Komoditas ikan yang diproduksi selama periode 2007-2013 diantaranya

adalah ikan mas, tawes, nila hitam, nila merah, lele, dan gurami.Khusus untuk telur, semua

produk yang dijual merupakan telur gurami. Setelah adanya reorientasi produksi yang

Page 10: Bab III Retribusi

70

dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, UK BAT Sendangsari difokuskan untuk

memproduksi komoditas gurami (induk, benih dan telur). Pada periode 2007-2103, produksi

benih tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebanyak 3.307.900 ekor, sedangkan produksi

terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 155.225 ekor. Untuk induk, produksi tertinggi

terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 2.149 kg, namun produksi induk tidak kontinyu setiap

tahun dimana produksi induk hanya terjadi pada tahun 2008, 2010, dan 2012. Produksi ikan

konsumsi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 519 kg, sama seperti produk induk,

produksi ikan konsumsi juga tidak kontinyu setiap tahun dengan produksi hanya terjadi pada

tahun 2007, 2008, dan 2013. Produksi telur gurami di UK BAT Sendangsari dimulai pada tahun

2010 dengan produksi sebanyak 269.300 telur dan berlanjut hingga tahun 2013 dengan

produksi sebanyak 332.800 telur. Pada tahun 2013, UK BAT Sendangsari hanya memproduksi

benih, ikan konsumsi, dan telur ikan. Produksi benih pada tahun 2013 adalah sebanyak 385.650

ekor (gurami sebanyak 209.250 ekor dan nila hitam sebanyak 176.400 ekor), produksi ikan

konsumsi sebanyak 78 kg dimana seluruhnya adalah komoditas nila hitam, dan produksi telur

gurami sebanyak 332.800 telur.

Gambar 3.4.

Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Sendangsari, 2006-2013

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)

Target PAD yang dibebankan kepada UK BAT Sendangsari selama tahun 2006-2011

tidak mengalami peningkatan yang signifikan yaitu hanya berkisar antara Rp30.000.000-

100

105

100 101

101

106

114

100

90

95

100

105

110

115

0

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

35,000,000

40,000,000

45,000,000

50,000,000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 11: Bab III Retribusi

71

35.000.000 dengan target PAD selama tahun 2009-2011 tidak mengalami peningkatan yaitu

hanya sebesar Rp35.000.000. Target PAD kemudian naik 11,43% pada tahun 2012 menjadi

Rp39.000.000 dan pada tahun selanjutnya meningkat 12,82% menjadi Rp44.000.000. Pola

realisasi penerimaan PAD di UK BAT Sendangsari juga mengikuti pola target PAD yang

dibebankan dimana penerimaan PAD berkisar antara Rp31.513.000-37.178.000. Kenaikan

penerimaan PAD secara signifikan terjadi pada tahun 2012 yaitu menjadi Rp44.319.000

(19,08%), kemudian mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi Rp44.084.000 (-0,53%).

Nila rata-rata peningkatan target PAD dan realisasi penerimaan selama periode 2006-2013 di

UK BAT Sendangsari dapat dikatakan sama dimana rata-rata peningkatan target PAD adalah

sebesar 4,86%, sedangkan rata-rata peeningkatan realisasi penerimaannya sebesar 4,90%. Jika

dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAT Sendangsari selalu

mencapai target yang dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2012

yaitu sebesar 113,64% (target sebesar Rp39.000.000 dan realisasi sebesar Rp44.319.000),

sedangkan rasio pencapaian terendah terjadi pada tahun 2006 yang hanya sebesar 100,00%

(target sebesar Rp32.004.400 dan realisasi sebesar Rp32.005.000).

5. Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) Samas

Unit Kerja BAP Samas sebelumnya bernama Balai Benih Udang Galah (BBUG)

Samas, yang dibangun pada tahun 1983/1984 melalui Anggaran APBN (Direktorat Jenderal

Perikanan, Departemen Pertanian) dan mulai beroperasional pada tahun 1985. Sesuai dengan

SOTK tahun 2009 nama Balai Benih Udang Galah (BBUG) Samas diganti menjadi Unit Kerja

Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas. UK BAP Samas mempunyai lahan seluas 5,5 Ha yang

terletak di tepi pantai Samas dengan topografis berupa dataran pasir. UK BAP Samas terletak

di Dusun Ngepet, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Unit Kerja

Budidaya Air Payau (UK BAP) Samas sebagai salah satu pusat hatchery udang galah

memproduksi benih yang unggul, untuk memenuhi kebutuhan benih petani khususnya di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam rangka meningkatkan produksi benih yang bermutu baik

dan kontinyu, UK BAP Samas senantiasa melakukan kerjasama penelitian (cooperative

breeding system/ CBS ) dengan Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air

Tawar (LRPTBPAT) Sukamandi yang berada dalam struktur organisasi Kementerian Kelautan

dan Perikanan (KKP).

Pada awal tahun 2012 induk dan calon induk udang galah di UK BAP Samas terinfeksi

virus MrNV (Macrobrachium roserbergii Noda Virus). Berdasarkan uji laboratorium dan

rekomendasi dari Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan Universitas Gajah

Page 12: Bab III Retribusi

72

Mada dan dan Laporan Hasil Uji Laboratorium Uji BBPBAP Jepara, maka induk dan calon

induk harus dimusnahkan dengan cara dibakar kemudian dikubur. Pemusnahan induk udang

galah sebanyak 2.200 ekor (219 kg) dilakukan pada tanggal 22 Maret 2012. Unit Kerja BAP

Samas terhitung sejak tahun 2013 sudah menjalin kerjasama dengan pihak perguruan

tinggi/akademisi dalam rangka pemuliaan udang galah, yaitu Jurusan Perikanan dan Fakultas

Biologi UGM. Kerjasama ini diharapkan bersifat saling menguntungkan dan bersinergi

sehingga kegiatan pemuliaan udang galah di UK BAP Samas dapat berjalan lancar. Segala

bentuk kerjasama yang sudah terjalin diharapkan dapat terus berjalan, dan dapat menghasilkan

sesuatu yang lebih berguna kepada para pelaku budidaya udang galah di Daerah Istimewa

Yogyakarta. Pada tahun 2008, karyawan UK BAP Samas berjumlah 13 orang yang seluruhnya

berstatus PNS. Menurut pendidikannya, karyawan di UK BAP Samas yang berpendidikan S1

sebanyak 3 orang, sarjana muda sebanyak 2 orang, SMAsebanyak 2 orang, dan SMP sebanyak

6 orang. Rincian fasilitas yang ada di UK BAP Samas adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4.

Fasilitas di UK BAP Samas

No. Uraian Luas (m²) Jumlah

1. Rumah Hatchery 500 2 unit

2. Kantor 54 1 unit

3. Rumah pimpinan 114 1 unit

4. Laboratorium 100 1 unit

5. Aula 170 1 unit

6. Rumah jaga 36 3 unit

7. Rumah jaga 70 2 unit

8. Rumah genset 12 1 unit

9. Rumah pumpa air 9 3 unit

10. Kolam biokrit 2000 2 unit

11. Kolam pembesaran 2500 3 unit

12. Kolam pematang induk 500 7 unit

13. Pagar tembok. T. 1,5 m P. 105 m - 1 unit

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008

Komoditas yang diproduksi di UK BAP Samas hanya udang galah dengan variasi

produk yang dijual adalah larva, udang galah konsumsi, induk, calon induk, juvenile, dan

tokolan. Selama periode 2007-2013, produksi larva tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan

produksi sebanyak 10.720.000 larva, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2008

yang hanya memproduksi sebanyak 800.000 larva. Hanya pada tahun 2012, UK BAP Samas

tidak memproduksi larva. Produksi udang galah konsumsi di UK BAP Samas hanya

berlangsung pada periode 2007-2012, sedangkan pada tahun 2013, UK BAP Samas tidak

Page 13: Bab III Retribusi

73

memproduksi udang galah konsumsi. Produksi udang galah konsumsi tertinggi terjadi pada

tahun 2008 dengan produksi sebanyak 60 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun

2010 yaitu sebanyak 20 kg. Produksi induk udang galah di UK BAP Samas hanya berlangsung

selama tiga tahun (2007-2009) dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan 2008

yaitu sebanyak 140 kg dan produksi tersebut kemudian menurun menjadi 28 kg pada tahun

2009. Produksi calon induk di UK BAP Samas hanya berlangsung pada tahun 2007 dan 2008

dengan produksi masing-masing sebanyak 200 kg. Produksi tokolan udang galah di UK BAP

Samas berlangsung dari tahun 2007-2010 dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007

yaitu sebanyak 350.000 ekor dan produksi terendah terjadi pada tahun 2010 yang hanya

memproduksi sebanyak 12.000 ekor. Produk yang rutin diproduksi di UK BAP Samas setiap

tahun adalah juvenil dengan rata-rata produksi sebanyak 3.297.293 ekor. Produksi juvenil

tertinggi tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan produksi sebanyak 3.769.250 ekor dan

produksi terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya memproduksi juvenil sebanyak

2.224.000 ekor.

Gambar 3.5.

Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAP Samas, 2003-2013

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)

60

94

105 107 103

120

102 102 105

120

100

-

20

40

60

80

100

120

140

-

20,000,000

40,000,000

60,000,000

80,000,000

100,000,000

120,000,000

140,000,000

160,000,000

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 14: Bab III Retribusi

74

Target PAD yang dibebankan kepada UK BAP Samas selama periode 2003-2013 dapat

dikatakan fluktuatif dan nilainya berkisar antara Rp65.000.00-132.000.000. Pada tahun 2003,

target PAD untuk UK BAP Samas adalah sebesar Rp105.000.000, mengalami penurunan

menjadi Rp95.000.000 pada tahun 2005, naik kembali menjadi Rp120.000.000 pada tahun

2007, turun kembali menjadi Rp117.500.000, naik kembali menjadi Rp132.000.000 pada tahun

2011, turun kembali menjadi Rp65.000.000 pada tahun 2012 (penurunan target yang mencapai

50,76% disebabkan semua induk dan calon induk yang dimiliki harus dimusnahkan karena

terkena virus), dan kemudian naik kembali pada tahun 2013 menjadi Rp124.000.000. Secara

keseluruhan kenaikan target PAD per tahun adalah sebesar 6,53% dengan peningkatan target

tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 90,77%. Tidak berbeda jauh dengan target PAD,

realisasi penerimaan PAD UK BAP Samas juga dapat dikatakan fluktuatif, penurunan

penerimaan PAD terjadi pada tahun 2009, 2010, dan 2012 (tertinggi pada tahun 2012 mencapai

43,62%). Realisasi penerimaan PAD UK BAP Samas selama periode tahun 2003-2013 berkisar

antara Rp62.673.000-141.073.000 dengan realisasi penerimaan tertinggi terjadi pada tahun

2008 dan realisasi terendah terjadi pada tahun 2003. Secara keseluruhan, rata-rata peningkatan

realisasi penerimaan PAD di UK BAP Samas selama periode 2003-2013 adalah sebesar

10,53% dengan pertumbuhan realisasi penerimaan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu

sebesar 59,16%. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAP

Samas selama periode 2005-2013 selalu mampu mencapai target yang dibebankan dengan rasio

pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 120,06% (target sebesar

Rp65.000.000 dan realisasi sebesar Rp78.040.000), sedangkan rasio pencapaian terendah

terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 100,17% (target sebesar Rp124.000.000 dan realisasi

sebesar Rp124.210.000). Berdasarkan data trend penerimaan pada Gambar 3.5 nampak BAP

Samas pada tingkat pengelolaan sampai saat ini, penerimaan tertinggi adalah sebesar

Rp124.210.000.

6. Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) Congot

Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) Congot berlokasi di Pasir Mendit,

Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.UK BAP Congot dibangun pada tahun

anggaran 1983/1984, dan mulai beroperasi pada tahun 1985. UK BAP Congot mempunyai

lahan seluas 5,5 Ha dengan kolam seluas 1 Ha. Pada tahun anggaran 2005, dilakukan

pembangunan kembali sawah tambak Congot dan mulai beroperasional pada tahun 2006 dan

sawah tambak Congot berubah nama menjadi Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP)

Page 15: Bab III Retribusi

75

Congot. Fasilitas yang ada di UK BAP Congot diantaranya adalah rumah jaga, sumur air tawar,

gedung pertemuan, kantor, rumah dinas, jalan pavling block, pagar kawat, rumah pompa air,

saluran pemasangan, kincir air, kolam pembesaran, dan reservoir. Unit Kerja Budidaya Air

Payau Congot hanya memiliki 4 orang karyawan.

Penerimaan PAD di UK BAP Congot bersumber pada penjualan produksi usaha daerah.

Komoditas ikan/udang yang diproduksi selama periode 2007-2013 adalah udang windu, udang

vanamei, ikan bandeng, dan udang galah dimana semua komoditas tersebut dijual dalam bentuk

ikan/udang konsumsi.Produksi udang galah di UK BAP Congot hanya terjadi pada tahun 2007

dan 2009 dengan produksi masing-masing sebanyak 30 dan 160 kg. Selama periode 2007-

2012, UK BAP Congot tidak memproduksi udang windu. Produksi udang windu hanya pada

tahun 2013 yaitu sebanyak 270 kg. Udang vanamei dan bandeng merupakan dua komoditas

utama yang diproduksi di UK BAP Congot. Hanya pada tahun 2008, UK BAP Congot tidak

memproduksi bandeng. Produksi bandeng tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebanyak 476

kg. Rata-rata produksi bandeng selama periode tersebut adalah 207 kg per tahun. Rata-rata

produksi udang vanamei di UK BAP Congot adalah sebanyak 1.076 kg per tahun dengan

produksi tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebanyak 2.056 kg dan produksi terendah

terjadi pada tahun 2007 yang hanya memproduksi sebanyak 303 kg.

Page 16: Bab III Retribusi

76

Gambar 3.6.

Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAP Congot, 2006-2013

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)

Target PAD yang dibebankan kepada UK BAP Congot selama periode 2007-2013

dapat dikatakan selalu meningkat setiap tahun dimana hanya pada tahun 2011 target PAD tidak

mengalami kenaikan. Target PAD yang dibebankan pada tahun 2006 adalah sebesar

Rp8.010.000 dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp75.000.000. Rata-rata kenaikan target

PAD setiap tahunnya adalah sebesar 43,54% dengan kenaikan target tertinggi terjadi pada

tahun 2009 yaitu sebesar 130,77% (target PAD tahun 2008 sebesar Rp13.000.000 dan target

PAD tahun 2009 sebesar Rp30.000.000). Realisasi penerimaan PAD di UK BAP Congot selalu

mengalami kenaikan setiap tahunnya dengan rata-rata kenaikan realisasi penerimaan sebesar

55,04% per tahun. Peningkatan realisasi penerimaan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu

sebesar 167,88% (realisasi penerimaan tahun 2012 sebesar Rp41.467.000 dan pada tahun 2013

meningkat menjadi Rp111.080.300) dan kenaikan realisasi penerimaan terendah terjadi pada

tahun 2010 yang hanya sebesar 6,66% (realisasi penerimaan tahun 2009 sebesar Rp30.165.000

dan pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp32.174.500). Realisasi penerimaan PAD di UK

BAP Congot pada tahun 2006 adalah sebesar Rp8.090.000, kemudian meningkat menjadi

Rp30.165.000 pada tahun 2009, dan meningkat menjadi Rp111.080.300 pada tahun 2013. Pola

kenaikan realisasi penerimaan PAD di UK BAP Congot yang selalu meningkat sepanjang

tahunnya sangat berbeda dengan unit kerja lainnya yang realisasi penerimaanya cenderung

101 101 102 101 101

120

104

148

-

20

40

60

80

100

120

140

160

-

20,000,000

40,000,000

60,000,000

80,000,000

100,000,000

120,000,000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 17: Bab III Retribusi

77

fluktuatif. Kenaikan pertumbuhan realisasi penerimaan berjalan seiring dengan kenaikan target

PAD yang signifikan (100%) sehingga dapat disimpulkan selama periode tersebut bahwa

kenaikan realisasi penerimaan PAD di UK BAP Congot bergantung pada target yang

ditetapkan. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAP Congot

selama periode 2006-2013 selalu mampu mencapai target yang dibebankan dengan rasio

pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 148,11% (target sebesar

Rp75.000.000 dan realisasi sebesar Rp111.080.300), sedangkan rasio pencapaian terendah

terjadi pada tahun 2009 dan 2010 yaitu sebesar 100,55%.

UK BAP Congot dengan trend pertumbuhan yang bersifat exponensial diharapkan

berperan lebih besar sebagai penghasil penerimaan PAD sektor perikanan ke depan. Hal ini

didasari oleh perkembangan positif produksi dan pasar udang yang menjadi komoditas utama

kegiatan produksi di Congot. Hasil lain yang diharapkan dari pengelolaan BAP Congot

diperoleh dari produksi bandeng konsumsi. Perkembangan positif dan ekspetasi tersebut jga

didukung oleh tersedianya sarana prasarana produksi yang memadai seperti tambak permanen

(6 unit tamba beton) dan beberapa unit tambak plastik.

7. Unit Kerja Budidaya Air Laut(UK BAL) Sundak

Unit Kerja Balai Air Laut (BAL) Sundak adalah unit kerja yang mempunyai tugas

melaksanakan kegiatan pengembangan teknologi perikanan budidaya air laut yang difokuskan

untuk memproduksi benih bandeng (Nener). UK BAL Sundak berada di pantai Sundak dengan

ketinggian 5 m dpl dan termasuk wilayah Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Kabupaten

Gunungkidul, dengan lahan seluas 23.009 m2. Untuk pengelolaan UKBAL Sundak terdapat

karyawan berjumlah 5 orang terdiri dari satu orang pimpinan dan 4 orang petugas.

Kegiatan operasional di UK BAL Sundak membutuhkan air tawar dan air laut yang

bersumber dari sumur air laut, sumur air tawar, dan laut. Pengambilan air tersebut

menggunakan 2 unit pompa air Niagara 6”, 1 unit pompa air Ebara 4” dan 2 unit pompa air

tawar ¾ dan 1”. Dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber tenaga bagi kegiatan operasional,

UK BAL Sundak menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel Yanmar TS 230 PS KW dan

TF 115 5 Kw. Rincian fasilitas yang ada di UK BAL Sundak adalah sebagai berikut:

Page 18: Bab III Retribusi

78

Tabel 3.5.

Fasilitas di UK BAL Sundak

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008

Penerimaan PAD di UK BAL Sundak bersumber pada penjualan produksi usaha

daerah. Produk utama yang dijual adalah benih bandeng, walaupun pada tahun 2010-2012

memproduksi udang vanamei konsumsi. Selama periode 2007-2013, rata-rata produksi benih

bandeng adalah sebanyak 400.372 ekor dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu

sebanyak 1.204.500 ekor dan produksi terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya

memproduksi benih bandeng sebanyak 348.750 ekor. Produksi udang vanamei konsumsi di

UK BAL Sundak dimulai pada tahun 2010 dengan produksi sebanyak 300 kg, kemudian pada

tahun 2011 sebanyak 302,5 kg, dan produksi pada tahun 2012 sebanyak 43 kg, namun pada

tahun 2013, UK BAL Sundak tidak memproduksi udang vanamei konsumsi.

Target PAD yang dibebankan kepada UK BAL Sundak selama periode tahun 2004-

2011 cenderung stagnan dan berkisar antara Rp20.000.000-28.000.000. Pada tahun 2012

terjadi kenaikan target PAD sebesar 25% menjadi Rp35.000.000 dan pada tahun 2013

meningkat sebesar 14,28% menjadi Rp40.000.000. Rata-rata peningkatan target PAD selama

tahun 2004-2013 adalahs sebesar 8,31% per tahun. Realisasi penerimaan PAD di UK BAL

Sundak dapat dikatakan selalu meningkat dengan rata-rata kenaikan realisasi sebesar 5,13%.

Pada tahun 2004-2010, realisasi PAD yang bersumber dari UK BAL Sundak selalu mengalami

kenaikan dimana realisasi penerimaan PAD pada tahun 2004 sebesar Rp20.000.000 dan pada

tahun 2010 meningkat menjadi Rp34.100.000. Realisasi penerimaan PAD mengalami

1 Rumah genset dan bengkel 1 25 18 Kolam pendederan 1 (3 kolam) 600 (200)

2 Sumur air laut 1 d 3 m 19 Bak phytoplankton 1 (6 bak) 300 (50 )

3 Rumah jaga 1 T 36 20 Bak zooplankton 1 (4 bak) 100 (25)

T 36 21 Canal 1 140m

T 72 22 Laboratorium kecil 1 45

5 Kantor 1 50 23 Reservoir 1 30

6 Rumah dinas 1 T 60 24 Hetchery 1 (6 kolam) 200

7 Jalan paving block 1 200 m 25 Bak larva luar 1 (4 bak) 40 (10)

8 Pagar tembok 1 75 m 26 Bak pelimpasan air 1 60

9 Rumah pompa air 1 28 27 Pipa pengambilan air laut 1 40m

10 Bak larva 2 ton 3 2 28 Sumur air tawar 1 d 0,8m

11 Kolam pematangan induk 2 d 10 m (t 3m) 29 Menara air (tower) 1 t 4,5m

12 Sumur air tawar 1 d 0,8m 30 Sumur air laut 1 d 10m

13 Bak larva atap 1 (5 bak) 50 (10) 31 Bak pengendapan 1 100

14 Bak kolektor 1 4 32 Conical tank 2

15 Laboratorium besar 1 100 33 Instalasi pengambilan air laut 1 unit 1000 m

16 Kolam pematangan induk 2 d 10m (t 3m)

17 Kolam pembesaran 1 (2 kolam) 750 (365)

No Nama Bangunan Jumlah (Unit) Luas (m²)

34 Tower Kincir Angin1 unit

Rumah jaga2

4

No Nama BangunanJumlah

(Unit)Luas (m²)

Page 19: Bab III Retribusi

79

kontraksi pada tahun 2011 sebesar 9,53% sehingga berkurang menjadi Rp30.850.000. Pada

tahun 2012, realisasi penerimaan PAD tumbuh sebesar 13,6% (Rp35.050.000), namun pada

tahun 2013, realisasi penerimaan PAD mengalami kontraksi kembali sebesar 14% sehingga

berkurang menjadi Rp30.075.000. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan

PAD, UK BAP Congot selama periode 2004-2012 selalu mampu mencapai target yang

dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 121,79%

(target sebesar Rp28.000.000 dan realisasi sebesar Rp34.100.000), sedangkan rasio pencapaian

terendah terjadi pada tahun 2004yang hanya sebesar 100% (Rp20.000.000). Pada tahun 2013,

UK BAL Sundak tidak mampu mencapai target yang ditetapkan dengan persentase pencapaian

target sebesar 75,19% (target sebesar Rp40.000.000 dan realisasi sebesar Rp30.075.000).

Target dan realisasi penerimaan PAD di UK BAL selama periode 2006-2013 Sundak

ditampilkan pada Gambar 3.7.

Page 20: Bab III Retribusi

80

Gambar 3.7.

Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAL Sundak, 2006-2013

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)

3.1.2. Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelabuhan Perikanan Pantai (UPTD PPP) Sadeng

Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelabuhan Perikanan Pantai (UPTD PPP) Sadeng

merupakan salah satu UPTD yang berada di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah

Istimewa Yogyakarta yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Pelabuhan Perikanan Pantai

(PPP) Sadeng. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

KEP/10/MEN/2005 pada tanggal 13 Mei 20o5, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sadeng

mengalami peningkatan status menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng. Keberadaan

PPP Sadeng ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Nomor 7 tahun 2005 tentang Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Terkait dengan PAD, unit kerja yang menjadi sumber penghasil PAD di UPTD PPP

Sadeng adalah unit kerja Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng semula bernama Pangkalan

Pendaratan Ikan (PPI) Sadeng. PPP Sadeng terletak di Sadeng, Songbanyu, Kecamatan

Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Secara geografis, PPP Sadeng terletak diantara 8°11'26,6"

LS dan 110°47'53,1" BT. Fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng terdiri dari fasilitas

pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas penunjang.

101 101 101 104

122

110

100

75

-

20

40

60

80

100

120

140

0

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

35,000,000

40,000,000

45,000,000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 21: Bab III Retribusi

81

a) Fasilitas pokok adalah sarana yang diperlukan untuk kepentingan aspek keselamatan

pelayaran, selain itu termasuk juga tempat berlabuh dan bertambat serta bongkar muat

yang meliputi:

sarana pelindung, yaitu pemecah gelombang (break water), penangkap pasir

(groin), tempat penahan tanah (revertment) dll.

Sarana tambat labuh, yaitu dermaga, tiang tambat (border), pelampung tambat

(bolard), kolam pelabuhan, pier, dll.

Sarana transportasi, yaitu jembatan, jalan komplek, dan area parkir

Lahan yang dicadangkan untuk kepentingan instansi pemerintah.

b) Fasilitas fungsional adalah sarana yang langsung dimanfaatkan untuk kepentingan

manajemen pelabuhan perikanan dan atau yang dapat dimanfaatkan/diusahakan oleh

perorangan atau badan hukum yang meliputi:

Sarana pemeliharaan kapal dan alat perikanan yang terdiri dari workshop,

slipway, dockyard, dan netfloat.

Lahan untuk kawasan industry.

Sarana pemasokan bahan bakar untuk kapal dan keperluan pengolahan.

Sarana pemasaran, biasanya tempat pelelangan ikan (TPI), penanganan

pengolahan dan penyimpanan hasil tangkap.

Sarana navigasi dan komunikasi

c) Fasilitas penunjang adalah sarana yang secara tidak langsung dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat nelayan dan atau memberikan kemudahan bagi masyarakat

umum yang meliputi:

Sarana kesejahteraan nelayan, yaitu tempat penginapan, kios bahan perbekalan

dan alat perikanan, tempat ibadah, balai pertemuan nelayan, sarana hiburan dan

informasi serta olahraga.

Sarana pengelolaan pelabuhan yaitu kantor, pos pemeriksaan, perumahan

karyawan dan rumah tamu.

Detail mengenai, fasilitas yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai baik fasilitas pokok,

fungsional, dan penunjang ditampilkan pada Tabel 3.6.

Page 22: Bab III Retribusi

82

Tabel 3.6.

Rincian Fasilitas di PPP Sadeng

No. Jenis Fasilitas Volume/Kapasitas

1. Fasilitas Pokok

Luas lahan 50.000 m2

Break water 135 m

Dermaga 328 m

Turap 143,5 m

Kolam Pelabuhan

> 5 GT luas 17.200 m2

< 5 GT luas 5.700 m2

dalam 3,5 m

Beda Pasang Surut 4 m

Alur masuk panjang 200 m

Lebar 25 m

2. Fasilitas Fungsional

Tempat Pelelangan Ikan 225 m2

Kantor PPP 144 m2

Balai Pertemuan Nelayan 144 m2

Bengkel 60 m2

Docking/Slipway -

SPDN 16.000 liter

Kantor BBM 21 m2

Rumah/ Gudang Es 15 ton

Menara Air 8.000 liter

Instalasi Air 1 unit

Instalasi Listrik (PLN) 1 unit

Genset (2 unit) 25 KVA

Bak Sampah -

MCK 80 m2

Area Parkir 2050 m2

Pagar 450 m2

Waserda -

Saluran Air 850 m

Reklamasi 288,6 m

Gudang 48 m2

Jalan lingkungan (Paving Blok) 337 m2

Mini Ice plan kapt 25 ton

Prossesing room 169 m2

Pos Pengawasan SDI 52 m2

Lampi Navigasi 4 buah

Page 23: Bab III Retribusi

83

No. Jenis Fasilitas Volume/Kapasitas

Rambu Penuntun 2 buah

Rambu Suar 1 buah

3. Fasilitas Penunjang

Mess Operator (rumah pegawai) 2 unit, 81 m2

Kantin -

Rumah Nelayan Andon 660 m2

Rumah tamu 2 unit, 110 m2

Tempat Ibadah (Masjid) 80 m2

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008

PAD yang ditargetkan dari PPP Sadeng bersumber dari retribusi jasa usaha pengelolaan

pelabuhan perikanan pantai. Jenis retribusi jasa usaha yang dipungut di PPP Sadeng

diantaranya adalah jasa tambat labuh, jasa labuh, pas masuk PPP, doking, sewa penggunaan

tempat terbuka, sewa penggunaan tempat tertutup, dan pembelian air bersih. Pada tahun 2006,

target PAD yang dibebankan kepada PPP Sadeng adalah sebesar Rp10.000.000, kemudian naik

menjadi Rp10.600.000 pada tahun 2007, dan naik kembali pada tahun 2008 menjadi sebesar

Rp18.000.000. Realisas penerimaan di PPP Sadeng pada tahun 2006 adalah sebesar

Rp9.900.00, tahun 2007 sebesar Rp13.540.000, dan tahun 2008 sebesar Rp12.700.000. Jika

dilihat rasio antara target dan realisasi selama periode 2006-2008, PPP Sadeng hanya mampu

mencapai target yang dibebankan pada tahun 2007 yaitu sebesar 127,74, sedangkan pada tahun

2006 dan 2008 PPP Sadeng tidak mampu mencapai target dengan persentase capaian sebesar

99% dan 70,56%. Rincian detail target dan realisasi penerimaan di PPP Sadeng selama periode

2007-2008 ditampilkan pada Tabel 3.7.

Page 24: Bab III Retribusi

84

Tabel 3.7.

Target dan Realisasi Penerimaan PAD di PPP Sadeng, 2006-2008

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2008

Pada tahun 2013, target PAD yang dibebankan kepada PPP Sadeng adalah sebesar

Rp13.000.000 dengan realisasi penerimaan PAD sebesar Rp13.329.000. Rincian realisasi

penerimaan PAD yang berasal dari PPP Sadeng pada tahun 2013 adalah sebagai berikut:

pendapatan jasa tambat sebesar Rp2.225.000, jasa labuh sebesar Rp1.104.000, pas masuk

sebesar 1.500.000, sewa penggunaan tempat terbuka sebesar Rp3.500.000, sewa penggunaan

tempat tertutup sebesar Rp2.500.000, dan air bersih sebesar Rp2.500.000.

Target Realisasi Persentase (%) Target Realisasi Persentase (%) Target Realisasi Persentase (%)

Pendapatan Lain-lain

1 Pemanfaatan Asset PPP Sadeng 10,000,000 9,900,000 99 - - - - - -

2 Retribusi Jasa Usaha - - - - - - - - -

Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah

(Pemanfaatan Aset) - - - - - - - - -

Unit Kerja PPP - - - 10,000,000 11,650,000 116.50 - - -

Pabrik Es - - - - - 6,000,000 - -

Sewa tempat terbuka/tertutup - - - - - 2,000,000 4,500,000 225.00

Sewa kamar nelayan andun - - - - - 2,500,000 2,500,000 100.00

SPDN - - - - - 3,500,000 2,000,000 57.14

Air bersih - - - - - 1,000,000 700,000 70.00

Retribusi Pelayanan Pelabuhan - - - - - - - -

Jasa Tambat labuh - - - 400,000 1,450,000 362.50 2,500,000 2,500,000 100.00

Jasa Pas Masuk - - - 200,000 440,000 220.00 500,000 500,000 100.00

10,000,000 9,900,000 99 10,600,000 13,540,000 127.74 18,000,000 12,700,000 70.56

2008

3

4

Jumlah (Rp)

No. Deskripsi2006 2007

Page 25: Bab III Retribusi

85

Gambar 3.8.

Realisasi Penerimaan PAD PPP Sadeng, 2013

Sumber: Rekapitulasi PAD DPPKA, 2013

3.1.3. Seksi LPPMHP Yogyakarta

Seksi Pengolahan dan Pengawasan Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)berada di bawah

koordinasi bidang perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta.

LPPMHP Yogyakarta menempati gedung eks Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah

Istimewa Yogyakarta dan berlokasi di Jl. Sagan III/4 Yogyakarta. LPPMHP Yogyakarta

mempunyai luas bangunan 384 m² yang terdiri atas :

1. Gedung perkantoran/ruang analisa dan gudang seluas 48 m².

2. Gedung laboratorium terdiri atas :

- Ruang Mikrobiologi / ruang Preparasi

- Ruang Inokulasi / inkubasi

- Ruang Organoleptik

- Ruang Workshop dan dapur uji.

- Toilet.

3. Rumah jaga LPPMHP DIY

4. Fasilitas listrik dan Sumur artetis.

Jasa Tambat17% Jasa Labuh

8%

Jasa/Pass Masuk PPP11%

Penggunaan Tempat terbuka

26%

Penggunaan Tempat

Tertutup/Sewa Kamar Nelayan

Andon19%

Air Bersih19%

Page 26: Bab III Retribusi

86

Tabel 3.8.

Fasilitas Laboratorium Pengujian di LPPMHP Yogyakarta

No. Nama Peralatan Spesifikasi Jumlah

1. Tabung reaksi tanpa tutup 16 x 150 mm 50 buah

2. Tabung reaksi with screw 16 x 150 mm 50 buah

3. Tabung reaksi tanpa tutup 13 x 100 mm 50 buah

4. Petridish 15 x100 mm 50 buah

5. Pipet ukur 1 ml 50 buah

6. Pipet ukur 5 ml 50 buah

7. Erlenmeyer 25 ml 10 buah

8. Erlenmeyer 250 ml 10 buah

9. Box dan tip Volume 1 ml 2 unit

10. Mikropipet soccorex 0,1-1 ml 2 unit

11. Dispenser Top Bottle Vol 2-10 ml 2 buah

12. Gelas ukur 50 ml 4 buah

13. Gelas ukur 100 ml 4 buah

14. Rak tabung reaksi Plastic 4 buah

15. Magnetic stirrer 3 cm putih 10 buah

16. Jarum Ose 2,5 mm 4 buah

17. Jarum Ose Lurus 2 buah

18. Termometer Kaca 6 buah

19. Timbangan analitik 0,1 mg Ohaus 1 buah

20. Pipete filler Plastik 4 buah

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008

Dalam rangka melaksanakan pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil

perikanan sebagaimana Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010,

tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan serta berdasarkan

Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

(BKIPM) selaku Otoritas Kompeten Nomor KEP.115/KEP-BKIPM/2013 tentang

Pendelegasian Kewenangan kepada Lembaga Inspeksi dan Sertifikasi dalam Penerbitan

Sertifikat Kesehatan, LPPMHP mempunyai tiga peranan penting yaitu sebagai laboratorium

pengujian, lembaga inspeksi dan lembaga sertifikasi mutu produk perikanan,

sehingga LPPMHP dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat

guna menunjang kelancaran proses sertifikasi. Fasilitas laboratorium pengujian merupakan

bagian penting dalam rangka mendukung tugas LPPMHP (Tabel 3.8).

PAD yang berasal dari LPPMHP Yogyakarta berasal dari retribusi pemakaian kekayaan

daerah (jasa sertifikasi pengawasan mutu hasil perikanan). Selama periode 2004-2008, target

PAD yang dibebankan kepada LPPMHP Yogyakarta dapat dikatakan selalu meningkat setiap

tahun dari tahun 2004 yang hanya sebesar Rp1.056.000 hingga Rp5.000.000 pada tahun 2008.

Page 27: Bab III Retribusi

87

Hal yang sama juga ditemukan pada realisasi penerimaan PAD yang menunjukkan peningkatan

setiap tahunnya dari Rp1.056.000 pada tahun 2004 menjadi Rp5.002.500 pada tahun 2008.

Dari periode tersebut, hanya pada tahun 2006, LPPMHP tidak mampu mencapai target yang

ditetapkan yaitu hanya sebesar 94,28%. Pada tahun 2013, target PAD yang dibebankan kepada

LPPMHP Yogyakarta adalah sebesar Rp5.000.000 dengan realisasi penerimaan PAD sebesar

Rp5.973.000 (119,46%). Rincian mengenai target dan realisasi PAD di LPPMHP Yogyakarta

ditampilkan pada Gambar 3.9.

Page 28: Bab III Retribusi

88

Gambar 3.9.

Target dan Capaian Penerimaan PAD LPPMHP Yogyakarta, 2004-2008

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2008 (diolah)

3.1.4. Pendapatan Lain-lain Sah

Pendapatan lain-lain sah di Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta

berasal dari beberapa unit kerja di UPTD BPTKP, UPTD PPP, dan kantor dinas. Pendapatan

tersebut tidak dimasukkan dalam target PAD yang dibebankan kepada unit kerja (seperti yang

dijelaskan pada bagian sebelumnya) agar proyeksi potensi penerimaan PAD dapat mudah

digambarkan dan menghindari perhitungan ganda (overvalued). Jenis retribusi yang

dimasukkan ke dalam pendapatan lain-lain sah terdiri atas retribusi perizinan tertentu (SIUP,

SIPI, SIKPI, dan surat keterangan asal ikan), retribusi pemakaian kekayaan daerah (sewa

penggunaan pasar ikan Cangkringan, sewa penggunaan hasil samping tambak Congot1, jasa

pengujian laboratorium Cangkringan, sewa SPDN), dan retribusi penjualan produksi usaha

daerah (penjualan hasil samping uji coba di BPTKP).

1Sewa penggunaan hasil samping tambak Congot dimasukkan ke dalam realisasi penerimaan UK

BAP Congot.

100.00

140.12

94.28

103.47 100.05

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

-

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

6,000,000

2004 2005 2006 2007 2008

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 29: Bab III Retribusi

89

Tabel 3.9.

Pendapatan Lain-lain Sah di Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2009-2013

No. Unit Penghasil Jumlah Penerimaan

2009 2010 2011 2012 2013

1. Kantor Dinas Kelautan dan

Perikanan 1.765.000 - - - 1.900.000

Retribusi Izin Usaha Perikanan

(SIUPkan) 1.765.000 - - - 1.900.000

2. UPTD BPTKP 65.500.000 74.415.000 80.006.000 58.380.000 64.460.000

Sewa pasar ikan di BAT

Cangkringan 2.000.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000

Jasa pengujian laboratorium di

BPTKP - - - - 7.800.000

Hasil samping uji coba di

BPTKP 63.500.000 71.915.000 77.506.000 55.880.000 54.160.000

3. UPTD PPP - - - - 2.500.000

Surat keterangan asal ikan - - - - 2.500.000

Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2009-2012 dan Rekapitulasi PAD DPPKA, 2013

Berdasarkan Tabel 3.9, penerimaan PAD lain-lain yang sah di Dinas Kelautan dan

Perikanan selama periode 2009-2013 cenderung fluktuatif. Pendapatan lain-lain sah pada tahun

2009 adalah sebesar Rp67.265.000 yang terdiri atas retribusi izin usah perikanan sebesar

Rp1.765.000.000, sewa pasar ikan di BAT Cangkringan sebesar Rp2.000.000, dan hasil

samping ujicoba di BPTKP sebesar Rp63.500.000. Pendapatan tersebut kemudian meningkat

menjadi Rp80.006.000 pada tahun 2011 (disumbang seluruhnya oleh UPTD BPTKP), dan

berkurang menjadi Rp58.380.000 pada tahun 2012 (disumbang seluruhnya oleh UPTD

BPTKP). Pada tahun 2013, pendapatan lain-lain sah meningkat kembali menjadi Rp68.860.000

yang berasal dari retribusi izin usaha perikanan sebesar Rp1.900.000, sewa pasar ikan

Cangkringan sebesar Rp2.500.000, jasa pengujian laboratorium di BPTKP sebesar

Rp7.810.000, hasil samping uji coba di BPTKP sebesar Rp54.160.000, dan surat keterangan

asal ikan sebesar Rp2.500.000.

3.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Dalam pembangunan daerah diperlukan adanya kerjasama antar unit kerja daerah untuk

dapat mengembangkan potensi yang ada di masing-masing daerah. Hal ini dengan

pertimbangan bahwa daerah memiliki kemampuan untuk mengenali secara detail potensi-

potensi yang terdapat di daerah. Sebagaimana Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY, yang

Page 30: Bab III Retribusi

90

diberikan wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola sektor kehutanan dan perkebunan

untuk dapat berkontribusi dalam pengembangan pembangunan di DIY. Pada tiap-tiap

kabupaten yang ada di wilayah DIY terdapat beberapa potensi hasil kehutanan dan perkebunan

aats asset yang dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi aset

daerah yang dikembangkan yaitu dalam bentuk: (1) Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih

dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan (2) Balai Pengembangan Perbenihan dan

Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) (3) Balai Kesatuan Pengelolan Hutan

(BKPH). Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan

Perkebunan berfungsi untuk mensertifikasi benih-benih yang layak dan unggul setelah

dilakukan pengamatan dan pengujian terhadap benih tersebut. Untuk fungsi dari Balai

Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) yaitu

sebagai tempat untuk pembibitan tanaman hutan dan perkebunan serta sebagai lahan

percontohan untuk semua kalangan.Sedangkan fungsi dari Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan

(BKPH) adalah menciptakan hutan lindung. Hutan lindung yang dikelola oleh Balai Kesatuan

Pengelolaan Hutan (BKPH) ditanami tanaman pinus, dimana getah dari tanaman pinus disadap

untuk dikelola menjadi karet pinus. Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) yang menangani

hutan pinus berada di Wilayah Mangunan, Kabupaten Bantul. Selain itu juga Balai Kesatuan

Pengelolan Hutan (BKPH) menangani pabrik penyulingan minyak kayu putih yang berada di

Wilayah Playen, Gunungkidul. Fungsi dari BKPH pengolahan minyak kayu putih ini mengolah

daun dari pohon kayu putih untuk diolah menjadi minyak kayu putih.

Secara keseluruhan, pendapatan asli daerah yang dihasilkan oleh Balai Sertifikasi,

Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan, Balai

pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) dan Balai

Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) yang dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan

dalam 5 tahun terakhir pada tahun 2013, 2012, 2011, 2010, dan 2009 secara berturut-turut

sebesar : (1) 7,853,271,520, (2) 7,879,345,254, (3) 6,517,196,180, (4) 5,092,247,190 dan (5)

4,173,592,342.

Pada Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan

Perkebunan hanya terdapat satu kantor yang terletak di Jl. Argolubang No.19, Baciro,

Yogyakarta.Sedangkan Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan

Perkebunan (BP3KP) DIY memiliki 4 lokasi yang dijadikan sebagai potensi aset daerah.

Keempat lokasi tersebut adalah (1) Daerah Tambak, Kulonprogo dengan hasil tanaman berupa

kelapa dan kakao, (2) Daerah Imogiri, Bantul dengan masing-masing hasil potensi yaitu

Page 31: Bab III Retribusi

91

tanaman kakao, (3) Daerah Ngipik Sari, Sleman dengan hasil potensi berupa tanaman kopi,

dan (4)Hutan Bunder, Gunungkidul dengan hasil potensi berupa persemaian pinus.Sedangkan

Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH)mengelola Pabrik Penyulingan Minyak Kayu Putih,

Sendang Mole, Playen dan Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Mangunan.

Struktur pendapatan dan belanja Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY cenderung

meningkat. Secara rinci, komposisi total pendapatan dan total belanja Dinas Kehutanan dan

Perkebunan DIY pada tahun 2010 sampai dengan 2013 disajikan pada tabel berikut.

Secara makro, dalam beberapa tahun terakhir target dan realisasi PAD di lingkungan

Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY selalu meningkat dan pencapaian PAD rata-rata per

tahun di atas 100%.

Komposisi Pendapatan dan Belanja Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY 2010-2013

No Tahun Uraian Target (Rp) Realisasi (Rp)

Persen

Pencapaian

(%)

1 2010 Pendapatan 5,081,341,000 5,092,247,190 100.2

Belanja 28,069,683,600 26,373,684,488 94.0

% Pendapatan/Belanja 18.10 19.31

2 2011 Pendapatan 5,226,002,000 6,517,196,180 124.7

Belanja 28,469,365,135 26,212,956,641 92.1

% Pendapatan/Belanja 18.36 24.86

3 2012 Pendapatan 7,665,745,000 7,879,345,254 102.8

Belanja 29,436,261,366 28,077,836,649 95.4

% Pendapatan/Belanja 26.04 28.06

4 2013 Pendapatan 7,866,030,000 7,853,271,520 99.8

Belanja 40,786,086,548 37,657,786,939 92.3

% Pendapatan/Belanja 19.29 20.85

Page 32: Bab III Retribusi

92

Total PAD di lingkungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY selama beberapa

tahun terakhir menunjukkan kontribusi yang fluktuatif jika dibandingkan dengan total belanja

SKPD. Target dan realisasi Total PAD dibandingkan Total Belanja SKPD bervariasi

antara 18% sampai dengan 28%. Rencara rinci komposisi dan proporsi Total PAD

dibandingkan dengan Toal Belanja disajikan dalam grafik berikut.

No Tahun Uraian Target (Rp) Realisasi (Rp)

Persen

Pencapaian

(%)

1 2010 Pendapatan 5,081,341,000 5,092,247,190 100.2

2 2011 Pendapatan 5,226,002,000 6,517,196,180 124.7

3 2012 Pendapatan 7,665,745,000 7,879,345,254 102.8

4 2013 Pendapatan 7,866,030,000 7,853,271,520 99.8

5,092,247,190

6,517,196,180

7,879,345,254

7,853,271,520

0 5,000,000,000 10,000,000,000

Pendapatan

Pendapatan

Pendapatan

Pendapatan

2010

2011

2012

2013

Realisasi (Rp)

Target (Rp)

Linear (Realisasi (Rp))

Page 33: Bab III Retribusi

93

Mendasarkan pada rincian komposisi atau struktur PAD di lingkungan Dinas

Kehutanan dan Perkebunan DIY, diketahui bahwa PAD yang bersumber dari retribusi

penjualan jasa usaha daerah merupakan penyumbang terbesar PAD dengan proporsi

93,7% dari total PAD. Kontributor PAD terbesar berikutnya adalah penjualan hasil kehutanan

dengan sumbangan sebesar 5,31%.

18.1

18.4

26.0

19.3

19.3

24.9

28.1

20.9

- 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0

2010

2011

2012

2013

Realisasi

Target

Komposisi PAD Dinas Kehutanan dan Pekerbunan DIY Tahun 2013

Sumber Penerimaan Jumlah (Rp) % Ranking

Retribusi pemakaian kekayaan daerah 11,777,755 0.15 4

Retribusi penjualan usaha daerah 7,358,475,000 93.70 1

Penjualan hasil kehutanan 417,036,765 5.31 2

Sewa tanah dan bangunan 66,000,000 0.84 3

Total 7,853,289,520 100.00

Page 34: Bab III Retribusi

94

Penyumbang utama PAD Dinas Kehutanan dan Perkebunan berasal dari penjualan

minyak kayu purih. Potensi produksi kayu putih menyebar di wilayah DIY. Total kawasan

hutan kayu putih yang merupakan kawasan dalam pengelolaan Dinas Kehutanan dan

Perkebunan seluas 4.472 ha. Kawasan hutan kayu putih tersebut tersebar di 4 BDH. Secara

rinci sebaran luas tanaman kayu putih disajikan pada tabel berikut.

Nama BDH Nama RPH Jumlah Petak Luas (ha)

Karang Mojo Kenet

Gelaran

Nglipar

Candi

8

10

9

2

534

710

690

130

Jumlah 2.066

Paliyan Paliyan 6 371

Jumlah 371

Playen Bunder

Banaran

Wonolegi

Gubug Rubuh

Mengguran

Kepek

8

5

6

6

6

6

371

251

281

448

233

132

Jumlah 1.720

Kulon Progo-Bantul Dlingo

Mangunan

Sermo

3

5

7

137

110

66

Jumlah 314

Total Luas 4.472

11,777,755

7,358,475,000

417,036,765

66,000,000

- 2,500,000,000 5,000,000,000 7,500,000,000 10,000,000,000

Retribusi pemakaian kekayaan daerah

Retribusi penjualan usaha daerah

Penjualan hasil kehutanan

Sewa tanah dan bangunan

Komposisi PAD Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY 2013 (Rp)

Page 35: Bab III Retribusi

95

Hutan Kayu Putih

Pabrik/Minyak Kayu Putih

Kondisi umum tentang potensi sumber daya terkait dengan potensi dasar PAD di

lingkungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY secara lebih rinci diuraikan pada bagian

selanjutnya.

3.2.1. Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan

Perkebunan

Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan

Perkebunan (BSPMBPTKP) untuk mengurusi dan mengawasi sertifikasi calon-calon benih

yang layak dijadikan benih agar benih tersebut bisa menjadi benih yang bermutu dan

berkualitas. Lokasinya berada di Jl. Argolubang No.19, Baciro, Yogyakarta. Sertifikasi adalah

proses pemberian sertifikat kepada suatu sumber benih/benih/lot benih/lot bibit yang

menginformasikan kebenaran mutu benih yang dikomersialkan. Sertifikat mutu benih adalah

dokumen yang menyatakan kebenaran mutu sumber benih/benih/bibit. Sertifikasi benih

bertujuan untuk:

a. Menjaga kemurnian varietas

b. Memelihara mutu benih

c. Memberikan jaminan mutu kepada pengguna benih

d. Memberikan legalitas kepada produsen benih

BSPMBPTKP memiliki sarana dan prasarana yang antara lain:

1. Bangunan gedung:

a. Kantor Unit I : Jalan Argulobang N0 19 Baciro Yogyakarta

Page 36: Bab III Retribusi

96

b. Kantor Unit II : Jalan Purworejo km 2 Triharjo, Wates , Kulon Progo

Yogyakarta

c. Sub lab hayati : Harjobinangun Pakem Sleman

d. Lab benih : Harjobinangun Pakem Sleman

e. Base Cam POPT : Tambak Kulon Progo, Sanden Bantul, Gading Gunung Kidul

2. Transportasi:

a. Kendaraan roda 2 : 21 Unit

b. Kendaraan roda 4 : 1 Unit (Toyota Kijang Tahun 1994)

3. Komunikasi/Informasi:

a. Telepon : 2 Unit

b. Komputer PC : 4 Unit

c. Note Book : 4 Unit

d. LCD : 1 Unit

e. Kamera Digital : 1 Unit

f. Handycam : 1 Unit

Tabel 3.10.

Sumber Daya Manusia di BSPMBPTKP

No Jabatan Nominasi Formasi Keterangan

1 Kepala Balai 1 1 -

2 Ka Sub Bag TU 1 1 -

3 Staf Sub Bag TU 7 17 (10)

4 Kasi PSPB 1 1 -

5 Staf Seksi PSPB 1 7 (6)

6 Kasi P dan P 1 1` -

7 Staf Seksi Pdan P 4 7 (3)

8 Fungsional PBT 4 10 (6)

9 Fungsional POPT 11 28 (18)

Jumlah 31 73 (43)

Sumber: Data Sekunder BSPMBPTKP (2013)

Pada Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan

Perkebunan terdapat dua seksi yaitu seksi pengujian sertifikasi dan pengawasan benih dan seksi

peramalan dan pengamatan. Seksi pengujian sertifikasi dan pengawasan benih memiliki tugas

menyelenggarakan pengujian sertifikasi dan pengawasan bibit/benih tanaman kehutanan dan

perkebunan. Prosedur untuk melakukan sertifikasi:

1. Pemohon melakukan pengajuan permohonan sertifikasi ke BSPMBPTKP (1 hari).

Page 37: Bab III Retribusi

97

2. BSPMBPTKP memberitahukan pelaksanaan sertifikasi.

3. BSPMBPTKP melakukan pemeriksaan lapangan selama 1-7 hari (keluar sertifikat SKMB)

dan melakukan pengujian laboratorium selama 1-15 hari (keluar laporan hasil pengujian

laboratorium).

4. Keluar Label dan siap untuk diedarkan.

Peraturan Gubernur DIY No. 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha:

1. Penyelenggara perbenihan dikenakan biaya retribusi jasa usaha.

2. Besarnya sesuai jenis komoditas.

3. Biaya tersebut disetor ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah.

4. Tarif : bibit yaitu Rp. 10/batang, Uji lab yaitu 10.000/ulangan, Kebun bibit tebu yaitu

Rp.50.000/Ha.

Seksi peramalan dan pengamatan memiliki tugas yaitu menyelenggarakan peramalan,

pengamatan, dan pengendalian OPT. Kegiatan pokok seksi peramalan dan pengamatan yaitu:

1. Peramalan pengamatan meliputi serangan OPT (luas serangan, intensitas serangan, taksasi

kerugian hasil), daerah sebar OPT (kantong-kantong OPT, komoditas).

2. Pengendalian meliputi cara pengendalian (PHT) dan waktu pengendalian (daur hidup OPT,

musim).

3. Operasional sub lab hayati meliputi pengembangan agen hayati, uji kualitas agen hayati,

dan bimbingan masyarakat.

Persyaratan prosedur permohonan agen hayati meliputi dijelaskan jenis OPT yang akan

dikendalikan, komoditas, jenis agen hayati, intensitas, luas serangan OPT; permohonan agen

hayati diajukan 3 hari sebelum pengambilan di sub lab hayati; dan agen hayati diaplikasikan

segera setelah diambil dari sub lab hayati. Pada pengendalian OPT ini belum masuk PAD.

Kendala:

1. Kondisi SDM yang ada masih kurang memadai dalam jumlah maupun kualifikasi.

2. Permintaan benih yang kurang.

3. Proses pembiayaan dibayar saat sertifikat sudah keluar sedangkan benih yang tidak lulus

uji maka tidak membayar sehingga mengalami kerugian baik dari segi tenaga, waktu, dan

biaya.

4. Permasalahan terkait dengan pemenuhan target PAD yang berbasis bulanan sangat

menyulitkan terlebih target yang selalu naik karena yang menjadi obyeknya adalah

makhluk hidup.

Solusi:

Page 38: Bab III Retribusi

98

1. Melakukan rekruitmen staf dengan kuantitas dan kualitas yang memadai sesuai dengan

kebutuhan sesuai dengan kebutuhan yaitu kurang 43 orang.

2. Melakukan kegiatan promosi.

3. Perlu adanya usulan terkait pembayaran benih yang tidak lulus uji.

4. Perlu dikaji ulang dan dipertimbangkan pemenuhan target PAD.

3.2.2. Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan

A. BP3KP Wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo

Kebun Kelapa dan Kebun Kakao (Kabupaten Kulonprogo)

Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan

(BP3KP) wilayah Tambak berada di Kota Wates, Kabupaten Kulonprogo. Secara keseluruhan

total luas lahan Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan

(BP3KP) di Tambak, Wates adalah 1,3 ha, namun sebesar 2000 m2 dari lahan tersebut

digunakan untuk bangunan kantor BP3KP sehingga luasan untuk pengelolaan tanaman sebesar

1,1 ha.Tanaman yang diusahakan yaitu kelapa dan kakao. Masing-masing terdapat 125 batang

untuk tanaman kelapa dan 700 batang untuk tanaman kakao. Sarana dan prasarana yang

digunakan di BP3KP wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo masih terbilang manual dan

sederhana.

Penjualan hasil panen tanaman kelapa langsung bertransaksi dengen tengkulak,

sedangkan hasil panen tanaman kakao dijual berupa biji yang dijual dengan pihak Pagilaran.

Tenaga kerja di BP3KP wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo ada 2 yaitu untuk kebun PNS

1 staf dan untuk kebun outsourching terdapat 1 staf. Kedua tenaga kerja ini meng-handle semua

pekerjaan kebun yang ada di BP3KP wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo. Adapun untuk

kegiatan yang membutuhkan tenaga banyak pihak BP3KP melibatkan masyarakat sekitar

dengan sistem pembayaran HOK.

Peralatan yang digunakan untuk budidaya dan pasca panen terbilang manual dan

sederhana, namun cukup membantu tenaga kerja untuk dalam membudidayakan dan mengolah

tanaman. Misalnya saja tanaman kakao, untuk fermentasi dan pengeringan menggunakan ruang

kaca sehingga membantu kakao cepat kering dan terhindar dari pembusukan yang diakibatkan

karena faktor cuaca.

Permasalahan yang dihadapi oleh BP3KP di Tambak, Kabupaten Kulonprogo adalah

terkait dengan budidaya tanaman kelapa dan kakao, dimana tanaman kelapa terkait dengan

umur tanaman. Tanaman kelapa yang ada di BP3KP Tambak, Kabupaten Kulonprogo rata-rata

sudah berumur tua sehingga kemampuan untuk menghasilkan buah kelapa sudah tidak optimal.

Page 39: Bab III Retribusi

99

Sedangkan untuk tanaman kakao merupakan jenis tanaman yang rentan akan hama Helopeltis,

sehingga hal ini yang dapat mempengaruhi jumlah tiap panenan. Sedangkan untuk pengairan

(irigasi) tidak ada masalah karena pada intinya tanaman kelapa dan tanaman kakao tidak

membutuhkan air yang banyak, hanya saja penyesuaian terhadap musim perlu diperhatikan.

Selain dari aspek budidaya, permasalahan yang dialami di BP3KP Tambak, Kabupaten

Kulonprogo adalah terkait dengan sumber daya manusianya. Dengan jumlah SDM yang sangat

terbatas yaitu 1 staf PNS dan 1 staf outsourching mengakibatkan tidak optimalnya dalam

pemeliharaan tanaman kelapa dan kakao yang ada di BP3KP. Idealnya untuk jumlah SDM

yang menangani masalah kebun yaitu 1 staf PNS dan 3 staf outsourching. Dan permasalahan

lain yang dihadapi oleh BP3KP Tambak yaitu terkait dengan luas lahan, dimana lahan yang

tersedia terpotonguntuk bangunan dan beberapa tanaman yang tidak masuk dalam PAD seperti

tanaman panili dan lada.Solusi yang dilakukan oleh BP3KP Tambak sendiri adalah dengan

menaikkan harga kelapa dan kakao serta menaikkan produksi dengan meningkatkan

pemeliharaan secara optimal.

Kebun Kelapa dan Kakao

Kebun Kakao

B. BP3KP Wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul

Kebun Kakao (Kabupaten Kulonprogo)

Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan

(BP3KP) wilayah Imogiri berada di Kabupaten Bantul. BP3KP wilayah Imogiri memiliki satu

kebun kakao yang dijadikan sebagai potensi aset daerah dengan luas lahan sebesar 0,8 ha. Luas

lahan sebesar 0,8 ha dapat ditanami tanaman kakao sebanyak 600 batang. Dimana asal mula

kebun tanaman kakao ini merupakan bekas tanaman jati yang kemudian tetap dipertahankan

sebagai kebun sehingga arah tanaman kakao di wilayah BP3KP Imogiri, Kabupaten Bantul

Page 40: Bab III Retribusi

100

belum tertata secara baik. Selain jarak tanam yang tidak teratur, varietas kakao yang ditanam

di kebun BP3KP wilayah Imogiri bukan merupakan bibit unggul. Oleh karena itu, untuk

mengatasi hal tersebut pihak BP3KP wilayah Imogiri melakukan perbaikan tanaman dengan

sambung samping ataupun sambung pucuk dengan varietas unggul dan selain itu melakukan

penanaman baru dengan varietas unggul pada tanaman yang rusak atau mati.Untuk rumah jaga

di BP3KP wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul baru dibangunberukuran 2 x1 yang berfungsi

untuk mengawasi kebun. Bangunan kantor yang lama rusak karena bencana alam gempa

sehingga perlu diperbaiki. Untuk sementara ada bangunan yang berfungsi sebagai tempat

persinggahan bagi pengawas kebun.

Permasalahan yang hadapi oleh BP3KP wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul terkait

dengan keamanaan. Secara sosial keamanan ini terjadi karena banyak pengembala ternak yang

masuk ke kebun sehingga dapat merusak tanaman kakao. Selain itu gangguan sosial

lainnyayaitu dikarenakan banyaknya anak kecil yang main ke kebun dan memakan biji kakao

yang masih di pohon. Gangguan sosial semacam ini disebabkankarena kondisi kebun di BP3KP

wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul tidak terdapat pagar pembatas sehingga orang ataupun

hewan dari luar dapat masuk ke dalam kebun secara leluasa. Selain itu masalah lain di BP3KP

wilayah Imogiri adalah karena luasan areal tanaman hanya 0,8 ha dengan tipe varietas yang

bukan bibit unggul maka hasil yang dicapai tidak maksimal. Oleh karena sarana prasarana yang

digunakan juga seadanya. Biasanya apabila hasil panen dikit maka kegiatan fermentasi yang

dilakukan hanya menggunakan keranjang saja, namun ketika hasil panen banyak maka panenan

dibawa ke tambak.

Dari segi jumlah SDM untuk wilayah kerja BP3KP wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul

juga masih kurang yaitu dengan komposisi 1 staf PNS dan 1 staf oursourching. Hal ini

menyulitkan petugas kebun dalam hal pemeliharaan dan pengawasan keamanan. Namun untuk

pengairan secara umum tanaman kakao tidak mengalami kendala walaupun tidak tersedia

irigasi, tetapi terdapat sumur resapan atau sumur penampungan.

C. BP3KP Wilayah Ngipik Sari, Kabupaten Sleman

Kebun Kopi (Kabupaten Sleman)

Kebun kopi di BP3KP wilayah Ngipik Sari berada di Kabupaten Sleman. Luas kebun

kopi di BP3KP sebesar 8850 m2. Selain komoditas kopi tanaman lain yang terdapat di kebun

BP3KP adalah kleresede, alpukat, lada, dan kelapa. Tetapi komoditas yang masuk dalam

Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari adalah tanaman kopi.

Page 41: Bab III Retribusi

101

Untuk tanaman kleresede, alpukat, lada, dan kelapa merupakan tanaman pelindung yang

bermanfaat untuk melindungi tanaman kopi agar waktu kemarau tidak kering.

Sejarah tanaman kopi di Ngipik Sari di BP3KP pertama ditanam pada tahun 1985,

kemudian diadakan tanaman susulan hingga sekarang ini. Untuk jumlah tanaman kopi yang

ada di kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari terdapat 600 tanaman dengan jarak tanam 2 x 3 dan

2,5 x 3. Hal ini dikarenakan topografi atau lahan yang tidak rata sehingga kondisi tanaman

yang satu dengan tanaman yang lainnya tidak sama.

Tanaman kopi ini merupakan tanaman tahunan, dimana kondisi tanaman, iklim, cuaca,

curah hujan, dan keadaan lapangan sangat menentukan produksi dari tanaman kopi tersebut.

Misalnya saja ketika musim penghujan tanaman kopi tidak berproduksi secara optimal, namun

ketika curah hujan tidak terlalu berlebih maka tanaman kopi dapat berproduksi secara

maksimal. Hal ini dikarenakan pada musim penghujan bunga dari tanaman kopi banyak yang

rontok sehingga fase pertumbuhan generative tidak berkembang. Faktor lain yang mengganggu

pertumbuhan tanaman kopi adalah bencana. Pada tahun 2010 Yogyakarta terjadi letusan

gunung merapi yang mengakibatkan daerah sekitar merapi menjadi gersang, banyak tanaman

yang mati dan penduduk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Hal ini mengakibatkan kebun

BP3KP yang berada di wilayah Ngipik Sari, Jalan Kaliurang, Kabupaten Sleman mati karena

terkena abu vulkanik. Selain itu juga produksi tanaman kopi menurun dapat disebabkan karena

penyakit ataupun hama.

Untuk SDM di kebun BP3KP terdapat pegawai PNS 3 orang dan 1 orang tenaga

kontrak. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di kebun ketika masa deadline tiba terkait

untuk persiapan lahan maka mengambil tenaga dari luar. Pekerjaan yang biasanya mengambil

dari luar yaitu menyangkul. Pengambilan tenaga dari luar biasanya dilakukan dalam waktu

tertentu yaitu seminggu/bulan. Tenaga yang dibutuhkan dari luar berkisar 3-4 orang yang

diambil dari masyarakat sekitar. Pembayaran dilakukan berdasarkan sistem HOK. Untuk jam

mulai dari jam 08.00 - jam 16.00 upah yang diberikan sebesar Rp 50.000,00, padahal

seharusnya pengupahan berkisar antara Rp 60.000,00 – Rp 70.000,00. Idealnya untuk lahan

tanaman kopi dengan luas 1 ha memerlukan pekerja 5 – 7 orang.

Untuk pasaran tanaman kopi berasal dari dalam kota dan luar kota. Untuk luar kota

paling banyak peminat dari Temanggung. Kebun BP3KP di wilayah Ngipik Sari tidak melayani

pembeli dari Perseroan Terbatas (PT).Tanaman kopi bisa dipanen pada saat umur 3-4 bulan,

tetapi masa panen yang optimal pada saat tanaman kopi berumur 6-7 hasil yang didapatkan

bisa mencapai 40 kg.

Page 42: Bab III Retribusi

102

Permasalahan tanaman kopi di kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari adalah media tanam

yang belum cukup. Hal ini mengingat areal lahan yang sangat terbatas. Kemudian bahan dasar

dari areal pertanaman berupa batu dan pasir. Batu dan pasir ini masih ditemui dalam kisaran

kedalaman 15-20 cmsehingga mengganggu dalam pengolahan lahan. Selain itu juga

mengganggu perkembangan akar sehingga akar tidak mampu menembus ke dalam tanah. Hal

ini menyebabkan tanaman tidak kokoh dan sulitnya pada saat pemupukan karena akar tidak

mampu menyerap zat-zat yang terkandung dalam pupuk. Kemudian permasalahan selanjutnya

adalah hama dan penyakit tanaman. Untuk mencegah terserangnya hama dan penyakit tanaman

di kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari menggunakan bahan-bahan kimia seperti insektisida.

Selain itu permasalahan yang dihadapi di kebun kopi BP3KP wilayah Ngipik Sari adalah

perubahan iklim yang menyebabkan cuaca tidak menentu sehingga pada waktu pembungaan

di musim yang tidak tepat (musim hujan) menjadikan terhambatnya pembuatan bunga pada

tanaman kopi.

Untuk kebutuhan pengairan, tanaman kopi tidak memerlukan terlalu banyak air.

Kebutuhan air hanya dibutuhkan pada saat awal untuk pertumbuhan namun pada saat

pembuahan air yang butuhkan tidak banyak. Untuk bibit yang dipakai di kebun BP3KP wilayah

Ngipik Sari sudah masuk dalam bibit yang tersertifikasi. Bibit ini diambil dari daerah Jember

yang sudah teruji dan bersertifikat.

Terkait dengan keamanan kebun di BP3KP wilayah Ngipik Sari dapat terbilang aman

karena terdapat pagar yang mengelilingi kebun. Namun terkait dengan penjagaan malam belum

tersedia tenaga resmi, hanya saja terdapat tenaga kerja yang memiliki rumah dekat dengan

kebun sehingga sewaktu-waktu dapat mengecek keamanan kebun.

Kebun Kopi

Kebun Kopi

Page 43: Bab III Retribusi

103

Untuk alat-alat di kebun masih minim walaupun terkadang memakai alat sendiri. Untuk

kebun di BP3KP wilayah Ngipik Sari belum memiliki lantai jemur dan rumah untuk

pengeringan juga belum tersedia. Pengolahan hasil masih bersifat tradisional yaitu berupa alat

pengupasan, alat pengeringan, dan alat penggilingan. Tahapan pengolahan hasil tanaman kopi

yaitu; (1) Pemilihan biji kopi yang sudah matang, (2) Menyortir dan menggrading biji yang

berkualitas, (3) Pengupasan yang dilakukan alat tradisional berupa along, (4) Pengeringan, (5)

Penumbukan menggunakan alat lesung, (6) Dan terakhir ditapeni untuk mendapatkan bubuk

kopi yang halus.

D. BP3KP Wilayah Hutan Bunder, Kabupaten Gunungkidul

Kebun Pembibitan Tanaman Pinus (Kabupaten Gunungkidul)

Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan

(BP3KP) wilayah Hutan Bunder, Kabupaten Gunungkidul memiliki luasan sebesar 3 ha.

Fungsi dari BP3KP wilayah Hutan Bunder yaitu untuk menyediakan bibit pinus untuk bantuan

masyarakat secara suka rela dan penjualan untuk kalangan umum. Total bibit yang tersedia di

BP3KP wilayah Imogiri yaitu sebesar 700.000. Selain pembibitan pinus BP3KP wilayah

Imogiri juga menyediakan bibit lain seperti kayu putih, mahoni, sengon, dan lain-lain. Hal

tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.11. sebagai berikut.

Tabel 3.11.

Jenis Tanaman Hutan di BP3KP Hutan Bunder, Gunungkidul

Jenis Tanaman Jumlah (bibit)

Kayu putih 625.000

Jati 25.000

Mahoni 10.000

Sengon 10.000

Munggur 10.000

Gmelina 5.000

Stek Jati 5.000

Jabon 2.500

Pule 2.500

Tanjung 5.000

Total 700.000

Sumber: BP3KP Wilayah Hutan Bunder

Kegiatan yang terdapat di BP3KP Wilayah Hutan Bunder, Kabupaten Gunungkidul

selain untuk pembibitan juga pendidikan dan wisata khusus. Padahal ketersediaan SDM di

Page 44: Bab III Retribusi

104

BP3KP hanya terdapat 4 PNS dan 3 tenaga kontrak yang mengurusi semua kegiatan baik itu

pembibitan, kegiatan pendidikan, dan wisata khusus.

Kebun Pembibitan

Hutan Jati

Permasalahan lain selain ketenagakerjaan yaitu mengenai sarana dan prasarana yang

menunjang kegiatan persemaian masih bersifat manual artinya alat yang digunakan tergolong

sederhana dan kebanyakan menggunakan tenaga manusia. Selain itu juga daya listrik yang

digunakan tidak mampu mengangkat alat mesin pencacah sehingga penggunaan alat tidak

optimal. Alat-alat lain yang menunjang persemaian BP3KP wilayah Imogiri, Gunungkidul

yaitu diesel, jester, cangkul, sabit, dan spriyer. Namun untuk peralatan diesel jumlahnya masih

sangat terbatas. Ketersediaan diesel di BP3KP wilayah Imogiri hanya 1 buah, padahal idealnya

diesel yang dibutuhkan 4 buah untuk mencukupi kebutuhan persemaian bibit.Karena untuk

awal persemaian dibutuhkan banyak air, sehingga diesel pada saat persemaian sangat

dibuthkan. Kemudian oleh karena itu, pihak BP3KP wilayah Imogiri memanfaatkan sumber

air sungai oyo dan air sendang moyo yang ditampung ke bak-bak penampungan.

Page 45: Bab III Retribusi

105

Hutan Jati

Tebangan Kayu Jati

Untuk pendistribusiannya menggunakan alat angkut viar (tiga roda) yang merupakan

inventaris kantor. Biasanya bibit dipesan oleh orang luar, KPH, ataupun rekanan lain yang rata-

rata merupakan pembeli dari Yogyakarta. Sedangkan bibit yang tidak laku diperbantukan untuk

masyarakat dengan cara pembuatan proposal.

Permasalahan-permasalahan lain yang ada di kebun BP3KP wilayah Imogiri,

Gunungkidul adalah dana cair biasanya terlambat pada bulan Februari-Maret padahal sudah

mulai pembersihan lahan, musim buah (biji) terkait dengan tata waktu persemaian, dan hama

dan gulma tanaman yang mengganggu persemaian. Di mana pada waktu persemaian gulma

lebih cepat subur dibandingkan tanaman pokok yang diusahakan.

Untuk aspek keamanan, kebun BP3KP wilayah Imogiri Gunungkidul tergolong aman.

Pada saat siang hari dijaga oleh perempauan dan pada saat malam hari dijaga oleh 2 orang yang

tugasnya pengadaan sekam dan pupuk kandang. Selain itu juga melakukan kegiatan

penyiangan dan pendangiran apabila tanaman di polibag, namun untuk membasmi gulma yang

ada di jalan-jalan menggunakan herbisida.

3.2.3. Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan

A. Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) Wilayah Mangunan

Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Mangunan, Kabupaten Bantul

Resort Pengelolaan Hutan (RPH) berada di Wilayah Mangunan, Kabupaten Bantul.

Potensi pengelolaannya berupa hutan lindung yang ditanami tanaman pinus, dimana getah dari

tanaman pinus ini dapat disadap untuk diambil getahnya. Getah dari tanaman pinus ini diolah

untuk dijadikan karet yang menjadi sumbangan untuk Pendapatan Asli daerah (PAD) Daerah

Istimewa Yogyakarta.Luas dari hutan pinus yang dikelola oleh RPH ini sejumlah 130 ha,

Page 46: Bab III Retribusi

106

namun yang produktif ditanami tanaman pinus berkisar 110 ha. Jumlah pohon pinus yang

ditanami sejumlah 57.636 batang.

Tahapan pengelolaan tanaman pinus agar dapat dimanfaatkan getahnya adalah pada

awal 1 – 10 tahun merupakan tahapan persiapan penyadapan, ketika tanaman pinus sudah

berusia 11 tahun maka tanaman pinus sudah dapat dilakukan penyadapan. History tanaman

pinus di RPH Mangunan, Kabupaten Bantul bahwa tanaman pinus ditanam pada tahun 1995.

Ketika umur pinus berkisar 10 – 30 tahun tanaman pinus dapat memberikan getah pinus yang

banyak atau dapat dikatakan pinus berada dalam masa subur. Namun ketika pinus sudah

berusia di atas 30 tahun maka getah pinus akan mengalami penurunan sebesar 40 – 50 %.

Fasilitas yang ada di RPH Mangunan, Kabupaten Bantul ini adalah terdapatnya kantor

pemungut kayu sekaligus digunakan untuk pengawasan. Terdapat tenaga kerja sebanyak 6

orang PNS. Untuk sementara dengan jumlah SDM yang sangat terbatas 2 orang yang termasuk

6 orang PNS tersebut merangkap 2 blok. Padahal agar perlindungan dan pengawasan

maksimum maka diperlukan 1 orang meng-handle 10 ha tanaman hutan pinus. Oleh karena itu

untuk mengatasi hal tersebut 1 orang petugas diharapkan dapat berhubungan langsung dengan

masyarakat dan kelompok yang ada di sekitar hutan pinus tersebut.

Dari faktor keamanan tanaman hutan pinus ini tergolong aman kira-kira 99% aman.

Kerusakan pernah terjadi pada tahun 1982 yang diakibatkan karena banyak yang roboh dan

peristiwa kebakaran hutan sebesar 6 ha pada musim kemarau.

Untuk jenis tanaman pinus ini membutuhkan banyak air. Namun hal ini terbantu dengan

adanya sumber air yang tersedia di sekitar lokasi dimana total sumber air yang masih dapat

digunakan untuk pengairan berkisar 6.

Untuk peralatan sendiri yang digunakan untuk keamanan dan penyadapan sudah

lengkap dan tersedia, namun untuk asuransi jiwa pekerja belum diadakan sehingga hal ini perlu

diperhatikan untuk keselamatan kerja pegawai khususnya yang bertugas di kebun pinus. Selain

6 tenaga PNS yang berfungsikan untuk mengelola dan mengawasi hutan pinus di RPH

Mangunan, ini juga dibantu oleh mitra kerja sejumlah 73 orang dan 4 kelompok dari

masyarakat setempat. Satu kepala keluarga ditugasi untuk menyadap sebanyak 500-700 pohon

pinus dengan sistem pembayaran Rp 2.600/kg.

Hasil penyadapan dari pohon pinus pada tahun 2012 mencapai 121 ton dari target 85

ton. Dan mengalami penurunan pada tahun 2013 hanya mencapai 73 ton dari target 90 ton.

Untuk pemeliharaan pohon pinus sendiri pemupukan hanya dilakukan pada awal penanaman.

Peremajaan dilakukan dengan menggunakan cara selam tegakan. Rata-rata penyadapan 1 hari

bisa menghasilkan 2 gr tiap pohon. Untuk penyadapan dilakukan seminggu dua kali.

Page 47: Bab III Retribusi

107

Hutan Pinus

Produksi Getah Pinus

B. Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Wilayah Playen

Pabrik Penyulingan Minyak Kayu Putih Sendang Mole, Kabupaten Gunungkidul

Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Wilayah Playen, Kabupaten

Gunungkidul BKPH memiliki empat pabrik penyulingan minyak kayu putih dengan tempat

yang berbeda yaitu Pabrik Sendangmole, Gelaran, Dlingo, dan Kediwung. Satu pabrik yang

terbesar berada di Wilayah Playen, Sendang Mole, Kabupaten Gunungkidul.Total semua ada

14 resort yang terdapat kayu putih, 10 resort berada di Sendangmole sisanya berada di Dlingo

2 resort, 2 resort di Nglipar.Total lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman kayu putih

yang dapat diproduksi untuk menjadi minyak kayu putih berkisar 20-25 ha selebihnya

merupakan kawasan hutan Tahura sehingga tanaman pinus merupakan tanaman yang dijadikan

sebagai hutan lindung yang tidak dapat diolah ataupun ditebang. Total produksi yang dicapai

oleh tanaman pinus sampai bulan 24 November 2014 yaitu sebesar 56 ton dengan target

pencapaian sebesar 55 ton. Hasil dari pengolahan kayu putih berupa minyak kayu putih yang

langsung dijual ke Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sehingga tidak ada penjualan ke luar.

Rata-rata rendemen yang dihasilkan sekitar 0,9 % – 1,0 %.

Untuk biaya pungut sekitar Rp 80.000,00/ton dan upah angkut sekitar Rp 92.000,00/ton.

Permasalahannya yang terjadi di lapangan adalah belum adanya mobil angkut yang difasilitasi

oleh dinas. Kendala lain adalah semakin sempitnya areal pohon kayu putih yang dapat diolah

menjadi minyak kayu putih karena terbentuk dengan pengadaan hutan Tahura sebagai hutan

lindung.

Pabrik maksimum operasi sampai 8 jam untuk mengolah kayu putih menjadi minyak

kayu putih.Untuk efektifitas pabrik beroperasi selama 9 bulan. Pada Bulan Januari – Maret

diadakan pemeliharaan pabrik sebelum dilakukan pengolahan agar tidak terjadi turun mesin.

Page 48: Bab III Retribusi

108

Kelayakan operasi mesin langsung dilakukan oleh Dinas Industri.Satu kali pengolahan

dibutuhkan 6 ton kayu putih dibagi 3 tempat (ketel). Masing-masing ketel bermuatan maksimal

2 ton. Total memprosesan selama 8 jam dengan pembagian 2 jam pertama persiapan, 4 jam

untuk proses penyulingan, dan 2 jam untuk membongkar.Rata-rata di Pabrik Sendangmole

memproduksi 18 ton, dimana setiap ton-nya menghasilkan 9-10 liter minyak kayu putih. Untuk

per harinya bisa keluar 170 liter, sehingga secara total rendemen 9,16liter/ton atau 1 liter

membutuhkan 1000-1100 kg daun. Harga per liter untuk minyak kayu putih senilai Rp

210.000,00/liter.

Biaya yang dikeluarkan untuk operasional 4 pabrik kurang lebih 2 milyar, sedangkan

untuk listrik menghabiskan 8-10 juta/bulan, untuk perbaikan mesin 280 juta untuk empat pabrik

untuk pengadaan suku cadang.

Untuk tenaga kerja pemungutan, persiapan lahan, hingga pengolahan membutuhkan

138 orang/hari dengan sistem pembayaran HOK. Dimana pabrik di Sendangmole memiliki 7

orang PNS sudah termasuk dengan kepala pabrik.Terdapat mitra dengan masyarakat sebanyak

32 orang masyarakat untuk membantu pekerjaan di kayu putih. Untuk masing-masing tenaga

kerja yang tersedia di Pabrik Sendangmole dibagi menjadi 4 bagian yaitu: Bagian memasak:

20 orang; Membuat briket: 6 orang; Tenaga harian: 2 orang; PNS: 7 orang

Selain masalah ketersediaan tenaga kerja, masalah lain terkait dengan SDM adalah

bahwa SDM yang tersedia kira-kira berkisar 40 tahun ke atas, sehingga dapat mempengaruhi

hasil kinerja dalam pengelolaan kayu putih. Kemudian kendala terkait dengan kualitas SDM di

Pabrik penyulingan minyak kayu putih adalah perbaikanmesin. Tidak semua tenaga kerja

mampu memperbaiki mesin, hal ini yang dapat menghambat pengolahan minyak kayu putih.

Apabila menggunakan tenaga ahli terkait dengan perbaikan mesin pabrik harus menunggu

selama 4 hari. Hal ini berarti selama 4 hari pabrik tidak mampu beroperasi menghasilkan

minyak kayu putih. Oleh karena itu, sekarang ini tenaga kerja dibekali ketrampilan agar mampu

sedikit demi sedikit melakukan perawatan dan perbaikan mesin.

Masalah yang terjadi yaitu pada saat musim hujan tenaga pemungut daun beralih

profesi ke pertanian untuk mengolah lahan pertanian, karena rata-rata tenaga pemungut adalah

berprofesi sebagai petani/buruh tani. Masalah lain yang dihadapi dalam pengolahan kayu putih

yaitu kesuburan tanah, iklim, pola perilaku penggarap, daun kurang bahkan tidak ada daun, dan

kerusakan mesin.

Untuk masalah pembuangan limbah Pabrik Sendangmole sudah mampu mengatasi

dimana sisa sampah dari hasil penyulingan sebesar 40% dimanfaatkan sebagai bahan bakar

briket untuk bahan bakar, dan selain itu juga daun hasil sisa dari kayu putih dapat digunakan

Page 49: Bab III Retribusi

109

sebagai pupuk. Untuk limbah air selama ini baru dibuang ke sungai, namun pada tahun 2015

akan dimanfaatkan sebagai spa mandi air kayu putih. Karena limbah dari hasil penyulingan

kayu putih masih terdapat kadar minyak kayu putih sebesar 0,003%. Sehingga rencana tahun

2015 kawasan hutan kayu putih selain diolah menjadi minyak kayu putih juga akan

dimanfaatkan sebagai tempat wisata dengan fasilitas spa mandi air kayu putih.

3.3. Dinas Pertanian

3.3.1. Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura

Secara umum target dan realisasi penerimaan PAD di lingkup Dinas Pertanian DIY

(sub sektor tanaman pangan dan hortikultura) mengalami kenaikan setiap tahun. Pada tabel

berikut secara garis besar disajikan realisasi penerimaan PAD tahun 2013 dan target

penerimaan PAD tahun 2014 dan 2015. BPPTPH merupakan unit penyumbang terbesar bagi

PAD sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura dimana dengan menggunakan rerata 3 tahun

diketahui kontribusinya mencapai 97,3% dari seluruh total pendapatan PAD.

Dalam pengelolaan asset yang berupa kebun-kebun pertanian, sumbangan untuk PAD

Dinas Pertanian TPH berasal dari berbagai sumber dengan kontribusi terbesar berasal dari

produksi benih padi yang dikelola oleh BPTPH wilayah Wijilan, Nanggulan dengan luasan

15 hektar dan memproduksi benih dasar.BPTPH mengelola 8 kebun yang terdiri dari 3 kebun

padi, 2 kebun palawija dan 3 kebun hortikultura. Kebun padi antara lain ada di kebun padi

Penerimaan dan Target PAD Tanaman Pangan dan Hortikultura 2013-2015 (Rp)

Sumber Penghasil PAD 2013 2014 2015 Rerata % Ranking

Balai Pengembangan Perbenihan

Tanaman pangan dan Hortikultura

(BPPTPH) 768,520,000 827,050,000 885,650,000 827,073,333 97.3 1

Balai Pengawasan dan Sertifikasi

Benih Pertanian (BPSBP) 10,000,000 10,883,520 13,605,000 11,496,173 1.4 2

Balai Pengembangan Sumberdaya

Manusia Pertanian (BPSMP) 5,400,000 5,400,000 6,600,000 5,800,000 0.7 3

Balai Proteksi Tanaman Pertanian

(BPTP) 5,000,000 5,000,000 6,500,000 5,500,000 0.6 4

Jumlah (Rp/tahun) 788,920,000 848,333,520 912,355,000 849,869,507 100.0

Page 50: Bab III Retribusi

110

Wijilan (15 Ha), Kebun padi Gesikan (2,5 Ha), kebun padi Berbah (5 Ha), sedangkan kebun

palawija yang terdiri dari jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau antara lain ada di

kebun palawija Kedungpoh (1,5 Ha) dankebun palawija Gading (7 Ha). Permasalahan yang

ada di BPTPH adalah SDM yang kurang mencukupi. Selain SDM, seperti pada kebun di

Ngipiksari kendala kekurangan air juga menjadi permasalahan umum yang sering terjadi. Air

irigasi yang ada sudah tidak cukup untuk mengaliri seluruh lahan, hanya sebagian lahan yang

yang dapat teraliri air irigasi. Permasalahan yang lainnya adalah rendahnya tarif harga benih

dari kebun dibandingkan dengan yang ada di pasaran.

Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP) merupakan salah satu aset

yang dimiliki Dinas Pertanian sebagai penyumbang PAD. BPSBP memberikan sertifikasi dari

benih yang diproduksi oleh penangkar benih. Masalah yang dihadapi di BPSBP ini adalah

kendala dalam SDM kurang dikarenakan banyaknya SDM yang pensiun dan belum ada

gantinya. Selain itu kendalanya adalah tarif dalam proses sertifikasi, tarif dibayarkan ketika

benih telah lulus dan mendapatkan sertifikasi. Benih yang tidak lulus tidak membayarkan tarif

dalam proses pengujian.

768,520,000

10,000,000

5,400,000

5,000,000

827,050,000

10,883,520

5,400,000

5,000,000

885,650,000

13,605,000

6,600,000

6,500,000

- 250,000,000 500,000,000 750,000,000 1,000,000,000

Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Hortikultura (BPPTPH)

Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP)

Balai Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSMP)

Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP)

2015

2014

2013

Realisasi dan Target Penerimaan PAD sub sektor tanaman pangan dan hortikultura (2013-2015

Page 51: Bab III Retribusi

111

Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPSDMP) merupakan balai

penghasil PAD dengan memberikan pelatihan-pelatihan pertanian. Kendala yang dihadapi

BPSDMP dalam mendapatkan PAD adalah tidak tersedianya lahan untuk sekolah lapangan.

Hal tersebut yang menyebabkan BPSDMP menyewa lahan untuk sekolah lapangan. Selain itu

fasilitas terbatas dan tempat pelatihan kurang representatif.

Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP) merupakan aset Dinas Pertanian dalam

menyumbang PAD. BPTP adalah balai proteksi tanaman dimana balai ini bekerja membuat

agen-agen hayati. Kendala BPTP adalah tarif terlalu murah tidak sebanding dengan biaya

produksi. Selain itu SDM yang kurang mencukupi dan latar belakang pendidikan yang kurang

sesuai. Di BPTP tidak adanya SDM yang mengoperasikan laboraturium yang baru dikarenakan

latar belakang SDM yang ada tidak sama.

A. Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Holtikultura (BPPTPH)

1. Kebun Wijilan Nanggulan (Kabupaten Kulon Progo)

Kebun Nanggulan berada di Kabupaten Kabupaten Kulon Progo. Luas kebun yaitu 15

ha yang berupa lahan sawah irigasi teknis. Sumber Daya Manusia (SDM) terdiri dari 11 orang

PNS dan 7 orang THL (Tenaga Harian Lepas). SDM rata-rata sudah senior, dengan luas lahan

15 ha idealnya dibutuhkan sekitar 20 tenaga kerja/ SDM. Infrastruktur irigasi yang ada berupa

irigasi teknis dari Sungai Progo. Pola tanam yang dikembangkan di kebun Nanggulan yaitu 2

kali tanam dan 2 bulan diberokan. Sistem penanaman yang dilakukan petani yaitu sistem

terasering, dengan sistem tersebut tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan bagus. Hasil

panen yang didapatkan yaitu 2,3 ton. Hal ini berarti sesuai dengan target PAD.

Komoditas yang diusahakan yaitu padi dengan varietas Ciherang, IR 64, Situbagendit,

dan PP. Benih dibedakan menjadi tiga yaitu Benih Dasar (BD) berwarna putih, Benih Pokok

(BP) berwarna ungu dan Benih Sumber (BS) dari Sukamandi. Harga BD yaitu Rp. 7.500/kg,

sedangkan BP barganya Rp. 6000/kg. Padi varietas Ciherang, IR 64 dan Situbagendit

permintaanya berubah-ubah sesuai dengan permintaan pasar. Dari beberapa jenos varietas padi,

Situbagendit adalah varietas yang yang paling bagus kualitasnya. Setelah diproduksi, hasil

panen dibawa ke BPSBP (Balai Pengembangan Sertifikasi Benih Pertanian) dicek di

laboratorium untuk diketahui masa lamanya kadaluarsa. Hasil laboratorium dapat diketahui

setelah 3 bulan. Jika tidak laku, maka dibuat konsumsi sendiri atau bisa dititipkan di balai benih

lain.

Page 52: Bab III Retribusi

112

Kebun Benih Padi

Benih Padi Bersertifikat

Di kebun benih Nanggulan terdapat beberapa sarana dan prasarana pertanian,

diantaranya terdapai 4 unit lantai jemur, setiap lantai luasnya 250 m2. Ada juga kamar-kamar

lain untuk disewakan, akan tetapi bangunannya tidak bagus. Selain itu, juga mempunyai traktor

roda 4, mistblower, power tracer, cleaner, dan blower. Wilayah Nanggulan juga mempunyai

gudang benih, tetapi tidak memenuhi standar gudang benih.

Tenaga penanaman, penyiangan dan pemanenan zaman dulu masih menggunakan

masyarakat setempat untuk membantu. Dalam hal pemanenan, mereka diupah dengan sistem

bawon. Sistem bawon yaitu upah yang diberikan berupa barang yang dipanen dengan jumlah

tertentu yang telah disepakati oleh pemberi bawon. Tetapi, mencari tenaga kerja zaman

sekarang sangat sulit, sehingga harus mencari dari luar kecamatan. Tenaga kerja di luar

kecamatan dijemput, kemudian diantar kembali setelah mereka selesai bekerja. Upah yang

diberikan yaitu Rp 35.000/HOK.

Permasalahan yang sering dihadapi yaitu kesuburan tanah. Tingkat kesuburan tanah di

kebun Nanggulan perlu dibenahi. Tahun 2015 mendatang akan dilakukan uji tanah untuk

mengetahui kekurangan maupun kelebihan unsur hara tanah, sehingga perlakuan tanah dapat

diatasi dengan efektif dan efisien. Setelah masalah kesuburan dapat diatasi, maka petani dapat

meningkatkan produksi.

Pendapatan yang dihasilkan oleh petani Nanggulan selain dari pertanian, mereka juga

mempunyai pekarangan yang ditanamani buah-buahan. Mayoritas ditanami mangga jenis arum

manis dan manalagi. Setiap musim panen dihasilkan 20-an buah mangga arum manis dan

manalagi. Selain itu juga ditanami jeruk nipis. Hasil yang didapatkan dari tanaman pekarangan

lumayan menambah penghasilan keluarga.

Page 53: Bab III Retribusi

113

2. Kebun Padi Gesikan (Kabupaten Bantul)

Kebun padi Gesikan ini merupakan kebun benih yang terdapat di Kabupaten Bantul.

dengan luas 2,5 ha. Dari aspek SDM, kebun Gesikan dikelola oleh 3 orang PNS dan 3 pegawai

THL (lulusan SLTA), dengan jumlah pengelola dan staf tersebut dirasa sudah cukup. Varietas

padi yang ditanam yaitu Situbagendit BD sampai ke BP. Pola tanam yaitu 2 kali tanam (padi-

padi). Untuk tanam, dibutuhkan 6 tenaga kerja dengan upah Rp 70.000/hari, sedangkan untuk

panen dibutuhkan 15 tenaga kerja dengan upah Rp 70.000/hari. Produksi yang dihasilkan

kurang lebih 3 ton/ha. Pemasaran hasil tidak ada kendala, karena aksesnya sudah baik dan

mendukung. Hasil panen bisa dijual ke sesama petani maupun ke kelompok, selain itu juga

dipasarkan disekitar Yogyakarta.

Dalam proses budidaya mengalami kesulitan pada pengairan, karena harus menaikkan

air dari sungai ke lahan. Petugas merasa kesulitan karena sungai berada dibawah lahan,

maksudnya kedudukan kebun lebih tinggi dari sungai Bedog. Selain itu, harus membayar pajak

sebesar Rp 45.000/ha/tahun.

3. Kebun Padi Kadisono, Berbah

UPT BPPTPH di Kadiosno, Berbah Sleman ini mengelola komoditas benih padi

seluruhnya. UPT ini memiliki luas lahan sebesar 5 hektar, namun kebun atau lahan yang

produktif hanya 3 hektar, karena saluran sungainya miring sehingga tidak dapat digunakan

untuk mengairi lahan sepenuhnya, dan sisa lahan 2 hektar tidak produktif. UPT ini memiliki

beberapa fasilitas berupa: bangunan, lahan pertanian, lantai jemur untuk 4 plot, gudang, serta

beberapa peralatan, seperti traktor, grader, cleaner dan sprayer. Tenaga kerja di UPT ini terdiri

dari I orang PNS, 1 orang THL, dan 1 orang harian lepas.

Pola tanam kebun benih terdiri dari 2 musim tanam, yaitu musim tanam I pada bulan

Februari/Maret sampai bulan Mei serta musim tanam II pada bulan Mei sampai Juni/Juli, dan

mulai bulan Agustus hingga awal musim tanam I lahan diberokan. Namun demikian, pada

tahun ini masih ada tanaman sampai bulan Oktober karena fluktuasi cuaca yang kurang

menentu. Selama ini, UPT BPPTPH mengikuti aturan musim tanam ini secara serempak,

karena dulu pernah tidak mengikuti dan justru malah puso. Irigasi berasal dari Selokan

Mataram. Di musim tanam I, air mengalir sepanjang musim tanam, namun di musim tanam II,

air mulai dibatasi dengan digilir setiap seminggu sekali.

UPT ini mengembangkan Benih Pokok (BP), yaitu benih yang siap ditanam oleh petani

dan hasil panennya langsung dapat diolah dan dikonsumsi. Benih Dasar (BD) yang dijadikan

sebagai benih untuk pengembangan Benih Pokok (BP) diperoleh dari Wijilan. Varietas utama

Page 54: Bab III Retribusi

114

yang dikembangkan ini adalah varietas IR64. Varietas ini sebenarnya sudah dilarang oleh

pemerintah karena tidak tahan wereng, akan tetapi permintaan masyarakat akan varietas ini

masih tinggi. Varietas Situ Bagendit tidak laku di masyarakat. Varietas IR64 lebih disukai

masyarakat karena dapat dikembangkan di lahan yang kecil dan produktivitasnya tinggi,

perawatan lebih mudah, rasanya enak, serta mudah untuk ditebaskan. Permintaan benih paling

besar di bulan Oktober, karena mempersiapkan musim tanam.

Stok Benih Siap Diproses

Pencatatan Identitas Benih Padi

Produksi benih di UPT banih Kadisono sebesar 9.150 kg benih di musim tanam I dan

9.050 kg benih di musim tanam II. Benih hasil pengembangan di UPT ini dijual dengan harga

Rp 9.000,- untuk masyarakat luar daerah dan Rp 6.000,- untuk masyarakat lokal. Pembelian

biasa dilakukan oleh kelompok, utamanya kelompok tani yang ada di D.I. Yogyakarta (daerah

lain tidak bisa membeli) dan individu (pembeli dari luar bisa masuk). Sesuai SK Gubernur,

seharusnya tidak boleh menjual benih ke daerah lain, padahal permintaan dari luar daerah

cukup tinggi. Hal ini dikarenakan, benih dari D.I. Yogyakarta sudah terkenal bagus dan paling

unggul dibandingkan benih dari daerah lainnya. Oleh karena itu, UPT ini hanya melayani benih

di luar daerah untuk penjualan perseorangan saja. Hasil penjualan rata-rata untuk musim tanam

I adalah Rp 54.900.000,- dan Rp 54.300.000, untuk musim tanam II.

Biaya yang dikeluarkan di kebun ini antara lain biaya tenaga kerja untuk penyiangan

dan pemanenan. Biaya tenaga kerja per HOK yaitu Rp 35.000,- untuk tenaga dari warga lokal,

dan Rp 50.000,- untuk tenaga dari luar daerah, biasanya dari wilayah Kecamatan tetangga yaitu

Piyungan-Bantul. Selain tenaga kerja, pembiayaan digunakan untuk melakukan uji

laboratorium dan membeli pupuk kimia (hanya non subsidi) Rp 7.500,- per kilogram.

Page 55: Bab III Retribusi

115

Kendala yang dihadapi oleh UPT ini yaitu keterbatasan tenaga kerja serta penggunaan

pupuk anorganik dengan dosis yang meningkat namun tidak disertai dengan penambahan

pendapatan untuk menyeimbangkan peningkatan kebutuhan tersebut.

4. Kebun Hortikultura Wates (Kabupaten Kulon Progo)

Kebun Hortikultura Wates tergolong kecil karena hanya memiliki luasan lahan 1,5 ha

yang terdiri dari bangunan dan kebun, serta berupa rumah kawat. Kebun ini masih

kekuranganSumber Daya Manusia (SDM), karena hanya memiliki 3 orang (PNS). Masing-

masing berumur 55 tahun, 47 tahun, dan 52 tahun. Sarana yang ada di kebun yaitu rumah jaring

dan pompa diesel 2 unit.

Jenis bibit yang ada di kebun ini adalah jambu Dalhari, durian, manggis. Selain itu, ada

buah naga tetapi belum bisa dibenihkan. Harga masing-masing bibit yaitu jambu Dalhari Rp

34.000 – Rp 50.000/bibit, durian Rp 18.000/bibit, dan manggis Rp 10.000/bibit. Produksi bibit

dari hasil cangkok pohon induk per tahunnya sebanyak 500 bibit. Bibit-bibit tersebut terkadang

ada yang disetor keluar dan ada yang untuk kelompok sendiri.

Permasalahan yang dihadapi antara lain keamanan, ketersediaan air, pencangkokan

jambu, sambung (durian dan manggis), tidak ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pemasaran

dan biaya. Keamanan kebun hortikultura yaitu belum adanya pagar pelindung kebun, walaupun

ada hanya setengah dari luas kebun tersebut, sehingga tak jarang ketika musim buah banyak

hilang dan rusak. Dalam konteks ini ketersediaan air menjadi kendala karena kebun terletak di

pinggir jalan raya sehingga pasokan air banyak digunakan oleh perkantoran dan kebutuhan

rumah tangga, akibatnya pasokan air untuk kebun berkurang. Selain itu, ketika dibuat sumur,

perlu biaya yang banyak karena harus mengebor tanah sampai kedalaman tertentu (melebihi

kedalaman sumur pada umumnya) sampai ke sumber air tanah. Pencangkokan jambu juga

menjadi kendala, karena pohon induk yang dicangkok umurnya sudah tua, sehingga hasil

pencangkokan tidak maksimal. Begitu juga yang terjadi pada sambung durian dan manggis.

Waktu yang digunakan untuk pertumbuhan bibit cangkokan dan sambungan kurang lebih 3

bulan. Akibatnya, bibit tanaman menjadi kekurangan stok sehingga pemasarannya juga

terganggu. Selain karena stok bibit., tupoksi pemasarannya juga tidak ada. Penjualan bibit

masih disekitar Yogyakarta, karena mendapatkan SK Gubernur DIY. Harapan kedepannya

yaitu akan dikembangkan daerah agrowisata.

Page 56: Bab III Retribusi

116

5. Kebun Benih Hortikultura unit Wonocatur

Kebun Benih hortikultura Wonocatur ini terdiri dari luasan lahan kebun seluas 1000 m2

dan 4 gedung yang terdiri dari 1 buah laboratorium dan 3 buah screen house dengan luasan 60

m2, 40 m2, dan 32 m2. Kebun ini hanya dikerjakan oleh 3 orang pekerja, 2 staf laboratorium

yang terdiri dari 1 staf lab dan 1 tenaga harian lepas (THL), serta 1 orang pekerja lepas di kebun

yang bekerja selama setengah hari, namun jika sangat mendesak terkadang sampai sore hari.

Kebun benih ini mengusahakan berbagai komoditas, namun dalam waktu 10 tahun ini

fokus pada produksi bibit pisang. Produksi bibit pisang ini dilakukan secara kultur jaringan

dengan memanfaatkan laboratorium, kemudian dilanjutkan dengan pembesaran di screen

house. Kultur jaringan di laboratorium memerlukan waktu 1 tahun dan dilanjutkan pembibitan

di screen house selama 3 bulan hingga siap tanam. Tingkat kematian bibit paling tinggi saat

dilakukan inisiasi, yaitu mengeluarkan bibit dari botol di kultur jaringan, karena bibit

menyesuaikan dengan lingkungan yang baru. Proses aklimat ini akan menyebabkan kematian

bibit sebesar 20% dari jumlah bibit yang dikeluarkan. Inisiasi dilakukan 4 kali dalam setahun,

yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April.

Dalam 2 tahun terakhir ini, kebun benih ini mampu memproduksi hingga 3000 batang

bibit pisang siap tanam, yang didominasi oleh jenis pisang raja sebesar 30% dan sisanya jenis

pisang ambon, pisang kepok, dan pisang cavendish. Dahulu, banyak jenis pisang yang

diusahakan, namun saat ini jenis pisang yang diusahakan disesuaikan dengan permintaan pasar,

baik perseorangan maupun kelompok. Harga setiap jenis bibit sama, yaitu Rp 4.000,- per

batangnya.

Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas pisang di kebun

benih ini yaitu keberadaan penyakit yang menyerang bibit tanaman pisang, seperti virus dan

bakteri, yang umumnya baru akan terlihat setelah ditanam. Selain itu keterbatasan tenaga kerja

juga menjadi masalah utama dalam pengembangan kebun ini. SDM yang ada saat ini pun masih

belum menguasai teknik pengembangan bibit dengan baik dan benar. Permintaan pasar yang

fluktuatif juga terkadang menjadi hambatan, apalagi jika dikerjakan dengan tenaga ahli yang

jumlahnya sangat terbatas.

Pembiayaan selama ini berasal dari pemerintah yang digunakan untuk operasional

kebun, seperti penyediaan bahan-bahan untuk kultur jaringan, perawatan kebun, dan lain

sebagainya. Kesulitan terbesar yaitu dalam mendapatkan bahan kimia untuk kultur jaringan itu

tadi, karena harganya sangat mahal dan harus pesan terlebih dahulu jauh hari sebelum

digunakan.

Page 57: Bab III Retribusi

117

Kebun benih ini sebenarnya sangat prospektif jika dikembangkan, akan tetapi jika akan

dikembangkan, konsekuensinya adalah tidak ada lahan untuk memperluas dan keterbatasan

tenaga kerja itu tadi. Jika kebun ini ditargetkan menjadi PAD, seharusnya anggaran untuk

operasionalnya juga turut dinaikkan.

Bibit Pisang Kultur Jaringan

Bibit Hortikultura

6. Kebun Hortikultura Ngipiksari Sleman

BPTPH Ngipiksari memiliki luas lahan 4 hektar yang terdiri dari bangunan, kebun

buah, kebun tanaman hias, dan 2 hektar kebun sayur. BPTPH ini memiliki 19 staf, 7 orang staf

administrasi dan 12 staf lainnya di bidang hortikultura, yaitu terdiri dari 3 orang di Tambak, 2

orang di Wonocatur, dan 7 orang di Ngipiksari.

Komoditas yang diusahakan di BPTPH ini adalah benih tanaman cabai, tomat, tanaman

hias, serta bibit pohon buah, seperti buah kelengkeng, jambu kristal, jambu dalhari, alpukat,

dan buah sirsat. Target produksi untuk tanaman cabai dan tomat yaitu 70 kg per hektar dan

tanaman yang lain tidak ada target setiap musim tanamnya. Target lainnya yaitu BPTPH

memiliki keinginan untuk memperluas lahan penanaman di daerah kering, lahan kritis, dan

tanah pasir berbatu. Benih dan bibit yang diproduksi selama ini dibeli oleh masyarakat dari luar

daerah serta menyediakan permintaan bantuan dari mahasiswa KKN, PKK, dan SD untuk

percontohan atau mendukung program-program yang akan dilaksanakan.

Penanaman tanaman sayuran yang membutuhkan banyak air menjadi permasalahan

utama, karena selokan yang melewati daerah ini debitnya sangat kecil sehingga memanfaatkan

keberadaan ‘tuk’ atau sumber mata air yang dialirkan menggunakan pipa bawah tanah.

Permasalahan yang dihadapi oleh BPTPH selain ketersediaan air yang masih terbatas

yaitu sarana produksi yang terbatas dan beberapa diantaranya sudah tua, sulitnya akses untuk

Page 58: Bab III Retribusi

118

membeli suku cadang, permintaan pasar yang sulit dipenuhi, sulitnya melakukan promosi di

pameran-pameran, serta sulitnya menjual benih dalam bentuk sachet karena harus memiliki

mitra bisnis. Sebelumnya BPTPH bermitra dengan perusahaan penangkar benih yaitu PT Sang

Hyang Sri (SHS), namun kini kerjasama kemitraan sudah terhenti.

7. Kebun Palawija Gading Gunung Kidul

BPPTPH Unit Gading berada di Nglipar, Wonosari. Luas lahan yang dimiliki seluas 7

ha termasuk kantor. Lahan produktif seluas 6 ha dengan produksi benih jagung, kedelai, kacang

tanah dan kacang hijau. Penanaman disesuaikan dengan petani, BPPTPH akan menanam lebih

dahulu sehingga penanaman bisa seragam. Kelas benih yang diproduksi BPPTPH Gading

adalah Benih Dasar dan Benih Pokok. Merupakan lahan kering, pada musim kemarau BPPTPH

menggunakan sumur bor dengan kapasitas 2 liter per detik untuk mengairi 3 ha.

BPPTPH Gading memiliki 9 PNS, 2 PTT (termasuk 1 PTT di BPPTPH Kedungpoh)

dan 3 THL. THL masih kurang dalam kualifikasinya. BPPTPH Gading memiliki laboratorium

namun tidak memiliki operator untuk operasional laboratorium. Ada 2 gudang yang tersedia di

BPPTPH Gading yang salah satunya sudah memiliki ruangan cold storage untuk penyimpanan

benih yang berkapasitas 10 Ton. Cold storage akan memberikan ketahanan terhadap daya

simpan benih dengan pengaturan kelembaban dan suhu. Selain itu, BPPTPH memiliki 3 lantai

jemur dengan luas masing-masing 200-250-250 m2. BPPTPH Gading memerlukan fasilitas

demplot untuk mengenalkan varietas baru. Pengenalan varietas baru perlu dilakukan untuk

menambah nilai penjualan benih BPPTPH Gading yang khusus memproduksi benih palawija.

BPPTPH Gading tidak memiliki tenaga pemasaran sehingga untuk penjualan benih masih

kurang. Saat ini BPPTPH Gading sedang dalam masa pembangunan tembok pembatas untuk

menanggulangi pencurian yang sering terjadi.

Pengemasan Benih Kedele

Pelabelan benih kedele

Page 59: Bab III Retribusi

119

8. Kebun Palawija Kedungpoh Gunung Kidul

BPPTPH Unit Kedungpoh merupakan UPTD yang terintegrasi dengan BPPTPH Unit

Gading. BPPTPH Kedungpoh memiliki lahan dengan luas total 1,5 ha dengan peruntukan

produksi benih jagung dan kacang tanah. Lahan yang produktif hanya seluas 1 ha dan

keseluruhan merupakan lahan tadah hujan. Penanaman untuk produksi benih dilakukan setelah

ada hujan. Kebun produksi benih belum dipagari sehingga rawan untuk pencurian, selain itu

juga rawan terjadinya kontaminasi dengan tanaman lain yang ditanam oleh petani yang

sekawasan dengan lahan BPPTPH Kedungpoh. Air untuk budidaya merupakan air yang

digunakan bersama warga. Lahan yang dimiliki merupakan lahan berteras dan perlu untuk

ditata dengan alat berat yang masih belum bisa ditata sampai sekarang. BPPTPH Kedungpoh

berencana untuk melakukan penataan lahan sehingga lahan dapat dimanfaatkan lebih baik.

BPPTPH Kedungpoh hanya memiliki 1 PTT yang bertanggungjawab atas produksi dan

gudang. Fasilitas yang ada di BPPTPH Kedungpoh berupa 1 unit gudang. Traktor yang

digunakan merupakan traktor yang didatangkan dari BPPTPH Gading. Pelaksanaan

pengarapan lahan dengan tenaga luar sebesar Rp 50.000,00 untuk cangkul dan Rp 40.000,00

untuk mendangir. BPPTPH Kedungpoh memiliki 1 lantai jemur namun dalam kondisi yang

tidak bisa digunakan.

Page 60: Bab III Retribusi

120

B. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP)

BPSBP bertugas untuk melakukan sertifikasi terhadap benih yang akan dilepas di

pasaran. BPSBP berkantor di Kompleks Dinas Pertanian DIY. Target sertifikasi yang

dibebankan kepada BPSBP sebesar 1650 ha untuk APBN dan 100 ha untuk APBD (PAD).

BPSBP melakukan sertifikasi dengan beberapa tahapan proses, yaitu :

1. Pendahuluan

2. Fase Vegetatif

3. Fase Generatif

4. Panen

5. Pemeriksaan Gudang

6. Uji Lab

7. Pelabelan (setelah lolos uji lab)

Pelaksanaan sertifkasi dilakukan sesuai urutan dan memakan waktu kurang lebih 14

hari, apabila pada salah satu tahapan tidak lolos maka proses tidak dilanjutkan. Proses

pembayaran dilakukan setelah label keluar dan apabila tidak lolos maka tidak ada pembebanan

pembayaran untuk membayar proses yang sudah dilakukan. Harga label sertifikat benih Rp

600 per label dengan hasil mencapai 800 label benih. Dulu masih ada penerbitan Surat

Keterangan Produsen Benih dengan biaya pembuatan baru Rp 50.000,00 dan biaya

perpanjangan Rp 25.000,00, namun saat ini sudah menjadi wewenang Kota/Kabupaten

sehingga potensi pendapatan BPSBP berkurang akibat wewenang penerbitan Surat Keterangan

Produsen Benih dibebankan kepada Kota/Kabupaten. Laboratorium yang dimiliki untuk Uji

Lab Benih yang akan disertifikat sudah memiliki akreditasi. Kendaraan operasional yang

dimiliki kurang dapat dimanfaatkan karena tidak ada biaya operasional.

Sumber Daya Manusia yang dimiliki sejumlah 30 orang pengawas benih dengan rincian

20 orangaktif dan sisanya sebagian besar sudah pensiun. 20 orang pengawas benih yang aktif

13 diantaranya petugas lapangan dan 7 sisanya bertugas di laboratorium uji. Sumber Daya

Manusia masih dirasa kurang karena terbatas dan kurang bisa memfasilitasi produsen benih

dan sebagian besar sudah pensiun. Operasional tenaga lapangan juga terbatas karena kendaraan

operasional yang dimiliki tidak memiliki biaya operasional yang cukup.

Pemeriksaan lapangan yang sudah dilakukan BPSBP sejumlah 350 ha padahal anggaran

yang ada hanya untuk 100 ha. Pendapatan Asli Daerah yang dibebankan tiap tahunnya naik

namun dengan retribusi yang rendah. Kekurangan anggaran pada pemeriksaan 350 ha yang

Page 61: Bab III Retribusi

121

seharusnya 100 ha diambilkan dari anggaran Pendapatan Negara Bukan Pajak sertifikasi 1650

ha.

BPSBP masih memerlukan tambahan Sumber Daya Manusia untuk memperbaiki

kinerja yang saat ini hanya berisikan 20 orang yang aktif dengan total keseluruhan 30 orang

yang sebagian besarnya sudah pensiun, kaitannya dengan pelaksanaan pemeriksaan lapangan

yang mengakomodasi keseluruhan DIY. Pembebanan biaya sertifikasi bisa dilakukan tiap

tahap pemeriksaan sehingga tetap ada pemasukan, namun saat ini biaya sertifikasi baru

dibayarkan ketika label sudah jadi. Lahan yang terhenti pada fase sebelum label jadi tidak ada

pembebanan biaya.

Lab Pengujian

Lab Pengujian dan Sertifikasi

C. Balai Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSDMP)

BPSDMP merupakan salah satu UPTD milik Dinas Pertanian DIY yang

menyelenggarakan pelatihan baik untuk Petani, Mantri Tani, Penyuluh maupun pihak-pihak

terkait. BPSDMP memiliki lahan seluas 4500 m2 yang berisi gedung kantor, ruang pertemuan

serta asrama. Sebagai sarana pelatihan, BPSDMP memerlukan lahan yang melekat dengan

lokasi kompleks BPSDMP minimal seluas 2 Ha, namun saat ini belum tersedia. Lahan tersebut

diperuntukkan sebagai sarana pelatihan baik pertanian, peternakan, perikanan maupun

perkebunan. Sarana yang belum tersedia adalah perpustakaan serta fasilitas olahraga. Sumber

air yang berasal dari sawah tidak bisa digunakan untuk air minum, sehingga ketersediaan air

tebatas, BPSDMP sudah mengajukan untuk pengadaan PAM namun masih belum jelas.

Pelatihan di BPSDMP dapat dilaksanakan hingga 5 kelas per bulan. Pelaksanaan

pelatihan efektif berlangsung selama 10 bulan dengan sekitar 6 kelas pada bulan Maret sampai

Page 62: Bab III Retribusi

122

November. Fasilitas kelas masih dirasa kurang karena masih ada 2 ruang kelas yang belum

menggunakan AC. Ruang makan yang tersedia dapat digunakan untuk 60 orang yang juga

belum berfasilitas AC. Fasilitas AC masih belum bisa dipenuhi karena listrik yang tersedia di

BPSDMP masih kurang daya dan sudah direncanakan untuk ditambah dayanya. Beberapa

pelatihan pernah dibatalkan karena permasalahan air dan AC. Penggunaan lahan untuk

pelatihan biasanya melakukan kerja sama dengan instansi lain seperti KP4 UGM. Gedung

kantor masih belum dilengkapi dengan tralis untuk keamanan karena lokasi kantor

berdampingan dengan sawah yang rawan pencurian. Beberapa komputer untuk operasional

merupakan komputer lama yang kurang layak untuk digunakan

SDM yang tersedia saat ini berjumlah 39 orang, namun berdasarkan SK Gubernur

seharusnya berisi 42 orang. BPSDMP masih kekurangan 4–6 orang untuk jabatan fungsional.

D. Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP)

Balai Proteksi Tanaman Pertanian berlokasi di Gesikan, Bantul. Bertugas untuk

melakukan sosialiasi PHT melalui SLPHT dan pembuatan agensia hayati untuk menunjang

pelaksanaan SLPHT. Laboratorium yang dimiliki berjumlah empat laboratorium untuk

memproduksi agensia hayati antara lain. BPTP juga memiliki Laboratorium baru yang akan

berfungsi sebagai laboratorium uji residu pestisida. BPTP melaksanakan SLPHT untuk petani

sebagai Institusi Pelayanan. BPTP mendampingi petani untuk melakukan PHT.

Laboratorium Produksi Agen Hayati memproduksi Agensia Hayati yang akan dilepas

ke pasaran dengan harga Rp 5.000,00 per kemasan. Agensia Hayati hanya bisa dibeli melalui

kelompok yang sudah mendapatkan surat rekomendasi dari POPT. Produksi Agensia Hayati

yang dilakukan BPTP sebenarnya hanya produksi starter yang kemudian akan diproses oleh

Kelompok Tani binaan sehingga menjadi produk siap pakai, namun BPTP memproduksi

agensia hayati siap pakai.

Alat operasional yang dimiliki untuk produksi agensia hayati cukup lengkap.

Keberadaan Laboratorium Uji Residu Pestisida menjadi salah satu potensi yang harus segera

ditindaklanjuti. Belum ada SDM yang bertugas secara khusus di Laboratorium Uji Residu

Pestisida. Potensi penggunaan sangat besar karena akan menjadi pelengkap sebagai jaminan

mutu pangan. Alat-alat sudah tersedia namun belum dipindah ke gedung laboratorium karena

gedung baru saja jadi dan belum ada SDM yang bertanggungjawab atas pengoperasionalan

laboratorium.

Page 63: Bab III Retribusi

123

BPTP memiliki 8 PNS dengan 4 orang berkualifikasi S1 sebagai fungsional POPT.

Selain itu juga tersebar THL POPT yang berada di Kecamatan. BPTP sudah memiliki sertifikat

ISO untuk Manajemen Pelayanan, namun BPTP merasa masih kurang memiliki wewenang ke

dalam untuk melakukan pengembangan sesuai dengan kondisi yang dikehendaki. BPTP masih

berada di bawah Seksi sehingga masih terbatas untuk melakukan pengembangan.

Laboratorium Pengujian

Peralatan Pengujian Residu Pestisida

3.3.2. Sub Sektor Peternakan

PAD sub-sektor peternakan di DIY secara umum dihasilkan oleh Dinas Pertanian DIY.

Unit penghasil PAD sub-sektor peternakan di Dinas Pertanian DIY adalah Unit Pelaksana

Teknis Dinas Balai Pengembangan Bibit, Pakan Ternak dan Diagnostik Kehewanan (UPTD

BPBPTDK). UPTD BPBPTDK merupakan penggabungan 2 (dua) UPTD yaitu: UPTD BDK

(Balai Diagnostik Kehewanan) yang berlokasi di Sumberagung, Kecamatan Jetis,

Kabupaten Bantul dan UPTD BPMBPT (Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan

Ternak) yang berlokasi di Sumedang, Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten

Sleman. Struktur organisasi UPTD BPBPTDK terdiri dari kepala balai, sub-bagian tata

usaha, dan 2 seksi yaitu Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit, dan Pakan Ternak dan

Seksi Diagnostik Kehewanan.

UPTD BPBPTDK bertugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Pertanian di bidang

pengembangan bibit, pakan ternak dan diagnostik kehewanan. Secara rinci , dalam

melaksanakan tugas tersebut, UPTD BPBPTDK memiliki fungsi antara lain: (1) Penyusunan

Page 64: Bab III Retribusi

124

program balai, (2) Pengembangan semen, (3) Pengembangan pakan ternak; (4)

Pengembangan ternak bibit, (5) Pelaksanaan diagnosa dan surveilans, (6) Pengendalian

mutu produk asal hewan, (7) Penyelenggaraan ketatausahaan, dan (8) Pelaksanaan evaluasi

dan penyusunan laporan program balai, (8) Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan

program balai, dan (8) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan

tugas dan fungsinya. Berdasarkan tugas-tugas tersebut, fungsi dan layanan yang diemban

oleh UPTD UPTD BPBPTDK akan diperoleh berbagai sumber penerimaan, sebagai

pendapatan asli daerah sub-sektor peternakan.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, UPTD BPBPTDK dilengkapi dengan sarana

prasarana sebagai berikut:

1. Kantor pelayanan pusat;

2. Laboratorium Kesmavet;

3. Laboratorium Keswan;

4. Ruang Pengujian Laboratorium Kesmavet;

5. Ruang Pengujian Laboratorium Keswan;

6. Ruang pemrosesan semen beku;

7. Kebun HPT seluas kurang lebih 9 Ha (di 4 lokasi: Sumedang, Kaliurang, Ngepas, dan

Barongan);

8. Ternak Bull, sapi perah, sapi potong, kambing, dan domba;

9. Kendaraan operasional, baik roda 2, roda 4, maupun roda 6;

10. Sarana penunjang (komputer, telepon, internet, dll.).

Pelayanan yang diberikan oleh UPTD BPBPTDK adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan Laboratorium Kesmavet

a. Pengujian formalin terhadap pangan asal hewan,

b. Pemalsuan daging,

c. Pengujian cemaran mikroba pada daging, susu dan telur,

d. Pengujian residu pada daging, susu dan telur,

e. Pengujian daging ayam bangkai, dan

f. Pengujian daging sapi glonggongan.

2. Kegiatan Laboratorium Keswan

a. Pengujian penyakit tuberculosis,

b. Pengujian helmintiasis gastrointestinae,

c. Pengujian parasit darah,

d. Patologi ternak,

Page 65: Bab III Retribusi

125

e. Pengujian titer antibodi Al & ND

f. Pengujian IBR pada sapi,

g. Pengujian paratuberculosis pada sapi,

h. Pengujian pullorum ayam,

i. Pengujian RBT sapi perah, dan

j. Pengujian Toxoplasma pada ternak.

3. Pengembangan Bibit Ternak

a. Pengembangan bibit ternak sapi perah,

b. Pengembangan bibit ternak sapi potong, dan

c. Pengembangan bibit ternak kambing / domba.

4. Pengembangan Semen Beku

a. Semen beku sapi simental,

b. Semen beku sapi limosin, dan

c. Semen Bbeku sapi PO/Brahman.

5. Pengembangan Hijauan Pakan Ternak (HPT) :

a. Rumput (King grass, Kolonjono, Sertaria)

b. Legumenosa (Kaliandra, Kleresede, Lamtoro)

Dari uraian tersebut di atas, UPTD BPBPTDK disamping memberikan pelayanan aktif

kepada masyarakat dengan jenis pelayanan pengujian, penyediaan bibit ternak dan semen beku

dan HPT, juga menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang obyek pendapatan utamanya

didukung dari pengembangan bibit ternak sapi perah karena disamping menghasilkan pedet

juga menghasilkan susu sapi. Obyek yang lain bersumber dari hasil pengujian laboratorium

kesehatan hewan dan pengujian laboratorium Kesmavet dan penjualan semen beku.

Penarikan PAD di UPTD BPBPTDK diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12

Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan

Gubernur Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif Retribusi Jasa Usaha. Retribusi jasa

usaha di UPTD BPBPTDK terdiri atas retribusi pemakaian kekayaan daerah (jasa pemeriksaan

dan pengujian penyakit hewan) dan retribusi penjualan produksi usaha daerah khususnya

penjualan ternak dan hasil ternak (susu sapi, pedet sapi perah, sapi potong, sapi afkir, kambing

afkir, semen beku sapi, pedet sapi potong, dan cempe). Dari sumber-sumber penerimaan

tersebut, UPTD BPBPTDK mengklasifikasikannya menjadi dua yaitu PAD yang bersifat tetap

dan tidak tetap. PAD yang bersifat tetap di UPTD BPBPTDK terdiri dari penjualan susu sapi

perah, penjualan pedet sapi perah, penjualan pedet sapi potong, penjualan cempe kambing

domba, penjualan semen beku dan pengujian pullorum, sedangkan PAD yang bersifat tidak

Page 66: Bab III Retribusi

126

tetap terdiri dari pengujian kesmavet, pengujian RBT test, pengujian HI/AI, penjualan sapi

potong afkir, penjualan sapi perah afkir, dan penjualan kambing dan domba afkir.

Menurut UPTD BPBPTDK, sumber PAD yang diklasifikasikan bersifat tetap adalah

berdasarkan sifatnya yang setiap bulan atau setiap tahun dikerjakan dan menghasilkan

pendapatan, sedangkan PAD diklasifikasikan tidak tetap berdasarkan pada PAD yang setiap

bulan atau setiap tahun tidak selalu dapat menghasilkan pendapatan. Sebagai contoh, PAD

yang sifatnya pengujian (pengujian Kesmavet, HI/AI test dan RBT test) sangat ditentukan oleh

kesadaran dan kepentingan masyarakat. Laboratorium bersikap ‘statis’, namun telah

melakukan sosialisasi arti pentingnya nilai pengujian. Pengujian Kesmavet ke depan, dengan

berlangsungnya pasar bebas ASEAN (MEA) yang berlaku mulai tahun 2015 akan sangat

dibutuhkan karena barang yang beredar di pasar bebas keamanan pangan harus dibuktikan

dengan hasil pengujian dari laboratorium. Penjelasan rinci mengenai unit penghasil PAD dan

sumber penerimaannya adalah sebagai berikut:

A. Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Bibit, Pakan Ternak dan

Diagnostik Kehewanan (UPTD BPBPTDK)

Seperti telah diuraikan pada awal bab III bahwa UPTD BPBPTDK merupakan

penggabungan dua UPTD yaitu: UPTD BDK (Balai Diagnostik Kehewanan) dan UPTD

BPMBPT (Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak). Struktur penerimaan PAD

yang berasal dari UPTD BPBPTDK terdiri atas retribusi pemakaian kekayaan daerah seperti

pengujian pullorum dan pengujian HI/AI, sedangkan retribusi penjualan produksi usaha daerah

diantaranya penjualan ternak (pedet sapi perah, pedet sapi potong, cempe kambing/domba sapi

potong afkir, sapi perah afkir, dan domba/kambing afkir) dan hasil ternak (susu sapi perah dan

semen beku).

Selama periode 2008-2013, target PAD yang dibebankan kepada UPTD BPBPTDK

mengalami peningkatan yang signifikan dari Rp71.233.500 pada tahun 2008 menjadi

Rp312.150.000 pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan target PAD yang dibebankan selama

periode tersebut adalah sebesar 60,46% per tahun dengan pertumbuhan target tertinggi terjadi

pada tahun 2010 yaitu sebesar 283,02% (dari Rp70.950.000 pada tahun 2009 menjadi

Rp271.750.000). Mengikuti pola target yang dibebankan, realisasi penerimaan PAD yang

berasal dari UPTD BPBPTDK juga mengalami peningkatan yang signifikan dari Rp71.233.500

pada tahun 2008 menjadi Rp352.940.800 pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan realisasi

penerimaan PAD adalah sebesar 55,80% per tahun dengan pertumbuhan realisasi penerimaan

tertinggi juga terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 215,39% (dari Rp84.168.050 pada tahun

Page 67: Bab III Retribusi

127

2009 menjadi Rp265.460.170). Pada tahun 2013, realisasi penerimaan PAD di UPTD

BPBPTDK mengalami penurunan sebesar 5,80% dari sebelumnya Rp374.683.238 pada tahun

2012 (realisasi penerimaan tertinggi). Jika dilihat dari rasio antara target dan penerimaan PAD

selama periode 2008-2013, hanya pada tahun 2010 dan 2011, UPTD BPBPTDK tidak mampu

merealisasikan target PAD yang dibebankan dengan persentase masing-masing sebesar 97,69%

dan 97,30% (Gambar 3.10).

Gambar 3.10.

Target dan Realisasi Penerimaan PAD UPTD BPBPTDK, 2008-2013

Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)

Lalu berapa sumbangan dari masing-masing sumber penerimaan PAD tersebut?

Sebagai contoh adalah rincian penerimaan PAD pada tahun 2013, sumber penerimaan PAD

terbesar berasal dari penjualan susu sapi perah yaitu sebesar Rp186.890.800, diikuti penjualan

semen beku sebesar Rp77.200.000, dan penjualan pedet sapi perah sebesar Rp44.400.000 .

Untuk pedet sapi potong dan cempe, nilai penjualan pada tahun 2013 adalah sebesar

Rp20.425.000, sedangkan nilai penjualan induk afkir (sapi perah dan kambing/domba) adalah

sebesar Rp16.575.000. Retribusi pemakaian kekayaan daerah yang berasal dari UPTD

BPBPTDK pada tahun 2013 adalah sebesar Rp7.450.000 yang terdiri atas pengujian pullorum

sebesar Rp4.500.000 dan pengujian HI/AI sebesar Rp2.950.000. Jika sumber penerimaan PAD

diklasifikasikan menurut internal UPTD BPBPTDK, maka penerimaan PAD yang bersifat

100.00

118.63

97.69 97.30

121.51

113.07

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

-

50,000,000

100,000,000

150,000,000

200,000,000

250,000,000

300,000,000

350,000,000

400,000,000

2008 2009 2010 2011 2012 2013

(%)

Ru

pia

h

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 68: Bab III Retribusi

128

tetap adalah sebesar Rp305.900.000, sedangkan penerimaan PAD yang bersifat tidak tetap

sebesar Rp6.250.000.

Gambar 3.11.

Sumber Penerimaan PAD di UPTD BPBPTDK, 2013 (Persen)

Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)

1. Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit dan Pakan Ternak

Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit, dan Pakan memiliki tugas untuk

melaksanakan pengembangan semen, ternak bibit, dan pakan ternak. Seksi Pengembangan

Semen, Ternak Bibit, dan Pakan berkedudukan di Jalan Palagan Tentara Pelajar Km 15,

Sumedang, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Sumber penerimaan

PAD yang berasal dari Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak terdiri atas

penjualan pedet sapi perah, susu sapi perah, dan semen beku. Pada tahun 2013, penerimaan

PAD di Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak yang berasal dari penjualan susu

sapi perah adalah sebesar Rp186.890.800 (61%), penjualan semen beku sebesar Rp77.200.000

(25%), dan penjualan pedet sapi perah sebesar Rp44.400.000 (14%).

Susu Sapi Perah53%

Pedet Sapi Perah13%

Pedet Sapi potong3%

Cempe Kambing /Domba

2%

Semen Beku22%

Pengujian Pullorum1%

Pengujian HI/AI1%

Afkir Sapi Perah4%

Afkir Kambing /Domba

1%

Page 69: Bab III Retribusi

129

Gambar 3.12.

Target dan Realisasi Penerimaan PAD

Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak, 2008-2013

Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)

Peningkatan target dan realisasi penerimaan PAD yang berasal dari Balai

Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak memiliki pola yang sama dengan UPTD

BPBPTDK dimana hal tersebut terjadi karena Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan

Ternak merupakan kontributor terbesar PAD di UPTD BPBPTDK. Selama periode 2008-2013,

target PAD yang dibebankan kepada Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak

mengalami peningkatan yang signifikan dari Rp31.758.500 pada tahun 2008 menjadi

Rp281.400.000 pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan target PAD yang dibebankan selama

periode tersebut adalah sebesar 131,68% per tahun dengan pertumbuhan target tertinggi terjadi

pada tahun 2010 yaitu sebesar 633,44% (dari Rp31.700.000 pada tahun 2009 menjadi

Rp2321.500.000). Mengikuti pola target yang dibebankan, realisasi penerimaan PAD yang

berasal dari Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak juga mengalami peningkatan

yang signifikan dari Rp31.758.500 pada tahun 2008 menjadi Rp308.490.800 pada tahun 2013.

Rata-rata pertumbuhan realisasi penerimaan PAD adalah sebesar 98,66% per tahun dengan

pertumbuhan realisasi penerimaan tertinggi juga terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 403,56%

(dari Rp44.918.050 pada tahun 2009 menjadi Rp226.187.170). Pada tahun 2013, realisasi

penerimaan PAD di Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak mengalami penurunan

100.00

141.70

97.28 96.58

118.69 109.63

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

-

50,000,000

100,000,000

150,000,000

200,000,000

250,000,000

300,000,000

350,000,000

400,000,000

2008 2009 2010 2011 2012 2013

(%)

Ru

pia

h

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 70: Bab III Retribusi

130

sebesar 9,08% dari sebelumnya Rp339.283.238 pada tahun 2012 (realisasi penerimaan

tertinggi). Jika dilihat dari rasio antara target dan penerimaan PAD selama periode 2008-2013,

hanya pada tahun 2010 dan 2011, Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak tidak

mampu merealisasikan target PAD yang dibebankan dengan persentase masing-masing sebesar

97,28% dan 96,58%.

2. Seksi Diagnostik Kehewanan

Seksi Diagnostik Kehewanan memiliki tugas untuk melaksanakan diagnosa dan

surveilans, serta pengendalian mutu produk asal hewan. Laboratorium Diagnostik Kehewanan

berkedudukan di Barongan, Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Sumber

penerimaan PAD yang berasal dari Seksi Diagnostik Kehewanan sesungguhnya hanya berasal

dari pengujian pullorum dan HI/AI. Namun karena Laboratorium Diagnostik Kehewanan

berada di Barongan dan di tempat tersebut terdapat pembibitan kambing/domba, sapi potong,

dan sapi perah, maka penerimaan PAD yang berasal dari penjualan ternak tersebut dimasukkan

ke dalam penerimaan PAD yang berasal dari Laboratorium Diagnostik Kehewanan.

Penerimaan PAD yang berasal dari pengujian pullorum dan HI/AI pada tahun 2013 adalah

sebesar Rp7.450.000, sedangkan penjualan ternak baik anakan maupun afkir secara

keseluruhan adalah sebesar Rp37.000.000.

Selama periode 2008-2013, target PAD yang dibebankan kepada Laboratorium

Diagnostik Kehewanan cenderung mengalami penurunan dengan tingkat penurunan target per

tahun sebesar 1,32%. Target PAD yang dibebankan kepada Laboratorium Diagnostik

Kehewanan pada tahun 2008 adalah sebesar Rp39.475.000 dan mengalami penurunan hingga

tahun 2012 menjadi sebesar Rp22.500.00, kemudian target PAD kembali mengalami

peningkatan sebesar 36,67% menjadi Rp30.750.000. Realisasi penerimaan PAD yang berasal

dari Laboratorium Diagnostik Kehewanan cenderung fluktuatif walaupun secara umum dapat

dikatakan mengalami peningkatan. Realisasi penerimaan PAD pada tahun 2008 adalah sebesar

Rp39.475.000, kemudian mengalami penurunan menjadi RP23.400.000, meningkat pada tahun

2012 menjadi Rp35.400.000, dan pada tahun 2013 meningkat kembali menjadi Rp44.450.000

(realisasi penerimaan PAD tertinggi). Berbeda dengan target yang mengalami penurunan,

realisasi penerimaan PAD di Laboratorium Diagnostik Kehewanan tumbuh positif dengan rata-

rata pertumbuhan per tahun sebesar 7,18%. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi

penerimaan PAD, Laboratorium Diagnostik Kehewanan selalu mencapai target yang

dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 157,33%

(target sebesar Rp22.500.000 dan realisasi penerimaan sebesar Rp35.400.000). Target dan

Page 71: Bab III Retribusi

131

realisasi penerimaan PAD di Laboratorium Diagnostik Kehewanan dapat dilihat pada Gambar

3.13.

Gambar 3.13.

Target dan Realisasi Penerimaan PAD

Laboratorium Diagnostik Kehewanan, 2008-2013

Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)

3.4. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral

Beberapa objek yang dijadikan sumber penerimaan hingga saat ini oleh Dinas PUP-

ESDM ini antara lain:

a. Balai PIPBPJK (Pengujian, Informasi Pemukiman dan Bangunan, dan

Pengembangan Jasa Konstruksi)

b. Penjualan drum bekas

c. Wisma PU di Kaliurang

Selain ketiga objek di atas terdapat satu lagi objek yang potensial jika dijadikan sebagai objek

pendapatan yakni Balai Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Balai IPAL saat ini belum

menjadi objek pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

100.00 100.00 100.06 104.00

157.33

144.55

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

180.00

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

35,000,000

40,000,000

45,000,000

50,000,000

2008 2009 2010 2011 2012 2013

(%)

Ru

pai

h

Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)

Page 72: Bab III Retribusi

132

Dalam laporan ini akan dijelaskan mengenai analisis potensi pendapatan pada Dinas

PUP-ESDM yang terdiri dari beberapa objek pendapatan, yakni pada Balai PIPBPJK dan

Wisma PU di Kaliurang. Penjualan drum bekas tidak akan dianalisis pada laporan ini karena

pendapatan dari penjualan drum bekas ini tidak rutin dan besaran PAD-nya sangat kecil bila

dibandingkan dengan objek pendapatan lainnya. Sementara itu, pada laporan ini akan

ditambahkan uraian mengenai Balai IPAL sebagai objek pendapatan yang potensial.

3.4.1. Balai PIPBPJK (Pengujian, Informasi Pemukiman dan Bangunan, dan

Pengembangan Jasa Konstruksi)

Balai Pengujian, Informasi Pemukiman dan Bangunan, dan Pengembangan Jasa

Konstruksi (PIPBPJK) merupakan salah satu unit kerja yang dimiliki oleh Dinas PUP-ESDM

yang bertugas untuk mewujudkan sistem pengendalian dan jaminan mutu, penyampaian

informasi permukiman dan bangunan serta pembinaan jasa konstruksi. Balai PIPBPJK ini

terletak di Jalan Ringroad Utara, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Untuk memenuhi target

pendapatan, balai ini memiliki sumber-sumber pendapatan yakni Laboratorium PIPBPJK dan

peminjaman gedung yang berada di Jalan Kenari. Gambar 3.14 menunjukkan target dan

realisasi penerimaan pendapatan pada Balai PIPBPJK ini.

Gambar 3.14.

Target dan Realisasi Pendapatan Balai PIPBPJK, 2012-2013

-

50

100

150

200

250

300

350

2012 2013

Pen

dap

ata

n (

Ru

pia

h)

Ju

ta

Target

Realisasi

Page 73: Bab III Retribusi

133

Laboratorium BPIPBPJK dibagi menjadi dua laboratorium fisika dan laboratorium

kimia. Pada laboratorium fisika, pengujian yang dilakukan berkaitan dengan pengujian bahan

bangunan, aspal, dan tanah, sedangkan laboratorium kimia melakukan pengujian yang

berkaitan dengan mutu air. Laboratorium kimia memiliki delapan orang analis (baik PNS

maupun Non-PNS), sedangkan laboratorium fisika memiliki sembilan orang laboran (baik PNS

maupun Non-PNS). Beberapa peralatan yang dimiliki oleh Laboratorium BPIPBPJK ini antara

lain incubator BOD, turbidity meter, spectro portable, pH meter, oven, mesin tekan beton,

ayakan, timbangan, CBR test, mesin Los Angeles, dan sebagainya.

Beberapa pengujian yang dilakukan pada laboratorium fisika dan laboratorium kimia

tercantum dalam Tabel 3.12 dan Tabel 3.13.

Tabel 3.12.

Daftar Pengujian pada Laboratorium Fisika

Laboratorium Fisika

Berat jenis agregat kasar Kepadatan ringan Kepipihan agregat

kasar

Berat jenis agregat halus Kuat tekan kubus mortar Core drill lapangan

Kepadatan berat Kelekatan agregat terhadap

aspal Hasil core drill

CBR laboratorium Titik nyala dan titik bakar Ekstraksi

Berat isi agregat Penetrasi bahan aspal Sand cone

Pembuatan dan perawatan benda

uji beton

Kehilangan berat minyak dan

aspal Hammer test

Kuat tekan silinder beton Berat jenis aspal padat CBR lapangan

Sand equivalent Daktilitas Sondir

Campuran aspal dengan alat

Marshall Titik lembek

Analisis saringan tanah Keausan agregat dengan mesin

abrasi

Berat jenis tanah Tes soundness

Tabel 3.13.

Daftar Pengujian pada Laboratorium Kimia

Laboratorium Kimia

Suhu Permanganat Timbal

pH Detergen Total Colyform

Daya hantar listrik Phenol Bakteri Coly tinja

Residu terlarut Phosphat Bau

Residu tersuspensi Sianida Kekeruhan

Page 74: Bab III Retribusi

134

Laboratorium Kimia

Oksigen terlarut Minyak dan lemak Kesadahan

BOD Fe Klorida

COD Mangan Rasa

Klorin bebas Cadmium TDS

Nitrat Seng TSS

Nitrit Chrom hexavalent Natrium

Fluorida Tembaga Krom total

Sulfat Salinitas Nikel

Sulfida Warna

Amoniak Boron

Sementara itu, beberapa fasilitas yang ditawarkan pada penggunaan gedung, antara

lain:

- Penggunaan gedung untuk kegiatan komersil

- Sewa sound system

- Overhead LCD

- Memasang spanduk outdoor

Page 75: Bab III Retribusi

135

Gambar 3.15.

Beberapa Peralatan Laboratorium BPIPBPJK

(a) (b) (c)

(d)

Keterangan: (a) mesin uji tekan; (b) oven; (c) mesin uji CBR; dan (d) kendaraan untuk

pelatihan konstruksi keliling.

Tarif terhadap jasa yang disediakan, baik pengujian di Laboratorium BPIPBPJK

maupun penggunaan gedung dapat dilihat pada Tabel 3.14 dan Tabel 3.15 berikut. Tarif

tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun

2011.

Tabel 3.14.

Tarif Perda untuk Laboratorium BPIPBPJK

No. Nama Pengujian Satuan

Pemakaian

Tarif (Rupiah)

DIY Jawa

Tengah*

Th. 2011 Th. 2011

1 Analisa Saringan Agregat Sampel 13.500 43.000

2 Berat Jenis Agregat Kasar Sampel 15.000 43.000

3 Berat Jenis Agregat Halus Sampel 15.000 52.000

4 Kepadatan Berat Sampel 43.500 68.000

Page 76: Bab III Retribusi

136

No. Nama Pengujian Satuan

Pemakaian

Tarif (Rupiah)

DIY Jawa

Tengah*

Th. 2011 Th. 2011

5 CBR Laboratorium Sampel 41.000 69.000

6 Berat Isi Agregat Sampel 10.500 7.000

7 Pembuatan dan Perawatan Benda

Uji Beton Sampel 92.000

8 Kuat Tekan Silinder Beton Sampel 12.000 17.000

9 Sand Equivalent Sampel 17.000 16.000

10 Campuran Aspal dengan Alat

Marshall Sampel 349.500 682.000

11 Analisis Saringan Tanah Sampel 14.000 43.000

12 Berat Jenis Tanah Sampel 11.000 40.000

13 Kepadatan Ringan Sampel 43.500 68.000

14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar Sampel 12.000 17.000

15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal Sampel 10.500 27.000

16 Titik Nyala dan Titik Bakar Sampel 10.500 26.000

17 Penetrasi Bahan Aspal Sampel 19.500 34.000

18 Kehilangan Berat Minyak dan

Aspal Sampel 16.000

31.000

19 Berat Jenis Aspal Padat Sampel 7.000 13.000

20 Daktilitas Sampel 11.000 27.000

21 Titik Lembek Sampel 9.000 23.000

22 Keausan Agregat dengan Mesin

Abrasi Sampel 12.500 51.000

23 Test Soundness Sampel 42.000 65.000

24 Kepipihan Agregat Kasar Sampel 6.500 10.000

25 Core Drill Lapangan Sampel 95.000 84.000

26 Hasil Core Drill Sampel 12.000

27 Ekstraksi Sampel 19.500 53.000

28 Sand Cone Sampel 25.000 79.000

29 Hammer Test Sampel 24.500 3.000/titik

30 CBR Lapangan Sampel 199.000 126.000

31 Sondir Sampel 132.000 585.000

32 Suhu Sampel 3.000 4000

33 pH Sampel 5.000 4.000

34 Daya Hantar Listrik Sampel 5.000 5.000

35 Residu Terlarut Sampel 5.000

36 Residu Tersuspensi Sampel 5.000

37 Oksigen Terlarut Sampel 5.000 4.000

38 BOD Sampel 13.000 20.000

39 COD Sampel 10.000 33.000

40 Klorin Bebas Sampel 6.000

41 Nitrat Sampel 10.000 17.000

Page 77: Bab III Retribusi

137

No. Nama Pengujian Satuan

Pemakaian

Tarif (Rupiah)

DIY Jawa

Tengah*

Th. 2011 Th. 2011

42 Nitrit Sampel 10.000 18.000

43 Fluorida Sampel 8.000 18.000

44 Sulfat Sampel 8.000 18.000

45 Sulfida Sampel 13.000 18.000

46 Amoniak Sampel 8.000 18.000

47 Permanganat Sampel 7.000 9.000

48 Detergent Sampel 20.000 38.000

49 Phenol Sampel 15.000 56.000

50 Phosphat Sampel 10.000 18.000

51 Sianida Sampel 12.000

52 Minyak dan Lemak Sampel 15.000 20.000

53 Fe Sampel 15.000 35.000

54 Mangan Sampel 15.000 35.000

55 Cadmium Sampel 17.000 35.000

56 Seng Sampel 17.000 35.000

57 Chrom Hexavalent Sampel 17.000 35.000

58 Tembaga Sampel 17.000 35.000

59 Salinitas Sampel 5.000 6.000

60 Warna Sampel 7.000 4.000

61 Boron Sampel 17.000 28.000

62 Timbal Sampel 17.000 35.000

63 Total Colyform Sampel 30.000 40.000

64 Bakteri Coly Tinja Sampel 40.000 40.000

65 Bau Sampel 3.000 4.000

66 Kekeruhan Sampel 5.000 4.000

67 Kesadahan Sampel 7.000 10.000

68 Klorida Sampel 7.000 9.000

69 Rasa Sampel 3.000 4.000

70 TDS Sampel 5.000 10.000

71 Natrium Sampel 17.000 35.000

72 TSS Sampel 5.000 20.000

73 Krom Total Sampel 17.000 35.000

74 Nikel Sampel 17.000 35.000

*Sebagai perbandingan

Page 78: Bab III Retribusi

138

Tabel 3.15.

Tarif Perda untuk Penggunaan Gedung BPIPBPJK

No. Nama Kegiatan Satuan Pemakaian Tarif

Th. 2011

1 Kegiatan komersial hari Rp 460.000

2 Sewa Sound System hari Rp 50.000

3 Overhead LCD hari Rp 180.000

4 Memasang spanduk outdoor (per titik) titik/hari Rp 9.000

Analisis penerimaan pendapatan dibagi menjadi dua, yakni penerimaan real dan potensi

pendapatan. Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah data pada tahun 2012 hingga

September 2014. Analisis penerimaan real didapat dengan menjumlahkan data pengujian setiap

tahun kemudian diambil data maksimum dan minimum kemudian dikalikan dengan tarif perda.

Analisis potensi pendapatan didapat dengan mengambil data frekuensi pengujian/ pemakaian

setiap bulan lalu dikalikan dengan frekuensi pengujian tiap tahun serta dikalikan dengan tarif

perda. Frekuensi pemakaian merupakan frekuensi pemakaian rata-rata ditambah dengan

standar deviasi yang dikalikan koefisien sebesar 0,675. Koefisien tersebut didapatkan dari tabel

distribusi normal untuk luasan sebesar 75%. Besar luasan 75% merupakan besar potensi

pendapatan jika seluruh faktor pendukung (alat, SDM, dll.) dapat dioptimalkan sebesar 75%

(Gambar 3.16). Pada Gambar 3.16, garis tengah merupakan frekuensi rata-rata, dimana

koefisien pengali bernilai nol.

Gambar 3.16

Kurva distribusi normal: luasan 75 Persen

0,675

50%

0

Rata-rata

75%

Page 79: Bab III Retribusi

139

Frekuensi pengujian di Laboratorium BPIPBPJK dan penggunaan gedung dapat dilihat

pada Tabel 3.16 dan Tabel 3.17 berikut.

Tabel 3.16.

Jumlah dan Frekuensi Pengujian pada Laboratorium BPIPBPJK

No

. Nama Pengujian

Jumlah Pengujian

Av

g

STDe

v

Frekuensi Pemakaian /

Tahun

1 Analisa Saringan Agregat 69 56 10

2 Berat Jenis Agregat Kasar 36 29 10

3 Berat Jenis Agregat Halus 44 36 10

4 Kepadatan Berat 9 7 8

5 CBR Laboratorium 12 9 9

6 Berat Isi Agregat 19 17 9

7 Pembuatan dan Perawatan BendaUji

Beton 10 9 9

8 Kuat Tekan Silinder Beton 73 60 11

9 Sand Equivalent 3 2 6

10 Campuran Aspal dengan Alat Marshall 9 8 10

11 Analisis Saringan Tanah 4 3 8

12 Berat Jenis Tanah 4 3 8

13 Kepadatan Ringan 4 3 8

14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar 25 16 8

15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal 5 3 6

16 Titik Nyala dan Titik Bakar 3 2 5

17 Penetrasi Bahan Aspal 5 4 5

18 Kehilangan Berat Minyak danAspal 3 2 5

19 Berat Jenis Aspal Padat 3 2 5

20 Daktilitas 3 2 5

21 Titik Lembek 3 2 5

22 Keausan Agregat dengan Mesin Abrasi 6 6 8

23 Tes Soundness 3 2 6

24 Kepipihan Agregat Kasar 3 2 6

25 Core Drill Lapangan 14 13 4

26 Hasil Core Drill 36 44 4

27 Ekstraksi 11 11 4

28 Sand Cone 7 5 3

29 Hammer Test 6 4 4

30 CBR Lapangan 3 0 1

31 Sondir 2 2 1

32 Suhu 26 29 11

33 pH 27 29 11

34 Daya Hantar Listrik 21 25 11

Page 80: Bab III Retribusi

140

No

. Nama Pengujian

Jumlah Pengujian

Av

g

STDe

v

Frekuensi Pemakaian /

Tahun

35 Residu Terlarut 36 33 4

36 Residu Tersuspensi 36 33 4

37 Oksigen Terlarut 36 33 4

38 BOD 21 25 11

39 COD 21 25 11

40 Klorin Bebas 36 33 4

41 Nitrat 22 29 10

42 Nitrit 23 30 8

43 Fluorida 22 29 10

44 Sulfat 24 32 7

45 Sulfida 24 30 6

46 Amoniak 17 25 11

47 Permanganat 22 30 9

48 Detergent 27 29 11

49 Phenol 17 25 11

50 Phosphat 17 25 11

51 Sianida 23 30 8

52 Minyak dan Lemak 24 28 11

53 Fe 22 28 11

54 Mangan 23 30 8

55 Cadmium 23 30 8

56 Seng 23 30 8

57 Chrom Hexavalent 22 29 10

58 Tembaga 24 30 6

59 Salinitas 36 33 4

60 Warna 24 32 7

61 Boron 36 33 4

62 Timbal 23 30 8

63 Total Colyform 24 29 11

64 Bakteri Coly Tinja 20 29 8

65 Bau 9 8 8

66 Kekeruhan 9 8 8

67 Kesadahan 9 8 8

68 Klorida 9 8 8

69 Rasa 10 8 6

70 TDS 15 9 11

71 Natrium 10 8 6

72 TSS 10 6 11

73 Krom Total 4 5 4

74 Nikel 4 5 4

Page 81: Bab III Retribusi

141

Tabel 3.17.

Jumlah dan Frekuensi Pemakaian Gedung BPIPBPJK

No. Nama Kegiatan Jumlah Pemakaian

Avg STDev Frekuensi Pemakaian / Tahun

1 Kegiatan komersial 4 4 3

2 Sewa Sound System 4 4 3

3 Overhead LCD 4 4 3

4 Memasang spanduk outdoor (per titik) 4 4 3

Total penerimaan real dan potensi pendapatan Balai PIPBPJK dapat dilihat pada Tabel

3.18 – Tabel 3.21 berikut.

Tabel 3.18.

Total Penerimaan Real pada Laboratorium BPIPBPJK

No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan

Max Min

1 Analisa Saringan Agregat Rp 11.326.500 Rp 6.318.000

2 Berat Jenis Agregat Kasar Rp 6.585.000 Rp 3.780.000

3 Berat Jenis Agregat Halus Rp 7.920.000 Rp 4.620.000

4 Kepadatan Berat Rp 3.610.500 Rp 2.740.500

5 CBR Laboratorium Rp 4.715.000 Rp 3.772.000

6 Berat Isi Agregat Rp 2.793.000 Rp 1.008.000

7 Pembuatan dan Perawatan Benda Uji Beton Rp 12.236.000 Rp 4.416.000

8 Kuat Tekan Silinder Beton Rp 10.800.000 Rp 8.148.000

9 Sand Equivalent Rp 357.000 Rp 221.000

10 Campuran Aspal dengan Alat Marshall Rp 31.105.500 Rp 19.572.000

11 Analisis Saringan Tanah Rp 448.000 Rp 308.000

12 Berat Jenis Tanah Rp 352.000 Rp 242.000

13 Kepadatan Ringan Rp 1.392.000 Rp 957.000

14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar Rp 2.700.000 Rp 1.740.000

15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal Rp 430.500 Rp 210.000

16 Titik Nyala dan Titik Bakar Rp 210.000 Rp 52.500

17 Penetrasi Bahan Aspal Rp 780.000 Rp 195.000

18 Kehilangan Berat Minyak dan Aspal Rp 320.000 Rp 80.000

19 Berat Jenis Aspal Padat Rp 140.000 Rp 35.000

20 Daktilitas Rp 220.000 Rp 55.000

21 Titik Lembek Rp 180.000 Rp 45.000

22 Keausan Agregat dengan Mesin Abrasi Rp 862.500 Rp 225.000

23 Tes Soundness Rp 882.000 Rp 546.000

24 Kepipihan Agregat Kasar Rp 136.500 Rp 84.500

25 Core Drill Lapangan Rp 10.165.000 Rp 1.710.000

Page 82: Bab III Retribusi

142

No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan

Max Min

26 Hasil Core Drill Rp 4.068.000 Rp 360.000

27 Ekstraksi Rp 1.638.000 Rp 136.500

28 Sand Cone Rp 650.000 Rp 425.000

29 Hammer Test Rp 931.000 Rp 514.500

30 CBR Lapangan Rp 597.000 Rp 597.000

31 Sondir Rp 660.000 Rp 660.000

32 Suhu Rp 1.005.000 Rp 645.000

33 pH Rp 1.775.000 Rp 1.110.000

34 Daya Hantar Listrik Rp 1.300.000 Rp 895.000

35 Residu Terlarut Rp 765.000 Rp 480.000

36 Residu Tersuspensi Rp 765.000 Rp 480.000

37 Oksigen Terlarut Rp 765.000 Rp 480.000

38 BOD Rp 3.380.000 Rp 2.327.000

39 COD Rp 2.600.000 Rp 1.790.000

40 Klorin Bebas Rp 918.000 Rp 576.000

41 Nitrat Rp 2.610.000 Rp 1.570.000

42 Nitrit Rp 2.410.000 Rp 1.500.000

43 Fluorida Rp 2.088.000 Rp 1.256.000

44 Sulfat Rp 1.824.000 Rp 1.056.000

45 Sulfida Rp 2.158.000 Rp 1.482.000

46 Amoniak Rp 1.840.000 Rp 1.128.000

47 Permanganat Rp 1.736.000 Rp 973.000

48 Detergent Rp 7.100.000 Rp 4.440.000

49 Phenol Rp 3.450.000 Rp 2.115.000

50 Phosphat Rp 2.170.000 Rp 1.230.000

51 Sianida Rp 2.892.000 Rp 1.800.000

52 Minyak dan Lemak Rp 4.725.000 Rp 2.715.000

53 Fe Rp 4.290.000 Rp 2.850.000

54 Mangan Rp 3.615.000 Rp 2.250.000

55 Cadmium Rp 4.097.000 Rp 2.550.000

56 Seng Rp 4.097.000 Rp 2.550.000

57 Chrom Hexavalent Rp 4.437.000 Rp 2.669.000

58 Tembaga Rp 2.822.000 Rp 1.938.000

59 Salinitas Rp 765.000 Rp 480.000

60 Warna Rp 1.596.000 Rp 924.000

61 Boron Rp 2.601.000 Rp 1.632.000

62 Timbal Rp 4.097.000 Rp 2.550.000

63 Total Colyform Rp 9.750.000 Rp 6.240.000

64 Bakteri Coly Tinja Rp 6.920.000 Rp 4.960.000

65 Bau Rp 285.000 Rp 129.000

66 Kekeruhan Rp 475.000 Rp 215.000

67 Kesadahan Rp 665.000 Rp 301.000

Page 83: Bab III Retribusi

143

No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan

Max Min

68 Klorida Rp 665.000 Rp 301.000

69 Rasa Rp 225.000 Rp 108.000

70 TDS Rp 910.000 Rp 595.000

71 Natrium Rp 1.275.000 Rp 612.000

72 TSS Rp 690.000 Rp 415.000

73 Krom Total Rp 306.000 Rp 221.000

74 Nikel Rp 306.000 Rp 221.000

Jumlah Rp 222.376.000 Rp 128.532.500

Tabel 3.19.

Total Penerimaan Real pada Pemakaian Gedung BPIPBPJK

No. Nama Kegiatan Penerimaan Pendapatan

Max Min

1 Kegiatan komersial Rp 5.060.000 Rp 5.060.000

2 Sewa Sound System Rp 550.000 Rp 550.000

3 Overhead LCD Rp 1.980.000 Rp 1.980.000

4 Memasang spanduk outdoor (per titik) Rp 99.000 Rp 99.000

Jumlah Rp 7.689.000 Rp 7.689.000

Tabel 3.20.

Total Potensi Pendapatan pada Laboratorium BPIPBPJK

No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan

1 Analisa Saringan Agregat Rp 14.445.000

2 Berat Jenis Agregat Kasar Rp 8.400.000

3 Berat Jenis Agregat Halus Rp 10.350.000

4 Kepadatan Berat Rp 4.872.000

5 CBR Laboratorium Rp 7.011.000

6 Berat Isi Agregat Rp 2.929.500

7 Pembuatan dan Perawatan Benda Uji Beton Rp 14.076.000

8 Kuat Tekan Silinder Beton Rp 15.048.000

9 Sand Equivalent Rp 510.000

10 Campuran Aspal dengan Alat Marshall Rp 52.425.000

11 Analisis Saringan Tanah Rp 784.000

12 Berat Jenis Tanah Rp 616.000

13 Kepadatan Ringan Rp 2.436.000

14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar Rp 3.456.000

Page 84: Bab III Retribusi

144

No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan

15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal Rp 504.000

16 Titik Nyala dan Titik Bakar Rp 262.500

17 Penetrasi Bahan Aspal Rp 780.000

18 Kehilangan Berat Minyak dan Aspal Rp 400.000

19 Berat Jenis Aspal Padat Rp 175.000

20 Daktilitas Rp 275.000

21 Titik Lembek Rp 225.000

22 Keausan Agregat dengan Mesin Abrasi Rp 1.100.000

23 Tes Soundness Rp 1.260.000

24 Kepipihan Agregat Kasar Rp 195.000

25 Core Drill Lapangan Rp 8.740.000

26 Hasil Core Drill Rp 3.168.000

27 Ekstraksi Rp 1.482.000

28 Sand Cone Rp 825.000

29 Hammer Test Rp 882.000

30 CBR Lapangan Rp 597.000

31 Sondir Rp 528.000

32 Suhu Rp 1.518.000

33 pH Rp 2.585.000

34 Daya Hantar Listrik Rp 2.090.000

35 Residu Terlarut Rp 1.180.000

36 Residu Tersuspensi Rp 1.180.000

37 Oksigen Terlarut Rp 1.180.000

38 BOD Rp 5.434.000

39 COD Rp 4.180.000

40 Klorin Bebas Rp 1.416.000

41 Nitrat Rp 4.200.000

42 Nitrit Rp 3.520.000

43 Fluorida Rp 3.360.000

44 Sulfat Rp 2.576.000

45 Sulfida Rp 3.510.000

46 Amoniak Rp 2.992.000

47 Permanganat Rp 2.709.000

48 Detergent Rp 10.340.000

49 Phenol Rp 5.610.000

50 Phosphat Rp 3.740.000

51 Sianida Rp 4.224.000

52 Minyak dan Lemak Rp 7.095.000

53 Fe Rp 6.765.000

54 Mangan Rp 5.280.000

55 Cadmium Rp 5.984.000

56 Seng Rp 5.984.000

57 Chrom Hexavalent Rp 7.140.000

Page 85: Bab III Retribusi

145

No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan

58 Tembaga Rp 4.590.000

59 Salinitas Rp 1.180.000

60 Warna Rp 2.254.000

61 Boron Rp 4.012.000

62 Timbal Rp 5.984.000

63 Total Colyform Rp 14.520.000

64 Bakteri Coly Tinja Rp 12.800.000

65 Bau Rp 360.000

66 Kekeruhan Rp 600.000

67 Kesadahan Rp 840.000

68 Klorida Rp 840.000

69 Rasa Rp 288.000

70 TDS Rp 1.210.000

71 Natrium Rp 1.632.000

72 TSS Rp 825.000

73 Krom Total Rp 544.000

74 Nikel Rp 544.000

Jumlah Rp 317.572.000

Tabel 3.21.

Total Potensi Pendapatan pada Pemakaian Gedung BPIPBPJK

No. Nama Kegiatan Penerimaan Pendapatan

1 Kegiatan komersial Rp 9.660.000

2 Sewa Sound System Rp 1.050.000

3 Overhead LCD Rp 3.780.000

4 Memasang spanduk outdoor (per titik) Rp 189.000

Jumlah Rp 14.679.000

Rekapitulasi total penerimaan real dan potensi pendapatan tercantum pada Tabel 3.11

berikut.

Page 86: Bab III Retribusi

146

Tabel 3.22.

Rekapitulasi Penerimaan Real dan Potensi Pendapatan pada Balai PIPBPJK

No. Objek Pendapatan Penerimaan Real (Rp)

Potensi Pendapatan (Rp) Maksimum Minimum

1 Laboratorium BPIPBPJK 222.376.000 128.532.500 317.572.000

2 Pemakaian Gedung 7.689.000 7.689.000 14.679.000*

Total 230.065.000 136.221.500 322.251.000

* Potensi pendapatan untuk pemakaian gedung kurang tepat

Pada Tabel 3.22. dapat dilihat bahwa secara garis besar, potensi pendapatan yang

dianalisis lebih besar daripada penerimaan real, namun pada objek pemakaian gedung, potensi

pendapatan yang dihasilkan kurang tepat karena data yang dimiliki kurang lengkap.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa penerimaan real Balai PIPBPJK berada di antara

Rp 136.221.500,00 dan Rp 230.065.000. Lebih lanjut, berdasarkan analisis, besar potensi

pendapatan yang dapat dihasilkan sebesar Rp 322.465.000,00.

3.4.2. Wisma PU Kaliurang

Wisma PU Kaliurang berada didalam kawasan wisata Kaliurang tepatnya di Jl.

Astorenggo No. 369 RT/RW 08/19, Kaliurang Barat, Hargobinangun, Pakem, Sleman. Wisma

ini didirikan pada tanggal 20 Desember 2000 dan memiliki lahan seluas 4,265 m2 dengan luas

bangunan total sebesar 813,5 m2. Fasilitas yang dimiliki oleh wisma ini antara lain:

1. Gedung unit 1 seluas 110 m2 (3 kamar)

2. Gedung unit 2 seluas 630 m2, yang terdiri dari:

a. Aula di lantai 2 (1 ruang)

b. Kamar tidur di lantai 1 (10 kamar)

3. Garasi dan mushola seluas 73,5 m2

4. Tandon air

5. Lapangan rumput.

6. Listrik 2.200W gedung unit 1 dan 4.400W gedung unit 2

Harga sewa yang diberikan yaitu:

1. Gedung unit 1 = Rp 25.000,00/ kamar/ hari

2. Gedung unit 2 = Rp 25.000,00/ kamar/ hari

3. Aula dengan fasilitas lengkap = Rp 250.000,00/ hari

Page 87: Bab III Retribusi

147

4. Aula dengan fasilitas lengkap + kamar tidur = Rp 500.000,00/ hari

Gambar 3.17.

Fasilitas Wisma PU di Kaliurang:

(a) (b)

(c) (d)

Keterangan: (a) Gedung unit 1; (b) Gedung unit 2; (c) Aula; dan (d) Kamar tidur.

Berdasarkan data pada tahun 2012 dan 2013, realisasi penerimaan pendapatan yang

didapat dari wisma ini masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan (Gambar 3.18). Tabel 3.23

menunjukkan besar penerimaan Wisma PU pada tahun 2012 dan 2013.

Page 88: Bab III Retribusi

148

Gambar 3.18.

Target-Realisasi Pendapatan Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013

Tabel 3.23.

Penerimaan Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013

Bulan Penerimaan

2012 2013

Januari Rp 4.350.000,00 Rp 1.575.000,00

Februari Rp 2.550.000,00 Rp 5.150.000,00

Maret Rp 3.775.000,00 Rp 2.700.000,00

April Rp 2.150.000,00 Rp 2.450.000,00

Mei Rp 2.150.000,00 Rp 3.100.000,00

Juni Rp 4.900.000,00 Rp 1.875.000,00

Juli Rp 2.375.000,00 Rp 4.025.000,00

Agustus Rp 2.675.000,00 Rp 1.925.000,00

September Rp 1.775.000,00 Rp 2.225.000,00

Oktober Rp 3.825.000,00 Rp 4.675.000,00

November Rp 2.525.000,00 Rp 1.550.000,00

Desember Rp 3.775.000,00 Rp 3.275.000,00

TOTAL Rp 36.825.000,00 Rp 34.525.000,00

0

5

10

15

20

25

30

35

40

2012 2013

Pen

dap

ata

n (

Ru

pia

h)

Ju

ta

Target

Realisasi

Page 89: Bab III Retribusi

149

Berdasarkan data pada tahun 2012-2013 tersebut, dapat diperkirakan pemakaian aula

dan kamar seperti yang tercantum pada Tabel 3.24. Perkiraan frekuensi pemakaian tersebut

didapatkan dengan mengasumsikan bahwa besar penerimaan adalah 50% sewa kamar dan 50%

sewa aula. Masing-masing persentase pendapatan kemudian dibagi dengan biaya sewa yang

sudah ditentukan, yakni Rp 25.000,00 untuk kamar dan Rp 250.000,00 untuk aula.

Tabel 3.24.

Perkiraan Frekuensi Pemakaian

Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013

Bulan

Frekuensi

2012 2013

Kamar Aula Kamar Aula

Januari 87 9 32 4

Februari 51 6 103 11

Maret 76 8 54 6

April 43 5 49 5

Mei 43 5 62 7

Juni 98 10 38 4

Juli 48 5 81 9

Agustus 54 6 39 4

September 36 4 45 5

Oktober 77 8 94 10

November 51 6 31 4

Desember 76 8 66 7

TOTAL 737 74 691 70

Dari data tahun 2012-2013 tersebut dapat diperkirakan jumlah penerimaan real dan

potensi pendapatan yang dimiliki oleh Wisma PU ini. Penerimaan real didapatkan dengan

merata-rata frekuensi total pada tahun 2012-2013 kemudian dikalikan dengan biaya sewa.

Perhitungan penerimaan real dapat dilihat pada Tabel 3.25.

Tabel 3.25.

Penerimaan Real Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013

Biaya Sewa Frekuensi Pemakaian (Tahun) Penerimaan

Kamar Rp 25.000,00 714 Rp 17.850.000,00

Aula Rp 250.000,00 72 Rp 18.000.000,00

TOTAL Rp 35.850.000,00

Page 90: Bab III Retribusi

150

Untuk perhitungan potensi pendapatan yang dimiliki, dicari terlebih dahulu frekuensi

pemakaian setiap bulan kemudian dikalikan dengan 12 bulan dan biaya sewa. Frekuensi

pemakaian merupakan frekuensi pemakaian rata-rata ditambah dengan standar deviasi yang

dikalikan koefisien sehingga menghasilkan tingkat optimalisasi sumber daya sebesar 60%.

Berdasarkan kurva distribusi normal, koefisien yang digunakan sebesar 0,25.

Berdasarkan data pemakaian pada Tabel 3.13, standar deviasi yang didapatkan sebesar

21,75 untuk pemakaian kamar dan 2,17 untuk pemakaian aula, sementara rata-rata

pemakaiannya sebesar 60 untuk pemakaian kamar dan 7 untuk pemakaian aula.

Gambar 3.19.

Kurva Distribusi Normal: Luasan 60 Persen

Hasil perhitungan potensi pendapatan Wisma PU tercantum pada Tabel 3.26. Potensi

pendapatan Dinas PUP-ESDM yang didapat dari Wisma PU sebesar Rp 43.800.000,00. Saat

ini, pengelolaan wisma belum dikelola secara profesional sehingga potensi yang mungkin

dicapai masih sebesar 60%. Jika wisma tersebut akan dikelola secara profesional, potensi

pendapatan mungkin akan meningkat menjadi 85% atau sebesar Rp 54.900.000,00.

0,25

50%

0

Rata-rata

60%

Page 91: Bab III Retribusi

151

Tabel 3.26.

Potensi Pendapatan Wisma PU di Kaliurang

Biaya Sewa (Rp) Frekuensi Pemakaian (Bulan) Potensi Penerimaan (Rp)

Kamar 25.000 88 19.800.000

Aula 250.000 10 24.000.000

Total Penerimaan 43.800.0

3.4.3. Balai Instalasi Pengelolaan Air Limbah

Balai Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) merupakan Unit Pelaksana Teknis

Daerah Dinas PUP-ESDM. Balai IPAL ini terletak di Jalan Bantul KM. 8, Sewon, Bantul. Balai

IPAL Sewon memiliki tugas untuk menyelenggarakan pengelolaan air limbah rumah tangga.

IPAL Sewon direncanakan untuk mengolah produksi limbah rumah tangga dari 1.100

jiwa dengan volume 15500 m3/hari. Wilayah pelayanan Balai IPAL ini meliputi hampir seluruh

wilayah kota Yogyakarta (14 kecamatan), sebagian wilayah Kab. Sleman (2 kecamatan), dan

sebagian wilayah Kab. Bantul (3 kecamatan).

Standar rancangan pelayanan dan kualitas air limbah yang dimiliki oleh Balai IPAL

Sewon adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan : 25.000 sambungan rumah

b. Kualitas limbah masuk : 15.500 m3/hari (179 liter/detik)

c. Kuantitas maksimum per jam : 1.282 m3/jam (356 liter/detik)

d. Beban BOD : 5.103 kg/hari (46 gr/org/hari)

e. BOD aliran masuk : 332 mg/liter

f. BOD aliran keluar : 30-40 mg/liter

Fasilitas yang dimiliki oleh IPAL Sewon dapat dilihat pada Tabel 3.27 berikut.

Tabel 3.27.

Fasilitas Balai IPAL Sewon

Kapasitas instalasi 15.500 m3/hr = 179,4 L/dtk 4 kolam fakultatif

2 kolam pematangan

Rumah pompa

(Lift pump)

21,6 m x 8 m

10,7 m3/menit

2 unit operasional

1 unit cadangan

Bak pengendap pasir

(Grit chamber) 2 m x 9 m x 1,2 m x 2 bak 60 detik (waktu tinggal)

Kolam fakultatif

(Facultatif aerated lagoon)

77 m x 70 m x 4 m x 2 kolam

Volume: + 21.321 m3/kolam 5,5 hari (waktu tinggal)

Page 92: Bab III Retribusi

152

Kolam pematangan

(Maturation pond)

78 m x 70 m x 4 m x 2 kolam

Volume: + 10.900 m3/kolam 1,3 hari (waktu tinggal)

Bak pengendap lumpur

(Sludge drying bed) 34 m x 232 m x 0,5 m 4.000 m3

Bangunan pelimpah 46 m x 2,5 m x 4,1 m x 2 buah

46 m x 2,5 m x 3,3 m x 2 buah

------- lagoon

------- pond

Fasilitas gedung 490 m2 Laboratorium, Kantor

BIPAL, dll.

Gambar 3.20.

Beberapa Fasilitas yang Dimiliki Balai IPAL Sewon

(a)

(b)

Keterangan: (a) bak pengendap pasir dan (b) kolam fakultatif.

Page 93: Bab III Retribusi

153

Saat ini Balai IPAL merupakan pemberi jasa layanan sehingga belum memiliki regulasi

untuk menarik retribusi secara langsung. Retribusi pengelolaan air limbah cair masih ditarik

oleh masing-masing Kabupaten/ Kota, baru kemudian diberikan kepada Provinsi.

Balai IPAL Sewon ini memiliki potensi yang cukup besar jika dijadikan objek

pendapatan Dinas PUP-ESDM. Karena belum ada data yang mencukupi terkait besar

penerimaan pendapatan Balai IPAL, secara kasar, perhitungan potensi pendapatan Balai IPAL

adalah sebagai berikut:

Asumsi: Tingkat efisiensi instalasi sebesar 70 %

Potensi pendapatan = Besar efisiensi x kapasitas instalasi x besar biaya

= 70% x 15.500 m3/hari x Rp “A”/m3

= Rp “10.850A”/ hari

3.5. Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika

Beberapa objek penerimaan pendapatan yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan,

Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo) antara lain:

a. Ticketing Trans Jogja

b. Jembatan Timbang

c. Sewa lahan parkir Bandara Adi Sutjipto

d. Sewa lahan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor (PKB) Bantul

3.5.1. Ticketing Trans Jogja

Trans Jogja digunakan sebagai moda transportasi massal untuk daerah DIY. Sistem

transportasi Trans Jogja dimulai sejak tahun 2008. Adapun trayek Trans Jogja dapat dilihat

seperti pada Gambar 3.22. Berdasarkan data tahunan yang diperoleh dari tahun 2012 sampai

dengan bulan Agustus 2014 seperti pada Tabel 3.28, jumlah penumpang rata-rata per hari

berkisar antara kurang lebih 14000 s/d 21000 orang per hari di seluruh wilayah Yogyakarta.

Page 94: Bab III Retribusi

154

Gambar 3.21.

Target dan Realisasi Pendapatan Ticketing Trans Jogja, 2010-2013

Tabel 3.28.

Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2012-2014

Bulan Hari

Frekuensi Rata Rata per

Hari

2012 2013 2014

Jan 31 14971 15519 16315

Feb 28 15539 14894 14919

Mar 31 15287 15181 15701

Apr 30 15051 14360 15363

Mei 31 15795 15453 18058

Jun 30 16682 16612 19323

Jul 31 16968 16447 15133

Agu 31 15276 16881 20523

Sep 30 17246 18202

Okt 31 16038 17197

Nov 30 15328 17294

Des 31 16727 18397

15,500

16,000

16,500

17,000

17,500

18,000

18,500

2010 2011 2012 2013

Pen

dap

ata

n (

Ru

pia

h)

Ju

ta

Target

Realisasi

Page 95: Bab III Retribusi

155

Gambar 3.22.

Rute Trayek Trans Jogja

Page 96: Bab III Retribusi

156

Gambar 3.23.

Grafik Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2012

Gambar 3.24.

Grafik Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2013

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

20000

22000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

20000

22000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Page 97: Bab III Retribusi

157

Gambar 3.25.

Grafik Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2013

Berdasarkan data pendapatan dari tahun 2012 sampai dengan 2014 maka data

keseluruhan di rata-ratakan sehingga rata-rata tarif yang berlaku adalah Rp 2928,00 (2012), Rp

2.974,00 (2013), dan Rp 2.961,00 (2014). Untuk menghitung revenue rata-rata maka frekuensi

per hari dikalikan dengan hari per bulan dikalikan tarif rata-rata.

Tabel 3.29.

Revenue Rata-rata

Bulan Hari Revenue Rata-rata

2012 2013 2014

Jan 31 Rp 1.358.887.728,00 Rp 1.408.628.592,00 Rp 1.480.879.920,00

Feb 28 Rp 1.273.949.376,00 Rp 1.221.069.696,00 Rp 1.223.119.296,00

Mar 31 Rp 1.387.570.416,00 Rp 1.377.949.008,00 Rp 1.425.148.368,00

Apr 30 Rp 1.322.079.840,00 Rp 1.261.382.400,00 Rp 1.349.485.920,00

Mei 31 Rp 1.433.680.560,00 Rp 1.402.637.904,00 Rp 1.639.088.544,00

Jun 30 Rp 1.465.346.880,00 Rp 1.459.198.080,00 Rp 1.697.332.320,00

Jul 31 Rp 1.540.151.424,00 Rp 1.492.861.296,00 Rp 1.373.592.144,00

Agu 31 Rp 1.386.571.968,00 Rp 1.532.254.608,00 Rp 1.862.831.664,00

Sep 30 Rp 1.514.888.640,00 Rp 1.598.863.680,00 Rp -

Okt 31 Rp 1.455.737.184,00 Rp 1.560.937.296,00 Rp -

Nov 30 Rp 1.346.411.520,00 Rp 1.519.104.960,00 Rp -

Des 31 Rp 1.518.276.336,00 Rp 1.669.858.896,00 Rp -

Rp 17.003.551.872,00 Rp 17.504.746.416,00 Rp 12.051.478.176,00

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

20000

22000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Page 98: Bab III Retribusi

158

3.5.2. Jembatan Timbang

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tiga jembatan timbang, antara lain Jembatan

Timbang Taman Martani, Jembatan Timbang Kalitirto, dan Jembatan Timbang Kulwaru.

Jembatan Timbang Taman Martani terletak pada Jalan Solo dan merupakan pintu keluar ke

arah timur. Jembatan Timbang Kalitirto juga terletak pada ruas Jalan Solo, namun jembatan

timbang ini merupakan pintu masuk dari arah timur. Jembatan Kulwaru terletak di Jalan Wates

dan merupakan pintu masuk sekaligus pintu keluar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada

setiap jembatan timbang terdapat satu tim petugas yang menjaga. Setiap tim berjumlah 6 orang,

yang terdiri atas koordinator, bendahara, pengatur lalu lintas, dan penimbang.

Gambar 3.26.

Jembatan Timbang Daerah Istimewa Yogyakarta

(a)

(b)

Page 99: Bab III Retribusi

159

(c)

Keterangan: (a) Taman Martani; (b) Kalitirto; dan (c) Kulwaru

Penggolongan denda kelebihan muatan tercantum dalam Tabel 3.30 berikut dan

contoh bukti pembayaran denda dapat dilihat pada Gambar 3.27.

Tabel 3.30.

Penggolongan Denda Kelebihan Muatan pada Jembatan Timbang

Golongan Kendaraan

Pelanggaran Tingkat

I

>5% - 15% dari JBI

(Rp)

Pelanggaran

Tingkat II

>15% - 25% dari

JBI

(Rp)

Pelanggaran

Tingkat III

>25% dari JBI

(Rp)

Golongan I

2.000 kg – 8.000 kg 10.000 30.000

Wajib menurunkan

kelebihan muatan

barang dan dikenakan

tilang

Golongan II

8.000 kg – 14.000kg 20.000 40.000

Golongan III

14.000 kg – 21.000 kg 30.000 50.000

Golongan IV

>21.000 kg 40.000 60.000

Keterangan:

i. JBI = Jumlah Berat yang Diizinkan

ii. Pelanggaran Tingkat I dan Tingkat II lebih dari 3 (tiga) kali dalam waktu 90 (sembilan

puluh) hari dikenakan sanksi administrasi denda 5 (lima) kali lipat sesuai tingkat

pelanggaran terakhir.

iii. Pelanggaran Tingkat III dikenakan sanksi pidana berupa denda paling banyak Rp

500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau denda kurungan paling lama 2 (dua) bulan, dan

perintah penurunan atau pengembalian kendaraan ke tempat asal.

Page 100: Bab III Retribusi

160

Gambar 3.27.

Contoh Bukti Pembayaran Denda Kelebihan Muatan

Jenis sanksi yang dapat diberikan, yaitu:

a. Tilang diberikan surat tilang dan mengambil STNK/ buku uji kemudian dibawa

ke pengadilan.

b. Kembali angkutan barang diharuskan kembali dengan disertakan surat

pengembalian.

c. Turun penurunan muatan.

Selain kelebihan muatan, jika mengangkut barang hingga ketinggian yang melebihi

batas, angkutan barang tersebut juga dikenai denda. Tinggi batas muatan adalah 1,7 kali lebar

bak.

Gambaran mengenai target dan realisasi penerimaan pendapatan dari jembatan timbang

dapat dilihat pada Gambar 3.28. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2011

hingga 2013, penerimaan pendapatan lebih tinggi dari target yang telah ditetapkan.

Page 101: Bab III Retribusi

161

Gambar 3.28.

Target dan Realisasi Pendapatan Jembatan Timbang, 2010-2013

Dalam analisis penerimaan pendapatan oleh jembatan timbang ini, data yang digunakan

adalah data pada tahun 2013 hingga Juli 2014. Analisis potensi pendapatan didapat dengan

mengambil data pelanggaran setiap bulan lalu dikalikan dengan frekuensi pengujian tiap tahun

serta dikalikan dengan tarif perda. Data pelanggaran merupakan frekuensi pelanggaran rata-

rata ditambah dengan standar deviasi yang dikalikan koefisien sebesar 1,04. Koefisien tersebut

didapatkan dari tabel distribusi normal untuk luasan sebesar 85%. Besar luasan 85%

merupakan besar potensi pendapatan jika seluruh faktor pendukung (alat, SDM, dll.) dapat

dioptimalkan sebesar 85% (Gambar 3.29). Pada Gambar 3.29, garis tengah merupakan

frekuensi rata-rata, dimana koefisien pengali bernilai nol. Potensi pendapatan jembatan

timbang dapat dilihat pada Tabel 3.31, berikut. Berdasarkan hasil analisis, didaptkan potensi

pendapatan dari jembatan timbang sebesar Rp 2.352.480.000,00.

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

2010 2011 2012 2013

Pen

dap

ata

n (

Ru

pia

h)

Ju

ta

Target

Realisasi

Page 102: Bab III Retribusi

162

Gambar 3.29.

Kurva Distribusi Normal: Luasan 85 Persen

Tabel 3.31.

Potensi pendapatan Jembatan Timbang

No. Golongan Denda (Rp) Jumlah Pelanggaran

Potensi Pendapatan Avrg STD

1 I

>5%-15% 10.000 628 195 Rp 99.720.000,00

2 >16%-25% 30.000 515 204 Rp 262.080.000,00

3 II

>5%-15% 20.000 1398 339 Rp 420.480.000,00

4 >16%-25% 40.000 266 123 Rp 189.600.000,00

5 III

>5%-15% 30.000 486 143 Rp 228.960.000,00

6 >16%-25% 50.000 261 131 Rp 238.200.000,00

7 IV

>5%-15% 40.000 1421 426 Rp 894.720.000,00

8 >16%-25% 60.000 13 12 Rp 18.720.000,00

TOTAL Rp 2.352.480.000,00

3.5.3. Sewa Lahan Parkir Bandara Adi Sutjipto

Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika memiliki objek pendapatan lain

berupa sewa lahan yang saat ini menjadi tempaat parkir Bandara Adi Sutjipto. Luas area yang

disewakan di parkir bandara sebesar 29887,4 m2. Biaya sewa sebesar Rp 2.500,00/m2/bulan

dan dibayar setiap Triwulan. Biaya sewa dihitung oleh tim optimalisasi aset yang dibentuk oleh

Gubernur kemudian diterbitkan SK Gubernur. Area yang tidak termasuk untuk disewakan:

Underpass, Taman, Shelter Trans Jogja, Stasiun Maguwo (dipinjamkan ke PT KAI).

1,04

50%

0

Rata-rata

85%

Page 103: Bab III Retribusi

163

Gambar 3.30.

Lahan yang Disewakan Sebagai Tempat Parkir Bandara Adisutjipto

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Keterangan: (a) tempat parkir kendaraan umum dan bus; (b) tempat parkir mobil inap; (c) tempat parkir motor;

(d) lahan Kantor Pos yang saat ini sudah dikelola DISHUBKOMINFO DIY; (e) lahan yang digunakan untuk

pelayanan Trans Jogja; dan (f) lahan yang disewakan unuk food court.

Analisis dalam laporan ini berdasarkan data kendaraan yang parkir pada bulan Juli

2014. Hitungan potensi daerah dibagi menjadi dua yakni parkir motor dan parkir mobil-bus.

Analisis parkir motor berdasarkan data bulan Juli 2014 adalah sebagai berikut:

Jumlah tiket = 3347

Tarif = Rp 2.000,00

Page 104: Bab III Retribusi

164

Tingkat Occupancy = 80%

Estimasi jumlah tiket 1 tahun = 80% x 12 bulan x 3347

= 32131,2

Potensi pendapatan 1 tahun = Rp 64.262.400,00

Analisis potensi pendapatan berdasarkan data parkir mobil dan bus pada bulan Juli

2014, adalah sebagai berikut:

Berdasarkan data tersebut diperoleh harga tiket rata-rata sebesar Rp 1.568,31 untuk

kendaraan umum (mobil) dan Rp 5.081,04 untuk bus. Potensi pendapatan diperoleh dari

mengalikan harga tiket rata-rata dengan jumlah rata-rata tiket per hari kemudian dikalikan lagi

dengan 365 hari. Tabel 3.32 berikut menyajikan data tiket parkir bandara pada Bulan Juli 2014

untuk kendaraan umum dan bus.

Tabel 3.32.

Data Parkir Bandara

untuk Kendaraan Umum dan Bus, Juli 2014

Kendaraan Umum Bus

2.014 6

1.224 9

2.026 5

2.267 11

2.051 11

2.099 8

2.044 8

1.653 9

1.585 8

2.063 12

2.296 9

2.203 16

2.298 13

2.262 17

2.297 12

2.365 23

2.516 11

2.292 12

2.498 11

2.544 13

2.422 12

Page 105: Bab III Retribusi

165

Kendaraan Umum Bus

2.544 8

3.000 13

3.463 6

4.083 6

4.070 7

3.266 5

2.017 5

2.471 5

2.588 12

2.516 12

Rata-rata jumlah kendaraan tersebut sebesar 2.421 untuk kendaraan umum dan 10

untuk bus. Perhitungan potensi pendapatan dapat dilihat pada Tabel 3.33 berikut. Besar potensi

pendapatan parkir bandara sebesar Rp 1.404.443.52,93.

Tabel 3.33.

Potensi pendapatan Parkir Bandara

Jenis

Kendaraan

Tarif Parkir

Rata-Rata

(Rp)

Jumlah

Kendaraan

Rata-Rata

Jumlah Hari

Potensi

Pendapatan

(Rp)

Kendaraan

Umum 1.568,31 2421

365 1.385.598.348,68

Bus 5.081,04 10 18.844.904,24

JUMLAH 1.404.443.52,93

3.5.4. Sewa Lahan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Bantul

Selain sewa lahan parkir bandara, DISHUBKOMINFO memiliki lahan yang disewakan

ke Kabupaten Bantul sebagai tempat Pemeriksaan Kendaraan Bermotor. Lahan ini berada di

Jalan Parangtritis KM 5,4, Kabupaten Bantul. Perkiraan luas lahan PKB sebesar 5750 m2. Saat

ini, besar biaya sewa lahan yang ditetapkan sebesar Rp 20.000.000,00 per tahun.

Page 106: Bab III Retribusi

166

Gambar 3.31.

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Kabupaten Bantul

(a)

(b)

Keterangan: (a) tampak depan kantor dan (b) denah penggunaan lahan.

3.6. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM

3.6.1. Retribusi Pelayanan Tera dan Tera Ulang

Pengaturan dan aplikasi pengukuran, penakaran dan penimbangan dapat disebut juga

masalah metrologi dalam kehidupan sehari-hari adalah di atur dalam Undang-undang Nomor

2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, di mana pada abad perdagangan modern sekarang ini

akan semakin penting terutama bagi para pengusaha, pedagang, dan konsumen. Saat ini, baik

Page 107: Bab III Retribusi

167

pedagang, produsen, maupun konsumen dituntut untuk lebih atau ekstra hati-hati dalam

ketepatan ukuran serta pemberian informasi tentang barang dan jasa yang diukur, ditakar, dan

ditimbang.

Kegiatan pengukuran membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi, manfaat yang

dirasakan akan jauh lebih besar. Metrologi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan

sudah berjalan secara alami serta sangat vital. Fenomena kehidupan sehari-hari dapat dilihat,

seperti komoditas bahan pokok: atau bahan bangunan dan bahan keperluan infrastruktur

diperjualbelikan berdasarkan berat atau ukuran. Kebutuhan rumah tangga, air ledeng, listrik,

gas, dan pulsa telepon harus diukur. Semua ini memengaruhi seluruh sendi kehidupan. Kadar

zat aktif dalam obat-obatan, pengukuran sampel darah, dan keefektifan laser yang digunakan

untuk pembedahan di dunia medik harus diukur dengan teliti agar kesehatan dan keselamatan

pasien terjamin. Hampir segala sesuatu dinyatakan dalam ukuran, suhu udara, tinggi badan,

nilai kalori makanan, berat paket kiriman, tekanan udara ban kendaraan, jarak tempuh, waktu

tunggu, dan seterusnya. Nyaris tidak mungkin dalam kehidupan ini, bicara tanpa menggunakan

kata-kata yang berkaitan dengan timbangan dan ukuran. Di sektor transportasi, pilot pesawat

terbang harus mengamati dengan cermat ketinggian pesawat, arah, penggunaan bahan bakar,

dan kecepatannya. Masinis kereta api harus memperhatikan jarak posisi kereta terhadap stasiun

yang dituju. Supir mobil atau pengendara motor perlu memperhatikan ukuran kecepatan dan

tangki bahan bakar. Pengawas obat-obatan dan makanan mengukur kandungan bakteri dan zat

beracun. Perusahaan membeli bahan baku berdasarkan timbangan dan ukuran, kemudian

menyatakan produk dalam satuan yang serupa. Umumnya, setiap proses dipantau berdasarkan

pengukuran dan setiap penyimpangan akan ketahuan dari hasil pengukuran tersebut.

Pengukuran sistematis dengan tingkat ketidakpastian yang terukur merupakan landasan

pengendalian mutu di Industri. Dunia ilmu pengetahuan sangat bergantung pada pengukuran.

Para geolog mengukur kekuatan gelombang kejut ketika terjadi gempa bumi. Para astronom

dengan seksama mengukur cahaya lemah yang dipancarkan sebuah bintang untuk mengetahui

umurnya. Para fisikawan yang mempelajari partikel elementer harus mengukur waktu dalam

orde seperjuta sekon untuk memastikan adanya partikel yang sangat kecil. Ketersediaan alat

ukur dan kemampuan menggunakannya sangatlah esensial bagi para ilmuwan untuk merekam

hasil penelitian mereka secara objektif. Dengan demikian, ilmu pengukuran atau metrologi bisa

jadi merupakan ilmu yang tertua di dunia. Bahkan, pengetahuan tentang penggunaannya

merupakan syarat mutlak dalam segala profesi yang berbasis ilmu pengetahuan.

Dalam kaitan ini, tentu ada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh Pemerintah, yakni

melaksanakan amanah tersebut dengan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya

Page 108: Bab III Retribusi

168

kepada masyarakat. Pengukuran memang telah menjadi kebutuhan fundamental bagi

pemerintah, pedagang, produsen, pengusaha dan konsumen serta masyarakat luas. Pengukuran

berkontribusi pada mutu kehidupan setiap masyarakat melalui perlindungan konsumen,

pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, dan peningkatan daya

saing industri jasa dan manufaktur.

Sejalan dengan hal tersebut, perlu kegiatan pengawasan baik represip maupun preventif

melalui tera dan tera ulang UTTP serta penyuluhan dan pemasyarakatan kemetrologian harus

terus digulirkan. Esensi kemetrologian sebenarnya bukan semata-mata untuk menciptakan

tertib ukur dilingkungan masyarakat, melainkan juga untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan kemakmuran bangsa.

Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, dijelaskan

bahwa: “untuk melindungi kepentingan umum, perlu adanya jaminan dalam kebenaran

pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran,

standar satuan, metode pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya.”

Metrologi legal mengatur juga tentang hal-hal mengenai pembuatan, pengedaran,

penjualan, pemakaian, dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya.

Sesuai dengan amanat UUML (Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal)

tersebut, maka ditetapkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1989 tentang Standar

Nasional untuk Satuan Ukuran (SNSU), yang menjabarkan perihal penetapan, pengurusan,

pemeliharaan, dan pemakaian SNSL sebagai acuan tertinggi pengukuran yang berlaku di

Indonesia. Selain itu, ditetapkan pula Keppres No. 79 tahun 2001 tentang Komite Standar

Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) sebagai penjabaran UUML yang mengharuskan

adanya lembaga yang membina standar nasional. Keppres ini memandatkan bahwa

pengelolaan teknis ilmiah SNSU diserahkan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI). Secara tidak langsung, Keppres ini berisi penunjukkan Lembaga Metrologi Nasional

atau National Metrology Institute (NMI) kepada salah satu unit kerja di LIPI. Dalam hal ini,

Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (Puslit KIM-LIPI) adalah unit

organisasi di bawah LIPI yang bidang kegiatannya paling berkaitan dengan pengelolaan

standar nasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Puslit KIM-LIPI merupakan instansi

pemerintah yang menjalankan fungsi sebagai Lembaga Metrologi Nasional atau NMI di

Indonesia.

Page 109: Bab III Retribusi

169

Perkembangan hasil kegiatan tahuan 2009-2014 Balai Metrologi Yogyakarta, adalah

sebagai berikut:

Tabel 3.34.

Perkembangan Tera dan Tera Ulang, 2009-2014

Tahun Tera (buah) Tera Ulang

(buah) Target Rp) Realisasi (Rp)

2009 53.909 92.600 95.000.000 101.209.250

2010 71.402 130.851 95.100.000 116.678.300

2011 99.003 116.536 113.500.000 136.810.700

2012 72.977 146.017 191.270.000 191.311.300

2013 75.115 129.396 162.500.000 165.998.900

2014 60.145 177.671 181.000.000 181.196.900

Sumber: Data Sekunder Balai Metrologi Yogyakarta, 2014, data diolah.

Sedangkan, peningkatan/pengurangan pelayanan tera ulang di tempat pemakaian,

adalah sebagai berikut:

Tabel 3.35.

Peningkatan/pengurangan Pelayanan Tera Ulang di Tempat Pemakaian

Keterangan

2013 2014

Realisasi

(Rp)

Pertum-

buhan

(%)

Realisasi

(Rp)

Pertum-

buhan

(%)

Peningkatan jumlah

retribusi tera ulang 165.998.400 - 181.196.900 8,36%

Peningkatan jumlah

UTTP - - 15.198.500 -

Sumber: Data Sekunder Balai Metrologi Yogyakarta, 2014, data diolah.

Objek yang selama ini ditera/tera ulang Balai Metrologi Yogyakarta, antara

lain: 1). SPBU; 2). Argometer Taksi; 3). Timbangan; 4). PDAM; 5). PLN; 6). Gas; 7).

Dan lain-lain.

SPBU. Tera ulang SPBU, adalah dilakukan 1 tahun sekali. Hal-hal yang

‘rawan’, yang perlu diperhatikan dalam tera ulang SPBU adalah banyak sekali pompa

yang digunakan SPBU manual, sehingga keakuratan noozle rawan tidak tepat dalam 3

bulan saja. Namun saat ini telah berubah menjadi digital, sehingga kerawanan

rusaknya alat ukur tersebut menjadi terkurangi.

Page 110: Bab III Retribusi

170

Argometer taksi. Di Indonesia, kewajiban peneraan terhadap argometer dilakukan oleh

Dinas Perhubungan (LJJR). Keberadaan LJJR di Yogyakartaka cukup banyak. Sialnya adalah

saat implementasi, lalu ada masalah dengan argo taksi, maka Dinas Perdaganganlah yang

dipermasalahkan (disalahkan). Untuk tera ulang, dari pihak LJJR belum punya kewenangan

pengelolaan, “Apakah agrotaksi tersebut telah ditera ulang atau belum”.

Timbangan. Untuk timbangan, pengaturan jadwal siding tera ulang ada perbedaan

antara pedagang besar dan pedagang kecil. Untuk pedagang besar, sejauh ini dapat diatur

jadwal peneraannya, namun khusus untuk pedagang kecil di pasar, penetapan jadwal tidak

terdeteksi (kurang bisa ditetapkan). Apalagi, Balai Metrologi Yogyakarta tidak memiliki data

based by name by address, sehingga siapa saja pedagang yang akan ditera tidak diketahui (yang

diperhatikan hanyalah jumlah UTTPnya saja).

Jadwal tera/tera ulang yang telah di agendakan oleh UPT Metrologi Yogyakarta untuk

luar kantor, telah dibagi per-kabupaten dan kecamatan. Pada operasional pelaksanaannya,

dilakukan bukan didalam pasar, melainkan peneraannya dilakukan di kantor desa, sehingga

kondisi ini tidak benar-benar terlayani dengan baikm dalam arti daya jangkau pelayanannya ke

masyarakat terbatas.

PDAM. Dalam hal ini pihak PDAM lebih memilih membeli mesin yang telah ditera

daripada melakukan tera ulang kembali. Hal ini disebabkan pembiayaan untuk melakukan tera

ulang jauh lebih mahal daripada membeli mesin yang telah ditera. Kebijakan harga ini telah

ditetapkan dalam Perda.

PLN. Untuk peneraan, pihak PLN enggan (keberatab) untuk membayar retribusi. Hal

ini dikarenakan Perda yang berlaku, yaitu PP 26/1983 serta PP 18/1986, sehingga meskipun

pemerintah provinsi (Gubernur) telah turun tangan, pihak PLN masih belum mau membayar

retribusi dimaksud. Selanjutnya, Gas. Dari sisi aspek penjualan gas, BDKT (Barang Dagang

Kondisi Tertutup) adalah tidak dilakukan.

3.6.2. Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPTTG) Yogyakarta

Balai BPTTG memiliki komitmen untuk mencapai target penerimaan tahun 2015

sebesar Rp 140.000.000 (Seratus empat puluh juta rupiah). Hal ini didasarkan pada hasil

perhitungannya (TTG) sendiri. Spesifiknya sebagai berikut: Rp 30.000.000 (Tiga puluh juta

rupiah) pada penjualan ATG (alat tepat guna), dan Rp 110.000.000 (Seratus sepuluh juta

rupiah) pada jasa layanan perbengkelannya. Selanjutnya, forecasting tahun 2016 paling tidak

akan sama dengan periode 2015.

Page 111: Bab III Retribusi

171

Tabel 3.36.

Target dan Realisasi Penerimaan BPTTG Yogyakarta, 2008-2014

No Tahun Target PAD Realisasi Prosentase

(%) REMARK

1 2016 Rp - Rp - 0.00% *Penyesuaian pelanggan &

kantor baru

2 2015 Rp - Rp - 0.00% *Pindah kantor baru

3 2014 Rp 140,000,000 Rp 131,644,900 94.03% *Laporan sampai bulan

September, 2014

4 2013 Rp 140,000,000 Rp 145,365,623 103.83%

5 2012 Rp 120,000,000 Rp 122,193,974 101.83%

6 2011 Rp 110,000,000 Rp 111,861,200 101.69%

7 2010 Rp 106,000,000 Rp 108,511,300 102.37%

8 2009 Rp 106,000,000 Rp 107,997,500 101.88%

9 2008 Rp 50,000,000 Rp 50,855,000 101.71%

Sumber: Data sekunder BPTTG, 2014, diolah.

Objek pendapatan Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPTTG), adalah: 1).

Jasa layanan, dan 2). Produksi alat tepat guna. Jasa layanan, antara lain sebagai berikut: a).

Layanan pekerjaan bengkel, b). Layanan perbaikan mesin dan peralatan produksi; dan c).

Layanan konsultasi teknis mesin dan peralatan produksi.

Layanan pekerjaan bengkel, meliputi: 1). Layanan bubut, tarif Rp 2.500 per/menit; 2).

Layanan boor, tarif Rp 2.000 per/lubang permm; 3). Layanan root plat; 4). Layanan potong

plat; 5). Layanan tekuk plat, tarif Rp 3.000 per/tekuk permm; 6). Layanan sekrap; 7). Layanan

press, tarif Rp 8.000 per/menit; 8). Layanan las listrik; 9). Layanan las karbit, tarif Rp 2.500

per/cm permm; 10). Layanan las titik; 11). Layanan tap, tarif Rp 3.000 per/lubang; 12).

Layanan las argon. Sedangkan produksi alat tepat guna, dibagi menjadi 2, yaitu: 1). Produksi

kemasan; dan 2). Produksi ATG atau rekayasa dan pembuatan peralatan produksi.

Produksi ATG atau rekayasa dan pembuatan peralatan produksi, meliputi: 1). Mesin

oven roti; 2). Mesin oven; 3). Mesin alat pengering kayu; 4). Mesin alat pengering; 5). Mesin

Pencetak pelet; 6). Mesin pengaduk pelet; 7). Mesin pembuat ice cream 2 tabung; 8). Mesin

pembuat ice cream; 9). Mesin alat pencetak conblok; 10). Mesin press genteng; 11). Mesin

press garam; 12). Mesin press bungkil; 13). Mesin parut single; 14). Mesin parut double; 15).

Page 112: Bab III Retribusi

172

Mesin pemeras santan otomatis; 16). Mesin pengurai sabut kelapa; 17). Mesin alat pembuat

tali tampar; 18). Mesin mixer tembakau; 19). Mesin circle; 20). Mesin jigsaw; 21). Mesin

conveyer; 22). Mesin bubut; 23). Mesin pengirat bambu; 24). Mesin pembuat lidi; 25). Mesin

belt & disc sender; 26). Mesin disc sender; 27). Mesin mixer/pengaduk; 28). Mesin mixer

kumbu bakpia; 29). Mesin pengupas kacang; 30). Mesin penggiling kedelai; 31). Mesin sortasi

kedelai; 32). Mesin penghancur batu; 33). Mesin penepung; 34). Mesin pengupas kacang

hijau/kedelai; 35). Mesin pengupas kemiri; 36). Mesin pengaduk sabun; 37). Mesin bak

pencuci; 38). Mesin molen kulit; 39). Mesin pengupas kulit kopi; 40). Mesin mixer pengaduk

cat; 41). Mesin mixer cake; 42). Mesin alat pengemping mlinjo; 43). Mesin alat masak/wajan;

44). Mesin pemotong benguk; 45). Mesin presto; 46). Mesin potong singkong manual; 47).

Mesin pemotong tempe; 48). Mesin pemotong singkong; 49). Mesin pemotong krupuk; 50).

Mesin alat perajang rumput/nilam; 51). Mesin pembelah kelapa; 52). Mesin alat perajang

tempe/tahu; 53). Mesin perajang bawang; 54). Mesin pengayak; 55). Mesin penyaring pasir;

56). Mesin alat penyaring batu; 57). Mesin penghancur kompos; 58). Mesin penghancur

sampah; 59). Mesin granule; 60). Mesin pencetak stick; 61). Mesin stick kombinasi; 62). Mesin

alat pembuat slondok; 63). Mesin pembuat getuk; 64). Mesin pembuat empek-empek; 65).

Mesin ppembuat gula kristal; 66). Mesin penyuling minyak; 67). Mesin penjernih minyak; 68).

Mesin alat pemeras manual; 69). Mesin press jarak; 70). Mesin pemotong sukun; 71). Mesin

pemotong singkong/krupuk; 72). Mesin peniris minyak; 73). Mesin vacuum frying; 74). Mesin

sangrai kacang; 75). Mesin pengayak tepung; 76). Mesin mixer tanah; 77). Mesin evaporator;

78). Mesin alat pengemping jagung; 79). Mesin pemisah kotoran kedelai; 80). Mesin perontok

padi; 81). Mesin perontok jagung; 82). Mesin sangrai kopi; dan 83). Mesin perontok padi.

Sedangkan objek pendapatan (penerimaan) tambahan saat ini adalah antara lain sebagai

berikut: 1). Las listrik steanlis, tarif Rp 4.000 per/elektrode; 2). Potong gergaji, tarif Rp 2.000

per/cm; 3). Coting plasma, tarif Rp 3.000 per/cm/mm; 4). Milling boor, tarif Rp 3.000

per/cm/mm; 5). Las co, tarif Rp 2.000 per/cm/mm; 6). Spet cat, tarif Rp 50.000 per/m2; 7).

Gerinda slep, tarif Rp 2.000 per/cm2; 8). Milling CNS, tarif Rp 2.000 per/gigi/modul/cm; 9).

PON level 5 ringan, tarif Rp 75 per/lembar karton; 10). PON level 5 sedang, tarif Rp 80

per/lembar karton; 11). PON level 5 berat, tarif Rp 100 per/lembar karton; 12). Clips, tarif Rp

35 per/clips; 13). Sliter, tarif Rp 100 per/potong karton; dan 14). Sloter, tarif Rp 100 per/naik

karton.