BAB III PEMBAHASAN (pe rdagangan pengaruh),repository.untag-sby.ac.id/1591/10/bab 3.pdfumum dapat...

48
27 BAB III PEMBAHASAN 1. Pengaruh Konvensi Internasional dalam Sistem Hukum Nasional Sebelum membahas mengenai Trading in Influence (perdagangan pengaruh), penulis akan menguraikan terlebih dahulu konsekuensi dari hukum konvensi internasional dalam hal ini UNCAC ke dalam sistem hukum nasional. a. Prinsip dalam konvensi internasional Setiap negara memiliki kebutuhan yang tidak seluruhnya mampu dipenuhi oleh sumber daya (baik sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun modal) dalam negerinya sendiri. Oleh karena itu, negara dalam hal memenuhi kebutuhannya pasti memiliki hubungan dengan negara lain. Selain hubungan yang dilatar belakangi oleh kebutuhan sumber daya manusia, sumber daya alam maupun modal, hubungan antar negara juga dapat terjalin karena hal lain seperti faktor sosial, keamanan, hukum, politik dan sebagainya. Dengan demikian, pada dasarnya setiap negara saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Tentu dalam hubungan antar negara itu memiliki tujuan dan tujuan tersebut tidak akan tercapai dengan sendirinya, sehingga diperlukan sebuah instrumen yang mengatur sedemikian rupa agar hubungan antar negara dapat berjalan dengan baik, tidak merugikan satu sama lain dan tentunya hubungan tersebut bisa mencapai apa yang menjadi tujuan dari setiap negara 25 . 25 Yudha Bhakti Ardiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Karangan, Alumni Bandung, 2003, h. 105.

Transcript of BAB III PEMBAHASAN (pe rdagangan pengaruh),repository.untag-sby.ac.id/1591/10/bab 3.pdfumum dapat...

27

BAB III

PEMBAHASAN

1. Pengaruh Konvensi Internasional dalam Sistem Hukum Nasional

Sebelum membahas mengenai Trading in Influence (perdagangan pengaruh),

penulis akan menguraikan terlebih dahulu konsekuensi dari hukum konvensi

internasional dalam hal ini UNCAC ke dalam sistem hukum nasional.

a. Prinsip dalam konvensi internasional

Setiap negara memiliki kebutuhan yang tidak seluruhnya mampu dipenuhi

oleh sumber daya (baik sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun modal)

dalam negerinya sendiri. Oleh karena itu, negara dalam hal memenuhi

kebutuhannya pasti memiliki hubungan dengan negara lain. Selain hubungan yang

dilatar belakangi oleh kebutuhan sumber daya manusia, sumber daya alam

maupun modal, hubungan antar negara juga dapat terjalin karena hal lain seperti

faktor sosial, keamanan, hukum, politik dan sebagainya.

Dengan demikian, pada dasarnya setiap negara saling membutuhkan antara

satu dengan yang lainnya. Tentu dalam hubungan antar negara itu memiliki tujuan

dan tujuan tersebut tidak akan tercapai dengan sendirinya, sehingga diperlukan

sebuah instrumen yang mengatur sedemikian rupa agar hubungan antar negara

dapat berjalan dengan baik, tidak merugikan satu sama lain dan tentunya

hubungan tersebut bisa mencapai apa yang menjadi tujuan dari setiap negara25.

25Yudha Bhakti Ardiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Karangan, AlumniBandung, 2003, h. 105.

28

Salah satu bentuk perwujudan dalam menjaga hubungan kerja sama tersebut

adalah dengan cara dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dalam hukum publik,

perjanjian disini menunjuk kepada perjanjian internasional. Saat ini, pada

masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan penting

dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian internasioanl

pada hakikatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk

mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya.

Melalui perjanjian internasional, setiap negara menggariskan dasar kerja sama

mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi

kelangsungan hidup masyarakat pada negara itu sendiri. Dalam dunia yang

ditandai saling ketergantungan, dewasa ini tidak ada negara yang tidak memiliki

perjanjian dengan negara lain dan tidak ada negara yang tidak diatur oleh

perjanjian dalam kehidupan internasionalnya. “Persetujuan bersama yang

dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional

untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internaional

lainnya”26.

26Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era DinamikaGlobal, Edisi ke-2, Alumni, Bandung, 2005, h. 82.

28

27

Perjanjian merupakan perbuatan hukum maka perjanjian internasional

tersebut akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian. Dengan demikian, secara

umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional bahwa

perjanjian internasional dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya

diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang

menjadi pihak-pihak yang berkaitan.

Ada bentuk dan istilah-istilah dalam perjanjian internasional seperti Traktat,

Agreement, Charter (piagam), Konvensi, Protocol, Declaration, Final Act,

Agreed Minutes dan Summary Records, Memorandum of Understanding (MoU),

Arrangement, Statuta, Mutual Legal Assistance. Bentuk dan istilah perjanjian

internasional yang dibahas oleh penulis adalah Konvensi UNCAC yaitu

perjanjian yang bersifat multilateral termasuk pula perjanjian yang dibuat oleh

lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada dibawah Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) maupun yang berdiri sendiri.

Istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang

beranggotakan banyak negara (sebagai negara pihak). Konvensi ini pada

umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk

berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat law-making artinya adalah

merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.

b. Konsekuensi peratifikasian konvensi internasional

Konsekuensi dari peratifikasian suatu perjanjian internasional oleh suatu

objek hukum internasional sebagai pihak dalam perjanjian internasional tersebut

adalah subjek hukum internasional wajib melaksanakan segala sesuatu yang

29

tertuang dalam perjanjian internasional demi tercapai maksud dan tujuan yang

ingin dicapai dalam perjanjian internasional tersebut. “Kecuali dalam

peratifikasian, subjek hukum internasional tersebut mengajukan syarat atas

ketentuan tertentu dalam suatu perjanjian internasional”27.

27Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, h.121.

30

Suatu negara yang bersedia meratifkasi suatu perjanjian internasional, berarti

negara tersebut bersedia untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional itu

dan tunduk pada isi atau hak dan kewajiban yang terkandung didalam perjanjian

internasional. Di samping itu, perlu disadari bahwa dengan pengikatan diri

tersebut, berarti negara yang bersangkutan telah menerima perjanjian internasional

itu sebagai bagian dari hukum nasionalnya.

Dengan demikian, pengikatan diri pada perjanjian internasional mengandung

dua segi, yaitu segi ekstern yang berarti bahwa negara yang bersangkutan

menerima perjanjian internasional tersebut sebagai hukum internasional yang

melahirkan hak-hak dan kewajiban internasonal dan “segi intern, yaitu perjanjian

internasional tersebut diterima atau menjelma menajadi hukum nasionalnya yang

juga melahirkan hak-hak dan kewajiban bagi negara itu sendiri maupun bagi

rakyatnya”28.

2. Perbandingan Trading in Influence di Negara Lain

Trading in Influence (perdagangan pengaruh) di beberapa negara dunia sudah

diatur seperti di negara Perancis dan Spanyol, untuk lebih lengkapnya penulis

akan menjelaskan dibawah ini.

a. Pengaturan trading in influence di Perancis

In France, comparable to the provisions of passive and active bribery, theNouveau Code Penal (NCP) of 1994 stipulates offences of passive and activetrading in influence (trafic d’influence). Two forms of trading in influence areto be differentiated: in the first case, the influence peddler holds a publicoffice, in the second case both he and the client are private persons.Systematically, these two forms are separated stringently. Unlike the offence ofbribery, the status of the person who uses his or her influence to trade

28Ibid.,

31

advantages is of little consequence, although the status of the influence peddlerhas an impact on the severity of the punishment. Until 2007, the authoritiesupon which influence is illegally exerted (public authority or other body placedunder the supervision of the public authorities) were understood as the Frenchlegislative, administrative and judicial authorities. By introducing articles 435-2 and 435-4, the French legislator extended the scope of the offence of tradingin influence to the offer or acceptance to influence a public official or a personholding an electoral mandate of an international organisation (EU, UN,NATO, etc). By this enlargement of the circle of persons upon which influencecan be exerted illegally, the French legislator partly fulfilled its obligationsunder UNCAC and the CoE Convention. The French parliament decided not toextend the scope of the offence to public officials and elected persons of aforeign country because trading in influence is not punishable in most of thecountries with which France has strong economic ties29.

Terjemahan bebas:

Di perancis, “perdagangan pengaruh” telah diatur dalam Nouveau Code Penal(KUHP yang ada di perancis) pada tahun 1994. Pasal 435-4 KUHP Perancismengatur Trading In Influence, baik pasif maupun aktif (trafic d’influence).Bentuk perdagangan pengaruh dalam KUHP Perancis dibagi menjadi dua.Dalam bentuk yang pertama, diatur perdagangan pengaruh oleh pejabat publikSedangkan bentuk kedua pelaku dan klien adalah perorangan. Kedua bentuk inimerupakan dua hal yang berbeda. Lain halnya dengan pelanggaran penyuapan,status orang yang menggunakan pengaruhnya untuk perdagangan keuntunganmempunyai konsekuensi yang lebih kecil, meskipun status si “penjual”pengaruh mendapatkan hukuman berat. Sampai tahun 2007, pihak berwenangyang memberikan pengaruh secara ilegal (otoritas publik atau badan lainnyayang ditempatkan di bawah pengawasan otoritas publik) dalam hukumPerancis dipahami sebagai otoritas legislatif dan administratif. Dengan adanyapasal 435-2 dan 435-4, legislator perancis memperluas ruang lingkup tindakpidana perdagangan pengaruh terhadap tawaran atau penerimaan untukmempengaruhi pejabat publik atau orang yang menjabat di organisasiinternasional (Uni Eropa, PBB, NATO, dan lain-lain). Dengan perluasan darilingkaran orang-orang ini, dimana pengaruh dapat diberikan secara ilegal,dalam rangka memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi UNCAC danCoE, Parlemen Perancis memutuskan untuk tidak memperluas lingkuppelanggaran kepada pejabat publik dan orang-orang tertentu (baca: pejabat)dari luar negeri karena perdagangan pengaruhnya tidak dapat dihukum disebagian besar negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi denganPerancis.

29Julia Philipp, The Criminalisation of Trading in Influence in International Anti CorruptionLaws, Faculty of Law, University of the Western Cape, South Africa, October 2009. h. 32-33.

32

b. Pengaturan trading in influence di Spanyol

The Spanish Criminal Code provides three different versions of trading ininfluence in articles 428 to 430 of the sixth chapter of the ninth title under theheading ‘del tráfico de influencias’. Today, articles 428 to 430 complement theoffences of active and passive bribery but differ from them in one importantaspect: they refer only to passive trading in influence; the active form is notcriminalised as an autonomous offence under the Spanish Criminal Code.Passive trading in influence is subdivided into two main categories: articles428 and 429 refer to the exertion of improper influence by an influence peddlerwho is a public official and a by private individual respectively. Article 430deals with the situation where a benefit is requested or accepted by a publicofficial or a private person in order to exert his or her influence.30

Terjemahan bebas:

KUHP di Spanyol menyediakan tiga versi yang berbeda dari perdaganganpengaruh di Pasal 428-430 KUHP Bab ke Enam (6) dari Ayat ke Sembilan (9),dengan judul 'del tráfico de influencias. Pasal 428-430 KUHP Spanyol,mencakup pelanggaran penyuapan aktif dan pasif. Meskipun demikian, pasal-pasal tersebut berbeda dalam satu aspek penting: pasal-pasal tersebut hanyamengacu pada perdagangan pengaruh pasif; bentuk aktif tidak dikriminalisasisebagai pelanggaran otonom menurut KUHP Spanyol. Perdagangan pengaruhpasif dibagi menjadi dua kategori utama: Pasal 428 dan Pasal 429 merujukpada penggunaan pengaruh yang tidak tepat oleh pengaruh penjual yangmerupakan pejabat publik dan oleh masing-masing perorangan. Pasal 430berkaitan dengan situasi di mana manfaat yang diminta atau diterima olehpejabat publik atau perorangan dalam rangka untuk memperluas ataumempertahankan pengaruhnya.

Tabel 3.1 Perbandingan Trading in Influence di Perancis dan Spanyol

Perancis Spanyol

Pelaku bisa dijerat perdaganganpengaruh baik secara aktifmaupun pasif

Menjerat pejabat-pejabat publikdan pihak swasta

Hanya menjerat perdaganganpengaruh secara pasif saja.

Menjerat pejabat publik dan pihakswasta

30Ibid, h. 37-38.

33

3. Pengaturan Trading in Influence di Indonesia

Penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai bentuk tindak pidana

korupsi yang secara umum terjadi di Indonesia. Rumusan tindak pidana korupsi

yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Tindak Pidana Korupsi. Rumusan tersebut mempunyai unsur-unsur

tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sistem pemidanaan tertentu

pula. Pada pembahasan ini penulis menjelaskan satu per satu dengan mengikuti

sistematika Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

a. Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain,

atau suatu korporasi

Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu

korporasi dirumuskan dalam Pasal 2 yang rumusan lengkapnya adalah sebagai

berikut.

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan denganmemperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapatmerugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana denganpidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

34

Dalam Pasal 2 ini ada dua bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana

dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2). Apabila rumusan tindak pidana korupsi

pada ayat (1) itu dirinci, maka terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:

- Memperkaya diri sendiri

- Memperkaya orang lain

- Memperkaya suatu korporasi

- Dengan cara melawan hukum

- Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Memperkaya diri sendiri, artinya diri si pelaku sendirilah yang memperoleh

atau bertambah kekayaannya secara tidak sah. Sedangkan memperkaya orang lain

adalah sebaliknya, orang yang kekayaannya bertambah atau memperoleh

kekayaannya adalah orang lain selain si pelaku. Demikian juga halnya dengan

memperkaya suatu korporasi, bukan si pelaku yang memperoleh atau bertambah

kekayaannya oleh perbuatannya tetapi suatu korporasi. Walaupun si pelaku tidak

memperoleh atau bertambah kekayaannya, tetapi beban tanggung jawab

pidananya disamakan dengan dirinya mendapat kekayaan tersebut secara pribadi.

Berikutnya adalah memperkaya dengan melawan hukum, yakni jika si pelaku

dalam mewujudkan perbuatan memperkaya adalah tercela, dia tidak berhak untuk

melakukan perbuatan dalam rangka memperoleh atau menambah kekayaannya,

maka perbuatan tersebut dianggap tercela. Setiap subjek hukum mempunyai hak

untuk memperoleh atau menambahkan kekayaannya, tetapi harus dengan

perbuatan hukum atau perbuatan yang dibenarkan oleh hukum.

35

Selanjutnya adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara yang mana bukanlah menjadi syarat mutlak untuk terjadinya tindak pidana

korupsi Pasal 2 secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul

dari perbuatan memperkaya diri sendiri dengan melawan hukum tersebut.

Ukurannya dapat menimbulkan kerugian yang didasarkan pada pengalaman

dan logika/akal orang pada umumnya dengan memperhatikan berbagai aspek

sekitar perbuatan yang dikategorikan memperkaya diri tersebut. Oleh karena

kerugian ini tidak perlu timbul, maka cukup menurut akal orang pada umumnya

bahwa dari suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa merinci

dan menyebut adanya bentuk dan jumlah kerugian negara tertentu sebagaimana

pada tindak pidana materiil. Untuk membuktikan bahwa hal itu dapat merugikan

keuangan negara, semua bergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisis

dan menilai aspek-aspek yang menyertai atau ada disekitar perbuatan dalam

rangkaian peristiwa yang terjadi.

Tindak pidana korupsi memperkaya diri sendiri yang kedua diatur dalam ayat

(2) Pasal 2 yang unsur-unsurnya yakni semua unsur yang ada didalam ayat 1

ditambah unsur yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini

berupa unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana, karena jika unsur ini

terpenuhi maka hakim diperbolehkan untuk menjatuhkan pidana mati kepada si

pelakunya.

Maksud “dalam keadaan tertentu” telah diberikan pada penjelasan mengenai

ayat (2) Pasal 2 yang bersangkutan, yang disebutkan secara limitative ialah

apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan

36

bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya

bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu

negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Oleh karena keadaan-keadaan tertentu dijadikan alasan memperberat pidana

ini telah disebutkan secara limitative, maka tidak diperkenankan hakim

menjatuhkan pidana yang diperberat dengan alasan selain yang telah disebutkan.

b. Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan, sarana jabatan atau kedudukan

Tindak pidana tersebut dimuat dalam Pasal 3 yang rumusannya adalah

sebagai berikut.

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lainatau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saranayang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikankeuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumurhidup atau dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama20 tahun atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Apabila dirinci, rumusan tersebut mengandung unsur sebagai berikut:

Unsur objektif

- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana

- karena jabatan dan kedudukan

- merugikan keuangan dan perekonomian negara

Unsur subjektifnya adalah dengan tujuan menguntungkan diri sendiri,

menguntungkan orang lain dan menguntungkan suatu korporasi.

Menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang

dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi

37

dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang bertentangan dengan hukum

atau kebiasaan.

Perbuatan menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan

yaitu orang yang karena memiliki jabatan atau kedudukan, yang karena jabatan

atau kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu sebaik-baiknya untuk

melakukan perbuatan-perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya

itu. Apabila peluang yang ada ini dia gunakan untuk melakukan perbuatan lain

yang tidak seharusnya dia lakukan dan justru bertentangan dengan tugas

pekerjaannya dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya, maka disini telah

terdapat menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.

Perbuatan menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan yaitu

orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki sarana atau alat yang

digunakannya untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada

pada dirinya karena kedudukan atau jabatan itu semata-mata digunakan untuk

melaksanakan pekerjaan yang menjadi tugas dan kewajibannya, tidak digunakan

untuk perbuatan lain diluar tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau

kedudukannya. Perbuatan yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau

kedudukan, terjadi apabila seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya

karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan yang

berhubungan dengan tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya.

c. Tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan

sesuatu

38

Tindak pidana korupsi suap dirumuskan dalam Pasal 5 yang dirumuskan

selengkapnya sebagai berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan palinglama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setiap orang yang;

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri ataupenyelenggara negara dengan masksud supaya pegawai negeri ataupenyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalamjabatanya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negarakarena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengankewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dimaksud menerimapemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atauhuruf b dipidana dipidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).

Rumusan Pasal 5 tersebut memuat 3 bentuk tindak pidana korupsi suap, yakni

dua pada ayat (1) dan satu pada ayat (2)

Unsur-unsurnya adalah:

Tindak pidana suap yang pertama dirumuskan pada ayat (1) huruf a terdapat

unsur objektif yang pertama yaitu perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu.

Maksudnya disini adalah sesuatu tersebut tidak harus berupa benda berwujud,

akan tetapi boleh segala sesuatu yang tidak berwujud misalnya fasilitas bahkan

jasa, yang penting sesuatu itu bernilai atau berharga (terutama dari segi ekonomi)

atau segala sesuatu yang menyenangkan bagi penerima. Logikannya ialah dengan

segala sesuatu yang bernilai dan berguna atau menyenangkan si penerima itulah

yang dapat memenuhi apa yang dituju oleh si pelaku, yakni pegawai negeri yang

menerima pemberian yakni berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang

disadarinya bertentangan dengan kewajiban jabatannya.

39

Unsur objektif yang kedua yaitu adanya objek (sesuatu). Telah diterangkan

bahwa sesuatu itu adalah segala sesuatu benda maupun bukan benda yang

mempunyai nilai, harga, kegunaan yang menyenangkan si pegawai negeri

penerima suap.

Unsur objektif yang ketiga adalah adanya pegawai negeri yang telah disuap

atau menerima suap. Dan unsur subjektifnya adalah dengan maksud supaya

pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, itu merupakan

unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet als oogmerk) dalam tindak

pidana korupsi memberikan sesuatu pada pegawai negeri (Pasal 5 ayat (1) huruf

a).

Kesengajaan sebagai maksud atau kesengajaan dalam arti sempit adalah sikap

batin si pembuat yang harus telah terbentuk sebelum mewujudkan perbuatan

memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri.

Maksudnya, yakni apa yang menjadi tujuan terdekat dan bukanlah merupakan

tujuan jauh yang berhubungan dengan motif perbuatan.

Tujuan terdekat dari si pembuat harus diarahkan pada dua hal, yakni:

- Agar pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat sesuatu

dalam jabatanhya yang bertentangan dengan kewajibannya.

- Agar pegawai negeri atau penyelenggara negara yang diberi sesuatu atau

dijanjikan sesuatu oleh si pelaku tidak berbuat sesuatu dalam jabatanya

yang bertentangan dengan kewajibannya.

40

Tindak pidana suap yang kedua ini dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b

yang terdiri atas unsur-unsur:

a. perbuatannya memberi (sesuatu)

b. objeknya sesuatu

c. kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

d. karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Perbedaannya yang mencolok yakni pada bentuk yang kedua tidak

dicantumkan unsur kesalahan seperti pada bentuk pertama. Oleh karena pada

bentuk kedua ini tidak dicantumkan unsur kesalahan sebagai maksud seperti

bentuk pertama, maka untuk terwujudnya tindak pidana korupsi bentuk kedua

tidak diperlukan gambaran batin si pelaku yang ditujukan terhadap pemberian

sesuatunya dan kedudukan dari orang yang disuapnya.

Dalam kejahatan ini yang penting bahwa orang yang diberi sesuatu atau

dijanjikan sesuatu pada kenyataannya adalah seorang yang berkedudukan/

berkualitas sebagai pegawai negeri atau seorang penyelenggara negara.

Perbedaan lain yakni pada bentuk pertama tindak pidana sudah bisa terwujud

tanpa diperlukan pegawai negeri itu telah berbuat atau tidak berbuat dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Akan tetapi pada bentuk

yang kedua ini tindak pidana korupsi baru dapat terwujud apabila pegawai negeri

itu telah berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya. Yang penting disini adalah sesuatu yang diberikan kepada

41

pegawai negeri itu harus ada hubungannya dengan berbuat atau tidak berbuatnya

si pegawai negeri yang disuap oleh si pelaku.

Tindak pidana korupsi suap yang ketiga ialah yang dirumuskan dalam ayat

(2) Pasal 5. Jika rumusannya dirinci terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:

- pegawai negeri/penyelenggara negara

- menerima pemberian/menerima janji

- objek sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang dijanjikan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b.

Sebetulnya tindak pidana korupsi suap bentuk ketiga ini tidak lagi masuk

dalam pengertian suap aktif, tetapi masuk dalam jenis suap pasif. Dimuatnya

rumusan tersebut dalam ayat (2) ini semata-mata didasarkan pada prinsip utilitas

dan efisiensi dalam perumusan tindak pidana. Terjadinya tindak pidana korupsi

suap bentuk ketiga ini, bergantung pada terjadinya tindak pidana korupsi suap

bentuk pertama dan kedua. Tidak mungkin bentuk ketiga berdiri sendiri lepas dari

bentuk pertama dan kedua.

d. Korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang

berhubungan dengan kewenangan jabatan

Tindak pidana pegawai negeri menerima suap yang dimaksudkan

ditempatkan di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang rumusan selengkapnya sebagai

berikut.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun paling lama 5(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluhjuta rupiah) pegawai negeri atau penylenggara negara yang menerima hadiah

42

atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebutdiberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan denganjabatnnya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janjitersebut ada hubunganya dengan jabatannya.

Rumusan korupsi pegawai negeri menerima suap pasal diatas jika dirinci

terdapat unsur-unsur sebagai berikut.

Unsur objektifnya adalah pegawai negeri/penyelenggara negara yang

menerima hadiah/menerima janji sedangkan unsur subjektifnya adalah

diketahuinya dan patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena

kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut

pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubunganya dengan

jabatannya.

e. Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi

Tindak pidana suap menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12

B dirumuskan sebagai berikut.

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negaradianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya danyang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya dengan ketentuan:

a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebihpembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suapdilakukan oleh penerima gratifikasi.

b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntutumum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidanapenjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus jutarupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

43

Dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) yang dimaksud gratifikasi dalam ayat

ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang,

komisi, tiket perjalanan, fasilitas penginapan dan lainya. Gratifikasi tersebut baik

yang di terima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang di lakukan

menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan terang dan hal ini

menjamin kepastian hukum. Dari penjelasan menegani Pasal 12 B ayat (1) dapat

ditarik inti penting yaitu sebagai berikut.

- Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini adalah sama dengan pengertian

suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa

penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri dari

atas benda, jasa , fasilitas dan sebagainya.

- Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap

aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan mempertanggung-

jawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pemberi suap gratifikasi

menurut pasal 12 B ini.

f. Korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan

jabatan

Tindak pidana korupsi yang dimaksudkan diatas dirumuskan dalam Pasal

13 sebagai berikut.

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri denganmengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan ataukedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat padajabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus limapuluh juta rupiah).

44

Apabila rumusan diatas dirinci, maka terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut.

- Memberi hadiah atau memberi janji

- Objeknya adalah hadiah atau janji

- Pada pegawai negeri

- Dengan mengingat kekuasaan atau kedudukannya, atau oleh pemberi

hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas penulis berpendapat

bahwa delik mengenai Trading in Influence (perdagangan pengaruh) tidak diatur

dalam rumusan delik undang-undang tindak pidana korupsi. Namun jika mengacu

pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) pada Bab III, sebenarnya

Indonesia memiliki “dasar hukum” untuk menjerat tindak pidana Trading in

Influence. Selengkapnya Bab III menjelaskan:

Kriminalitas dan Penegakan Hukum, memuat Penyuapan Pejabat-pejabatPublik Nasional, Penyuapan Pejabat-pejabat Publik Asing dan Pejabat-pejabatOrganisasi-Organisasi Internasional Publik; Penggelapan, Penyalahgunaan atauPenyimpangan lain Kekayaan oleh Pejabat Publik; Perdagangan Pengaruh;Penyalahgunaan Fungsi; Memperkaya Diri Secara Tidak Sah; Penyuapan diSektor Swasta; Penggelapan Kekayaan di Sektor Swasta; Pencucian Hasil-Hasil Kejahatan; Penyembunyian; Penghalangan Jalannya Proses Pengadilan;Tanggung Jawab Badan-badan Hukum; Keikutsertaan dan Percobaan;Pengetahuan, Maksud dan Tujuan Sebagai Unsur Kejahatan; AturanPembatasan Penuntutan dan Pengadilan, dan Saksi-saksi; Pembekuan,Penyitaan dan Perampasan; Perlindungan para Saksi, Ahli dan Korban;Perlindungan bagi Orang-orang yang Melaporkan; Akibat-akibat TindakanKorupsi; Kompensasi atas Kerugian; Badan-badan Berwenang Khusus; KerjaSama dengan Badan-badan Penegak Hukum; Kerja Sama antar Badan-badanBerwenang Nasional; Kerja Sama antara Badan-badan Berwenang Nasionaldan Sektor Swasta; Kerahasiaan Bank; Catatan Kejahatan; dan Yurisdiksi.

45

Pada bab III terdapat frasa mengenai perdagangan pengaruh (Trading in

Influence). Klausul tersebut mengacu pada ketentuan UNCAC Pasal 18 yang

diterjemahkan kedalam bahasa indonesia yaitu sebagai berikut:

Setiap Negara Pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap perlu untuk menetapkankejahatan pidana, apabila dilakukan dengan sengaja:

a. Janji, penawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lainsiapa pun, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidaksemestinya agar pejabat publik atau orang tersebut menyalahgunakanpengaruhnya yang nyata atau yang dianggap ada dengan maksudmemperoleh dari pejabat publik suatu manfaat yang tidak semestinyauntuk kepentingan penghasut yang sebenarnya dari tindakan tersebut atauuntuk orang lain siapa pun;

b. Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau orang lain siapa pun,secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untukdirinya atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang tersebutmenyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau dianggap ada denganmaksud memperoleh dari pejabat publik, suatu manfaat yang tidaksemestinya.

Dari ketentuan tersebut diatas, penulis menemukan elemen-elemen penting

dari Trading in Influence yaitu:

a. “Setiap negara pihak dapat mempertimbangkan” Frasa tersebut

menunjukan bahwa tindakan yang dianggap Trading in Influence tidak

wajib. Penulis berpendapat bahwa arti dari tidak wajib disini

adalah tidak adanya kesepakatan di antara negara pihak untuk

mengkriminalisasi tindakan tersebut sebagai bagian dari tindak pidana

korupsi. Pilihan untuk mengadopsi atau tidak diserahkan kembali kepada

masing-masing negara yang meratifikasi konvensi tersebut.

b. Didalam ketentuan UNCAC mengenai Trading in Influence terdapat kata

...dengan maksud... ini merupakan bentuk kesengajaan, makna

46

kesengajaan sebagai maksud atau sebagai tujuan atau Opzet Als Oogmerk,

yaitu bahwa pelaku memang berkehendak atau bertujuan atau bermaksud

dan berkeinginan untuk melakukan tindak pidana.

c. Adanya kata-kata ...yang nyata atau yang dianggap ada... Artinya, untuk

membuktikan adanya penyalahgunaan pengaruh, tidak mesti ada

penyalahgunaan pengaruh secara nyata, tetapi cukup berdasarkan suatu

anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah penyalahgunaan pengaruh.

d. Penulis berpendapat untuk membuktikan corak kesengajaan sebagai

maksud seperti yang terdapat dalam pasal 18 UNCAC tersebut, didalam

hukum pidana bisa menggunakan teori kesengajaan yang diobjektifkan,

artinya penentuan tentang kesengajaan si pembuat adalah dengan melihat

bagaimana sikap batinnya terhadap perbuatan ataupun akibat

perbuatannya. Dengan teori tersebut diharapkan dapat menetapkan

kesengajaan si pembuat. Dalam kenyataannya penulis menilai tidaklah

mudah bagi hakim untuk menentukan bahwa sikap batin yang berupa

kesengajaan itu benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat secara

pasti mengetahui bagaimana batin orang lain, lebih-lebih bagaimana

keadaan batinnya pada waktu orang lain berbuat. Apabila orang ini jujur

menerangkan keadaan batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesulitan.

Jika tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang

tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim harus mengobjektif kan

adanya kesengajaan itu.

47

e. Subjek hukum yang dapat di pidana dari ketentuan pasal 18 tersebut tidak

hanya seorang pejabat publik saja melainkan setiap orang, baik orang

tersebut mempunyai hubungan terhadap pejabat publik maupun tidak.

Dapat dikatakan bahwa ketentuan Trading in Influence tersebut ada

perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang

memperdagangkan pengaruh, artinya perbuatan yang dapat pidana harus

dilakukan dengan jelas, dan secara ratio akal masih bisa diterima.

Menurut Pasal 2 (a) UNCAC, yang disebut sebagai seorang pejabat publikyaitu:

For the purposes of this Convention:

(a) “Public official” shall mean

(i) any person holding a legislative, executive, administrative orjudicial office of a State Party, whether appointed or elected,whether permanent or temporary, whether paid or unpaid,irrespective of that person’s seniority;

(ii) any other person who performs a public function, including for apublic agency or public enterprise, or provides a public service, asdefined in the domestic law of the State Party and as applied in thepertinent area of law of that State Party;

(iii) any other person defined as a “public official” in the domestic lawof a State Party. However, for the purpose of some specific measurescontained in chapter II of this Convention, “public official” maymean any person who performs a public function or provides apublic service as defined in the domestic law of the State Party andas applied in the pertinent area of law of that State Party;

Terjemahan bebasnya:

Dalam Konvensi ini :

(a) “Pejabat publik” adalah:(i) setiap orang yang memegang jabatan legislatif, eksekutif,

administratif, atau yudikatif di suatu Negara Pihak, baik diangkatatau dipilih, baik tetap atau untuk sementara, baik digaji atau tidakdigaji, tanpa memperhatikan senioritas orang itu.

48

(ii) setiap orang yang melaksanakan fungsi publik, termasuk untuksuatu instansi publik atau perusahaan publik, atau memberikanlayanan umum, sebagaimana dimaksud dalam undang-undangnasional Negara Pihak dan sebagaimana berlaku di bidang hukumyang sesuai di Negara Pihak tersebut;

(iii) setiap orang yang dinyatakan sebagai “pejabat publik” dalamundang-undang nasional Negara Pihak. Namun, untuk upaya-upaya

tertentu sebagaimana dimaksud dalam Bab II Konvensi ini,“pejabat publik” dapat berarti setiap orang yang melaksanakanfungsi publik atau menyediakan layanan umum sebagaimanadimaksud dalam undang- undang nasional Negara Pihak dansebagaimana berlaku di bidang hukum yang sesuai di Negara Pihaktersebut;

Untuk dapat dikatakan sebagai pejabat publik adalah setiap orang yang

memegang legislatif, eksekutif, administratif atau kantor pengadilan, baik

diangkat atau dipilih, atau orang lain yang melakukan fungsi publik atau

menyediakan layanan umum. Pasal 18 UNCAC bertujuan untuk mencakup semua

kemungkinan kategori pejabat publik.

f. Adanya istilah Undue advantage (keuntungan yang tidak semestinya).

Artinya manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya (undue

advantage) dalam UNCAC tersebut mencakup lingkup yang luas, mulai

dari insentif yang dijanjikan atau ditawarkan kepada pejabat publik atau

orang lain, sampai segala bentuk yang menempatkan pejabat publik atau

orang lain dalam posisi yang lebih baik (diuntungkan) atas kebijakan-

kebijakan yang diarahkan di sektor publik dengan menyalahi prosedur atau

mekanisme aturan yang ada. Bentuk dari keuntungan yang tidak

semestinya tersebut adalah sesuatu yang nyata atau berharga, seperti uang,

benda berharga, posisi politik, promosi jabatan. Di samping itu,

49

keuntungan tidak semestinya dapat pula tak berwujud fisik, seperti

informasi, kenikmatan seksual, hiburan, dan sebagainya.

4. Bentuk dan Pola Trading in Influence

Perdagangan pengaruh merupakan bentuk trilateral relationship dalam

korupsi. Artinya modus operandi tersebut melibatkan tiga pihak yakni dua pelaku

dari sisi pengambil kebijakan termasuk orang yang menjual pengaruhnya (tidak

mesti harus menjabat sebagai pejabat publik atau penyelenggara negara) dan satu

pelaku yang memberikan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan dari pejabat

publik atau penyelenggara negara.

Terdapat dua pola dalam Trading in Influence:

1. Pola Vertikal Trading in Influence

Gambar 3.1 Pola Vertikal Trading in Influence

- Model Trading in Influence dengan pola vertikal banyak terjadi karenatransaksi politik atau lembaga tertentu dengan orang yang berpengaruh.- Dalam model perdagangan pengaruh vertikal, pihak yang berpengaruh

merupakan pihak yang memiliki kekuasaan/ kewenangan.

PIHAK YANGMEMILIKI

PENGARUH

KLIEN

KEBIJAKAN

50

- Pengaruh yang dimilikinya digunakan untuk memberikan insentif kepadaperorangan atau kelompok tertentu31.

2. Pola Horizontal Trading in Influence

Gambar 3.2 Pola Horizontal Trading in Influence

- Dalam model perdagangan pengaruh horizontal, klien atau pihakberkepentingan bersama calo merupakan dua pihak yang aktif, sementaraotoritas pejabat publik merupakan pihak yang dipengaruhi.- Klien menyerahkan uang kepada pihak berpengaruh yang bukan

penyelenggara negara.- Jika klien langsung menyerahkan uang kepada otoritas pejabat publik, maka

dapat langsung dijerat dengan pasal suap.- Model perdagangan pengaruh horizontal ini banyak terjadi di lingkup partai

politik yang memiliki jaringan kepada kekuasaan eksekutif. Orang-orangyang berada di struktur pemerintah dalam mengambil kebijakan seringdipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama yang berasal dari partai politiknyasendiri32.

31Policy Paper, Kajian Implementasi Aturan Trading in Influence, Indonesia CorruptionWatch, Jakarta, 2014, h. 29.

32Ibid., h. 33-34.

PIHAKBERPENGARUH(MERANGKAP

CALO)

KLIEN / PIHAKBERKEPENTINGAN

OTORITAS PEJABATPUBLIK

51

Tabel 3.2 Perbedaan Trading in Influence dengan Suap

Trading in Influence Tindak Pidana suap

Pengaturan Terdapat dalam Pasal 18(a) dan (b) UNCACyang kemudian telahdiratifkasi berdasarkanUndang-Undang Nomor7 Tahun 2006

Sampai saat ini tidak adapengaturan mengenaipemidanaannya.

Diatur didalam Pasal 5ayat (1) dan (2) , Pasal11 , Pasal 12 (a) dan (b)Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 JoUndang-Undang Nomor20 Tahun 2001 tentangTindak Pidana Korupsi.

Dipidana

Pihak yang Terlibat Dua pelaku dari sisipengambil kebijakantermasuk orang-orangyang telah menjualpengaruhnya (tidakharus pejabat ataupenyelenggara negara)

Satu pelaku yangmemberi sesuatu untukmendapatkankeuntungan dari pejabatpublik penyelenggaranegara.

Penerima suap haruspenyelenggara negarakarena terdapat unsurmenyalahgunaankekuasaan ataukewenangan dalamjabatannya.

Pemberi suap dapatberasal daripenyelenggara negaramaupun pihak swasta

Perbuatan MelawanHukum

Menerima/memintamanfaat yang tidaksemestinya.

Menerima hadiah ataujanji untukmenggerakkanberhubungan denganjabatan bertentangandengan kewajiban.

Subjek Hukum Pelaku dapat berasal daribukan seorangpenyelenggara negara,tetapi pelaku memilikiakses atau kekuasaankepada otoritas publik.Hal ini dapat ditemukanpada frasa “publicofficial or any otherperson” (Pasal 18 Huruf(a) UNCAC)

Penerima janji ataupenerima hadiah mutlakberasal dari pegawainegeri ataupenyelenggara negara.Hal ini bisa dilihat dariketentuan Pasal 2Undang-Undang Nomor28 Tahun 1999 TentangPenyelenggara negara.

52

5. Kasus Trading in Influence di Indonesia

Di indonesia sendiri pengaturan mengenai Trading in Influence secara

spesifik belum ada. Namun modus Trading in Influence bisa dilihat pada kasus

Luthfi Hasan Ishaq kepada Menteri Pertanian Suswono dalam kasus impor daging

sapi. Luthfi Hasan Ishaq merupakan mantan anggota DPR-RI Komisi I yang

menangani bidang Intelejen, Pertahanan dan Luar Negeri.

Duduk perkaranya yaitu, berdasarkan putusan 38/PID.SUS/TPK/2013/

PN.JKT.PST korupsi yang dilakukan oleh Luthfi Hassan Ishaq berbentuk Suap

sebagaimana pasal yang dijatuhkan terhadapnya, yakni Pasal 12 Undang-Undang

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut surat dakwaan, terpidana

yang termasuk dalam anggota DPR Komisi I dan juga sekaligus sebagai Presiden

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), telah menerima uang sejumlah 1 Milyar Rupiah

dari PT. Indoguna Utama yang merupakan salah satu importir sapi terbesar di

Indonesia.

Uang tersebut diberikan sebagai imbalan agar Luthfi Hassan Ishaq selaku

Presiden PKS dapat meminta Suswono (Menteri Pertanian), yang merupakan

bawahannya di Partai PKS, untuk dapat menambah kuota impor daging sapi bagi

PT. Indoguna Utama. Tindakan tersebut menurut hakim-hakim pada Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi sampai tingkat Mahkamah Agung yang memeriksa dan

mengadili perkara Luthfi Hasan Ishaq memandang bahwa tindakan tersebut

masuk kualifikasi suap dan majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi dari

Jaksa Penuntut Umum.

Adapun dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum sebagai sebagai berikut:

53

- Terdakwa Luthfi Hasan Ishaq, selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara

Negara yaitu sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia, baik sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan

perbuatan bersama-sama dengan Achmad Fathanah (dilakukan penuntutan

secara terpisah) menerima hadiah atau janji yaitu menerima hadiah berupa

uang sejumlah Rp 1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dari

Maria Elizabeth Liman selaku Direktur Utama PT Indoguna Utama dari

keseluruhan uang yang dijanjikan sejumlah Rp 40.000.000.000,00 (empat

puluh miliar rupiah). Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau

janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yaitu Terdakwa mengetahui atau patut

menduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan

Terdakwa dengan jabatannya selaku anggota DPR RI dan selaku Presiden

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam mempengaruhi pejabat di

Kementerian Pertanian RI yang dipimpin oleh Suswono selaku Menteri

Pertanian yang juga merupakan anggota Majelis Syuro PKS supaya

menerbitkan surat rekomendasi persetujuan pemasukan atas permohonan

penambahan kuota impor daging sapi sebanyak 10.000 (sepuluh ribu) ton

untuk tahun 2013 yang diajukan oleh PT. Indoguna Utama yang

bertentangan dengan kewajibannya sebagai anggota DPR. Perbuatan

Luthfi Hasan Ishaq merupakan tindak pidana yang diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

54

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

- Perbuatan Luthfi Hasan Ishaq merupakan tindak pidana yang diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP.

- Perbuatan Luthfi Hasan Ishaq merupakan tindak pidana yang diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pada tanggal 27 November 2013, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi

Pemberantasan Korupsi Menuntut:

- Menyatakan Luthfi Hasan Ishaq terbukti bersalah secara sah dan

meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi secara

bersama-sama yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

55

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan Kesatu.

- Menjatuhkan pidana terhadap Luthfi Hasan Ishaq dalam perkara tindak

pidana Korupsi berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan denda

sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidiair 6 (enam)

bulan kurungan.

Pada tanggal 9 Desember 2013, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Mengeluarkan Putusan No. 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST yang amar

putusannya sebagai berikut:

- Menyatakan Terdakwa Luthfi Hasan Ishaq terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan Tindak Pidana

Pencucian Uang Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama.

- Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 16

(enam belas tahun) tahun dan denda sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar

rupiah) apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1

(satu) tahun.

Penasihat hukum Luthfi Hasan Ishaq kemudian mengajukan banding ke

Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta. Setelah melalui proses persidangan, tanggal 16

April 2014, Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta mengeluarkan putusan

No.14/TPK/2014/PT.DKI yang amar putusannya sebagai berikut:

56

- Menyatakan Luthfi Hasan Ishaq terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian

Uang yang dilakukan secara bersama-sama.

- Menjatuhkan pidana terhadap Luthfi Hasan Ishaq berupa pidana penjara

selama 16 (enam belas) tahun dan denda sebesar Rp 1.000.000.000 (satu

miliar rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan

pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Tidak berhenti pada tingkat banding saja, kemudian Jaksa Penuntut Umum

pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Luthfi Hasan Ishaq mengajukan Kasasi

terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Sehingga pada akhirnya turun

putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi No. 1195 K/Pid.Sus/2014

sebagai berikut:

- Menyatakan Luthfi Hasan Ishaq terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan pencucian uang yang

dilakukan secara bersama-sama.

- Menghukum Luthi Hasan Ishaq dengan pidana penjara selama 18 (delapan

belas) tahun dan denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

- Menetapkan mencabut hak Luthfi Hasan Ishaq untuk dipilih dalam jabatan

publik.

Dari penjelasan diatas penulis menganalisis tindakan Trading in Influence

yang dilakukan oleh Luthfi Hasan Ishaq sebagai berikut:

57

Berdasarkan surat dakwaan yang dikemukakan oleh Jaksa penuntut umum

diatas terdapat frasa “mempengaruhi”. Penulis berpendapat bahwa frasa

mempengaruhi tersebut masuk dalam ruang lingkup Trading In Influence yang

mempunyai hubungan dengan Tindak Pidana Korupsi, karena erat kaitannya

antara perdagangan pengaruh dengan kekuasaan yang ada dalam tindak pidana

korupsi. Trading in Influence ini mencakup dari pemegang kebijakan dan karena

kekuasaannya bisa melakukan tindak pidana korupsi. Tidak hanya oleh pemegang

kekuasaan tetapi pihak swasta atau perorangan bisa melakukan perdagangan

pengaruh karena kedekatannya dengan penguasa.

Hal ini didasari bahwa hubungan antara sifat Trading In Influence dengan

tindak pidana korupsi saling interdependensi. Artinya adalah terjadi hubungan

yang menimbulkan ketergantungan antara sifat dari korupsi yang menjelma pada

sifat Trading in Influence.

Lebih jelasnya, menurut penulis Trading In Influence adalah suatu pemicu

yang dapat menyebabkan adanya tindak pidana korupsi. Titik utama dari Trading

in Influence adalah nilai pengaruh. Seharusnya pusat permasalahan yang

memberikan titik celah adanya penyalahgunaan didasari oleh pengaruh, perlu

diberikan penekanan/perhatian yang lebih besar. Dan Trading in Influence ini

menurut pandangan penulis merupakan kejahatan terhadap kepentingan publik

(Crimes against public interest) Karakteristik kejahatan terhadap kepentingan

publik secara spesifik dapat dilihat dari sifat dan pelaku tindak kejahatannya. Dari

sisi sifat kejahatannya, daya rusak kejahatan terhadap kepentingan publik

biasanya memiliki efek yang luas dan besar. Aspek ini mencakup segi kualitas

58

kejahatannya yang menggunakan modus operandi yang kompleks maupun dengan

memanfaatkan kelemahan-kelemahan otoritas hukum, politik, ekonomi, dan

profesi. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan ini secara garis besar

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kerugian yang sifatnya individual maupun

yang bersifat masif dan kejahatan yang mengakibatkan kerugian negara.

Sementara itu dari aspek pelakunya, kejahatan terhadap kepentingan publik

dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik,

ekonomi serta akses terhadap teknologi atau pengetahuan tertentu. Tindak pidana

yang berhimpitan dengan kekuasaan politik biasanya dilakukan oleh pejabat-

pejabat publik (crimes commited by public officers). Kejahatan yang berhubungan

dengan kekuasaan dan motif ekonomi biasanya dilakukan oleh korporasi maupun

oleh individu yang memiliki akses khusus serta terbatas.

Fakta hukum yang terjadi mengenai kasus Luthfi Hasan Ishaq menurut

penulis mempunyai kesesuaian dengan Trading in Influence dengan Pola

Horizontal, seperti gambar berikut ini:

LUTHFI HASANISHAQ

Pihak Berpengaruhdan orang

kepercayaannya:

AHMADFATHANAH

Klien / Pihak Berkepentingan

MARIA ELIZABETH LIMAN

SUSWONOMenteri Pertanian

Otoritas Pejabat Publik

59

Gambar 3.3 Pola Horizontal Trading in Influence Luthfi Hasan Ishaq

Maria Elizabeth Liman selaku Direktur Utama PT. Indoguna Utama

mendekati ketua umum partai politik (PKS) yaitu Luthfi Hasan Ishaq untuk

memperoleh sebuah surat rekomendasi persetujuan pemasukan atas permohonan

penambahan kuota impor daging sapi sebanyak 10.000 (sepuluh ribu) ton untuk

tahun 2013 yang diajukan oleh PT. Indoguna Utama. Pendekatan ini dimaksudkan

agar Luthfi Hasan Ishaq mempengaruhi Menteri Pertanian Suswono yang satu

partai dengannya. Maria Elizabeth Liman memberikan janji kepada Ahmad

Fatanah, orang kepercayaan Luthfi Hasan Ishaq berupa uang senilai Rp

40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah) dari nilai proyek jika PT.

Indoguna Utama dimenangkan dalam pengadaan stok daging di Kementerian

Pertanian.

Menelaah modus operandi diatas, penulis berpendapat bahwa perbuatan yang

dilakukan oleh Luthfi Hasan Ishaq merupakan Trading in Influence secara pasif

sesuai dengan unsur yang ada dalam Pasal 18 (b) UNCAC. Hal ini dapat

dibuktikan dengan:

1. Dilakukan oleh pejabat publik

Luthfi Hasan Ishaq merupakan anggota DPR RI periode tahun 2009 sampai

dengan tahun 2014 dari Fraksi PKS yang diangkat berdasarkan Surat

Keputusan Presiden RI Nomor : 70/P Tahun 2009 tanggal 15 September

2009 dan ditugaskan di Komisi I sesuai dengan Surat Keputusan DPR RI

Nomor: 32/DPR RI/I/2009-2010 tanggal 19 Oktober 2009, selain itu

60

Terdakwa adalah Presiden PKS periode tahun 2010 sampai dengan tahun

2014.

2. Perbuatan dilakukan dengan sengaja

Perbuatan Luthfi Hasan Ishaq dengan sengaja mempengaruhi bisa dilihat

dari fakta-fakta persidangan yaitu:

- Luthfi Hasan Ishaq menyampaikan permintaan Maria Elizabeth Liman

kepada Suswono, yang mana Suswono menyatakan kesediaannya untuk

bertemu Maria Elizabeth Liman dan menyepakati pertemuan dilakukan

pada tanggal 11 Januari 2013 di Medan. Kemudian Luthfi Hasan Ishaq

mengajak Soewarso selaku orang kepercayaan Suswono untuk mengikuti

pertemuan di Medan agar dapat membantu Luthfi Hasan Ishaq

mewujudkan rencana pertemuan Suswono dengan Maria Elizabeth

Liman, selanjutnya Luthfi Hasan Ishaq memberitahukan Ahmad

Fathanah tentang rencana pertemuan di Medan tersebut dan meminta

agar memberitahukannya kepada Maria Elizabeth Liman.

- Luthfi Hasan Ishaq bersama Ahmad Fathanah, Soewarso, Maria

Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat, pada tanggal 10 Januari

2013 berangkat ke Medan dengan menggunakan pesawat yang sama dan

sesampainya di Medan Luthfi Hasan Ishaq langsung melakukan kegiatan

temu tokoh. Sedangkan Ahmad Fathanah, Soewarso, Maria Elizabeth

Liman dan Elda Devianne Adiningrat menuju penginapan di Hotel

Aryaduta Medan. Selanjutnya Maria Elizabeth Liman menyerahkan data

yang telah disiapkan PT. Indoguna Utama kepada Soewarso di Restoran

61

Hotel Aryaduta Medan dengan permintaan agar disampaikan kepada

Suswono.

- Bahwa data yang diserahkan Maria Elizabeth Liman tersebut dibawa oleh

Soewarso ke Hotel Santika tempat ia dan Suswono menginap, kemudian

pada malam itu juga Soewarso menyerahkan data tersebut kepada

Suswono, selanjutnya Suswono memerintahkan Soewarso menghubungi

Maria Elizabeth Liman agar menemui Suswono di Hotel Santika Medan

pada tanggal 11 Januari 2013 sekitar pukul 06.00. Atas permintaan

Luthfi Hasan Ishaq pertemuan tersebut dilaksanakan di tempat Luthfi

Hasan Ishaq menginap yaitu di kamar 9006 Hotel Aryaduta Medan.

- Pada tanggal 11 Januari 2013 sekira pukul 06.00 Wib bertempat di kamar

9006 Hotel Aryaduta Medan, Luthfi Hasan Ishaq bersama Maria

Elizabeth Liman dan Ahmad Fathanah melakukan pertemuan dengan

Suswono yang didampingi oleh Soewarso, dalam pertemuan tersebut

Luthfi Hasan Ishaq memperkenalkan Maria Elizabeth Liman kepada

Suswono dan kemudian Maria Elizabeth Liman memaparkan data

tentang krisis daging sapi yang menyebabkan harga daging sapi menjadi

tinggi sehingga diperlukan penambahan kuota impor daging sapi tahun

2013 serta menginformasikan adanya praktek jual-beli Surat Persetujuan

Impor (SPI) daging sapi oleh beberapa perusahaan. Pemaparan Maria

Elizabeth Liman tersebut ditanggapi Suswono dengan menyatakan bahwa

data tersebut tidak valid sehingga Suswono meminta Maria Elizabeth

Liman melakukan uji publik terlebih dahulu untuk mendukung

62

keabsahan data yang telah disampaikan, kemudian Suswono juga

meminta Maria Elizabeth Liman agar menyerahkan data perusahaan yang

telah melakukan praktek jual beli SPI.

- Pada tanggal 18 Januari 2013, Luthfi Hasan Ishaq memberitahukan

kepada Ahmad Fathanah bahwa data berikut Permohonan Penambahan

Kuota Impor Daging Sapi dari PT. Indoguna Utama tersebut telah

diserahkan kepada Suswono dan Terdakwa akan menemui Suswono pada

hari Senin tanggal 21 Januari 2013 untuk membahasnya.

Luthfi Hasan Ishaq melakukan perbuatannya dengan sengaja mempengaruhi

Suswono ini pun sesuai dengan syarat kesengajaan yang ada didalam hukum

pidana yaitu willens en wetens atau mengehendaki dan mengetahui. Syarat ini

adalah mutlak, artinya seseorang dikatakan melakukan suatu perbuatan dengan

sengaja, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan mengetahui dan menghendaki.

pelaku dalam hal ini Luthfi Hasan Ishaq yang melakukan suatu perbuatan Trading

in Influence sudah pasti menyadari bahwa akibat dari perbuatannya tersebut sesuai

dengan kehendak atau tujuannya. Artinya, kesengajaan dapat dihukum walaupun

kehendak atau tujuannya tidak tercapai. hal ini sesuai dengan adegium Affectus

punitur licet non sequator effectus.

3. Perbuatan yang dimaksud berupa permintaan atau penerimaan (baik secara

langsung maupun secara tidak langsung) manfaat yang tidak semestinya.

Berkaitan dengan fakta yang ada persidangan Luthfi Hasan Ishaq menerima

uang dan janji fee dari Maria Elizabeth Liman, padahal semestinya Luthi

Hasan Ishaq yang merupakan sebagai anggota DPR-RI tidak boleh

63

menerima fee dari pihak manapun sepanjang tidak berkaitan dengan tugas

pokok dan fungsinya.

4. Pejabat yang bersangkutan atau orang lain tersebut menyalahgunakan

pengaruh yang ada padanya. Luthfi Hasan Ishaq pada saat itu merupakan

Presiden Partai Keadilan Sejahtera dan memiliki kedekatan pribadi dengan

Suswono selaku Menteri Pertanian yang juga berasal dari Partai Keadilan

Sejahtera.

5. Perbuatan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya sendiri (pejabat

publik), manfaat bagi orang lain maupun manfaat bagi si penghasut.

Perbuatan tersebut memberikan manfaat bagi Luthfi Hasan Ishaq berupa fee,

atas pengaruhnya terhadap Suswono dan manfaat kepada Maria Elizabeth

Liman berupa diterbitkannya surat rekomendasi untuk menaikkan kouta

impor daging sapi.

Penulis berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan Luthfi Hasan Ishaq

merupakan percobaan untuk melakukan Trading in influence, berkaitan dengan

hal tersebut percoban sendiri di dalam KUHP diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai

dengan ayat (4) dan Pasal 54. Perihal apa yang dimaksud dengan percobaan, pasal

53 ayat (1) mendefinisikan sebagai berikut “mencoba melakukan kejahatan

dipidana, jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak

selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri.”

Percobaan merupakan delik yang tidak selesai dan undang-undang pidana diluar

kodifikasi seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

percobaan melakukan kejahatan-kejahatan dalam undang-undang tersebut

64

dianggap sama dengan melakukan kejahatan-kejahatan itu. Artinya, pembentuk

undang-undang secara implisit mengakui bahwa percobaan bukanlah delik selesai

dan percobaan sebagai dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan.

Unsur-unsur percobaan berdasarkan konstruksi Pasal 53 KUHP yang sudah

dijelaskan diatas, terdapat 3 unsur percobaan. Pertama adalah unsur niat, kedua

unsur permulaan pelaksanaan dan yang ketiga unsur tidak selesainya pelaksanaan

itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri. Masing-masing akan

diulas sebagai berikut:

a. Niat

Niat merupakan rencana untuk mengadakan perbuatan tertentu didalam

pikiran pelaku, meliputi rencana atau gambaran tentang bagaimana akan

dilaksanakannya perbuatan, serta akibat-akibat yang akan terjadi. Niat sama

dengan sengaja, hal ini diperkuat dengan pendapat Simons yaitu:

Het voornemen, waarvan art. 45 spreekt, heeft geene andere betekenis danuitgedrukt zou zijn door het woord opzet. Vereischte is dus, dat de dader hetopzet hebbe gehad om een feit te plegen, dat bij de wet strafbaar is gesteld.Wanneer dit opzet geacht kan worden aanwezig te zijn, hangt af van dealgemeene beteekenis, welke zal moeten worden toegekend aan het begrip vanopzet, en van de bijzondere vereischten, welke te dien aanzien voor iederstafbaar feit moeten worden gesteld33.

Terjemahan bebasnya:

Niat tidak punya pengertian lain, selain perkataan itu disebut sebagai sengaja.Dengan demikian ada persyaratan bahwa pelaku haruslah bertindak dengansengaja. Jika sengaja dianggap harus ada, hal tersebut bergantung padapengertian yang bersifat umum yang harus diberikan kepada pengertiansengaja itu sendiri dan tergantung pada syarat-syarat tertentu yang menentukanpengertian yang harus diberikan kepada sengaja tersebut pada tiap-tiapperbuatan yang dapat dipidana.

33D.Simons dalam Eddy O.S Hiariej Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi revisi, CahayaAtma Pustaka, Yogyakarta, 2016, h. 334.

65

Dikaitkan dengan perkara diatas adalah niat Luthfi Hasan Ishaq bisa dilihat

ketika ia menelepon Achmad Rozi (orang kepercayaan) dan berpesan agar

memberitahu Elda Devianne Adiningrat untuk segera memberikan update data

tentang Kebutuhan Daging di lapangan untuk tahun 2013 kepada Soewarso

supaya Suswono mempunyai argumentasi yang bisa dijadikan landasan perlunya

penambahan impor daging sapi sehingga dapat dieksekusi dalam minggu-minggu

ini. selanjutnya Achmad Rozi menyampaikan permintaan Luthfi Hasan Ishaq

tersebut kepada Elda Devianne Adiningrat melalui telepon.

b. Permulaan pelaksanaan

Permulaan pelaksanaan terjadi jika pelaku berusaha untuk mendapatkan

atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan.

Permulaan pelaksanaan Trading in Influence dapat dicermati ketika Luthfi Hasan

Ishaq mengajak Soewarso selaku orang kepercayaan Suswono untuk mengikuti

pertemuan di Medan agar dapat membantu Luthfi Hasan Ishaq mewujudkan

rencana pertemuan Suswono dengan Maria Elizabeth Liman, selanjutnya Luthfi

Hasan Ishaq memberitahukan Ahmad Fathanah tentang rencana pertemuan di

Medan tersebut dan meminta agar memberitahukannya kepada Maria Elizabeth

Liman.

c. Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri

Selalu menjadi perdebatan adalah bagaimana menentukan tidak selesainya

permulaan pelaksanaan bukan karena kehendak sendiri dikarenakan tidak ada

parameter yang jelas, namun penulis dalam hal ini mencoba merumuskannya

berkaitan dengan kasus Luthfi Hasan Ishaq. Sesuai dengan fakta-fakta di

66

persidangan proses mempengaruhi dari Luthfi Hasan ke Suswono masih terus

berjalan dan terus dilakukan. Disisi lain perbuatan Luthfi Hasan tersebut sudah di

deteksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ini dibuktikan ketika Ahmad

Fathanah selaku orang kepercayaan dari Luthfi Hasan Ishaq ditangkap petugas

KPK sedang bersama seorang wanita bernama Maharani Suciyono dalam kamar

Nomor 1740 Hotel Le Meridien Jakarta dan kemudian keduanya dibawa ke kantor

KPK untuk diproses. Tidak selesainya perbuatan, dalam hal ini Trading in

Influence tersebut karena orang kepercayaannya telah ditangkap KPK dan bukan

perkara Trading in Influence yang sempurna karena Suswono selaku Menteri

Pertanian tidak terpengaruh oleh Luthfi Hasan Ishaq dan tidak ada kebijakan

berubah yang menguntungkan PT. Indoguna Utama dan tidak ada pula perubahan

pada kuota impor daging sapi.

Penulis berpendapat seharusnya hakim dalam perkara tersebut bisa

menggunakan teori sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif,

yang mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela

karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial

dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Berdasarkan perkara No. 1195 K/Pid.Sus/2014 Luthfi Hasan Ishaq dengan

jabatannya selaku anggota DPR RI dan selaku Presiden Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) dalam mempengaruhi pejabat di Kementerian Pertanian RI yang dipimpin

oleh Suswono selaku Menteri Pertanian yang juga merupakan anggota Majelis

67

Syuro PKS supaya menerbitkan surat rekomendasi persetujuan pemasukan atas

permohonan penambahan kuota impor daging sapi.

Menurut kepatutan bahwa Pegawai Negeri sebagai anggota DPR RI dan

selaku Presiden Partai Politik seharusnya tidak menggunakan posisinya untuk

mempengaruhi Menteri Pertanian secara menyimpang yaitu penambahan kuota

impor sapi yang seharusnya dilakukan dengan sesuai prosedur melalui sistem

pengadaan barang dan jasa yang benar. Hal ini tidak di taati oleh Maria Elizabeth

Liman yang justru meminta bantuan kepada Luthfi Hasan Ishaq untuk

menggunakan pengaruhnya sebagai petinggi partai politik terhadap menteri yang

masih satu partai dengannya. Ini merupakan perbuatan melawan hukum, karena

menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan tercela sekaligus melangar

norma kesusilaan dan norma agama.

“Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang postif pada dasarnya

bertentangan dengan asas legalitas yang secara definisinya adalah tiada perbuatan

dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-

undang yang sudah ada terlebih dahulu”34. Hal ini sesuai dengan suatu adegium

yang berbunyi non obligat lex nisi promulgate yang berarti suatu hukum tidak

mengikat kecuali telah diberlakukan. Ketentuan sebagaimana yang termaktub

dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah definisi baku dari asas legalitas itu sendiri.

Menurut Sudarto suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan

perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum

terjadinya tindak pidana. Sudarto kemudian menambahkan bahwa,

34Eddy O.S Hiariej, Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas, Lentera Jurnal Hukum,Edisi 16-Tahun IV, April-Juni 2007, h. 124.

68

Dari makna yang pertama terdapat dua konsekuensi yaitu perbuatan seseorangyang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidakdapat dipidana dan adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatuperbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalamundang-undang. Sedangkan konsekuensi dari makna yang kedua adalah bahwahukum pidana tidak boleh berlaku surut35.

Berdasarkan apa yang dikemukakan Sudarto diatas jelaslah bahwa asas

legalitas dalam hukum pidana dapat dibedakan dalam hukum pidana materiil dan

hukum pidana formil. Oleh karena itu asas legalitas ini mempunyai dua fungsi

yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumentasi. Fungsi melindungi artinya

undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan yang tanpa batas

dari pemerintah. Sedangkan fungsi instrumentasi artinya di dalam batas-batas

yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas

diperbolehkan.

Berdasar uraian tersebut diatas, penulis mempunyai pandangan bahwa

perbuatan pidana dalam hal ini Trading in Influence dengan menggunakan teori

sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, bisa dilakukan oleh

hakim dalam pertimbangannya memutus perkara Luthfi Hasan Ishaq dikarenakan

belum adanya aturan yang jelas mengenai Trading in Influence.

Berdasarkan peraturan internasional dan negara lain maka seharusnya

Indonesia perlu mengkriminalisasi bentuk perbuatan yang menyerupai dengan

karakteristik pada Trading In Influence. Tidak hanya itu saja konsekuensi dari

peratifikasian suatu perjanjian internasional oleh suatu objek hukum internasional

sebagai pihak dalam perjanjian internasional tersebut adalah subjek hukum

35Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,Semarang, 1990, h.22-24.

69

internasional wajib melaksanakan segala sesuatu yang tertuang dalam perjanjian

internasional demi tercapai maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam

perjanjian internasional tersebut. “Kecuali dalam peratifikasian, subjek hukum

internasional tersebut mengajukan syarat atas ketentuan tertentu dalam suatu

perjanjian internasional”36.

Suatu negara yang bersedia meratifkasi suatu perjanjian internasional,

berarti negara tersebut bersedia untuk mengikatkan diri pada perjanjian

internasional itu dan tunduk pada isi atau hak dan kewajiban yang terkandung

didalam perjanjian internasional. Di samping itu, perlu disadari bahwa dengan

pengikatan diri tersebut, berarti negara yang bersangkutan telah menerima

perjanjian internasional itu sebagai bagian dari hukum nasionalnya.

Dengan demikian, pengikatan diri pada perjanjian internasional mengandungdua segi, yaitu segi ekstern yang berarti bahwa negara yang bersangkutanmenerima perjanjian internasional tersebut sebagai hukum internasional yangmelahirkan hak-hak dan kewajiban internasonal dan segi intern, yaituperjanjian internasional tersebut diterima atau menjelma menjadi hukumnasionalnya yang juga melahirkan hak-hak dan kewajiban bagi negara itusendiri maupun bagi rakyatnya37.

Pasal 4 ayat (1) UNCAC yang mengatur bahwa:

States Parties shall carry out their obligations under this Convention in amanner consistent with the principles of sovereign equality and territorialintegrity os States and that of non intervention in the domestic affairs of otherStates.Terjemahan bebas: Negara pihak wajib melaksanakan kewajiban-kewajibandalam Konvensi ini berdasarkan prinsip kedaulatan yang sejajar dan integritaswilayah negara serta prinsip tidak melakukan intervensi terhadap masalahdalam negeri negara lain.

36Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, h.121.

37Ibid.,

70

Dampak tidak sesuainya pengaturan dalam hukum nasional dengan konvensi

perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang telah diratifikasi pada dasarnya tidak

diatur lebih lanjut mengenai sanksi bagi para pihak yang tidak melaksanakan

ketentuan dalam konvensi tersebut. Namun demikian, berdasarkan kebiasaan

internasional, bila ada pihak (dalam hal ini negara) yang tidak melaksanakan

ketentuan dalam perjanjian internasional (konvensi internasional) maka pihak

(negara) tersebut biasanya mendapat penilaian yang buruk atau rendah dalam

penilaian berjangka diwaktu tertentu, misalnya memandang Indonesia sebagai

negara yang tidak serius dalam pelaksanaan suatu perjanjian internasional,

Indonesia mendapatkan Indeks Prestasi yang buruk dalam hal penanganan

pemberantasan tindak pidana terorganisasi dan lain sebagainya.

Pandangan dan Indeks Prestasi tersebut biasanya mempengaruhi pandangan

negara lain khususnya negara lain yang akan membuat perjanjian internasional

dengan Indonesia. Dengan kata lain, dapat pula dikatakan bahwa negara lain yang

akan membuat perjanjian internasional atau berdiplomasi dengan indonesia akan

lebih berhati-hati, karena tindakan indonesia sendiri yang tidak konsisten dalam

melaksanakan suatu perjanjian internasional.

Terkait dengan kebijakan bahwa untuk mencegah dan memberantas suatu

tindak pidana dalam hal ini Trading in Influence (perdagangan pengaruh), pada

dasarnya dapat ditempuh melalui kebijakan kriminal (criminal policy) yaitu

kebijakan yang dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Proses

perumusan peraturan perundang-undangan mengenai Trading in Influence ini

71

sudah tentu merupakan proses atau contoh kebijakan hukum pidana yang

dilakukan secara penal (penal policy).

Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood merumuskan dan mengartikan

kebijakan (policy) “sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling

efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara

kolektif”38.

Menurut Barda Nawawi Arief, “istilah ‘kebijakan’ berasal dari kata ‘politic’,

‘politics’ dan ‘policy’ (Inggris) dan ‘politiek’ (Belanda). Sedangkan politik itu

sendiri berarti ‘acting of judging wisely, prudent’”39.

Miriam Budiarjo mengartikan (politics) sebagai:

Usaha-usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterimadengan baik oleh sebagian besar warga masyarakat, untuk membawamasyarakat tersebut ke arah kehidupan bersama yang harmonis (the good life).Untuk mencapai “the good life” ini menyangkut bermacam-macam kegiatanyang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu40.

Charles O. Jones mendefinisikan atau mengartikan kebijakan (policy) sebagai

“keputusan tetap yang ditandai dengan adanya konsistensi dan pengulangan

tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang memenuhi

keputusan tersebut”41.

38Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardhana, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, PustekkomDikbud dan Rajawali, Jakarta, 1984 h. 65, dalam Kristian, Hukum Pidana Korporasi, Cetakan I,Nuansa Aulia, Bandung, 2014, h. 222.

39Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Bahan Penataran KrimonologiFakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan Sudarto, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, h. 16.; Wiliam N.Dunn, Penyadur:Muhadjir Darwin, Analisa Kebijakan Publik, Yogyakarta, Hadindita Graha Widia, 2000, h. 10,serta Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana, Cetakan Kedua, EdisiRevisi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, h. 26-27.

40Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008 h. 15.41Charles O. Jones, Pengantar Kebijakan Publik, Grafindo, Jakarta, 1994, h.74.

72

Lebih khusus dalam bidang hukum, terutama hukum pidana, dikenal istilah

“kebijakan hukum pidana,” seperti yang dikatakan oleh G.P Hoefnagels bahwa

“kebijakan hukum pidana” merupakan atau sebagai “bagian integral yang tidak

terpisahkan dari kebijakan sosial (sosial policy) yang dalam perkembangannya

melahirkan istilah ’kebijakan penegakan hukum’ atau yang dikenal pula dengan

istilah law enforcement policy42.

Dengan demikian, bila Trading in Influence dimasukkan dalam kebijakan

penal yang mempunyai tujuan yang hakiki yakni membentuk sebuah peraturan

hukum positif yang lebih baik dari sebelumnya dan memberi pedoman, arah,

panduan, baik bagi para pembentuk undang-undang maupun bagi pengadilan dan

pelaksana putusan pengadilan. Dengan kata lain, kebijakan penal ini akan berlaku

bagi seluruh aparatur penegak hukum di mana seluruh aparatur penegak hukum

dapat menerapkan hukum secara tepat dan akurat.

Berdasarkan berbagai urain diatas, penulis berpendapat bahwa Trading in

Influence perlu di kriminalisasikan kedalam salah satu modus operandi dalam

tindak pidana korupsi karena sampai saat ini belum dibuatkannya suatu undang-

undang yang merangkum tentang klausul Trading in Influence, padahal perbuatan

memperdagangkan pengaruh ini tergolong kejahatan yaitu melanggar kepatutan

dan norma-norma kehidupan masyarakat yang ada. Merujuk pada peraturan

internasional (UNCAC) dan negara lain, maka seharusnya Indonesia perlu

mengkriminalisasi bentuk perbuatan yang unsur-unsurnya menyerupai dengan

karakteristik pada Trading In Influence.

42G.P. Hoefnagels, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, 1973, h. 57

73

Permasalahan utama yang menyebabkan Trading in Influence sulit diatasi

adalah tidak adanya dasar hukum yang digunakan sebagai landasan untuk

memberikan suatu penangan terhadap penyebab-penyebab Trading in Influence

itu terjadi. Sehingga perlu ditekankan sekali lagi bahwa Trading in Influence

perlu menjadi perhatian utama untuk dikriminalisasi kedalam hukum positif guna

terjaminnya kepastian hukum, yakni dalam bentuk Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia.