BAB III PEMBAHASAN A. Kriteria Iklan yang Menyesatkanrepository.untag-sby.ac.id/1560/10/BAB...
Transcript of BAB III PEMBAHASAN A. Kriteria Iklan yang Menyesatkanrepository.untag-sby.ac.id/1560/10/BAB...
-
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kriteria Iklan yang Menyesatkan
Pentingnya informasi yang jelas dan lengkap diharapkan dapat
melindungi konsumen dari kerugian yang diakibatkan oleh iklan-iklan yang
mengandung unsur penyesatan dan penipuan. Beberapa bentuk iklan yang
mengandung unsur penyesatan dan penipuan antara lain :
1. Iklan pancingan (bait and switch advertising), yang dapat dikategorikan iklan
pancingan adalah iklan sebenarnya tidak berniat untuk menjual produk yang
ditawarkan, melainkan lebih ditujukan pada menarik kunjungan konsumen ke
tempat usaha tersebut. Iklan jenis ini menawarkan barang-barang tertentu
dengan harga khusus semacam diskon atau janji pemberian hadiah, padahal
pelaku usaha tidak berniat melakukan ataupun jika melakukan dalam jumlah
yang tidak wajar, dimana konsumen kemudian menemukan kenyataan yang
tidak sesuai sebagaimana dijanjikan mengenai hal yang diiklankan.
2. Iklan menyesatkan (mock-up advertising). Klasifikasi iklan ini sedikit berbeda
dengan iklan pancingan. Iklan jenis ini biasanyahanya ingin menunjukkan
keampuhan suatu produk denganmelalui penggambaran yang berlebihan.
Biasanya iklan yang demikian, dengan menggunakan media televisi akan
menghasilkan efek tayangan yang mengesankan. Dari fenomena di atas jelas
-
tampak bahwa ternyata informasi telah dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga mengaburkan makna informasi yang sebenarnya.28 Sedikit berbeda
dengan bentuk iklan yang telah dikemukakan di atas, Pradopo berpendapat
bahwa ada 3 (tiga) tipe iklan yang memperdaya (deceptive advertising), yaitu :
a) Fraudulent advertising, iklan yang tidak dapat dipercaya (straight
forwardlie).
b) False advertising, klaim terhadap manfaat produk yang dapat dipenuhi
berdasarkan „syarat dan ketentuan yang berlaku‟ (under certain
conditions), yang tidak dijelaskan secara gamblang di iklan. Misalnya,
iklan salah satu provider telekomunikasi terkenal, mengklaim dirinya
paling murah, tetapi tidak pernah dijelaskan secara menyeluruh bahwa
tarif murah itu hanya berlaku berdasarkan syarat dan ketentuan. Bahkan
dalam iklannya pun tidak dituliskan syarat dan ketentuan berlaku.
c) Misleading advertising, iklan ini melibatkan antara klaim dan
kepercayaan. Dengan kata lain, sebuah iklan yang menghubungkan dengan
kepercayaan konsumen. Misalnya, konsumen percaya bahwa memiliki
kulit putih merupakan bagian dari kecantikan. Kepercayaan konsumen ini
dimanfaatkan produsen (pelaku usaha) pemutih kulit merek terkenal, yang
dengan menggunakan produk mereka, kulit akan menjadi putih dalam
waktu 7 (tujuh) hari. Saat ini memang belum ada definisi maupun
penafsiran yang tegas dan jelas mengenai iklan yang menyesatkan,
28 Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif
Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, h. 12-13.27.
-
sehingga menimbulkan pemahaman yang beragam atas pengertian iklan
yang menyesatkan tersebut. Salah satunya adalah adanya 2 (dua) sudut
pandang berbeda yang mencoba memberikan uraian lebih lanjut mengenai
iklan yang menyesatkan. Pertama, dari sudut pandang konsumen, iklan
yang menyesatkan dipandang sebagai pernyataan atau gambaran atas
produkyang menyebabkan konsumen terpedaya oleh janji pelaku usaha
dan mengakibatkan kerugian bagi konsumen itu sendiri. Kedua, dari sudut
pandang pelaku usaha, iklan yang menyesatkan dipandang sebagai
perbuatan pelaku usaha yang sengaja atau lalai dalam memberikan
pernyataan atau gambaran atas produk yang tidak benar, tidak jelas, dan
atau tidak jujur.
Kriteria iklan yang menyesatkan di televisi apabila merujuk pada
perspektif hukum positif di Indonesia antara lain yaitu:
1) Iklan yang mengelabui konsumen (misleading) mengenai kualitas,
kuantitas, bahan, kegunaan, harga, tarif, jaminan dan garansi barang
dan atau jasa dimana pelaku usaha tidak bisa bertanggungjawab dan
memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam iklan yang di
tayangkan di televisi.
2) Mendeskripsikan memberikan informasi secara keliru, salah, maupun
tidak tepat (deceptive) mengenai barang dan atau jasa.
3) Memberikan gambaran secara tidak lengkap (ommision) mengenai
informasi barang dan atau jasa.
-
4) Hal lain yang dilarang dan melanggar ketentuan hukum oleh pelaku
usaha adalah memberikan informasi yang berlebihan (puffery)
mengenai kualitas, sifat, kegunaan, kemampuan barang dan/atau jasa
dan membuat perbandingan barang dan atau jasa yang menyesatkan
konsumen.
Pada dasarnya standar kriteria periklanan di Indonesia sedikit
banyaknya telah disesuaikan dengan standar kriteria yang berlaku di negara-
negara maju, misalnya di Amerika Serikat, yaitu dengan telah
mempergunakan unsur-unsur fakta material sebagaimana tertuang dalam
Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta konsumen rasional
sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan b UUPK. Tetapi
keberadaan fakta material dan konsumen rasional tersebut belum cukup jelas
diatur dalam ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia sehingga pada
prakteknya belum secara tegas dijadikan sebagai dasar penentuan iklan
menyesatkan.
Iklan-iklan yang kerap menyesatkan di televisi, selain pelanggaran dari
sisi gambar, gerakan dan bahasa, hal ini juga dikarenakan belum adanya
kontrol yang serius terhadap iklan yang menyesatkan di televisi. Selain
menyesatkan dan tidak mengedukasi yang menyaksikan tayangan iklan
tersebut, Jelas sekali dibutuhkan kontrol yang serius dari pemerintah dengan
lembaga-lembaga yang berwenang untuk dapat mencegah dan mengontrol
iklan-iklan yang isinya mengelabui dan tidak bertanggung jawab.
-
Iklan di identifikasikan sebagai media promosi dan pengenalan bagi
produk yang akan di produksi atau dijual ke masyarakat. Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam ketentuan
Umum Pasal 1 ayat (6) menyebutkan :“Promosi adalah kegiatan pengenalan
atau menyebarluaskan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik
minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang
diperdagangkan”. Di dalam menentukan bentuk-bentuk iklan, terlebih dahulu
membedakan iklan menjadi 2 (dua) macam iklan, yaitu iklan media
elektronik (televisi, radio, internet dan lain sebagainya) dan non media
elektronik (surat kabar, majalah, brosur, reklame dan lain sebagainya). Iklan
melalui media televisi merupakan media favorit dan kerap kali menjadi
pilihan utama pelaku usaha. Iklan televisi mengambil peranan penting dalam
periklanan anatara lain sebagai berikut :
a) Iklan televisi berperan penting dalam membangun dan mengembangkan
citra positif bagi suatu perusahaan dan produk yang dihasilkan.
b) Membentuk opini publik yang positif terhadap perusahaan tersebut.
c) Mengembangkan kepercayaan masyarakat terhadap produk konsumsi
dan perusahaan yang memproduksinya.
d) Menjalinkomunikasi secara efektif dan efisien dengan masyarakat luas,
sehingga dapat membentuk pemahaman yang sama terhadap suatu produk
barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat luas.
Dalam kegiatan bisnis periklanan ada beberapa pihak dalam bisnis
periklanan, yaitu perusahaan periklanan (dvertising), media periklanan (media
-
masa), pemasang iklan (pengiklan), konsumen yaitu pemakai dan penikmat
produk yang diiklankan, pemerintah selaku pengawas berjalannya aturan main
(rule of the game), yang baik dan jelas dalam bisnis periklanan.29
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “menyesatkan”
berasal dari kata “sesat” artinya “salah jalan; tidak melalui jalan yang benar”.
Namun apabila kata “sesat” ditambah awalan “me-“ dan akhiran “kan” maka
akan berubah menjadi kata “menyesatkan” yang mengandung arti “membawa
ke jalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan)”. Sedangkan kata “iklan”
menurut Kamus Besar Indonesia mengandung arti ;
1. Berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai
tentang benda atau jasa yang ditawarkan;
2. Pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang
dijual, dipasang di dalam media masa seperti surat kabar atau majalah.
Kewajiban pelaku usaha seperti pada ketentuan Pasal 7 huruf b Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
“Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan
dan pemeliharaan”.
1. Kode Etik Periklanan
Pihak pelaku usaha harus memberikan dan bertanggungjawab atas
informasi yang benar, memadai dan jelas bagi kepentingan konsumen dalam
29 Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan
Konsumen. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 200, hal. 31.
-
memilih barang, informasi yang harus diberitahukan kepada konsumen, seperti
mengenai harga, kualitas dan keterangan-keterangan lainnya yang dapat
membantu konsumen dalam memutuskan untuk membeli barang sesuai dengan
kebutuhan dan kualitas barang. Tanggung jawab informasi pada iklan adalah
bahwa penawaran yang dilakukan pelaku usaha terhadap produk berupa barang
bergerak maupun tidak bergerak harus memuat keterangan yang tidak
menimbulkan salah. Interprestasi mengenai keadaan barang dan/atau jasa
tersebut.
Perlu diketahui bahwa tanggungjawab dalam memberikan keterangan
suatu produk sepenuhnya harus mengacu pada beberapa asas umum kode etik
atau tata karma periklanan, norma etik, hukum dan tanggung jawab dalam
periklanan, bukanlah hal yang mudah dengan dasar pertimbangan pertama,
kegiatan periklanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, dalam hal ini
pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), pengusaha
peringklanan, organisasi profesi periklanan (Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia) dan media periklanan. Di samping itu, juga melibatkan konsumen
selaku penerima informasi yang disajikan melalui iklan.30
2. Asas Kode Etik atau Tata Cara Periklanan
Di tengah-tengah kekosongan Undang-Undang Periklanan, akan lebih
terhormat kiranya bila kaidah atau norma itu ditegakkan melalui organisasi
profesi periklanan. Organisasi profesi lebih tahu, apakah suatu iklan nerupakan
30
Ibid, hal. 148.
-
kreativisitas kompetitif atau semu belaka. Di harapkan produk iklan yang
dihasilkan penuh muatan kreativitas yang menjunjung asas-asas umum kode
etik periklanan dan menyadarkan pelaku usaha periklanan agar lebih
memikirkan konsumen.
Pelaku usaha periklanan harus mengacu pada beberapa asas umum kode
etik atau tata karma periklanan yaitu sebagai berikut ;
a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat,
agama, tata asusila, adat, budaya, suku dan golongannya.
c. Iklan harus di jiwai oleh asas persaingan yang sehat.
3. Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia
Para sponsor dan penyusun Kode Etik Periklanan Indonesia memilih istilah
sendiri yang mereka sebut sebagai Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia (TKTCPI). Secara umum Tata Krama dimaksudkan untuk menjaga
citra bisnis periklanan di mata masyarakat, sedangkan tata cara bertujuan
untuk menjaga persaingan antar pengusaha periklanan agar berjalan dengan
wajar dan mencegah terjadinya persaingan curang dalam penyelenggaraan
bisnis periklanan. Jadi titik beratnya adalah agar terdapat praktek usaha
periklanan yang wajar dan sehat. Meskipun Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia (TKTCPI) tidak merupakan produk undang-undang yang
mengikat secara luas (publik) tetapi sebagai self regulation bagi para
-
anggotanya, kode etik ini memiliki arti penting dalam rangka memberikan
kejelasan aturan main (rule of the game). Sekaligus untuk menjaga tindakan
dan peritaku anggotanya agar tetap menjunjung etika dalam berusaha.
Sehingga persaingan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
melalui Periklanan tidak menimbulkan penyesatan informasi yang pada
akhirnya sangat merugikan konsumen.
Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) yang telah
disempurnakan menyebutkan bahwa asas-asas umum Periklanan harus
memuat,antara lain:
a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku.
b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat
negara, agama, adat budaya, hukum, dan golongan.
c. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.
Melalui kongres Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) yang
berlangsung pada tanggal 9 - 13 Oktober 2002 di Yogyakarta, Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) telah mewacanakan untuk segera
membuat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang periklanan.
Hal ini merupakan aspirasi dari seluruh anggota Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI), sehingga kalangan pengusaha periklanan
-
mendapatkan 1 (satu) landasan hukum yang kuat serta kejelasan rambu-rambu
dan batasan-batasan beriklan.31
4. Larangan Bagi Pelaku Usaha
Undang-Undang tentang perilaku periklanan sampai saat ini belum
diterbitkan, sekalipun iklan memainkan peran yang sungguh-sungguh berarti
dalam kehidupan masyarakat, baik dari sudut biaya, pengaruh pada masyarakat
bisnis dan konsumen, maupun pada kegiatan pemerintah. Beruntunglah
perilaku pelaku periklanan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha termasuk
didalamnya perilaku periklanan seperti periklanan barang dan atau jasa secara
tidak benar dan/atau seolah-olah memiliki potongan harga, standart.
Sebelum ada peraturan khusus mengenai iklan yang membawa
kerugian kepada para konsumen, kita dapat merujuk beberapa ketentuan yang
dapat digunakan untuk mengetahui dasar hukum periklanan itu, sebagaimana
yang terdapat di dalam hukum perdata pasal 1367 KUH Perdata, yang
berisi:“Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen setidaknya dapat mengurangi terjadinya pelanggaran
mengenai kerugian yang diderita konsumen, akibat mengkonsumsi barang dan
31
Taufik H Simatupang, Aspek Hukum Periklanan Dalam Perspektif Perlindungan
Konsumen, Bandung, PT Cipta Aditya Bakt i, 2004.
-
atau jasa melalui iklan yang menginformasikan produk yang tidak benar.
Kehadiran Undnag-Undnag Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen ini setidaknya dapat membantu masyarakat atau konsumen dari hal
yang tidak di inginkan (dari iklan yang member informasi yang tidak benar).
Ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen memberikan ketentuan tentang hak-hak konsumen dan
kewajiban bagi para pelaku usaha, sehingga dengan demikian sulit bagi
produsen atau pelaku usaha mengiklankan produknya terhadap masyarakat atau
konsumen dengan jalan sewenang-wenang, tanpa memikirkan akibat
hukumnya.
5. Batasan-batasan suatu iklan dikatakan menyesatkan
Periklanan adalah sebagai salah satu sarana pemasaran dan sarana
penerangan yang memegang peranan penting di dalam pembangunan yang
dilaksanakan bangsa Indonesia.Periklanan sebagai sarana pemasaran dan
penerangan, merupakan bagian dari kehidupan media komunikasi yang vital
bagi pengembangan dunia usaha serta harus berfungsi menunjang
pembangunan. Iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentengan
dengan hukum yang berlaku, iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan
atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan
golongan serta iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.
Sebuah yang ditayangkan di televisi terkadang sepintas terlihat sangat
cerdik sehingga mudah diingat oleh penontonnya (konsumen), bila bisa
-
mengingat sebagian dari tanda-tanda seperti gambar yang menarik atau hiasan
yang unik pada iklan tersebut, maka dapat dikatakan konsumen terbujuk untuk
mengkonsumsinya. Umumnya pesan iklan di televisi memang dibuat
sederhana mungkin untuk menarik konsumen, karena konsumen jarang
menyediakan waktu yang cukup lama untuk memperhatikan sebuah iklan,
sehingga tidak dapat membedakan mana iklan yang jujur dan mana iklan yang
menyasatkan.
Iklan yang jujur adalah iklan yang tidak boleh menyasatkan antara lain
dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui dan
memberikan janji yang berlebihan. Kemudian selain suatu iklan dikatakan
jujur, isi dari iklan harus diperhatikan penyataanya dan janji mengenai produk
barang dan atau jasa dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Suatu iklan
harus menggunakan bahasa yang baik dan istilah yang tepat.
Menurut pengakuan orang yang berkecimpung di bidang iklan yaitu
David Ogivly, “Bahwa iklan yang baik adalah iklan yang semanarik khalayak
juga masyarakat dan duni iklan mengingatnya sebagai iklan yang pantas
dikagumi”.32Iklan yang baik tidak hanya terpaku pada kreativitas iklan yang
dihasilkan, tetapi juga mampu menampilkan produk yang aman dikonsumsi
oleh konsumen dan berkualitas bagus. Konsumen bila melontarkan pendapat
tentang adanya cacat dalam suatu, keluhan tersebut jangan diksampingkan,
apabila perlu harus diakui bila ternyata memang benar terdapat cacat.
Konsumen yang mengajukan pengaduan demikian, belum tentu selanjutnya
32
David Ogivly, pengakuan Orang Iklan, Pustaka Tangga, Jakarta, hal.123.
-
konsumen meninggalkan produk tersebut. Hal ini supaya menjadi masukan
bagi pelaku usaha tentang apa-apa saja yang harus diperbaiki terhadap
produknya.
Batasan suatu iklan yang menyesatkan adalah sebagaimana yang
tersirat dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Perlindungan konsumen
adalah:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang
dan atau jasa.
b. Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang dan atau jasa. c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat barang dan atau jasa. d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan atau jasa. e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa ijin yang berwenang
atau persetujuan yang bersangkutan.
f. Melanggar etika dan/atau peraturan perundang-undangan yang mengenai periklanan.
Bahan perbandingan tentang batsan iklan yang menyesatkan
konsumen, dapat dilihat pada ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yaitu diisyaratkan setiap iklan obat harus memuat informasi
sesuai dengan persetujuan yang diberikan departeen kesehatan pada saat obat
tersebut didaftarkan. Sehingga jenis obat yang boleh diiklankan hanyalah jenis
obat bebas dan terbatas, buat obat keras. Selain itu sejak tahun 1989 naskah
iklan obat-obatan yang belum diiklankan harus diserahkan kepada Direktorat
Jenderal Pengawan Obat dan Makanan (Dirjen POM). Meskipun sudah ada
larangan seperti tersebut diatas, pada prakteknya ternyata banyak sekali iklan
yang ditayangkan ditelevisi tidak sesuai dengan apa yang sudah disetujui oleh
Dirjen POM, maka iklan obat-oabatan yang berada dipasar yang khususnya
ditayangkan ditelevisi banayak yang menyesatkan konsumen. Berarti dari
-
sekian banyak iklan oabat-obatan yang ditayangkan di televisi tidak sedikit
yang memberikan informasi yang tidak jujur.
Perbandingan lainnya tentang batasan iklan yang menyesatkan adalah
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, yang
menyatakan bahwa setiap label dan atau iklan tentang pangan yang
diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan
tidak menyesatkan, sedangkan dalam Pasal34 dinyatakan bahwa iklan pangan
yang diperdagangkan adalah sesuai denagan persyaratan agama atau
kepercayaan tertentu bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdaarkan
agama dan kepercayaan tersebut atau dikenal dengan pencantuman label
“halal”. Denagan pencantuman label “halal” seperti ditentukan oleh pasal 34
akan memberikan rasa aman pada konsumen untuk mengkonsumsinya,
sehingga paling tidak iklan tersebut tidak menyesatkan konsumen.
Dengan adanya kedua perbandingan pada Undnag-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang
Pangan diharapkan lebih dapat memperjelas batasan-batasan iklan yang
menyesatkan konsumen itu.
6. Kerugian Konsumen Terhadap Iklan yang Menyesatkan di Media
Televisi
Hak konsumen sebagaimana yang teah diuraikan diatas, pada
dasarnya harus ditegakkan. Salah satu factor untuk menegakkan hak-hak
konsumen itu adalah upaya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku
-
konsumen itu sendiri, sehingga menjadi konsumen yang bertanggungjawab,
yaitu konsumen yang sadar akan hak-haknyasebagai konsumen.
Bahwa kegiatan konsumen dalam meningkatkan barang dan atau jasa
yang dibutuhkannya, pada umumnya dikuasai oleh hukum perdata,oleh karena
itu peranan hukum perdata sangat besar artinya dalam menegakkan hak-hak
konsumen dalam hukum perlindungan konsumen. Disamping itu, aspek
hukum perdata yang cukup menonjol pada perlindungan konsumen adalah hak
konsumen untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang diderita
konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang konsumsi. Ganti rugi
atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-
barang konsumsi merupakan salah satu hak pokok konsumen dalam hukum
perlindungan konsumen. Hak atas ganti rugi ini bersifat universal disamping
hak-hak pokok lainnya.
Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen pada hakekatnya
berfungsi sebagai :
a. Pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar.
b. Pemulihan atas kerugian materil maupun immaterial yang telah
dideritanya.
c. Pemulihan pada keadaan semula.
Kerugian yang dapat diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian
barang-barang konsumsi itu dapat di klasifikasikan ke dalam :
a. Kerugian materil, yaitu berupa kerugian pada barang dan/atau jasa yang
dibeli.
-
b. Kerugian immateril, yaitu kerugian yang dapat membahayakan kesehatan
dan/atau jiwa konsumen.
Konsumen menderita kerugian secara materil disaat produk yang
dibeli tidak sesuai dengan informasi yang telah diiklankan dimedia masa
khususnya media televisi, yaitu :
a. Iklan pemanis buatan bebas gula (Tropicana slim) mengakibatkan
kerugian kepada konsumen secara materil, yaitu konsumen setelah
menyaksikan iklan tersebut di televisi, menjadi ketakutan dalam
mengkonsumsi gula. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa orang
yang tidak menderita diabetes militus atau tidak mempunyai faktor resiko
diabetes militus dengan mengkonsumsi gula berlebih tidak akan
menimbulkan diabetes militus dikemudian hari. Begitu juga bagi penderita
diabetes militus, dengan mengganti gula dengan pemanis buatan bebas
gula (Tropicana slim) tidak cukup untuk mencegah penyakit
tersebut.Untuk mencegah komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit
diabetes militus, seorang diabetes harus mampu menjaga kadar gula
darahnya dalam ambang normal, dengan cara minum obat atau
mendapatkan suntikan insulin, menjaga pola makn sesuai diet yang
dianjurkan ahli gizi dan aktifitas seimbang, termasuk olah raga yang
sangat teratur, serta gaya hidup sehat.
b. Kerugian materil dari iklan minuman isotonic Mizone yaitu konsumen
setelah membeli produk tersebut, khasiat dari minuman tersebut tidak
sesuaidengan iklan yang ditayangkan di televisi, yaitu menambah
-
konsentrasi berfikir menjadi 100 % (Slogan; Be 100%). Pesan dari iklan
tersebut melebih-lebihkan, dimana orang yang mengkonsusi minuman
tersebut akan dijamin 100% menjadi lebih konsentrasi dari sebelum
minum minuman tersebut, selain itu dari segi bahan yang dikandung
minuman isotonic Mizone mengandung bahan pengawet yang
membahayakan tubuh jika dikonsumsi dalam jangka waktu terus-menerus
dan terakumulasi akan mengakibatkan kerusakan anti body tubuh yang
mengakibatkan penyakit lupus dan merusak hati (kerugian Immateril).
Kerugian immaterial yang diderita konsumen dari produk yang telah
dibeli dari iklan yang ditayangkan di televisi, seperti contoh iklan iklan
pemanis buatan bebas gula Tropikana Slim dan iklan minuman isotonic
Mizone yaitu konsumen dapat memperoleh kerugian yang membahayakan
kesehatan dan/atau jiwanya setelah mengkonsumsi produk tersebut.
7. Upaya Hukum
Menghindari ketidakseimbangan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
agar konsumen tidak menjadi objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat
promosi, cara penjualan, terutama terhadap iklan yang merugikan, perlu
memahami pertanggungjawaban dalam periklanan.
-
Di
dalam kode etik periklanan ditetapkan prinsip-prinsip etika yang harus
dijalankan usaha periklanan, yaitu :
a. Iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku.
b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan, merendahkan martabat,
agama, tata susila, adat, budaya, suku dan golongan.
c. Iklan dijiwai asas persaingan sehat.33
Perik
lanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, diantaranya pengusaha pengiklan .
B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dari Iklan Di Televisi Yang
Menyesatkan
Pengertian “konsumen” yang termuat dalam Pasal 1 angka (2) Undang
-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Dalam
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1
angka (1) menyatakan bahwa pelindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Salah satu hak yang dijamin oleh undang-undang adalah hak
33 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 140.
-
konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai produk
barang/jasa pelaku usaha. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan
kewajiban dan melanggar larangan tersebut, maka konsumen yang merasa
dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban. Pasal 20 Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa “Pelaku
usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala
akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”.
Di dalam hukum pidana tentang pemberian keterangan yang tidak
benar dan menyesatkan melalui media iklan, memang tidak secara tegas
disebutkan. Tetapiapabila ditinjau buku kedua KUHP Bab XXV (dua puluh
lima), termuat berbagai ketentuan mengenai kejahatan perbuatan curang atau
yang lebih dikenal dengan istilah penipuan, yang terdiri dari dua puluh pasal.
Dalam dua puluh pasal tersebut secara terperinci disebutkan perbuatan-
perbuatan yang dianggap sebagai penipuan, antara lain penipuan terhadap
asuransi, persaingan curang, penipuan dalam jual beli, sampai kepada
penipuan di bidang kepengacaraan.
Setelah itu selain dapat dikenakan sanksi pidana pokok sebagaimana
diatur dalam Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
pelaku usaha sesuai ketentuan Pasal 63 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dapat pula diancam dengan hukuman tambahan,
berupa: a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c.
Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang
-
menyebabkan timbulnya kerugia konsumen; e. Kewajiban penarikan barang
dari peredaran; f. Pencabutan izin usaha.
Terlepas dari kompleksitas penentuan subyek yang harus
bertanggungjawab, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara nyata
melalui Pasal 60 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
memberikan konsekuensi sanksi administratif bagi pihak-pihak yang terbukti
melanggar ketentuan larangan iklan tersebut. “Adapun sanksi administratif
tersebut adalah sebanyak-banyaknya sebesar Rp 200.000.000,-Dalam
melakukan kerjasamanya, ketiga pihak yang berkepentingandalam periklanan
pada umumnya melakukan suatu perjanjian/kontrak secara tertulis, karena ini
menyangkut beban pertanggungjawaban yang ditanggung dan di samping itu
perjanjian/kontrak juga dapat digunakan sebagai bukti dalam suatu peradilan
apabila ada konsumen yang menggugat atas suatu iklan yang merugikan.”
Pertanggungjawaban dapat diberlakukan terhadap para pelaku
periklananapabila dalam pembuatan atau produksi, penerbitan atau
penyebaran isi materi suatu iklan melanggar Tata krama dan Tata Cara
Periklanan sehingga menyebabkan timbulnya kerugian pada
konsumen.Pertanggungjawaban tanggung renteng dapat diberlakukan terhadap
para pelaku usaha periklanan apabila dalam pembuatan atau produksi,
penerbitan atau penyebaran, isi materi suatu iklan melanggar Tata Krama dan
Tata Cara Periklanan, sehingga menyebabkan timbulnya kerugian pada
konsumen. Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang
-
disempurnakan pada bab V sub 4 tentang bobot pelanggaran menyebutkan
bahwa :
1. Bobot pelanggaran tata krama dan tata cara periklanan Indonesia
ditentukan secara klausuldan dengan melihatbobot, peran dari masing-
masing pihak yang terlibat.
2. Bobot peran atau besarnya keterlibatan masing-masing pihak didasarkan
pada peringkatpemrakarsa atau “otak” pelanggaran, pelaksana pelanggaran
dan pembantupelanggaran.
Jadi pada dasarnya komponen pelaku usaha periklanan dapat dituntut
kepengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya
apabila ternyata iklan yang dibuat merugikan konsumen dengan alasan
memberikan suatu informasi yang menyesatkan dari informasi yang
sebenarnya dari keadaan nyata suatu barang dan atau jasa.
1. Perlindungan Konsumen Oleh Negara Dari Informasi Iklan Barang dan
Jasa Yang Menyesatkan
Negara beserta pemerintahnya berkewajiban untuk melindungi hak
asasi manusia (konsumen).Dalam kaitannya dengan negara Indonesia
sebagai Negara hukum, hal ini tentunya merupakan salah satu kewajiban
yang harus dilaksanakan. Mengingat perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia merupakan salah satusyarat negara hukum.Pengakuan dan
perlindungan hak-hak dasar manusia dalamkonstitusi suatu negara
-
menunjukkan bahwa dari sebagian besar konstitusi Negara-negaradi dunia,
hampir semuanya memuat tentang perlindungan hak asasi manusia.
Kewajiban perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak terbatas
melalui penormaan melalui UUD 1945.Penormaannya lebih lanjut melalui
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UUD 1945 untuk
mengatur mengenai mekanisme penerapan atau penegakannya menjadi
sangat penting agar ada acuan yang jelas dan tegas bagi aparat
penyelenggara (organ) negara. Dengan kata lain, secara asas dan kaidah,
maka hak-hak dasar manusia sebaiknya diatur pada UUD1945, sedangkan
pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga dan proses penegakan hak-hak
dasar bersangkutan perlu didelegasikan kepada perundang-undangan yang
lebih rendah, seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen. Kehadiran
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggungjawab
pemerintah dalam perlindungan hak-hak dasar manusia, sehingga ada
kepastian hukum baik bagi pelaku usaha agar tumbuh sikap jujur dan
bertanggungjawab, maupun bagi konsumen, yang merupakan pengakuan
harkat dan martabatnya.
Isi dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen selain asas dan
tujuanserta hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dari segi materi
hukum, secara umum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mengatur sekaligus hukum acara/formil dan hukum
materiil. Kemudian Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga
mengatur kelembagaan perlindungan konsumen dalam bentuk Badan
-
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian sengketa konsumen
dan ketentuan pidananya.
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen maka
dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang mempunyai
fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan perlindungan konsumen di Indonesia. Untuk
menjalankan fungsinya tersebut, Badan Perlindungan Konsumen Nasional
mempunyai tugas yaitu :
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen.
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen
masyarakat.
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.
Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan konsumen.
-
Sedangkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
mempunyai tugas dan wewenang meliputi:
a. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
c. Melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku.
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang ini.
e. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen.
f. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen.
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
h. Memanggil, menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang ini.
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian
sengketa konsumen.
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyeledikan dan/ atau pemeriksaan.
-
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen.
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian
terdapat 2 (dua) fungsi strategis dari BPSK yaitu:
a. BPSK berfungsi sebgai instrumen hukum penyelesaian sengketa di
luar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui
konsiliasi, mediasi dan arbitrase.
b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausulbaku oleh
pelaku usaha.34
Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan
keseimbangan kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen.
Negara Indonesia yang menganut paham walfarestate (Negara
kesejahteraan rakyat) membuat negara ikut campur dalam perekonomian
rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang berwujud dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen membawa era baru dalam upaya memberikan perlindungan
hukum kepada konsumen oleh negara, di mana beberapa kelemahan yang
34
Nadia Achmad. Analisi Yuridis Mengenai Kebijakan Sistem Payment Point Online
Bank Oleh PT PLN (Persero) Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen , Tesis pada Program
Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 2009.
-
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang terdapat di luar
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, termasuk aspek hukum
publiknya telah dapat diatasi.35
Ketentuan-ketentuan tentang tujuan, hak dan kewajiban, perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha, ketentuan tentang pencantuman klausula
baku, tanggungjawab pelaku usaha, pembinaan dan pengawasan, tentang
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dan Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat, diharapkan dapat memberikan
perlindungan yang memadai bagi konsumen, serta menciptakan
kemandirian konsumen dalam bertransaksi dengan pelaku usaha.
Sebagai undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan
konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki beberapa
tujuan yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
mendapatkan informasi;
35
Menurut A.Z Nasution, terdapat beberapa kelemahan dalam menentukan hukum
konsumen, Dedi Harianto. Op.cit.
-
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Dari rumusan tujuan tersebut, akan terlihat bahwa tujuan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen sebenarnya tidak hanya melindungi
konsumen semata,tetapi juga membantu produsen/pelaku usaha yang
memiliki itikad baik agar tetap dapat melanjutkan kelangsungan usahanya
serta dapat bersaing dengan sehat.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan
khusus (lex specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
yang telah ada sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sesuai
dengan asas hukum lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan di
luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap berlaku sepanjang
tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Hal ini termuat pengaturannya dalamPasal 64 Bab XIV
ketentuan peralihan yang menegaskan segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada
pada saat undang-undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak
-
diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
undang-undang ini.
Ketentuan khusus yang dimuat pengaturannya dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, pada umumnya dimaksudkan untuk
mengantikan atau menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang terdapat
diluar Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur
permasalahan yang terkait dengan konsumen. Misalnya, ketentuan
mengenai pembuktian kesalahan dalam Pasal 1865 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang meletakkan beban pembuktian kepada konsumen,
diganti dengan asas pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 22, dan
Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang meletakkan
beban pembuktian kepada pelaku usaha. Hal ini didasarkan pertimbangan
pelaku usaha mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan
dengan konsumen dalam melakukan pembuktian.
Memperhatikan hubungan yang terjalin antara Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dengan Peraturan perundang-undangan lain di
luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang juga mengatur
masalah-masalah konsumen, maka dapat dikatakan bahwa Undang-
Undang Perlindungan Konsumen sebagai umbrella act bagi ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya, dapat diberlakukan sepanjang
dalam koridor ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen oleh negara berkaitan dengan periklanan,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memuat pengaturannya bersama
-
dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha70, dalam
Pasal 9, 10,12, 13, 17 dan Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Larangan-larangan berlaku bagi para pihak yang terkait
dengan kegiatan periklanan mulai dari perusahaan pengiklan, perusahaan
periklanan, serta media massa elektronik, maupun non-elektronik yang
akan menayangkan iklan tersebut, walaupun yang terakhir ini tidak secara
tegas disebutkan dalam ketentuan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, Mereka secara bersama-sama memiliki tanggungjawab untuk
mencegah pemberian informasi yang menyesatkan konsumen.
Pengaturan kegiatan periklanan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen diawali dengan beberapa larangan yang ditujukan bagi pelaku
usaha dalam melaksanakan kegiatan penawaran, promosi, mengiklankan
suatu barang atau jasa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
atau jasa secara tidakbenar, atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakter
tertentu, sejarah atau kegunaan tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru;
c. Barang atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memil iki sponsor
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja
atau aksesori tertentu;
-
d. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. Barang atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa
lain;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek samping tanpa
keterangan yang lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Pasal 9 ayat (2) dan (3) ditentukan agar barang dan/atau jasa sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan serta dilarang
untuk dilanjutkan proses penawaran, promosi dan pengiklanannya.
Memperhatikan substansi ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini, pada intinya merupakan bentuk larangan yang tertuju pada
perilaku pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah barang tersebut telah
memiliki potongan harga, memenuhi standar mutu tertentu, dalam keadaan
baik atau baru, telah mendapatkan atau sponsor, persetujuan, barang tersebut
tersedia, tidak mengandung cacat tersembunyi, merupakan kelengkapan barang
tertentu, seolah-olah berasal dari suatu daerah tertentu, secara langsung atau
-
tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain, mempergunakan kata-kata
yang berlebihan, menawarkan sesuatu janji yang belum pasti.
Larangan terhadap pelaku usaha tersebut dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen membawa akibat bahwa pelanggaran atas larangan
tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat
dikenakan sanksi. Bagi pelaku usaha yang terlanjur telah membuat iklan yang
melanggar ketentuan Pasal 9 harus menghentikan penawaran, promosi,
penayangan iklan tersebut.
Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimuat ketentuan,
pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau
jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan atau jasa.