Bab III Retribusi
Transcript of Bab III Retribusi
61
BAB III
POTENSI DASAR PENDAPATAN ASLI DAERAH
3.1. Dinas Kelautan dan Perikanan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor perikanan dan kelautan DIY bersumber dari
berbagai aktivitas di UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislautkan) DIY. Dislautkan DIY
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001, Jo Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Daerah Yogyakarta. Dislautkan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah
daerah di bidang kelautan dan perikanan, kewenangan dekonsentrasi serta pembantuan yang
diberikan oleh pemerintah. Terkait dengan PAD, fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan seperti
yang dituangkan dalam situs resminya adalah sebagai pelaksana koordinasi perizinan di bidang
kelautan dan perikanan, pengujian dan pengawasan muut perikanan, pelayanan umum sesuai
kewenangannya, dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan
fungsi dan tugasnya.
Sesuai dengan struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, satuan kerja
yang ada di Dinas Kelautan dan Perikanan terdiri atas satu kesekretariatan, tiga bidang (bidang
kelautan dan pesisir, perikanan, dan bina usaha), dan 2 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
yaitu UPTD Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan (BPTKP) berkedudukan
di Cangkringan, Kabupaten Sleman dan UPTD Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, di
Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Unit kerja penghasil PAD di Dinas Kelautan
dan Perikanan DIY berasal dari UPTD BPTKP, UPTD PPP, dan kantor Dinas Kelautan dan
Perikanan. Penyumbang terbesar PAD di Dinas Perikanan adalah UPTD BPTKP sehingga
UPTD BPTKP merupakan tulang punggung sumber penerimaan PAD di sektor Perikanan dan
Kelautan DIY.
Penarikan PAD di Dinas Kelautan dan Perikanan diatur berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang ditindaklanjuti dengan Peraturan
Gubernur Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif Retribusi Jasa Usaha dan Peraturan
Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif
62
Retribusi Perizinan Tertentu. Retribusi jasa usaha di Dinas Kelautan dan Perikanan DIY terdiri
atas retribusi pemakaian kekayaan daerah (sewa penggunaan lahan, jasa sertifikasi pengawasan
mutu hasil perikanan di LPPMHP, dan jasa pengujian laboratoium di BPTKP), retribusi jasa
usaha (pengelolaan pelabuhan perikanan pantai), retribusi penjualan produksi usaha daerah di
unit kerja budidaya air tawar, payau, dan laut, sedangkan retribusi perizinan tertentu meliputi
izin usaha perikanan (SIUP, SIPI, dan SIKPI). Penjelasan rinci mengenai unit penghasil PAD
dan sumber penerimaannya adalah sebagai berikut:
3.1.1. Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan
Perikanan.
Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan (BPTKP) adalah salah satu
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan memiliki tugas
dan fungsi yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 39 Tahun 2008 tentang Rincian
Tugas dan Fungsi Dinas dan Unit Pelaksana Teknis pada DInas Kelautan dan Perikanan.
BPTKP bertugas menyelenggarakan pengembangan teknologi budidaya air Tawar, air payau,
dan air laut. Dalam melaksanakan teknis operasional, BPTKP mengelola kegiatan
pengembangan budidaya air tawar, air payau dan air laut. Tugas utama BPTKP adalah di bidang
perbenihan dan pengelolaan induk atau calon induk ikan/udang serta pengembangan dan
penerapan teknologi budidaya. Selain itu, BPTKP juga memberikan layanan teknis
pengendalian hama dan penyakit ikan (HPI). Dalam melaksanakan tugasnya, BPTKP memiliki
tujuh unit kerja yaitu: Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) sebanyak empat unit, Unit
Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) sebanyak dua unit, dan Unit Kerja Budidaya Air Laut
(UK BAL) sebanyak unit. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) meliputi UK BAT
Cangkringan, Wonocatur, Sendangsari, dan Bejiharjo. Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK
BAP) meliputi UK BAP Samas dan UK BAT Congot, sedangkan Unit Kerja Budidaya Air Laut
(UK BAL) adalah UK BAL Sundak.
1. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Cangkringan
Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Cangkringan terletak di Desa Argomulyo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. UK BAT Cangkringan memiliki lahan seluas 7,5
ha dengan kolam yang dimiliki seluas 4,5 ha. Jumlah karyawan yang ada di UK BAT
Cangkringan pada tahun 2013 adalah sebanyak 12 orang yang terdiri atas 10 orang Pegawai
63
Negeri Sipil (PNS) dan 2 orang tenaga honorer (PTT). Rincian fasilitas yang ada di UK BAT
Cangkringan adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1.
Fasilitas di UK BAT Cangkringan
No. Peruntukan Jumlah (buah) Luas Keterangan
1. Kolam 103 4,7179 ha Kondisi baik
2. Bak 122 1.826 m 2 Kondisi baik
3. Gedung 26 1.251,5 m 2 Kondisi baik
4. Bangsal kerja 2 433,8 m 2 Kondisi baik
5. Laboratorium 3 211 m 2 Kondisi baik
6. Pasar ikan petani 1 220 m 2 Kondisi baik
7. Conical tank 2 20 m 3 Kondisi baik
8. Jalan aspal, parkir, halaman 1 300m2 x 2 Kondisi baik
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008
Penerimaan PAD di UK BAT Cangkringan bersumber pada retribusi penjualan
produksi usaha daerah dan penyewaan aset. Produk yang dijual UK BAT Cangkringan meliputi
penjualan induk, benih, telur, dan ikan konsumsi. Komoditas ikan yang dihasilkan selama
periode 2007-2013 diantaranya adalah ikan mas, nila merah, nila hitam, tawes, gurami, lele,
grass carp, udang galah, dan lobster. Total benih yang diproduksi UK BAT Cangkringan pada
tahun 2013 adalah sebanyak 5.374.450 ekor yang terdiri atas benih ikan mas (2.376.500 ekor),
nila merah (2.948.650 ekor), dan nila hitam (49.300 ekor), sedangkan ikan konsumsi yang
dijual adalah nila hitam sebanyak 2.500 kg. Dari sisi produksi benih, terjadi peningkatan
produksi dibandingkan tahun sebelumnya dimana jumlah produksi pada tahun 2012 adalah
sebanyak 3.716.643 ekor. Namun jika dilihat dari penjualan induk, terjadi penurunan yang
signifikan dimana pada tahun 2013 UK BAT Cangkringan tidak memproduksi induk. Hal
tersebut berbeda dengan pola penerimaan pada tahun-tahun sebelumnya dimana UK BAT
Cangkringan selalu memproduksi induk dan benih ikan, bahkan produksi induk UK BAT
Cangkringan pernah mencapai 5.344 kg pada tahun 2009.
64
Gambar 3.1.
Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Cangkringan, 2006-2013
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)
Target PAD yang dibebankan kepada UK BAT Cangkringan selama periode 2006-2013
dapat dikatakan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hanya pada tahun 2010 dan
2011, tidak terjadi peningkatan target PAD. Target PAD yang dibebankan pada tahun 2006
adalah sebesar Rp160.002.200 dan meningkat menjadi Rp250.700.000 pada tahun 2013. Rata-
rata peningkatan target PAD selama periode 2006-2013 adalah sebesar 7% per tahun, bahkan
pada tahun 2012 dan 2013 pertumbuhan target PAD yang dibebankan pada UK BAT
Cangkringan mencapai 21%. Penerimaan PAD di UK BAT Cangkringan dapat dikatakan
cenderung fluktuatif dimana pada tahun 2009, 2011, dan 2013 mengalami pertumbuhan
penerimaan, sedangkan pada tahun 2007, 2008, 2010, dan 2012 mengalami penurunan
penerimaan. Secara agregat, rata-rata peningkatan penerimaan PAD UK BAT Cangkringan
adalah sebesar 11,19% (realisasi penerimaan tahun 2006 sebanyak Rp160.680.500 dan tahun
2013 sebanyak Rp250.774.00) dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu
sebesar 58,1%, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 30,58%.
Penurunan tersebut disebabkan adanya erupsi Gunung Merapi yang mengakibatkan banyak
induk dan benih yang mengalami kematian karena debu erupsi. Jika dilihat dari rasio antara
target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAT Cangkringan selalu mencapai target yang
dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 159,1%
(target sebesar Rp170.000.000 dan realiasai sebesar Rp270.476.800). Hanya pada tahun 2008,
100 100 96
145
101
159
104 100
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
-
50,000,000
100,000,000
150,000,000
200,000,000
250,000,000
300,000,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target (Rp) Realisasi (Rp) Persentase (%) Poly. (Realisasi (Rp))
65
UK BAT Cangkringan tidak mampu mencapai target dimana rasionya hanya sebesar 95,73%
(target sebesar Rp164.000.000 dan realisasi sebesar Rp157.000.000). Dengan demikian,
dengan trend pertumbuhan yang positif dan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan
asli daerah, UK BAT Cangkringan diharapkan mampu mempertahankan atau meningkatkan
perfoma kerja untuk peningkatan mutu hasil produksi dan sumbangan yang lebih besar
terhadap pendapatan asli daerah.
2. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Wonocatur
Pada awalnya Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Wonocatur berlokasi di Desa
Tegalmulyo, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul dengan luas lahan sekitar 2 hektar,
namun pada bulan Juli 2008 lokasi Unit Kerja BAT Wonocatur pindah ke Desa Argomulyo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. UK BAT Wonocatur menempati sebagian dari
area UK BAT Cangkringan tepatnya di bagian barat. UK BAT Wonocatur menempati tanah
seluas 1,155 hektar, yang terdiri atas lahan untuk perkolaman 0,575 ha, lahan hatchery, gudang
pupuk dan kapur serta bangunan kantor 0,192 ha dan untuk lain-lain 0,388 ha. Kondisi kolam
secara umum dapat dikatakan baik dengan bangunan permanen dan berdinding
tembok/beton.Pelaksanaan kegiatan teknis dan administrasi di UK BAT Wonocatur didukung
oleh 5 karyawan yang semuanya berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Penerimaan PAD di UK BAT Wonocatur bersumber pada penjualan produksi usaha
daerah. Produk yang dijual UK BAT Wonocatur meliputi penjualan induk, ikan konsumsi, dan
benih ikan. Komoditas ikan yang diproduksi selama periode 2007-2013 adalah ikan mas, nila
hitam, nila merah, lele, dan tawes. Setelah adanya reorientasi produksi yang dilakukan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, UK BAT Wonocatur difokuskan untuk memproduksi
komoditas lele (induk dan benih). Total induk yang dihasilkan UK BAT Wonocatur pada tahun
2013 adalah sebanyak 467 kg (lele), sedangkan total benih yang diproduksi adalah sebanyak
2.029.250 ekor yang terdiri atas benih lele (1.974.250 ekor), nila hitam (40.000 ekor), dan nila
merah (15.000 ekor). Produksi benih pada tahun 2013 mengalami kenaikan jika dibandingkan
produksi tahun 2012 yang hanya berjumlah 1.707.000 ekor. Produksi benih tertinggi yang
dihasilkan UK BAT Wonocatur terjadi pada tahun 2011 dengan produksi sebanyak 2.642.750
ekor, sedangkan produksi induk tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 1.164 kg.
66
Gambar 3.2.
Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Wonocatur, 2006-2013
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)
Penerimaan PAD yang ditargetkan kepada UK BAT Wonocatur selama tahun 2006-
2011 tidak mengalami peningkatan yaitu hanya sebesar Rp15.000.000, peningkatan target
PAD baru terjadi pada tahun 2012 menjadi Rp20.000.000, kemudian meningkat menjadi
Rp29.000.000 pada tahun 2013. Penerimaan PAD di UK BAT Wonocatur selama tahun 2006-
2010 cenderung stagnan yaitu pada kisaran angka Rp15.066.000.000-15.456.000. Kenaikan
penerimaan PAD secara signifikan terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar Rp41.506.350
(173,12%), kemudian mengalami penurunan pada tahun 2012 menjadi Rp28.440.000 (-
31,48%), dan meningkat kembali menjadi Rp31.485500 (10,78%). Rata-rata peningkatan
target selama tahun 2006-2013 adalah sebesar 11,16%, sedangkan rata-rata peningkatan
realisasi penerimaan adalah sebesar 21,63%. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi
penerimaan PAD, UK BAT Wonocatur selalu mencapai target yang dibebankan dengan rasio
pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 276,71% (target sebesar
Rp15.000.000 dan realiasai sebesar Rp41.506.250), sedangkan rasio pencapaian terendah
terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 100,44% (target sebesar Rp15.000.000 dan realisasi
sebesar Rp15.066.000).
102 103 100 101 101
277
142
109
-
50
100
150
200
250
300
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
45,000,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target (Rp) Realisasi (Rp) Persentase (%) Poly. (Realisasi (Rp))
67
3. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Bejiharjo
Unit Kerja Budiddaya Air Tawar (UK BAT) Bejiharjo berada di Dusun Gelaran, Desa
Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. UK BAT Bejiharjo memiliki
luas lahan seluas 1,8 Ha yang terdiri atas bangunan dan gedung kantor seluas 0,7 Ha dan kolam
seluas 1,1 Ha. Tenaga kerja berjumlah 4 orang, terdiri dari 1 orang PNS dan 3 orang tenaga
honorer. Rincian fasilitas yang ada di UK BAT Bejiharjo adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2.
Fasilitas di UK BAT Bejiharjo
No. Peruntukan Jumlah
(buah)
Luas (m 2) Keterangan
1. Kolam pendederan 11 5.500 Baik
2. Kolam induk 7 3000 Baik
3. Kolam penetasan 4 123,2 Baik
4. Kolam pemijahan 1 65 Baik
5. Kolam penampungan benih 6 144 Baik
6. Bak pembenihan 2 6 Baik
7. Bak filter 1 50 Baik
8. Rumah jaga 1 72 Baik
9. Kantor 1 99 Baik
10. Gudang pakan 1 60 Baik
11. Kolam Tandon 1 500 Baik
12. Pagar Keliling 1 unit Baik
13. Pagar Kantor keliling 1 unit 180 baik
14. Gudang Pupuk 1 30 baik
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008
Penerimaan PAD di UK BAT Bejiharjo bersumber pada penjualan produksi usaha
daerah. Produk yang dijual di UK BAT Bejiharjo diantaranya adalah induk, ikan konsumsi,
dan benih. Komoditas ikan yang diproduksi selama periode 2007-2013 adalah ikan mas, nila
hitam, nila merah, tawes, dan lele. Setelah adanya reorientasi produksi yang dilakukan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, UK BAT Bejiharjo difokuskan untuk memproduksi
komoditas lele (induk dan benih). Produksi induk tertinggi di UK BAT Bejiharjo terjadi pada
tahun 2010 yaitu sebanyak 577 kg, sedangkan produksi ikan konsumsi hanya terjadi pada tahun
2007 yaitu sebanyak 102,75 kg (tahun 2008-2013 tidak memproduksi ikan konsumsi). Dari sisi
produksi benih, produksi puncak terjadi pada tahun 2011 yaitu sebanyak 3.273.300 ekor,
sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2007 yang hanya memproduksi benih
sebanyak 345.500 ekor. Pada tahun 2013, produksi induk adalah sebanyak 255 kg (khusus lele),
sedangkan produksi benih di UK BAT Bejiharjo sebanyak 3.08.000 ekor dengan komoditas
68
lele menyumbang produksi tertinggi yaitu sebanyak 1.288.000 ekor, diikuti tawes sebanyak
917.000 ekor, ikan mas (848.000 ekor), dan nila merah (28.000 ekor). Produksi benih pada
tahun 2013 masih di bawah produksi puncak, namun jika dibandingkan produksi pada tahun
2012 yang hanya 2.617.000 ekor yang mana berartoi telah terjadi kenaikan produksi benih
sebanyak 464.000
Gambar 3.3.
Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Bejiharjo, 2006-2013
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)
Rata-rata pertumbuhan target PAD yang dibebankan kepada UK BAT Bejiharjo selama
periode 2007-2013 adalah sebesar 24,61% dengan pertumbuhan target tertinggi terjadi pada
tahun 20o9 yaitu sebanyak 100%. Target PAD pada tahun 2006 adalah sebesar Rp11.016.000,
pada tahun 2008 target meningkat menjadi Rp12.500.000, kemudian meningkat 100% menjadi
Rp25.000.000 pada tahun 2009, hingga kemudian meningkat menjadi Rp41.000.000 pada
tahun 2013. Dari sisi penerimaan PAD, realisasi penerimaan PAD pada tahun 2006 adalah
sebesar Rp11.348.000 hingga kemudian meningkat menjadi Rp41.609.500 pada tahun 2013.
Rata-rata pertumbuhan realisasi PAD selama periode 2006-2013 adalah sebesar 25,34%,
dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebanyak 106,23%. Kenaikan
pertumbuhan realisasi penerimaan yang tinggi pada tahun tersebut berjalan seiring dengan
kenaikan target PAD yang signifikan (100%) sehingga dapat disimpulkan selama periode
tersebut bahwa kenaikan realisasi penerimaan PAD di UK BAT Bejiharjo bergantung pada
103 112
101 104 103
164
109 101
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
45,000,000
50,000,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
69
target yang ditetapkan.Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK
BAT Bejiharjo selalu mencapai target yang dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi
terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 163,84% (target sebesar Rp25.000.000 dan realisasi
sebesar Rp40.959.100), sedangkan rasio pencapaian terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu
sebesar 101,34% (target sebesar Rp12.500.000 dan realisasi sebesar Rp12.667.000).
4. Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UK BAT) Sendangsari
Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UKBAT) Sendangsari merupakan salah satu unit kerja
Budidaya Air Tawar UPTD BPTKP pada Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa
Yogyakarta yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pusat pengembangan budidaya air
tawar khususnya untuk komoditas gurame. UK BAT Sendangsari berada di Desa Sendangsari,
Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo dan dibangun pada tahun 1980 dengan sumber
Anggaran Proyek Bangun Desa. UK BAT Sendangsari berada pada ketinggian 200 m dpl
dengan luas areal seluruhnya adalahsebesar 2,5 Ha yang meliputi bangunan kolam seluas 1,7
Ha dan sisanya seluas 0,8 Ha digunakan untuk bangunan kantor, gudang, dan pekarangan.
Tenaga kerja berjumlah 6 orang. Rincian fasilitas yang ada di UK BAT Sendangsari adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.3.
Fasilitas di UK BAT Sendangsari
No. Peruntukan Jumlah (buah) Luas total Keterangan
1. Kolam 24 1,8 ha Baik
2. Kolam permanen 10 100 m2 Baik
3. Bak 10 100 m 2 Baik
4. Bak pengendapan 1 20 m 3 Rusak
5. Hatchery 1 60 m2 Baik
6. Kantor BBI 1 105 m2 Baik
7. Rumah dinas 1 70 m2 Baik
8. Gudang 1 12 m2 baik
9. Pagar duri 1 1200 m2 Baik
10. Gudang Pupuk 1 33 m2 Baik
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008
Penerimaan PAD di UK BAT Sendangsari bersumber pada penjualan produksi usaha
daerah. Produk yang dijual di UK BAT Sendangsari diantaranya adalah ikan konsumsi, induk,
benih, dan telur ikan.Komoditas ikan yang diproduksi selama periode 2007-2013 diantaranya
adalah ikan mas, tawes, nila hitam, nila merah, lele, dan gurami.Khusus untuk telur, semua
produk yang dijual merupakan telur gurami. Setelah adanya reorientasi produksi yang
70
dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, UK BAT Sendangsari difokuskan untuk
memproduksi komoditas gurami (induk, benih dan telur). Pada periode 2007-2103, produksi
benih tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebanyak 3.307.900 ekor, sedangkan produksi
terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 155.225 ekor. Untuk induk, produksi tertinggi
terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 2.149 kg, namun produksi induk tidak kontinyu setiap
tahun dimana produksi induk hanya terjadi pada tahun 2008, 2010, dan 2012. Produksi ikan
konsumsi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 519 kg, sama seperti produk induk,
produksi ikan konsumsi juga tidak kontinyu setiap tahun dengan produksi hanya terjadi pada
tahun 2007, 2008, dan 2013. Produksi telur gurami di UK BAT Sendangsari dimulai pada tahun
2010 dengan produksi sebanyak 269.300 telur dan berlanjut hingga tahun 2013 dengan
produksi sebanyak 332.800 telur. Pada tahun 2013, UK BAT Sendangsari hanya memproduksi
benih, ikan konsumsi, dan telur ikan. Produksi benih pada tahun 2013 adalah sebanyak 385.650
ekor (gurami sebanyak 209.250 ekor dan nila hitam sebanyak 176.400 ekor), produksi ikan
konsumsi sebanyak 78 kg dimana seluruhnya adalah komoditas nila hitam, dan produksi telur
gurami sebanyak 332.800 telur.
Gambar 3.4.
Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAT Sendangsari, 2006-2013
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)
Target PAD yang dibebankan kepada UK BAT Sendangsari selama tahun 2006-2011
tidak mengalami peningkatan yang signifikan yaitu hanya berkisar antara Rp30.000.000-
100
105
100 101
101
106
114
100
90
95
100
105
110
115
0
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
45,000,000
50,000,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
71
35.000.000 dengan target PAD selama tahun 2009-2011 tidak mengalami peningkatan yaitu
hanya sebesar Rp35.000.000. Target PAD kemudian naik 11,43% pada tahun 2012 menjadi
Rp39.000.000 dan pada tahun selanjutnya meningkat 12,82% menjadi Rp44.000.000. Pola
realisasi penerimaan PAD di UK BAT Sendangsari juga mengikuti pola target PAD yang
dibebankan dimana penerimaan PAD berkisar antara Rp31.513.000-37.178.000. Kenaikan
penerimaan PAD secara signifikan terjadi pada tahun 2012 yaitu menjadi Rp44.319.000
(19,08%), kemudian mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi Rp44.084.000 (-0,53%).
Nila rata-rata peningkatan target PAD dan realisasi penerimaan selama periode 2006-2013 di
UK BAT Sendangsari dapat dikatakan sama dimana rata-rata peningkatan target PAD adalah
sebesar 4,86%, sedangkan rata-rata peeningkatan realisasi penerimaannya sebesar 4,90%. Jika
dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAT Sendangsari selalu
mencapai target yang dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2012
yaitu sebesar 113,64% (target sebesar Rp39.000.000 dan realisasi sebesar Rp44.319.000),
sedangkan rasio pencapaian terendah terjadi pada tahun 2006 yang hanya sebesar 100,00%
(target sebesar Rp32.004.400 dan realisasi sebesar Rp32.005.000).
5. Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) Samas
Unit Kerja BAP Samas sebelumnya bernama Balai Benih Udang Galah (BBUG)
Samas, yang dibangun pada tahun 1983/1984 melalui Anggaran APBN (Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian) dan mulai beroperasional pada tahun 1985. Sesuai dengan
SOTK tahun 2009 nama Balai Benih Udang Galah (BBUG) Samas diganti menjadi Unit Kerja
Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas. UK BAP Samas mempunyai lahan seluas 5,5 Ha yang
terletak di tepi pantai Samas dengan topografis berupa dataran pasir. UK BAP Samas terletak
di Dusun Ngepet, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Unit Kerja
Budidaya Air Payau (UK BAP) Samas sebagai salah satu pusat hatchery udang galah
memproduksi benih yang unggul, untuk memenuhi kebutuhan benih petani khususnya di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam rangka meningkatkan produksi benih yang bermutu baik
dan kontinyu, UK BAP Samas senantiasa melakukan kerjasama penelitian (cooperative
breeding system/ CBS ) dengan Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air
Tawar (LRPTBPAT) Sukamandi yang berada dalam struktur organisasi Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP).
Pada awal tahun 2012 induk dan calon induk udang galah di UK BAP Samas terinfeksi
virus MrNV (Macrobrachium roserbergii Noda Virus). Berdasarkan uji laboratorium dan
rekomendasi dari Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan Universitas Gajah
72
Mada dan dan Laporan Hasil Uji Laboratorium Uji BBPBAP Jepara, maka induk dan calon
induk harus dimusnahkan dengan cara dibakar kemudian dikubur. Pemusnahan induk udang
galah sebanyak 2.200 ekor (219 kg) dilakukan pada tanggal 22 Maret 2012. Unit Kerja BAP
Samas terhitung sejak tahun 2013 sudah menjalin kerjasama dengan pihak perguruan
tinggi/akademisi dalam rangka pemuliaan udang galah, yaitu Jurusan Perikanan dan Fakultas
Biologi UGM. Kerjasama ini diharapkan bersifat saling menguntungkan dan bersinergi
sehingga kegiatan pemuliaan udang galah di UK BAP Samas dapat berjalan lancar. Segala
bentuk kerjasama yang sudah terjalin diharapkan dapat terus berjalan, dan dapat menghasilkan
sesuatu yang lebih berguna kepada para pelaku budidaya udang galah di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pada tahun 2008, karyawan UK BAP Samas berjumlah 13 orang yang seluruhnya
berstatus PNS. Menurut pendidikannya, karyawan di UK BAP Samas yang berpendidikan S1
sebanyak 3 orang, sarjana muda sebanyak 2 orang, SMAsebanyak 2 orang, dan SMP sebanyak
6 orang. Rincian fasilitas yang ada di UK BAP Samas adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4.
Fasilitas di UK BAP Samas
No. Uraian Luas (m²) Jumlah
1. Rumah Hatchery 500 2 unit
2. Kantor 54 1 unit
3. Rumah pimpinan 114 1 unit
4. Laboratorium 100 1 unit
5. Aula 170 1 unit
6. Rumah jaga 36 3 unit
7. Rumah jaga 70 2 unit
8. Rumah genset 12 1 unit
9. Rumah pumpa air 9 3 unit
10. Kolam biokrit 2000 2 unit
11. Kolam pembesaran 2500 3 unit
12. Kolam pematang induk 500 7 unit
13. Pagar tembok. T. 1,5 m P. 105 m - 1 unit
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008
Komoditas yang diproduksi di UK BAP Samas hanya udang galah dengan variasi
produk yang dijual adalah larva, udang galah konsumsi, induk, calon induk, juvenile, dan
tokolan. Selama periode 2007-2013, produksi larva tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan
produksi sebanyak 10.720.000 larva, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2008
yang hanya memproduksi sebanyak 800.000 larva. Hanya pada tahun 2012, UK BAP Samas
tidak memproduksi larva. Produksi udang galah konsumsi di UK BAP Samas hanya
berlangsung pada periode 2007-2012, sedangkan pada tahun 2013, UK BAP Samas tidak
73
memproduksi udang galah konsumsi. Produksi udang galah konsumsi tertinggi terjadi pada
tahun 2008 dengan produksi sebanyak 60 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun
2010 yaitu sebanyak 20 kg. Produksi induk udang galah di UK BAP Samas hanya berlangsung
selama tiga tahun (2007-2009) dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan 2008
yaitu sebanyak 140 kg dan produksi tersebut kemudian menurun menjadi 28 kg pada tahun
2009. Produksi calon induk di UK BAP Samas hanya berlangsung pada tahun 2007 dan 2008
dengan produksi masing-masing sebanyak 200 kg. Produksi tokolan udang galah di UK BAP
Samas berlangsung dari tahun 2007-2010 dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007
yaitu sebanyak 350.000 ekor dan produksi terendah terjadi pada tahun 2010 yang hanya
memproduksi sebanyak 12.000 ekor. Produk yang rutin diproduksi di UK BAP Samas setiap
tahun adalah juvenil dengan rata-rata produksi sebanyak 3.297.293 ekor. Produksi juvenil
tertinggi tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan produksi sebanyak 3.769.250 ekor dan
produksi terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya memproduksi juvenil sebanyak
2.224.000 ekor.
Gambar 3.5.
Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAP Samas, 2003-2013
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)
60
94
105 107 103
120
102 102 105
120
100
-
20
40
60
80
100
120
140
-
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
160,000,000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
74
Target PAD yang dibebankan kepada UK BAP Samas selama periode 2003-2013 dapat
dikatakan fluktuatif dan nilainya berkisar antara Rp65.000.00-132.000.000. Pada tahun 2003,
target PAD untuk UK BAP Samas adalah sebesar Rp105.000.000, mengalami penurunan
menjadi Rp95.000.000 pada tahun 2005, naik kembali menjadi Rp120.000.000 pada tahun
2007, turun kembali menjadi Rp117.500.000, naik kembali menjadi Rp132.000.000 pada tahun
2011, turun kembali menjadi Rp65.000.000 pada tahun 2012 (penurunan target yang mencapai
50,76% disebabkan semua induk dan calon induk yang dimiliki harus dimusnahkan karena
terkena virus), dan kemudian naik kembali pada tahun 2013 menjadi Rp124.000.000. Secara
keseluruhan kenaikan target PAD per tahun adalah sebesar 6,53% dengan peningkatan target
tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 90,77%. Tidak berbeda jauh dengan target PAD,
realisasi penerimaan PAD UK BAP Samas juga dapat dikatakan fluktuatif, penurunan
penerimaan PAD terjadi pada tahun 2009, 2010, dan 2012 (tertinggi pada tahun 2012 mencapai
43,62%). Realisasi penerimaan PAD UK BAP Samas selama periode tahun 2003-2013 berkisar
antara Rp62.673.000-141.073.000 dengan realisasi penerimaan tertinggi terjadi pada tahun
2008 dan realisasi terendah terjadi pada tahun 2003. Secara keseluruhan, rata-rata peningkatan
realisasi penerimaan PAD di UK BAP Samas selama periode 2003-2013 adalah sebesar
10,53% dengan pertumbuhan realisasi penerimaan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu
sebesar 59,16%. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAP
Samas selama periode 2005-2013 selalu mampu mencapai target yang dibebankan dengan rasio
pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 120,06% (target sebesar
Rp65.000.000 dan realisasi sebesar Rp78.040.000), sedangkan rasio pencapaian terendah
terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 100,17% (target sebesar Rp124.000.000 dan realisasi
sebesar Rp124.210.000). Berdasarkan data trend penerimaan pada Gambar 3.5 nampak BAP
Samas pada tingkat pengelolaan sampai saat ini, penerimaan tertinggi adalah sebesar
Rp124.210.000.
6. Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) Congot
Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP) Congot berlokasi di Pasir Mendit,
Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.UK BAP Congot dibangun pada tahun
anggaran 1983/1984, dan mulai beroperasi pada tahun 1985. UK BAP Congot mempunyai
lahan seluas 5,5 Ha dengan kolam seluas 1 Ha. Pada tahun anggaran 2005, dilakukan
pembangunan kembali sawah tambak Congot dan mulai beroperasional pada tahun 2006 dan
sawah tambak Congot berubah nama menjadi Unit Kerja Budidaya Air Payau (UK BAP)
75
Congot. Fasilitas yang ada di UK BAP Congot diantaranya adalah rumah jaga, sumur air tawar,
gedung pertemuan, kantor, rumah dinas, jalan pavling block, pagar kawat, rumah pompa air,
saluran pemasangan, kincir air, kolam pembesaran, dan reservoir. Unit Kerja Budidaya Air
Payau Congot hanya memiliki 4 orang karyawan.
Penerimaan PAD di UK BAP Congot bersumber pada penjualan produksi usaha daerah.
Komoditas ikan/udang yang diproduksi selama periode 2007-2013 adalah udang windu, udang
vanamei, ikan bandeng, dan udang galah dimana semua komoditas tersebut dijual dalam bentuk
ikan/udang konsumsi.Produksi udang galah di UK BAP Congot hanya terjadi pada tahun 2007
dan 2009 dengan produksi masing-masing sebanyak 30 dan 160 kg. Selama periode 2007-
2012, UK BAP Congot tidak memproduksi udang windu. Produksi udang windu hanya pada
tahun 2013 yaitu sebanyak 270 kg. Udang vanamei dan bandeng merupakan dua komoditas
utama yang diproduksi di UK BAP Congot. Hanya pada tahun 2008, UK BAP Congot tidak
memproduksi bandeng. Produksi bandeng tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebanyak 476
kg. Rata-rata produksi bandeng selama periode tersebut adalah 207 kg per tahun. Rata-rata
produksi udang vanamei di UK BAP Congot adalah sebanyak 1.076 kg per tahun dengan
produksi tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebanyak 2.056 kg dan produksi terendah
terjadi pada tahun 2007 yang hanya memproduksi sebanyak 303 kg.
76
Gambar 3.6.
Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAP Congot, 2006-2013
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)
Target PAD yang dibebankan kepada UK BAP Congot selama periode 2007-2013
dapat dikatakan selalu meningkat setiap tahun dimana hanya pada tahun 2011 target PAD tidak
mengalami kenaikan. Target PAD yang dibebankan pada tahun 2006 adalah sebesar
Rp8.010.000 dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp75.000.000. Rata-rata kenaikan target
PAD setiap tahunnya adalah sebesar 43,54% dengan kenaikan target tertinggi terjadi pada
tahun 2009 yaitu sebesar 130,77% (target PAD tahun 2008 sebesar Rp13.000.000 dan target
PAD tahun 2009 sebesar Rp30.000.000). Realisasi penerimaan PAD di UK BAP Congot selalu
mengalami kenaikan setiap tahunnya dengan rata-rata kenaikan realisasi penerimaan sebesar
55,04% per tahun. Peningkatan realisasi penerimaan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu
sebesar 167,88% (realisasi penerimaan tahun 2012 sebesar Rp41.467.000 dan pada tahun 2013
meningkat menjadi Rp111.080.300) dan kenaikan realisasi penerimaan terendah terjadi pada
tahun 2010 yang hanya sebesar 6,66% (realisasi penerimaan tahun 2009 sebesar Rp30.165.000
dan pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp32.174.500). Realisasi penerimaan PAD di UK
BAP Congot pada tahun 2006 adalah sebesar Rp8.090.000, kemudian meningkat menjadi
Rp30.165.000 pada tahun 2009, dan meningkat menjadi Rp111.080.300 pada tahun 2013. Pola
kenaikan realisasi penerimaan PAD di UK BAP Congot yang selalu meningkat sepanjang
tahunnya sangat berbeda dengan unit kerja lainnya yang realisasi penerimaanya cenderung
101 101 102 101 101
120
104
148
-
20
40
60
80
100
120
140
160
-
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
77
fluktuatif. Kenaikan pertumbuhan realisasi penerimaan berjalan seiring dengan kenaikan target
PAD yang signifikan (100%) sehingga dapat disimpulkan selama periode tersebut bahwa
kenaikan realisasi penerimaan PAD di UK BAP Congot bergantung pada target yang
ditetapkan. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan PAD, UK BAP Congot
selama periode 2006-2013 selalu mampu mencapai target yang dibebankan dengan rasio
pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 148,11% (target sebesar
Rp75.000.000 dan realisasi sebesar Rp111.080.300), sedangkan rasio pencapaian terendah
terjadi pada tahun 2009 dan 2010 yaitu sebesar 100,55%.
UK BAP Congot dengan trend pertumbuhan yang bersifat exponensial diharapkan
berperan lebih besar sebagai penghasil penerimaan PAD sektor perikanan ke depan. Hal ini
didasari oleh perkembangan positif produksi dan pasar udang yang menjadi komoditas utama
kegiatan produksi di Congot. Hasil lain yang diharapkan dari pengelolaan BAP Congot
diperoleh dari produksi bandeng konsumsi. Perkembangan positif dan ekspetasi tersebut jga
didukung oleh tersedianya sarana prasarana produksi yang memadai seperti tambak permanen
(6 unit tamba beton) dan beberapa unit tambak plastik.
7. Unit Kerja Budidaya Air Laut(UK BAL) Sundak
Unit Kerja Balai Air Laut (BAL) Sundak adalah unit kerja yang mempunyai tugas
melaksanakan kegiatan pengembangan teknologi perikanan budidaya air laut yang difokuskan
untuk memproduksi benih bandeng (Nener). UK BAL Sundak berada di pantai Sundak dengan
ketinggian 5 m dpl dan termasuk wilayah Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Kabupaten
Gunungkidul, dengan lahan seluas 23.009 m2. Untuk pengelolaan UKBAL Sundak terdapat
karyawan berjumlah 5 orang terdiri dari satu orang pimpinan dan 4 orang petugas.
Kegiatan operasional di UK BAL Sundak membutuhkan air tawar dan air laut yang
bersumber dari sumur air laut, sumur air tawar, dan laut. Pengambilan air tersebut
menggunakan 2 unit pompa air Niagara 6”, 1 unit pompa air Ebara 4” dan 2 unit pompa air
tawar ¾ dan 1”. Dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber tenaga bagi kegiatan operasional,
UK BAL Sundak menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel Yanmar TS 230 PS KW dan
TF 115 5 Kw. Rincian fasilitas yang ada di UK BAL Sundak adalah sebagai berikut:
78
Tabel 3.5.
Fasilitas di UK BAL Sundak
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008
Penerimaan PAD di UK BAL Sundak bersumber pada penjualan produksi usaha
daerah. Produk utama yang dijual adalah benih bandeng, walaupun pada tahun 2010-2012
memproduksi udang vanamei konsumsi. Selama periode 2007-2013, rata-rata produksi benih
bandeng adalah sebanyak 400.372 ekor dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu
sebanyak 1.204.500 ekor dan produksi terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya
memproduksi benih bandeng sebanyak 348.750 ekor. Produksi udang vanamei konsumsi di
UK BAL Sundak dimulai pada tahun 2010 dengan produksi sebanyak 300 kg, kemudian pada
tahun 2011 sebanyak 302,5 kg, dan produksi pada tahun 2012 sebanyak 43 kg, namun pada
tahun 2013, UK BAL Sundak tidak memproduksi udang vanamei konsumsi.
Target PAD yang dibebankan kepada UK BAL Sundak selama periode tahun 2004-
2011 cenderung stagnan dan berkisar antara Rp20.000.000-28.000.000. Pada tahun 2012
terjadi kenaikan target PAD sebesar 25% menjadi Rp35.000.000 dan pada tahun 2013
meningkat sebesar 14,28% menjadi Rp40.000.000. Rata-rata peningkatan target PAD selama
tahun 2004-2013 adalahs sebesar 8,31% per tahun. Realisasi penerimaan PAD di UK BAL
Sundak dapat dikatakan selalu meningkat dengan rata-rata kenaikan realisasi sebesar 5,13%.
Pada tahun 2004-2010, realisasi PAD yang bersumber dari UK BAL Sundak selalu mengalami
kenaikan dimana realisasi penerimaan PAD pada tahun 2004 sebesar Rp20.000.000 dan pada
tahun 2010 meningkat menjadi Rp34.100.000. Realisasi penerimaan PAD mengalami
1 Rumah genset dan bengkel 1 25 18 Kolam pendederan 1 (3 kolam) 600 (200)
2 Sumur air laut 1 d 3 m 19 Bak phytoplankton 1 (6 bak) 300 (50 )
3 Rumah jaga 1 T 36 20 Bak zooplankton 1 (4 bak) 100 (25)
T 36 21 Canal 1 140m
T 72 22 Laboratorium kecil 1 45
5 Kantor 1 50 23 Reservoir 1 30
6 Rumah dinas 1 T 60 24 Hetchery 1 (6 kolam) 200
7 Jalan paving block 1 200 m 25 Bak larva luar 1 (4 bak) 40 (10)
8 Pagar tembok 1 75 m 26 Bak pelimpasan air 1 60
9 Rumah pompa air 1 28 27 Pipa pengambilan air laut 1 40m
10 Bak larva 2 ton 3 2 28 Sumur air tawar 1 d 0,8m
11 Kolam pematangan induk 2 d 10 m (t 3m) 29 Menara air (tower) 1 t 4,5m
12 Sumur air tawar 1 d 0,8m 30 Sumur air laut 1 d 10m
13 Bak larva atap 1 (5 bak) 50 (10) 31 Bak pengendapan 1 100
14 Bak kolektor 1 4 32 Conical tank 2
15 Laboratorium besar 1 100 33 Instalasi pengambilan air laut 1 unit 1000 m
16 Kolam pematangan induk 2 d 10m (t 3m)
17 Kolam pembesaran 1 (2 kolam) 750 (365)
No Nama Bangunan Jumlah (Unit) Luas (m²)
34 Tower Kincir Angin1 unit
Rumah jaga2
4
No Nama BangunanJumlah
(Unit)Luas (m²)
79
kontraksi pada tahun 2011 sebesar 9,53% sehingga berkurang menjadi Rp30.850.000. Pada
tahun 2012, realisasi penerimaan PAD tumbuh sebesar 13,6% (Rp35.050.000), namun pada
tahun 2013, realisasi penerimaan PAD mengalami kontraksi kembali sebesar 14% sehingga
berkurang menjadi Rp30.075.000. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi penerimaan
PAD, UK BAP Congot selama periode 2004-2012 selalu mampu mencapai target yang
dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 121,79%
(target sebesar Rp28.000.000 dan realisasi sebesar Rp34.100.000), sedangkan rasio pencapaian
terendah terjadi pada tahun 2004yang hanya sebesar 100% (Rp20.000.000). Pada tahun 2013,
UK BAL Sundak tidak mampu mencapai target yang ditetapkan dengan persentase pencapaian
target sebesar 75,19% (target sebesar Rp40.000.000 dan realisasi sebesar Rp30.075.000).
Target dan realisasi penerimaan PAD di UK BAL selama periode 2006-2013 Sundak
ditampilkan pada Gambar 3.7.
80
Gambar 3.7.
Target dan Capaian Penerimaan PAD UK BAL Sundak, 2006-2013
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2013 (diolah)
3.1.2. Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelabuhan Perikanan Pantai (UPTD PPP) Sadeng
Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelabuhan Perikanan Pantai (UPTD PPP) Sadeng
merupakan salah satu UPTD yang berada di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah
Istimewa Yogyakarta yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Sadeng. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP/10/MEN/2005 pada tanggal 13 Mei 20o5, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sadeng
mengalami peningkatan status menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng. Keberadaan
PPP Sadeng ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 7 tahun 2005 tentang Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Terkait dengan PAD, unit kerja yang menjadi sumber penghasil PAD di UPTD PPP
Sadeng adalah unit kerja Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng semula bernama Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) Sadeng. PPP Sadeng terletak di Sadeng, Songbanyu, Kecamatan
Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Secara geografis, PPP Sadeng terletak diantara 8°11'26,6"
LS dan 110°47'53,1" BT. Fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng terdiri dari fasilitas
pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas penunjang.
101 101 101 104
122
110
100
75
-
20
40
60
80
100
120
140
0
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
45,000,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
81
a) Fasilitas pokok adalah sarana yang diperlukan untuk kepentingan aspek keselamatan
pelayaran, selain itu termasuk juga tempat berlabuh dan bertambat serta bongkar muat
yang meliputi:
sarana pelindung, yaitu pemecah gelombang (break water), penangkap pasir
(groin), tempat penahan tanah (revertment) dll.
Sarana tambat labuh, yaitu dermaga, tiang tambat (border), pelampung tambat
(bolard), kolam pelabuhan, pier, dll.
Sarana transportasi, yaitu jembatan, jalan komplek, dan area parkir
Lahan yang dicadangkan untuk kepentingan instansi pemerintah.
b) Fasilitas fungsional adalah sarana yang langsung dimanfaatkan untuk kepentingan
manajemen pelabuhan perikanan dan atau yang dapat dimanfaatkan/diusahakan oleh
perorangan atau badan hukum yang meliputi:
Sarana pemeliharaan kapal dan alat perikanan yang terdiri dari workshop,
slipway, dockyard, dan netfloat.
Lahan untuk kawasan industry.
Sarana pemasokan bahan bakar untuk kapal dan keperluan pengolahan.
Sarana pemasaran, biasanya tempat pelelangan ikan (TPI), penanganan
pengolahan dan penyimpanan hasil tangkap.
Sarana navigasi dan komunikasi
c) Fasilitas penunjang adalah sarana yang secara tidak langsung dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat nelayan dan atau memberikan kemudahan bagi masyarakat
umum yang meliputi:
Sarana kesejahteraan nelayan, yaitu tempat penginapan, kios bahan perbekalan
dan alat perikanan, tempat ibadah, balai pertemuan nelayan, sarana hiburan dan
informasi serta olahraga.
Sarana pengelolaan pelabuhan yaitu kantor, pos pemeriksaan, perumahan
karyawan dan rumah tamu.
Detail mengenai, fasilitas yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai baik fasilitas pokok,
fungsional, dan penunjang ditampilkan pada Tabel 3.6.
82
Tabel 3.6.
Rincian Fasilitas di PPP Sadeng
No. Jenis Fasilitas Volume/Kapasitas
1. Fasilitas Pokok
Luas lahan 50.000 m2
Break water 135 m
Dermaga 328 m
Turap 143,5 m
Kolam Pelabuhan
> 5 GT luas 17.200 m2
< 5 GT luas 5.700 m2
dalam 3,5 m
Beda Pasang Surut 4 m
Alur masuk panjang 200 m
Lebar 25 m
2. Fasilitas Fungsional
Tempat Pelelangan Ikan 225 m2
Kantor PPP 144 m2
Balai Pertemuan Nelayan 144 m2
Bengkel 60 m2
Docking/Slipway -
SPDN 16.000 liter
Kantor BBM 21 m2
Rumah/ Gudang Es 15 ton
Menara Air 8.000 liter
Instalasi Air 1 unit
Instalasi Listrik (PLN) 1 unit
Genset (2 unit) 25 KVA
Bak Sampah -
MCK 80 m2
Area Parkir 2050 m2
Pagar 450 m2
Waserda -
Saluran Air 850 m
Reklamasi 288,6 m
Gudang 48 m2
Jalan lingkungan (Paving Blok) 337 m2
Mini Ice plan kapt 25 ton
Prossesing room 169 m2
Pos Pengawasan SDI 52 m2
Lampi Navigasi 4 buah
83
No. Jenis Fasilitas Volume/Kapasitas
Rambu Penuntun 2 buah
Rambu Suar 1 buah
3. Fasilitas Penunjang
Mess Operator (rumah pegawai) 2 unit, 81 m2
Kantin -
Rumah Nelayan Andon 660 m2
Rumah tamu 2 unit, 110 m2
Tempat Ibadah (Masjid) 80 m2
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008
PAD yang ditargetkan dari PPP Sadeng bersumber dari retribusi jasa usaha pengelolaan
pelabuhan perikanan pantai. Jenis retribusi jasa usaha yang dipungut di PPP Sadeng
diantaranya adalah jasa tambat labuh, jasa labuh, pas masuk PPP, doking, sewa penggunaan
tempat terbuka, sewa penggunaan tempat tertutup, dan pembelian air bersih. Pada tahun 2006,
target PAD yang dibebankan kepada PPP Sadeng adalah sebesar Rp10.000.000, kemudian naik
menjadi Rp10.600.000 pada tahun 2007, dan naik kembali pada tahun 2008 menjadi sebesar
Rp18.000.000. Realisas penerimaan di PPP Sadeng pada tahun 2006 adalah sebesar
Rp9.900.00, tahun 2007 sebesar Rp13.540.000, dan tahun 2008 sebesar Rp12.700.000. Jika
dilihat rasio antara target dan realisasi selama periode 2006-2008, PPP Sadeng hanya mampu
mencapai target yang dibebankan pada tahun 2007 yaitu sebesar 127,74, sedangkan pada tahun
2006 dan 2008 PPP Sadeng tidak mampu mencapai target dengan persentase capaian sebesar
99% dan 70,56%. Rincian detail target dan realisasi penerimaan di PPP Sadeng selama periode
2007-2008 ditampilkan pada Tabel 3.7.
84
Tabel 3.7.
Target dan Realisasi Penerimaan PAD di PPP Sadeng, 2006-2008
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2008
Pada tahun 2013, target PAD yang dibebankan kepada PPP Sadeng adalah sebesar
Rp13.000.000 dengan realisasi penerimaan PAD sebesar Rp13.329.000. Rincian realisasi
penerimaan PAD yang berasal dari PPP Sadeng pada tahun 2013 adalah sebagai berikut:
pendapatan jasa tambat sebesar Rp2.225.000, jasa labuh sebesar Rp1.104.000, pas masuk
sebesar 1.500.000, sewa penggunaan tempat terbuka sebesar Rp3.500.000, sewa penggunaan
tempat tertutup sebesar Rp2.500.000, dan air bersih sebesar Rp2.500.000.
Target Realisasi Persentase (%) Target Realisasi Persentase (%) Target Realisasi Persentase (%)
Pendapatan Lain-lain
1 Pemanfaatan Asset PPP Sadeng 10,000,000 9,900,000 99 - - - - - -
2 Retribusi Jasa Usaha - - - - - - - - -
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
(Pemanfaatan Aset) - - - - - - - - -
Unit Kerja PPP - - - 10,000,000 11,650,000 116.50 - - -
Pabrik Es - - - - - 6,000,000 - -
Sewa tempat terbuka/tertutup - - - - - 2,000,000 4,500,000 225.00
Sewa kamar nelayan andun - - - - - 2,500,000 2,500,000 100.00
SPDN - - - - - 3,500,000 2,000,000 57.14
Air bersih - - - - - 1,000,000 700,000 70.00
Retribusi Pelayanan Pelabuhan - - - - - - - -
Jasa Tambat labuh - - - 400,000 1,450,000 362.50 2,500,000 2,500,000 100.00
Jasa Pas Masuk - - - 200,000 440,000 220.00 500,000 500,000 100.00
10,000,000 9,900,000 99 10,600,000 13,540,000 127.74 18,000,000 12,700,000 70.56
2008
3
4
Jumlah (Rp)
No. Deskripsi2006 2007
85
Gambar 3.8.
Realisasi Penerimaan PAD PPP Sadeng, 2013
Sumber: Rekapitulasi PAD DPPKA, 2013
3.1.3. Seksi LPPMHP Yogyakarta
Seksi Pengolahan dan Pengawasan Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)berada di bawah
koordinasi bidang perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta.
LPPMHP Yogyakarta menempati gedung eks Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah
Istimewa Yogyakarta dan berlokasi di Jl. Sagan III/4 Yogyakarta. LPPMHP Yogyakarta
mempunyai luas bangunan 384 m² yang terdiri atas :
1. Gedung perkantoran/ruang analisa dan gudang seluas 48 m².
2. Gedung laboratorium terdiri atas :
- Ruang Mikrobiologi / ruang Preparasi
- Ruang Inokulasi / inkubasi
- Ruang Organoleptik
- Ruang Workshop dan dapur uji.
- Toilet.
3. Rumah jaga LPPMHP DIY
4. Fasilitas listrik dan Sumur artetis.
Jasa Tambat17% Jasa Labuh
8%
Jasa/Pass Masuk PPP11%
Penggunaan Tempat terbuka
26%
Penggunaan Tempat
Tertutup/Sewa Kamar Nelayan
Andon19%
Air Bersih19%
86
Tabel 3.8.
Fasilitas Laboratorium Pengujian di LPPMHP Yogyakarta
No. Nama Peralatan Spesifikasi Jumlah
1. Tabung reaksi tanpa tutup 16 x 150 mm 50 buah
2. Tabung reaksi with screw 16 x 150 mm 50 buah
3. Tabung reaksi tanpa tutup 13 x 100 mm 50 buah
4. Petridish 15 x100 mm 50 buah
5. Pipet ukur 1 ml 50 buah
6. Pipet ukur 5 ml 50 buah
7. Erlenmeyer 25 ml 10 buah
8. Erlenmeyer 250 ml 10 buah
9. Box dan tip Volume 1 ml 2 unit
10. Mikropipet soccorex 0,1-1 ml 2 unit
11. Dispenser Top Bottle Vol 2-10 ml 2 buah
12. Gelas ukur 50 ml 4 buah
13. Gelas ukur 100 ml 4 buah
14. Rak tabung reaksi Plastic 4 buah
15. Magnetic stirrer 3 cm putih 10 buah
16. Jarum Ose 2,5 mm 4 buah
17. Jarum Ose Lurus 2 buah
18. Termometer Kaca 6 buah
19. Timbangan analitik 0,1 mg Ohaus 1 buah
20. Pipete filler Plastik 4 buah
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2008
Dalam rangka melaksanakan pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan sebagaimana Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010,
tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan serta berdasarkan
Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
(BKIPM) selaku Otoritas Kompeten Nomor KEP.115/KEP-BKIPM/2013 tentang
Pendelegasian Kewenangan kepada Lembaga Inspeksi dan Sertifikasi dalam Penerbitan
Sertifikat Kesehatan, LPPMHP mempunyai tiga peranan penting yaitu sebagai laboratorium
pengujian, lembaga inspeksi dan lembaga sertifikasi mutu produk perikanan,
sehingga LPPMHP dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat
guna menunjang kelancaran proses sertifikasi. Fasilitas laboratorium pengujian merupakan
bagian penting dalam rangka mendukung tugas LPPMHP (Tabel 3.8).
PAD yang berasal dari LPPMHP Yogyakarta berasal dari retribusi pemakaian kekayaan
daerah (jasa sertifikasi pengawasan mutu hasil perikanan). Selama periode 2004-2008, target
PAD yang dibebankan kepada LPPMHP Yogyakarta dapat dikatakan selalu meningkat setiap
tahun dari tahun 2004 yang hanya sebesar Rp1.056.000 hingga Rp5.000.000 pada tahun 2008.
87
Hal yang sama juga ditemukan pada realisasi penerimaan PAD yang menunjukkan peningkatan
setiap tahunnya dari Rp1.056.000 pada tahun 2004 menjadi Rp5.002.500 pada tahun 2008.
Dari periode tersebut, hanya pada tahun 2006, LPPMHP tidak mampu mencapai target yang
ditetapkan yaitu hanya sebesar 94,28%. Pada tahun 2013, target PAD yang dibebankan kepada
LPPMHP Yogyakarta adalah sebesar Rp5.000.000 dengan realisasi penerimaan PAD sebesar
Rp5.973.000 (119,46%). Rincian mengenai target dan realisasi PAD di LPPMHP Yogyakarta
ditampilkan pada Gambar 3.9.
88
Gambar 3.9.
Target dan Capaian Penerimaan PAD LPPMHP Yogyakarta, 2004-2008
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2007-2008 (diolah)
3.1.4. Pendapatan Lain-lain Sah
Pendapatan lain-lain sah di Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta
berasal dari beberapa unit kerja di UPTD BPTKP, UPTD PPP, dan kantor dinas. Pendapatan
tersebut tidak dimasukkan dalam target PAD yang dibebankan kepada unit kerja (seperti yang
dijelaskan pada bagian sebelumnya) agar proyeksi potensi penerimaan PAD dapat mudah
digambarkan dan menghindari perhitungan ganda (overvalued). Jenis retribusi yang
dimasukkan ke dalam pendapatan lain-lain sah terdiri atas retribusi perizinan tertentu (SIUP,
SIPI, SIKPI, dan surat keterangan asal ikan), retribusi pemakaian kekayaan daerah (sewa
penggunaan pasar ikan Cangkringan, sewa penggunaan hasil samping tambak Congot1, jasa
pengujian laboratorium Cangkringan, sewa SPDN), dan retribusi penjualan produksi usaha
daerah (penjualan hasil samping uji coba di BPTKP).
1Sewa penggunaan hasil samping tambak Congot dimasukkan ke dalam realisasi penerimaan UK
BAP Congot.
100.00
140.12
94.28
103.47 100.05
-
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
-
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
6,000,000
2004 2005 2006 2007 2008
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
89
Tabel 3.9.
Pendapatan Lain-lain Sah di Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2009-2013
No. Unit Penghasil Jumlah Penerimaan
2009 2010 2011 2012 2013
1. Kantor Dinas Kelautan dan
Perikanan 1.765.000 - - - 1.900.000
Retribusi Izin Usaha Perikanan
(SIUPkan) 1.765.000 - - - 1.900.000
2. UPTD BPTKP 65.500.000 74.415.000 80.006.000 58.380.000 64.460.000
Sewa pasar ikan di BAT
Cangkringan 2.000.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000
Jasa pengujian laboratorium di
BPTKP - - - - 7.800.000
Hasil samping uji coba di
BPTKP 63.500.000 71.915.000 77.506.000 55.880.000 54.160.000
3. UPTD PPP - - - - 2.500.000
Surat keterangan asal ikan - - - - 2.500.000
Sumber: Laporan Tahunan BPTKP, 2009-2012 dan Rekapitulasi PAD DPPKA, 2013
Berdasarkan Tabel 3.9, penerimaan PAD lain-lain yang sah di Dinas Kelautan dan
Perikanan selama periode 2009-2013 cenderung fluktuatif. Pendapatan lain-lain sah pada tahun
2009 adalah sebesar Rp67.265.000 yang terdiri atas retribusi izin usah perikanan sebesar
Rp1.765.000.000, sewa pasar ikan di BAT Cangkringan sebesar Rp2.000.000, dan hasil
samping ujicoba di BPTKP sebesar Rp63.500.000. Pendapatan tersebut kemudian meningkat
menjadi Rp80.006.000 pada tahun 2011 (disumbang seluruhnya oleh UPTD BPTKP), dan
berkurang menjadi Rp58.380.000 pada tahun 2012 (disumbang seluruhnya oleh UPTD
BPTKP). Pada tahun 2013, pendapatan lain-lain sah meningkat kembali menjadi Rp68.860.000
yang berasal dari retribusi izin usaha perikanan sebesar Rp1.900.000, sewa pasar ikan
Cangkringan sebesar Rp2.500.000, jasa pengujian laboratorium di BPTKP sebesar
Rp7.810.000, hasil samping uji coba di BPTKP sebesar Rp54.160.000, dan surat keterangan
asal ikan sebesar Rp2.500.000.
3.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Dalam pembangunan daerah diperlukan adanya kerjasama antar unit kerja daerah untuk
dapat mengembangkan potensi yang ada di masing-masing daerah. Hal ini dengan
pertimbangan bahwa daerah memiliki kemampuan untuk mengenali secara detail potensi-
potensi yang terdapat di daerah. Sebagaimana Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY, yang
90
diberikan wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola sektor kehutanan dan perkebunan
untuk dapat berkontribusi dalam pengembangan pembangunan di DIY. Pada tiap-tiap
kabupaten yang ada di wilayah DIY terdapat beberapa potensi hasil kehutanan dan perkebunan
aats asset yang dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi aset
daerah yang dikembangkan yaitu dalam bentuk: (1) Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih
dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan (2) Balai Pengembangan Perbenihan dan
Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) (3) Balai Kesatuan Pengelolan Hutan
(BKPH). Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan
Perkebunan berfungsi untuk mensertifikasi benih-benih yang layak dan unggul setelah
dilakukan pengamatan dan pengujian terhadap benih tersebut. Untuk fungsi dari Balai
Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) yaitu
sebagai tempat untuk pembibitan tanaman hutan dan perkebunan serta sebagai lahan
percontohan untuk semua kalangan.Sedangkan fungsi dari Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan
(BKPH) adalah menciptakan hutan lindung. Hutan lindung yang dikelola oleh Balai Kesatuan
Pengelolaan Hutan (BKPH) ditanami tanaman pinus, dimana getah dari tanaman pinus disadap
untuk dikelola menjadi karet pinus. Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) yang menangani
hutan pinus berada di Wilayah Mangunan, Kabupaten Bantul. Selain itu juga Balai Kesatuan
Pengelolan Hutan (BKPH) menangani pabrik penyulingan minyak kayu putih yang berada di
Wilayah Playen, Gunungkidul. Fungsi dari BKPH pengolahan minyak kayu putih ini mengolah
daun dari pohon kayu putih untuk diolah menjadi minyak kayu putih.
Secara keseluruhan, pendapatan asli daerah yang dihasilkan oleh Balai Sertifikasi,
Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan, Balai
pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) dan Balai
Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) yang dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan
dalam 5 tahun terakhir pada tahun 2013, 2012, 2011, 2010, dan 2009 secara berturut-turut
sebesar : (1) 7,853,271,520, (2) 7,879,345,254, (3) 6,517,196,180, (4) 5,092,247,190 dan (5)
4,173,592,342.
Pada Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan
Perkebunan hanya terdapat satu kantor yang terletak di Jl. Argolubang No.19, Baciro,
Yogyakarta.Sedangkan Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan
Perkebunan (BP3KP) DIY memiliki 4 lokasi yang dijadikan sebagai potensi aset daerah.
Keempat lokasi tersebut adalah (1) Daerah Tambak, Kulonprogo dengan hasil tanaman berupa
kelapa dan kakao, (2) Daerah Imogiri, Bantul dengan masing-masing hasil potensi yaitu
91
tanaman kakao, (3) Daerah Ngipik Sari, Sleman dengan hasil potensi berupa tanaman kopi,
dan (4)Hutan Bunder, Gunungkidul dengan hasil potensi berupa persemaian pinus.Sedangkan
Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH)mengelola Pabrik Penyulingan Minyak Kayu Putih,
Sendang Mole, Playen dan Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Mangunan.
Struktur pendapatan dan belanja Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY cenderung
meningkat. Secara rinci, komposisi total pendapatan dan total belanja Dinas Kehutanan dan
Perkebunan DIY pada tahun 2010 sampai dengan 2013 disajikan pada tabel berikut.
Secara makro, dalam beberapa tahun terakhir target dan realisasi PAD di lingkungan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY selalu meningkat dan pencapaian PAD rata-rata per
tahun di atas 100%.
Komposisi Pendapatan dan Belanja Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY 2010-2013
No Tahun Uraian Target (Rp) Realisasi (Rp)
Persen
Pencapaian
(%)
1 2010 Pendapatan 5,081,341,000 5,092,247,190 100.2
Belanja 28,069,683,600 26,373,684,488 94.0
% Pendapatan/Belanja 18.10 19.31
2 2011 Pendapatan 5,226,002,000 6,517,196,180 124.7
Belanja 28,469,365,135 26,212,956,641 92.1
% Pendapatan/Belanja 18.36 24.86
3 2012 Pendapatan 7,665,745,000 7,879,345,254 102.8
Belanja 29,436,261,366 28,077,836,649 95.4
% Pendapatan/Belanja 26.04 28.06
4 2013 Pendapatan 7,866,030,000 7,853,271,520 99.8
Belanja 40,786,086,548 37,657,786,939 92.3
% Pendapatan/Belanja 19.29 20.85
92
Total PAD di lingkungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY selama beberapa
tahun terakhir menunjukkan kontribusi yang fluktuatif jika dibandingkan dengan total belanja
SKPD. Target dan realisasi Total PAD dibandingkan Total Belanja SKPD bervariasi
antara 18% sampai dengan 28%. Rencara rinci komposisi dan proporsi Total PAD
dibandingkan dengan Toal Belanja disajikan dalam grafik berikut.
No Tahun Uraian Target (Rp) Realisasi (Rp)
Persen
Pencapaian
(%)
1 2010 Pendapatan 5,081,341,000 5,092,247,190 100.2
2 2011 Pendapatan 5,226,002,000 6,517,196,180 124.7
3 2012 Pendapatan 7,665,745,000 7,879,345,254 102.8
4 2013 Pendapatan 7,866,030,000 7,853,271,520 99.8
5,092,247,190
6,517,196,180
7,879,345,254
7,853,271,520
0 5,000,000,000 10,000,000,000
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
2010
2011
2012
2013
Realisasi (Rp)
Target (Rp)
Linear (Realisasi (Rp))
93
Mendasarkan pada rincian komposisi atau struktur PAD di lingkungan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan DIY, diketahui bahwa PAD yang bersumber dari retribusi
penjualan jasa usaha daerah merupakan penyumbang terbesar PAD dengan proporsi
93,7% dari total PAD. Kontributor PAD terbesar berikutnya adalah penjualan hasil kehutanan
dengan sumbangan sebesar 5,31%.
18.1
18.4
26.0
19.3
19.3
24.9
28.1
20.9
- 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0
2010
2011
2012
2013
Realisasi
Target
Komposisi PAD Dinas Kehutanan dan Pekerbunan DIY Tahun 2013
Sumber Penerimaan Jumlah (Rp) % Ranking
Retribusi pemakaian kekayaan daerah 11,777,755 0.15 4
Retribusi penjualan usaha daerah 7,358,475,000 93.70 1
Penjualan hasil kehutanan 417,036,765 5.31 2
Sewa tanah dan bangunan 66,000,000 0.84 3
Total 7,853,289,520 100.00
94
Penyumbang utama PAD Dinas Kehutanan dan Perkebunan berasal dari penjualan
minyak kayu purih. Potensi produksi kayu putih menyebar di wilayah DIY. Total kawasan
hutan kayu putih yang merupakan kawasan dalam pengelolaan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan seluas 4.472 ha. Kawasan hutan kayu putih tersebut tersebar di 4 BDH. Secara
rinci sebaran luas tanaman kayu putih disajikan pada tabel berikut.
Nama BDH Nama RPH Jumlah Petak Luas (ha)
Karang Mojo Kenet
Gelaran
Nglipar
Candi
8
10
9
2
534
710
690
130
Jumlah 2.066
Paliyan Paliyan 6 371
Jumlah 371
Playen Bunder
Banaran
Wonolegi
Gubug Rubuh
Mengguran
Kepek
8
5
6
6
6
6
371
251
281
448
233
132
Jumlah 1.720
Kulon Progo-Bantul Dlingo
Mangunan
Sermo
3
5
7
137
110
66
Jumlah 314
Total Luas 4.472
11,777,755
7,358,475,000
417,036,765
66,000,000
- 2,500,000,000 5,000,000,000 7,500,000,000 10,000,000,000
Retribusi pemakaian kekayaan daerah
Retribusi penjualan usaha daerah
Penjualan hasil kehutanan
Sewa tanah dan bangunan
Komposisi PAD Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY 2013 (Rp)
95
Hutan Kayu Putih
Pabrik/Minyak Kayu Putih
Kondisi umum tentang potensi sumber daya terkait dengan potensi dasar PAD di
lingkungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY secara lebih rinci diuraikan pada bagian
selanjutnya.
3.2.1. Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan
Perkebunan
Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan
Perkebunan (BSPMBPTKP) untuk mengurusi dan mengawasi sertifikasi calon-calon benih
yang layak dijadikan benih agar benih tersebut bisa menjadi benih yang bermutu dan
berkualitas. Lokasinya berada di Jl. Argolubang No.19, Baciro, Yogyakarta. Sertifikasi adalah
proses pemberian sertifikat kepada suatu sumber benih/benih/lot benih/lot bibit yang
menginformasikan kebenaran mutu benih yang dikomersialkan. Sertifikat mutu benih adalah
dokumen yang menyatakan kebenaran mutu sumber benih/benih/bibit. Sertifikasi benih
bertujuan untuk:
a. Menjaga kemurnian varietas
b. Memelihara mutu benih
c. Memberikan jaminan mutu kepada pengguna benih
d. Memberikan legalitas kepada produsen benih
BSPMBPTKP memiliki sarana dan prasarana yang antara lain:
1. Bangunan gedung:
a. Kantor Unit I : Jalan Argulobang N0 19 Baciro Yogyakarta
96
b. Kantor Unit II : Jalan Purworejo km 2 Triharjo, Wates , Kulon Progo
Yogyakarta
c. Sub lab hayati : Harjobinangun Pakem Sleman
d. Lab benih : Harjobinangun Pakem Sleman
e. Base Cam POPT : Tambak Kulon Progo, Sanden Bantul, Gading Gunung Kidul
2. Transportasi:
a. Kendaraan roda 2 : 21 Unit
b. Kendaraan roda 4 : 1 Unit (Toyota Kijang Tahun 1994)
3. Komunikasi/Informasi:
a. Telepon : 2 Unit
b. Komputer PC : 4 Unit
c. Note Book : 4 Unit
d. LCD : 1 Unit
e. Kamera Digital : 1 Unit
f. Handycam : 1 Unit
Tabel 3.10.
Sumber Daya Manusia di BSPMBPTKP
No Jabatan Nominasi Formasi Keterangan
1 Kepala Balai 1 1 -
2 Ka Sub Bag TU 1 1 -
3 Staf Sub Bag TU 7 17 (10)
4 Kasi PSPB 1 1 -
5 Staf Seksi PSPB 1 7 (6)
6 Kasi P dan P 1 1` -
7 Staf Seksi Pdan P 4 7 (3)
8 Fungsional PBT 4 10 (6)
9 Fungsional POPT 11 28 (18)
Jumlah 31 73 (43)
Sumber: Data Sekunder BSPMBPTKP (2013)
Pada Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan
Perkebunan terdapat dua seksi yaitu seksi pengujian sertifikasi dan pengawasan benih dan seksi
peramalan dan pengamatan. Seksi pengujian sertifikasi dan pengawasan benih memiliki tugas
menyelenggarakan pengujian sertifikasi dan pengawasan bibit/benih tanaman kehutanan dan
perkebunan. Prosedur untuk melakukan sertifikasi:
1. Pemohon melakukan pengajuan permohonan sertifikasi ke BSPMBPTKP (1 hari).
97
2. BSPMBPTKP memberitahukan pelaksanaan sertifikasi.
3. BSPMBPTKP melakukan pemeriksaan lapangan selama 1-7 hari (keluar sertifikat SKMB)
dan melakukan pengujian laboratorium selama 1-15 hari (keluar laporan hasil pengujian
laboratorium).
4. Keluar Label dan siap untuk diedarkan.
Peraturan Gubernur DIY No. 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha:
1. Penyelenggara perbenihan dikenakan biaya retribusi jasa usaha.
2. Besarnya sesuai jenis komoditas.
3. Biaya tersebut disetor ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah.
4. Tarif : bibit yaitu Rp. 10/batang, Uji lab yaitu 10.000/ulangan, Kebun bibit tebu yaitu
Rp.50.000/Ha.
Seksi peramalan dan pengamatan memiliki tugas yaitu menyelenggarakan peramalan,
pengamatan, dan pengendalian OPT. Kegiatan pokok seksi peramalan dan pengamatan yaitu:
1. Peramalan pengamatan meliputi serangan OPT (luas serangan, intensitas serangan, taksasi
kerugian hasil), daerah sebar OPT (kantong-kantong OPT, komoditas).
2. Pengendalian meliputi cara pengendalian (PHT) dan waktu pengendalian (daur hidup OPT,
musim).
3. Operasional sub lab hayati meliputi pengembangan agen hayati, uji kualitas agen hayati,
dan bimbingan masyarakat.
Persyaratan prosedur permohonan agen hayati meliputi dijelaskan jenis OPT yang akan
dikendalikan, komoditas, jenis agen hayati, intensitas, luas serangan OPT; permohonan agen
hayati diajukan 3 hari sebelum pengambilan di sub lab hayati; dan agen hayati diaplikasikan
segera setelah diambil dari sub lab hayati. Pada pengendalian OPT ini belum masuk PAD.
Kendala:
1. Kondisi SDM yang ada masih kurang memadai dalam jumlah maupun kualifikasi.
2. Permintaan benih yang kurang.
3. Proses pembiayaan dibayar saat sertifikat sudah keluar sedangkan benih yang tidak lulus
uji maka tidak membayar sehingga mengalami kerugian baik dari segi tenaga, waktu, dan
biaya.
4. Permasalahan terkait dengan pemenuhan target PAD yang berbasis bulanan sangat
menyulitkan terlebih target yang selalu naik karena yang menjadi obyeknya adalah
makhluk hidup.
Solusi:
98
1. Melakukan rekruitmen staf dengan kuantitas dan kualitas yang memadai sesuai dengan
kebutuhan sesuai dengan kebutuhan yaitu kurang 43 orang.
2. Melakukan kegiatan promosi.
3. Perlu adanya usulan terkait pembayaran benih yang tidak lulus uji.
4. Perlu dikaji ulang dan dipertimbangkan pemenuhan target PAD.
3.2.2. Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan
A. BP3KP Wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo
Kebun Kelapa dan Kebun Kakao (Kabupaten Kulonprogo)
Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan
(BP3KP) wilayah Tambak berada di Kota Wates, Kabupaten Kulonprogo. Secara keseluruhan
total luas lahan Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan
(BP3KP) di Tambak, Wates adalah 1,3 ha, namun sebesar 2000 m2 dari lahan tersebut
digunakan untuk bangunan kantor BP3KP sehingga luasan untuk pengelolaan tanaman sebesar
1,1 ha.Tanaman yang diusahakan yaitu kelapa dan kakao. Masing-masing terdapat 125 batang
untuk tanaman kelapa dan 700 batang untuk tanaman kakao. Sarana dan prasarana yang
digunakan di BP3KP wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo masih terbilang manual dan
sederhana.
Penjualan hasil panen tanaman kelapa langsung bertransaksi dengen tengkulak,
sedangkan hasil panen tanaman kakao dijual berupa biji yang dijual dengan pihak Pagilaran.
Tenaga kerja di BP3KP wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo ada 2 yaitu untuk kebun PNS
1 staf dan untuk kebun outsourching terdapat 1 staf. Kedua tenaga kerja ini meng-handle semua
pekerjaan kebun yang ada di BP3KP wilayah Tambak, Kabupaten Kulonprogo. Adapun untuk
kegiatan yang membutuhkan tenaga banyak pihak BP3KP melibatkan masyarakat sekitar
dengan sistem pembayaran HOK.
Peralatan yang digunakan untuk budidaya dan pasca panen terbilang manual dan
sederhana, namun cukup membantu tenaga kerja untuk dalam membudidayakan dan mengolah
tanaman. Misalnya saja tanaman kakao, untuk fermentasi dan pengeringan menggunakan ruang
kaca sehingga membantu kakao cepat kering dan terhindar dari pembusukan yang diakibatkan
karena faktor cuaca.
Permasalahan yang dihadapi oleh BP3KP di Tambak, Kabupaten Kulonprogo adalah
terkait dengan budidaya tanaman kelapa dan kakao, dimana tanaman kelapa terkait dengan
umur tanaman. Tanaman kelapa yang ada di BP3KP Tambak, Kabupaten Kulonprogo rata-rata
sudah berumur tua sehingga kemampuan untuk menghasilkan buah kelapa sudah tidak optimal.
99
Sedangkan untuk tanaman kakao merupakan jenis tanaman yang rentan akan hama Helopeltis,
sehingga hal ini yang dapat mempengaruhi jumlah tiap panenan. Sedangkan untuk pengairan
(irigasi) tidak ada masalah karena pada intinya tanaman kelapa dan tanaman kakao tidak
membutuhkan air yang banyak, hanya saja penyesuaian terhadap musim perlu diperhatikan.
Selain dari aspek budidaya, permasalahan yang dialami di BP3KP Tambak, Kabupaten
Kulonprogo adalah terkait dengan sumber daya manusianya. Dengan jumlah SDM yang sangat
terbatas yaitu 1 staf PNS dan 1 staf outsourching mengakibatkan tidak optimalnya dalam
pemeliharaan tanaman kelapa dan kakao yang ada di BP3KP. Idealnya untuk jumlah SDM
yang menangani masalah kebun yaitu 1 staf PNS dan 3 staf outsourching. Dan permasalahan
lain yang dihadapi oleh BP3KP Tambak yaitu terkait dengan luas lahan, dimana lahan yang
tersedia terpotonguntuk bangunan dan beberapa tanaman yang tidak masuk dalam PAD seperti
tanaman panili dan lada.Solusi yang dilakukan oleh BP3KP Tambak sendiri adalah dengan
menaikkan harga kelapa dan kakao serta menaikkan produksi dengan meningkatkan
pemeliharaan secara optimal.
Kebun Kelapa dan Kakao
Kebun Kakao
B. BP3KP Wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul
Kebun Kakao (Kabupaten Kulonprogo)
Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan
(BP3KP) wilayah Imogiri berada di Kabupaten Bantul. BP3KP wilayah Imogiri memiliki satu
kebun kakao yang dijadikan sebagai potensi aset daerah dengan luas lahan sebesar 0,8 ha. Luas
lahan sebesar 0,8 ha dapat ditanami tanaman kakao sebanyak 600 batang. Dimana asal mula
kebun tanaman kakao ini merupakan bekas tanaman jati yang kemudian tetap dipertahankan
sebagai kebun sehingga arah tanaman kakao di wilayah BP3KP Imogiri, Kabupaten Bantul
100
belum tertata secara baik. Selain jarak tanam yang tidak teratur, varietas kakao yang ditanam
di kebun BP3KP wilayah Imogiri bukan merupakan bibit unggul. Oleh karena itu, untuk
mengatasi hal tersebut pihak BP3KP wilayah Imogiri melakukan perbaikan tanaman dengan
sambung samping ataupun sambung pucuk dengan varietas unggul dan selain itu melakukan
penanaman baru dengan varietas unggul pada tanaman yang rusak atau mati.Untuk rumah jaga
di BP3KP wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul baru dibangunberukuran 2 x1 yang berfungsi
untuk mengawasi kebun. Bangunan kantor yang lama rusak karena bencana alam gempa
sehingga perlu diperbaiki. Untuk sementara ada bangunan yang berfungsi sebagai tempat
persinggahan bagi pengawas kebun.
Permasalahan yang hadapi oleh BP3KP wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul terkait
dengan keamanaan. Secara sosial keamanan ini terjadi karena banyak pengembala ternak yang
masuk ke kebun sehingga dapat merusak tanaman kakao. Selain itu gangguan sosial
lainnyayaitu dikarenakan banyaknya anak kecil yang main ke kebun dan memakan biji kakao
yang masih di pohon. Gangguan sosial semacam ini disebabkankarena kondisi kebun di BP3KP
wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul tidak terdapat pagar pembatas sehingga orang ataupun
hewan dari luar dapat masuk ke dalam kebun secara leluasa. Selain itu masalah lain di BP3KP
wilayah Imogiri adalah karena luasan areal tanaman hanya 0,8 ha dengan tipe varietas yang
bukan bibit unggul maka hasil yang dicapai tidak maksimal. Oleh karena sarana prasarana yang
digunakan juga seadanya. Biasanya apabila hasil panen dikit maka kegiatan fermentasi yang
dilakukan hanya menggunakan keranjang saja, namun ketika hasil panen banyak maka panenan
dibawa ke tambak.
Dari segi jumlah SDM untuk wilayah kerja BP3KP wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul
juga masih kurang yaitu dengan komposisi 1 staf PNS dan 1 staf oursourching. Hal ini
menyulitkan petugas kebun dalam hal pemeliharaan dan pengawasan keamanan. Namun untuk
pengairan secara umum tanaman kakao tidak mengalami kendala walaupun tidak tersedia
irigasi, tetapi terdapat sumur resapan atau sumur penampungan.
C. BP3KP Wilayah Ngipik Sari, Kabupaten Sleman
Kebun Kopi (Kabupaten Sleman)
Kebun kopi di BP3KP wilayah Ngipik Sari berada di Kabupaten Sleman. Luas kebun
kopi di BP3KP sebesar 8850 m2. Selain komoditas kopi tanaman lain yang terdapat di kebun
BP3KP adalah kleresede, alpukat, lada, dan kelapa. Tetapi komoditas yang masuk dalam
Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari adalah tanaman kopi.
101
Untuk tanaman kleresede, alpukat, lada, dan kelapa merupakan tanaman pelindung yang
bermanfaat untuk melindungi tanaman kopi agar waktu kemarau tidak kering.
Sejarah tanaman kopi di Ngipik Sari di BP3KP pertama ditanam pada tahun 1985,
kemudian diadakan tanaman susulan hingga sekarang ini. Untuk jumlah tanaman kopi yang
ada di kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari terdapat 600 tanaman dengan jarak tanam 2 x 3 dan
2,5 x 3. Hal ini dikarenakan topografi atau lahan yang tidak rata sehingga kondisi tanaman
yang satu dengan tanaman yang lainnya tidak sama.
Tanaman kopi ini merupakan tanaman tahunan, dimana kondisi tanaman, iklim, cuaca,
curah hujan, dan keadaan lapangan sangat menentukan produksi dari tanaman kopi tersebut.
Misalnya saja ketika musim penghujan tanaman kopi tidak berproduksi secara optimal, namun
ketika curah hujan tidak terlalu berlebih maka tanaman kopi dapat berproduksi secara
maksimal. Hal ini dikarenakan pada musim penghujan bunga dari tanaman kopi banyak yang
rontok sehingga fase pertumbuhan generative tidak berkembang. Faktor lain yang mengganggu
pertumbuhan tanaman kopi adalah bencana. Pada tahun 2010 Yogyakarta terjadi letusan
gunung merapi yang mengakibatkan daerah sekitar merapi menjadi gersang, banyak tanaman
yang mati dan penduduk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Hal ini mengakibatkan kebun
BP3KP yang berada di wilayah Ngipik Sari, Jalan Kaliurang, Kabupaten Sleman mati karena
terkena abu vulkanik. Selain itu juga produksi tanaman kopi menurun dapat disebabkan karena
penyakit ataupun hama.
Untuk SDM di kebun BP3KP terdapat pegawai PNS 3 orang dan 1 orang tenaga
kontrak. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di kebun ketika masa deadline tiba terkait
untuk persiapan lahan maka mengambil tenaga dari luar. Pekerjaan yang biasanya mengambil
dari luar yaitu menyangkul. Pengambilan tenaga dari luar biasanya dilakukan dalam waktu
tertentu yaitu seminggu/bulan. Tenaga yang dibutuhkan dari luar berkisar 3-4 orang yang
diambil dari masyarakat sekitar. Pembayaran dilakukan berdasarkan sistem HOK. Untuk jam
mulai dari jam 08.00 - jam 16.00 upah yang diberikan sebesar Rp 50.000,00, padahal
seharusnya pengupahan berkisar antara Rp 60.000,00 – Rp 70.000,00. Idealnya untuk lahan
tanaman kopi dengan luas 1 ha memerlukan pekerja 5 – 7 orang.
Untuk pasaran tanaman kopi berasal dari dalam kota dan luar kota. Untuk luar kota
paling banyak peminat dari Temanggung. Kebun BP3KP di wilayah Ngipik Sari tidak melayani
pembeli dari Perseroan Terbatas (PT).Tanaman kopi bisa dipanen pada saat umur 3-4 bulan,
tetapi masa panen yang optimal pada saat tanaman kopi berumur 6-7 hasil yang didapatkan
bisa mencapai 40 kg.
102
Permasalahan tanaman kopi di kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari adalah media tanam
yang belum cukup. Hal ini mengingat areal lahan yang sangat terbatas. Kemudian bahan dasar
dari areal pertanaman berupa batu dan pasir. Batu dan pasir ini masih ditemui dalam kisaran
kedalaman 15-20 cmsehingga mengganggu dalam pengolahan lahan. Selain itu juga
mengganggu perkembangan akar sehingga akar tidak mampu menembus ke dalam tanah. Hal
ini menyebabkan tanaman tidak kokoh dan sulitnya pada saat pemupukan karena akar tidak
mampu menyerap zat-zat yang terkandung dalam pupuk. Kemudian permasalahan selanjutnya
adalah hama dan penyakit tanaman. Untuk mencegah terserangnya hama dan penyakit tanaman
di kebun BP3KP wilayah Ngipik Sari menggunakan bahan-bahan kimia seperti insektisida.
Selain itu permasalahan yang dihadapi di kebun kopi BP3KP wilayah Ngipik Sari adalah
perubahan iklim yang menyebabkan cuaca tidak menentu sehingga pada waktu pembungaan
di musim yang tidak tepat (musim hujan) menjadikan terhambatnya pembuatan bunga pada
tanaman kopi.
Untuk kebutuhan pengairan, tanaman kopi tidak memerlukan terlalu banyak air.
Kebutuhan air hanya dibutuhkan pada saat awal untuk pertumbuhan namun pada saat
pembuahan air yang butuhkan tidak banyak. Untuk bibit yang dipakai di kebun BP3KP wilayah
Ngipik Sari sudah masuk dalam bibit yang tersertifikasi. Bibit ini diambil dari daerah Jember
yang sudah teruji dan bersertifikat.
Terkait dengan keamanan kebun di BP3KP wilayah Ngipik Sari dapat terbilang aman
karena terdapat pagar yang mengelilingi kebun. Namun terkait dengan penjagaan malam belum
tersedia tenaga resmi, hanya saja terdapat tenaga kerja yang memiliki rumah dekat dengan
kebun sehingga sewaktu-waktu dapat mengecek keamanan kebun.
Kebun Kopi
Kebun Kopi
103
Untuk alat-alat di kebun masih minim walaupun terkadang memakai alat sendiri. Untuk
kebun di BP3KP wilayah Ngipik Sari belum memiliki lantai jemur dan rumah untuk
pengeringan juga belum tersedia. Pengolahan hasil masih bersifat tradisional yaitu berupa alat
pengupasan, alat pengeringan, dan alat penggilingan. Tahapan pengolahan hasil tanaman kopi
yaitu; (1) Pemilihan biji kopi yang sudah matang, (2) Menyortir dan menggrading biji yang
berkualitas, (3) Pengupasan yang dilakukan alat tradisional berupa along, (4) Pengeringan, (5)
Penumbukan menggunakan alat lesung, (6) Dan terakhir ditapeni untuk mendapatkan bubuk
kopi yang halus.
D. BP3KP Wilayah Hutan Bunder, Kabupaten Gunungkidul
Kebun Pembibitan Tanaman Pinus (Kabupaten Gunungkidul)
Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan
(BP3KP) wilayah Hutan Bunder, Kabupaten Gunungkidul memiliki luasan sebesar 3 ha.
Fungsi dari BP3KP wilayah Hutan Bunder yaitu untuk menyediakan bibit pinus untuk bantuan
masyarakat secara suka rela dan penjualan untuk kalangan umum. Total bibit yang tersedia di
BP3KP wilayah Imogiri yaitu sebesar 700.000. Selain pembibitan pinus BP3KP wilayah
Imogiri juga menyediakan bibit lain seperti kayu putih, mahoni, sengon, dan lain-lain. Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.11. sebagai berikut.
Tabel 3.11.
Jenis Tanaman Hutan di BP3KP Hutan Bunder, Gunungkidul
Jenis Tanaman Jumlah (bibit)
Kayu putih 625.000
Jati 25.000
Mahoni 10.000
Sengon 10.000
Munggur 10.000
Gmelina 5.000
Stek Jati 5.000
Jabon 2.500
Pule 2.500
Tanjung 5.000
Total 700.000
Sumber: BP3KP Wilayah Hutan Bunder
Kegiatan yang terdapat di BP3KP Wilayah Hutan Bunder, Kabupaten Gunungkidul
selain untuk pembibitan juga pendidikan dan wisata khusus. Padahal ketersediaan SDM di
104
BP3KP hanya terdapat 4 PNS dan 3 tenaga kontrak yang mengurusi semua kegiatan baik itu
pembibitan, kegiatan pendidikan, dan wisata khusus.
Kebun Pembibitan
Hutan Jati
Permasalahan lain selain ketenagakerjaan yaitu mengenai sarana dan prasarana yang
menunjang kegiatan persemaian masih bersifat manual artinya alat yang digunakan tergolong
sederhana dan kebanyakan menggunakan tenaga manusia. Selain itu juga daya listrik yang
digunakan tidak mampu mengangkat alat mesin pencacah sehingga penggunaan alat tidak
optimal. Alat-alat lain yang menunjang persemaian BP3KP wilayah Imogiri, Gunungkidul
yaitu diesel, jester, cangkul, sabit, dan spriyer. Namun untuk peralatan diesel jumlahnya masih
sangat terbatas. Ketersediaan diesel di BP3KP wilayah Imogiri hanya 1 buah, padahal idealnya
diesel yang dibutuhkan 4 buah untuk mencukupi kebutuhan persemaian bibit.Karena untuk
awal persemaian dibutuhkan banyak air, sehingga diesel pada saat persemaian sangat
dibuthkan. Kemudian oleh karena itu, pihak BP3KP wilayah Imogiri memanfaatkan sumber
air sungai oyo dan air sendang moyo yang ditampung ke bak-bak penampungan.
105
Hutan Jati
Tebangan Kayu Jati
Untuk pendistribusiannya menggunakan alat angkut viar (tiga roda) yang merupakan
inventaris kantor. Biasanya bibit dipesan oleh orang luar, KPH, ataupun rekanan lain yang rata-
rata merupakan pembeli dari Yogyakarta. Sedangkan bibit yang tidak laku diperbantukan untuk
masyarakat dengan cara pembuatan proposal.
Permasalahan-permasalahan lain yang ada di kebun BP3KP wilayah Imogiri,
Gunungkidul adalah dana cair biasanya terlambat pada bulan Februari-Maret padahal sudah
mulai pembersihan lahan, musim buah (biji) terkait dengan tata waktu persemaian, dan hama
dan gulma tanaman yang mengganggu persemaian. Di mana pada waktu persemaian gulma
lebih cepat subur dibandingkan tanaman pokok yang diusahakan.
Untuk aspek keamanan, kebun BP3KP wilayah Imogiri Gunungkidul tergolong aman.
Pada saat siang hari dijaga oleh perempauan dan pada saat malam hari dijaga oleh 2 orang yang
tugasnya pengadaan sekam dan pupuk kandang. Selain itu juga melakukan kegiatan
penyiangan dan pendangiran apabila tanaman di polibag, namun untuk membasmi gulma yang
ada di jalan-jalan menggunakan herbisida.
3.2.3. Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan
A. Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) Wilayah Mangunan
Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Mangunan, Kabupaten Bantul
Resort Pengelolaan Hutan (RPH) berada di Wilayah Mangunan, Kabupaten Bantul.
Potensi pengelolaannya berupa hutan lindung yang ditanami tanaman pinus, dimana getah dari
tanaman pinus ini dapat disadap untuk diambil getahnya. Getah dari tanaman pinus ini diolah
untuk dijadikan karet yang menjadi sumbangan untuk Pendapatan Asli daerah (PAD) Daerah
Istimewa Yogyakarta.Luas dari hutan pinus yang dikelola oleh RPH ini sejumlah 130 ha,
106
namun yang produktif ditanami tanaman pinus berkisar 110 ha. Jumlah pohon pinus yang
ditanami sejumlah 57.636 batang.
Tahapan pengelolaan tanaman pinus agar dapat dimanfaatkan getahnya adalah pada
awal 1 – 10 tahun merupakan tahapan persiapan penyadapan, ketika tanaman pinus sudah
berusia 11 tahun maka tanaman pinus sudah dapat dilakukan penyadapan. History tanaman
pinus di RPH Mangunan, Kabupaten Bantul bahwa tanaman pinus ditanam pada tahun 1995.
Ketika umur pinus berkisar 10 – 30 tahun tanaman pinus dapat memberikan getah pinus yang
banyak atau dapat dikatakan pinus berada dalam masa subur. Namun ketika pinus sudah
berusia di atas 30 tahun maka getah pinus akan mengalami penurunan sebesar 40 – 50 %.
Fasilitas yang ada di RPH Mangunan, Kabupaten Bantul ini adalah terdapatnya kantor
pemungut kayu sekaligus digunakan untuk pengawasan. Terdapat tenaga kerja sebanyak 6
orang PNS. Untuk sementara dengan jumlah SDM yang sangat terbatas 2 orang yang termasuk
6 orang PNS tersebut merangkap 2 blok. Padahal agar perlindungan dan pengawasan
maksimum maka diperlukan 1 orang meng-handle 10 ha tanaman hutan pinus. Oleh karena itu
untuk mengatasi hal tersebut 1 orang petugas diharapkan dapat berhubungan langsung dengan
masyarakat dan kelompok yang ada di sekitar hutan pinus tersebut.
Dari faktor keamanan tanaman hutan pinus ini tergolong aman kira-kira 99% aman.
Kerusakan pernah terjadi pada tahun 1982 yang diakibatkan karena banyak yang roboh dan
peristiwa kebakaran hutan sebesar 6 ha pada musim kemarau.
Untuk jenis tanaman pinus ini membutuhkan banyak air. Namun hal ini terbantu dengan
adanya sumber air yang tersedia di sekitar lokasi dimana total sumber air yang masih dapat
digunakan untuk pengairan berkisar 6.
Untuk peralatan sendiri yang digunakan untuk keamanan dan penyadapan sudah
lengkap dan tersedia, namun untuk asuransi jiwa pekerja belum diadakan sehingga hal ini perlu
diperhatikan untuk keselamatan kerja pegawai khususnya yang bertugas di kebun pinus. Selain
6 tenaga PNS yang berfungsikan untuk mengelola dan mengawasi hutan pinus di RPH
Mangunan, ini juga dibantu oleh mitra kerja sejumlah 73 orang dan 4 kelompok dari
masyarakat setempat. Satu kepala keluarga ditugasi untuk menyadap sebanyak 500-700 pohon
pinus dengan sistem pembayaran Rp 2.600/kg.
Hasil penyadapan dari pohon pinus pada tahun 2012 mencapai 121 ton dari target 85
ton. Dan mengalami penurunan pada tahun 2013 hanya mencapai 73 ton dari target 90 ton.
Untuk pemeliharaan pohon pinus sendiri pemupukan hanya dilakukan pada awal penanaman.
Peremajaan dilakukan dengan menggunakan cara selam tegakan. Rata-rata penyadapan 1 hari
bisa menghasilkan 2 gr tiap pohon. Untuk penyadapan dilakukan seminggu dua kali.
107
Hutan Pinus
Produksi Getah Pinus
B. Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Wilayah Playen
Pabrik Penyulingan Minyak Kayu Putih Sendang Mole, Kabupaten Gunungkidul
Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Wilayah Playen, Kabupaten
Gunungkidul BKPH memiliki empat pabrik penyulingan minyak kayu putih dengan tempat
yang berbeda yaitu Pabrik Sendangmole, Gelaran, Dlingo, dan Kediwung. Satu pabrik yang
terbesar berada di Wilayah Playen, Sendang Mole, Kabupaten Gunungkidul.Total semua ada
14 resort yang terdapat kayu putih, 10 resort berada di Sendangmole sisanya berada di Dlingo
2 resort, 2 resort di Nglipar.Total lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman kayu putih
yang dapat diproduksi untuk menjadi minyak kayu putih berkisar 20-25 ha selebihnya
merupakan kawasan hutan Tahura sehingga tanaman pinus merupakan tanaman yang dijadikan
sebagai hutan lindung yang tidak dapat diolah ataupun ditebang. Total produksi yang dicapai
oleh tanaman pinus sampai bulan 24 November 2014 yaitu sebesar 56 ton dengan target
pencapaian sebesar 55 ton. Hasil dari pengolahan kayu putih berupa minyak kayu putih yang
langsung dijual ke Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sehingga tidak ada penjualan ke luar.
Rata-rata rendemen yang dihasilkan sekitar 0,9 % – 1,0 %.
Untuk biaya pungut sekitar Rp 80.000,00/ton dan upah angkut sekitar Rp 92.000,00/ton.
Permasalahannya yang terjadi di lapangan adalah belum adanya mobil angkut yang difasilitasi
oleh dinas. Kendala lain adalah semakin sempitnya areal pohon kayu putih yang dapat diolah
menjadi minyak kayu putih karena terbentuk dengan pengadaan hutan Tahura sebagai hutan
lindung.
Pabrik maksimum operasi sampai 8 jam untuk mengolah kayu putih menjadi minyak
kayu putih.Untuk efektifitas pabrik beroperasi selama 9 bulan. Pada Bulan Januari – Maret
diadakan pemeliharaan pabrik sebelum dilakukan pengolahan agar tidak terjadi turun mesin.
108
Kelayakan operasi mesin langsung dilakukan oleh Dinas Industri.Satu kali pengolahan
dibutuhkan 6 ton kayu putih dibagi 3 tempat (ketel). Masing-masing ketel bermuatan maksimal
2 ton. Total memprosesan selama 8 jam dengan pembagian 2 jam pertama persiapan, 4 jam
untuk proses penyulingan, dan 2 jam untuk membongkar.Rata-rata di Pabrik Sendangmole
memproduksi 18 ton, dimana setiap ton-nya menghasilkan 9-10 liter minyak kayu putih. Untuk
per harinya bisa keluar 170 liter, sehingga secara total rendemen 9,16liter/ton atau 1 liter
membutuhkan 1000-1100 kg daun. Harga per liter untuk minyak kayu putih senilai Rp
210.000,00/liter.
Biaya yang dikeluarkan untuk operasional 4 pabrik kurang lebih 2 milyar, sedangkan
untuk listrik menghabiskan 8-10 juta/bulan, untuk perbaikan mesin 280 juta untuk empat pabrik
untuk pengadaan suku cadang.
Untuk tenaga kerja pemungutan, persiapan lahan, hingga pengolahan membutuhkan
138 orang/hari dengan sistem pembayaran HOK. Dimana pabrik di Sendangmole memiliki 7
orang PNS sudah termasuk dengan kepala pabrik.Terdapat mitra dengan masyarakat sebanyak
32 orang masyarakat untuk membantu pekerjaan di kayu putih. Untuk masing-masing tenaga
kerja yang tersedia di Pabrik Sendangmole dibagi menjadi 4 bagian yaitu: Bagian memasak:
20 orang; Membuat briket: 6 orang; Tenaga harian: 2 orang; PNS: 7 orang
Selain masalah ketersediaan tenaga kerja, masalah lain terkait dengan SDM adalah
bahwa SDM yang tersedia kira-kira berkisar 40 tahun ke atas, sehingga dapat mempengaruhi
hasil kinerja dalam pengelolaan kayu putih. Kemudian kendala terkait dengan kualitas SDM di
Pabrik penyulingan minyak kayu putih adalah perbaikanmesin. Tidak semua tenaga kerja
mampu memperbaiki mesin, hal ini yang dapat menghambat pengolahan minyak kayu putih.
Apabila menggunakan tenaga ahli terkait dengan perbaikan mesin pabrik harus menunggu
selama 4 hari. Hal ini berarti selama 4 hari pabrik tidak mampu beroperasi menghasilkan
minyak kayu putih. Oleh karena itu, sekarang ini tenaga kerja dibekali ketrampilan agar mampu
sedikit demi sedikit melakukan perawatan dan perbaikan mesin.
Masalah yang terjadi yaitu pada saat musim hujan tenaga pemungut daun beralih
profesi ke pertanian untuk mengolah lahan pertanian, karena rata-rata tenaga pemungut adalah
berprofesi sebagai petani/buruh tani. Masalah lain yang dihadapi dalam pengolahan kayu putih
yaitu kesuburan tanah, iklim, pola perilaku penggarap, daun kurang bahkan tidak ada daun, dan
kerusakan mesin.
Untuk masalah pembuangan limbah Pabrik Sendangmole sudah mampu mengatasi
dimana sisa sampah dari hasil penyulingan sebesar 40% dimanfaatkan sebagai bahan bakar
briket untuk bahan bakar, dan selain itu juga daun hasil sisa dari kayu putih dapat digunakan
109
sebagai pupuk. Untuk limbah air selama ini baru dibuang ke sungai, namun pada tahun 2015
akan dimanfaatkan sebagai spa mandi air kayu putih. Karena limbah dari hasil penyulingan
kayu putih masih terdapat kadar minyak kayu putih sebesar 0,003%. Sehingga rencana tahun
2015 kawasan hutan kayu putih selain diolah menjadi minyak kayu putih juga akan
dimanfaatkan sebagai tempat wisata dengan fasilitas spa mandi air kayu putih.
3.3. Dinas Pertanian
3.3.1. Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura
Secara umum target dan realisasi penerimaan PAD di lingkup Dinas Pertanian DIY
(sub sektor tanaman pangan dan hortikultura) mengalami kenaikan setiap tahun. Pada tabel
berikut secara garis besar disajikan realisasi penerimaan PAD tahun 2013 dan target
penerimaan PAD tahun 2014 dan 2015. BPPTPH merupakan unit penyumbang terbesar bagi
PAD sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura dimana dengan menggunakan rerata 3 tahun
diketahui kontribusinya mencapai 97,3% dari seluruh total pendapatan PAD.
Dalam pengelolaan asset yang berupa kebun-kebun pertanian, sumbangan untuk PAD
Dinas Pertanian TPH berasal dari berbagai sumber dengan kontribusi terbesar berasal dari
produksi benih padi yang dikelola oleh BPTPH wilayah Wijilan, Nanggulan dengan luasan
15 hektar dan memproduksi benih dasar.BPTPH mengelola 8 kebun yang terdiri dari 3 kebun
padi, 2 kebun palawija dan 3 kebun hortikultura. Kebun padi antara lain ada di kebun padi
Penerimaan dan Target PAD Tanaman Pangan dan Hortikultura 2013-2015 (Rp)
Sumber Penghasil PAD 2013 2014 2015 Rerata % Ranking
Balai Pengembangan Perbenihan
Tanaman pangan dan Hortikultura
(BPPTPH) 768,520,000 827,050,000 885,650,000 827,073,333 97.3 1
Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Benih Pertanian (BPSBP) 10,000,000 10,883,520 13,605,000 11,496,173 1.4 2
Balai Pengembangan Sumberdaya
Manusia Pertanian (BPSMP) 5,400,000 5,400,000 6,600,000 5,800,000 0.7 3
Balai Proteksi Tanaman Pertanian
(BPTP) 5,000,000 5,000,000 6,500,000 5,500,000 0.6 4
Jumlah (Rp/tahun) 788,920,000 848,333,520 912,355,000 849,869,507 100.0
110
Wijilan (15 Ha), Kebun padi Gesikan (2,5 Ha), kebun padi Berbah (5 Ha), sedangkan kebun
palawija yang terdiri dari jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau antara lain ada di
kebun palawija Kedungpoh (1,5 Ha) dankebun palawija Gading (7 Ha). Permasalahan yang
ada di BPTPH adalah SDM yang kurang mencukupi. Selain SDM, seperti pada kebun di
Ngipiksari kendala kekurangan air juga menjadi permasalahan umum yang sering terjadi. Air
irigasi yang ada sudah tidak cukup untuk mengaliri seluruh lahan, hanya sebagian lahan yang
yang dapat teraliri air irigasi. Permasalahan yang lainnya adalah rendahnya tarif harga benih
dari kebun dibandingkan dengan yang ada di pasaran.
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP) merupakan salah satu aset
yang dimiliki Dinas Pertanian sebagai penyumbang PAD. BPSBP memberikan sertifikasi dari
benih yang diproduksi oleh penangkar benih. Masalah yang dihadapi di BPSBP ini adalah
kendala dalam SDM kurang dikarenakan banyaknya SDM yang pensiun dan belum ada
gantinya. Selain itu kendalanya adalah tarif dalam proses sertifikasi, tarif dibayarkan ketika
benih telah lulus dan mendapatkan sertifikasi. Benih yang tidak lulus tidak membayarkan tarif
dalam proses pengujian.
768,520,000
10,000,000
5,400,000
5,000,000
827,050,000
10,883,520
5,400,000
5,000,000
885,650,000
13,605,000
6,600,000
6,500,000
- 250,000,000 500,000,000 750,000,000 1,000,000,000
Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Hortikultura (BPPTPH)
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP)
Balai Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSMP)
Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP)
2015
2014
2013
Realisasi dan Target Penerimaan PAD sub sektor tanaman pangan dan hortikultura (2013-2015
111
Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPSDMP) merupakan balai
penghasil PAD dengan memberikan pelatihan-pelatihan pertanian. Kendala yang dihadapi
BPSDMP dalam mendapatkan PAD adalah tidak tersedianya lahan untuk sekolah lapangan.
Hal tersebut yang menyebabkan BPSDMP menyewa lahan untuk sekolah lapangan. Selain itu
fasilitas terbatas dan tempat pelatihan kurang representatif.
Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP) merupakan aset Dinas Pertanian dalam
menyumbang PAD. BPTP adalah balai proteksi tanaman dimana balai ini bekerja membuat
agen-agen hayati. Kendala BPTP adalah tarif terlalu murah tidak sebanding dengan biaya
produksi. Selain itu SDM yang kurang mencukupi dan latar belakang pendidikan yang kurang
sesuai. Di BPTP tidak adanya SDM yang mengoperasikan laboraturium yang baru dikarenakan
latar belakang SDM yang ada tidak sama.
A. Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Holtikultura (BPPTPH)
1. Kebun Wijilan Nanggulan (Kabupaten Kulon Progo)
Kebun Nanggulan berada di Kabupaten Kabupaten Kulon Progo. Luas kebun yaitu 15
ha yang berupa lahan sawah irigasi teknis. Sumber Daya Manusia (SDM) terdiri dari 11 orang
PNS dan 7 orang THL (Tenaga Harian Lepas). SDM rata-rata sudah senior, dengan luas lahan
15 ha idealnya dibutuhkan sekitar 20 tenaga kerja/ SDM. Infrastruktur irigasi yang ada berupa
irigasi teknis dari Sungai Progo. Pola tanam yang dikembangkan di kebun Nanggulan yaitu 2
kali tanam dan 2 bulan diberokan. Sistem penanaman yang dilakukan petani yaitu sistem
terasering, dengan sistem tersebut tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan bagus. Hasil
panen yang didapatkan yaitu 2,3 ton. Hal ini berarti sesuai dengan target PAD.
Komoditas yang diusahakan yaitu padi dengan varietas Ciherang, IR 64, Situbagendit,
dan PP. Benih dibedakan menjadi tiga yaitu Benih Dasar (BD) berwarna putih, Benih Pokok
(BP) berwarna ungu dan Benih Sumber (BS) dari Sukamandi. Harga BD yaitu Rp. 7.500/kg,
sedangkan BP barganya Rp. 6000/kg. Padi varietas Ciherang, IR 64 dan Situbagendit
permintaanya berubah-ubah sesuai dengan permintaan pasar. Dari beberapa jenos varietas padi,
Situbagendit adalah varietas yang yang paling bagus kualitasnya. Setelah diproduksi, hasil
panen dibawa ke BPSBP (Balai Pengembangan Sertifikasi Benih Pertanian) dicek di
laboratorium untuk diketahui masa lamanya kadaluarsa. Hasil laboratorium dapat diketahui
setelah 3 bulan. Jika tidak laku, maka dibuat konsumsi sendiri atau bisa dititipkan di balai benih
lain.
112
Kebun Benih Padi
Benih Padi Bersertifikat
Di kebun benih Nanggulan terdapat beberapa sarana dan prasarana pertanian,
diantaranya terdapai 4 unit lantai jemur, setiap lantai luasnya 250 m2. Ada juga kamar-kamar
lain untuk disewakan, akan tetapi bangunannya tidak bagus. Selain itu, juga mempunyai traktor
roda 4, mistblower, power tracer, cleaner, dan blower. Wilayah Nanggulan juga mempunyai
gudang benih, tetapi tidak memenuhi standar gudang benih.
Tenaga penanaman, penyiangan dan pemanenan zaman dulu masih menggunakan
masyarakat setempat untuk membantu. Dalam hal pemanenan, mereka diupah dengan sistem
bawon. Sistem bawon yaitu upah yang diberikan berupa barang yang dipanen dengan jumlah
tertentu yang telah disepakati oleh pemberi bawon. Tetapi, mencari tenaga kerja zaman
sekarang sangat sulit, sehingga harus mencari dari luar kecamatan. Tenaga kerja di luar
kecamatan dijemput, kemudian diantar kembali setelah mereka selesai bekerja. Upah yang
diberikan yaitu Rp 35.000/HOK.
Permasalahan yang sering dihadapi yaitu kesuburan tanah. Tingkat kesuburan tanah di
kebun Nanggulan perlu dibenahi. Tahun 2015 mendatang akan dilakukan uji tanah untuk
mengetahui kekurangan maupun kelebihan unsur hara tanah, sehingga perlakuan tanah dapat
diatasi dengan efektif dan efisien. Setelah masalah kesuburan dapat diatasi, maka petani dapat
meningkatkan produksi.
Pendapatan yang dihasilkan oleh petani Nanggulan selain dari pertanian, mereka juga
mempunyai pekarangan yang ditanamani buah-buahan. Mayoritas ditanami mangga jenis arum
manis dan manalagi. Setiap musim panen dihasilkan 20-an buah mangga arum manis dan
manalagi. Selain itu juga ditanami jeruk nipis. Hasil yang didapatkan dari tanaman pekarangan
lumayan menambah penghasilan keluarga.
113
2. Kebun Padi Gesikan (Kabupaten Bantul)
Kebun padi Gesikan ini merupakan kebun benih yang terdapat di Kabupaten Bantul.
dengan luas 2,5 ha. Dari aspek SDM, kebun Gesikan dikelola oleh 3 orang PNS dan 3 pegawai
THL (lulusan SLTA), dengan jumlah pengelola dan staf tersebut dirasa sudah cukup. Varietas
padi yang ditanam yaitu Situbagendit BD sampai ke BP. Pola tanam yaitu 2 kali tanam (padi-
padi). Untuk tanam, dibutuhkan 6 tenaga kerja dengan upah Rp 70.000/hari, sedangkan untuk
panen dibutuhkan 15 tenaga kerja dengan upah Rp 70.000/hari. Produksi yang dihasilkan
kurang lebih 3 ton/ha. Pemasaran hasil tidak ada kendala, karena aksesnya sudah baik dan
mendukung. Hasil panen bisa dijual ke sesama petani maupun ke kelompok, selain itu juga
dipasarkan disekitar Yogyakarta.
Dalam proses budidaya mengalami kesulitan pada pengairan, karena harus menaikkan
air dari sungai ke lahan. Petugas merasa kesulitan karena sungai berada dibawah lahan,
maksudnya kedudukan kebun lebih tinggi dari sungai Bedog. Selain itu, harus membayar pajak
sebesar Rp 45.000/ha/tahun.
3. Kebun Padi Kadisono, Berbah
UPT BPPTPH di Kadiosno, Berbah Sleman ini mengelola komoditas benih padi
seluruhnya. UPT ini memiliki luas lahan sebesar 5 hektar, namun kebun atau lahan yang
produktif hanya 3 hektar, karena saluran sungainya miring sehingga tidak dapat digunakan
untuk mengairi lahan sepenuhnya, dan sisa lahan 2 hektar tidak produktif. UPT ini memiliki
beberapa fasilitas berupa: bangunan, lahan pertanian, lantai jemur untuk 4 plot, gudang, serta
beberapa peralatan, seperti traktor, grader, cleaner dan sprayer. Tenaga kerja di UPT ini terdiri
dari I orang PNS, 1 orang THL, dan 1 orang harian lepas.
Pola tanam kebun benih terdiri dari 2 musim tanam, yaitu musim tanam I pada bulan
Februari/Maret sampai bulan Mei serta musim tanam II pada bulan Mei sampai Juni/Juli, dan
mulai bulan Agustus hingga awal musim tanam I lahan diberokan. Namun demikian, pada
tahun ini masih ada tanaman sampai bulan Oktober karena fluktuasi cuaca yang kurang
menentu. Selama ini, UPT BPPTPH mengikuti aturan musim tanam ini secara serempak,
karena dulu pernah tidak mengikuti dan justru malah puso. Irigasi berasal dari Selokan
Mataram. Di musim tanam I, air mengalir sepanjang musim tanam, namun di musim tanam II,
air mulai dibatasi dengan digilir setiap seminggu sekali.
UPT ini mengembangkan Benih Pokok (BP), yaitu benih yang siap ditanam oleh petani
dan hasil panennya langsung dapat diolah dan dikonsumsi. Benih Dasar (BD) yang dijadikan
sebagai benih untuk pengembangan Benih Pokok (BP) diperoleh dari Wijilan. Varietas utama
114
yang dikembangkan ini adalah varietas IR64. Varietas ini sebenarnya sudah dilarang oleh
pemerintah karena tidak tahan wereng, akan tetapi permintaan masyarakat akan varietas ini
masih tinggi. Varietas Situ Bagendit tidak laku di masyarakat. Varietas IR64 lebih disukai
masyarakat karena dapat dikembangkan di lahan yang kecil dan produktivitasnya tinggi,
perawatan lebih mudah, rasanya enak, serta mudah untuk ditebaskan. Permintaan benih paling
besar di bulan Oktober, karena mempersiapkan musim tanam.
Stok Benih Siap Diproses
Pencatatan Identitas Benih Padi
Produksi benih di UPT banih Kadisono sebesar 9.150 kg benih di musim tanam I dan
9.050 kg benih di musim tanam II. Benih hasil pengembangan di UPT ini dijual dengan harga
Rp 9.000,- untuk masyarakat luar daerah dan Rp 6.000,- untuk masyarakat lokal. Pembelian
biasa dilakukan oleh kelompok, utamanya kelompok tani yang ada di D.I. Yogyakarta (daerah
lain tidak bisa membeli) dan individu (pembeli dari luar bisa masuk). Sesuai SK Gubernur,
seharusnya tidak boleh menjual benih ke daerah lain, padahal permintaan dari luar daerah
cukup tinggi. Hal ini dikarenakan, benih dari D.I. Yogyakarta sudah terkenal bagus dan paling
unggul dibandingkan benih dari daerah lainnya. Oleh karena itu, UPT ini hanya melayani benih
di luar daerah untuk penjualan perseorangan saja. Hasil penjualan rata-rata untuk musim tanam
I adalah Rp 54.900.000,- dan Rp 54.300.000, untuk musim tanam II.
Biaya yang dikeluarkan di kebun ini antara lain biaya tenaga kerja untuk penyiangan
dan pemanenan. Biaya tenaga kerja per HOK yaitu Rp 35.000,- untuk tenaga dari warga lokal,
dan Rp 50.000,- untuk tenaga dari luar daerah, biasanya dari wilayah Kecamatan tetangga yaitu
Piyungan-Bantul. Selain tenaga kerja, pembiayaan digunakan untuk melakukan uji
laboratorium dan membeli pupuk kimia (hanya non subsidi) Rp 7.500,- per kilogram.
115
Kendala yang dihadapi oleh UPT ini yaitu keterbatasan tenaga kerja serta penggunaan
pupuk anorganik dengan dosis yang meningkat namun tidak disertai dengan penambahan
pendapatan untuk menyeimbangkan peningkatan kebutuhan tersebut.
4. Kebun Hortikultura Wates (Kabupaten Kulon Progo)
Kebun Hortikultura Wates tergolong kecil karena hanya memiliki luasan lahan 1,5 ha
yang terdiri dari bangunan dan kebun, serta berupa rumah kawat. Kebun ini masih
kekuranganSumber Daya Manusia (SDM), karena hanya memiliki 3 orang (PNS). Masing-
masing berumur 55 tahun, 47 tahun, dan 52 tahun. Sarana yang ada di kebun yaitu rumah jaring
dan pompa diesel 2 unit.
Jenis bibit yang ada di kebun ini adalah jambu Dalhari, durian, manggis. Selain itu, ada
buah naga tetapi belum bisa dibenihkan. Harga masing-masing bibit yaitu jambu Dalhari Rp
34.000 – Rp 50.000/bibit, durian Rp 18.000/bibit, dan manggis Rp 10.000/bibit. Produksi bibit
dari hasil cangkok pohon induk per tahunnya sebanyak 500 bibit. Bibit-bibit tersebut terkadang
ada yang disetor keluar dan ada yang untuk kelompok sendiri.
Permasalahan yang dihadapi antara lain keamanan, ketersediaan air, pencangkokan
jambu, sambung (durian dan manggis), tidak ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pemasaran
dan biaya. Keamanan kebun hortikultura yaitu belum adanya pagar pelindung kebun, walaupun
ada hanya setengah dari luas kebun tersebut, sehingga tak jarang ketika musim buah banyak
hilang dan rusak. Dalam konteks ini ketersediaan air menjadi kendala karena kebun terletak di
pinggir jalan raya sehingga pasokan air banyak digunakan oleh perkantoran dan kebutuhan
rumah tangga, akibatnya pasokan air untuk kebun berkurang. Selain itu, ketika dibuat sumur,
perlu biaya yang banyak karena harus mengebor tanah sampai kedalaman tertentu (melebihi
kedalaman sumur pada umumnya) sampai ke sumber air tanah. Pencangkokan jambu juga
menjadi kendala, karena pohon induk yang dicangkok umurnya sudah tua, sehingga hasil
pencangkokan tidak maksimal. Begitu juga yang terjadi pada sambung durian dan manggis.
Waktu yang digunakan untuk pertumbuhan bibit cangkokan dan sambungan kurang lebih 3
bulan. Akibatnya, bibit tanaman menjadi kekurangan stok sehingga pemasarannya juga
terganggu. Selain karena stok bibit., tupoksi pemasarannya juga tidak ada. Penjualan bibit
masih disekitar Yogyakarta, karena mendapatkan SK Gubernur DIY. Harapan kedepannya
yaitu akan dikembangkan daerah agrowisata.
116
5. Kebun Benih Hortikultura unit Wonocatur
Kebun Benih hortikultura Wonocatur ini terdiri dari luasan lahan kebun seluas 1000 m2
dan 4 gedung yang terdiri dari 1 buah laboratorium dan 3 buah screen house dengan luasan 60
m2, 40 m2, dan 32 m2. Kebun ini hanya dikerjakan oleh 3 orang pekerja, 2 staf laboratorium
yang terdiri dari 1 staf lab dan 1 tenaga harian lepas (THL), serta 1 orang pekerja lepas di kebun
yang bekerja selama setengah hari, namun jika sangat mendesak terkadang sampai sore hari.
Kebun benih ini mengusahakan berbagai komoditas, namun dalam waktu 10 tahun ini
fokus pada produksi bibit pisang. Produksi bibit pisang ini dilakukan secara kultur jaringan
dengan memanfaatkan laboratorium, kemudian dilanjutkan dengan pembesaran di screen
house. Kultur jaringan di laboratorium memerlukan waktu 1 tahun dan dilanjutkan pembibitan
di screen house selama 3 bulan hingga siap tanam. Tingkat kematian bibit paling tinggi saat
dilakukan inisiasi, yaitu mengeluarkan bibit dari botol di kultur jaringan, karena bibit
menyesuaikan dengan lingkungan yang baru. Proses aklimat ini akan menyebabkan kematian
bibit sebesar 20% dari jumlah bibit yang dikeluarkan. Inisiasi dilakukan 4 kali dalam setahun,
yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April.
Dalam 2 tahun terakhir ini, kebun benih ini mampu memproduksi hingga 3000 batang
bibit pisang siap tanam, yang didominasi oleh jenis pisang raja sebesar 30% dan sisanya jenis
pisang ambon, pisang kepok, dan pisang cavendish. Dahulu, banyak jenis pisang yang
diusahakan, namun saat ini jenis pisang yang diusahakan disesuaikan dengan permintaan pasar,
baik perseorangan maupun kelompok. Harga setiap jenis bibit sama, yaitu Rp 4.000,- per
batangnya.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas pisang di kebun
benih ini yaitu keberadaan penyakit yang menyerang bibit tanaman pisang, seperti virus dan
bakteri, yang umumnya baru akan terlihat setelah ditanam. Selain itu keterbatasan tenaga kerja
juga menjadi masalah utama dalam pengembangan kebun ini. SDM yang ada saat ini pun masih
belum menguasai teknik pengembangan bibit dengan baik dan benar. Permintaan pasar yang
fluktuatif juga terkadang menjadi hambatan, apalagi jika dikerjakan dengan tenaga ahli yang
jumlahnya sangat terbatas.
Pembiayaan selama ini berasal dari pemerintah yang digunakan untuk operasional
kebun, seperti penyediaan bahan-bahan untuk kultur jaringan, perawatan kebun, dan lain
sebagainya. Kesulitan terbesar yaitu dalam mendapatkan bahan kimia untuk kultur jaringan itu
tadi, karena harganya sangat mahal dan harus pesan terlebih dahulu jauh hari sebelum
digunakan.
117
Kebun benih ini sebenarnya sangat prospektif jika dikembangkan, akan tetapi jika akan
dikembangkan, konsekuensinya adalah tidak ada lahan untuk memperluas dan keterbatasan
tenaga kerja itu tadi. Jika kebun ini ditargetkan menjadi PAD, seharusnya anggaran untuk
operasionalnya juga turut dinaikkan.
Bibit Pisang Kultur Jaringan
Bibit Hortikultura
6. Kebun Hortikultura Ngipiksari Sleman
BPTPH Ngipiksari memiliki luas lahan 4 hektar yang terdiri dari bangunan, kebun
buah, kebun tanaman hias, dan 2 hektar kebun sayur. BPTPH ini memiliki 19 staf, 7 orang staf
administrasi dan 12 staf lainnya di bidang hortikultura, yaitu terdiri dari 3 orang di Tambak, 2
orang di Wonocatur, dan 7 orang di Ngipiksari.
Komoditas yang diusahakan di BPTPH ini adalah benih tanaman cabai, tomat, tanaman
hias, serta bibit pohon buah, seperti buah kelengkeng, jambu kristal, jambu dalhari, alpukat,
dan buah sirsat. Target produksi untuk tanaman cabai dan tomat yaitu 70 kg per hektar dan
tanaman yang lain tidak ada target setiap musim tanamnya. Target lainnya yaitu BPTPH
memiliki keinginan untuk memperluas lahan penanaman di daerah kering, lahan kritis, dan
tanah pasir berbatu. Benih dan bibit yang diproduksi selama ini dibeli oleh masyarakat dari luar
daerah serta menyediakan permintaan bantuan dari mahasiswa KKN, PKK, dan SD untuk
percontohan atau mendukung program-program yang akan dilaksanakan.
Penanaman tanaman sayuran yang membutuhkan banyak air menjadi permasalahan
utama, karena selokan yang melewati daerah ini debitnya sangat kecil sehingga memanfaatkan
keberadaan ‘tuk’ atau sumber mata air yang dialirkan menggunakan pipa bawah tanah.
Permasalahan yang dihadapi oleh BPTPH selain ketersediaan air yang masih terbatas
yaitu sarana produksi yang terbatas dan beberapa diantaranya sudah tua, sulitnya akses untuk
118
membeli suku cadang, permintaan pasar yang sulit dipenuhi, sulitnya melakukan promosi di
pameran-pameran, serta sulitnya menjual benih dalam bentuk sachet karena harus memiliki
mitra bisnis. Sebelumnya BPTPH bermitra dengan perusahaan penangkar benih yaitu PT Sang
Hyang Sri (SHS), namun kini kerjasama kemitraan sudah terhenti.
7. Kebun Palawija Gading Gunung Kidul
BPPTPH Unit Gading berada di Nglipar, Wonosari. Luas lahan yang dimiliki seluas 7
ha termasuk kantor. Lahan produktif seluas 6 ha dengan produksi benih jagung, kedelai, kacang
tanah dan kacang hijau. Penanaman disesuaikan dengan petani, BPPTPH akan menanam lebih
dahulu sehingga penanaman bisa seragam. Kelas benih yang diproduksi BPPTPH Gading
adalah Benih Dasar dan Benih Pokok. Merupakan lahan kering, pada musim kemarau BPPTPH
menggunakan sumur bor dengan kapasitas 2 liter per detik untuk mengairi 3 ha.
BPPTPH Gading memiliki 9 PNS, 2 PTT (termasuk 1 PTT di BPPTPH Kedungpoh)
dan 3 THL. THL masih kurang dalam kualifikasinya. BPPTPH Gading memiliki laboratorium
namun tidak memiliki operator untuk operasional laboratorium. Ada 2 gudang yang tersedia di
BPPTPH Gading yang salah satunya sudah memiliki ruangan cold storage untuk penyimpanan
benih yang berkapasitas 10 Ton. Cold storage akan memberikan ketahanan terhadap daya
simpan benih dengan pengaturan kelembaban dan suhu. Selain itu, BPPTPH memiliki 3 lantai
jemur dengan luas masing-masing 200-250-250 m2. BPPTPH Gading memerlukan fasilitas
demplot untuk mengenalkan varietas baru. Pengenalan varietas baru perlu dilakukan untuk
menambah nilai penjualan benih BPPTPH Gading yang khusus memproduksi benih palawija.
BPPTPH Gading tidak memiliki tenaga pemasaran sehingga untuk penjualan benih masih
kurang. Saat ini BPPTPH Gading sedang dalam masa pembangunan tembok pembatas untuk
menanggulangi pencurian yang sering terjadi.
Pengemasan Benih Kedele
Pelabelan benih kedele
119
8. Kebun Palawija Kedungpoh Gunung Kidul
BPPTPH Unit Kedungpoh merupakan UPTD yang terintegrasi dengan BPPTPH Unit
Gading. BPPTPH Kedungpoh memiliki lahan dengan luas total 1,5 ha dengan peruntukan
produksi benih jagung dan kacang tanah. Lahan yang produktif hanya seluas 1 ha dan
keseluruhan merupakan lahan tadah hujan. Penanaman untuk produksi benih dilakukan setelah
ada hujan. Kebun produksi benih belum dipagari sehingga rawan untuk pencurian, selain itu
juga rawan terjadinya kontaminasi dengan tanaman lain yang ditanam oleh petani yang
sekawasan dengan lahan BPPTPH Kedungpoh. Air untuk budidaya merupakan air yang
digunakan bersama warga. Lahan yang dimiliki merupakan lahan berteras dan perlu untuk
ditata dengan alat berat yang masih belum bisa ditata sampai sekarang. BPPTPH Kedungpoh
berencana untuk melakukan penataan lahan sehingga lahan dapat dimanfaatkan lebih baik.
BPPTPH Kedungpoh hanya memiliki 1 PTT yang bertanggungjawab atas produksi dan
gudang. Fasilitas yang ada di BPPTPH Kedungpoh berupa 1 unit gudang. Traktor yang
digunakan merupakan traktor yang didatangkan dari BPPTPH Gading. Pelaksanaan
pengarapan lahan dengan tenaga luar sebesar Rp 50.000,00 untuk cangkul dan Rp 40.000,00
untuk mendangir. BPPTPH Kedungpoh memiliki 1 lantai jemur namun dalam kondisi yang
tidak bisa digunakan.
120
B. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP)
BPSBP bertugas untuk melakukan sertifikasi terhadap benih yang akan dilepas di
pasaran. BPSBP berkantor di Kompleks Dinas Pertanian DIY. Target sertifikasi yang
dibebankan kepada BPSBP sebesar 1650 ha untuk APBN dan 100 ha untuk APBD (PAD).
BPSBP melakukan sertifikasi dengan beberapa tahapan proses, yaitu :
1. Pendahuluan
2. Fase Vegetatif
3. Fase Generatif
4. Panen
5. Pemeriksaan Gudang
6. Uji Lab
7. Pelabelan (setelah lolos uji lab)
Pelaksanaan sertifkasi dilakukan sesuai urutan dan memakan waktu kurang lebih 14
hari, apabila pada salah satu tahapan tidak lolos maka proses tidak dilanjutkan. Proses
pembayaran dilakukan setelah label keluar dan apabila tidak lolos maka tidak ada pembebanan
pembayaran untuk membayar proses yang sudah dilakukan. Harga label sertifikat benih Rp
600 per label dengan hasil mencapai 800 label benih. Dulu masih ada penerbitan Surat
Keterangan Produsen Benih dengan biaya pembuatan baru Rp 50.000,00 dan biaya
perpanjangan Rp 25.000,00, namun saat ini sudah menjadi wewenang Kota/Kabupaten
sehingga potensi pendapatan BPSBP berkurang akibat wewenang penerbitan Surat Keterangan
Produsen Benih dibebankan kepada Kota/Kabupaten. Laboratorium yang dimiliki untuk Uji
Lab Benih yang akan disertifikat sudah memiliki akreditasi. Kendaraan operasional yang
dimiliki kurang dapat dimanfaatkan karena tidak ada biaya operasional.
Sumber Daya Manusia yang dimiliki sejumlah 30 orang pengawas benih dengan rincian
20 orangaktif dan sisanya sebagian besar sudah pensiun. 20 orang pengawas benih yang aktif
13 diantaranya petugas lapangan dan 7 sisanya bertugas di laboratorium uji. Sumber Daya
Manusia masih dirasa kurang karena terbatas dan kurang bisa memfasilitasi produsen benih
dan sebagian besar sudah pensiun. Operasional tenaga lapangan juga terbatas karena kendaraan
operasional yang dimiliki tidak memiliki biaya operasional yang cukup.
Pemeriksaan lapangan yang sudah dilakukan BPSBP sejumlah 350 ha padahal anggaran
yang ada hanya untuk 100 ha. Pendapatan Asli Daerah yang dibebankan tiap tahunnya naik
namun dengan retribusi yang rendah. Kekurangan anggaran pada pemeriksaan 350 ha yang
121
seharusnya 100 ha diambilkan dari anggaran Pendapatan Negara Bukan Pajak sertifikasi 1650
ha.
BPSBP masih memerlukan tambahan Sumber Daya Manusia untuk memperbaiki
kinerja yang saat ini hanya berisikan 20 orang yang aktif dengan total keseluruhan 30 orang
yang sebagian besarnya sudah pensiun, kaitannya dengan pelaksanaan pemeriksaan lapangan
yang mengakomodasi keseluruhan DIY. Pembebanan biaya sertifikasi bisa dilakukan tiap
tahap pemeriksaan sehingga tetap ada pemasukan, namun saat ini biaya sertifikasi baru
dibayarkan ketika label sudah jadi. Lahan yang terhenti pada fase sebelum label jadi tidak ada
pembebanan biaya.
Lab Pengujian
Lab Pengujian dan Sertifikasi
C. Balai Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSDMP)
BPSDMP merupakan salah satu UPTD milik Dinas Pertanian DIY yang
menyelenggarakan pelatihan baik untuk Petani, Mantri Tani, Penyuluh maupun pihak-pihak
terkait. BPSDMP memiliki lahan seluas 4500 m2 yang berisi gedung kantor, ruang pertemuan
serta asrama. Sebagai sarana pelatihan, BPSDMP memerlukan lahan yang melekat dengan
lokasi kompleks BPSDMP minimal seluas 2 Ha, namun saat ini belum tersedia. Lahan tersebut
diperuntukkan sebagai sarana pelatihan baik pertanian, peternakan, perikanan maupun
perkebunan. Sarana yang belum tersedia adalah perpustakaan serta fasilitas olahraga. Sumber
air yang berasal dari sawah tidak bisa digunakan untuk air minum, sehingga ketersediaan air
tebatas, BPSDMP sudah mengajukan untuk pengadaan PAM namun masih belum jelas.
Pelatihan di BPSDMP dapat dilaksanakan hingga 5 kelas per bulan. Pelaksanaan
pelatihan efektif berlangsung selama 10 bulan dengan sekitar 6 kelas pada bulan Maret sampai
122
November. Fasilitas kelas masih dirasa kurang karena masih ada 2 ruang kelas yang belum
menggunakan AC. Ruang makan yang tersedia dapat digunakan untuk 60 orang yang juga
belum berfasilitas AC. Fasilitas AC masih belum bisa dipenuhi karena listrik yang tersedia di
BPSDMP masih kurang daya dan sudah direncanakan untuk ditambah dayanya. Beberapa
pelatihan pernah dibatalkan karena permasalahan air dan AC. Penggunaan lahan untuk
pelatihan biasanya melakukan kerja sama dengan instansi lain seperti KP4 UGM. Gedung
kantor masih belum dilengkapi dengan tralis untuk keamanan karena lokasi kantor
berdampingan dengan sawah yang rawan pencurian. Beberapa komputer untuk operasional
merupakan komputer lama yang kurang layak untuk digunakan
SDM yang tersedia saat ini berjumlah 39 orang, namun berdasarkan SK Gubernur
seharusnya berisi 42 orang. BPSDMP masih kekurangan 4–6 orang untuk jabatan fungsional.
D. Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP)
Balai Proteksi Tanaman Pertanian berlokasi di Gesikan, Bantul. Bertugas untuk
melakukan sosialiasi PHT melalui SLPHT dan pembuatan agensia hayati untuk menunjang
pelaksanaan SLPHT. Laboratorium yang dimiliki berjumlah empat laboratorium untuk
memproduksi agensia hayati antara lain. BPTP juga memiliki Laboratorium baru yang akan
berfungsi sebagai laboratorium uji residu pestisida. BPTP melaksanakan SLPHT untuk petani
sebagai Institusi Pelayanan. BPTP mendampingi petani untuk melakukan PHT.
Laboratorium Produksi Agen Hayati memproduksi Agensia Hayati yang akan dilepas
ke pasaran dengan harga Rp 5.000,00 per kemasan. Agensia Hayati hanya bisa dibeli melalui
kelompok yang sudah mendapatkan surat rekomendasi dari POPT. Produksi Agensia Hayati
yang dilakukan BPTP sebenarnya hanya produksi starter yang kemudian akan diproses oleh
Kelompok Tani binaan sehingga menjadi produk siap pakai, namun BPTP memproduksi
agensia hayati siap pakai.
Alat operasional yang dimiliki untuk produksi agensia hayati cukup lengkap.
Keberadaan Laboratorium Uji Residu Pestisida menjadi salah satu potensi yang harus segera
ditindaklanjuti. Belum ada SDM yang bertugas secara khusus di Laboratorium Uji Residu
Pestisida. Potensi penggunaan sangat besar karena akan menjadi pelengkap sebagai jaminan
mutu pangan. Alat-alat sudah tersedia namun belum dipindah ke gedung laboratorium karena
gedung baru saja jadi dan belum ada SDM yang bertanggungjawab atas pengoperasionalan
laboratorium.
123
BPTP memiliki 8 PNS dengan 4 orang berkualifikasi S1 sebagai fungsional POPT.
Selain itu juga tersebar THL POPT yang berada di Kecamatan. BPTP sudah memiliki sertifikat
ISO untuk Manajemen Pelayanan, namun BPTP merasa masih kurang memiliki wewenang ke
dalam untuk melakukan pengembangan sesuai dengan kondisi yang dikehendaki. BPTP masih
berada di bawah Seksi sehingga masih terbatas untuk melakukan pengembangan.
Laboratorium Pengujian
Peralatan Pengujian Residu Pestisida
3.3.2. Sub Sektor Peternakan
PAD sub-sektor peternakan di DIY secara umum dihasilkan oleh Dinas Pertanian DIY.
Unit penghasil PAD sub-sektor peternakan di Dinas Pertanian DIY adalah Unit Pelaksana
Teknis Dinas Balai Pengembangan Bibit, Pakan Ternak dan Diagnostik Kehewanan (UPTD
BPBPTDK). UPTD BPBPTDK merupakan penggabungan 2 (dua) UPTD yaitu: UPTD BDK
(Balai Diagnostik Kehewanan) yang berlokasi di Sumberagung, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul dan UPTD BPMBPT (Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan
Ternak) yang berlokasi di Sumedang, Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten
Sleman. Struktur organisasi UPTD BPBPTDK terdiri dari kepala balai, sub-bagian tata
usaha, dan 2 seksi yaitu Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit, dan Pakan Ternak dan
Seksi Diagnostik Kehewanan.
UPTD BPBPTDK bertugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Pertanian di bidang
pengembangan bibit, pakan ternak dan diagnostik kehewanan. Secara rinci , dalam
melaksanakan tugas tersebut, UPTD BPBPTDK memiliki fungsi antara lain: (1) Penyusunan
124
program balai, (2) Pengembangan semen, (3) Pengembangan pakan ternak; (4)
Pengembangan ternak bibit, (5) Pelaksanaan diagnosa dan surveilans, (6) Pengendalian
mutu produk asal hewan, (7) Penyelenggaraan ketatausahaan, dan (8) Pelaksanaan evaluasi
dan penyusunan laporan program balai, (8) Pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan
program balai, dan (8) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Berdasarkan tugas-tugas tersebut, fungsi dan layanan yang diemban
oleh UPTD UPTD BPBPTDK akan diperoleh berbagai sumber penerimaan, sebagai
pendapatan asli daerah sub-sektor peternakan.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, UPTD BPBPTDK dilengkapi dengan sarana
prasarana sebagai berikut:
1. Kantor pelayanan pusat;
2. Laboratorium Kesmavet;
3. Laboratorium Keswan;
4. Ruang Pengujian Laboratorium Kesmavet;
5. Ruang Pengujian Laboratorium Keswan;
6. Ruang pemrosesan semen beku;
7. Kebun HPT seluas kurang lebih 9 Ha (di 4 lokasi: Sumedang, Kaliurang, Ngepas, dan
Barongan);
8. Ternak Bull, sapi perah, sapi potong, kambing, dan domba;
9. Kendaraan operasional, baik roda 2, roda 4, maupun roda 6;
10. Sarana penunjang (komputer, telepon, internet, dll.).
Pelayanan yang diberikan oleh UPTD BPBPTDK adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan Laboratorium Kesmavet
a. Pengujian formalin terhadap pangan asal hewan,
b. Pemalsuan daging,
c. Pengujian cemaran mikroba pada daging, susu dan telur,
d. Pengujian residu pada daging, susu dan telur,
e. Pengujian daging ayam bangkai, dan
f. Pengujian daging sapi glonggongan.
2. Kegiatan Laboratorium Keswan
a. Pengujian penyakit tuberculosis,
b. Pengujian helmintiasis gastrointestinae,
c. Pengujian parasit darah,
d. Patologi ternak,
125
e. Pengujian titer antibodi Al & ND
f. Pengujian IBR pada sapi,
g. Pengujian paratuberculosis pada sapi,
h. Pengujian pullorum ayam,
i. Pengujian RBT sapi perah, dan
j. Pengujian Toxoplasma pada ternak.
3. Pengembangan Bibit Ternak
a. Pengembangan bibit ternak sapi perah,
b. Pengembangan bibit ternak sapi potong, dan
c. Pengembangan bibit ternak kambing / domba.
4. Pengembangan Semen Beku
a. Semen beku sapi simental,
b. Semen beku sapi limosin, dan
c. Semen Bbeku sapi PO/Brahman.
5. Pengembangan Hijauan Pakan Ternak (HPT) :
a. Rumput (King grass, Kolonjono, Sertaria)
b. Legumenosa (Kaliandra, Kleresede, Lamtoro)
Dari uraian tersebut di atas, UPTD BPBPTDK disamping memberikan pelayanan aktif
kepada masyarakat dengan jenis pelayanan pengujian, penyediaan bibit ternak dan semen beku
dan HPT, juga menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang obyek pendapatan utamanya
didukung dari pengembangan bibit ternak sapi perah karena disamping menghasilkan pedet
juga menghasilkan susu sapi. Obyek yang lain bersumber dari hasil pengujian laboratorium
kesehatan hewan dan pengujian laboratorium Kesmavet dan penjualan semen beku.
Penarikan PAD di UPTD BPBPTDK diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan
Gubernur Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perubahan Tarif Retribusi Jasa Usaha. Retribusi jasa
usaha di UPTD BPBPTDK terdiri atas retribusi pemakaian kekayaan daerah (jasa pemeriksaan
dan pengujian penyakit hewan) dan retribusi penjualan produksi usaha daerah khususnya
penjualan ternak dan hasil ternak (susu sapi, pedet sapi perah, sapi potong, sapi afkir, kambing
afkir, semen beku sapi, pedet sapi potong, dan cempe). Dari sumber-sumber penerimaan
tersebut, UPTD BPBPTDK mengklasifikasikannya menjadi dua yaitu PAD yang bersifat tetap
dan tidak tetap. PAD yang bersifat tetap di UPTD BPBPTDK terdiri dari penjualan susu sapi
perah, penjualan pedet sapi perah, penjualan pedet sapi potong, penjualan cempe kambing
domba, penjualan semen beku dan pengujian pullorum, sedangkan PAD yang bersifat tidak
126
tetap terdiri dari pengujian kesmavet, pengujian RBT test, pengujian HI/AI, penjualan sapi
potong afkir, penjualan sapi perah afkir, dan penjualan kambing dan domba afkir.
Menurut UPTD BPBPTDK, sumber PAD yang diklasifikasikan bersifat tetap adalah
berdasarkan sifatnya yang setiap bulan atau setiap tahun dikerjakan dan menghasilkan
pendapatan, sedangkan PAD diklasifikasikan tidak tetap berdasarkan pada PAD yang setiap
bulan atau setiap tahun tidak selalu dapat menghasilkan pendapatan. Sebagai contoh, PAD
yang sifatnya pengujian (pengujian Kesmavet, HI/AI test dan RBT test) sangat ditentukan oleh
kesadaran dan kepentingan masyarakat. Laboratorium bersikap ‘statis’, namun telah
melakukan sosialisasi arti pentingnya nilai pengujian. Pengujian Kesmavet ke depan, dengan
berlangsungnya pasar bebas ASEAN (MEA) yang berlaku mulai tahun 2015 akan sangat
dibutuhkan karena barang yang beredar di pasar bebas keamanan pangan harus dibuktikan
dengan hasil pengujian dari laboratorium. Penjelasan rinci mengenai unit penghasil PAD dan
sumber penerimaannya adalah sebagai berikut:
A. Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pengembangan Bibit, Pakan Ternak dan
Diagnostik Kehewanan (UPTD BPBPTDK)
Seperti telah diuraikan pada awal bab III bahwa UPTD BPBPTDK merupakan
penggabungan dua UPTD yaitu: UPTD BDK (Balai Diagnostik Kehewanan) dan UPTD
BPMBPT (Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak). Struktur penerimaan PAD
yang berasal dari UPTD BPBPTDK terdiri atas retribusi pemakaian kekayaan daerah seperti
pengujian pullorum dan pengujian HI/AI, sedangkan retribusi penjualan produksi usaha daerah
diantaranya penjualan ternak (pedet sapi perah, pedet sapi potong, cempe kambing/domba sapi
potong afkir, sapi perah afkir, dan domba/kambing afkir) dan hasil ternak (susu sapi perah dan
semen beku).
Selama periode 2008-2013, target PAD yang dibebankan kepada UPTD BPBPTDK
mengalami peningkatan yang signifikan dari Rp71.233.500 pada tahun 2008 menjadi
Rp312.150.000 pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan target PAD yang dibebankan selama
periode tersebut adalah sebesar 60,46% per tahun dengan pertumbuhan target tertinggi terjadi
pada tahun 2010 yaitu sebesar 283,02% (dari Rp70.950.000 pada tahun 2009 menjadi
Rp271.750.000). Mengikuti pola target yang dibebankan, realisasi penerimaan PAD yang
berasal dari UPTD BPBPTDK juga mengalami peningkatan yang signifikan dari Rp71.233.500
pada tahun 2008 menjadi Rp352.940.800 pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan realisasi
penerimaan PAD adalah sebesar 55,80% per tahun dengan pertumbuhan realisasi penerimaan
tertinggi juga terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 215,39% (dari Rp84.168.050 pada tahun
127
2009 menjadi Rp265.460.170). Pada tahun 2013, realisasi penerimaan PAD di UPTD
BPBPTDK mengalami penurunan sebesar 5,80% dari sebelumnya Rp374.683.238 pada tahun
2012 (realisasi penerimaan tertinggi). Jika dilihat dari rasio antara target dan penerimaan PAD
selama periode 2008-2013, hanya pada tahun 2010 dan 2011, UPTD BPBPTDK tidak mampu
merealisasikan target PAD yang dibebankan dengan persentase masing-masing sebesar 97,69%
dan 97,30% (Gambar 3.10).
Gambar 3.10.
Target dan Realisasi Penerimaan PAD UPTD BPBPTDK, 2008-2013
Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)
Lalu berapa sumbangan dari masing-masing sumber penerimaan PAD tersebut?
Sebagai contoh adalah rincian penerimaan PAD pada tahun 2013, sumber penerimaan PAD
terbesar berasal dari penjualan susu sapi perah yaitu sebesar Rp186.890.800, diikuti penjualan
semen beku sebesar Rp77.200.000, dan penjualan pedet sapi perah sebesar Rp44.400.000 .
Untuk pedet sapi potong dan cempe, nilai penjualan pada tahun 2013 adalah sebesar
Rp20.425.000, sedangkan nilai penjualan induk afkir (sapi perah dan kambing/domba) adalah
sebesar Rp16.575.000. Retribusi pemakaian kekayaan daerah yang berasal dari UPTD
BPBPTDK pada tahun 2013 adalah sebesar Rp7.450.000 yang terdiri atas pengujian pullorum
sebesar Rp4.500.000 dan pengujian HI/AI sebesar Rp2.950.000. Jika sumber penerimaan PAD
diklasifikasikan menurut internal UPTD BPBPTDK, maka penerimaan PAD yang bersifat
100.00
118.63
97.69 97.30
121.51
113.07
-
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
-
50,000,000
100,000,000
150,000,000
200,000,000
250,000,000
300,000,000
350,000,000
400,000,000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
(%)
Ru
pia
h
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
128
tetap adalah sebesar Rp305.900.000, sedangkan penerimaan PAD yang bersifat tidak tetap
sebesar Rp6.250.000.
Gambar 3.11.
Sumber Penerimaan PAD di UPTD BPBPTDK, 2013 (Persen)
Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)
1. Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit dan Pakan Ternak
Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit, dan Pakan memiliki tugas untuk
melaksanakan pengembangan semen, ternak bibit, dan pakan ternak. Seksi Pengembangan
Semen, Ternak Bibit, dan Pakan berkedudukan di Jalan Palagan Tentara Pelajar Km 15,
Sumedang, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Sumber penerimaan
PAD yang berasal dari Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak terdiri atas
penjualan pedet sapi perah, susu sapi perah, dan semen beku. Pada tahun 2013, penerimaan
PAD di Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak yang berasal dari penjualan susu
sapi perah adalah sebesar Rp186.890.800 (61%), penjualan semen beku sebesar Rp77.200.000
(25%), dan penjualan pedet sapi perah sebesar Rp44.400.000 (14%).
Susu Sapi Perah53%
Pedet Sapi Perah13%
Pedet Sapi potong3%
Cempe Kambing /Domba
2%
Semen Beku22%
Pengujian Pullorum1%
Pengujian HI/AI1%
Afkir Sapi Perah4%
Afkir Kambing /Domba
1%
129
Gambar 3.12.
Target dan Realisasi Penerimaan PAD
Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak, 2008-2013
Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)
Peningkatan target dan realisasi penerimaan PAD yang berasal dari Balai
Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak memiliki pola yang sama dengan UPTD
BPBPTDK dimana hal tersebut terjadi karena Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan
Ternak merupakan kontributor terbesar PAD di UPTD BPBPTDK. Selama periode 2008-2013,
target PAD yang dibebankan kepada Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak
mengalami peningkatan yang signifikan dari Rp31.758.500 pada tahun 2008 menjadi
Rp281.400.000 pada tahun 2013. Rata-rata pertumbuhan target PAD yang dibebankan selama
periode tersebut adalah sebesar 131,68% per tahun dengan pertumbuhan target tertinggi terjadi
pada tahun 2010 yaitu sebesar 633,44% (dari Rp31.700.000 pada tahun 2009 menjadi
Rp2321.500.000). Mengikuti pola target yang dibebankan, realisasi penerimaan PAD yang
berasal dari Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak juga mengalami peningkatan
yang signifikan dari Rp31.758.500 pada tahun 2008 menjadi Rp308.490.800 pada tahun 2013.
Rata-rata pertumbuhan realisasi penerimaan PAD adalah sebesar 98,66% per tahun dengan
pertumbuhan realisasi penerimaan tertinggi juga terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 403,56%
(dari Rp44.918.050 pada tahun 2009 menjadi Rp226.187.170). Pada tahun 2013, realisasi
penerimaan PAD di Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak mengalami penurunan
100.00
141.70
97.28 96.58
118.69 109.63
-
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
-
50,000,000
100,000,000
150,000,000
200,000,000
250,000,000
300,000,000
350,000,000
400,000,000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
(%)
Ru
pia
h
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
130
sebesar 9,08% dari sebelumnya Rp339.283.238 pada tahun 2012 (realisasi penerimaan
tertinggi). Jika dilihat dari rasio antara target dan penerimaan PAD selama periode 2008-2013,
hanya pada tahun 2010 dan 2011, Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak tidak
mampu merealisasikan target PAD yang dibebankan dengan persentase masing-masing sebesar
97,28% dan 96,58%.
2. Seksi Diagnostik Kehewanan
Seksi Diagnostik Kehewanan memiliki tugas untuk melaksanakan diagnosa dan
surveilans, serta pengendalian mutu produk asal hewan. Laboratorium Diagnostik Kehewanan
berkedudukan di Barongan, Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Sumber
penerimaan PAD yang berasal dari Seksi Diagnostik Kehewanan sesungguhnya hanya berasal
dari pengujian pullorum dan HI/AI. Namun karena Laboratorium Diagnostik Kehewanan
berada di Barongan dan di tempat tersebut terdapat pembibitan kambing/domba, sapi potong,
dan sapi perah, maka penerimaan PAD yang berasal dari penjualan ternak tersebut dimasukkan
ke dalam penerimaan PAD yang berasal dari Laboratorium Diagnostik Kehewanan.
Penerimaan PAD yang berasal dari pengujian pullorum dan HI/AI pada tahun 2013 adalah
sebesar Rp7.450.000, sedangkan penjualan ternak baik anakan maupun afkir secara
keseluruhan adalah sebesar Rp37.000.000.
Selama periode 2008-2013, target PAD yang dibebankan kepada Laboratorium
Diagnostik Kehewanan cenderung mengalami penurunan dengan tingkat penurunan target per
tahun sebesar 1,32%. Target PAD yang dibebankan kepada Laboratorium Diagnostik
Kehewanan pada tahun 2008 adalah sebesar Rp39.475.000 dan mengalami penurunan hingga
tahun 2012 menjadi sebesar Rp22.500.00, kemudian target PAD kembali mengalami
peningkatan sebesar 36,67% menjadi Rp30.750.000. Realisasi penerimaan PAD yang berasal
dari Laboratorium Diagnostik Kehewanan cenderung fluktuatif walaupun secara umum dapat
dikatakan mengalami peningkatan. Realisasi penerimaan PAD pada tahun 2008 adalah sebesar
Rp39.475.000, kemudian mengalami penurunan menjadi RP23.400.000, meningkat pada tahun
2012 menjadi Rp35.400.000, dan pada tahun 2013 meningkat kembali menjadi Rp44.450.000
(realisasi penerimaan PAD tertinggi). Berbeda dengan target yang mengalami penurunan,
realisasi penerimaan PAD di Laboratorium Diagnostik Kehewanan tumbuh positif dengan rata-
rata pertumbuhan per tahun sebesar 7,18%. Jika dilihat dari rasio antara target dan realisasi
penerimaan PAD, Laboratorium Diagnostik Kehewanan selalu mencapai target yang
dibebankan dengan rasio pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 157,33%
(target sebesar Rp22.500.000 dan realisasi penerimaan sebesar Rp35.400.000). Target dan
131
realisasi penerimaan PAD di Laboratorium Diagnostik Kehewanan dapat dilihat pada Gambar
3.13.
Gambar 3.13.
Target dan Realisasi Penerimaan PAD
Laboratorium Diagnostik Kehewanan, 2008-2013
Sumber: UPTD BPBPTDK, 2014 (diolah)
3.4. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral
Beberapa objek yang dijadikan sumber penerimaan hingga saat ini oleh Dinas PUP-
ESDM ini antara lain:
a. Balai PIPBPJK (Pengujian, Informasi Pemukiman dan Bangunan, dan
Pengembangan Jasa Konstruksi)
b. Penjualan drum bekas
c. Wisma PU di Kaliurang
Selain ketiga objek di atas terdapat satu lagi objek yang potensial jika dijadikan sebagai objek
pendapatan yakni Balai Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Balai IPAL saat ini belum
menjadi objek pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
100.00 100.00 100.06 104.00
157.33
144.55
-
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
180.00
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
45,000,000
50,000,000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
(%)
Ru
pai
h
Target Realisasi Persentase (%) Poly. (Realisasi)
132
Dalam laporan ini akan dijelaskan mengenai analisis potensi pendapatan pada Dinas
PUP-ESDM yang terdiri dari beberapa objek pendapatan, yakni pada Balai PIPBPJK dan
Wisma PU di Kaliurang. Penjualan drum bekas tidak akan dianalisis pada laporan ini karena
pendapatan dari penjualan drum bekas ini tidak rutin dan besaran PAD-nya sangat kecil bila
dibandingkan dengan objek pendapatan lainnya. Sementara itu, pada laporan ini akan
ditambahkan uraian mengenai Balai IPAL sebagai objek pendapatan yang potensial.
3.4.1. Balai PIPBPJK (Pengujian, Informasi Pemukiman dan Bangunan, dan
Pengembangan Jasa Konstruksi)
Balai Pengujian, Informasi Pemukiman dan Bangunan, dan Pengembangan Jasa
Konstruksi (PIPBPJK) merupakan salah satu unit kerja yang dimiliki oleh Dinas PUP-ESDM
yang bertugas untuk mewujudkan sistem pengendalian dan jaminan mutu, penyampaian
informasi permukiman dan bangunan serta pembinaan jasa konstruksi. Balai PIPBPJK ini
terletak di Jalan Ringroad Utara, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Untuk memenuhi target
pendapatan, balai ini memiliki sumber-sumber pendapatan yakni Laboratorium PIPBPJK dan
peminjaman gedung yang berada di Jalan Kenari. Gambar 3.14 menunjukkan target dan
realisasi penerimaan pendapatan pada Balai PIPBPJK ini.
Gambar 3.14.
Target dan Realisasi Pendapatan Balai PIPBPJK, 2012-2013
-
50
100
150
200
250
300
350
2012 2013
Pen
dap
ata
n (
Ru
pia
h)
Ju
ta
Target
Realisasi
133
Laboratorium BPIPBPJK dibagi menjadi dua laboratorium fisika dan laboratorium
kimia. Pada laboratorium fisika, pengujian yang dilakukan berkaitan dengan pengujian bahan
bangunan, aspal, dan tanah, sedangkan laboratorium kimia melakukan pengujian yang
berkaitan dengan mutu air. Laboratorium kimia memiliki delapan orang analis (baik PNS
maupun Non-PNS), sedangkan laboratorium fisika memiliki sembilan orang laboran (baik PNS
maupun Non-PNS). Beberapa peralatan yang dimiliki oleh Laboratorium BPIPBPJK ini antara
lain incubator BOD, turbidity meter, spectro portable, pH meter, oven, mesin tekan beton,
ayakan, timbangan, CBR test, mesin Los Angeles, dan sebagainya.
Beberapa pengujian yang dilakukan pada laboratorium fisika dan laboratorium kimia
tercantum dalam Tabel 3.12 dan Tabel 3.13.
Tabel 3.12.
Daftar Pengujian pada Laboratorium Fisika
Laboratorium Fisika
Berat jenis agregat kasar Kepadatan ringan Kepipihan agregat
kasar
Berat jenis agregat halus Kuat tekan kubus mortar Core drill lapangan
Kepadatan berat Kelekatan agregat terhadap
aspal Hasil core drill
CBR laboratorium Titik nyala dan titik bakar Ekstraksi
Berat isi agregat Penetrasi bahan aspal Sand cone
Pembuatan dan perawatan benda
uji beton
Kehilangan berat minyak dan
aspal Hammer test
Kuat tekan silinder beton Berat jenis aspal padat CBR lapangan
Sand equivalent Daktilitas Sondir
Campuran aspal dengan alat
Marshall Titik lembek
Analisis saringan tanah Keausan agregat dengan mesin
abrasi
Berat jenis tanah Tes soundness
Tabel 3.13.
Daftar Pengujian pada Laboratorium Kimia
Laboratorium Kimia
Suhu Permanganat Timbal
pH Detergen Total Colyform
Daya hantar listrik Phenol Bakteri Coly tinja
Residu terlarut Phosphat Bau
Residu tersuspensi Sianida Kekeruhan
134
Laboratorium Kimia
Oksigen terlarut Minyak dan lemak Kesadahan
BOD Fe Klorida
COD Mangan Rasa
Klorin bebas Cadmium TDS
Nitrat Seng TSS
Nitrit Chrom hexavalent Natrium
Fluorida Tembaga Krom total
Sulfat Salinitas Nikel
Sulfida Warna
Amoniak Boron
Sementara itu, beberapa fasilitas yang ditawarkan pada penggunaan gedung, antara
lain:
- Penggunaan gedung untuk kegiatan komersil
- Sewa sound system
- Overhead LCD
- Memasang spanduk outdoor
135
Gambar 3.15.
Beberapa Peralatan Laboratorium BPIPBPJK
(a) (b) (c)
(d)
Keterangan: (a) mesin uji tekan; (b) oven; (c) mesin uji CBR; dan (d) kendaraan untuk
pelatihan konstruksi keliling.
Tarif terhadap jasa yang disediakan, baik pengujian di Laboratorium BPIPBPJK
maupun penggunaan gedung dapat dilihat pada Tabel 3.14 dan Tabel 3.15 berikut. Tarif
tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun
2011.
Tabel 3.14.
Tarif Perda untuk Laboratorium BPIPBPJK
No. Nama Pengujian Satuan
Pemakaian
Tarif (Rupiah)
DIY Jawa
Tengah*
Th. 2011 Th. 2011
1 Analisa Saringan Agregat Sampel 13.500 43.000
2 Berat Jenis Agregat Kasar Sampel 15.000 43.000
3 Berat Jenis Agregat Halus Sampel 15.000 52.000
4 Kepadatan Berat Sampel 43.500 68.000
136
No. Nama Pengujian Satuan
Pemakaian
Tarif (Rupiah)
DIY Jawa
Tengah*
Th. 2011 Th. 2011
5 CBR Laboratorium Sampel 41.000 69.000
6 Berat Isi Agregat Sampel 10.500 7.000
7 Pembuatan dan Perawatan Benda
Uji Beton Sampel 92.000
8 Kuat Tekan Silinder Beton Sampel 12.000 17.000
9 Sand Equivalent Sampel 17.000 16.000
10 Campuran Aspal dengan Alat
Marshall Sampel 349.500 682.000
11 Analisis Saringan Tanah Sampel 14.000 43.000
12 Berat Jenis Tanah Sampel 11.000 40.000
13 Kepadatan Ringan Sampel 43.500 68.000
14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar Sampel 12.000 17.000
15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal Sampel 10.500 27.000
16 Titik Nyala dan Titik Bakar Sampel 10.500 26.000
17 Penetrasi Bahan Aspal Sampel 19.500 34.000
18 Kehilangan Berat Minyak dan
Aspal Sampel 16.000
31.000
19 Berat Jenis Aspal Padat Sampel 7.000 13.000
20 Daktilitas Sampel 11.000 27.000
21 Titik Lembek Sampel 9.000 23.000
22 Keausan Agregat dengan Mesin
Abrasi Sampel 12.500 51.000
23 Test Soundness Sampel 42.000 65.000
24 Kepipihan Agregat Kasar Sampel 6.500 10.000
25 Core Drill Lapangan Sampel 95.000 84.000
26 Hasil Core Drill Sampel 12.000
27 Ekstraksi Sampel 19.500 53.000
28 Sand Cone Sampel 25.000 79.000
29 Hammer Test Sampel 24.500 3.000/titik
30 CBR Lapangan Sampel 199.000 126.000
31 Sondir Sampel 132.000 585.000
32 Suhu Sampel 3.000 4000
33 pH Sampel 5.000 4.000
34 Daya Hantar Listrik Sampel 5.000 5.000
35 Residu Terlarut Sampel 5.000
36 Residu Tersuspensi Sampel 5.000
37 Oksigen Terlarut Sampel 5.000 4.000
38 BOD Sampel 13.000 20.000
39 COD Sampel 10.000 33.000
40 Klorin Bebas Sampel 6.000
41 Nitrat Sampel 10.000 17.000
137
No. Nama Pengujian Satuan
Pemakaian
Tarif (Rupiah)
DIY Jawa
Tengah*
Th. 2011 Th. 2011
42 Nitrit Sampel 10.000 18.000
43 Fluorida Sampel 8.000 18.000
44 Sulfat Sampel 8.000 18.000
45 Sulfida Sampel 13.000 18.000
46 Amoniak Sampel 8.000 18.000
47 Permanganat Sampel 7.000 9.000
48 Detergent Sampel 20.000 38.000
49 Phenol Sampel 15.000 56.000
50 Phosphat Sampel 10.000 18.000
51 Sianida Sampel 12.000
52 Minyak dan Lemak Sampel 15.000 20.000
53 Fe Sampel 15.000 35.000
54 Mangan Sampel 15.000 35.000
55 Cadmium Sampel 17.000 35.000
56 Seng Sampel 17.000 35.000
57 Chrom Hexavalent Sampel 17.000 35.000
58 Tembaga Sampel 17.000 35.000
59 Salinitas Sampel 5.000 6.000
60 Warna Sampel 7.000 4.000
61 Boron Sampel 17.000 28.000
62 Timbal Sampel 17.000 35.000
63 Total Colyform Sampel 30.000 40.000
64 Bakteri Coly Tinja Sampel 40.000 40.000
65 Bau Sampel 3.000 4.000
66 Kekeruhan Sampel 5.000 4.000
67 Kesadahan Sampel 7.000 10.000
68 Klorida Sampel 7.000 9.000
69 Rasa Sampel 3.000 4.000
70 TDS Sampel 5.000 10.000
71 Natrium Sampel 17.000 35.000
72 TSS Sampel 5.000 20.000
73 Krom Total Sampel 17.000 35.000
74 Nikel Sampel 17.000 35.000
*Sebagai perbandingan
138
Tabel 3.15.
Tarif Perda untuk Penggunaan Gedung BPIPBPJK
No. Nama Kegiatan Satuan Pemakaian Tarif
Th. 2011
1 Kegiatan komersial hari Rp 460.000
2 Sewa Sound System hari Rp 50.000
3 Overhead LCD hari Rp 180.000
4 Memasang spanduk outdoor (per titik) titik/hari Rp 9.000
Analisis penerimaan pendapatan dibagi menjadi dua, yakni penerimaan real dan potensi
pendapatan. Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah data pada tahun 2012 hingga
September 2014. Analisis penerimaan real didapat dengan menjumlahkan data pengujian setiap
tahun kemudian diambil data maksimum dan minimum kemudian dikalikan dengan tarif perda.
Analisis potensi pendapatan didapat dengan mengambil data frekuensi pengujian/ pemakaian
setiap bulan lalu dikalikan dengan frekuensi pengujian tiap tahun serta dikalikan dengan tarif
perda. Frekuensi pemakaian merupakan frekuensi pemakaian rata-rata ditambah dengan
standar deviasi yang dikalikan koefisien sebesar 0,675. Koefisien tersebut didapatkan dari tabel
distribusi normal untuk luasan sebesar 75%. Besar luasan 75% merupakan besar potensi
pendapatan jika seluruh faktor pendukung (alat, SDM, dll.) dapat dioptimalkan sebesar 75%
(Gambar 3.16). Pada Gambar 3.16, garis tengah merupakan frekuensi rata-rata, dimana
koefisien pengali bernilai nol.
Gambar 3.16
Kurva distribusi normal: luasan 75 Persen
0,675
50%
0
Rata-rata
75%
139
Frekuensi pengujian di Laboratorium BPIPBPJK dan penggunaan gedung dapat dilihat
pada Tabel 3.16 dan Tabel 3.17 berikut.
Tabel 3.16.
Jumlah dan Frekuensi Pengujian pada Laboratorium BPIPBPJK
No
. Nama Pengujian
Jumlah Pengujian
Av
g
STDe
v
Frekuensi Pemakaian /
Tahun
1 Analisa Saringan Agregat 69 56 10
2 Berat Jenis Agregat Kasar 36 29 10
3 Berat Jenis Agregat Halus 44 36 10
4 Kepadatan Berat 9 7 8
5 CBR Laboratorium 12 9 9
6 Berat Isi Agregat 19 17 9
7 Pembuatan dan Perawatan BendaUji
Beton 10 9 9
8 Kuat Tekan Silinder Beton 73 60 11
9 Sand Equivalent 3 2 6
10 Campuran Aspal dengan Alat Marshall 9 8 10
11 Analisis Saringan Tanah 4 3 8
12 Berat Jenis Tanah 4 3 8
13 Kepadatan Ringan 4 3 8
14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar 25 16 8
15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal 5 3 6
16 Titik Nyala dan Titik Bakar 3 2 5
17 Penetrasi Bahan Aspal 5 4 5
18 Kehilangan Berat Minyak danAspal 3 2 5
19 Berat Jenis Aspal Padat 3 2 5
20 Daktilitas 3 2 5
21 Titik Lembek 3 2 5
22 Keausan Agregat dengan Mesin Abrasi 6 6 8
23 Tes Soundness 3 2 6
24 Kepipihan Agregat Kasar 3 2 6
25 Core Drill Lapangan 14 13 4
26 Hasil Core Drill 36 44 4
27 Ekstraksi 11 11 4
28 Sand Cone 7 5 3
29 Hammer Test 6 4 4
30 CBR Lapangan 3 0 1
31 Sondir 2 2 1
32 Suhu 26 29 11
33 pH 27 29 11
34 Daya Hantar Listrik 21 25 11
140
No
. Nama Pengujian
Jumlah Pengujian
Av
g
STDe
v
Frekuensi Pemakaian /
Tahun
35 Residu Terlarut 36 33 4
36 Residu Tersuspensi 36 33 4
37 Oksigen Terlarut 36 33 4
38 BOD 21 25 11
39 COD 21 25 11
40 Klorin Bebas 36 33 4
41 Nitrat 22 29 10
42 Nitrit 23 30 8
43 Fluorida 22 29 10
44 Sulfat 24 32 7
45 Sulfida 24 30 6
46 Amoniak 17 25 11
47 Permanganat 22 30 9
48 Detergent 27 29 11
49 Phenol 17 25 11
50 Phosphat 17 25 11
51 Sianida 23 30 8
52 Minyak dan Lemak 24 28 11
53 Fe 22 28 11
54 Mangan 23 30 8
55 Cadmium 23 30 8
56 Seng 23 30 8
57 Chrom Hexavalent 22 29 10
58 Tembaga 24 30 6
59 Salinitas 36 33 4
60 Warna 24 32 7
61 Boron 36 33 4
62 Timbal 23 30 8
63 Total Colyform 24 29 11
64 Bakteri Coly Tinja 20 29 8
65 Bau 9 8 8
66 Kekeruhan 9 8 8
67 Kesadahan 9 8 8
68 Klorida 9 8 8
69 Rasa 10 8 6
70 TDS 15 9 11
71 Natrium 10 8 6
72 TSS 10 6 11
73 Krom Total 4 5 4
74 Nikel 4 5 4
141
Tabel 3.17.
Jumlah dan Frekuensi Pemakaian Gedung BPIPBPJK
No. Nama Kegiatan Jumlah Pemakaian
Avg STDev Frekuensi Pemakaian / Tahun
1 Kegiatan komersial 4 4 3
2 Sewa Sound System 4 4 3
3 Overhead LCD 4 4 3
4 Memasang spanduk outdoor (per titik) 4 4 3
Total penerimaan real dan potensi pendapatan Balai PIPBPJK dapat dilihat pada Tabel
3.18 – Tabel 3.21 berikut.
Tabel 3.18.
Total Penerimaan Real pada Laboratorium BPIPBPJK
No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan
Max Min
1 Analisa Saringan Agregat Rp 11.326.500 Rp 6.318.000
2 Berat Jenis Agregat Kasar Rp 6.585.000 Rp 3.780.000
3 Berat Jenis Agregat Halus Rp 7.920.000 Rp 4.620.000
4 Kepadatan Berat Rp 3.610.500 Rp 2.740.500
5 CBR Laboratorium Rp 4.715.000 Rp 3.772.000
6 Berat Isi Agregat Rp 2.793.000 Rp 1.008.000
7 Pembuatan dan Perawatan Benda Uji Beton Rp 12.236.000 Rp 4.416.000
8 Kuat Tekan Silinder Beton Rp 10.800.000 Rp 8.148.000
9 Sand Equivalent Rp 357.000 Rp 221.000
10 Campuran Aspal dengan Alat Marshall Rp 31.105.500 Rp 19.572.000
11 Analisis Saringan Tanah Rp 448.000 Rp 308.000
12 Berat Jenis Tanah Rp 352.000 Rp 242.000
13 Kepadatan Ringan Rp 1.392.000 Rp 957.000
14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar Rp 2.700.000 Rp 1.740.000
15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal Rp 430.500 Rp 210.000
16 Titik Nyala dan Titik Bakar Rp 210.000 Rp 52.500
17 Penetrasi Bahan Aspal Rp 780.000 Rp 195.000
18 Kehilangan Berat Minyak dan Aspal Rp 320.000 Rp 80.000
19 Berat Jenis Aspal Padat Rp 140.000 Rp 35.000
20 Daktilitas Rp 220.000 Rp 55.000
21 Titik Lembek Rp 180.000 Rp 45.000
22 Keausan Agregat dengan Mesin Abrasi Rp 862.500 Rp 225.000
23 Tes Soundness Rp 882.000 Rp 546.000
24 Kepipihan Agregat Kasar Rp 136.500 Rp 84.500
25 Core Drill Lapangan Rp 10.165.000 Rp 1.710.000
142
No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan
Max Min
26 Hasil Core Drill Rp 4.068.000 Rp 360.000
27 Ekstraksi Rp 1.638.000 Rp 136.500
28 Sand Cone Rp 650.000 Rp 425.000
29 Hammer Test Rp 931.000 Rp 514.500
30 CBR Lapangan Rp 597.000 Rp 597.000
31 Sondir Rp 660.000 Rp 660.000
32 Suhu Rp 1.005.000 Rp 645.000
33 pH Rp 1.775.000 Rp 1.110.000
34 Daya Hantar Listrik Rp 1.300.000 Rp 895.000
35 Residu Terlarut Rp 765.000 Rp 480.000
36 Residu Tersuspensi Rp 765.000 Rp 480.000
37 Oksigen Terlarut Rp 765.000 Rp 480.000
38 BOD Rp 3.380.000 Rp 2.327.000
39 COD Rp 2.600.000 Rp 1.790.000
40 Klorin Bebas Rp 918.000 Rp 576.000
41 Nitrat Rp 2.610.000 Rp 1.570.000
42 Nitrit Rp 2.410.000 Rp 1.500.000
43 Fluorida Rp 2.088.000 Rp 1.256.000
44 Sulfat Rp 1.824.000 Rp 1.056.000
45 Sulfida Rp 2.158.000 Rp 1.482.000
46 Amoniak Rp 1.840.000 Rp 1.128.000
47 Permanganat Rp 1.736.000 Rp 973.000
48 Detergent Rp 7.100.000 Rp 4.440.000
49 Phenol Rp 3.450.000 Rp 2.115.000
50 Phosphat Rp 2.170.000 Rp 1.230.000
51 Sianida Rp 2.892.000 Rp 1.800.000
52 Minyak dan Lemak Rp 4.725.000 Rp 2.715.000
53 Fe Rp 4.290.000 Rp 2.850.000
54 Mangan Rp 3.615.000 Rp 2.250.000
55 Cadmium Rp 4.097.000 Rp 2.550.000
56 Seng Rp 4.097.000 Rp 2.550.000
57 Chrom Hexavalent Rp 4.437.000 Rp 2.669.000
58 Tembaga Rp 2.822.000 Rp 1.938.000
59 Salinitas Rp 765.000 Rp 480.000
60 Warna Rp 1.596.000 Rp 924.000
61 Boron Rp 2.601.000 Rp 1.632.000
62 Timbal Rp 4.097.000 Rp 2.550.000
63 Total Colyform Rp 9.750.000 Rp 6.240.000
64 Bakteri Coly Tinja Rp 6.920.000 Rp 4.960.000
65 Bau Rp 285.000 Rp 129.000
66 Kekeruhan Rp 475.000 Rp 215.000
67 Kesadahan Rp 665.000 Rp 301.000
143
No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan
Max Min
68 Klorida Rp 665.000 Rp 301.000
69 Rasa Rp 225.000 Rp 108.000
70 TDS Rp 910.000 Rp 595.000
71 Natrium Rp 1.275.000 Rp 612.000
72 TSS Rp 690.000 Rp 415.000
73 Krom Total Rp 306.000 Rp 221.000
74 Nikel Rp 306.000 Rp 221.000
Jumlah Rp 222.376.000 Rp 128.532.500
Tabel 3.19.
Total Penerimaan Real pada Pemakaian Gedung BPIPBPJK
No. Nama Kegiatan Penerimaan Pendapatan
Max Min
1 Kegiatan komersial Rp 5.060.000 Rp 5.060.000
2 Sewa Sound System Rp 550.000 Rp 550.000
3 Overhead LCD Rp 1.980.000 Rp 1.980.000
4 Memasang spanduk outdoor (per titik) Rp 99.000 Rp 99.000
Jumlah Rp 7.689.000 Rp 7.689.000
Tabel 3.20.
Total Potensi Pendapatan pada Laboratorium BPIPBPJK
No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan
1 Analisa Saringan Agregat Rp 14.445.000
2 Berat Jenis Agregat Kasar Rp 8.400.000
3 Berat Jenis Agregat Halus Rp 10.350.000
4 Kepadatan Berat Rp 4.872.000
5 CBR Laboratorium Rp 7.011.000
6 Berat Isi Agregat Rp 2.929.500
7 Pembuatan dan Perawatan Benda Uji Beton Rp 14.076.000
8 Kuat Tekan Silinder Beton Rp 15.048.000
9 Sand Equivalent Rp 510.000
10 Campuran Aspal dengan Alat Marshall Rp 52.425.000
11 Analisis Saringan Tanah Rp 784.000
12 Berat Jenis Tanah Rp 616.000
13 Kepadatan Ringan Rp 2.436.000
14 Tes Kuat Tekan Kubus Mortar Rp 3.456.000
144
No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan
15 Kelekatan Agregat terhadap Aspal Rp 504.000
16 Titik Nyala dan Titik Bakar Rp 262.500
17 Penetrasi Bahan Aspal Rp 780.000
18 Kehilangan Berat Minyak dan Aspal Rp 400.000
19 Berat Jenis Aspal Padat Rp 175.000
20 Daktilitas Rp 275.000
21 Titik Lembek Rp 225.000
22 Keausan Agregat dengan Mesin Abrasi Rp 1.100.000
23 Tes Soundness Rp 1.260.000
24 Kepipihan Agregat Kasar Rp 195.000
25 Core Drill Lapangan Rp 8.740.000
26 Hasil Core Drill Rp 3.168.000
27 Ekstraksi Rp 1.482.000
28 Sand Cone Rp 825.000
29 Hammer Test Rp 882.000
30 CBR Lapangan Rp 597.000
31 Sondir Rp 528.000
32 Suhu Rp 1.518.000
33 pH Rp 2.585.000
34 Daya Hantar Listrik Rp 2.090.000
35 Residu Terlarut Rp 1.180.000
36 Residu Tersuspensi Rp 1.180.000
37 Oksigen Terlarut Rp 1.180.000
38 BOD Rp 5.434.000
39 COD Rp 4.180.000
40 Klorin Bebas Rp 1.416.000
41 Nitrat Rp 4.200.000
42 Nitrit Rp 3.520.000
43 Fluorida Rp 3.360.000
44 Sulfat Rp 2.576.000
45 Sulfida Rp 3.510.000
46 Amoniak Rp 2.992.000
47 Permanganat Rp 2.709.000
48 Detergent Rp 10.340.000
49 Phenol Rp 5.610.000
50 Phosphat Rp 3.740.000
51 Sianida Rp 4.224.000
52 Minyak dan Lemak Rp 7.095.000
53 Fe Rp 6.765.000
54 Mangan Rp 5.280.000
55 Cadmium Rp 5.984.000
56 Seng Rp 5.984.000
57 Chrom Hexavalent Rp 7.140.000
145
No. Nama Pengujian Penerimaan Pendapatan
58 Tembaga Rp 4.590.000
59 Salinitas Rp 1.180.000
60 Warna Rp 2.254.000
61 Boron Rp 4.012.000
62 Timbal Rp 5.984.000
63 Total Colyform Rp 14.520.000
64 Bakteri Coly Tinja Rp 12.800.000
65 Bau Rp 360.000
66 Kekeruhan Rp 600.000
67 Kesadahan Rp 840.000
68 Klorida Rp 840.000
69 Rasa Rp 288.000
70 TDS Rp 1.210.000
71 Natrium Rp 1.632.000
72 TSS Rp 825.000
73 Krom Total Rp 544.000
74 Nikel Rp 544.000
Jumlah Rp 317.572.000
Tabel 3.21.
Total Potensi Pendapatan pada Pemakaian Gedung BPIPBPJK
No. Nama Kegiatan Penerimaan Pendapatan
1 Kegiatan komersial Rp 9.660.000
2 Sewa Sound System Rp 1.050.000
3 Overhead LCD Rp 3.780.000
4 Memasang spanduk outdoor (per titik) Rp 189.000
Jumlah Rp 14.679.000
Rekapitulasi total penerimaan real dan potensi pendapatan tercantum pada Tabel 3.11
berikut.
146
Tabel 3.22.
Rekapitulasi Penerimaan Real dan Potensi Pendapatan pada Balai PIPBPJK
No. Objek Pendapatan Penerimaan Real (Rp)
Potensi Pendapatan (Rp) Maksimum Minimum
1 Laboratorium BPIPBPJK 222.376.000 128.532.500 317.572.000
2 Pemakaian Gedung 7.689.000 7.689.000 14.679.000*
Total 230.065.000 136.221.500 322.251.000
* Potensi pendapatan untuk pemakaian gedung kurang tepat
Pada Tabel 3.22. dapat dilihat bahwa secara garis besar, potensi pendapatan yang
dianalisis lebih besar daripada penerimaan real, namun pada objek pemakaian gedung, potensi
pendapatan yang dihasilkan kurang tepat karena data yang dimiliki kurang lengkap.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa penerimaan real Balai PIPBPJK berada di antara
Rp 136.221.500,00 dan Rp 230.065.000. Lebih lanjut, berdasarkan analisis, besar potensi
pendapatan yang dapat dihasilkan sebesar Rp 322.465.000,00.
3.4.2. Wisma PU Kaliurang
Wisma PU Kaliurang berada didalam kawasan wisata Kaliurang tepatnya di Jl.
Astorenggo No. 369 RT/RW 08/19, Kaliurang Barat, Hargobinangun, Pakem, Sleman. Wisma
ini didirikan pada tanggal 20 Desember 2000 dan memiliki lahan seluas 4,265 m2 dengan luas
bangunan total sebesar 813,5 m2. Fasilitas yang dimiliki oleh wisma ini antara lain:
1. Gedung unit 1 seluas 110 m2 (3 kamar)
2. Gedung unit 2 seluas 630 m2, yang terdiri dari:
a. Aula di lantai 2 (1 ruang)
b. Kamar tidur di lantai 1 (10 kamar)
3. Garasi dan mushola seluas 73,5 m2
4. Tandon air
5. Lapangan rumput.
6. Listrik 2.200W gedung unit 1 dan 4.400W gedung unit 2
Harga sewa yang diberikan yaitu:
1. Gedung unit 1 = Rp 25.000,00/ kamar/ hari
2. Gedung unit 2 = Rp 25.000,00/ kamar/ hari
3. Aula dengan fasilitas lengkap = Rp 250.000,00/ hari
147
4. Aula dengan fasilitas lengkap + kamar tidur = Rp 500.000,00/ hari
Gambar 3.17.
Fasilitas Wisma PU di Kaliurang:
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan: (a) Gedung unit 1; (b) Gedung unit 2; (c) Aula; dan (d) Kamar tidur.
Berdasarkan data pada tahun 2012 dan 2013, realisasi penerimaan pendapatan yang
didapat dari wisma ini masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan (Gambar 3.18). Tabel 3.23
menunjukkan besar penerimaan Wisma PU pada tahun 2012 dan 2013.
148
Gambar 3.18.
Target-Realisasi Pendapatan Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013
Tabel 3.23.
Penerimaan Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013
Bulan Penerimaan
2012 2013
Januari Rp 4.350.000,00 Rp 1.575.000,00
Februari Rp 2.550.000,00 Rp 5.150.000,00
Maret Rp 3.775.000,00 Rp 2.700.000,00
April Rp 2.150.000,00 Rp 2.450.000,00
Mei Rp 2.150.000,00 Rp 3.100.000,00
Juni Rp 4.900.000,00 Rp 1.875.000,00
Juli Rp 2.375.000,00 Rp 4.025.000,00
Agustus Rp 2.675.000,00 Rp 1.925.000,00
September Rp 1.775.000,00 Rp 2.225.000,00
Oktober Rp 3.825.000,00 Rp 4.675.000,00
November Rp 2.525.000,00 Rp 1.550.000,00
Desember Rp 3.775.000,00 Rp 3.275.000,00
TOTAL Rp 36.825.000,00 Rp 34.525.000,00
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2012 2013
Pen
dap
ata
n (
Ru
pia
h)
Ju
ta
Target
Realisasi
149
Berdasarkan data pada tahun 2012-2013 tersebut, dapat diperkirakan pemakaian aula
dan kamar seperti yang tercantum pada Tabel 3.24. Perkiraan frekuensi pemakaian tersebut
didapatkan dengan mengasumsikan bahwa besar penerimaan adalah 50% sewa kamar dan 50%
sewa aula. Masing-masing persentase pendapatan kemudian dibagi dengan biaya sewa yang
sudah ditentukan, yakni Rp 25.000,00 untuk kamar dan Rp 250.000,00 untuk aula.
Tabel 3.24.
Perkiraan Frekuensi Pemakaian
Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013
Bulan
Frekuensi
2012 2013
Kamar Aula Kamar Aula
Januari 87 9 32 4
Februari 51 6 103 11
Maret 76 8 54 6
April 43 5 49 5
Mei 43 5 62 7
Juni 98 10 38 4
Juli 48 5 81 9
Agustus 54 6 39 4
September 36 4 45 5
Oktober 77 8 94 10
November 51 6 31 4
Desember 76 8 66 7
TOTAL 737 74 691 70
Dari data tahun 2012-2013 tersebut dapat diperkirakan jumlah penerimaan real dan
potensi pendapatan yang dimiliki oleh Wisma PU ini. Penerimaan real didapatkan dengan
merata-rata frekuensi total pada tahun 2012-2013 kemudian dikalikan dengan biaya sewa.
Perhitungan penerimaan real dapat dilihat pada Tabel 3.25.
Tabel 3.25.
Penerimaan Real Wisma PU di Kaliurang, 2012-2013
Biaya Sewa Frekuensi Pemakaian (Tahun) Penerimaan
Kamar Rp 25.000,00 714 Rp 17.850.000,00
Aula Rp 250.000,00 72 Rp 18.000.000,00
TOTAL Rp 35.850.000,00
150
Untuk perhitungan potensi pendapatan yang dimiliki, dicari terlebih dahulu frekuensi
pemakaian setiap bulan kemudian dikalikan dengan 12 bulan dan biaya sewa. Frekuensi
pemakaian merupakan frekuensi pemakaian rata-rata ditambah dengan standar deviasi yang
dikalikan koefisien sehingga menghasilkan tingkat optimalisasi sumber daya sebesar 60%.
Berdasarkan kurva distribusi normal, koefisien yang digunakan sebesar 0,25.
Berdasarkan data pemakaian pada Tabel 3.13, standar deviasi yang didapatkan sebesar
21,75 untuk pemakaian kamar dan 2,17 untuk pemakaian aula, sementara rata-rata
pemakaiannya sebesar 60 untuk pemakaian kamar dan 7 untuk pemakaian aula.
Gambar 3.19.
Kurva Distribusi Normal: Luasan 60 Persen
Hasil perhitungan potensi pendapatan Wisma PU tercantum pada Tabel 3.26. Potensi
pendapatan Dinas PUP-ESDM yang didapat dari Wisma PU sebesar Rp 43.800.000,00. Saat
ini, pengelolaan wisma belum dikelola secara profesional sehingga potensi yang mungkin
dicapai masih sebesar 60%. Jika wisma tersebut akan dikelola secara profesional, potensi
pendapatan mungkin akan meningkat menjadi 85% atau sebesar Rp 54.900.000,00.
0,25
50%
0
Rata-rata
60%
151
Tabel 3.26.
Potensi Pendapatan Wisma PU di Kaliurang
Biaya Sewa (Rp) Frekuensi Pemakaian (Bulan) Potensi Penerimaan (Rp)
Kamar 25.000 88 19.800.000
Aula 250.000 10 24.000.000
Total Penerimaan 43.800.0
3.4.3. Balai Instalasi Pengelolaan Air Limbah
Balai Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) merupakan Unit Pelaksana Teknis
Daerah Dinas PUP-ESDM. Balai IPAL ini terletak di Jalan Bantul KM. 8, Sewon, Bantul. Balai
IPAL Sewon memiliki tugas untuk menyelenggarakan pengelolaan air limbah rumah tangga.
IPAL Sewon direncanakan untuk mengolah produksi limbah rumah tangga dari 1.100
jiwa dengan volume 15500 m3/hari. Wilayah pelayanan Balai IPAL ini meliputi hampir seluruh
wilayah kota Yogyakarta (14 kecamatan), sebagian wilayah Kab. Sleman (2 kecamatan), dan
sebagian wilayah Kab. Bantul (3 kecamatan).
Standar rancangan pelayanan dan kualitas air limbah yang dimiliki oleh Balai IPAL
Sewon adalah sebagai berikut:
a. Pelayanan : 25.000 sambungan rumah
b. Kualitas limbah masuk : 15.500 m3/hari (179 liter/detik)
c. Kuantitas maksimum per jam : 1.282 m3/jam (356 liter/detik)
d. Beban BOD : 5.103 kg/hari (46 gr/org/hari)
e. BOD aliran masuk : 332 mg/liter
f. BOD aliran keluar : 30-40 mg/liter
Fasilitas yang dimiliki oleh IPAL Sewon dapat dilihat pada Tabel 3.27 berikut.
Tabel 3.27.
Fasilitas Balai IPAL Sewon
Kapasitas instalasi 15.500 m3/hr = 179,4 L/dtk 4 kolam fakultatif
2 kolam pematangan
Rumah pompa
(Lift pump)
21,6 m x 8 m
10,7 m3/menit
2 unit operasional
1 unit cadangan
Bak pengendap pasir
(Grit chamber) 2 m x 9 m x 1,2 m x 2 bak 60 detik (waktu tinggal)
Kolam fakultatif
(Facultatif aerated lagoon)
77 m x 70 m x 4 m x 2 kolam
Volume: + 21.321 m3/kolam 5,5 hari (waktu tinggal)
152
Kolam pematangan
(Maturation pond)
78 m x 70 m x 4 m x 2 kolam
Volume: + 10.900 m3/kolam 1,3 hari (waktu tinggal)
Bak pengendap lumpur
(Sludge drying bed) 34 m x 232 m x 0,5 m 4.000 m3
Bangunan pelimpah 46 m x 2,5 m x 4,1 m x 2 buah
46 m x 2,5 m x 3,3 m x 2 buah
------- lagoon
------- pond
Fasilitas gedung 490 m2 Laboratorium, Kantor
BIPAL, dll.
Gambar 3.20.
Beberapa Fasilitas yang Dimiliki Balai IPAL Sewon
(a)
(b)
Keterangan: (a) bak pengendap pasir dan (b) kolam fakultatif.
153
Saat ini Balai IPAL merupakan pemberi jasa layanan sehingga belum memiliki regulasi
untuk menarik retribusi secara langsung. Retribusi pengelolaan air limbah cair masih ditarik
oleh masing-masing Kabupaten/ Kota, baru kemudian diberikan kepada Provinsi.
Balai IPAL Sewon ini memiliki potensi yang cukup besar jika dijadikan objek
pendapatan Dinas PUP-ESDM. Karena belum ada data yang mencukupi terkait besar
penerimaan pendapatan Balai IPAL, secara kasar, perhitungan potensi pendapatan Balai IPAL
adalah sebagai berikut:
Asumsi: Tingkat efisiensi instalasi sebesar 70 %
Potensi pendapatan = Besar efisiensi x kapasitas instalasi x besar biaya
= 70% x 15.500 m3/hari x Rp “A”/m3
= Rp “10.850A”/ hari
3.5. Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika
Beberapa objek penerimaan pendapatan yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan,
Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo) antara lain:
a. Ticketing Trans Jogja
b. Jembatan Timbang
c. Sewa lahan parkir Bandara Adi Sutjipto
d. Sewa lahan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor (PKB) Bantul
3.5.1. Ticketing Trans Jogja
Trans Jogja digunakan sebagai moda transportasi massal untuk daerah DIY. Sistem
transportasi Trans Jogja dimulai sejak tahun 2008. Adapun trayek Trans Jogja dapat dilihat
seperti pada Gambar 3.22. Berdasarkan data tahunan yang diperoleh dari tahun 2012 sampai
dengan bulan Agustus 2014 seperti pada Tabel 3.28, jumlah penumpang rata-rata per hari
berkisar antara kurang lebih 14000 s/d 21000 orang per hari di seluruh wilayah Yogyakarta.
154
Gambar 3.21.
Target dan Realisasi Pendapatan Ticketing Trans Jogja, 2010-2013
Tabel 3.28.
Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2012-2014
Bulan Hari
Frekuensi Rata Rata per
Hari
2012 2013 2014
Jan 31 14971 15519 16315
Feb 28 15539 14894 14919
Mar 31 15287 15181 15701
Apr 30 15051 14360 15363
Mei 31 15795 15453 18058
Jun 30 16682 16612 19323
Jul 31 16968 16447 15133
Agu 31 15276 16881 20523
Sep 30 17246 18202
Okt 31 16038 17197
Nov 30 15328 17294
Des 31 16727 18397
15,500
16,000
16,500
17,000
17,500
18,000
18,500
2010 2011 2012 2013
Pen
dap
ata
n (
Ru
pia
h)
Ju
ta
Target
Realisasi
155
Gambar 3.22.
Rute Trayek Trans Jogja
156
Gambar 3.23.
Grafik Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2012
Gambar 3.24.
Grafik Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2013
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
22000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
22000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
157
Gambar 3.25.
Grafik Jumlah Penumpang Rata-rata Per Hari, 2013
Berdasarkan data pendapatan dari tahun 2012 sampai dengan 2014 maka data
keseluruhan di rata-ratakan sehingga rata-rata tarif yang berlaku adalah Rp 2928,00 (2012), Rp
2.974,00 (2013), dan Rp 2.961,00 (2014). Untuk menghitung revenue rata-rata maka frekuensi
per hari dikalikan dengan hari per bulan dikalikan tarif rata-rata.
Tabel 3.29.
Revenue Rata-rata
Bulan Hari Revenue Rata-rata
2012 2013 2014
Jan 31 Rp 1.358.887.728,00 Rp 1.408.628.592,00 Rp 1.480.879.920,00
Feb 28 Rp 1.273.949.376,00 Rp 1.221.069.696,00 Rp 1.223.119.296,00
Mar 31 Rp 1.387.570.416,00 Rp 1.377.949.008,00 Rp 1.425.148.368,00
Apr 30 Rp 1.322.079.840,00 Rp 1.261.382.400,00 Rp 1.349.485.920,00
Mei 31 Rp 1.433.680.560,00 Rp 1.402.637.904,00 Rp 1.639.088.544,00
Jun 30 Rp 1.465.346.880,00 Rp 1.459.198.080,00 Rp 1.697.332.320,00
Jul 31 Rp 1.540.151.424,00 Rp 1.492.861.296,00 Rp 1.373.592.144,00
Agu 31 Rp 1.386.571.968,00 Rp 1.532.254.608,00 Rp 1.862.831.664,00
Sep 30 Rp 1.514.888.640,00 Rp 1.598.863.680,00 Rp -
Okt 31 Rp 1.455.737.184,00 Rp 1.560.937.296,00 Rp -
Nov 30 Rp 1.346.411.520,00 Rp 1.519.104.960,00 Rp -
Des 31 Rp 1.518.276.336,00 Rp 1.669.858.896,00 Rp -
Rp 17.003.551.872,00 Rp 17.504.746.416,00 Rp 12.051.478.176,00
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
22000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
158
3.5.2. Jembatan Timbang
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tiga jembatan timbang, antara lain Jembatan
Timbang Taman Martani, Jembatan Timbang Kalitirto, dan Jembatan Timbang Kulwaru.
Jembatan Timbang Taman Martani terletak pada Jalan Solo dan merupakan pintu keluar ke
arah timur. Jembatan Timbang Kalitirto juga terletak pada ruas Jalan Solo, namun jembatan
timbang ini merupakan pintu masuk dari arah timur. Jembatan Kulwaru terletak di Jalan Wates
dan merupakan pintu masuk sekaligus pintu keluar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada
setiap jembatan timbang terdapat satu tim petugas yang menjaga. Setiap tim berjumlah 6 orang,
yang terdiri atas koordinator, bendahara, pengatur lalu lintas, dan penimbang.
Gambar 3.26.
Jembatan Timbang Daerah Istimewa Yogyakarta
(a)
(b)
159
(c)
Keterangan: (a) Taman Martani; (b) Kalitirto; dan (c) Kulwaru
Penggolongan denda kelebihan muatan tercantum dalam Tabel 3.30 berikut dan
contoh bukti pembayaran denda dapat dilihat pada Gambar 3.27.
Tabel 3.30.
Penggolongan Denda Kelebihan Muatan pada Jembatan Timbang
Golongan Kendaraan
Pelanggaran Tingkat
I
>5% - 15% dari JBI
(Rp)
Pelanggaran
Tingkat II
>15% - 25% dari
JBI
(Rp)
Pelanggaran
Tingkat III
>25% dari JBI
(Rp)
Golongan I
2.000 kg – 8.000 kg 10.000 30.000
Wajib menurunkan
kelebihan muatan
barang dan dikenakan
tilang
Golongan II
8.000 kg – 14.000kg 20.000 40.000
Golongan III
14.000 kg – 21.000 kg 30.000 50.000
Golongan IV
>21.000 kg 40.000 60.000
Keterangan:
i. JBI = Jumlah Berat yang Diizinkan
ii. Pelanggaran Tingkat I dan Tingkat II lebih dari 3 (tiga) kali dalam waktu 90 (sembilan
puluh) hari dikenakan sanksi administrasi denda 5 (lima) kali lipat sesuai tingkat
pelanggaran terakhir.
iii. Pelanggaran Tingkat III dikenakan sanksi pidana berupa denda paling banyak Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau denda kurungan paling lama 2 (dua) bulan, dan
perintah penurunan atau pengembalian kendaraan ke tempat asal.
160
Gambar 3.27.
Contoh Bukti Pembayaran Denda Kelebihan Muatan
Jenis sanksi yang dapat diberikan, yaitu:
a. Tilang diberikan surat tilang dan mengambil STNK/ buku uji kemudian dibawa
ke pengadilan.
b. Kembali angkutan barang diharuskan kembali dengan disertakan surat
pengembalian.
c. Turun penurunan muatan.
Selain kelebihan muatan, jika mengangkut barang hingga ketinggian yang melebihi
batas, angkutan barang tersebut juga dikenai denda. Tinggi batas muatan adalah 1,7 kali lebar
bak.
Gambaran mengenai target dan realisasi penerimaan pendapatan dari jembatan timbang
dapat dilihat pada Gambar 3.28. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2011
hingga 2013, penerimaan pendapatan lebih tinggi dari target yang telah ditetapkan.
161
Gambar 3.28.
Target dan Realisasi Pendapatan Jembatan Timbang, 2010-2013
Dalam analisis penerimaan pendapatan oleh jembatan timbang ini, data yang digunakan
adalah data pada tahun 2013 hingga Juli 2014. Analisis potensi pendapatan didapat dengan
mengambil data pelanggaran setiap bulan lalu dikalikan dengan frekuensi pengujian tiap tahun
serta dikalikan dengan tarif perda. Data pelanggaran merupakan frekuensi pelanggaran rata-
rata ditambah dengan standar deviasi yang dikalikan koefisien sebesar 1,04. Koefisien tersebut
didapatkan dari tabel distribusi normal untuk luasan sebesar 85%. Besar luasan 85%
merupakan besar potensi pendapatan jika seluruh faktor pendukung (alat, SDM, dll.) dapat
dioptimalkan sebesar 85% (Gambar 3.29). Pada Gambar 3.29, garis tengah merupakan
frekuensi rata-rata, dimana koefisien pengali bernilai nol. Potensi pendapatan jembatan
timbang dapat dilihat pada Tabel 3.31, berikut. Berdasarkan hasil analisis, didaptkan potensi
pendapatan dari jembatan timbang sebesar Rp 2.352.480.000,00.
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
2010 2011 2012 2013
Pen
dap
ata
n (
Ru
pia
h)
Ju
ta
Target
Realisasi
162
Gambar 3.29.
Kurva Distribusi Normal: Luasan 85 Persen
Tabel 3.31.
Potensi pendapatan Jembatan Timbang
No. Golongan Denda (Rp) Jumlah Pelanggaran
Potensi Pendapatan Avrg STD
1 I
>5%-15% 10.000 628 195 Rp 99.720.000,00
2 >16%-25% 30.000 515 204 Rp 262.080.000,00
3 II
>5%-15% 20.000 1398 339 Rp 420.480.000,00
4 >16%-25% 40.000 266 123 Rp 189.600.000,00
5 III
>5%-15% 30.000 486 143 Rp 228.960.000,00
6 >16%-25% 50.000 261 131 Rp 238.200.000,00
7 IV
>5%-15% 40.000 1421 426 Rp 894.720.000,00
8 >16%-25% 60.000 13 12 Rp 18.720.000,00
TOTAL Rp 2.352.480.000,00
3.5.3. Sewa Lahan Parkir Bandara Adi Sutjipto
Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika memiliki objek pendapatan lain
berupa sewa lahan yang saat ini menjadi tempaat parkir Bandara Adi Sutjipto. Luas area yang
disewakan di parkir bandara sebesar 29887,4 m2. Biaya sewa sebesar Rp 2.500,00/m2/bulan
dan dibayar setiap Triwulan. Biaya sewa dihitung oleh tim optimalisasi aset yang dibentuk oleh
Gubernur kemudian diterbitkan SK Gubernur. Area yang tidak termasuk untuk disewakan:
Underpass, Taman, Shelter Trans Jogja, Stasiun Maguwo (dipinjamkan ke PT KAI).
1,04
50%
0
Rata-rata
85%
163
Gambar 3.30.
Lahan yang Disewakan Sebagai Tempat Parkir Bandara Adisutjipto
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Keterangan: (a) tempat parkir kendaraan umum dan bus; (b) tempat parkir mobil inap; (c) tempat parkir motor;
(d) lahan Kantor Pos yang saat ini sudah dikelola DISHUBKOMINFO DIY; (e) lahan yang digunakan untuk
pelayanan Trans Jogja; dan (f) lahan yang disewakan unuk food court.
Analisis dalam laporan ini berdasarkan data kendaraan yang parkir pada bulan Juli
2014. Hitungan potensi daerah dibagi menjadi dua yakni parkir motor dan parkir mobil-bus.
Analisis parkir motor berdasarkan data bulan Juli 2014 adalah sebagai berikut:
Jumlah tiket = 3347
Tarif = Rp 2.000,00
164
Tingkat Occupancy = 80%
Estimasi jumlah tiket 1 tahun = 80% x 12 bulan x 3347
= 32131,2
Potensi pendapatan 1 tahun = Rp 64.262.400,00
Analisis potensi pendapatan berdasarkan data parkir mobil dan bus pada bulan Juli
2014, adalah sebagai berikut:
Berdasarkan data tersebut diperoleh harga tiket rata-rata sebesar Rp 1.568,31 untuk
kendaraan umum (mobil) dan Rp 5.081,04 untuk bus. Potensi pendapatan diperoleh dari
mengalikan harga tiket rata-rata dengan jumlah rata-rata tiket per hari kemudian dikalikan lagi
dengan 365 hari. Tabel 3.32 berikut menyajikan data tiket parkir bandara pada Bulan Juli 2014
untuk kendaraan umum dan bus.
Tabel 3.32.
Data Parkir Bandara
untuk Kendaraan Umum dan Bus, Juli 2014
Kendaraan Umum Bus
2.014 6
1.224 9
2.026 5
2.267 11
2.051 11
2.099 8
2.044 8
1.653 9
1.585 8
2.063 12
2.296 9
2.203 16
2.298 13
2.262 17
2.297 12
2.365 23
2.516 11
2.292 12
2.498 11
2.544 13
2.422 12
165
Kendaraan Umum Bus
2.544 8
3.000 13
3.463 6
4.083 6
4.070 7
3.266 5
2.017 5
2.471 5
2.588 12
2.516 12
Rata-rata jumlah kendaraan tersebut sebesar 2.421 untuk kendaraan umum dan 10
untuk bus. Perhitungan potensi pendapatan dapat dilihat pada Tabel 3.33 berikut. Besar potensi
pendapatan parkir bandara sebesar Rp 1.404.443.52,93.
Tabel 3.33.
Potensi pendapatan Parkir Bandara
Jenis
Kendaraan
Tarif Parkir
Rata-Rata
(Rp)
Jumlah
Kendaraan
Rata-Rata
Jumlah Hari
Potensi
Pendapatan
(Rp)
Kendaraan
Umum 1.568,31 2421
365 1.385.598.348,68
Bus 5.081,04 10 18.844.904,24
JUMLAH 1.404.443.52,93
3.5.4. Sewa Lahan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Bantul
Selain sewa lahan parkir bandara, DISHUBKOMINFO memiliki lahan yang disewakan
ke Kabupaten Bantul sebagai tempat Pemeriksaan Kendaraan Bermotor. Lahan ini berada di
Jalan Parangtritis KM 5,4, Kabupaten Bantul. Perkiraan luas lahan PKB sebesar 5750 m2. Saat
ini, besar biaya sewa lahan yang ditetapkan sebesar Rp 20.000.000,00 per tahun.
166
Gambar 3.31.
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Kabupaten Bantul
(a)
(b)
Keterangan: (a) tampak depan kantor dan (b) denah penggunaan lahan.
3.6. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM
3.6.1. Retribusi Pelayanan Tera dan Tera Ulang
Pengaturan dan aplikasi pengukuran, penakaran dan penimbangan dapat disebut juga
masalah metrologi dalam kehidupan sehari-hari adalah di atur dalam Undang-undang Nomor
2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, di mana pada abad perdagangan modern sekarang ini
akan semakin penting terutama bagi para pengusaha, pedagang, dan konsumen. Saat ini, baik
167
pedagang, produsen, maupun konsumen dituntut untuk lebih atau ekstra hati-hati dalam
ketepatan ukuran serta pemberian informasi tentang barang dan jasa yang diukur, ditakar, dan
ditimbang.
Kegiatan pengukuran membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi, manfaat yang
dirasakan akan jauh lebih besar. Metrologi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan
sudah berjalan secara alami serta sangat vital. Fenomena kehidupan sehari-hari dapat dilihat,
seperti komoditas bahan pokok: atau bahan bangunan dan bahan keperluan infrastruktur
diperjualbelikan berdasarkan berat atau ukuran. Kebutuhan rumah tangga, air ledeng, listrik,
gas, dan pulsa telepon harus diukur. Semua ini memengaruhi seluruh sendi kehidupan. Kadar
zat aktif dalam obat-obatan, pengukuran sampel darah, dan keefektifan laser yang digunakan
untuk pembedahan di dunia medik harus diukur dengan teliti agar kesehatan dan keselamatan
pasien terjamin. Hampir segala sesuatu dinyatakan dalam ukuran, suhu udara, tinggi badan,
nilai kalori makanan, berat paket kiriman, tekanan udara ban kendaraan, jarak tempuh, waktu
tunggu, dan seterusnya. Nyaris tidak mungkin dalam kehidupan ini, bicara tanpa menggunakan
kata-kata yang berkaitan dengan timbangan dan ukuran. Di sektor transportasi, pilot pesawat
terbang harus mengamati dengan cermat ketinggian pesawat, arah, penggunaan bahan bakar,
dan kecepatannya. Masinis kereta api harus memperhatikan jarak posisi kereta terhadap stasiun
yang dituju. Supir mobil atau pengendara motor perlu memperhatikan ukuran kecepatan dan
tangki bahan bakar. Pengawas obat-obatan dan makanan mengukur kandungan bakteri dan zat
beracun. Perusahaan membeli bahan baku berdasarkan timbangan dan ukuran, kemudian
menyatakan produk dalam satuan yang serupa. Umumnya, setiap proses dipantau berdasarkan
pengukuran dan setiap penyimpangan akan ketahuan dari hasil pengukuran tersebut.
Pengukuran sistematis dengan tingkat ketidakpastian yang terukur merupakan landasan
pengendalian mutu di Industri. Dunia ilmu pengetahuan sangat bergantung pada pengukuran.
Para geolog mengukur kekuatan gelombang kejut ketika terjadi gempa bumi. Para astronom
dengan seksama mengukur cahaya lemah yang dipancarkan sebuah bintang untuk mengetahui
umurnya. Para fisikawan yang mempelajari partikel elementer harus mengukur waktu dalam
orde seperjuta sekon untuk memastikan adanya partikel yang sangat kecil. Ketersediaan alat
ukur dan kemampuan menggunakannya sangatlah esensial bagi para ilmuwan untuk merekam
hasil penelitian mereka secara objektif. Dengan demikian, ilmu pengukuran atau metrologi bisa
jadi merupakan ilmu yang tertua di dunia. Bahkan, pengetahuan tentang penggunaannya
merupakan syarat mutlak dalam segala profesi yang berbasis ilmu pengetahuan.
Dalam kaitan ini, tentu ada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh Pemerintah, yakni
melaksanakan amanah tersebut dengan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
168
kepada masyarakat. Pengukuran memang telah menjadi kebutuhan fundamental bagi
pemerintah, pedagang, produsen, pengusaha dan konsumen serta masyarakat luas. Pengukuran
berkontribusi pada mutu kehidupan setiap masyarakat melalui perlindungan konsumen,
pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, dan peningkatan daya
saing industri jasa dan manufaktur.
Sejalan dengan hal tersebut, perlu kegiatan pengawasan baik represip maupun preventif
melalui tera dan tera ulang UTTP serta penyuluhan dan pemasyarakatan kemetrologian harus
terus digulirkan. Esensi kemetrologian sebenarnya bukan semata-mata untuk menciptakan
tertib ukur dilingkungan masyarakat, melainkan juga untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan kemakmuran bangsa.
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, dijelaskan
bahwa: “untuk melindungi kepentingan umum, perlu adanya jaminan dalam kebenaran
pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran,
standar satuan, metode pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya.”
Metrologi legal mengatur juga tentang hal-hal mengenai pembuatan, pengedaran,
penjualan, pemakaian, dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya.
Sesuai dengan amanat UUML (Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal)
tersebut, maka ditetapkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1989 tentang Standar
Nasional untuk Satuan Ukuran (SNSU), yang menjabarkan perihal penetapan, pengurusan,
pemeliharaan, dan pemakaian SNSL sebagai acuan tertinggi pengukuran yang berlaku di
Indonesia. Selain itu, ditetapkan pula Keppres No. 79 tahun 2001 tentang Komite Standar
Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) sebagai penjabaran UUML yang mengharuskan
adanya lembaga yang membina standar nasional. Keppres ini memandatkan bahwa
pengelolaan teknis ilmiah SNSU diserahkan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Secara tidak langsung, Keppres ini berisi penunjukkan Lembaga Metrologi Nasional
atau National Metrology Institute (NMI) kepada salah satu unit kerja di LIPI. Dalam hal ini,
Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (Puslit KIM-LIPI) adalah unit
organisasi di bawah LIPI yang bidang kegiatannya paling berkaitan dengan pengelolaan
standar nasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Puslit KIM-LIPI merupakan instansi
pemerintah yang menjalankan fungsi sebagai Lembaga Metrologi Nasional atau NMI di
Indonesia.
169
Perkembangan hasil kegiatan tahuan 2009-2014 Balai Metrologi Yogyakarta, adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.34.
Perkembangan Tera dan Tera Ulang, 2009-2014
Tahun Tera (buah) Tera Ulang
(buah) Target Rp) Realisasi (Rp)
2009 53.909 92.600 95.000.000 101.209.250
2010 71.402 130.851 95.100.000 116.678.300
2011 99.003 116.536 113.500.000 136.810.700
2012 72.977 146.017 191.270.000 191.311.300
2013 75.115 129.396 162.500.000 165.998.900
2014 60.145 177.671 181.000.000 181.196.900
Sumber: Data Sekunder Balai Metrologi Yogyakarta, 2014, data diolah.
Sedangkan, peningkatan/pengurangan pelayanan tera ulang di tempat pemakaian,
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.35.
Peningkatan/pengurangan Pelayanan Tera Ulang di Tempat Pemakaian
Keterangan
2013 2014
Realisasi
(Rp)
Pertum-
buhan
(%)
Realisasi
(Rp)
Pertum-
buhan
(%)
Peningkatan jumlah
retribusi tera ulang 165.998.400 - 181.196.900 8,36%
Peningkatan jumlah
UTTP - - 15.198.500 -
Sumber: Data Sekunder Balai Metrologi Yogyakarta, 2014, data diolah.
Objek yang selama ini ditera/tera ulang Balai Metrologi Yogyakarta, antara
lain: 1). SPBU; 2). Argometer Taksi; 3). Timbangan; 4). PDAM; 5). PLN; 6). Gas; 7).
Dan lain-lain.
SPBU. Tera ulang SPBU, adalah dilakukan 1 tahun sekali. Hal-hal yang
‘rawan’, yang perlu diperhatikan dalam tera ulang SPBU adalah banyak sekali pompa
yang digunakan SPBU manual, sehingga keakuratan noozle rawan tidak tepat dalam 3
bulan saja. Namun saat ini telah berubah menjadi digital, sehingga kerawanan
rusaknya alat ukur tersebut menjadi terkurangi.
170
Argometer taksi. Di Indonesia, kewajiban peneraan terhadap argometer dilakukan oleh
Dinas Perhubungan (LJJR). Keberadaan LJJR di Yogyakartaka cukup banyak. Sialnya adalah
saat implementasi, lalu ada masalah dengan argo taksi, maka Dinas Perdaganganlah yang
dipermasalahkan (disalahkan). Untuk tera ulang, dari pihak LJJR belum punya kewenangan
pengelolaan, “Apakah agrotaksi tersebut telah ditera ulang atau belum”.
Timbangan. Untuk timbangan, pengaturan jadwal siding tera ulang ada perbedaan
antara pedagang besar dan pedagang kecil. Untuk pedagang besar, sejauh ini dapat diatur
jadwal peneraannya, namun khusus untuk pedagang kecil di pasar, penetapan jadwal tidak
terdeteksi (kurang bisa ditetapkan). Apalagi, Balai Metrologi Yogyakarta tidak memiliki data
based by name by address, sehingga siapa saja pedagang yang akan ditera tidak diketahui (yang
diperhatikan hanyalah jumlah UTTPnya saja).
Jadwal tera/tera ulang yang telah di agendakan oleh UPT Metrologi Yogyakarta untuk
luar kantor, telah dibagi per-kabupaten dan kecamatan. Pada operasional pelaksanaannya,
dilakukan bukan didalam pasar, melainkan peneraannya dilakukan di kantor desa, sehingga
kondisi ini tidak benar-benar terlayani dengan baikm dalam arti daya jangkau pelayanannya ke
masyarakat terbatas.
PDAM. Dalam hal ini pihak PDAM lebih memilih membeli mesin yang telah ditera
daripada melakukan tera ulang kembali. Hal ini disebabkan pembiayaan untuk melakukan tera
ulang jauh lebih mahal daripada membeli mesin yang telah ditera. Kebijakan harga ini telah
ditetapkan dalam Perda.
PLN. Untuk peneraan, pihak PLN enggan (keberatab) untuk membayar retribusi. Hal
ini dikarenakan Perda yang berlaku, yaitu PP 26/1983 serta PP 18/1986, sehingga meskipun
pemerintah provinsi (Gubernur) telah turun tangan, pihak PLN masih belum mau membayar
retribusi dimaksud. Selanjutnya, Gas. Dari sisi aspek penjualan gas, BDKT (Barang Dagang
Kondisi Tertutup) adalah tidak dilakukan.
3.6.2. Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPTTG) Yogyakarta
Balai BPTTG memiliki komitmen untuk mencapai target penerimaan tahun 2015
sebesar Rp 140.000.000 (Seratus empat puluh juta rupiah). Hal ini didasarkan pada hasil
perhitungannya (TTG) sendiri. Spesifiknya sebagai berikut: Rp 30.000.000 (Tiga puluh juta
rupiah) pada penjualan ATG (alat tepat guna), dan Rp 110.000.000 (Seratus sepuluh juta
rupiah) pada jasa layanan perbengkelannya. Selanjutnya, forecasting tahun 2016 paling tidak
akan sama dengan periode 2015.
171
Tabel 3.36.
Target dan Realisasi Penerimaan BPTTG Yogyakarta, 2008-2014
No Tahun Target PAD Realisasi Prosentase
(%) REMARK
1 2016 Rp - Rp - 0.00% *Penyesuaian pelanggan &
kantor baru
2 2015 Rp - Rp - 0.00% *Pindah kantor baru
3 2014 Rp 140,000,000 Rp 131,644,900 94.03% *Laporan sampai bulan
September, 2014
4 2013 Rp 140,000,000 Rp 145,365,623 103.83%
5 2012 Rp 120,000,000 Rp 122,193,974 101.83%
6 2011 Rp 110,000,000 Rp 111,861,200 101.69%
7 2010 Rp 106,000,000 Rp 108,511,300 102.37%
8 2009 Rp 106,000,000 Rp 107,997,500 101.88%
9 2008 Rp 50,000,000 Rp 50,855,000 101.71%
Sumber: Data sekunder BPTTG, 2014, diolah.
Objek pendapatan Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPTTG), adalah: 1).
Jasa layanan, dan 2). Produksi alat tepat guna. Jasa layanan, antara lain sebagai berikut: a).
Layanan pekerjaan bengkel, b). Layanan perbaikan mesin dan peralatan produksi; dan c).
Layanan konsultasi teknis mesin dan peralatan produksi.
Layanan pekerjaan bengkel, meliputi: 1). Layanan bubut, tarif Rp 2.500 per/menit; 2).
Layanan boor, tarif Rp 2.000 per/lubang permm; 3). Layanan root plat; 4). Layanan potong
plat; 5). Layanan tekuk plat, tarif Rp 3.000 per/tekuk permm; 6). Layanan sekrap; 7). Layanan
press, tarif Rp 8.000 per/menit; 8). Layanan las listrik; 9). Layanan las karbit, tarif Rp 2.500
per/cm permm; 10). Layanan las titik; 11). Layanan tap, tarif Rp 3.000 per/lubang; 12).
Layanan las argon. Sedangkan produksi alat tepat guna, dibagi menjadi 2, yaitu: 1). Produksi
kemasan; dan 2). Produksi ATG atau rekayasa dan pembuatan peralatan produksi.
Produksi ATG atau rekayasa dan pembuatan peralatan produksi, meliputi: 1). Mesin
oven roti; 2). Mesin oven; 3). Mesin alat pengering kayu; 4). Mesin alat pengering; 5). Mesin
Pencetak pelet; 6). Mesin pengaduk pelet; 7). Mesin pembuat ice cream 2 tabung; 8). Mesin
pembuat ice cream; 9). Mesin alat pencetak conblok; 10). Mesin press genteng; 11). Mesin
press garam; 12). Mesin press bungkil; 13). Mesin parut single; 14). Mesin parut double; 15).
172
Mesin pemeras santan otomatis; 16). Mesin pengurai sabut kelapa; 17). Mesin alat pembuat
tali tampar; 18). Mesin mixer tembakau; 19). Mesin circle; 20). Mesin jigsaw; 21). Mesin
conveyer; 22). Mesin bubut; 23). Mesin pengirat bambu; 24). Mesin pembuat lidi; 25). Mesin
belt & disc sender; 26). Mesin disc sender; 27). Mesin mixer/pengaduk; 28). Mesin mixer
kumbu bakpia; 29). Mesin pengupas kacang; 30). Mesin penggiling kedelai; 31). Mesin sortasi
kedelai; 32). Mesin penghancur batu; 33). Mesin penepung; 34). Mesin pengupas kacang
hijau/kedelai; 35). Mesin pengupas kemiri; 36). Mesin pengaduk sabun; 37). Mesin bak
pencuci; 38). Mesin molen kulit; 39). Mesin pengupas kulit kopi; 40). Mesin mixer pengaduk
cat; 41). Mesin mixer cake; 42). Mesin alat pengemping mlinjo; 43). Mesin alat masak/wajan;
44). Mesin pemotong benguk; 45). Mesin presto; 46). Mesin potong singkong manual; 47).
Mesin pemotong tempe; 48). Mesin pemotong singkong; 49). Mesin pemotong krupuk; 50).
Mesin alat perajang rumput/nilam; 51). Mesin pembelah kelapa; 52). Mesin alat perajang
tempe/tahu; 53). Mesin perajang bawang; 54). Mesin pengayak; 55). Mesin penyaring pasir;
56). Mesin alat penyaring batu; 57). Mesin penghancur kompos; 58). Mesin penghancur
sampah; 59). Mesin granule; 60). Mesin pencetak stick; 61). Mesin stick kombinasi; 62). Mesin
alat pembuat slondok; 63). Mesin pembuat getuk; 64). Mesin pembuat empek-empek; 65).
Mesin ppembuat gula kristal; 66). Mesin penyuling minyak; 67). Mesin penjernih minyak; 68).
Mesin alat pemeras manual; 69). Mesin press jarak; 70). Mesin pemotong sukun; 71). Mesin
pemotong singkong/krupuk; 72). Mesin peniris minyak; 73). Mesin vacuum frying; 74). Mesin
sangrai kacang; 75). Mesin pengayak tepung; 76). Mesin mixer tanah; 77). Mesin evaporator;
78). Mesin alat pengemping jagung; 79). Mesin pemisah kotoran kedelai; 80). Mesin perontok
padi; 81). Mesin perontok jagung; 82). Mesin sangrai kopi; dan 83). Mesin perontok padi.
Sedangkan objek pendapatan (penerimaan) tambahan saat ini adalah antara lain sebagai
berikut: 1). Las listrik steanlis, tarif Rp 4.000 per/elektrode; 2). Potong gergaji, tarif Rp 2.000
per/cm; 3). Coting plasma, tarif Rp 3.000 per/cm/mm; 4). Milling boor, tarif Rp 3.000
per/cm/mm; 5). Las co, tarif Rp 2.000 per/cm/mm; 6). Spet cat, tarif Rp 50.000 per/m2; 7).
Gerinda slep, tarif Rp 2.000 per/cm2; 8). Milling CNS, tarif Rp 2.000 per/gigi/modul/cm; 9).
PON level 5 ringan, tarif Rp 75 per/lembar karton; 10). PON level 5 sedang, tarif Rp 80
per/lembar karton; 11). PON level 5 berat, tarif Rp 100 per/lembar karton; 12). Clips, tarif Rp
35 per/clips; 13). Sliter, tarif Rp 100 per/potong karton; dan 14). Sloter, tarif Rp 100 per/naik
karton.