BAB III METODE TAFSĪR MAUḌŪ’Ī DAN SEJARAH...

16
37 BAB III METODE TAFSĪR MAUŪ’Ī DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA A. Definisi Tafsīr Mauū’ī dan Bentuk Kajiannya 1. Definisi Tafsīr Mauū’ī Tafsīr Mauū’ī terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsīr dan kata mauū’ī. Kata tafsīr menurut bahasa yaitu dari kata yang berarti (menjelaskan, menerangkan, menyingkap) ( Quthān, 1995: 163). Kata mauū’ī dinisbatkan kepada kata mauū, isim maf’ûl dari fi’il māi waa’ayang memiliki makna beraneka ragam, yaitu yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh, yang dibuat-buat, yang dibicarakan/tema/topik. Makna yang terakhir ini (tema/topik) yang relevan dengan konteks pembahasan di sini. Secara harfiah tafsir maudhû’i dapat diterjemahkan dengan tafsir tematik, yaitu tafsir berdasarkan tema atau topik tertentu (Hariyanto, 2014). Untuk itu, dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan tafsir tematik. Pengertian tafsīr mauū’ī secara terminologi banyak dikemukakan oleh para pakar tafsir yang pada prinsipnya bermuara pada makna yang sama. Salah satu definisi tafsīr mauū’ī ialah yang dikemukakan Abdul Hayyi al-Farmawi dalam kitabnya al-

Transcript of BAB III METODE TAFSĪR MAUḌŪ’Ī DAN SEJARAH...

37

BAB III

METODE TAFSĪR MAUḌŪ’Ī DAN SEJARAH

PERKEMBANGANNYA

A. Definisi Tafsīr Mauḍū’ī dan Bentuk Kajiannya

1. Definisi Tafsīr Mauḍū’ī

Tafsīr Mauḍū’ī terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsīr dan

kata mauḍū’ī. Kata tafsīr menurut bahasa yaitu dari kata yang

berarti (menjelaskan, menerangkan, menyingkap) (Quthān,

1995: 163). Kata mauḍū’ī dinisbatkan kepada kata mauḍū, isim

maf’ûl dari fi’il māḍi “waḍa’a” yang memiliki makna beraneka

ragam, yaitu yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh, yang

dibuat-buat, yang dibicarakan/tema/topik. Makna yang terakhir ini

(tema/topik) yang relevan dengan konteks pembahasan di sini.

Secara harfiah tafsir maudhû’i dapat diterjemahkan dengan tafsir

tematik, yaitu tafsir berdasarkan tema atau topik tertentu

(Hariyanto, 2014). Untuk itu, dalam bahasa Indonesia sering juga

disebut dengan tafsir tematik.

Pengertian tafsīr mauḍū’ī secara terminologi banyak

dikemukakan oleh para pakar tafsir yang pada prinsipnya bermuara

pada makna yang sama. Salah satu definisi tafsīr mauḍū’ī ialah

yang dikemukakan Abdul Hayyi al-Farmawi dalam kitabnya al-

38

Bidāyah fi al-tafsīr al-Mauḍū’i, Dirāsah Manhajiyyah

Mauḍū’īyyah, (Farmawi, 1977: 52). sebagai berikut:

“Mengumpulkaan ayat-ayat Al-Qur’ān yang mempunyai tujuan

yang satu, bersama-sama membahasa topik/ judul/ tema tertentu

dengan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa

turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian

memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan, penjelasan-penjelasan,

keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat lain serta

mengistimbat hukum”.

Definisi lain dari tafsīr mauḍū’ī juga dikemukakan dalam

kitab Mabāḥis fī at-Tafsīr al-Mauḍū’ī, (Muslim, 1989: 16) :

“At-Tafsīr al-Mauḍū’ī ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah al-Qur’ān al-Karīm yang (memiliki) kesatuan

makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang

bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk

kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi

kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-

syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan

mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkannya

antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat

komprehensif”.

39

2. Bentuk Kajian Tafsīr Mauḍū’ī

Tafsīr mauḍū’ī mempunyai dua macam bentuk kajian yang

sama-sama bertujuan menggali hukum-hukum yang terdapat di

dalam al-Qur’ān, mengetahui korelasi diantara ayat-ayat dan untuk

membantah tuduhan bahwa di dalam al-Qur’ān itu sering terjadi

pengulangan, juga untuk menepis tuduhan lainnya yang

dilontarkan oleh sebagian orientalis dan pemikir Barat. Kajian ini

juga bertujuan memperlihatkan betapa besarnya perhatian al-

Qur’ān terhadap kemashlahatan umat manusia, seperti yang terlihat

di dalam syari’atnya yang bijaksana dan adil (Farmawi, 1996: 35).

Kedua bentuk kajian tafsīr mauḍū’ī yang dimaksud adalah:

pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan

utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan

khusus. Menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang

dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang

betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat

dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah

tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan

dibawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara

mauḍū’ī. Bentuk kajian tafsīr mauḍū’ī yang kedua ini yang inilah

yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah tafsīr

mauḍū’ī (Farmawi, 1996: 36)

40

Pola tafsir mauḍū’ī (tematik) menggunakan tiga pendekatan.

Pertama, menekankan pentingnya memahami arti bahasa kata-kata

Al-Qur’an (lexical meaning of any Qur’anic word). Kedua,

menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang berhubungan

dengan tema pokok yang dibahas. Ketiga, dalam rangka

memahami kata, kalimat dan struktur bahasa al-Qur’ān harus ada

kesadaran untuk mengakui adanya sebuah penafsiran harus

dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.

Antara teks suatu ayat dengan konteks penerapannya dalam suatu

lingkungan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan

satu sama lain. Itulah sebabnya penerapan teks-teks al-Qur’ān pada

setiap situasi dan kondisi, pengetahuan tentang aspek kesejarahan

suatu ayat sangat penting untuk membantu memecahkan

persoalan-persoalan kemanusiaan modern (Shihab, 2005: 16).

B. Sejarah Perkembangan Tafsīr Mauḍū’ī

1. Perkembangan Tafsīr Mauḍū’ī dari Masa ke Masa

Bila ditelusuri perkembangan tafsir al-Qurān dimulai sejak

awal pertumbuhannya di masa hidup Rasulullah SAW. Dapat

dikatakan bahwa tafsīr mauḍū’ī sudah terwujud, walau hanya

sederhana. Upaya mempertemukan beberapa ayat yang semakna

atau yang berkaitan dengan masalah tertentu sudah ada dengan

41

munculnya penafsiran ayat al-Qurān dengan ayat al-Qurān yang

lain. Hal ini dapat dimaklumi, sebab al-Qurān dalam kapasitasnya

sebagai pedoman hidup bagi manusia dan memberi petunjuk

tentang ajarannya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi

yang membutuhkan, sehingga kadang-kadang diturunkan ayat

yang mujmal, muthlaq, dan umum, tetapi kadang-kadang

diturunkan ayat yang terinci, tertentu, dan khusus (Hariyanto,

2014).

Hal-hal yang diterangkan secara mujmal dalam suatu ayat,

lalu dijelaskan secara terinci dalam ayat yang lain. Demikian pula

petunjuk yang diberikan secara umum dalam suatu ayat,

kadangkala dijelaskan secara khusus dalam ayat yang lain.

Dengan demikian berarti bahwa ayat-ayat al-Quran telah

ditafsirkan dengan sumber dari al-Qurān sendiri, sehingga dapat

diketahui maksud firman Allah itu melalui penjelasan dari firman

Allah itu juga dalam ayat yang lain. Karena Allah yang

mempunyai firman itulah yang lebih mengetahui maksud yang

dikehendakinya daripada yang lain (Żahabi, 1961: 37).

Contoh tafsīr mauḍū’ī pada masa Nabi Muhammad SAW.

ialah beliau menafsirkan kata dalam QS al-An’ām, 6: 82.

42

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman

mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat

keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat

petunjuk. (QS. al-An’ām (6): 82)

Kata pada ayat diatas dimaknai dengan yang ada

pada ayat . Dengan penafsiran Nabi tersebut

berarti beliau telah menanamkan tafsīr mauḍū’ī dan memberi

isyarat bahwa lafal-lafal yang sukar diketahui maksudnya dalam

suatu ayat perlu dicari penjelasannya pada lafal-lafal yang terdapat

dalam ayat yang lain. Dalam konteks ini, Abdul Hayyi al-Farmawi

mengatakan bahwa semua ayat yang ditafsirkan dengan ayat al-

Qurān adalah termasuk tafsīr mauḍū’ī dan sekaligus merupakan

permulaan pertumbuhan tafsīr mauḍū’ī (Farmawi, 1977: 54).

Kemudian sesudah itu tumbuh pula bibit-bibit tafsīr

mauḍū’ī dalam beberapa halaman kitab-kitab tafsir yang besar

menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qur’ān, antara lain: al-Bayān fi

Aqsām al-Qur’ān oleh Ibn al-Qayyim, Mufrādat al-Qur’ān oleh al-

Rāghib, dan Ahkām al-Qur’ān oleh al-Jashshās (Farmawi, 1977:

55), dan lain sebagainya.

43

Kitab-kitab tafsir tersebut belum dimaksudkan secara

khusus sebagai tafsīr mauḍū’ī yang berdiri sendiri, walau

demikian setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa bentuk tafsīr

mauḍū’ī ini sudah bukan merupakan bentuk baru. Sebab yang

merupakan hal yang baru adalah perhatian para mufassir terhadap

metode penafsiran tematik yang dapat dibedakan dari metode

penafsiran yang lain, bahkan dapat dipisahkan sebagai metode

tematik yang berdiri sendiri.

Kitab-kitab tafsir yang sudah banyak membahas masalah-

masalah tertentu rupanya masih dianggap belum memadai untuk

menjawab aneka ragam permasalahan dalam masyarakat. Di sini

para mufassir mendapat inspirasi baru dan bermunculan karya-

karya tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan

menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang berbicara

tentang topik tersebut, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan

dari masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’ān.

Istilah metode tafsīr mauḍū’ī sendiri diperkirakan baru

lahir sekitar abad 14 H/19 M, tepatnya ketika ditetapkan sebagai

mata kuliah pada jurusan tafsir fakultas ushuluddin di Jami’ah Al-

Azhar (Universitas Al-Azhar) yang diprakarsai oleh Abd Hayy Al-

Farmawi, ketua jurusan tafsir hadis pada fakultas tersebut. Adapun

di Indonesia, tafsīr mauḍū’ī pemasyarakatannya diprakarsai oleh

44

M. Quraisy Shihab. Menurut Shihab, metode mauḍū’ī walaupun

benihnya telah dikenal sejak masa Rasulullah saw., namun ia baru

berkembang jauh setelah masa beliau (Suma, 2013: 391-392).

2. Perhatian Mufassir (Penafsir) Terhadap Tafsīr Mauḍū’ī

Sebagaimana telah diketahui bahwa para mufassir di dalam

menafsirkan al-Qur’ān lazim mengikuti runtutan ayat seperti yang

terdapat di dalam musḥaf, kemudian mereka menafsirkan ayat

demi ayat dan surat demi surat, dengan maksud untuk mengetahui

makna-makna dan segala rahasia yang terkandung di dalam al-

Qur’ān. Masing-masing mufassir juga lazim dipengaruhi oleh

bidang ilmu yang menjadi keahliannya. Inilah yang menyebabkan

tafsir itu memiliki bermacam-macam corak dan warna, sesuai

dengan perbedaan wawasan dan bidang kelimuan para mufassir

tersebut serta adanya silang pendapat diantara mereka (Farmawi,

1996: 40).

Di tengah-tengah suasana perkembangan tafsir yang

demikian, para mufassir zaman dulu tidak mempunyai kepedulian

untuk menafsirkan al-Qur’ān secara tematik karena dua sebab:

Pertama, metode tafsīr mauḍū’ī dianggap mengarah kepada

kajian spesialis, yang bertujuan mengkaji satu tema bahasan

setelah meneliti dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan

tema tersebut. Sedangkan pada saat itu kajian tematik belum

45

menjadi tujuan kajian. Kedua, para mufassir zaman dulu belum

merasakan penting dan perlunya untuk melakukan kajian terhadap

topic-topik tertentu yang terdapat di dalam al-Qur’ān al-Karīm

menurut cara kerja metode mauḍū’ī. Mereka semua hafal al-

Qur’ān, dan ilmu keislaman mereka sangat mendalam serta

mencakup semua aspek. Oleh karenanya, mereka mempunyai

kompetensi menghubungkan maksud suatu ayat yang berkaitan

dengan topic masalah tertentu yang ia jelaskan melalui spesialisasi

ilmunya (Farmawi, 1996: 41).

Adapun faktor pendorong munculnya perhatian dan minat

untuk melakukan pembahasan baru berdasar corak tafsīr mauḍū’ī

di zaman sekarang ini adalah diantaranya sebagai beikut: Pertama,

al-Qur’ān sebagai wahyu yang turun kepada Nabi saw.

mengandung berbagai macam-macam ilmu yang bernilai tinggi,

sehingga banyak tokoh ilmuan dan para peneliti berupaya

mencapai khazanah al-Qur’ān. Kedua, dewasa ini banyak orang-

orang yang dengan alas an ilmu, mempelajari masalah-masalah

yang dikandung oleh al-Qur’an, dan studi mereka tidak jarang

menghasilkan tuduhan mengenai kebatilan al-Qur’an. Tuduhan

negatif ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak memiliki

pengetahauan keislaman, atau oleh orang-orang yang tidak

terbiasa dengan kajian mengenai tema-tema semacm ini, yang

46

dipelajari melalui pendekatan tematik ilmiah. Oleh karenanya,

dianuurkan kepada para mufassir zaman sekarang memperbaharui

arah tafsir menuju kepada kajian tafsir secara tematik atau tafsīr

mauḍū’ī (Farmawi, 1996: 43-44).

C. Langkah-langkah dan Beberapa Contoh Kitab Tafsīr Mauḍū’ī’

1. Langkah-langkah Tafsīr Mauḍū’ī’

Langkah-langkah atau cara kerja1 metode tafsīr mauḍū’ī

dapat dirinci sebagai berikut (Muslim, 1989: 37-38).

a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’ān yang akan dikaji

secara mauḍū’ī atau tematik2.

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan

masalah-masalah yang telah ditetapkan.

c. Mengurutkan tertib turunnya ayat-ayat tersebut berdasarkan

waktu atau masa penurunannya.

d. Mempelajari penafsiran ayat-ayat yang telah dihimpun dengan

penafsiran yang memadai dengan mengacu kepada kitab-kitab

1 Cara kerja tafsīr mauḍ ū’ī pada masa awal kemunculannya belum begitu terlihat dan

belum ditetapkan pada waktu itu. Kajian masa lalu itu dapat dikatakan baru

merupakan usaha untuk melahirkan metode semacam ini dan mempermudah usaha

menetapkan cara kerjanya. Untuk batasan dan definisi yang jelas dan rinci

mengenai metode tafsīr mauḍ ū’ī baru muncul belakangan oleh al-Ustadz Dr.

Ahmad al-Sayyid al-Kumy, ketua jurusan tafsir Universitas al-Azhar, bersama

bebrapa teman beliau dari para dosen dan murid-murid mereka di perguruan tinggi. 2 Untuk menetapkan masalah ini, para pembahas pemula dianjurkan melihat kitab

Tafshil ayat al-Qur’an al-Karim Terj. Muhammad Fuad al-Baqi. Baik juga dilihat

kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadz al-Qur’an al-Karim oleh Muhammad

Fuad al-Baqi.

47

tafsir yang ada dengan mengindahkan ilmu munasabah dan

hadis.

e. Menghimpun hasil penafsiran untuk mengistinbatkan

(menentukan) unsur-unsur asasi daripadanya.

f. Mufassir mengarahkan pembahasan kepada tafsir al-ijmālī

(global) dalam memaparkan berbagai pemikiran dalam rangka

membahas topik atau permasalahan yang ditafsirkan.

g. Membahas unsur-unsur dan makna-makna ayat tersebut untuk

mengaitkannya demikian rupa berdasarkan metode ilmiah yang

benar-benar sistematis.

h. Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Qur’ān

terhadap topik atau permasalahan yang dibahas.

Berkenaan dengan model tafsīr mauḍū’ī, M. Quraisy

Shihab menyatakan bahwa dalam perkembangannya, metode

mauḍū’ī mengambil dua bentuk penyajian. Pertama, menyajikan

kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-

ayat yang terangkum pada satu surat saja. Kedua, dari metode

mauḍū’ī mulai berkembang pada tahun enam puluhan. Disadari

oleh para pakar bahwa menghimpun pesan-pesan al-Qur’ān yang

terdapat dalam satu surat saja, belum menuntaskan persoalan

(Suma, 2013: 392-393).

48

2. Beberapa Contoh Kitab Tafsīr Mauḍū’ī

Terdapat kitab-kitab klasik maupun modern yang

menerapkan metode tafsīr mauḍū’ī (Rohimin, 2007: 75-76) Di

antara mufassir serta karyanya pada masa klasik adalah:

a. Kitab at-Tibyān fī Aqsām al-Qur’ān karya Ibnu al-Qayyim

b. Kitab Mufradat al-Qur’ān karya Abu Ubaidah

c. Kitab An-Nāsikh wa al-Mansūkh karya Abu Jafar an-Nahas

d. Kitab As-bāb an-Nuzūl karya Abu Hasan al Wahidi

e. Kitab Ahkāmul Qur’ān karya Al-Jaṣṣās.

Beberapa ahli tafsir era modern banyak pula menerapkan

metode tafsīr mauḍū’ī. di antaranya:

a. Kitab al-Futūḥāt al-Rabbāniyah fī al- Tafsīr Mauḍū’ī al-Ayat

al-Qur’āniyah dalam dua jilid, dengan memilih topik yang

dibicarakan Al-Qur’an dan Tahun 1977 karya Prof. Dr. al-

Husaini Abu Farhah (Dosen Tafsir di Universitas Al-Azhar)

b. kitab al-Bidāyah fi al-tafsīr al-Mauḍū’i, Dirāsah Manhajiyyah

Mauḍū’īyyah karya Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy (Guru

besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar)

Di Indonesia sendiri belum banyak karya tafsir yang

menggunakan metode mauḍū’i ini. Mungkin menjadi gebrakan

yang baru ketika M. Quraish Shihab dan kakak kandungya Umar

Shihab mencoba mengungkapkan berbagai persoalan umat yang

49

didekatkan melalui tema-tema Al-Qur’ān. Kiranya pantas kalau

mereka berdua dikatakan sebagai tokoh pertama di Indonesia yang

memperkenalkan metode tafsīr mauḍū’ī.

D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsīr Mauḍū’ī Serta Keberadaannya

di Tengah-tengah Metode Lain.

Sebagai suatu metode penafsiran Al-Qur’ān, maka metode

mauḍū’ī ini memiliki beberapa kelebihan yang juga tidak terlepas dari

beberapa kekurangannya.

1. Kelebihan Metode Tafsīr Mauḍū’ī:

a. Metode ini akan jauh dari kesalahan-kesalahan karena ia

menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topik

bahasan sehingga ayat yang satu menafsirkan ayat yang lain.

b. Dengan metode mauḍū’ī seseorang mengkaji akan lebih jauh

mampu untuk memberikan sesuatu pemikiran dan jawaban

yang utuh dan sempurna tentang suatu pokok permasalahan

(tema) yang dikaji.

c. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan mudah untuk

dipahami. Hal ini karena ia membawa pembaca kepada

petunjuk Al-Qur’ān yang mengemukakan berbagai

pembahasan yang terperinci dalam satu disiplin ilmu.

d. Dengan metode ini juga dapat membuktikan bahwa persoalan-

persoalan yang disentuh Al-Qur’ān bukan bersifat teoritis

50

semata-mata atau yang tidak dapat diterapkan dalam

kehidupan masyarakat. Namun ia dapat membawa kita kepada

pendapat Al-Qur’ān tentang berbagai problem hidup yang

disertakan pula dengan jawaban-jawabannya.

e. Ia dapat mempertegas fungsi Alquran sebagai kitab suci serta

mampu membuktikan keistimewaan-keistimewaan Alquran.

f. Metode ini memungkin seseorang untuk menolak adanya ayat-

ayat yang bertentangan dalam Alquran.

2. Kekurangan Metode Tafsīr Mauḍū’ī

a. Masih memerlukan keterlibatan tafsir-tafsir klasik sekalipun

tafsir metode mauḍū’ī adalah tafsir yang mandiri.

b. Sesuai dengan terminologinya bahwa tafsīr mauḍū’ī ini hanya

membahas satu topik atau tema dari sekian banyak tema

dalam Al-Qur’ān.

c. Dalam menerapkan metode ini bukan hanya memerlukan

waktu yang panjang tetapi juga ketekunan, ketelitian,

keahlian serta kemampuan akademis.

Jadi metode tafsīr mauḍū’ī ini pada hakekatnya belum

mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Qur’ān yang

ditafsirkannya, maka harus diingat pembahasan yang diuraikan

atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh

mufassirnya, sehingga dengan demikian mufassir harus selalu

51

mengingat bahwa hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan

atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut

dalam pokok bahasannya (Fauzan, 2013).

3. Keberadaan Metode Tafsīr Mauḍū’ī dengan Metode Tafsir

Lainnya

Sebagaimana telah diuraikan bahwa tafsīr mauḍū’ī

mempunyai metode dan cara kerja sendiri, berbeda dengan yang

lain. Setelah menjelaskan metode ini dan mengetahui faktor-faktor

yang membangkitkan perhatian para mufassir terhadap tafsīr

mauḍū’ī, kiranya dapat ditegaskan bahwa tidak seorangpun yang

akan mengingkari urgensi dan manfaat metode ini serta

otonominya sebagai metode yang berdiri sendiri (Farmawi, 1996:

47).

Selain itu, prinsip metode tafsīr mauḍū’ī selalu berupaya

menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qurān. Hal ini, merupakan cara

atau metode tafsir yang paling baik, sebab sesuatu yang bersifat

global di satu tempat sesungguhnya dijelaskan secara panjang lebar

dan terinci di tempat lain. Oleh karena itulah, banyak mufassir di

tahun-tahun terakhir ini yang menulis karya tafsir berdasarkan

metode mauḍū’ī. Begitu juga, dari hari ke hari kini semakin

banyak pembahasan yang mendekati bidang sasaran kajian

mauḍū’ī tersebut (Farmawi, 1996: 48).

52

Corak kajian tafsīr mauḍū’ī ini sesuai dengan semangat

zaman modern yang menuntut agar kita berupaya melahirkan

suatu hukum yang bersifat universal untuk masyarakat Islam.

Suatu hukum yang bersumber dari al-Qur’ān dalam bentuk materi

dan hukum-hukum praktis yang mudah difahami dan terapkan.

Metode tafsīr mauḍū’ī ini, memungkinkan seseorang untuk

mengetahui inti masalah dan segala aspeknya, sehingga ia mampu

mnegemukakan argument yang kuat, jelas dan memuaskan

(Farmawi, 1996: 53-54).