BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan...

24
BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan Oleh Negara Penyelenggaraan Kehutanan di Indonesia didasarkan pada Undang- undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundang- undangan lainnya yang mengatur tentang kehutanan serta hukum lingkungan. 1 Undang-Undang Kehutanan merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 2 bersama dengan presiden, 3 dan dijalankan oleh presiden sebagai kepala pemerintahan. 4 Penyelenggaraaan Kehutanan di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang merupakan konsekuensi dari bentuk Indonesia sebagai Negara Hukum. 5 Pemerintah, sebagai alat penyelenggara kekuasaan Negara 6 mendapat mandat kewenangan dari Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. 7 Kewenangan-kewenangan pemerintah untuk melakukan aktifitas kehutanan adalah : 8 a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; 1 Salim, H.S., Op.Cit., hlm.7. 2 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 3 Pasal 20 ayat (2) undang-Undang Dasar 1945. 4 Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. 5 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 6 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Loc.Cit, 7 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. 8 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

Transcript of BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan...

Page 1: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

BAB III

PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA

A. Pengelolaan Hutan Oleh Negara

Penyelenggaraan Kehutanan di Indonesia didasarkan pada Undang-

undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundang-

undangan lainnya yang mengatur tentang kehutanan serta hukum lingkungan.1

Undang-Undang Kehutanan merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat,2 bersama dengan presiden,3 dan dijalankan oleh presiden

sebagai kepala pemerintahan.4 Penyelenggaraaan Kehutanan di Indonesia yang

didasarkan pada Undang-Undang merupakan konsekuensi dari bentuk Indonesia

sebagai Negara Hukum.5

Pemerintah, sebagai alat penyelenggara kekuasaan Negara6 mendapat

mandat kewenangan dari Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan

peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang

angkasa.7 Kewenangan-kewenangan pemerintah untuk melakukan aktifitas

kehutanan adalah :8

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan;

1 Salim, H.S., Op.Cit., hlm.7.

2 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

3 Pasal 20 ayat (2) undang-Undang Dasar 1945.

4 Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945.

5 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

6 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Loc.Cit,

7 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.

8 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

Page 2: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan

hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai

kehutanan.

Pengertian dari kewenangan Negara untuk mengatur dan mengurus

segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan

adalah penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang meliputi perencanaan

kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan

latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan.9 Salah satu kegiatan

pengelolaan hutan adalah pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan

hutan.10 Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman,

pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.11

Berdasarkan peruntukannya, hasil hutan dibedakan menjadi dua, yaitu

hasil hutan langsung dan tidak langsung.12 Hasil hutan secara langsung adalah

hasil kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara

lain rotan, getah, buah-buahan, madu, dan sebagainya,13 dan Hasil hutan tidak

langsung adalah manfaat hutan sebagai pengatur tata air, pencegah terjadinya

erosi, manfaat dalam bidang kesehatan, keindahan, kesehatan, pertahanan dan

9 Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

10 Pasal 21 (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

11 Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

12 Ibid, hlm.114.

13 Salim, H.S., Op.Cit., hlm.1.

Page 3: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

keamananan, tenaga kerja dan sebagai penyumbang devisa bagi Negara.14

Pengelolaan manfaat hutan secara langsung merupakan hak Negara sedangkan

manfaat hutan secara tidak langsung merupakan milik umum.15

Pengelolaan hutan didahului dengan percencanaan kehutanan sebagai

pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan

kehutanan.16 Salah satu kegiatan perencanaan kehutanan adalah pengukuhan

kawasan hutan,17 yang dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang

wilayah.18 Kemudian, pengelolaan hutan harus memperhatikan pembagian

status dan fungsi hutan.

Berdasarkan status dan fungsinya, yaitu suatu pembagian hutan yang

didasarkan pada status kedudukan antara orang, badan hukum, atau institusi

yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan,19

dibedakan menjadi hutan Negara dan hutan hak.20 Hutan Negara adalah hutan

yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah,21 dan Hutan Hak

adalah hutan yang berada pada pada tanah yang tidak dibebani hak atas

tanah.22 Hak-hak atas tanah adalah hak-hak yang meliputi hak milik, hak guna-

usaha,hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak

14

Ibid, hlm.1. 15

Ibid., hlm.114. 16

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 17

Pasal 12 (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 18

Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 19

Salim H.S., OP.Cit., hlm.43. 20

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 21

Pasal 1 (d) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 22

Pasal 1 (e) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

Page 4: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

memungut-hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak

tersebut.23

Hutan Negara dapat juga berupa hutan adat,24 yaitu hutan yang berada di

wilayah Masyarakat Hukum Adat.25 Pengelolaan hutan adat diserahkan kepada

Masyarakat Hukum Adat.26 Berdasarkan fungsinya, yaitu penggolongan hutan

yang didasarkan pada kegunaannya,27 hutan dibedakan menjadi tiga, yaitu

fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.28

Hutan Konservasi yang dimaksud adalah hutan yang terdiri dari kawasan

hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.29 Hutan

suaka alam berfungsi sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan

dan satwa beserta ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah perlindungan

sistem penyangga kehidupan,30 dan kawasan hutan pelestarian alam

mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.31

Pengelolaan hutan di Indonesia harus berasaskan manfaat dan lestari,

kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan.32 Ketiga

23

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1960. 24

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 25

Pasal 1 (f) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 26

Penjelasan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, pasal 5 ayat (1). 27

Salim, H.S., Op.Cit.,hlm.44. 28

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 29

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 30

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (Selanjutnya disbeut sebagai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990). 31

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. 32

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

Page 5: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

asas tersebut harus diperhatikan secara sungguh-sunggu oleh pemegang Hak

Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.33 Pada

hakikatnya, hak pengusahaan hutan merupakan hak untuk mengusahakan hutan

alam di dalam suatu wilayah hutan, yang meliputi kegiatan penebangan kayu,

peremajaan dan pemeliharaan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.34

Kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan ini dilakukan berdasarkan izin Hak

Pengusahaan Hutan.35

Subjek hukum pemegang Hak Pengusahaan Hutan adalah perusahaan

milik Negara, yaitu Badan Usaha Milik Negara dalam bentuk Perusahaan

Perseroan dan Perusahaan Daerah, Perusahaan swasta, baik swasta nasional

maupun asing, dan perusahaan campuran, yaitu usaha bersama antara

perusahaan milik Negara dan perusahaan swasta asing maupun swasta

nasional.36 Pemegang Hak Pengusahaan Hutan mempunyai hak dan kewajiban.

Hak pemegang izin Hak pengusahaan Hutan adalah menebang kayu, mengolah

hasil hutan, dan memasarkan hasil hutan, sedangkan kewajibannya adalah

membayar iuran hak pengusahaan hutan; membuat rencana pengusahaan

hutan; mengelola wilayah hutan berdasarkan rencana pengelolaan hutan;

menaati peraturan di bidang perburuhan; mendirikan industri pengolahan hasil

hutan; menaati hak-hak Masyarakat Hukum Adat di sekitar lokasi Hak

Pengusahaan Hutan; memberikan data dan bantuan kepada petugas-petugas

33

Salim, H.S., Op.Cit., hlm.60. 34

Ibid, hlm.61. 35

Ibid, hlm.61. 36

Pasal 9 PP Nomor 2 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (selanjutnya disebut PP Nomor 2 tahun 1970).

Page 6: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

pelaksana pemeriksaan, baik yang dilakukan pejabat berwenang maupun

pejabat-pejabat kehutanan.37

Pengelolaan hutan juga harus memperhatikan hak-hak Masyarakat

Hukum Adat.38 Pengaturan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dilakukan sebagai

implikasi dari pengakuan Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat,39 dan

karena keberadaan mereka yang sudah ratusan tahun sebelum Indonesia

terbentuk dan merdeka.40 Masyarakat Hukum Adat sebagi sebuah komunitas tua

menjalankan praktek-praktek pengelolaan hutan sesuai dengan hukum adat

mereka dan mereka sudah menjalankan hukum adat tersebut jauh sebelum

Indonesia merdeka, oleh karena itu Negara menghormati keberadaan mereka41

dan melindungi praktek-praktek pengelolaan hutan yang mereka lakukan

sebagai suatu hak khusus. Hak-hak tersebut adalah:42

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari masyarakat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang

berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan.

37

Pasal 3 sampai Pasal 7 PP Nomor 21 tahun 1970. 38

Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 39

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 40

Otje Salman Soemadiningrat, Loc.Cit. 41

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945. 42

Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.

Page 7: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

Berdasarkan uraian di atas, pengelolaan hutan oleh Negara didasarkan

oleh hak menguasai Negara yang tercantum pada pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945 yang dijadikan landasan oleh Undang-Undang Nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan untuk mengakui penguasaan negara terhadap

hutan. Pengelolaan hutan oleh Negara merupakan salah satu kewenangan yang

didelegasikan oleh Negara kepada pemerintah untuk memanfaatkan hasil hutan

berupa hasil hutan secara langsung, yaitu hasil hutan kayu dan non-kayu.

Kewenangan pengelolaan hutan oleh Negara dapat diberikan kepada

badan usaha milik Negara maupun badan usaha milik swasta nasional maupun

asing dan Pengelolaan hutan oleh badan-badan usaha tersebut tetap harus

memperhatikan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan menghormati hak-hak

pengelolaan hutan mereka sebagai tindak lanjut dari pengakuan Negara

terhadap Masyarakat Hukum Adat.

B. Praktek Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat hukum yang berdasarkan

hukum adat atau adat-istiadat.43 Masyarakat Hukum Adat ini terikat oleh tatanan

hukum adat yang tumbuh dan berkembang secara alami dalam Masyarakat

Hukum Adat.44 Hukum adat ini merupakan pedoman hidup yang mengatur

aspek-aspek kehidupan Masyarakat Hukum Adat termasuk aspek pengelolaan

lingkungan hidup mereka yang umumnya adalah hutan. Praktek-praktek

pengelolaan hutan oleh Masyarakat Hukum Adat di antaranya adalah :

43

Pernyataan Profesor Bagir Manan yang dilihat dari buku Husen Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Laksbang Indopress, Yogyakarta, 2010, hlm.37. 44

Husen Alting, Op.Cit., hlm.31.

Page 8: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

a. Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih

Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih di desa Batu Kerbau tinggal

di dua desa, yaitu Desa Batu Kerbau dan Desa Baru Pelepat.45 Objek penelitian

pada tulisan ini adalah Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih yang berada

di Desa Batu Kerbau. Desa Batu Kerbau adalah sebuah desa yang terletak di

Hulu Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.46 Dari sejarah lahirnya,

Masyarakat Hukum Adat ini diketahui bahwa mereka berasal dari Kerajaan

Pagaruyung Minangkabau47 sehingga adat-istiadat Masyarakat Hukum Adat

Datuk Sinaro Putih adalah adat istiadat Minangkabau,48 yang hingga saat ini

masih dipertahankan oleh Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih. Adat-

istiadat Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih ini berprinsip pada “negeri

berpagar undang, kampung berpagar cupak” yang berarti bahwa setiap daerah

atau wilayah kampung memiliki adat yang harus dijaga dan ditaati oleh

masyarakat kampung tersebut.49

Pengaruh adat-istiadat Minangkabau mempengaruhi struktur sosial

masyarakat Desa Batu Kerbau, di mana masing-masing Masyarakat Hukum

Adat mewarisi suku-suku yang ada di Minangkabau (seperti suku Jambak,

Melayu dan Caniago),50 yang garis keturunannya ditarik dari garis keturunan

45

Penelitian terhadap Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat yang dilakukan oleh Herlambang Perdana Wiratraman, dan kawan-kawan, yang kemudian dituangkan dalam buku yang berjudul Antara Teks dan Konteks, DInamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia, HuMa (Pembaharuan HUkum Berbasis Masyarakat Hukum Adat), Jakarta, 2010, hlm.83. 46

Ibid, hlm.83. 47

Ibid, hlm.83. 48

Ibid, hlm.83. 49

Ibid, hlm.83. 50

Ibid, hlm.83.

Page 9: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

ibu.51 Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih pun mempunyai tata susunan

lembaga tersendiri, yaitu tata susunan lembaga masyarakat adat yang diketuai

oleh Datuk Tiang Panjang yang diikuti Datuak Rabun, Penghulu Alam, dan

Dubalang pada tingkatan di bawah ketua adat. Mereka juga mengenal harta

pusaka yang terdiri dari harta pusaka rendah dan harta pusaka tinggi.52

Pengaturan pengelolaan hutan dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat

Datuk Sinaro Putih berdasarkan falsafah “ke darat berbunga kayu, ke air

berbunga pasir,” yang berarti apabila seseorang menebang kayu, mengambil

rotan, damar, dan jelutung di hutan serta mengambil pasir atau batu dan

membuat perahu untuk dijual, orang itu harus membayar “pancung alas”, yaitu

retribusi kepada kepala adat, sedangkan apabila hanya digunakan untuk

keperluan sendiri maka orang itu dibebaskan dari pancung alas dan cukup

dengan hanya mendapat persetujuan dari pemimpin adat.53 Pelaksanaan

pengelolaan hutan oleh Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih pun

didasarkan pada prinsip-prinsip, di antaranya:54

a. Dalam berladang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih harus

sompak, kompak, setumpak yang berarti masyarakat dalam

melaksanakan perladangan dilakukan secara bersama-sama dan jika

tidak melakukan perladangan secara bersama maka akan mendapat

teguran dari ninik mamak berdasarkan jumlah jiwa dalam keluarga.

51

Ibid, hlm.83. 52

Ibid, hlm.83. 53

Ibid, hlm.83. 54

Ibid, hlm.84.

Page 10: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

b. Umpan boleh disisip, kerap boleh diganggu yang berarti pengambilan

sumber daya alam harus memperhatikan potensi yang ada. Jika

potensinya baik maka sumber daya alam tersebut bisa diambil dan jika

rusak maka harus diperbaiki.

c. Bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti

ali yang berarti Sumber Daya alam harus dipertahankan

kelestariannya.

d. Lapuk pua jalipung tumbuh yang berarti lahan kritis harus mendapat

penghijauan kembali.

Selain prinsip-prinsip pengelolaan hutan di atas, Masyarakat Hukum

Adat Datuk Sinaro Putih juga menjalankan ketentuan pengelolaan hutan

lainnya yang diwarisi oleh nenek moyang mereka, yaitu mempertahankan

sempadan sungai, larangan menebang Pohon Sialang tempat bersarangnya

lebah penghasil kayu, menebang pohon yang tumbuh di daerah lereng atau

curam dan menetapkan beberapa kawasan menjadi hutan larangan.55

Menurut Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih, kawasan hutan adat

dan hutan lindung desa merupakan hak atas Sumber Daya Alam mereka.56

b. Masyarakat Hukum Adat Boya Marena di Desa To’ Kulawi

55

Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah, Hutan Adat Batu Kerbau : Sisa Kearifan Lokal dalam “Belajar dari Bungo, Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi”, CIFOR, 2008, hlm.71. 56

Herlambang Perdana Wiratraman, Op.Cit.

Page 11: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

Masyarakat To’ Kulawi berada di Provinsi Sulawesi Tengah yang

wilayahnya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).57

Salah satu kampung To’ Kulawi adalah Boya Marena yang merupakan

bagian dari Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Provinisi

Sulawesi Tengah.58 Boya Marena berada di antara dua kawasan hutan, yaitu

TNLL yang berada pada sisi timur dan hutan lindung pada sisi barat,

sedangkan di tengah-tengah kampung terdapat lahan yang dulu dikuasi oleh

PD. Sulteng. Sejak sekitar tahun 1930, Boya Marena telah didiami keluarga

yang berasal dari Desa Boladangko, Desa Bolapapu dan Ngata Toro untuk

kegiatan perladangan.59 Dalam kesehariannya, Masyarakat Boya Marena

umumnya bekerja sebagai petani ladang, sawah dan kakao, namun sejak

adanya pengukuhan kawasan hutan Negara tahun 1970 pola pertanian

ladang berubah menjadi pertanian menetap, sejak saat itu kecenderungan

masyarakat Boya Marena menanam kakao semakin dominan.60

Pengelolaan sumber daya alam di wilayah kehidupan Boya Marena diatur

berdasarkan hukum adat.61 Secara tradisional, pengelolaan sumber daya

alam tersebut dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kategori pengelolaan

sumber daya tanah dalam perladangan, pengelolaan sumber daya hutan dan

pengelolaan sumber daya air.62 Ketiga kategorisasi pengelolaan sumber daya

alam ini merupakan sarana yang membentuk identitas budaya yang berjalan

57

Ibid, hlm.107. 58

Ibid, hlm.107. 59

Ibid, hlm.108. 60

Ibid, hlm.108. 61

Ibid, hlm.109. 62

Ibid, hlm.109.

Page 12: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

hingga saat ini.63 Selain kategorisai pengelolaan sumber daya alam, wilayah

kehidupan masyarakat terdapat pengelompokan wilayah secara tradisional

sesuai peruntukannya, yaitu Wana Ngkiki, Pangale, Bone, Balingkea,

Pahawa Pongko dan Oma.64

Aktivitas manusia hanya boleh dilakukan pada wilyaha uang masuk ke

dalam kategori wilayah Pangale yang merupakan kategori wilayah hutan

yang berada di pegunungan dan daratan. Bagi masyarakat Boya Marena,

kawasan ini merupakan cadangan lahan yang dieprsiapkan untuk

perladangan dan daerah datarannya dikhususkan untuk sawah.65 Pada

wilayah ini juga masyarakat boleh mengambil kayu dan rotan, obat-obatan

dan perlengkapan ritual pemujaan.

Pembagian kategori wilayah dan pengelolaan sumber daya alam di atas

merupakan bentuk kearifan tradisional masyarakat untuk menjaga kelestarian

wilayahnya dan agar pembagian-pembagian wilayah tersebut ditaati maka

diberlakukan pelarangan-pelarangan untuk mengelola beberapa hutan yang

masuk ke dalam kategori terlarang berlaku, hal ini dilakukan sebagi

konsekuensi dari berlakunya hukum adat dalam pengelolaan sumber daya

alam dan setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi yang ditetapkan melalui

peradilan adat.66

c. Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan, Kalimantan Barat

63

Ibid, hlm.109. 64

Ibid, hlm.109. 65

Ibid, hlm.110. 66

Ibid, hlm.110.

Page 13: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan adalah komunitas masyarakat

bersuku Dayak yang wilayahnya termasuk dalam Kabupaten Sanggau,

Kalimantan Barat.67 Dalam mengelola sumber daya alam di lingkungannya,

Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan, secara umum membagi wilayah

kelolanya ke dalam lima wilayah, yaitu wilayah perladangan, kebun karet,

hutan adat tutupan, keramat dan tembawang.68 Kawasan perladangan

merupakan kawasan yang digunakan untuk berladang gilir balik bagi

masyarakat dan kawasan kebun karet yang berisi tanaman karet merupakan

bekas ladang yang kemudian ditanami tanaman karet lokal.69

Wilayah yang dominan dalam kehidupan Masyarakat Hukum Adat

Kampung Sanjan adalah hutan, bagi mereka hutan adalah darah dan jiwa,

karena tanpa hutan, mereka sulit melanjutkan kehidupan.70 Masyarakat

Hukum Adat Kampung Sanjan percaya bahwa hutan harus dijaga untuk

keberlanjutan hidup anak-cucu mereka.71 Pengelolaan hutan oleh Masyarakat

Hukum Adat Kampung Sanjan didasarkan pada hukum adat mereka, 72 yaitu

dengan membagi kawasan hutan menjadi hutan adat tutupan dan

Tembawang.

Hutan adat tutupan adalah kawasan hutan rimba yang berisi pohon kayu

bangunan yang dikelola dan dapat dimanfaatkan secara komunal oleh warga

67

Ibid, hlm.97. 68

Ibid, hlm.97. 69

Ibid, hlm.97. 70

Ibid, hlm.97. 71

Ibid, hlm.97. 72

Ibid, hlm.97.

Page 14: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

kampung dan tidak dapat diperjual-belikan,73 kemudian Tembawang adalah

kawasan kramat yang disakralkan dan dianggap suci oleh Masyarakat

Hukum Adat Kampung sanjan, sehingga harus dilindungi.74 Dalam

pengelolaan hutan dan pengaturan pembagian kerja control hutan, kepala

adat lah menjadi penanggung jawab.75

Selain pengelolaan hutan berdasarkan adat-istiadat, Masyarakat Hukum

Adat Kampung Sanjan juga mengelola hutan berdasarkan kearifan lokal

masyarakatnya, yaitu hutan rimba tidak boleh diladang karena merupakan

areal untuk cadangan kayu bangunan bagi masyarakat sekitar.76 Sebagai

bentuk kearifan lokal dalam mempertahankan hutan adalah, masyarakat

membuat larangan menebang pojon pada kawasan hutan tertentu seperti

pada hutan keramat, area konservasi atau hutan tutupan, puncak bukit dan

hulu sungai.77 Hal ini menunjukkan bahwa Masyarakat Hukum Adat Kampung

Sanjan sudah mampu mengelola hutannya secara berkelanjutan dan lestari.

Bentuk-bentuk keempat Masyarakat Hukum Adat di atas beserta dengan

cara-cara pengelolaan hutan yang mereka lalukan menjadi bukti bahwa

Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang berbeda dari

bentuk masyarakat pada umumnya, baik dari segi bentuk maupun tata cara

pengelolaan hutan. Dari keempat contoh Masyarakat Hukum Adat di atas,

dapat diketahui bahwa kehidupan Masyarakat Hukum Adat didasarkan pada

73

Ibid, hlm.97. 74

Ibid, hlm.99. 75

Ibid, hlm.98. 76

Ibid, hlm.98. 77

Ibid, hlm.98.

Page 15: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

hukum adat yang dijadikan pedoman bertingkah laku, termasuk tingkah laku

dalam mengelola sumber daya alam lingkungan mereka yang didominasi

oleh hutan.

C. Konflik-Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia

a. Masyarakat Hukum Adat Kontu

Kontu adalah nama sebuah kawasan pemberian Raja Muna kepada

seorang panglima perang bernama La Kundofani si Kino Watuputih yang

berhasil mengalahkan musuh-musuhnya.78 Konon kawasan/lahan ini

merupakan pengganti dari tahta raja yang berhak disandangnya, namun demi

kesejahteraan rakyatnya si panglima perang ini memilih untuk memberikan

kawasan pemberian Raja Muna tersebut kepada masyarakat sebagai sumber

penghidupan rakyat.79 Sehingga, Kontu, Patu-patu, Lasukura, dan Wawesa

kemudian menjadi tempat hidup dan berladang komunitas warga Watuputih

secara turun temurun.80

Masyarakat Kontu, pada jaman penjajahan Belanda diperintahkan untuk

menanami pohon jati pada wilayah tempat tinggal mereka. Lalu, setelah

pohon-pohon jati tertanam dan tumbuh, komunitas ini diusir dari wilayah yang

sidah lama mereka tinggali itu.81 Masyarakat Kontu yang terusir ini kemudian

78

Berdasarkan penelitian sejarah yang dilihat pada http://www.wg-tenure.org/html/wartavw.php?id=48, pada 07 Oktober 2012, jam 9:03 WIB. 79

http://www.wg-tenure.org/html/wartavw.php?id=48 yang dilihat pada 07 Oktober 2012, jam 9:06. 80

Asep Yunan Firadus, et.al., “Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia”, HuMa (Perkumoulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat dan Ekologis), Jakarta, 2007, hlm.33. 81

Penelitian yang dilakukan oleh Asep Yunan Firdaus dan kawan-kawan terhadap kasus kriminalisai tindakan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat Kontu yang dituangkan dalam jurnal yang berjudul “Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia,” HuMa, Jakarta, 2010, hlm.33.

Page 16: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

terpencar di beberapa desa sekitar wilayah mereka.82 Kemudian, setelah

Indonesia merdeka, sekitar tahun 1980, Pemerintah Daerah Muna dengan La

Ode Saafi sebagai bupati melaksanakan perluasan pembangunan kawasan

kota di sekitar Kontu dengan memukimkan sekitar 50 kepala keluarga yang

berasal dari perkampungan Laloea dan kota Raha.83

Kebijakan pemukiman masyarakat ini kemudian diikuti oleh masyarakat

Kontu yang terpencar di beberapa desa. Mereka mendatangi kawasan Kontu

yang mereka percaya sebagi tanah leluhurnya.84 Bukti sejarah kawasan

Kontu, Patu-patu, Lasukara dan Wawesa sebagai sebuah kampung adat

Watoputeh adalah adanya kuburan tua yang tersebar diberbagai tempat

dalam kawasan tersebut. Tindakan kembalinya masyarakat Kontu menempati

wilayah Kontu setelah lama terusir dari daerah itu dan tinggal di desa-desa

sekitar tidak mendapatkan pelarangan bahkan cenderung diam dan tidak

melakukan apa pun, sehingga masyarakat merasa bahwa tindakan diam

pemerintah merupakan ijin untuk mereka kembali menempati kawasan

Kontu.85

Kasus Kontu bermula pada tahun 1999 setelah Departemen Kehutanan

menunjuk kawasan hutan Sulawesi Tenggara sebagai kawasan lindung

sehingga daerah kawasan hutan tersebut harus dikosongkan dari

masyarakat.86 Penunjukan ini berdasarkan Surat Ketetapan Menteri

82

Ibid, hlm.34. 83

Ibid, hlm.34. 84

Ibid, hlm.34. 85

Penelitian yang dilakukan Asep Yunan dan kawan-kawan, Op.Cit., hlm.34. 86

Ibid, hlm.33.

Page 17: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

Kehutanan Nomor 454/Kpts-II/1999. Setelah perintah pengosongan itu

dikeluarkan, Pemerintah Kabupaten Muna memerintahkan agar masyarakat

mengosongkan kawasan Kontu, Patu-patu, Lasukara dan sekitarnya.87

Tindakan Bupati Muna yang dijabat oleh Drs. Badrun Raona pada masa

itu diikuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan Nomor 454/Kpts-II/1999 untuk memperluas kawasan hutan

lindung Jompi dengan menambah 45 hektar kawasan menjadi hutan

lindung.88 Kemudian, pada tahun yang sama, Pemerintah Kabupaten Muna

juga mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1999 tentang Rencana

Umum Tata Ruang Kota Raha dan Peraturan Daerah Kabupaten Muna

Nomor 20 tahun 1999 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Muna tahun 1996/1997 dan 2006/2007, akan tetapi pada kedua

Peraturan Daerah tersebut tidak diperoleh satu pun pasal atau ayat yang

menyatakan bahwa kawasan Kontu dan sekitranya adalah Kawasan Hutan

Lindung.89

Pernyataan Pemerintah Kabupaten Muna tentang status kawasan Kontu

sebagai hutan lindung didasarkan pada Surat Ketetapan Nomor 454/Kpts-

II/1999, akan tetapi pada dokumen tersebut tidak ditegaskan secara rinci

bahwa kawasan Kontu, Patu-Patu dan Lasukara adalah desa yang masuk ke

dalam pelebaran kawasan hutan lindung, kemudian dokumen yang menjadi

dasar tindakan Dinas Kehutanan Kabupaten Muna pun sama sekali lemah

87

Ibid, hlm.34. 88

Ibid, hlm.34. 89

Ibid, hlm.34.

Page 18: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

karena mekanisme pengusulan kawasan hutan lindung yang dilakukan Dinas

Kehutanan saat itu tidak tidak sesuai prosedur yang benar karena beberapa

pejabat berwenang seperti Badan Pertanahan Nasional tingkat Propinsi

maupun Kabupaten serta Gubernur Sulawesi Tenggara tidak ikut

menandatangani Surat Ketetapan tersebut.90

Tindakan perluasan kawasan hutan lindung tersebut dilakukan pemerintah

dengan cara represif tetapi masyarakat melakukan perlawanan karena

berdasarkan sejarah daerah yang mereka tempati adalah wilayah yang

diwariskan oleh leluhur mereka. Akibatnya, pada tanggal 7 Januari 2003,

sebanyak 4 orang warga Masyarakat Kontu, yaitu La Ntohe, Laode Radio, La

Panda, dan La Wai ditangkap oleh pihak Polres Muna dengang tuduhan

melanggar Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang

diikuti dengan persidangan pertama terhadap keempat warga Kontu dengan

putusan pemenjaraan bagi keempat orang tersebut.91

Dakwaan Jaksa Penuntun Umum pada persidangan kasus ini adalah

bahwa para terdakwa dengan sengaja melakukan tindakan pengerjaan dan

penggunaan atau pendudukan hutan secara tidak sah sesuai pasal Pasal 50

ayat 3 huruf a jo. 78 ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan.

Pasal 50 ayat 3 huruf a berbunyi “setiap orang dilarang mengerjakan dan

atau merambah dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.”

Merupakan pasal yang ditujukan pada kawasan hutan lindung yang tidak

90

Ibid, hlm.35. 91

Ibid, hlm.37.

Page 19: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

boleh bertentangan dengan pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41

tahun 1999 yang berbunyi:

“Masyarakat Hukum Adat sepenjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undnag-undang; dan

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Ayat (2) :

“Pengukuhan keberadaan dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”

Penjelasan pasal ini adalah :

“Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah bersangkutan, serta instansi atau pihak yang terkait.”

Jika dilihat dari sejarah terbentuknya masyarakat Kontu dan kronologis

terusirnya masyarakat Kontu hingga kembali lagi menempati kawasan Kontu,

masyarakat Kontu masih ada dan kawasan Kontu merupakan wilayah adat.

Akan tetapi, meskipun dakwaan Jaksa Penuntut Umum sangat lemah dan

proses pembuktian tidak menunjukkan cukup bukti, Jaksa Penuntut Umum

tetap memaksakan tuntutan agar para terdakwa dijatuhi hukuman pidan

penjara antara 2 tahun hingga 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar 300.000

dengan dakwaan subsider berupa 3 bulan kurungan serta membayar biaya

perkara sebesar 1.000 rupiah.92

92

Ibid., pasal.45.

Page 20: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

d. Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih di Desa Batu Kerbau.

Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih adalah salah satu

Masyarakat Hukum Adat yang mendapat pengakuan dari Negara.93

Penerapan pengakuan tersebut adalah pengakuan Negara terhadapa

kawasan hutan menjadi kawasan hutan adat Masyarakat Hukum Adat Datuk

Sinaro pUtih.94 Untuk menerapkan pengakuan atas hutan adat tersebut,

dibentuk Kelompok Pengelolaan Hutan Adat (KPHA) yang terdiri dari

berbagai elemen desa yang bertanggung jawab dalam melakukan

pengelolaan dan perlindungan terhadap hutan adat agar hutan adat bisa

terjaga kelestariannya.95 KPHA bertugas mengawasi dan memberikan sanksi

kepada pihak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhdap hutan

adat.96

Upaya penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap hutan hutan adat

pernah dilakukan ketika terjadi penebangan hutan adat pada tahun 2002

yang dilakukan oleh orang dari desa Rantau Keloyang dan Desa Baru

Pelepat yang dibantu oleh warga Kampung Lubuk Tebat, parah pelanggar

tersebut dihukum membayar denda berupa seekor kambing, tetapi dalam

pelaksanaannya, pelaku hanya sanggup membayar sebesar 50.000

Rupiah.97 Kemudian, pelanggaran lain pernah dilakukan pada tahun 2003

oleh sebuah badan hukum bernama CV.Beringin Hijau. Badan hukum ini

93

Yance Arizona, Op.Cit., hlm.65. (penjelasan pengakuan dijelaskan pada bab IV tulisan ini). 94

Herlambang Perdana Wiratraman, Op.Cit., hlm.92. 95

Ibid, hlm.93. 96

Ibid, hlm.93. 97

Ibid, hlm.93.

Page 21: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

memasuki hutan adat dan melakukan aktifitas kehutanan di wilayan hutan

adat.98

Berdasarkan hasil investigasi, CV. Beringin Hijau memegang lima izin

kegiatan Pengusahaan Hutan.99 Dalam melakukan aktifitasnya. CV.Beringin

Hijau tidak menaati aturan-aturan pengelolaan hutan Masyarakat Hukum

Adat, sehingga terjadi kerusakan lingkungan, selain itu badan hukum ini

mengelola wilayah hutan yang keluar dari wilayah hutan yang ada pada izin

pengelolaan hutannya. Terhadap pelanggaran ini Kelompok Pengurus Hutan

Adat menjatuhkan denda seekor kambing dan uang sebesar sepuluh juta

rupiah, tetapi sanksi tersebut tidak dipatuhi.100 Kemudian, Kelompok

Pengurus Hutan Adat mengirim surat kepada Bupati Bungo melalui Dinas

Kehutanan adat yang berisi permintaan untuk menutup badan hukum CV.

Bering Hijau, tetapi surat tersebut tidak mendapat tanggapan dari Dinas

Kehutanan.101

CV.Beringin hijau melebarkan wilayah pengelolaan hutannya hingga

wilayah imbo pusako (hutan adat) desa Batang Kibul, Kabupaten Merangin.

Masyarakat Batang Kibul juga meminta Tim Dinas Kehutanan Kabupaten

Merangin untuk meninjau lokasi dan menyampaikan aspirasi melalui media

cetak dan elektronik sampai ke tingkat nasional, sehingga propinsi dan

kabupaten Merangin mengirim tim untuk meninjau lapangan dan kemudian,

98

Ibid, hlm.93. 99

Yance Arizona, Op.Cit., hlm.68. 100

Ibid, hlm.68. 101

Ibid, hlm.67.

Page 22: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

diketahuilan bahwa memang telah terjadi pelanggaran wilayah dan

pengambilan kayu di luar wilayan yang diizinkan sehingga CV.Beringin Hijau

ditutup dan tidak beroperasi lagi. Meskipun sanksi berupa izin opeasi dicabut,

ketentuan adat berupa adat tidak diabaikan dan pihak CV.Beringin tetap

tidak mematuhi keputusan pengurus Masyarakat Hukum Adat. Selain itu tidak

ada pihak, baik dari CV.Beringin Hijau maupun pemerintah yang mau

menanggung biaya kerusakan hutan.102

Pengakuan pemerintah terhadap Masyarakat Hukum Adat Datuk

Sinaro dan kasus CV.Beringin yang tidak terselesaikan tidak dijadikan dasar

oleh pemerintah untuk memberikan konsesi-konsesi kepada bada hukum

untuk melakukan aktifitas kehutanan dia wilayah adat. Pemerintah daerah

masih tetap mengeluarkan sejumlah konsesi kepada perusahaan yang

mengelola sumber daya alam di sekitar wilayah Masyarakat Hukum Adat

tanpa mempertimbangkan ancaman terhadap wilayah Masyarakat Hukum

Adat.103

e. Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan

Kehidupan Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan sangat bergantung

pada hutan, karena Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan beranggapan

bahwa hutan adalah darah dan jiwa mereka dan tanpa hutan mereka sulit

untuk melanjutkan kehidupan,104 dan untuk mempertahankan hutan,

Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan merasa membutuhkan pengakuan

102

Ibid, hlm.68. 103

Ibid, hlm.97. 104

Herlambang Perdana Wiratraman, Loc.Cit.

Page 23: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

sebagai bentuk perlindungan terhadap sumber karena pengakuan bisa

menjadi bukti otentik dari pemerintah daerah agar bukti tersebut bisa

digunakan masyarakat ketika mempertahankan wilayah adatnya dari

ancaman pihak luar, terutama untuk mempertahankan hak-hak mereka atas

pengelolaan hutan yang terganggu oleh pernyataan kepemilikan hutan adat

tutupan Kampung Sanjan oleh PT.SIA,105 yaitu sebuah badan usaha yang

bergerak dalam bidang pertanian kelapa sawit.106

Desakan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan ini menghasilkan

pembentukan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2002 tentang Pemerintahan

Kampung.107 Dalam pelaksanaannya, Peraturan Daerah ini mengalami

kegagalan karena pemerintah tidak menganggarkan biaya dan tidak

mempersiapkan instansi yang khusus untuk mengimplementasikan Peraturan

Daerah ini.108 Kemudian Peraturan Daerah ini tidak berlaku efektif dan

dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri karena dianggap bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, yaitu Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 71 tahun

2005 tentang Desa.109

Pembatalan Praturan Daerah tersebut membuat Masyarakat Hukum Adat

Kampung Sanjan melaksanakan sistem pemerintahan kampung dengan

harapan mereka memiliki penguasaan yang kuat atas wilayah mereka, akan

tetapi tanpa disadari dan diketahui oleh Masyarakat Hukum Adat Kampung

105

Ibid, hlm.101. 106

Ibid, hlm.100. 107

Ibid, hlm.101. 108

Ibid, hlm.104. 109

Ibid, hlm.105.

Page 24: BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan ...media.unpad.ac.id/thesis/110110/2007/110110070322_3_8123.pdf · BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Pengelolaan Hutan

Sanjan, Semenjak tahun 2005, pemerintah telah memberikan izin kepada

PT.SIA untuk mengelola hutan tutupan Masyarakat Hukum Adat Kampung

Sanjan, pemberian ijin ini tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat Kampung

Sanjan sama sekali.110

Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh PT.SIA mengganggu hak

pengelolaan Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan, karena pihak PT.SIA

merasa bahwa kawasan hutan yang mereka kelola adalah hak mereka

sedangkan Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan tidak mempunyai

dokumen pengakuan kepemilikan atas hutan tersebut.111

110

Ibid, hlm.106. 111

Ibid, hlm.106.