BAB III METODE TAFSĪR MAUḌŪ’Ī DAN SEJARAH...
Transcript of BAB III METODE TAFSĪR MAUḌŪ’Ī DAN SEJARAH...
37
BAB III
METODE TAFSĪR MAUḌŪ’Ī DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA
A. Definisi Tafsīr Mauḍū’ī dan Bentuk Kajiannya
1. Definisi Tafsīr Mauḍū’ī
Tafsīr Mauḍū’ī terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsīr dan
kata mauḍū’ī. Kata tafsīr menurut bahasa yaitu dari kata yang
berarti (menjelaskan, menerangkan, menyingkap) (Quthān,
1995: 163). Kata mauḍū’ī dinisbatkan kepada kata mauḍū, isim
maf’ûl dari fi’il māḍi “waḍa’a” yang memiliki makna beraneka
ragam, yaitu yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh, yang
dibuat-buat, yang dibicarakan/tema/topik. Makna yang terakhir ini
(tema/topik) yang relevan dengan konteks pembahasan di sini.
Secara harfiah tafsir maudhû’i dapat diterjemahkan dengan tafsir
tematik, yaitu tafsir berdasarkan tema atau topik tertentu
(Hariyanto, 2014). Untuk itu, dalam bahasa Indonesia sering juga
disebut dengan tafsir tematik.
Pengertian tafsīr mauḍū’ī secara terminologi banyak
dikemukakan oleh para pakar tafsir yang pada prinsipnya bermuara
pada makna yang sama. Salah satu definisi tafsīr mauḍū’ī ialah
yang dikemukakan Abdul Hayyi al-Farmawi dalam kitabnya al-
38
Bidāyah fi al-tafsīr al-Mauḍū’i, Dirāsah Manhajiyyah
Mauḍū’īyyah, (Farmawi, 1977: 52). sebagai berikut:
“Mengumpulkaan ayat-ayat Al-Qur’ān yang mempunyai tujuan
yang satu, bersama-sama membahasa topik/ judul/ tema tertentu
dengan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa
turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan, penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat lain serta
mengistimbat hukum”.
Definisi lain dari tafsīr mauḍū’ī juga dikemukakan dalam
kitab Mabāḥis fī at-Tafsīr al-Mauḍū’ī, (Muslim, 1989: 16) :
“At-Tafsīr al-Mauḍū’ī ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah al-Qur’ān al-Karīm yang (memiliki) kesatuan
makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang
bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk
kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi
kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-
syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkannya
antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat
komprehensif”.
39
2. Bentuk Kajian Tafsīr Mauḍū’ī
Tafsīr mauḍū’ī mempunyai dua macam bentuk kajian yang
sama-sama bertujuan menggali hukum-hukum yang terdapat di
dalam al-Qur’ān, mengetahui korelasi diantara ayat-ayat dan untuk
membantah tuduhan bahwa di dalam al-Qur’ān itu sering terjadi
pengulangan, juga untuk menepis tuduhan lainnya yang
dilontarkan oleh sebagian orientalis dan pemikir Barat. Kajian ini
juga bertujuan memperlihatkan betapa besarnya perhatian al-
Qur’ān terhadap kemashlahatan umat manusia, seperti yang terlihat
di dalam syari’atnya yang bijaksana dan adil (Farmawi, 1996: 35).
Kedua bentuk kajian tafsīr mauḍū’ī yang dimaksud adalah:
pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan
khusus. Menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang
betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat
dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah
tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan
dibawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara
mauḍū’ī. Bentuk kajian tafsīr mauḍū’ī yang kedua ini yang inilah
yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah tafsīr
mauḍū’ī (Farmawi, 1996: 36)
40
Pola tafsir mauḍū’ī (tematik) menggunakan tiga pendekatan.
Pertama, menekankan pentingnya memahami arti bahasa kata-kata
Al-Qur’an (lexical meaning of any Qur’anic word). Kedua,
menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang berhubungan
dengan tema pokok yang dibahas. Ketiga, dalam rangka
memahami kata, kalimat dan struktur bahasa al-Qur’ān harus ada
kesadaran untuk mengakui adanya sebuah penafsiran harus
dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.
Antara teks suatu ayat dengan konteks penerapannya dalam suatu
lingkungan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Itulah sebabnya penerapan teks-teks al-Qur’ān pada
setiap situasi dan kondisi, pengetahuan tentang aspek kesejarahan
suatu ayat sangat penting untuk membantu memecahkan
persoalan-persoalan kemanusiaan modern (Shihab, 2005: 16).
B. Sejarah Perkembangan Tafsīr Mauḍū’ī
1. Perkembangan Tafsīr Mauḍū’ī dari Masa ke Masa
Bila ditelusuri perkembangan tafsir al-Qurān dimulai sejak
awal pertumbuhannya di masa hidup Rasulullah SAW. Dapat
dikatakan bahwa tafsīr mauḍū’ī sudah terwujud, walau hanya
sederhana. Upaya mempertemukan beberapa ayat yang semakna
atau yang berkaitan dengan masalah tertentu sudah ada dengan
41
munculnya penafsiran ayat al-Qurān dengan ayat al-Qurān yang
lain. Hal ini dapat dimaklumi, sebab al-Qurān dalam kapasitasnya
sebagai pedoman hidup bagi manusia dan memberi petunjuk
tentang ajarannya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang membutuhkan, sehingga kadang-kadang diturunkan ayat
yang mujmal, muthlaq, dan umum, tetapi kadang-kadang
diturunkan ayat yang terinci, tertentu, dan khusus (Hariyanto,
2014).
Hal-hal yang diterangkan secara mujmal dalam suatu ayat,
lalu dijelaskan secara terinci dalam ayat yang lain. Demikian pula
petunjuk yang diberikan secara umum dalam suatu ayat,
kadangkala dijelaskan secara khusus dalam ayat yang lain.
Dengan demikian berarti bahwa ayat-ayat al-Quran telah
ditafsirkan dengan sumber dari al-Qurān sendiri, sehingga dapat
diketahui maksud firman Allah itu melalui penjelasan dari firman
Allah itu juga dalam ayat yang lain. Karena Allah yang
mempunyai firman itulah yang lebih mengetahui maksud yang
dikehendakinya daripada yang lain (Żahabi, 1961: 37).
Contoh tafsīr mauḍū’ī pada masa Nabi Muhammad SAW.
ialah beliau menafsirkan kata dalam QS al-An’ām, 6: 82.
42
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. al-An’ām (6): 82)
Kata pada ayat diatas dimaknai dengan yang ada
pada ayat . Dengan penafsiran Nabi tersebut
berarti beliau telah menanamkan tafsīr mauḍū’ī dan memberi
isyarat bahwa lafal-lafal yang sukar diketahui maksudnya dalam
suatu ayat perlu dicari penjelasannya pada lafal-lafal yang terdapat
dalam ayat yang lain. Dalam konteks ini, Abdul Hayyi al-Farmawi
mengatakan bahwa semua ayat yang ditafsirkan dengan ayat al-
Qurān adalah termasuk tafsīr mauḍū’ī dan sekaligus merupakan
permulaan pertumbuhan tafsīr mauḍū’ī (Farmawi, 1977: 54).
Kemudian sesudah itu tumbuh pula bibit-bibit tafsīr
mauḍū’ī dalam beberapa halaman kitab-kitab tafsir yang besar
menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qur’ān, antara lain: al-Bayān fi
Aqsām al-Qur’ān oleh Ibn al-Qayyim, Mufrādat al-Qur’ān oleh al-
Rāghib, dan Ahkām al-Qur’ān oleh al-Jashshās (Farmawi, 1977:
55), dan lain sebagainya.
43
Kitab-kitab tafsir tersebut belum dimaksudkan secara
khusus sebagai tafsīr mauḍū’ī yang berdiri sendiri, walau
demikian setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa bentuk tafsīr
mauḍū’ī ini sudah bukan merupakan bentuk baru. Sebab yang
merupakan hal yang baru adalah perhatian para mufassir terhadap
metode penafsiran tematik yang dapat dibedakan dari metode
penafsiran yang lain, bahkan dapat dipisahkan sebagai metode
tematik yang berdiri sendiri.
Kitab-kitab tafsir yang sudah banyak membahas masalah-
masalah tertentu rupanya masih dianggap belum memadai untuk
menjawab aneka ragam permasalahan dalam masyarakat. Di sini
para mufassir mendapat inspirasi baru dan bermunculan karya-
karya tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan
menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang berbicara
tentang topik tersebut, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan
dari masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’ān.
Istilah metode tafsīr mauḍū’ī sendiri diperkirakan baru
lahir sekitar abad 14 H/19 M, tepatnya ketika ditetapkan sebagai
mata kuliah pada jurusan tafsir fakultas ushuluddin di Jami’ah Al-
Azhar (Universitas Al-Azhar) yang diprakarsai oleh Abd Hayy Al-
Farmawi, ketua jurusan tafsir hadis pada fakultas tersebut. Adapun
di Indonesia, tafsīr mauḍū’ī pemasyarakatannya diprakarsai oleh
44
M. Quraisy Shihab. Menurut Shihab, metode mauḍū’ī walaupun
benihnya telah dikenal sejak masa Rasulullah saw., namun ia baru
berkembang jauh setelah masa beliau (Suma, 2013: 391-392).
2. Perhatian Mufassir (Penafsir) Terhadap Tafsīr Mauḍū’ī
Sebagaimana telah diketahui bahwa para mufassir di dalam
menafsirkan al-Qur’ān lazim mengikuti runtutan ayat seperti yang
terdapat di dalam musḥaf, kemudian mereka menafsirkan ayat
demi ayat dan surat demi surat, dengan maksud untuk mengetahui
makna-makna dan segala rahasia yang terkandung di dalam al-
Qur’ān. Masing-masing mufassir juga lazim dipengaruhi oleh
bidang ilmu yang menjadi keahliannya. Inilah yang menyebabkan
tafsir itu memiliki bermacam-macam corak dan warna, sesuai
dengan perbedaan wawasan dan bidang kelimuan para mufassir
tersebut serta adanya silang pendapat diantara mereka (Farmawi,
1996: 40).
Di tengah-tengah suasana perkembangan tafsir yang
demikian, para mufassir zaman dulu tidak mempunyai kepedulian
untuk menafsirkan al-Qur’ān secara tematik karena dua sebab:
Pertama, metode tafsīr mauḍū’ī dianggap mengarah kepada
kajian spesialis, yang bertujuan mengkaji satu tema bahasan
setelah meneliti dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
tema tersebut. Sedangkan pada saat itu kajian tematik belum
45
menjadi tujuan kajian. Kedua, para mufassir zaman dulu belum
merasakan penting dan perlunya untuk melakukan kajian terhadap
topic-topik tertentu yang terdapat di dalam al-Qur’ān al-Karīm
menurut cara kerja metode mauḍū’ī. Mereka semua hafal al-
Qur’ān, dan ilmu keislaman mereka sangat mendalam serta
mencakup semua aspek. Oleh karenanya, mereka mempunyai
kompetensi menghubungkan maksud suatu ayat yang berkaitan
dengan topic masalah tertentu yang ia jelaskan melalui spesialisasi
ilmunya (Farmawi, 1996: 41).
Adapun faktor pendorong munculnya perhatian dan minat
untuk melakukan pembahasan baru berdasar corak tafsīr mauḍū’ī
di zaman sekarang ini adalah diantaranya sebagai beikut: Pertama,
al-Qur’ān sebagai wahyu yang turun kepada Nabi saw.
mengandung berbagai macam-macam ilmu yang bernilai tinggi,
sehingga banyak tokoh ilmuan dan para peneliti berupaya
mencapai khazanah al-Qur’ān. Kedua, dewasa ini banyak orang-
orang yang dengan alas an ilmu, mempelajari masalah-masalah
yang dikandung oleh al-Qur’an, dan studi mereka tidak jarang
menghasilkan tuduhan mengenai kebatilan al-Qur’an. Tuduhan
negatif ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak memiliki
pengetahauan keislaman, atau oleh orang-orang yang tidak
terbiasa dengan kajian mengenai tema-tema semacm ini, yang
46
dipelajari melalui pendekatan tematik ilmiah. Oleh karenanya,
dianuurkan kepada para mufassir zaman sekarang memperbaharui
arah tafsir menuju kepada kajian tafsir secara tematik atau tafsīr
mauḍū’ī (Farmawi, 1996: 43-44).
C. Langkah-langkah dan Beberapa Contoh Kitab Tafsīr Mauḍū’ī’
1. Langkah-langkah Tafsīr Mauḍū’ī’
Langkah-langkah atau cara kerja1 metode tafsīr mauḍū’ī
dapat dirinci sebagai berikut (Muslim, 1989: 37-38).
a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’ān yang akan dikaji
secara mauḍū’ī atau tematik2.
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang telah ditetapkan.
c. Mengurutkan tertib turunnya ayat-ayat tersebut berdasarkan
waktu atau masa penurunannya.
d. Mempelajari penafsiran ayat-ayat yang telah dihimpun dengan
penafsiran yang memadai dengan mengacu kepada kitab-kitab
1 Cara kerja tafsīr mauḍ ū’ī pada masa awal kemunculannya belum begitu terlihat dan
belum ditetapkan pada waktu itu. Kajian masa lalu itu dapat dikatakan baru
merupakan usaha untuk melahirkan metode semacam ini dan mempermudah usaha
menetapkan cara kerjanya. Untuk batasan dan definisi yang jelas dan rinci
mengenai metode tafsīr mauḍ ū’ī baru muncul belakangan oleh al-Ustadz Dr.
Ahmad al-Sayyid al-Kumy, ketua jurusan tafsir Universitas al-Azhar, bersama
bebrapa teman beliau dari para dosen dan murid-murid mereka di perguruan tinggi. 2 Untuk menetapkan masalah ini, para pembahas pemula dianjurkan melihat kitab
Tafshil ayat al-Qur’an al-Karim Terj. Muhammad Fuad al-Baqi. Baik juga dilihat
kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadz al-Qur’an al-Karim oleh Muhammad
Fuad al-Baqi.
47
tafsir yang ada dengan mengindahkan ilmu munasabah dan
hadis.
e. Menghimpun hasil penafsiran untuk mengistinbatkan
(menentukan) unsur-unsur asasi daripadanya.
f. Mufassir mengarahkan pembahasan kepada tafsir al-ijmālī
(global) dalam memaparkan berbagai pemikiran dalam rangka
membahas topik atau permasalahan yang ditafsirkan.
g. Membahas unsur-unsur dan makna-makna ayat tersebut untuk
mengaitkannya demikian rupa berdasarkan metode ilmiah yang
benar-benar sistematis.
h. Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Qur’ān
terhadap topik atau permasalahan yang dibahas.
Berkenaan dengan model tafsīr mauḍū’ī, M. Quraisy
Shihab menyatakan bahwa dalam perkembangannya, metode
mauḍū’ī mengambil dua bentuk penyajian. Pertama, menyajikan
kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-
ayat yang terangkum pada satu surat saja. Kedua, dari metode
mauḍū’ī mulai berkembang pada tahun enam puluhan. Disadari
oleh para pakar bahwa menghimpun pesan-pesan al-Qur’ān yang
terdapat dalam satu surat saja, belum menuntaskan persoalan
(Suma, 2013: 392-393).
48
2. Beberapa Contoh Kitab Tafsīr Mauḍū’ī
Terdapat kitab-kitab klasik maupun modern yang
menerapkan metode tafsīr mauḍū’ī (Rohimin, 2007: 75-76) Di
antara mufassir serta karyanya pada masa klasik adalah:
a. Kitab at-Tibyān fī Aqsām al-Qur’ān karya Ibnu al-Qayyim
b. Kitab Mufradat al-Qur’ān karya Abu Ubaidah
c. Kitab An-Nāsikh wa al-Mansūkh karya Abu Jafar an-Nahas
d. Kitab As-bāb an-Nuzūl karya Abu Hasan al Wahidi
e. Kitab Ahkāmul Qur’ān karya Al-Jaṣṣās.
Beberapa ahli tafsir era modern banyak pula menerapkan
metode tafsīr mauḍū’ī. di antaranya:
a. Kitab al-Futūḥāt al-Rabbāniyah fī al- Tafsīr Mauḍū’ī al-Ayat
al-Qur’āniyah dalam dua jilid, dengan memilih topik yang
dibicarakan Al-Qur’an dan Tahun 1977 karya Prof. Dr. al-
Husaini Abu Farhah (Dosen Tafsir di Universitas Al-Azhar)
b. kitab al-Bidāyah fi al-tafsīr al-Mauḍū’i, Dirāsah Manhajiyyah
Mauḍū’īyyah karya Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy (Guru
besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar)
Di Indonesia sendiri belum banyak karya tafsir yang
menggunakan metode mauḍū’i ini. Mungkin menjadi gebrakan
yang baru ketika M. Quraish Shihab dan kakak kandungya Umar
Shihab mencoba mengungkapkan berbagai persoalan umat yang
49
didekatkan melalui tema-tema Al-Qur’ān. Kiranya pantas kalau
mereka berdua dikatakan sebagai tokoh pertama di Indonesia yang
memperkenalkan metode tafsīr mauḍū’ī.
D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsīr Mauḍū’ī Serta Keberadaannya
di Tengah-tengah Metode Lain.
Sebagai suatu metode penafsiran Al-Qur’ān, maka metode
mauḍū’ī ini memiliki beberapa kelebihan yang juga tidak terlepas dari
beberapa kekurangannya.
1. Kelebihan Metode Tafsīr Mauḍū’ī:
a. Metode ini akan jauh dari kesalahan-kesalahan karena ia
menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topik
bahasan sehingga ayat yang satu menafsirkan ayat yang lain.
b. Dengan metode mauḍū’ī seseorang mengkaji akan lebih jauh
mampu untuk memberikan sesuatu pemikiran dan jawaban
yang utuh dan sempurna tentang suatu pokok permasalahan
(tema) yang dikaji.
c. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan mudah untuk
dipahami. Hal ini karena ia membawa pembaca kepada
petunjuk Al-Qur’ān yang mengemukakan berbagai
pembahasan yang terperinci dalam satu disiplin ilmu.
d. Dengan metode ini juga dapat membuktikan bahwa persoalan-
persoalan yang disentuh Al-Qur’ān bukan bersifat teoritis
50
semata-mata atau yang tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat. Namun ia dapat membawa kita kepada
pendapat Al-Qur’ān tentang berbagai problem hidup yang
disertakan pula dengan jawaban-jawabannya.
e. Ia dapat mempertegas fungsi Alquran sebagai kitab suci serta
mampu membuktikan keistimewaan-keistimewaan Alquran.
f. Metode ini memungkin seseorang untuk menolak adanya ayat-
ayat yang bertentangan dalam Alquran.
2. Kekurangan Metode Tafsīr Mauḍū’ī
a. Masih memerlukan keterlibatan tafsir-tafsir klasik sekalipun
tafsir metode mauḍū’ī adalah tafsir yang mandiri.
b. Sesuai dengan terminologinya bahwa tafsīr mauḍū’ī ini hanya
membahas satu topik atau tema dari sekian banyak tema
dalam Al-Qur’ān.
c. Dalam menerapkan metode ini bukan hanya memerlukan
waktu yang panjang tetapi juga ketekunan, ketelitian,
keahlian serta kemampuan akademis.
Jadi metode tafsīr mauḍū’ī ini pada hakekatnya belum
mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Qur’ān yang
ditafsirkannya, maka harus diingat pembahasan yang diuraikan
atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh
mufassirnya, sehingga dengan demikian mufassir harus selalu
51
mengingat bahwa hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan
atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut
dalam pokok bahasannya (Fauzan, 2013).
3. Keberadaan Metode Tafsīr Mauḍū’ī dengan Metode Tafsir
Lainnya
Sebagaimana telah diuraikan bahwa tafsīr mauḍū’ī
mempunyai metode dan cara kerja sendiri, berbeda dengan yang
lain. Setelah menjelaskan metode ini dan mengetahui faktor-faktor
yang membangkitkan perhatian para mufassir terhadap tafsīr
mauḍū’ī, kiranya dapat ditegaskan bahwa tidak seorangpun yang
akan mengingkari urgensi dan manfaat metode ini serta
otonominya sebagai metode yang berdiri sendiri (Farmawi, 1996:
47).
Selain itu, prinsip metode tafsīr mauḍū’ī selalu berupaya
menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qurān. Hal ini, merupakan cara
atau metode tafsir yang paling baik, sebab sesuatu yang bersifat
global di satu tempat sesungguhnya dijelaskan secara panjang lebar
dan terinci di tempat lain. Oleh karena itulah, banyak mufassir di
tahun-tahun terakhir ini yang menulis karya tafsir berdasarkan
metode mauḍū’ī. Begitu juga, dari hari ke hari kini semakin
banyak pembahasan yang mendekati bidang sasaran kajian
mauḍū’ī tersebut (Farmawi, 1996: 48).
52
Corak kajian tafsīr mauḍū’ī ini sesuai dengan semangat
zaman modern yang menuntut agar kita berupaya melahirkan
suatu hukum yang bersifat universal untuk masyarakat Islam.
Suatu hukum yang bersumber dari al-Qur’ān dalam bentuk materi
dan hukum-hukum praktis yang mudah difahami dan terapkan.
Metode tafsīr mauḍū’ī ini, memungkinkan seseorang untuk
mengetahui inti masalah dan segala aspeknya, sehingga ia mampu
mnegemukakan argument yang kuat, jelas dan memuaskan
(Farmawi, 1996: 53-54).