BAB III KEBEBASAN MANUSIA DALAM EKSISTENSI...
-
Upload
trinhxuyen -
Category
Documents
-
view
253 -
download
0
Transcript of BAB III KEBEBASAN MANUSIA DALAM EKSISTENSI...
BAB III
KEBEBASAN MANUSIA
DALAM EKSISTENSI KARL JASPERS
A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya
1. Riwayat Hidup
Karl Theodor Jaspers, filsuf eksistensialisme yang dilahirkan di
Kota Oldenburg, Jerman Utara pada tanggal 23 Februari tahun 1883. Karl
Jaspers terlahir dari pasangan Carl Wilhelm Jaspers dan Henriette Tantzen.
Ayahnya mempunyai beberapa pekerjaan yang antara lain sebagai
Direktur Bank dan pemimpin Dewan Kota. Karl Jaspers dilahirkan dari
keluarga protestan liberal, tetapi keluarga Karl Jaspers bukanlah keluarga
yang taat beragama, praktis Jaspers mendapatkan pelajaran agama hanya
dari sekolahan saja. Pada dasarnya pemikiran Jaspers dipengaruhi oleh
agama kristen, tetapi ia tidak mengakui dirinya sebagai seorang kristen
yang percaya,1 sehingga dalam perjalanan kehidupan Karl Jaspers tidak
banyak diungkapkan sisi keagamaannya.
Karl Jaspers sekolah di Gymnasium di Oldenberg dari tahun 1892
sampai tahun 1902. Masa muda Karl Jaspers sudah terlihat mempunyai
garis pemikiran tersendiri, mulai dari penolakannya terhadap peraturan–
peraturan yang ada di Gymnasium yang mewajibkan semua siswa untuk
mengikuti organisasi–organisasi siswa dengan struktur yang hirarkis.
Selain alasan diatas, Karl Jaspers juga sering sakit-sakitan yang
menyebabkan ia menjauhi kegiatan sosial dan lingkungannya, pada
akhirnya mengakibatkan Karl Jaspers mengalami kesendirian.2
Kondisi Karl Jaspers yang sering sakit-sakitan, memaksa dia
menjadi orang yang hidup teratur, akan tetapi keteraturannya ini
1 Dr. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris Jerman, PT. Gramedia Jakarta, 1983, hlm. 127
2 Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi Karl Jaspers,, PT. Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 1
32
33
menjadikan Karl Jaspers menjadi orang yang mempunyai produktifitas
yang luar biasa. Kehidupan sehari-hari Karl Jaspers diisi dengan
mendalami berbagai ilmu seni, sastra, dan alam. Karl Jaspers melanjutkan
pendidikan ilmu hukum di Universitas Heidelberg, tetapi kemudian ia
belajar ilmu kedokteran di Munchen, dengan pilihan spesialisasi psikiatri.
Pada awalnya Karl Jaspers bekerja sebagai Psikiater di Universitas
Heidelberg, tetapi ditempat yang sama, tahun 1916 ia menjadi Dosen
Psikologi dan tahun 1922 ia menjadi guru besar untuk filsafat.3
Tahun 1930 Karl Jaspers mulai memusatkan perhatiannya pada
dunia filsafat, banyak buku yang telah ditulis Karl Jaspers. Meskipun
kondisi sosial politik tidak mendukung kehidupan Jaspers tetapi tidak
membuat surut semangat Jaspers untuk menuliskan dan menyebarkan
gagasannya. Setelah Perang Dunia II terjadi, adalah masa keemasan Karl
Jaspers. Ia pindah ke Swiss dan menulis banyak masalah tentang perang
damai, masalah politik, iman filosofis dan sejarah filsafat seluruh dunia.
Tahun 1969 Karl Jaspers menghembuskan nafas terakhirnya setelah ia
menyelesaikan Karya –karya filsafatnya.4
2. Kondisi Sosial Politik
Karl Jaspers hidup pada awal abad 20, merupakan masa yang
penuh dengan gejolak. Terjadinya Revolusi Bolshevik tahun 1917 dan
meletusnya Perang Dunia I tahun 1918. Akibat dari adanya Perang Dunia I
di negara-negara Eropa muncul konsep Negara Bangsa.. Adanya Revolusi
Bolshevik dan Perang dunia I, menjadikan negara-negara Eropa
merapatkan barisan memperebutkan negara-negara jajahan untuk
kepentingan kapitalisme. Tahun 1930 terjadi dua blok kekuasaan antara
Axis (Jerman dan Jepang) dan blok Allies (sekutu).5
3 Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1991, hlm. 118 4 Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…………,,Op. Cit., hlm. 2-3 5 Hasyim Wahid, dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan
Indonesia, Lkis, Lkis, Yogyakarta, 1999, hlm.8-9
34
Jerman sebagai salah satu negara yang terlibat dalam Perang Dunia
I, mengalami perubahan yang besar. Adolf Hitler sebagai pemimpin
negara Jerman memberlakukan Fasisme sebagai idiologi negara melalui
politik Nazi. Kehidupan di zaman politik Nazi di Jerman adalah model
kepemimpinan diktator atau pemerintahan satu arah. Hal ini dilakukan
Adolf Hitler untuk membangkitkan Jerman dari krisis ekonomi karena
menanggung kekalahan perang. Akibat dari politik Nazi tersebut,
masyarakat Jerman harus tunduk dan taat pada pemerintahan yang ada.
Dapat dikatakan demokrasi di negara Jerman saat itu sangat lemah, karena
demokrasi berdasarkan kebebasan individu di negara Jerman nyaris tidak
ada.6
Keterkungkungan kondisi politik di Jerman mengakibatkan
banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat Jerman, berkaitan dengan
hak individu dari masyarakat yang sulit direalisasikan di negara tersebut.
Jaspers sendiri seringkali terhambat oleh kondisi politik negara Jerman.
Beberapa kali Jaspers mengalami hambatan dalam pengembangan
pemikirannya, sampai Jaspers dilarang keluar dari negara Jerman.
Permasalahan ini yang menjadi titik keberangkatan Jaspers dalam
pemikiran kebebasan manusia dalam eksistensinya. Pemikiran Jaspers ini
sekaligus merupakan jawaban atas kritik pemerintahan Jerman yang fasis.
Adanya kebebasan individu merupakan pondasi manusia untuk dapat
merealisasikan hak-haknya, sekaligus menjalankan peranannya sebagai
individu yang berkemampuan di dunia. Gejolak sosial politik negara
Jerman telah menarik Jaspers untuk memikirkan manusia pada sisi
manusia sebagai subyek yang “ada’ dan ber”ada”. Pengalaman
tersebut telah mewarnai pemikiran Karl Jaspers.
3. Latar Belakang Pemikiran Karl Jaspers
Karl Jaspers, sosok tokoh filsafat eksistensi yang berani
mengungkapkan fenomena pada zamannya. “Kebebasan” merupakan
6 Hugh Purcell, Fasisme, Insist Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 50
35
angan-angan yang selalu menghantui pikiran Karl Jaspers. Hal ini
kelihatan dalam kehidupan masa kecil Jaspers yang berada dilingkungan
kehidupan laut yang bebas, dimana Jaspers mempunyai banyak pemikiran
dengan laut. Bagi Jaspers laut menjadi simbol transendensi karena laut
adalah ruang dimana segala sesuatu dapat bergerak dengan bebas, karena
dilaut juga tidak ada pegangan, ataupun fundamen. Selain itu, Jaspers
melihat laut menjadi simbol kebebasan, karena tidak ada keterikatan
apapun. Banyak kunci filsafat Jaspers yang diambil dari konteks laut,
misalnya, “cakrawala”, “melayang”, “terdampar”,
“keterbukaan”, “yang melingkupi”, “kesepian”, “keluasan”,
dan “dijangkarkan dalam keabadian”.7
Dialog dengan tokoh-tokoh filsafat besar manusia tetap menjadi
latar belakang para filsuf manusia, termasuk juga Karl Jaspers. Sejarah
Karl Jaspers yang selalu berpindah-pindah dari mulai Jaspers belajar ilmu
hukum berpindah belajar di ilmu kedokteran, hingga ia mulai merasa
lebih nyaman belajar di ilmu psikologi dan filsafat. Berubah-ubahnya
pemikiran Jaspers ini karena dalam proses pencarian yang dilakukan
Jaspers banyak bersinggungan dengan pemikiran para filsuf .
Ketertarikan Jaspers pada filsafat pertama dimulai sejak menjadi
mahasiswa. Karl Jaspers tertarik dan mempelajari karya-karya filsuf
sebelumnya seperti Imanuel Kant, Max Weber, Nietzsche, Kierkegaard.
Melalui dialog dengan pemikiran para filsuf tersebut Jaspers menemukan
titik yang selama ini dia rasakan, yaitu tentang kebenaran subyektifitas
pada manusia.
Pada saat Karl Jaspers mengajar di Universitas Heidelberg, ia
berteman dengan tokoh filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger ( 1889-
1976) saat itu Martin mengajar di Freiburgim Breisgau, dari persahabatan
dengan Martin Heidegger Jaspers mendapatkan banyak inspirasi terutama
pada persoalaan filsafat, yaitu fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund
7 Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi Karl Jaspers,, PT. Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 4
36
Husserl. Jaspers mempelajari banyak hal tentang fenomenologi Husserl
melalui Martin Heidegger. Pada tahun 1933 kaum Nazi berkuasa dikancah
politik. Hal ini menyebabkan putusnya persahabatan antara Jaspers dan
Martin Heidegger, karena Jaspers menentang kaum Nazi, sedang Martin
Heidegger mendukung Hitler. Penentangan Jaspers terhadap kaum Nazi
juga menyebabkan Jaspers dikeluarkan dari Universitas Heidelburg dan
dilarang melakukan publikasi.
Dialektika Karl Jaspers atas kondisi sosial masyarakat di Jerman,
gejolak pikirannya, serta berbagai persinggungan antar pemikiran filsuf
sebelumnya telah mengantarkan Jaspers pada pemikiran eksistensialisme
yaitu tentang keberadaan manusia sebagai subyek yang ada dan berada di
dunia. Banyaknya pemikiran tokoh filsafat yang menjadi inspirasi dalam
proses pembentukan pemikiran Jaspers, menjadikan Jaspers sulit
menemukan satu kebenaran di dunia yang utuh, untuk itu sampai dengan
akhir masa hidupnya Jaspers tetap menuliskan buah karya pemikiranya,
hingga ia menutup mata.
4. Karya-karyanya
Selama kurun waktu 86 tahun Karl Jaspers telah menghasilkan
pemikiran dan menulis berbagai buku. Selama itu pula seluruh pikiran
Jaspers dicurahkan untuk menulis dan berkarya. Melihat perjalanan belajar
dan konsentrasi Karl Jaspers tidak hanya dalam satu bidang filsafat saja,
tetapi Jaspers menulis buku bidang psikologi. Adapun diantara karya-
karya Jaspers sebagai berikut:
a. Bidang Psikologi
Seperti dijelaskan diawal bahwa perjalanan karya pengetahuan
Jaspers dimulai dari konsentrasinya pada persoalan Psikiatri dan
Psikologi. Ada dua buku karya besar Karl Jaspers dalam bidang
Psikologi yaitu:
1). Allgemeine Psychopathologie (Psikopatologi umum) merupakan
karya pertama Jaspers dan merupaan karya klasik psikologi yang
37
dijadikan pegangan bagi kaum psikologi, karya ini ditulis pada
tahun 1913. Dalam buku ini Jaspers mengekspresikan
pemikirannya mengenai Psikologi, meskipun begitu Jaspers tetap
lebih tertarik pada persoalan filsafat.
2). Psychologie der Weltanschauungen (Psikologi tentang pandangan-
pandangan dunia) tahun 1919. Buku ini ditulis seletah ia menjadi
Profesor psikologi di Heidelberg tahun 1916. kemudian buku ini
oleh Jaspers sendiri disebut sebagai karya eksistensialis.
Kedua buku diatas merupakan karya Jaspers yang ditulis
berdasarkan pengalamannya sebagai psikiatri. Dari buku kedua,
Jaspers sudah terlihat bahwa ketertarikan Jaspers pada persoalan
filsafat telah mempengaruhi pemikirannya, meskipun Jaspers sendiri
telah menjadi profesor dalam bidang psikologi. Dari buku Psychologie
der Weltanschauungen telah mengantarkan Jaspers untuk menseriusi
bidang filsafat, dan pada akhirnya Jaspers benar-benar berkarya dalam
bidang filsafat.8
b. Bidang Filsafat
Ketertarikan Jaspers pada persoalan filsafat telah dimulai
setelah ia menerbitkan buku Psychologie der Weltanschauungen.
Ambisi Jaspers dalam dunia filsafat ditunjukkan Jaspers pada tahun
1921, ia ditawari menjadi profesor filsafat di Heidelberg dan Jaspers
pun menerima karena ini adalah kesempatan Jaspers mengembangkan
keinginannya menggeluti dunia filsafat. Sejak saat itulah Jaspers
konsentrasi pada dunia filsafat dan mengeluarkan tulisan ataupun
karya buku dalam bidang filsafat. Tulisan dan buku Karl Jaspers antara
lain:
1). Die Idee der Universitas (“Ide Universitas”) buku ini ditulis
Jaspers setelah diangkat menjadi Profesor dibidang filsafat pada
tahun 1923
8 Dr. K. Bertens, Filsafat Barat…………., op. cit., hlm. 129
38
2). Die geistige Situation der Zeit ( Situasi rohani zaman kita )
merupakan diagnosa kebudayaan barat sekitar tahun 1930, karya
ini diterbitkan pada tahun 1931. Dalam buku ini Jaspers
menuliskan situasi kondisi kebudayaan masyarakat barat.
3). Philosophie (filsafat) tahun 1932, merupakan karya besar dan
karya utama filsafat Karl Jaspers dan merupakan dasar dari
pemikiran filsafat Karl Jaspers. Philosophi terdiri dari tiga jilid ,
yaitu tentang “Orientasi Dunia”, filsafat yang menerangkan
“eksistensi” dan “transendesi atau metafisika”. Tiga konsep
ini menjadi pusat uraian Jaspers dalam filsafatnya.
4). Verunft und Existenz ( Rasio dan Eksistensi ) tahun 1935
5). Existenzphilosophie ( filsafat Eksistensi )tahun 1938
6). Die Schuldfage Ein Beitrag zur dutsschen ( sumbangan pikiran
tentang masalah Jerman) Tahun 1946, karya ini ditulis atas
pemikirannya atas adanya perang dunia II. Dalam buku ini
dituangkan pemikiran Jaspers mengenai usaha-usaha untuk
membangun Jerman baru dan demokratis. Dalam buku ini juga
dituangkan kesalahan-kesalahan Jerman dalam hal ihwal
Nasional-Sosialis. Salah satu yang menjadi semangat Jaspers
dalam karya ini adalah tahun 1945 di Jerman dilakukan
rehabilitasi dan Jaspers menyeimbangkan pemikirannya
mengenai masalah Jerman dalam buku Die Schuldfage Ein
Beitrag zur dutsschen.
7). Von der Wahrheit ( tentang kebenaran ), tahun 1947
8). Philosophische Logik (Logika Filosofis), tahun 1948, karangan
ini berisi analisa dimensi-dimensi kebenaran, Jaspers menamai
dengan Periechontologie ajaran mengenai transendensi yang
“melingkupi” kita ( ari kata Yunani Periechein melingkupi,
mengelilingi ).
Pada tahun ini Jaspers pindah ke Swiss dan menjadi profesor di
Universitas Basel dan mengajar di sana. Jaspers menghabiskan
39
hidupnya di Swiss dan menulis berbagai buku dan tulisan di
Swiss sampai akhir hidupnya.
9). Vom Ursprung und Zeit der Geschichte ( asal dan tujuan sejarah )
tahun 1949, karya ini merupakan bagian pertama gagasan Karl
Jaspers mengenai sejarah filsafat seluruh dunia.
10). Der Philosophische Glaube ( “Kepercayaan Filosofis’) tahun
1948, dalam karya ini Karl Jaspers mencoba untuk merumuskan
isi minimal kepercayaan akan Allah.
11). Philosophische Authobiographie, tahun 1960 merupakan karya
autobiografi filosofis.
12). Schicksal und Wille ( Nasib dan Kehendak )tahun 1967.9
Sejumlah karya Karl Jaspers menjadi sumbangan besar untuk
sejarah filsafat dan ilmu-ilmu yang lain. Karl Jaspers merupakan filsuf
yang mempunyai kemampuan dan pemikiran yang luar biasa, sehingga
sangat wajar apabila dalam kurun waktu 86 tahun Karl Jaspers telah
banyak menghasilkan karya filsafat. Pemikiran eksistensi Jaspers
menjadi bagian dan mewarnai aliran eksistensialisme. Philoshopi
karya utama Jaspers benar-benar menjadi isi dalam pemikiran
eksistensialisnya. Pemikiran-pemikiran Karl Jaspers sampai dengan
saat ini menjadi salah satu karya yang dijadikan rujukan bagi filsuf dan
menjadi sumbangan yang besar dalam sejarah filsafat.
B. Fenomenologi Edmund Husserl sebagai Jalan Eksistensi Karl Jaspers
“Aku ini siapa”, pertanyaan yang terlontar oleh Karl Jaspers yang
membuatnya terpukau dan penasaran dengan jawaban yang sesungguhnya.
Pertanyaan ini tidak hanya dilontarkan oleh Karl Jaspers, akan tetapi
sebelumnya para filsuf sudah mempertanyakan hal itu. Cogito ergusum “aku
berfikir maka aku ada” merupakan ungkapan Descartes atas pertanyaan
9 Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi………….., ,op. cit., hlm. 61
40
“Aku ini siapa”. Pengalaman, pemikiran dan penelitian telah banyak
menemukan permasalahan tentang manusia dan dunia. Berbagai ilmu seperti:
Geologi, Arkeologi, Fisika, Biologi, Sosiologi, Psikologi dan masih banyak
ilmu lain yang bersifat “obyektif” untuk menyelidiki masalah manusia,
akan tetapi sangat sedikit sekali ilmu yang “subyektif” mengenai masalah
manusia. “Aku” sebagai subyek tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah
dalam arti yang sesungguhnya.10
“Aku” menjadi kata kunci dalam pemikiran eksistensi Karl Jaspers.
Melalui Fenomenologi Husserl, Jaspers mencari “aku” dari penyelidikan
mengenai persoalan “ada”. 11 Jaspers menyebut istilah ada dengan Dasein
(being there). Pencarian Jaspers mengenai “aku” melalui penyelidikan
persoalan “ada” mendapatkan kunci jawaban melalui fenomenologi yang
diajarkan Husserl, Jaspers menemukan adanya metoda yang dapat dipakai
untuk melakukan penyelidikan tentang “aku”. Agar dapat memperjelas
pokok pemikiran Karl Jaspers, untuk itu terlebih dahulu penulis akan
membuka pemikiran Edmund Husserl, karena adanya pemikiran Karl Jaspers
mengenai eksistensinya adalah melalui fenomenologi, sehingga tanpa
mengurai pemikiran husserl akan sulit memahami pemikiran eksistensi karl
Jaspers.
Edmund Husserl adalah filsuf yang menggagas adanya fenomenologi
dalam penyelidikan filsafat pada abad 21. Fenomenologi yang dimaksud
Husserl adalah fenomenologi sebagai metode bukan sebagai filsafat. Sebagai
metode, Fenomenologi merupakan sebuah langkah-langkah untuk sampai
pada fenomena yang murni. Fenomena yang murni dapat dicapai dengan
10 Dr.P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Diindonesiakan K. Bertens,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm144 11 “Ada” (being) merupakan konsep ontologis yang digunakan oleh para eksistensialis
untuk menerangkan gejala dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia. Ada ialah ukuran bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada subjektifitas (subjectnes) manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subyek yang sadar, aktif dan berproses. Lihat E. Koeswara, Psikologi Eksistensial, PT.Eresco, Bandung, 1987, hlm. 9
41
adanya kesadaran murni (kesadaran transendental), kesadaran ini dapat dicapai
apabila kita dapat membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran
kehidupan sehari-hari, maka akan tersisa gambaran-gambaran yang esensial
atau intuisi esensi (intuition of essence). Sebagai filsafat fenomenologi
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada, dengan
begitu fenomenologi dijelaskan kembali sebagai benda merupakan lawan dari
ilusi atau susunan pikiran, karena benda adalah obyek kesadaran yang
langsung dalam bentuknya yang murni. 12
Kesadaran transendental yang diungkapkan Husserl dalam
fenomenologinya dapat dicari apabila kita telah sampai pada hakekat yang
sebenarnya. Usaha yang ditempuh Husserl untuk sampai pada hakekat sesuatu
adalah dengan Reduksion “penyaringan”. Ada tiga macam reduksi yang
menjadi tahapan dalam penemuan hakekat sesuatu. Pertama adalah reduksi
fenomenologis, reduksi ini adalah untuk menyaring pengalaman kita untuk
mendapatkan fenomen yang sebenarnya, seringkali kita tidak mendapatkan
fenomen dalam wujud yang murni karena seringkali kita lebih memperhatikan
pada dampak dari fenomen tersebut. Dalam melakukan reduksi yang pertama
kita harus menyingkirkan segala pengetahuan yang ada dalam diri kita
mengenai obyek tersebut, sehingga fenomen yang sebenarnya dapat diperoleh.
Reduksi yang kedua setelah reduksi fenomenogis adalah reduksi
eidetis yaitu penyaringan segala sesuatu yang bukan eidos atau hakekat gejala
atau fenomena. Jadi hasil dari penyaringan ini adalah penilikan hakekat, untuk
dalam reduksi kedua ini segala dalil, teori atau pandangan tradisional
mengenai fenomena harus disingkirkan. Reduksi yang ketiga adalah reduksi
transendental adalah penyeringan eksisetensi dan segala sesuatu yang tiada
hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar supaya dari obyek
tersebut orang dapat sampai pada apa yang ada dalam subyek sendiri sehingga
seseorang menemukan kesadaran murni. (kesadaran transedndental).13
12 Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, alih bahasa Prof. Dr. H. M.
Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm.399 13 DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980,
hlm.143-144
42
Penjelasan Husserl mengenai fenomenologi menunjukkan adanya
tahapan dalam menemukan adanya hakekat seuatu. Melalui fenomenologi
husserl Jaspers menyelidiki persoalan “ada”, yaitu dengan membedakan
yang ada secara formal menjadi tiga
macam, yaitu: ada-obyek, ada-subyek, ada-dalam dirinya sendiri atau ada-an
Sich. Ada-obyek adalah yang-ada yang hadir di depanku, artinya semua hal
yang kupikirkan, kukenal atau sesuatu yang diintensionalitasi (sesuatu yang
muncul yang tidak secara kebetulan, artinya sesuatu itu senantiasa disertai
dengan arah dan tujuan, yang senantiasa dalam posisi kesadaran), termasuk
diriku yang diobjekkan. Ada-obyek tetap hanya sekedar fenomena (kenyataan
yang ada dihadapan manusia). Yang-ada kedua adalah ada-subyek merupakan
“ada” berada dengan pengada yang lain, sebab apabila menyelidiki
pengada-pengada, harus melalui pusat arti segala obyektifasi dilakukan. Pusat
itu sendiri tidak dapat diobyekkan, karena pusat berfungsi sebagai subyek,
tidak dapat dikenal seperti mengenal apa yang dijadikan obyek pengenalan.
Ada-subyek dalam konsep Karl Jaspers disebut eksistensi. Sedang “ada”
yang lain selain ada-obyek dan ada-subyek adalah ada-dalam dirinya sendiri
(ada-an Sich-being in-itself). Ada-an Sich itu tidak terbuka, karena jika hendak
mengenalnya, maka hal itu berarti ada-an Sich telah menjadi gejala.14
Ketiga konsep yang-ada diatas, dapat disimpulkan bahwa “ada”
bukanlah wujud yang-ada, akan tetapi ketiganya merupakan pola-pola dari
yang-ada yang telah ditentukan Karl Jaspers. Secara keseluruhan Jaspers tidak
dapat menyelidikinya karena semuanya merupakan cara berada yang-ada yang
menunjukkan kemana kita dapat mendekatinya. Maka dari itu Jaspers sendiri
tidak mengarahkan pada esensi karena tidak akan mampu menangkap esensi
yang mutlak, karena sebagai subjek kita berbeda-beda. Dalam hal ini yang
dimaksud Jaspers dengan essensi adalah sesuatu yang bersifat mutlak dan
permanen, tidak dalam kondisi yang berubah-ubah. Untuk itu Jaspers
berpendapat bahwa untuk menangkap subjek-objek dalam satu ketunggalan,
14 Drs. Joko Siswanto, M.Hum, Sistem-sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.128
43
kita harus menangkapnya sebagai sesuatu yang menyeluruh, sekaligus kita
dapat mengatasi polarisasi antara ada-objek dan ada-subjek.
Melalui reduksi fenomenologi Husserl yang ketiga yaitu reduksi
transendental, Jaspers mendefinisikan antara subyek dan obyek dengan
menanggalkan obyek, karena dengan begitu dapat menyadari adanya subyek.
Jaspers mendefinisikannya sebagaimana yang diungkapkan oleh Imanuel Kant
(filsuf kritisisme). Subyek menurut Imanuel Kant merupakan “hal yang
berpikir tidak lain tidak bukan adalah Subyek transendental yang diketahui
melalui pemikiran-pemikiran yang merupakan predikat-predikatnya sendiri”,
secara jelas dapat ditangkap sebagai pusat kesadaran sebagai subyek,
sedangkan obyek dibuat diluar dunia kesadaran subyektif. Obyek dimaknai
Jaspers sebagai sesuatu yang berada diluar subyek.15
Lebih jelasnya, untuk memahami “aku” yang bukan sekedar
“aku” sebagai ada-obyek, Jaspers memperkenalkan konsep “ada yang-
melingkupi” (das Umgreifende),16 dalam naskah berbahasa Inggris
diterjemahkan sebagai the Comprhensive. Yang dimaksud Jaspers dengan The
Comprhensive atau das Umgreifende adalah:
“Yang komprehensif itu akan tetap tak jelas bagi kesadaran saja. Ia
menjadi terang hanya melalui obyek-obyek, dan makin bertambah terang lagi
bilamana obyek-obyek itu menjadi lebih disadari dan lebih jernih”.17
Das Umgreifende (The Comprehensive) tetap tidak jelas sebab kita
hanya bisa menangkapnya kalau kita mengubahnya menjadi objek. Jadi dalam
menjelaskan “aku” Jaspers berhadapan dengan keberadaan dirinya di dunia.
Lebih jelasnya Jaspers menulis dengan penjelasan bahwa untuk memahami
15 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm.1046 16 das Umgreifende (yang melingkupi) merupakan ada sebagai subjek, tetapi tidak dapat
dihadapkan kepada diri sebagai subjek, sebab diri sendiri termasuk dalam ada. Untuk memikirkan ada, harus mengatasi oposisi antara subjek dan objek dan kemungkinan itu disajikan jika mengerti ada sebagai yang melingkupi. Ada dalam keseluruhannya tidak merupakan objek dan tidak merupakan subjek. Ada itu ialah “yang melingkupi”. Lihat Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, ( Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001). hlm. 263
17 Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992, hlm. 106
44
dan menangkap maksud Das Umgreifende, Jaspers melihat bahwa aku sebagai
ada subjek merupakan aku yang ada dalam pengamatanku bukan aku yang ada
dalam pengetahuanku. Untuk itulah dikotomi subyek-obyek akan selalu
menyertai kita dalam usaha mengamati, memahami, dan menghayati
kenyataan, dalam hal ini termasuk mengamati diri sendiri. Hal ini
diungkapkan oleh Jaspers dalam Man in The Modern Age,
“For I am not what I cognise, not do I cognise what I am”. “aku bukanlah apa yang aku pikirkan, bukan pula aku memikirkan siapakah aku”.18
Untuk itu Jaspers tidak pernah secara jelas mengungkapkan eksistensi.
Ketidakpastian ini dikarenakan eksistensi tidak dapat dijelaskan secara
terpisah antara ada-obyek dengan ada-subyek, maka perlu dipahami secara
keseluruhan ada-obyek dan ada-subyek. Jaspers memahami dalam ada yang
menyeluruh yaitu transendensi Tuhan dan dunia, sedangkan kenyataan kita
sebagai manusia adalah eksistensi. Meskipun begitu Jaspers menganggap
bahwa eksistensi ialah yang paling berharga dan paling otentik dalam diri
manusia, untuk itu pula dalam mencapai kejelasan mengenai ‘aku” Jaspers
mencari dalam Exstenzerbellung (penerangan eksistensi), karena dengan
menerangi eksistensi dirinya sendiri manusia dapat mencapai“aku”.19
Ungkapan “aku” yang dimaksud Jaspers adalah aku yang tidak hanya ada
di dunia, tetapi aku yang ada dan tidak berubah-ubah. Pada akhirnya
penerangan eksistensi yang dimaksud Jaspers tidak berhenti pada
permasalahan “aku” yang berada dan ada di dunia.
C. Penerangan Eksistensi dalam Kebebasan Manusia Karl Jaspers
Apa yang menjadi ungkapan Jaspers, apa itu “eksistensi”? Jaspers
mengungkapkan sebagaimana yang ditulis Harri Hamersma bahwa apa yang
ada dalam bahasa mistis disebut Jiwa dan Allah, dalam filsafat disebut
18 Karl Jaspers, Man in The Modern Age, Henry Holt, New York, 1933, hlm. 188 19 Dr.P.A.Van Der Weij, Filsuf-filsuf…………, op.cit., hlm. 144
45
“eksistensi” dan “transendensi” .20 Eksistensi adalah segala sesuatu yang
ada dan dialami, sedang transendensi dalam istilah Jaspers adalah das
Umgreifende alles Umgreifenden, “Yang Melingkupi segala sesuatu yang
Melingkupi”, seperti yang dijelaskan diatas bahwa das Umgreifende
merupakan ada dalam keseluruhannya tidak merupakan objek dan tidak
merupakan subjek. Ada itu ialah “Yang Melingkupi”. Untuk pemikiran
manusia nama paling tepat adalah “Ada” (das Sein), apabila manusia hidup
bersama transendensi Jaspers menyebutnya dengan kenyataan asli. Kenyataan
ini digambarkan sebagai kekuatan yang menuntut sesuatu dari manusia,
sebagai sesuatu yang berbicara pada manusia dan memberikan perintah-
perintah, maka nama yang paling tepat adalah “keilahian”. Jaspers
menyebut kenyataan ini dengan nama “Allah”.21 Manusia ada di dunia,
tetapi “adanya” (Dasein) ini belum merupakan “eksistensi”. Adanya
manusia termasuk bidang empiris, tertangkap dalam waktu.22 Sebagai Dasein
kita akan meninggal, tetapi “eksistensi” kita bersifat “kemungkinan”.
Eksistensi adalah suatu panggilan untuk mengisi karunia kebebasan kita.
Dalam tesis dasar Jaspers mengenai eksistensi dijelaskan: Pertama,
pada dasarnya eksistensi itu unik dan tidak dapat diobyekkan, tetapi eksistensi
adalah sumber bagi pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakanku. Kedua,
karena hakekat “aku” adalah “sebagai eksistensi yang mungkin”, maka
eksistensiku terbuka bagi segala kemungkinan-kemungkinan. Apakah saya
bertindak atau tidak, apakah saya memutuskan atau tidak, saya tetap sebagai
“eksistensi yang mungkin”. Ketiga, eksistensi bukan berada dalam dirinya
20 Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…………, op.cit., hlm. 119 21 Ibid, hlm. 37 22 Waktu yang dimaksud disini bukanlah waktu dalam pengertian tradisional (sebagai
waktu obyektif yang diukur dengan jam atau kalender), melainkan dalam kaitan dengan pengalaman manusia, maka waktu dihayati secara subyektif bukan secara obyektif dan manusia pribadi sendiri yang memberi bobot tertentu atas rangkaian waktu yang dialami. Seperti halnya ketika dalam depresi dan kecemasan. Kecemasan dan depresi yang hebat dapat menghapus waktu dan menghancurkan masa depan, karena masa depan adalah peluang yang membuka berbagai kemungkinan bagi orang yang optimis. Lihat Drs. Zainal Abidin, Analisis Eksistensial, PT. Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm. 16
46
sendiri (terisolasi), tetapi keberadaan eksistensi tergantung atas relasinya
dengan eksistensi yang lain, lebih-lebih dengan transendensi. Karena itu
“eksistensi” harus bersedia membuka diri untuk berkomunikasi, berdialog
dengan eksistensi yang lain, apalagi dengan yang transenden. Keempat, bahwa
eksistensi memiliki kebebasan. Kebebasan berarti memilih, menyadari dan
mengidentifikasi diri dengan dirinya sendiri.23
Ungkapan Jaspers tentang eksistensi sangat jelas, bahwa “aku” tidak
akan dapat eksis ketika “aku” tidak berdialog dengan eksistensi yang lain,
oleh karena itu, aku sebagai eksisten tidak dapat dilepaskan dari eksistensi –
eksistensi yang lain. Eksistensi adalah aku yang sebenarnya, yang bersifat
unik dan sama sekali tidak obyektif.
Lebih jelasnya apa yang diungkapkan Jaspers diatas menunjukkan
bahwa eksistensi tak henti-hentinya terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan
baru, biarpun dengan menggunakan pendekatan konseptual tidak sanggup
mencapai eksistensi, namun eksistensi terbuka bagi pengalaman. Eksistensi
adalah penghayatan mengenai kebebasan total yang merupakan inti manusia.
Eksistensi dapat dihayati, dapat diterangi melalui refleksi filosofis dan dapat
dikomunikasikan dengan orang lain. Dalam hal ini Jaspers menggaris bawahi
perbedaan antara eksistensi dan Dasein. Dasein adalah keberadaan empiris
manusia sejauh mempunyai ciri-ciri tertentu dan dapat dilukiskan dari luar.24
Dasein mencapai puncaknya di dunia ini, sedang eksistensi tidaklah
demikian. Eksistensi hanya “menemukan dirinya sendiri di dunia ini”.
Eksistensi hanya dapat diterangkan melalui signa (tanda-tanda) tertentu,
seperti pilihan (keputusan yang harus diambil saat manusia berhadapan
dengan berbagai situasi), tobat (penyesalan atas tindakan yang telah dilakukan
manusia), komunikasi (kenyataan manusia tidak dapat berdiri sendiri) dan
kebebasan (kebebasan manusia saat menentukan perbuatannya). Kenyataan
empiris menampakkan diri dalam “fenomena-fenomena”, sedang
23 Drs.Joko Siswanto, Sistem-Sistem…………, op.cit., hlm.132-133 24 Dr. K. Bertens, Filsafat Barat………., op. cit., hlm.132
47
transendensi menampakkan diri dalam chiffer-chiffer dan eksistensi
menampakkan dalam signa. Manusia mengalami eksistensi sebagai sesuatu
yang “diberikan” kepadanya.25 Eksistensi adalah hadiah dari
transendensi.26
1. Situasi Batas
Dalam memahami eksistensi, Jaspers tidak pernah memastikan
terhadap satu hal, tetapi selalu melayang-layang, karena apabila dipastikan
terhadap putusan yang final maka sebenarnya kita tidak mampu
melakukan transendensi terhadap eksistensinya. Oleh karena Jaspers tidak
menerima anggapan bahwa eksistensi harus dihayati sebagai sesuatu yang
final. Eksistensi justru tidak berkepastian dan tidak final. Yang benar ialah
adanya berbagai situasi batas yang kita alami dalam eksistensi kita
masing-masing.27
Analisa situasi batas dalam filsafat eksistensi Karl Jaspers
merupakan unsur yang terpenting dalam penjelasan eksistensi manusia.
Sebagai Dasein manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu.
Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam “situasi-situasi batas”,
grenzsituationen ( dalam terjemahan karangan-karang Karl Jaspers dipakai
istilah ultimate situations). “Bereksistensi” dan “mengalami situasi
batas” itu adalah hal yang sama.28
Situasi-situasi batas yang sering dialami manusia diantaranya
adalah kematian, penderitaan, perjuangan, nasib dan kegagalan. Diantara
situasi batas tersebut yang paling dramatis adalah kematian, karena
kematian merupakan suatu situasi yang pasti dihadapi manusia. Betapapun
eksistensi dihayati sebagai kebebasan dan keterbukaan, betapapun
25 Harry Hamersma, Filsafat eksistensi………….,op.cit., hlm. 12 26 Eksistensi sebagaimana penjelasan sebelumnya sebagai cara berada manusia untuk ada
di dunia. Bereksistensi merupakan perwujudan manusia di dunia dengan seutuhnya. Manusia bukan obyek atau sekedar materi yang ada di dunia sebagaimana benda yang lain, tetapi manusia dapat mewujudkan dalam bentuk kehendak apapun. Pada saat seperti ini manusia mengada kearah transendensi. Untuk itu mengada manusia dengan segala yang ada di dunia merupakan hadiah dari transendensi.
27 Fuad Hasan, Berkenalan………….., op.cit., hlm. 111 28 Harry Hamersma, Filsafat eksistensi………….., op.cit., hlm. 13
48
ketidakpastian memungkinkan kita untuk menghayati eksistensi sebagai
sesuatu yang tak kunjung tertutup dan mantap, kita tetap tidak mungkin
mengindarkan diri dari maut sebagai kepastian yang paling mantap.
Bahwa kematian akan mengakhiri eksistensi pada suatu saat yang tidak
bisa ditentukan sebelumnya. Kematian mengakibatkan rasa takut, tetapi
justru kematian tersebut adalah kesempurnaan eksistensi. Artinya
kesadaran akan kematian menyebabkan seseorang hidup otentik. Disini
manusia memperoleh suatu pandangan otentik tentang hal-hal yang paling
penting dalam hidup ini.29
Situasi batas yang kedua yang penting dalam filsafat Jaspers adalah
kegagalan, Jaspers memakai istilah Jerman Scheitern “gagal”,
Schiffbruch leiden “karam”, “kandas” dan “terdampar”. Dalam
kegagalan, manusia terdampar dalam pantai transendensi. Menurut
Jaspers, segala sesuatu akhirnya gagal: pemikiran, kebebasan, dan
tindakan. Situasi-situasi batas memperlihatkan bahwa Dasein kita terbatas.
Tetapi dengan demikian secara tidak langsung ditunjukkan adanya
transendensi. Kegagalan dan keterbatasan memperlihatkan bahwa harus
ada sesuatu yang tidak terbatas.30
Dengan demikian dengan situasi batas manusia eksis di dunia.
Ketika manusia mengalami situasi batas sebenarnya manusia sedang
melakukan komunikasi dengan eksistensi yang lain, dengan komunikasi
tersebut manusia mampu menunjukkan aku yang berelasi dengan
subyektifitas yang lain.
2. Chiffer – chiffer
Yang kedua, yang menjadi pemikiran Jaspers adalah Chiffer,
“Chiffer” dalam bahasa Inggris Chipher berasal dari bahasa arab Sifr
berarti di sini “nol”, “kekosongan”. merupakan konsep penemuan
kebudayaan Hindu, yaitu Sunya, “kosong” yang diberi nama sifr. Kata
29 Drs. Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm.76 30 Harry Hamersma, Filsafat eksistensi………….., , op.cit., hlm. 18
49
sifr masuk ke Eropa bersama aljabar Arab. Dalam bahasa Prancis dan
Jerman dipakai chiffre dan ziffer, dengan arti “sandi”, “tanda
rahasia”. Jaspers menguraikan chiffer-chiffer sebagai “transendensi
yang imanen”, kehadiran transendensi tanpa isi, tetapi kehadiran dan
ketidakhadiran menjadi satu dalam chiffer. Seperti konsep “nol” main
peranan penting dalam matematika, walaupun nol ini tanpa isi, tetapi nol
ini dibutuhkan. Demikian juga peranan chiffer amat penting dalam
metafisika, walaupun chiffer masih harus diberi isi oleh eksistensi, tetapi
chiffer tersebut ada. Tidak ada hal apapun yang tidak dapat menjadi chiffer
: alam, sejarah, kesadaran murni, manusia sebagai pribadi, kesatuan
manusia dengan alamnya, ataupun kebebasan.31
Dalam terminologi Jaspers, chiffre berarti simbol-simbol atau
tulisan-tulisan yang menunjuk kepada transendensi. Dari pemikiran
Jaspers tersebut, chiffre dapat diartikan sebagai simbol-simbol yang
mengantarai eksistensi kepada transendensi.32 Dalam hal ini peranan
chiffer-chiffer menjadi penengah antara eksistensi dan transendensi.
Keilahian tetap tersembunyi, tetapi manusia dapat “membaca” bahasa
yang “ditulis” oleh keilahian, sejauh ia menjadi eksistensi. Artinya
sejauh manusia itu mengisi kebebasannya. Manusia bebas karena Allah
“menyembunyikan diri”.28
Yang dimaksud oleh Jaspers transendensi adalah yang merangkumi
segala sesuatu, baik dunia maupun eksistensi. Akan tetapi transendensi
bukanlah sesuatu yang konkrit, sebab hakekatnya tersembunyi bagi kita,
sehingga apabila kita memikirkannya tidak akan mampu. Nampak jelas
bahwa dunia tidak merupakan ada yang sebenarnya. “ada” mengatasi
segala realitas duniawi, yang berarti bersifat transenden. Jaspers
mengatakan bahwa segala yang ada di dunia ini adalah simbol dari
31 Ibid, hlm. 20-21 32 Drs.Joko Siswanto, M.Hum, Sistem-sistem………., op. cit., hlm. 136 28 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……………. op.cit., hlm. 121
50
transendensi. Perlu digarisbawahi bahwa pengertian simbol atau
“chiffre” disini adalah kehadiran dari yang tidak hadir yang tidak dapat
dikenal sebagai obyek.29
Meskipun transendensi dapat dibaca dengan chiffer-chiffer, akan
tetapi chiffer tersebut tidak dapat dipahami secara umum, karena setiap
orang dalam membaca simbol-simbol tidak dapat memberi interpretasi
yang tepat. Orang masih dapat memberikan interpretasi yang bermacam-
macam. Oleh karena itu transendensi tidak dapat dipahami oleh setiap
orang. Yang dapat benar-benar membaca tulisan sandi (chiffre) itu hanya
eksistensi yang benar-benar “ada”. Pembacaan chiffer akan mengalami
kegagalan di dalam kematian, ini adalah puncak segala kegagalan.
Demikianlah segala sesuatu mengalami kegagalan. Dasein dalam
cakrawala pertama gagal, eksistensi dengan kebebasannya dalam
cakrawala kedua gagal. Kegagalan dan keruntuhan itu mewujudkan
tulisan sandi (chiffre) sempurna dari “ada”. Di dalam kegagalan dan
keruntuhan itu orang mengalami “ada”, mengalami transenden.30
D. Kebebasan sebagai Perwujudan dari Eksistensi Manusia
Dalam pandangan Jaspers, eksistensi adalah apa yang ada dalam mite
yang disebut jiwa, yaitu titik pangkal dari kita berpikir dan berbuat. Meskipun
dalam keberangkatan kaum eksistensi menolak adanya obyektifitas terhadap
manusia, bahwa manusia adalah subyek (aku yang berada, dan terus
berproses) tetapi eksistensi bukanlah subyektifitas itu sendiri, sebab dalam
kenyataannya eksistensi terdiri dari pendobrakan lingkaran dimana subyek dan
obyek berada.
Eksistensi berada diluar pembedaan antara subyek dan obyek. Subyek
atau sesuatu yang melekat dan mengendalikan obyek atau sesuatu yang diluar
subyek. Dalam pembahasan masalah ini, Jaspers tidak cukup untuk
29 Drs. Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Rineka Cipta, Jakarta 1990, hlm.77 30 Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogjakarta, 1993,
hlm.173-174
51
menjelaskan makna eksistensi yang menitik beratkan pada kesadaran
subyektifitas itu sendiri, karena eksistensi tidak dapat diuraikan dengan
pengertian-pengertian dalam suatu sistem tertutup. Eksistensi hanya dapat
diterangi dengan mempergunakan kategori-kategori sendiri, yaitu kebebasan,
komunikasi dan sejarah.31
Kebebasan, komunikasi dan sejarah adalah kategori-kategori yang
dapat menerangi eksistensi, ketiga kategori itu pada dasarnya ada dan telah
melekat pada manusia. Pertama adalah kebebasan, kebebasan merupakan
sesuatu yang telah melekat pada diri manusia karena manusia adalah subyek
yang berkesadaran. Pada dasarnya manusia adalah mahluk bebas, karena pada
setiap saat ia dihadapkan pada berbagai kemungkinan-kemungkinan, dengan
begitu maka ia harus memilih diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Disini peranan subyek yang berkesadaran akan ada, karena kebebasan
merupakan kehendak bebas manusia untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu, lebih tepatnya bebas dari dan bebas untuk (free to and free
from).32 Dalam eksistensi Karl Jaspers, kebebasan merupakan salah satu dasar
bagi manusia untuk menjelmakan diri secara terus–menerus, seolah-olah
menuju kesempurnaan. Akan tetapi manusia tidak mungkin mencapai
kesempurnaan, maka kebebasan ini menjadi satu gagasannya dengan
transendensi.33
Point kedua dari kategori eksistensi adalah komunikasi. Komunikasi
pada dasarnya telah melekat pada manusia karena manusia adalah mahluk
sosial, selain dia sebagai mahluk individual yang mempunyai hubungan
dengan pencipta. Sebagai mahluk sosial tentunya manusia mempunyai
hubungan dengan manusia yang lain dan dengan lingkungannya dimana ia
berada. Dalam eksistensi Karl Jaspers, komunikasi merupakan prasyarat
manusia untuk dapat bereksistensi. Hal ini dilihat Karl Jaspers sebagai
kenyataan manusia yang senantiasa mempertahankan kesejatian dirinya. Yang
31 Ibid, Hlm. 170 32 Drs. Zainal Abidin, Analisis……….,op. cit., hlm. 15 33 Fuad Hasan, Berkenalan………….., op.cit., hlm.122
52
dimaksud komunikasi adalah melakukan komunikasi atau hubungan dengan
situasi-situasi sosial tanpa harus kehilangan kesejatian dirinya. Maka dalam
hal ini Jaspers menekankan arti pentingnya komunikasi intersubyektif yang
berarti kamunikasi yang memberikan kesempatan yang memungkinkan
kesejatian pribadi diungkapkan kepada pribadi yang lain, maka setiap pribadi
harus melepaskan kedok yang menutupi kesejatian pribadinya.
Ungkapan Jaspers yang mengatakan bahwa individu yang tidak
menjalankan eksistensinya, tidak dapat mengungkapkan kesejatiannya, untuk
itu manusia harus melakukan komunikasi intersubyektif agar dapat
mengungkapkan kesejatiannya. Komunikasi eksistensial tidak mungkin
diselenggarakan dengan masyarakat sebagai suatu keseluruhan sebab
masyarakat sebagai suatu keseluruhan adalah obyektifitas. Apa yang ada
dalam masyarakat semuanya bersifat obyektif, oleh karenanya dengan
masyarakat tidak mungkin diselenggarakan komunikasi intersubyektif, maka
dari itu dengan masyarakat tidak mungkin dilakukan komunikasi eksistensial.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa manusia dapat eksis di dunia apabila
bereksistensi dengan yang lain.33
Kategori ketiga dari eksistensi adalah sejarah. Yang dimaksud sejarah
Karl Jaspers adalah masa lalu yang menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Secara definitif Jaspers tidak memberikan batasan yang pasti mengenai
sejarah, Jaspers hanya berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat menentukan
suatu tujuan bagi sejarah. Tetapi Jaspers menyebutkan bahwa sejarah sebagai
panggung di mana menjadi semakin kentara apakah itu manusia, apakah yang
mungkin bagi dia dan sejauh manakah kemampuannya. Dalam tujuan sejarah
yang dapat dilihat manusia hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang akan
dihadapi manusia, bukan suatu panggung kepastian manusia. Maka dalam
sejarah akan tampak keterbukaan manusia bagi transendensi.34
Dengan melalui kebebasan, komunikasi dan sejarah untuk
menerangkan eksistensi tidak ditemukan sebuah penjelasan yang pasti, karena
33 Ibid, hlm. 114-115 34 DR. K. Bertens, Filsafat Abad XX…………., op. cit., hlm. 140
53
eksistensi pada dasarnya adalah kemungkinan. Kebebasan manusia,
komunikasi dan sejarah yang dilakukan manusia hampir semuanya tidak dapat
ditentukan situasi dan tujuannya, maka dengan memiliki cara berada di dunia,
manusia dapat senantiasa eksis menjalankan kehidupan. Tidak adanya
kepastian, kesempurnaan, dan semuanya adalah kemungkinan dan proses
menunjukkan bahwa eksistensi tidak cukup dengan berbicara mengenai
subyektifitas ataupun obyektifitas karena ada transendensi yang selalu
melingkupi dan memiliki kesempurnaan diluar kemampuan manusia.
1. Kebebasan dalam Mengambil Keputusan
Mengenai eksistensi diungkapkan sebagai perbuatan, sebagai
pemilihan, adalah sebuah kebebasan, hanya jikalau manusia tersebut sadar,
bahwa perbuatan yang dilakukan keluar dari kekuatan dan kehendaknya
sendiri, serta dari keputusan kita sendiri. Perbuatan-perbuatan yang keluar
dari diri kita sendiri tanpa syarat apapun menunjukkan bahwa kita bebas.
Didalam pemilihan yang benar-benar bebas ini, kita adalah diri kita
sendiri, dan kita mengenal diri kita sendiri. Pengetahuan akan diri yang
berkesadaran dan mempunyai peranan dalam menentukan diri sendiri ini
menjadi “tanda” perbuatan yang benar-benar bersifat eksistensial.
Pengetahuan ini tidak diberikan suatu patokan yang obyektif atau oleh
suatu tujuan yang berada diluar subyek. Dengan demikian kebebasan ini
tidak sama dengan kebebasan yang ada dalam persoalan determinisme
(keterbatasan yang dikarenakan adanya kaidah alam atau ketentuan yang
telah ditentukan) atau indeterminisme (kebebasan untuk menentukan
pilihan tanpa dipaksa atau dibatasi oleh hal-hal yang diluar tindakan).
Kebebasan disini tidak dapat dimengerti, karena kebebasan ini muncul
pada saat kita memilih. Kebebasan dapat dikatakan sebagai suatu
penciptaan diri yang berasal dari diri sendiri.35
Secara ontologis kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari
kemampuan untuk melakukan apa yang diingininya, dan manusia juga
35 DR. Harun Hadiwijoyono, Sari Sejarah…………., op. cit., hlm. 171
54
memutuskan apa yang ingin diperbuatnya. Sebaliknya binatang dapat
berbuat menurut kemauan mereka, tetapi bukan karena kemampuan
mereka untuk memutuskan apa yang ingin mereka perbuat, melainkan
watak dan lingkungan mereka yang menentukan dan memutuskan atas
pilihan perbuatan mereka. Apa yang ingin diperbuat manusia tergantung
pada manusia itu sendiri, dan dia tidak dikendalikan oleh tekanan luar dan
dalam.36
Telah dijelaskan diawal bahwa eksistensi manusia didunia tidak
cukup dengan adanya peranan subyektifitas, tetapi eksistensi hanya ada
pada kebebasan manusia dalam berbuat dan menentukan atas pilihan.
Jaspers menyatakan bahwa inti dari kehidupan manusia adalah kebebasan,
dan kebebasan berarti memilih, menyadari, mengidentifikasikan diri
dengan dirinya sendiri. Saya ada dalam arti yang sebenarnya (ada dengan
eksistensi yang lain) sejauh saya memilih secara bebas.37 Disinilah Jaspers
terlihat berbeda dengan J.P. Sartre dalam mengungkapkan kebebasannya.
Sartre memandang kebebasan adalah mutlak, tidak ada batasan atas
kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.38 Sedang Jaspers dalam
eksistensinya menggarisbawahi historisitas manusia, karena pilihan-
pilihan manusia di waktu lampau. Di dalam batas-batas historisitas
tersebut, kebebasan manusia bersifat total, karena kebebasan dialami
dalam spontanitas saat manusia menentukan atas pilihannya.39
Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa eksistensi ada pada kategori-
kategori kebebasan, komunikasi dan sejarah dan ketiga-tiganya tidak dapat
berjalan sendiri-sendiri, ada keterkaitan diantaranya untuk menunjukkan
adanya eksistensi manusia. Dalam filsafat Jaspers, hubungan manusia
dengan sesama manusia merupakan tema utama dalam pemikirannya,
maka dari itu dalam gagasan eksistensi Jaspers, penerangan eksistensi
36 Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 162-163
37 DR. K. Bertens, Filsafat Abad XX…………., op. cit., hlm. 134 38 T.Z. Lavine, Sartre Filsafat Eksistensialisme Humanis, Jendela, Yogyakarta, 2002,
hlm. 71 39 DR. K. Bertens, Filsafat Abad XX…………., op. cit., hlm. 134
55
tidak dapat dicapai apabila manusia tidak membuka diri kepada orang lain.
Terealisasikannya eksistensi karena adanya ikatan eksistensial dengan
eksistensi yang lain disebut dengan komunikasi.
Dari penjelasan diatas komunikasi merupakan upaya untuk
membuka kesejatian diri dengan pribadi yang lain. Tentunya dalam hal ini
ada sumber yang menghubungkan komunikasi intersubyektif ini, sumber
komunikasi tersebut adalah cinta kasih, tetapi cinta kasih belum tentu
sebuah komunikasi, karena komunikasi sifatnya adalah terbuka pada
situasi apapun.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa eksistensi
selalu meliputi situasi tertentu, situasi yang terbatas, dan juga senantiasa
dilaksanakan dalam hubungan dengan orang tertentu. Maka situasi dapat
berubah-ubah dan dapat diganti dengan orang lain, karena kita berada
dalam waktu dan dalam sejarah yang senantisa berubah.
Eksistensi pada dasarnya tidak terikat pada waktu, bersifat abadi,40
namun pada kenyataannya eksistensi tidak dapat lepas dari situasi tertentu
yang terbatas itu, terlebih-lebih ketika eksistensi dihadapkan pada
kematian dan penderitaan. Demikanlah sekalipun eksistensi adalah
kebebasan, namun tergantung pada yang lain. Sebab memang kita bebas
didalam menentukan pilihan. Tetapi sekali kita menjatuhkan pilihan, kita
terikat kepada pilihan itu, serta harus berbuat dan memikul akibat
perbuatan tersebut. Demikian tiada kebebasan yang mutlak, seperti halnya
tiada eksistensi tanpa Dasein.41
2. Kebebasan sebagai Kepercayaan pada Transendensi
Kebebasan manusia adalah pembahasan penting dalam pemikiran
eksistensi Karl Jaspers. Eksistensi Jaspers adalah cara berada dengan
bebas. Kenyataan keberadaan manusia adalah bersegi dua. Di satu pihak ia
40 Eksistensi kita dapat disebut abadi. Eksistensi mempunyai dinamika dan keterbukaan
yang tiada batasnya. Kita berada dalam sejarah, hal ini berarti, bahwa sekalipun kita berada di dalam waktu, tetapi kita tahu kita tidak terikat dalam waktu atau kita tidak bersifat waktuil. Demikianlah sejarah mewujudkan kesatuan antara waktu dan keabadian. Lihat, DR. Harun Hadiwijoyono, Sari Sejarah…………., op. cit., hlm. 171
41 Ibid. hlm. 172
56
ada sebagai suatu fakta belaka, suatu Dasein (ada disana), tetapi dilain
pihak ia adalah eksistensi yang konkret dalam situasi ruang dan waktu.
Sebagai eksistensi, ia menghayati dirinya sebagai suatu diri yang
mengada. Kita bisa mempelajari Dasein melalui ilmu pengetahuan yang
menyangkut manusia, akan tetapi ilmu pengetahuan ini tidak akan
mencapai pengetahuan yang menyeluruh tentang manusia yang bebas dan
terus menerus bertindak atas dasar pilihan-pilihannya sendiri. Sebagai
eksistensi, manusia hanya bisa disoroti beberapa hanya dari ungkapannya
saja. Jaspers menyebut Eksistenzherllung (penerangan eksistensi), akan
tetapi sebagai manusia tidak berhenti pada eksistensinya saja, tetapi juga
sebagai kebebasan. Oleh karena itu eksistensi terus bergerak lebih lanjut
yaitu bergerak kearah transendensi.
Seperti dijelaskan dalam pembahasan diatas bahwa transendensi
adalah yang merangkumi segala sesuatu baik dunia maupun eksistensi.
Untuk itu situasi batas dalam cakrawala eksistensi seperti kegagalan yang
dialami manusia menjadikan kita tahu bahwa eksistensi kita terbatas, tetapi
kita tidak berhenti sampai pada keterbatasan tersebut, sehingga kita
senantiasa berusaha mendobrak cakrawala eksistensi kita, untuk sampai
pada cakrawala transendensi.
Penerangan eksistensi melalui situasi batas bukan berarti menutupi
kebebasan manusia, justru dengan situasi batas manusia mampu
mengekspresikan secara bebas segala apa yang menjadi usaha manusia.
Bagi Jaspers, manusia adalah suatu kebebasan. Makin sadar tentang
eksistensi diri kita sebagai kebebasan, justru apabila kita dihadapkan pada
berbagai pilihan. Demikian juga tanggapan terhadap Tuhan yang antara
lain tampil kepada manusia sebagi sumber pilihan-pilihan yang dihadapi
manusia. Oleh karena itu Jaspers sampai pada kesimpulan bahwa makin
sungguh-sungguh seseorang sadar tentang kebebasannya, makin kuat
kepastiannya tentang adanya Tuhan.
Inilah yang kemudian dianggap penting lagi oleh Jaspers dalam
menjelaskan eksistensinya yaitu “Chiffer” merupakan simbol yang
57
mengantarai pemahaman eksistensi kepada transendensi. Dari penjelasan
sebelumnya “Chiffer” merupakan penengah antara eksistensi dan
transendensi, dimana keilahian tetap tersembunyi, tetapi manusia dapat
membaca melalui bereksistensi dengan kebebasan, karena Allah
“menyembunyikan diri”. Dengan demikian, manusia berada dalam
kebebasan untuk menuju transendensi. Seperti yang telah diuangkapkan
Jaspers:
“The more authentically free man is, the greater his certainty of God. When I am authentically free, I am certain that I am not free though myself.” “Makin sejati kebebasan seseorang, makin kuat kepastiaannya tentang Tuhan. Kalau saya sungguh-sungguh bebas, saya menjadi pasti bahwa saya tidak bebas karena saya sendiri.”
Apa yang diungkapkan Jaspers diatas menunjukkan bahwa Tuhan
merupakan sumber kebebasan, untuk itu dalam kebebasan, Tuhan dapat
ditemuinya. Jaspers berkesimpulan bahwa Tuhan adalah suatu keterbukaan
yang tak kunjung beku dalam penghayatan manusia sebagai eksistensi
yang bebas.42
Meskipun eksistensi mampu gerak yang secara terus menerus dan
berproses, akan tetapi eksistensi tidak dapat “ada” tanpa ada
komunikasi dengan eksistensi yang lain. Artinya eksistensi tidak dapat
direalisasikan secara sendiri-sendiri tanpa ada ikatan dengan eksistensi
yang lain, dan ikatan yang menyambungkan adalah komunikasi. Yang
dimaksud komunikasi adalah hubungan subyektif antara manusia dengan
manusia yang lain.43
Secara singkat Karl Jaspers telah menggambarkan adanya
kebebasan sebagai eksistensi manusia, dan merupakan kemampuan
manusia untuk memutuskan dengan bebas. Adanya kebebasan yang
dihayati akan mempertemukan eksistensi dengan transendensi, sehingga
42 Copy Footnote, Way to Wisdom; an Introduction to Philoshopy, (Zurich, 1949),
terjemahan Ralph Manhem, Yale University Press, New aven, 1951, hlm. 65 43 Dr. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah………….., op.cit., hlm.171
58
kenyakinan Jaspers akan adanya transendensi yang senantiasa melingkupi
merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia.
Ekspresi pemikiran Jaspers tidak hanya mengenai permasalahan
yang sifatnya hanya individual. Seperti telah diungkap sebelumnya
mengenai filsafat Jaspers bahwa filsafat Jaspers lebih banyak menekankan
pada persoalan hubungan manusia dengan manusia, artinya bersifat sosial.
Hal ini juga ditunjukkan oleh Jaspers dalam gambarannya tentang sebuah
negara dimana ia hidup yaitu Jerman. Pada saat Jaspers menunjukkan
perumpaan ini, situasi kondisi sosial politik yang dihadapi paska adanya
perang Dunia II, dimana paska perang dunia II ini banyak negara-negara
jajahan melakukan kemerdekaannya dari penguasaan negara-negara
penjajah atau negara imperialis. Dalam pemikiran Jaspers juga menyikapi
kondisi dan situasi yang ada di dunia. Dalam hal ini Jaspers
menggambarkan bahwa negara-negara jajahan yang telah mendapatkan
kemerdekaannya, tentunya akan membentuk pemerintahan sendiri. Ketika
negara tersebut membentuk pemerintahan sendiri, maka pemerintahan
sebagai wakil dari rakyat berhak memilih dengan bebas apakah memilih
sebagai negara sosialis ataupun negara komunis, karena pada waktu itu
bentuk negara yang sudah berkembang adalah dua konsep tersebut,
sosialis dan komunis.
Situasi diatas direfleksikan oleh Jaspers sebagai bentuk kebebasan
atas sebuah negara yang terbebas dari belunggu penjajah. Menurut Jaspers
ada hal penting yang harus dilakukan dalam memutuskan atas segala
sesuatu, bahwa keputusan atas pilihan yang diambil merupakan hasil
refleksi sejarah masa lalu dengan berpijak pada realitas yang dihadapi saat
ini. Untuk itulah keputusan atas sebuah pilihan sekaligus akan membawa
konsekwensi dimasa sekarang. Dalam bukunya The Future of Mankind
Jaspers menulis
“Any idea of a future world order must start from the actual state of the world today”.
59
“apapun ide tentang tata aturan dunia masa depan harus dimulai dari keadaan sebenarnya dari dunia sekarang”. 44
Yang diungkapkan Jaspers diatas cukuplah jelas bahwa kebebasan
selalu diiringi dengan pilihan-pilihan, dimana keputusan atas pilihan-
pilihan tersebut tidak terlepas dari latar belakang dan fenomena yang
melekat. Untuk itu peranan dalam mengambil keputusan tersebut adalah
mutlak bebas, tetapi pilihan-pilihan yang muncul tersebut sebenarnya telah
menunjukkan pada kita bahwa sebebas-bebasnya kita memutuskan atas
perbuatan kita, pada kenyataannya kita terbatas pada sebuah pilihan.
Keterbatasan kita ini telah menunjukkan pada kita bahwa sebenarnya ada
sesuatu yang tidak terbatas yang tidak dapat kita baca secara langsung,
kenyataan yang kita baca sebagai keterbatasan manusia merupakan gejala
gejala akan adanya transendensi, karena itu dengan kebebasan yang
dialami seseorang akan menemukan aku yang dalam tanda kutib mengarah
pada Tuhan.
Cukuplah jelas apa yang menjadi pemikiran Karl Jaspers dalam
filsafat eksistensinya, bahwa subyektifitas yang mengarah pada “aku”
merupakan upaya Jaspers dalam menunjukkan keberadaan manusia.
Kebebasan sebagai cara berada manusia, benar-benar mengangkat manusia
sebagai subyek berkesadaran dan mampu berelasi dengan subyek-subyek
yang lain dan dengan kebebasan tersebut sebagai cara berada manusia
telah mampu menunjukkan akan adanya yang transendensi. Dengan
adanya situasi batas manusia mampu membaca chiffer yang merupakan
simbol-simbol dari yang transenden.
44 Karl Jasper, The Future of Mankind, The University of Chicago Press, Chicago, 1961,
hlm.95