BAB III PEMBAHASAN A. Kriteria Iklan yang Menyesatkanrepository.untag-sby.ac.id/1560/10/BAB...

31
BAB III PEMBAHASAN A. Kriteria Iklan yang Menyesatkan Pentingnya informasi yang jelas dan lengkap diharapkan dapat melindungi konsumen dari kerugian yang diakibatkan oleh iklan-iklan yang mengandung unsur penyesatan dan penipuan. Beberapa bentuk iklan yang mengandung unsur penyesatan dan penipuan antara lain : 1. Iklan pancingan (bait and switch advertising), yang dapat dikategorikan iklan pancingan adalah iklan sebenarnya tidak berniat untuk menjual produk yang ditawarkan, melainkan lebih ditujukan pada menarik kunjungan konsumen ke tempat usaha tersebut. Iklan jenis ini menawarkan barang-barang tertentu dengan harga khusus semacam diskon atau janji pemberian hadiah, padahal pelaku usaha tidak berniat melakukan ataupun jika melakukan dalam jumlah yang tidak wajar, dimana konsumen kemudian menemukan kenyataan yang tidak sesuai sebagaimana dijanjikan mengenai hal yang diiklankan. 2. Iklan menyesatkan (mock-up advertising). Klasifikasi iklan ini sedikit berbeda dengan iklan pancingan. Iklan jenis ini biasanyahanya ingin menunjukkan keampuhan suatu produk denganmelalui penggambaran yang berlebihan. Biasanya iklan yang demikian, dengan menggunakan media televisi akan menghasilkan efek tayangan yang mengesankan. Dari fenomena di atas jelas

Transcript of BAB III PEMBAHASAN A. Kriteria Iklan yang Menyesatkanrepository.untag-sby.ac.id/1560/10/BAB...

  • BAB III

    PEMBAHASAN

    A. Kriteria Iklan yang Menyesatkan

    Pentingnya informasi yang jelas dan lengkap diharapkan dapat

    melindungi konsumen dari kerugian yang diakibatkan oleh iklan-iklan yang

    mengandung unsur penyesatan dan penipuan. Beberapa bentuk iklan yang

    mengandung unsur penyesatan dan penipuan antara lain :

    1. Iklan pancingan (bait and switch advertising), yang dapat dikategorikan iklan

    pancingan adalah iklan sebenarnya tidak berniat untuk menjual produk yang

    ditawarkan, melainkan lebih ditujukan pada menarik kunjungan konsumen ke

    tempat usaha tersebut. Iklan jenis ini menawarkan barang-barang tertentu

    dengan harga khusus semacam diskon atau janji pemberian hadiah, padahal

    pelaku usaha tidak berniat melakukan ataupun jika melakukan dalam jumlah

    yang tidak wajar, dimana konsumen kemudian menemukan kenyataan yang

    tidak sesuai sebagaimana dijanjikan mengenai hal yang diiklankan.

    2. Iklan menyesatkan (mock-up advertising). Klasifikasi iklan ini sedikit berbeda

    dengan iklan pancingan. Iklan jenis ini biasanyahanya ingin menunjukkan

    keampuhan suatu produk denganmelalui penggambaran yang berlebihan.

    Biasanya iklan yang demikian, dengan menggunakan media televisi akan

    menghasilkan efek tayangan yang mengesankan. Dari fenomena di atas jelas

  • tampak bahwa ternyata informasi telah dimanipulasi sedemikian rupa

    sehingga mengaburkan makna informasi yang sebenarnya.28 Sedikit berbeda

    dengan bentuk iklan yang telah dikemukakan di atas, Pradopo berpendapat

    bahwa ada 3 (tiga) tipe iklan yang memperdaya (deceptive advertising), yaitu :

    a) Fraudulent advertising, iklan yang tidak dapat dipercaya (straight

    forwardlie).

    b) False advertising, klaim terhadap manfaat produk yang dapat dipenuhi

    berdasarkan „syarat dan ketentuan yang berlaku‟ (under certain

    conditions), yang tidak dijelaskan secara gamblang di iklan. Misalnya,

    iklan salah satu provider telekomunikasi terkenal, mengklaim dirinya

    paling murah, tetapi tidak pernah dijelaskan secara menyeluruh bahwa

    tarif murah itu hanya berlaku berdasarkan syarat dan ketentuan. Bahkan

    dalam iklannya pun tidak dituliskan syarat dan ketentuan berlaku.

    c) Misleading advertising, iklan ini melibatkan antara klaim dan

    kepercayaan. Dengan kata lain, sebuah iklan yang menghubungkan dengan

    kepercayaan konsumen. Misalnya, konsumen percaya bahwa memiliki

    kulit putih merupakan bagian dari kecantikan. Kepercayaan konsumen ini

    dimanfaatkan produsen (pelaku usaha) pemutih kulit merek terkenal, yang

    dengan menggunakan produk mereka, kulit akan menjadi putih dalam

    waktu 7 (tujuh) hari. Saat ini memang belum ada definisi maupun

    penafsiran yang tegas dan jelas mengenai iklan yang menyesatkan,

    28 Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif

    Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, h. 12-13.27.

  • sehingga menimbulkan pemahaman yang beragam atas pengertian iklan

    yang menyesatkan tersebut. Salah satunya adalah adanya 2 (dua) sudut

    pandang berbeda yang mencoba memberikan uraian lebih lanjut mengenai

    iklan yang menyesatkan. Pertama, dari sudut pandang konsumen, iklan

    yang menyesatkan dipandang sebagai pernyataan atau gambaran atas

    produkyang menyebabkan konsumen terpedaya oleh janji pelaku usaha

    dan mengakibatkan kerugian bagi konsumen itu sendiri. Kedua, dari sudut

    pandang pelaku usaha, iklan yang menyesatkan dipandang sebagai

    perbuatan pelaku usaha yang sengaja atau lalai dalam memberikan

    pernyataan atau gambaran atas produk yang tidak benar, tidak jelas, dan

    atau tidak jujur.

    Kriteria iklan yang menyesatkan di televisi apabila merujuk pada

    perspektif hukum positif di Indonesia antara lain yaitu:

    1) Iklan yang mengelabui konsumen (misleading) mengenai kualitas,

    kuantitas, bahan, kegunaan, harga, tarif, jaminan dan garansi barang

    dan atau jasa dimana pelaku usaha tidak bisa bertanggungjawab dan

    memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam iklan yang di

    tayangkan di televisi.

    2) Mendeskripsikan memberikan informasi secara keliru, salah, maupun

    tidak tepat (deceptive) mengenai barang dan atau jasa.

    3) Memberikan gambaran secara tidak lengkap (ommision) mengenai

    informasi barang dan atau jasa.

  • 4) Hal lain yang dilarang dan melanggar ketentuan hukum oleh pelaku

    usaha adalah memberikan informasi yang berlebihan (puffery)

    mengenai kualitas, sifat, kegunaan, kemampuan barang dan/atau jasa

    dan membuat perbandingan barang dan atau jasa yang menyesatkan

    konsumen.

    Pada dasarnya standar kriteria periklanan di Indonesia sedikit

    banyaknya telah disesuaikan dengan standar kriteria yang berlaku di negara-

    negara maju, misalnya di Amerika Serikat, yaitu dengan telah

    mempergunakan unsur-unsur fakta material sebagaimana tertuang dalam

    Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta konsumen rasional

    sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan b UUPK. Tetapi

    keberadaan fakta material dan konsumen rasional tersebut belum cukup jelas

    diatur dalam ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia sehingga pada

    prakteknya belum secara tegas dijadikan sebagai dasar penentuan iklan

    menyesatkan.

    Iklan-iklan yang kerap menyesatkan di televisi, selain pelanggaran dari

    sisi gambar, gerakan dan bahasa, hal ini juga dikarenakan belum adanya

    kontrol yang serius terhadap iklan yang menyesatkan di televisi. Selain

    menyesatkan dan tidak mengedukasi yang menyaksikan tayangan iklan

    tersebut, Jelas sekali dibutuhkan kontrol yang serius dari pemerintah dengan

    lembaga-lembaga yang berwenang untuk dapat mencegah dan mengontrol

    iklan-iklan yang isinya mengelabui dan tidak bertanggung jawab.

  • Iklan di identifikasikan sebagai media promosi dan pengenalan bagi

    produk yang akan di produksi atau dijual ke masyarakat. Undang-Undang

    Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam ketentuan

    Umum Pasal 1 ayat (6) menyebutkan :“Promosi adalah kegiatan pengenalan

    atau menyebarluaskan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik

    minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang

    diperdagangkan”. Di dalam menentukan bentuk-bentuk iklan, terlebih dahulu

    membedakan iklan menjadi 2 (dua) macam iklan, yaitu iklan media

    elektronik (televisi, radio, internet dan lain sebagainya) dan non media

    elektronik (surat kabar, majalah, brosur, reklame dan lain sebagainya). Iklan

    melalui media televisi merupakan media favorit dan kerap kali menjadi

    pilihan utama pelaku usaha. Iklan televisi mengambil peranan penting dalam

    periklanan anatara lain sebagai berikut :

    a) Iklan televisi berperan penting dalam membangun dan mengembangkan

    citra positif bagi suatu perusahaan dan produk yang dihasilkan.

    b) Membentuk opini publik yang positif terhadap perusahaan tersebut.

    c) Mengembangkan kepercayaan masyarakat terhadap produk konsumsi

    dan perusahaan yang memproduksinya.

    d) Menjalinkomunikasi secara efektif dan efisien dengan masyarakat luas,

    sehingga dapat membentuk pemahaman yang sama terhadap suatu produk

    barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat luas.

    Dalam kegiatan bisnis periklanan ada beberapa pihak dalam bisnis

    periklanan, yaitu perusahaan periklanan (dvertising), media periklanan (media

  • masa), pemasang iklan (pengiklan), konsumen yaitu pemakai dan penikmat

    produk yang diiklankan, pemerintah selaku pengawas berjalannya aturan main

    (rule of the game), yang baik dan jelas dalam bisnis periklanan.29

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “menyesatkan”

    berasal dari kata “sesat” artinya “salah jalan; tidak melalui jalan yang benar”.

    Namun apabila kata “sesat” ditambah awalan “me-“ dan akhiran “kan” maka

    akan berubah menjadi kata “menyesatkan” yang mengandung arti “membawa

    ke jalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan)”. Sedangkan kata “iklan”

    menurut Kamus Besar Indonesia mengandung arti ;

    1. Berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai

    tentang benda atau jasa yang ditawarkan;

    2. Pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang

    dijual, dipasang di dalam media masa seperti surat kabar atau majalah.

    Kewajiban pelaku usaha seperti pada ketentuan Pasal 7 huruf b Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:

    “Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan

    dan pemeliharaan”.

    1. Kode Etik Periklanan

    Pihak pelaku usaha harus memberikan dan bertanggungjawab atas

    informasi yang benar, memadai dan jelas bagi kepentingan konsumen dalam

    29 Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan

    Konsumen. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 200, hal. 31.

  • memilih barang, informasi yang harus diberitahukan kepada konsumen, seperti

    mengenai harga, kualitas dan keterangan-keterangan lainnya yang dapat

    membantu konsumen dalam memutuskan untuk membeli barang sesuai dengan

    kebutuhan dan kualitas barang. Tanggung jawab informasi pada iklan adalah

    bahwa penawaran yang dilakukan pelaku usaha terhadap produk berupa barang

    bergerak maupun tidak bergerak harus memuat keterangan yang tidak

    menimbulkan salah. Interprestasi mengenai keadaan barang dan/atau jasa

    tersebut.

    Perlu diketahui bahwa tanggungjawab dalam memberikan keterangan

    suatu produk sepenuhnya harus mengacu pada beberapa asas umum kode etik

    atau tata karma periklanan, norma etik, hukum dan tanggung jawab dalam

    periklanan, bukanlah hal yang mudah dengan dasar pertimbangan pertama,

    kegiatan periklanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, dalam hal ini

    pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), pengusaha

    peringklanan, organisasi profesi periklanan (Persatuan Perusahaan Periklanan

    Indonesia) dan media periklanan. Di samping itu, juga melibatkan konsumen

    selaku penerima informasi yang disajikan melalui iklan.30

    2. Asas Kode Etik atau Tata Cara Periklanan

    Di tengah-tengah kekosongan Undang-Undang Periklanan, akan lebih

    terhormat kiranya bila kaidah atau norma itu ditegakkan melalui organisasi

    profesi periklanan. Organisasi profesi lebih tahu, apakah suatu iklan nerupakan

    30

    Ibid, hal. 148.

  • kreativisitas kompetitif atau semu belaka. Di harapkan produk iklan yang

    dihasilkan penuh muatan kreativitas yang menjunjung asas-asas umum kode

    etik periklanan dan menyadarkan pelaku usaha periklanan agar lebih

    memikirkan konsumen.

    Pelaku usaha periklanan harus mengacu pada beberapa asas umum kode

    etik atau tata karma periklanan yaitu sebagai berikut ;

    a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan

    ketentuan hukum yang berlaku.

    b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat,

    agama, tata asusila, adat, budaya, suku dan golongannya.

    c. Iklan harus di jiwai oleh asas persaingan yang sehat.

    3. Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia

    Para sponsor dan penyusun Kode Etik Periklanan Indonesia memilih istilah

    sendiri yang mereka sebut sebagai Tata Krama dan Tata Cara Periklanan

    Indonesia (TKTCPI). Secara umum Tata Krama dimaksudkan untuk menjaga

    citra bisnis periklanan di mata masyarakat, sedangkan tata cara bertujuan

    untuk menjaga persaingan antar pengusaha periklanan agar berjalan dengan

    wajar dan mencegah terjadinya persaingan curang dalam penyelenggaraan

    bisnis periklanan. Jadi titik beratnya adalah agar terdapat praktek usaha

    periklanan yang wajar dan sehat. Meskipun Tata Krama dan Tata Cara

    Periklanan Indonesia (TKTCPI) tidak merupakan produk undang-undang yang

    mengikat secara luas (publik) tetapi sebagai self regulation bagi para

  • anggotanya, kode etik ini memiliki arti penting dalam rangka memberikan

    kejelasan aturan main (rule of the game). Sekaligus untuk menjaga tindakan

    dan peritaku anggotanya agar tetap menjunjung etika dalam berusaha.

    Sehingga persaingan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya

    melalui Periklanan tidak menimbulkan penyesatan informasi yang pada

    akhirnya sangat merugikan konsumen.

    Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) yang telah

    disempurnakan menyebutkan bahwa asas-asas umum Periklanan harus

    memuat,antara lain:

    a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan

    hukum yang berlaku.

    b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat

    negara, agama, adat budaya, hukum, dan golongan.

    c. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.

    Melalui kongres Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) yang

    berlangsung pada tanggal 9 - 13 Oktober 2002 di Yogyakarta, Persatuan

    Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) telah mewacanakan untuk segera

    membuat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang periklanan.

    Hal ini merupakan aspirasi dari seluruh anggota Persatuan Perusahaan

    Periklanan Indonesia (PPPI), sehingga kalangan pengusaha periklanan

  • mendapatkan 1 (satu) landasan hukum yang kuat serta kejelasan rambu-rambu

    dan batasan-batasan beriklan.31

    4. Larangan Bagi Pelaku Usaha

    Undang-Undang tentang perilaku periklanan sampai saat ini belum

    diterbitkan, sekalipun iklan memainkan peran yang sungguh-sungguh berarti

    dalam kehidupan masyarakat, baik dari sudut biaya, pengaruh pada masyarakat

    bisnis dan konsumen, maupun pada kegiatan pemerintah. Beruntunglah

    perilaku pelaku periklanan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen. Beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha termasuk

    didalamnya perilaku periklanan seperti periklanan barang dan atau jasa secara

    tidak benar dan/atau seolah-olah memiliki potongan harga, standart.

    Sebelum ada peraturan khusus mengenai iklan yang membawa

    kerugian kepada para konsumen, kita dapat merujuk beberapa ketentuan yang

    dapat digunakan untuk mengetahui dasar hukum periklanan itu, sebagaimana

    yang terdapat di dalam hukum perdata pasal 1367 KUH Perdata, yang

    berisi:“Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada

    orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

    mengganti kerugian tersebut”.

    Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen setidaknya dapat mengurangi terjadinya pelanggaran

    mengenai kerugian yang diderita konsumen, akibat mengkonsumsi barang dan

    31

    Taufik H Simatupang, Aspek Hukum Periklanan Dalam Perspektif Perlindungan

    Konsumen, Bandung, PT Cipta Aditya Bakt i, 2004.

  • atau jasa melalui iklan yang menginformasikan produk yang tidak benar.

    Kehadiran Undnag-Undnag Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

    konsumen ini setidaknya dapat membantu masyarakat atau konsumen dari hal

    yang tidak di inginkan (dari iklan yang member informasi yang tidak benar).

    Ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan konsumen memberikan ketentuan tentang hak-hak konsumen dan

    kewajiban bagi para pelaku usaha, sehingga dengan demikian sulit bagi

    produsen atau pelaku usaha mengiklankan produknya terhadap masyarakat atau

    konsumen dengan jalan sewenang-wenang, tanpa memikirkan akibat

    hukumnya.

    5. Batasan-batasan suatu iklan dikatakan menyesatkan

    Periklanan adalah sebagai salah satu sarana pemasaran dan sarana

    penerangan yang memegang peranan penting di dalam pembangunan yang

    dilaksanakan bangsa Indonesia.Periklanan sebagai sarana pemasaran dan

    penerangan, merupakan bagian dari kehidupan media komunikasi yang vital

    bagi pengembangan dunia usaha serta harus berfungsi menunjang

    pembangunan. Iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentengan

    dengan hukum yang berlaku, iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan

    atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan

    golongan serta iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.

    Sebuah yang ditayangkan di televisi terkadang sepintas terlihat sangat

    cerdik sehingga mudah diingat oleh penontonnya (konsumen), bila bisa

  • mengingat sebagian dari tanda-tanda seperti gambar yang menarik atau hiasan

    yang unik pada iklan tersebut, maka dapat dikatakan konsumen terbujuk untuk

    mengkonsumsinya. Umumnya pesan iklan di televisi memang dibuat

    sederhana mungkin untuk menarik konsumen, karena konsumen jarang

    menyediakan waktu yang cukup lama untuk memperhatikan sebuah iklan,

    sehingga tidak dapat membedakan mana iklan yang jujur dan mana iklan yang

    menyasatkan.

    Iklan yang jujur adalah iklan yang tidak boleh menyasatkan antara lain

    dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui dan

    memberikan janji yang berlebihan. Kemudian selain suatu iklan dikatakan

    jujur, isi dari iklan harus diperhatikan penyataanya dan janji mengenai produk

    barang dan atau jasa dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Suatu iklan

    harus menggunakan bahasa yang baik dan istilah yang tepat.

    Menurut pengakuan orang yang berkecimpung di bidang iklan yaitu

    David Ogivly, “Bahwa iklan yang baik adalah iklan yang semanarik khalayak

    juga masyarakat dan duni iklan mengingatnya sebagai iklan yang pantas

    dikagumi”.32Iklan yang baik tidak hanya terpaku pada kreativitas iklan yang

    dihasilkan, tetapi juga mampu menampilkan produk yang aman dikonsumsi

    oleh konsumen dan berkualitas bagus. Konsumen bila melontarkan pendapat

    tentang adanya cacat dalam suatu, keluhan tersebut jangan diksampingkan,

    apabila perlu harus diakui bila ternyata memang benar terdapat cacat.

    Konsumen yang mengajukan pengaduan demikian, belum tentu selanjutnya

    32

    David Ogivly, pengakuan Orang Iklan, Pustaka Tangga, Jakarta, hal.123.

  • konsumen meninggalkan produk tersebut. Hal ini supaya menjadi masukan

    bagi pelaku usaha tentang apa-apa saja yang harus diperbaiki terhadap

    produknya.

    Batasan suatu iklan yang menyesatkan adalah sebagaimana yang

    tersirat dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Perlindungan konsumen

    adalah:

    a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang

    dan atau jasa.

    b. Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang dan atau jasa. c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat barang dan atau jasa. d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan atau jasa. e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa ijin yang berwenang

    atau persetujuan yang bersangkutan.

    f. Melanggar etika dan/atau peraturan perundang-undangan yang mengenai periklanan.

    Bahan perbandingan tentang batsan iklan yang menyesatkan

    konsumen, dapat dilihat pada ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 1992

    tentang Kesehatan yaitu diisyaratkan setiap iklan obat harus memuat informasi

    sesuai dengan persetujuan yang diberikan departeen kesehatan pada saat obat

    tersebut didaftarkan. Sehingga jenis obat yang boleh diiklankan hanyalah jenis

    obat bebas dan terbatas, buat obat keras. Selain itu sejak tahun 1989 naskah

    iklan obat-obatan yang belum diiklankan harus diserahkan kepada Direktorat

    Jenderal Pengawan Obat dan Makanan (Dirjen POM). Meskipun sudah ada

    larangan seperti tersebut diatas, pada prakteknya ternyata banyak sekali iklan

    yang ditayangkan ditelevisi tidak sesuai dengan apa yang sudah disetujui oleh

    Dirjen POM, maka iklan obat-oabatan yang berada dipasar yang khususnya

    ditayangkan ditelevisi banayak yang menyesatkan konsumen. Berarti dari

  • sekian banyak iklan oabat-obatan yang ditayangkan di televisi tidak sedikit

    yang memberikan informasi yang tidak jujur.

    Perbandingan lainnya tentang batasan iklan yang menyesatkan adalah

    Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, yang

    menyatakan bahwa setiap label dan atau iklan tentang pangan yang

    diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan

    tidak menyesatkan, sedangkan dalam Pasal34 dinyatakan bahwa iklan pangan

    yang diperdagangkan adalah sesuai denagan persyaratan agama atau

    kepercayaan tertentu bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdaarkan

    agama dan kepercayaan tersebut atau dikenal dengan pencantuman label

    “halal”. Denagan pencantuman label “halal” seperti ditentukan oleh pasal 34

    akan memberikan rasa aman pada konsumen untuk mengkonsumsinya,

    sehingga paling tidak iklan tersebut tidak menyesatkan konsumen.

    Dengan adanya kedua perbandingan pada Undnag-Undang Nomor 23

    Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang

    Pangan diharapkan lebih dapat memperjelas batasan-batasan iklan yang

    menyesatkan konsumen itu.

    6. Kerugian Konsumen Terhadap Iklan yang Menyesatkan di Media

    Televisi

    Hak konsumen sebagaimana yang teah diuraikan diatas, pada

    dasarnya harus ditegakkan. Salah satu factor untuk menegakkan hak-hak

    konsumen itu adalah upaya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku

  • konsumen itu sendiri, sehingga menjadi konsumen yang bertanggungjawab,

    yaitu konsumen yang sadar akan hak-haknyasebagai konsumen.

    Bahwa kegiatan konsumen dalam meningkatkan barang dan atau jasa

    yang dibutuhkannya, pada umumnya dikuasai oleh hukum perdata,oleh karena

    itu peranan hukum perdata sangat besar artinya dalam menegakkan hak-hak

    konsumen dalam hukum perlindungan konsumen. Disamping itu, aspek

    hukum perdata yang cukup menonjol pada perlindungan konsumen adalah hak

    konsumen untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang diderita

    konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang konsumsi. Ganti rugi

    atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-

    barang konsumsi merupakan salah satu hak pokok konsumen dalam hukum

    perlindungan konsumen. Hak atas ganti rugi ini bersifat universal disamping

    hak-hak pokok lainnya.

    Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen pada hakekatnya

    berfungsi sebagai :

    a. Pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar.

    b. Pemulihan atas kerugian materil maupun immaterial yang telah

    dideritanya.

    c. Pemulihan pada keadaan semula.

    Kerugian yang dapat diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian

    barang-barang konsumsi itu dapat di klasifikasikan ke dalam :

    a. Kerugian materil, yaitu berupa kerugian pada barang dan/atau jasa yang

    dibeli.

  • b. Kerugian immateril, yaitu kerugian yang dapat membahayakan kesehatan

    dan/atau jiwa konsumen.

    Konsumen menderita kerugian secara materil disaat produk yang

    dibeli tidak sesuai dengan informasi yang telah diiklankan dimedia masa

    khususnya media televisi, yaitu :

    a. Iklan pemanis buatan bebas gula (Tropicana slim) mengakibatkan

    kerugian kepada konsumen secara materil, yaitu konsumen setelah

    menyaksikan iklan tersebut di televisi, menjadi ketakutan dalam

    mengkonsumsi gula. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa orang

    yang tidak menderita diabetes militus atau tidak mempunyai faktor resiko

    diabetes militus dengan mengkonsumsi gula berlebih tidak akan

    menimbulkan diabetes militus dikemudian hari. Begitu juga bagi penderita

    diabetes militus, dengan mengganti gula dengan pemanis buatan bebas

    gula (Tropicana slim) tidak cukup untuk mencegah penyakit

    tersebut.Untuk mencegah komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit

    diabetes militus, seorang diabetes harus mampu menjaga kadar gula

    darahnya dalam ambang normal, dengan cara minum obat atau

    mendapatkan suntikan insulin, menjaga pola makn sesuai diet yang

    dianjurkan ahli gizi dan aktifitas seimbang, termasuk olah raga yang

    sangat teratur, serta gaya hidup sehat.

    b. Kerugian materil dari iklan minuman isotonic Mizone yaitu konsumen

    setelah membeli produk tersebut, khasiat dari minuman tersebut tidak

    sesuaidengan iklan yang ditayangkan di televisi, yaitu menambah

  • konsentrasi berfikir menjadi 100 % (Slogan; Be 100%). Pesan dari iklan

    tersebut melebih-lebihkan, dimana orang yang mengkonsusi minuman

    tersebut akan dijamin 100% menjadi lebih konsentrasi dari sebelum

    minum minuman tersebut, selain itu dari segi bahan yang dikandung

    minuman isotonic Mizone mengandung bahan pengawet yang

    membahayakan tubuh jika dikonsumsi dalam jangka waktu terus-menerus

    dan terakumulasi akan mengakibatkan kerusakan anti body tubuh yang

    mengakibatkan penyakit lupus dan merusak hati (kerugian Immateril).

    Kerugian immaterial yang diderita konsumen dari produk yang telah

    dibeli dari iklan yang ditayangkan di televisi, seperti contoh iklan iklan

    pemanis buatan bebas gula Tropikana Slim dan iklan minuman isotonic

    Mizone yaitu konsumen dapat memperoleh kerugian yang membahayakan

    kesehatan dan/atau jiwanya setelah mengkonsumsi produk tersebut.

    7. Upaya Hukum

    Menghindari ketidakseimbangan kedudukan pelaku usaha dan konsumen

    agar konsumen tidak menjadi objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan

    keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat

    promosi, cara penjualan, terutama terhadap iklan yang merugikan, perlu

    memahami pertanggungjawaban dalam periklanan.

  • Di

    dalam kode etik periklanan ditetapkan prinsip-prinsip etika yang harus

    dijalankan usaha periklanan, yaitu :

    a. Iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan

    hukum yang berlaku.

    b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan, merendahkan martabat,

    agama, tata susila, adat, budaya, suku dan golongan.

    c. Iklan dijiwai asas persaingan sehat.33

    Perik

    lanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, diantaranya pengusaha pengiklan .

    B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dari Iklan Di Televisi Yang

    Menyesatkan

    Pengertian “konsumen” yang termuat dalam Pasal 1 angka (2) Undang

    -Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa

    “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

    dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

    maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Dalam

    Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1

    angka (1) menyatakan bahwa pelindungan konsumen adalah segala upaya

    yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

    konsumen. Salah satu hak yang dijamin oleh undang-undang adalah hak

    33 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT. Citra

    Aditya Bakti, Bandung, hal. 140.

  • konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai produk

    barang/jasa pelaku usaha. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan

    kewajiban dan melanggar larangan tersebut, maka konsumen yang merasa

    dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban. Pasal 20 Undang-Undang No.

    8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa “Pelaku

    usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala

    akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”.

    Di dalam hukum pidana tentang pemberian keterangan yang tidak

    benar dan menyesatkan melalui media iklan, memang tidak secara tegas

    disebutkan. Tetapiapabila ditinjau buku kedua KUHP Bab XXV (dua puluh

    lima), termuat berbagai ketentuan mengenai kejahatan perbuatan curang atau

    yang lebih dikenal dengan istilah penipuan, yang terdiri dari dua puluh pasal.

    Dalam dua puluh pasal tersebut secara terperinci disebutkan perbuatan-

    perbuatan yang dianggap sebagai penipuan, antara lain penipuan terhadap

    asuransi, persaingan curang, penipuan dalam jual beli, sampai kepada

    penipuan di bidang kepengacaraan.

    Setelah itu selain dapat dikenakan sanksi pidana pokok sebagaimana

    diatur dalam Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

    pelaku usaha sesuai ketentuan Pasal 63 UU No. 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen dapat pula diancam dengan hukuman tambahan,

    berupa: a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c.

    Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang

  • menyebabkan timbulnya kerugia konsumen; e. Kewajiban penarikan barang

    dari peredaran; f. Pencabutan izin usaha.

    Terlepas dari kompleksitas penentuan subyek yang harus

    bertanggungjawab, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara nyata

    melalui Pasal 60 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

    memberikan konsekuensi sanksi administratif bagi pihak-pihak yang terbukti

    melanggar ketentuan larangan iklan tersebut. “Adapun sanksi administratif

    tersebut adalah sebanyak-banyaknya sebesar Rp 200.000.000,-Dalam

    melakukan kerjasamanya, ketiga pihak yang berkepentingandalam periklanan

    pada umumnya melakukan suatu perjanjian/kontrak secara tertulis, karena ini

    menyangkut beban pertanggungjawaban yang ditanggung dan di samping itu

    perjanjian/kontrak juga dapat digunakan sebagai bukti dalam suatu peradilan

    apabila ada konsumen yang menggugat atas suatu iklan yang merugikan.”

    Pertanggungjawaban dapat diberlakukan terhadap para pelaku

    periklananapabila dalam pembuatan atau produksi, penerbitan atau

    penyebaran isi materi suatu iklan melanggar Tata krama dan Tata Cara

    Periklanan sehingga menyebabkan timbulnya kerugian pada

    konsumen.Pertanggungjawaban tanggung renteng dapat diberlakukan terhadap

    para pelaku usaha periklanan apabila dalam pembuatan atau produksi,

    penerbitan atau penyebaran, isi materi suatu iklan melanggar Tata Krama dan

    Tata Cara Periklanan, sehingga menyebabkan timbulnya kerugian pada

    konsumen. Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang

  • disempurnakan pada bab V sub 4 tentang bobot pelanggaran menyebutkan

    bahwa :

    1. Bobot pelanggaran tata krama dan tata cara periklanan Indonesia

    ditentukan secara klausuldan dengan melihatbobot, peran dari masing-

    masing pihak yang terlibat.

    2. Bobot peran atau besarnya keterlibatan masing-masing pihak didasarkan

    pada peringkatpemrakarsa atau “otak” pelanggaran, pelaksana pelanggaran

    dan pembantupelanggaran.

    Jadi pada dasarnya komponen pelaku usaha periklanan dapat dituntut

    kepengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya

    apabila ternyata iklan yang dibuat merugikan konsumen dengan alasan

    memberikan suatu informasi yang menyesatkan dari informasi yang

    sebenarnya dari keadaan nyata suatu barang dan atau jasa.

    1. Perlindungan Konsumen Oleh Negara Dari Informasi Iklan Barang dan

    Jasa Yang Menyesatkan

    Negara beserta pemerintahnya berkewajiban untuk melindungi hak

    asasi manusia (konsumen).Dalam kaitannya dengan negara Indonesia

    sebagai Negara hukum, hal ini tentunya merupakan salah satu kewajiban

    yang harus dilaksanakan. Mengingat perlindungan terhadap hak-hak asasi

    manusia merupakan salah satusyarat negara hukum.Pengakuan dan

    perlindungan hak-hak dasar manusia dalamkonstitusi suatu negara

  • menunjukkan bahwa dari sebagian besar konstitusi Negara-negaradi dunia,

    hampir semuanya memuat tentang perlindungan hak asasi manusia.

    Kewajiban perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak terbatas

    melalui penormaan melalui UUD 1945.Penormaannya lebih lanjut melalui

    peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UUD 1945 untuk

    mengatur mengenai mekanisme penerapan atau penegakannya menjadi

    sangat penting agar ada acuan yang jelas dan tegas bagi aparat

    penyelenggara (organ) negara. Dengan kata lain, secara asas dan kaidah,

    maka hak-hak dasar manusia sebaiknya diatur pada UUD1945, sedangkan

    pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga dan proses penegakan hak-hak

    dasar bersangkutan perlu didelegasikan kepada perundang-undangan yang

    lebih rendah, seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen. Kehadiran

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggungjawab

    pemerintah dalam perlindungan hak-hak dasar manusia, sehingga ada

    kepastian hukum baik bagi pelaku usaha agar tumbuh sikap jujur dan

    bertanggungjawab, maupun bagi konsumen, yang merupakan pengakuan

    harkat dan martabatnya.

    Isi dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen selain asas dan

    tujuanserta hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dari segi materi

    hukum, secara umum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen mengatur sekaligus hukum acara/formil dan hukum

    materiil. Kemudian Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga

    mengatur kelembagaan perlindungan konsumen dalam bentuk Badan

  • Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun Badan Penyelesaian

    Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian sengketa konsumen

    dan ketentuan pidananya.

    Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen maka

    dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang mempunyai

    fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya

    mengembangkan perlindungan perlindungan konsumen di Indonesia. Untuk

    menjalankan fungsinya tersebut, Badan Perlindungan Konsumen Nasional

    mempunyai tugas yaitu :

    a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka

    penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen.

    b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-

    undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.

    c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut

    keselamatan konsumen.

    d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen

    masyarakat.

    e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan

    konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.

    f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,

    lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.

    Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan konsumen.

  • Sedangkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

    mempunyai tugas dan wewenang meliputi:

    a. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui

    mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

    b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

    c. Melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku.

    d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

    ketentuan dalam undang-undang ini.

    e. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

    konsumen.

    f. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari

    konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan

    konsumen.

    g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

    terhadap perlindungan konsumen.

    h. Memanggil, menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang

    dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang ini.

    i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

    saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan

    huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian

    sengketa konsumen.

    j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat

    bukti lain guna penyeledikan dan/ atau pemeriksaan.

  • k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

    konsumen.

    l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

    pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

    m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang

    melanggar ketentuan undang-undang ini.

    Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian

    terdapat 2 (dua) fungsi strategis dari BPSK yaitu:

    a. BPSK berfungsi sebgai instrumen hukum penyelesaian sengketa di

    luar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui

    konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

    b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausulbaku oleh

    pelaku usaha.34

    Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan

    keseimbangan kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen.

    Negara Indonesia yang menganut paham walfarestate (Negara

    kesejahteraan rakyat) membuat negara ikut campur dalam perekonomian

    rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang berwujud dalam bentuk

    peraturan perundang-undangan. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen membawa era baru dalam upaya memberikan perlindungan

    hukum kepada konsumen oleh negara, di mana beberapa kelemahan yang

    34

    Nadia Achmad. Analisi Yuridis Mengenai Kebijakan Sistem Payment Point Online

    Bank Oleh PT PLN (Persero) Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen , Tesis pada Program

    Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 2009.

  • terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang terdapat di luar

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen, termasuk aspek hukum

    publiknya telah dapat diatasi.35

    Ketentuan-ketentuan tentang tujuan, hak dan kewajiban, perbuatan

    yang dilarang bagi pelaku usaha, ketentuan tentang pencantuman klausula

    baku, tanggungjawab pelaku usaha, pembinaan dan pengawasan, tentang

    Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dan Lembaga Perlindungan

    Konsumen Swadaya Masyarakat, diharapkan dapat memberikan

    perlindungan yang memadai bagi konsumen, serta menciptakan

    kemandirian konsumen dalam bertransaksi dengan pelaku usaha.

    Sebagai undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan

    konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki beberapa

    tujuan yaitu:

    a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

    untuk melindungi diri;

    b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

    menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

    c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

    dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

    d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

    unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses

    mendapatkan informasi;

    35

    Menurut A.Z Nasution, terdapat beberapa kelemahan dalam menentukan hukum

    konsumen, Dedi Harianto. Op.cit.

  • e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

    perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

    bertanggung jawab dalam berusaha;

    f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

    kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

    kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

    Dari rumusan tujuan tersebut, akan terlihat bahwa tujuan Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen sebenarnya tidak hanya melindungi

    konsumen semata,tetapi juga membantu produsen/pelaku usaha yang

    memiliki itikad baik agar tetap dapat melanjutkan kelangsungan usahanya

    serta dapat bersaing dengan sehat.

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan

    khusus (lex specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan

    yang telah ada sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sesuai

    dengan asas hukum lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan di

    luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap berlaku sepanjang

    tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen. Hal ini termuat pengaturannya dalamPasal 64 Bab XIV

    ketentuan peralihan yang menegaskan segala ketentuan peraturan

    perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada

    pada saat undang-undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak

  • diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam

    undang-undang ini.

    Ketentuan khusus yang dimuat pengaturannya dalam Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen, pada umumnya dimaksudkan untuk

    mengantikan atau menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang terdapat

    diluar Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur

    permasalahan yang terkait dengan konsumen. Misalnya, ketentuan

    mengenai pembuktian kesalahan dalam Pasal 1865 Kitab Undang-undang

    Hukum Perdata yang meletakkan beban pembuktian kepada konsumen,

    diganti dengan asas pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 22, dan

    Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang meletakkan

    beban pembuktian kepada pelaku usaha. Hal ini didasarkan pertimbangan

    pelaku usaha mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan

    dengan konsumen dalam melakukan pembuktian.

    Memperhatikan hubungan yang terjalin antara Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen dengan Peraturan perundang-undangan lain di

    luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang juga mengatur

    masalah-masalah konsumen, maka dapat dikatakan bahwa Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen sebagai umbrella act bagi ketentuan

    peraturan perundang-undangan lainnya, dapat diberlakukan sepanjang

    dalam koridor ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

    Perlindungan konsumen oleh negara berkaitan dengan periklanan,

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen memuat pengaturannya bersama

  • dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha70, dalam

    Pasal 9, 10,12, 13, 17 dan Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen. Larangan-larangan berlaku bagi para pihak yang terkait

    dengan kegiatan periklanan mulai dari perusahaan pengiklan, perusahaan

    periklanan, serta media massa elektronik, maupun non-elektronik yang

    akan menayangkan iklan tersebut, walaupun yang terakhir ini tidak secara

    tegas disebutkan dalam ketentuan Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen, Mereka secara bersama-sama memiliki tanggungjawab untuk

    mencegah pemberian informasi yang menyesatkan konsumen.

    Pengaturan kegiatan periklanan dalam Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen diawali dengan beberapa larangan yang ditujukan bagi pelaku

    usaha dalam melaksanakan kegiatan penawaran, promosi, mengiklankan

    suatu barang atau jasa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Ayat (1)

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa pelaku

    usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang

    atau jasa secara tidakbenar, atau seolah-olah:

    a. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga

    khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakter

    tertentu, sejarah atau kegunaan tertentu;

    b. Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru;

    c. Barang atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memil iki sponsor

    persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja

    atau aksesori tertentu;

  • d. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang sponsor,

    persetujuan atau afiliasi;

    e. Barang atau jasa tersebut tersedia;

    f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

    g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

    h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

    i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa

    lain;

    j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak

    berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek samping tanpa

    keterangan yang lengkap;

    k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

    Pasal 9 ayat (2) dan (3) ditentukan agar barang dan/atau jasa sebagaimana

    dimaksudkan dalam ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan serta dilarang

    untuk dilanjutkan proses penawaran, promosi dan pengiklanannya.

    Memperhatikan substansi ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen ini, pada intinya merupakan bentuk larangan yang tertuju pada

    perilaku pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan

    suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah barang tersebut telah

    memiliki potongan harga, memenuhi standar mutu tertentu, dalam keadaan

    baik atau baru, telah mendapatkan atau sponsor, persetujuan, barang tersebut

    tersedia, tidak mengandung cacat tersembunyi, merupakan kelengkapan barang

    tertentu, seolah-olah berasal dari suatu daerah tertentu, secara langsung atau

  • tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain, mempergunakan kata-kata

    yang berlebihan, menawarkan sesuatu janji yang belum pasti.

    Larangan terhadap pelaku usaha tersebut dalam Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen membawa akibat bahwa pelanggaran atas larangan

    tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat

    dikenakan sanksi. Bagi pelaku usaha yang terlanjur telah membuat iklan yang

    melanggar ketentuan Pasal 9 harus menghentikan penawaran, promosi,

    penayangan iklan tersebut.

    Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimuat ketentuan,

    pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk

    diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau

    membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

    a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

    b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

    c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau

    jasa;

    d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

    e. Bahaya penggunaan barang dan atau jasa.