Bab III HASIL PENELITIAN - repository.uksw.edu...Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Sejak tahun...

23
17 Bab III HASIL PENELITIAN A. DESKRIPSI KOTA SALATIGA Salatiga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Kota kecil ini berdiri pada 24 Juli 750. Sehingga tanggal 24 Juli lantas ditetapkan sebagai hari jadi Kota Salatiga oleh pemerintah daerah. Sebelum masa reformasi, Salatiga berbentuk kotamadya. Baru pada tahun 1999, tepatnya dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Salatiga berubah menjadi Kota Salatiga. Hingga kini, Salatiga berstatus Kota meski dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. 1 Salatiga merupakan sebuah kota kecil. Sebelum terjadi pemekaran, Salatiga hanya memiliki satu kecamatan, yaitu Kecamatan Salatiga. Namun, akhirnya Salatiga mendapat perluasan wilayah dari Kabupaten Semarang. Pascapemekaran, kota ini hanya terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan. Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti. Dengan luas sebesar 56,781 km2, Kota Salatiga menempati peringkat ke-18 sebagai kota terkecil di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, penduduk Kota Salatiga sebanyak 177.088 orang. Dengan jumlah ini, kepadatan penduduk di Kota Salatiga sebesar 3.119 orang/km2. 2 Kota Salatiga tergolong kota yang masyarakatnya sangat heterogen dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam. Dengan kondisi masyarakatnya yang sangat heterogen tersebut maka Pemerintah Kota Salatiga berusaha untuk menjaga, memupuk , melestarikan dan meningkatkan keharmonisan yang sudah ada . 3 Sehingga dalam perjalanan waktu, Salatiga mendapat predikat sebagai Kota “Toleran” ke dua (2) di Indonesia. 1 http://warnasalatiga.com/2014/03/16/profil-kota-salatiga 2 Ibid 3 http://salatigakota.go.id/InfoBerita./2013/18/9

Transcript of Bab III HASIL PENELITIAN - repository.uksw.edu...Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Sejak tahun...

  • 17

    Bab III

    HASIL PENELITIAN

    A. DESKRIPSI KOTA SALATIGA

    Salatiga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Kota kecil ini

    berdiri pada 24 Juli 750. Sehingga tanggal 24 Juli lantas ditetapkan sebagai hari

    jadi Kota Salatiga oleh pemerintah daerah. Sebelum masa reformasi, Salatiga

    berbentuk kotamadya. Baru pada tahun 1999, tepatnya dengan dikeluarkannya

    UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Salatiga

    berubah menjadi Kota Salatiga. Hingga kini, Salatiga berstatus Kota meski

    dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. 1

    Salatiga merupakan sebuah kota kecil. Sebelum terjadi pemekaran,

    Salatiga hanya memiliki satu kecamatan, yaitu Kecamatan Salatiga. Namun,

    akhirnya Salatiga mendapat perluasan wilayah dari Kabupaten Semarang.

    Pascapemekaran, kota ini hanya terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan.

    Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Sidorejo, Kecamatan

    Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti. Dengan luas sebesar

    56,781 km2, Kota Salatiga menempati peringkat ke-18 sebagai kota terkecil di

    Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, penduduk Kota Salatiga sebanyak

    177.088 orang. Dengan jumlah ini, kepadatan penduduk di Kota Salatiga sebesar

    3.119 orang/km2. 2

    Kota Salatiga tergolong kota yang masyarakatnya sangat heterogen

    dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam. Dengan kondisi

    masyarakatnya yang sangat heterogen tersebut maka Pemerintah Kota Salatiga

    berusaha untuk menjaga, memupuk , melestarikan dan meningkatkan

    keharmonisan yang sudah ada . 3 Sehingga dalam perjalanan waktu, Salatiga

    mendapat predikat sebagai Kota “Toleran” ke dua (2) di Indonesia.

    1 http://warnasalatiga.com/2014/03/16/profil-kota-salatiga

    2 Ibid

    3 http://salatigakota.go.id/InfoBerita./2013/18/9

  • 18

    Sebagai kota “persinggahan”, Salatiga menjadi tempat, ruang, wadah

    “interaksi”, pertemuan, perjumpaan antar pribadi/komunitas yang berasal dari

    berbagai latar belakang. Seperti pendapat Titaley dan Hidayat di bab

    sebelumnya bahwa kondisi yang seperti ini bisa memunculkan berbagai peluang

    dan tantangan. Salah satu kebutuhan mendasar dan sekaligus menjadi

    tantangan “persoalan kemanusiaan” yang muncul dan tak terhindarkan adalah

    persoalan perkawinan. Lebih khusus lagi yaitu persoalan perkawinan bagi

    pasangan beda agama.

    Dalam kenyataannya, sampai saat ini perkawinan dan pencatatan

    perkawinan bagi pasangan yang berbeda keyakinan / agama masih mengalami

    kendala. Kendala ini disebabkan karena sikap Pemerintah Kota di berbagai

    tempat di Indonesia (baca: diwakili oleh lembaga-lembaga pencatatan sipil,

    dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak sama. Di Kota

    Salatiga, Dinasdukcapilnya bersedia mencatatkan. Sedangkan diluar kota

    Salatiga, dinasdukcapilnya tidak bersedia mencatatkan. “Dualisme sikap” yang

    ditunjukkan beberapa lembaga pencatatan sipil jelas menunjukkan adanya

    persoalan dalam pemahaman, “interpretasi” dan kebijakan tentang perkawinan

    pasangan beda agama dan pencatatan perkawinan khususnya bagi pasangan

    beda agama.

    Pemerintah Kota Salatiga, secara khusus Kepala Dinas Kependudukan

    Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Sejak tahun 2000-2014 tidak menolak

    pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Sekalipun di luar

    Pemerintah Kota salatiga hal ini masih menjadi polemik, dan terkesan terjadi

    penolakan

    Dalam bab ini kita akan mencoba melihat aturan-aturan perundangan

    yang berlaku yaitu Undang -undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Dan Apa

    alasan-alasan/pertimbangan yang dipakai oleh Kepala Dinas dan Kependudukan

    Pencatatan Sipil sebagai pejabat pemerintah ini bersedia melaksanakan

    pencatatan perkawinan pasangan beda agama.

    B. KEHIDUPAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM/NEGARA

  • 19

    Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur

    atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata

    lain, setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi

    pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang

    diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

    Beberapa fakta dan perspektif tentang perkawinan di Indonesia,

    khususnya bagi pasangan beda agama. Sebelum dikeluarkan UU No 23 Tahun

    2006, Pencatatan administrasi kependudukan termasuk di dalamnya pencatatan

    perkawinan di Indonesia menggunakan dasar hukum masa kolonial Belanda

    yaitu Staatblad.Dalam staatblad 1896 No. 158 dikenal adanya perkawinan

    campuran yang mana dikenal 3 jenis perkawinan campuran yaitu :5

    1. Perkawinan campuran antar tempat : misalnya perkawinan orang

    2. Perkawinan campuran antar agama: misalnya golongan eropa dengan

    golongan timur asia atau golongan bumi putera.

    3. Perkawinan campuran antar golongan

    Sedangkan hukum perkawinan di Indonesia yang sekarang ini diatur

    melalui Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang

    ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi

    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya dan

    dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Undang-undang

    Perkawinan (UUP) merupakan UU pertama di Indonesia yang mengatur soal

    perkawinan secara nasional. Sebelumnya urusan perkawinan dan segala yang

    berkaitan dengannya diatur melalui beragam hukum, yaitu hukum adat bagi

    warga negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga Indonesia asli yang

    beragama Islam, Ordonansi Pemerintah Hindia Belanda tentang Perkawinan

    Indonesia Kristen bagi warga Indonesia yang beragama Kristen di Jawa,

    Minahasa, dan Ambon, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) bagi warga

    Indonesia keturunan Eropa dan Cina, dan Peraturan Perkawinan Campuran bagi

    perkawinan campuran. Dengan demikian salah satu tujuan dari UUP adalah

    unifikasi atau penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat

    4 Ridwan HR, Hukum Adminsitrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 203

    5 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan-Perkawinan Campuran (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),2-3

  • 20

    beragam.6 Secara tekstual UU 1 th 1974 yang diterbitkan dan mengatur secara

    khusus tentang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan “campuran”

    dalam arti beda agama. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai sebuah

    “celah hukum” sehingga dalam bahasa hukum , celah hukum ini bisa

    mengakibatkan “penyelundupan hukum”. Dengan berlakunya UU 1 th 1974 ini

    ketentuan-ketentuan yang diatur sebelumnya dalam staatblad 1896 No. 158

    dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh

    telah diatur dalam UU 1/1974 ini, dinyatakan tidak berlaku.”

    Perlu sekali kita memahami dan memperhatikan terlebih dahulu

    tentang substansi dari UU Perkawinan No 1 th 1974 .

    1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 th 1974

    Undang-undang No. 1 th 1974, Pasal 1, menyatakan bahwa,

    “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

    wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

    tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”7

    Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa:

    a. Perkawinan tidak hanya berdimensi lahiriah, tetapi juga mempunyai

    dimensi batiniah atau rohaniah.

    b. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pria dan seorang

    wanita sebagai suami-istri. Dari sini dapat dijelaskan dua hal sebagai

    berikut:

    1.) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan seorang pria dan seorang

    wanita. Hal ini menunjukkan bahwa menurut UU Perkawinan

    dianut asas perkawinan monogami.

    2.) Perkawinan jangan dipandang hanya untuk memenuhi kebutuhan

    biologis, karena dimungkinkan adanya perkawinan in extrimis,

    yaitu perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka di mana salah

    satu atau keduanya sudah tua dan “dalam waktu singkat” akan

    meninggal dunia).

    6 Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama : Tinjauan Keagamaan, Hukum , dan HAM . Disajikan

    dalam Focus Group Discution Perkawinan Beda Agama yang dihelat Yayasan Percik, Salatiga, 24 Juni 2014. 16 7 Drs. Sudarsono, S.H., M.Si , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2010, hal 9)

  • 21

    Dari pengertian perkawinan tersebut di atas dapat diketahui tentang

    tujuan perkawinan, yaitu : “membentuk keluarga (rumah tangga) yang

    bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan untuk

    memeroleh anak atau pun keturunan.

    2. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    Agar perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita

    sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU

    Perkawinan, di mana syarat tersebut dibedakan menjadi dua kelompok,

    yaitu:8

    a. Syarat Formil

    Syarat ini sebenarnya mengatur bagaimana tata cara orang yang akan

    melangsungkan perkawinan, yaitu berupa formalitas yang harus dipenuhi

    oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat ini telah diaturf

    dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9

    Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:

    b. Syarat Materiil

    Syarat meteriil perkawinan telah ditetapkan dalam UU Nomor 1, di

    mana syarat ini harus ada pada orang yang akan melangsungkan

    perkawinan serta harus adanya ijin dari pihak-pihak yang bersangkutan.

    Syarat materiil ini selanjutnya dibedakan menjadi dua, yaitu:

    1.) Syarat Materiil Absolute:

    Yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang

    bersangkutan dan jika salah satu syarat tidak ada maka

    perkawinan tidak dapat dilaksanakan dikarenakan ada halangan

    perkawinan mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

    a.) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah

    pihak, di mana hal ini ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU

    Perkawinan. Itu berarti bahwa perkawinan tidak boleh

    8 M.Haryanto, “Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan”, dalam rumpun tulisan Materi Pembekalan

    Persiapan Pasangan Suami Istri (Salatiga: Klasis Salatiga, 2009)

  • 22

    dilakukan kalau atas dasar paksaan, penipuan ataupun

    kekhilafan.

    b.) Dalam Pasal 7 UU Perkawinan ditentukan, batas usia

    melangsungkan perkawinan, untuk laki-laki harus sudah

    berumur 19 tahun, dan perempuan 16 tahun. Sebelum usia

    tersebut hanya dapat melangsungkan perkawinan jika ada

    dispensasi. Pembatasan ini dimaksudkan agar tujuan

    perkawinan tercapai dan mencegah perkawinan dibawah umur

    (perkawinan dini) agar tidak terjadi peningkatan angka

    kelahiran.

    c.) Menurut Pasal 6 ayat (2-6) Apabila yang akan melangsungkan

    perkawinan belum mencapai usia 21 tahun maka harus ada ijin

    dari kedua orang tuanya. Kalau salah satu orang tuanya telah

    meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka

    ijin dapat diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau

    dapat menyatakan kehendaknya. Kalau keduanya telah

    meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, maka ijin

    dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau

    keluarga dalam garis lurus ke atas yang masih hidup dan

    mampu menyatakan kehendaknya. Demikian juga Pengadilan

    Negeri dapat pula memberikan ijin ini.

    d.) Menurut Pasal 11 UU Perkawinan dan diatur lebih lanjut dalam

    Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, seorang wanita yang putus

    perkawinannya sebelum melangsungkan pernikahan lagi

    berlaku masa tunggu, yang dibedakan menjadi tiga kelompok,

    yaitu:

    (1) Bila perkawinan putus karena kematian, janda mempunyai

    waktu tunggu selama 130 hari.

    (2) Bila putus karena perceraian, janda masih datang bulan

    ditetapkan waktu tunggu 3 x suci, minimal 90 hari,

  • 23

    sedangkan bila janda sudah tidak datang bulan, waktu

    tunggu adalah 90 hari.

    (3) Bila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil,

    waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

    (4) Menurut Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih

    dalam ikatan perkawinan dengan orang lain tidak dapat

    melangsungkan perkawinan lagi, kecuali yang ditentukan

    dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Perkawinan. Pada azasnya

    perkawinan di Indonesia adalah monogami, tetapi tidak

    menutup kemungkinan poligami apabila dipenuhi syarat

    menurut UU. Untuk melaksanakan poligami maka suami

    harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri

    dengan alasan sebagaimana tersebut pada Pasal 4 UU

    Perkawinan, yaitu:

    -Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

    -Isteri mendapat cacat badan yang tidak dapat

    disembuhkan.

    -Isteri tidak dapat memberikan keturunan.

    Selain salah satu alasan tersebut, maka harus dipenuhi pula

    syarat-syarat sebagaimana tersebut pada Pasal 5 UU

    Perkawinan dan Pasal 40 s/d Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975.

    Dengan adanya PP No. 10 tahun 1983, maka poligami untuk

    pegawai negari lebih dibatasi lagi.

    2.) Syarat materiil relative

    Syarat ini ada pada pihak yang akan dikawini yang diatur

    dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu tidak adanya

    larangan mereka untuk melangsungkan perkawinan.

    3. Tata Cara Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

  • 24

    Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, pencatatan perkawinan

    merupakan suatu keharusan. Kalau orang akan melangsungkan

    perkawinan sebenarnya ada 4 tahapan penting yang harus dilalui, yaitu:9

    a. Pemberitahuan

    Tentang pemberitahuan ini diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 tahun

    1975, yaitu orang yang akan melangsungkan perkawinan harus

    memberitahukan hal ini kepada Kantor Pencatatan Perkawinan, baik

    secara lisan atau tertulis. Pemberitahuan ini dilakukan 10 hari kerja

    sebelum pelaksanaan perkawinan oleh salah satu atau kedua

    mempelai, atau oleh orang tua atau wali, dapat pula oleh orang lain

    dengan surat kuasa. Dapat pula kurang dari 10 hari kerja sebelum

    pelaksanaan perkawinan asal ada dispensasi dari camat atas nama

    Bupati/ Walikota dengan menjelaskan alasan-alasannya.

    b. Penelitian dan pemeriksaan

    Diatur dalam Pasal 6 PP No. 9 tahun 1975. Pemeriksaan dan

    penelitian menyangkut hal-hal sebagai berikut:

    1. Identitas calon mempelai apakah usianya telah mencapai usia

    untuk melangsungkan perkawinan.

    2. Status, apakah calaon mempelai gadis/janda, duda/jejaka,

    beristeri atau belum, pegawai negari atau bukan. Hal ini terkait

    dengan waktu tunggu bilai mempelainya janda atau syarat-

    syarat berpoligami apabila suami telah beristeri.

    3. Agama, hal ini terkait dengan instansi yang mencatat

    perkawinan juga tentang “wali” bila mempelai beragama

    Islam.

    c. Pengumuman

    Menurut Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975, atas hasil penelitian

    tersebut harus diumumkan agar masyarakat mengetahui dan

    dalam waktu tertentu dapat mengajukan keberatan apabila

    terhadap mempelai tadi ada halangan untuk melangsungkan

    9 Ibid, 39

  • 25

    perkawinan, dan apabila dalam tenggang waktu tertentu tidak ada

    yang mengajukan keberatan maka perkawinan dapat

    dilangsungkan.

    d. Pencatatan Perkawinan

    Setelah perkawinan sah dilaksanakan menurut hukum Agama

    dan Kepercayaan masing-masing, maka selanjutnya dicatatkan

    yaitu:

    a. Di Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam

    b. Di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang Non Islam.

    Pencatatan perkawinan merupakan pemenuhan dari

    ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

    menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut

    perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan

    bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan tersebut jelas,

    bagi suami isteri maupun orang lain dan masyarakat sehingga jika

    diperlukan sewaktu-waktu pencatatan tersebut menjadi alat bukti

    tertulis yang otentik.10

    4. Akibat Adanya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1974

    Setelah seorang laki-laki dan seorang perempuan melangsungkan

    perkawinan maka akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya, yaitu:11

    a. Kedudukan

    Dalam kehidupan suami-isteri, suami mempunyai kedudukan

    sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga,

    oleh karena itu segala sesuatu yang menyangkut masalah keluarga

    harus dibicarakan dan diputus bersama oleh suami-isteri.

    b. Hak dan Kewajian

    Berdasarkan UU Perkawinan antara suami-isteri diwajibkan untuk

    saling mencintai, saling menghormati dan memberikan bantuan

    10

    Tinjauan Yuridis tentang Perkawinan,... 41 11

    Ibid

  • 26

    lahir maupun batin, sebagai kepala keluarga suami berkewajiban

    melindungi isteri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sesuai

    dengan kemampuannya demikian pula sebaliknya isteri

    berkewajiban mengatur rumah tangganya sedemikian rupa.

    c. Harta Benda

    Terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan UU

    Perkawinan menyatakan bahwa harta tersebut menjadi harta

    bersama dan pengurusannya dilaksanakan berdua sehingga kalau

    akan menggunakan harta bersama harus dengan persetujuan kedua

    belah pihak. Harta bawaan masing-masing pihak dan harta yang

    diperoleh sebagai hadiah atau warisan ada di bawah pengawasan

    masing-masing pihak, kecuali ditentukan lain.

    5. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG HUKUM/NEGARA

    Perkawinan beda agama menurut pendapat O.S. Eoh yang di kutip

    dari pendapat Abdurrahman adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang-

    orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan

    yang lainnya. 12 Apakah perkawinan beda agama memiliki pengertian yang

    sama dengan perkawinan campuran ? Seperti yang tertulis dalam pasal 57

    UU No 1 / 1974 bahwa Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam

    Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia

    tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan

    dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 13

    Dalam zaman kompeni hingga tahun 1848 keagamaan dipergunakan

    sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan

    struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut oleh

    penguasa – agama Nasrani – dijadikan pegangan. Agama dipakai untuk

    melindungi golongan Belanda. Seorang Kristen tidak dapat menikah dengan

    seorang bukan Kristen. Karena tidak sesuai dengan keadaan zaman, pendirian

    12

    O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). 13

    Seri Hukum Dan Perundangan , Hukum Perkawinan Indonesia UU RI No. 1 Tahun 1974, (Tangerang Selatan: SL Media, 2013 ), 22

  • 27

    ini dilepaskan dengan diterimanya Pasal 15 OV dari 1848 yang dalam

    perjalanannya dicabut dan digantikan dengan S. 1898-158. 14

    Jadi pemahaman perkawinan beda agama dengan perkawinan

    campuran jelaslah dua hal yang berbeda yang sangat dipengaruhi dengan

    konteksnya masing-masing. Yang menjadi titik berat untuk perkawinan beda

    agama adalah perbedaan keyakinan/agama. Dua orang yang berbeda

    keyakinan/agama tetap mempertahankan keyakinan/agama yang dianutnya.

    Sedangkan perkawinan campuran adalah perbedaan kewarganegaraan. Dua

    orang yang berbeda kewarganegaraan terikat dengan hukum perkawinan

    atau ketentuan perundang-undangan negara masing-masing.

    Dalam UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur

    persoalan tentang perkawinan beda / antar agama, dan secara tegas tidak

    melarang pelaksanaan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama.

    Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 berbunyi: (1)

    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

    agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut pasal ini, secara implisit yang

    dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

    termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan atau

    tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

    Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan mengenai larangan

    perkawinan dalam butir f menyatakan: Perkawinan dilarang antara dua

    orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

    yang berlaku dilarang kawin.15 Ini berarti, Undang-undang perkawinan

    menyerahkan pelaksanaan perkawinan beda agama kepada ajaran/hukum

    agama masing-masing untuk memperbolehkan atau melarang perkawinan

    tersebut, khususnya bagi pasangan yang berbeda agama.

    Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 dan Pasal 8 UU

    Perkawinan butir f menyebabkan adanya ketidak pastian hukum bagi

    pasangan yang akan menikah beda agama di Indonesia. Akhirnya,

    masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan perkawinan beda

    14

    Ibid, Sudargo Gautama, 6-7 15

    Ibid, Seri Hukum Dan Perundangan, 10

  • 28

    keyakinan/ agama justru menghindari pasal ini, dengan cara penyelundupan

    hukum, yaitu dengan cara meni kah di luar negeri atau pernikahan secara

    adat.

    Pasal 35 huruf a UU Adminduk sebenarnya sudah memberi ruang

    kepada pasangan yang berbeda agama. Dalam undang-undang Adminduk

    tersebut telah diatur bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana terdapat

    dalam pasal 34 UU Adminduk berlaku juga untuk perkawinan yang ditetapkan

    oleh pengadilan, yaitu perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda

    agama.

    Berdasarkan penjelasan diatas, Undang-undang Perkawinan yang

    menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia tidak membahas tentang

    perkawinan beda agama. Justru merujuk ke UU Adminduk, perkawinan beda

    agama telah diakui di Indonesia. Hal ini nampak dari diaturnya mengenai

    pencatatan perkawinan beda agama yang ditetapkan oleh pengadilan. Ini

    berarti, perkawinan beda agama dapat dilakukan di Indonesia dan

    perkawinan tersebut sah.

    6. DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA

    Pencatatan Perkawinan bagi pasangan beda agama telah

    dilaksanakan sejak tahun 2000- 2014 di Salatiga. Ini berarti pencatatan

    perkawinan bagi pasangan beda agama telah mendapat “ruang” dalam

    kehidupan “public”. Tentunya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota

    Salatiga dalam hal ini Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil tidak

    berangkat dari “ruang kosong”. Ada beberapa pertimbangan, alasan-alasan

    yang mendasari kebijakan tersebut. Akan tetapi sebelum membahasnya

    lebih lanjut kita perlu mengetahui terlebih dahulu tentang tugas pokok

    Pemerintah Kota dalam hal ini Kepala Dinasdukcapil. Kemudian bagaimana

    prosedur pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama.

    Berdasarkan informasi yang kami dapatkan bahwa Dinas

    Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga merupakan bagian dari

    Pemerintahan Daerah Kota Salatiga. Dan bidang kependudukan dan

  • 29

    pencatatan sipil di Salatiga merupakan urusan wajib pemerintah

    sebagaimana yang tertulis dalam pasal 3 , Bab II Urusan Pemerintah

    Daerah.16

    Pasal 3

    (1) Urusan Pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

    ayat (3) hurus a, meliputi:

    A. Pendidikan

    B. Kesehatan

    C. Lingkungan Hidup;

    D. Pekerjaan Umum;

    E. Penataan ruang;

    F. Perencanaan Pembangunan;

    G. Perumahan

    H. Kepemudaan dan olah raga;

    I. Penanaman Modal

    J. Koperasi dan usaha kecil dan menengah;

    K. Kependudukan dan catatan sipil

    L. Ketanagakerjaan

    M. Ketahanan pangan

    N. ...

    Bidang kependudukan dan catatan sipil yang merupakan urusan wajib

    pemerintahan seperti yang diatur dalam pasal 4 Bab II Urusan Pemerintahan

    daerah berpedoman pada standard pelayanan minimal bidang-bidang

    urusan pemerintahan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan berpedoman

    pada norma, standard, prosedur dan kristeria yang ditetapkan oleh Menteri /

    Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen. 17

    16

    Himpunan Lembaran Daerah Kota Salatiga 2008. Dihimpun oleh Bagian Hukum Kota Salatiga. Jl.Letjen Sukowati Salatiga 2008 17

    Ibid, 119

  • 30

    a. Struktur Organisasi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

    Salatiga18

    b. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan

    18

    Rencana Stategis Satuan kerja Perangkat daerah (Renstra – SKPD) Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Tahun 2011-2016 Pemerintah Kota Salatiga

    Kepala Dinas

    Kelompok Jabatan

    Fungsional

    Sekretariat

    Sub.Bagian

    Perencana

    an,

    Evaluasi

    dan

    pelapora

    Sub

    bagian

    Keuangan

    Sub

    bagian

    Umum

    dan kepega

    waian

    Bid.Pendaft

    aran

    Penduduk

    Bid.Pengelolaan

    Data dan informasi

    Kependudukan

    Seksi

    Pendataan

    Penduduk

    Seksi Program

    dan jaringan

    Komunikasi Data

    Seksi

    Perpindahan

    dan

    Perkembanga

    n Penduduk

    Seksi Informasi

    Administrasi

    Kependudukan

    UPTD

    Bidang Pencatatan

    Sipil

    Seksi Pelayanan

    Seksi

    Dokumentasi

    dan Informasi

  • 31

    Susunan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

    Salatiga terdiri dari:19

    1.) Kepala Dinas

    2.) Sekretariat

    3.) Bidang-Bidang terdiri dari:

    a.) Bidang Pendaftaran Penduduk

    b.) Bidang Adminsitrasi Kependudukan

    c.) Bidang Pencatatan Sipil

    4.) Kelompok Jabatan Fungsional

    C. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Dinas20

    Tugas Pokok membantu Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah

    Daerah di bidang Kependudukan Dan Pencatatan Sipil.

    1.) Perumusan kebijakan di bidang Kependudukan dan Pencatatan sipil.

    2.) Penetapan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan Pencatatan

    Sipil sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Walikota.

    3.) Pengkoordinasian dan penaggungjawab pelaksanaan kegiatan Dinas

    berdasarkan kebijakan Walikota.

    4.) Perumusan pedoman dan petunjuk teknis di bidang kependudukan

    dan catatan sipil.

    5.) Penerbitan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan

    pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi

    penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku

    D. Uraian Tugas Kepala Dinas21

    1.) Merumuskan kebijakan di bidang kependudukan dan catatan sipil

    berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk di laksanakan

    19

    Ibid, 6 20

    Ibid 21

    Ibid

  • 32

    2.) Menetapkan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan

    Pencatatan Sipil sesuai dengan kebijakan yang di tetapkan oleh

    Walikota untuk di laksanakan;

    3.) Menerbitkan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan

    pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi

    penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai salah satu

    bentuk pelayanan masyarakat

    4.) Memeriksa dan menandatangani surat-surat kependudukan dan

    catatan sipil serta akta catatan sipil untuk kelancaran tugas.

    E. Prosedur Pencatan Perkawinan Di Dinas Kependudukan Dan

    Pencatatan Sipil Kota Salatiga

    Pasal 4 Bab II jika dikaitkan dengan bidang kependudukan dan

    catatan sipil, menegaskan bahwa Bidang Kependudukan dan catatan sipil

    dalam hal ini Dinas Kependudukan dan catatan sipil Salatiga, dalam

    menjalankan tugas-tugasnya , secara khusus dalam hal melaksanakan

    pencatatan perkawinan harus berpedoman pada norma, standard ,

    prosedur yang ditetapkan.

    Dibawah ini akan dijelaskan prosedur pencatatan perkawinan

    (khusus: beda agama) yang berlangsung di Dinas Kependudukan dan

    Pencatatan Sipil Kota Salatiga .

    Prosedur permohonan Pencatatan Perkawinan (Baca: Khususnya

    Pasangan Beda Agama) di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil

    Salatiga adalah sebagai berikut:

  • 33

    1. Pendaftaran Pemohon melalui loket:22

    PEMOHONMENGAMBIL FORMULIR

    DAN MENGISI

    MENYERAHKAN FORMULIR DAN BERKAS

    PERSYARATAN KE PETUGAS DI LOKET

    PETUGAS MENELITI BERKAS PERSYARATAN *

    PETUGAS MENCATAT DALAM BUKU REGISTER

    PENGETIKAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN

    PENANDATANGANAN KUTIPAN AKTA DAN

    BUKU REGISTER OLEH KEPALA DINAS

    PENYERAHAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN KEPADA PEMOHON

    2. Pendaftaran Pemohon melalui Pemuka Agama / Pemuka Penghayat

    Kepercayaan yang ditunjuk oleh Dinas Kependudukan Dan

    Pencatatan Sipil.23

    PEMOHON

    Bertemu dengan salah satu pemuka agama yang

    ditunjuk oleh Dinasdukcapil untuk menanyakan

    persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi

    Pemohon menyerahkan berkas persyaratan

    kepada Pemuka Agama*

    Pemohon menyerahkan berkas persyaratan

    kepada Pemuka Agama*dinasdukcapil

    Petugas Disdukcapil meneliti berkas-berkas

    yang diberikan oleh pemuka agama

    Petugas Dinasdukcapil mencatatkan dalam

    register

    Penandatanganan di register dilaksanakan oleh pemuka agama yang ditunjuk oleh Dinasdukcapil pada hari

    pelaksanaan pemberkatan/peneguhan perkawinan si pemohon

    Setelah dilakukan penandatanganan di register

    , Pemuka Agama menyerahkan kembali

    register tersebut kepada petugas Dinasdukcapil agar

    dapat diterbitkan akta perkawinan

    1 2

    3

    45

    6

    7 8

    22

    Berdasarkan wawancara dengan salah satu karyawan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 23

    Adapun dasar hukum penugasan kepada pemuka agama dalam mencatatkan perkawinan ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 436/541/2015 tentang Pengesahan pemuka Agama Dan Pemuka Penghayat Kepercayaan Yang menerbitkan Surat Keterangan Terjadinya Peristiwa Perkawinan Dalam Wilayah Kota Salatiga.

  • 34

    Catatan: * 1). Surat pemberkatan nikah dari Lembaga Agama yang melayani.

    2) Berkas persyaratan harus disertai surat pernyataan dari salah satu

    pemohon yang telah bersedia diberkati pernikahannya atau

    bersedia menundukkan diri sesuai dengan hukum agama

    pasangannya.

    7. DASAR – DASAR HUKUM, KEBIJAKAN DAN ALASAN-ALASAN DARI KEPALA

    DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA TERKAIT

    PROSES PENCATATAN PERKAWINAN KHUSUSNYA BAGI PASANGAN BEDA

    AGAMA

    Hasil penelitian dan wawancara penulis dengan Kepala Dinasdukcapil

    Salatiga periode 2000-2014 ditemukan beberapa alasan/pertimbangan dan

    aturan/norma/kaidah hukum pasal yang dijadikan dasar dalam mengambil

    sebuah kebijakan untuk mencatatkan perkawinan pasangan beda agama.24

    a. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 : “ Perkawinan

    adalah Ikatan lahir batin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai

    suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

    bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.”

    b. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974:

    1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

    masing agama dan kepercayaannya itu.

    2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

    undangan yang berlaku

    c. Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal

    35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya melalui prosedur

    penetapan pengadilan.

    d. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang

    administrasi kependudukan yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan yang

    sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib

    dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya 24

    Berdasarkan wawancara dengan bapak “D” pada bulan November 2015.

  • 35

    perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal

    perkawinan”.

    e. Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang

    Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pentatan Sipil

    ditetapkan, bahwa salah satu persyaratan pencatatan perkawinan adalah

    Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka

    agama/pendeta.

    f. UUD 1945 pasal 28 a: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

    mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedangkan pasal 28 b: Setiap

    orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

    perkawinan yang sah.

    g. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin

    kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

    h. Kepemimpinan yang melayani, yang selalu mengedepankan pelayanan

    kepada masyarakat.

    Alasan-alasan kepala dinas yang mendasarkan pada Pasal 34 ayat (1)

    Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan

    yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan

    Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada

    instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam

    puluh) hari sejak tanggal perkawinan”, memiliki pemahaman bahwa dengan

    ketentuan tersebut maka perkawinan yang telah dilaksanakan menurut

    hukum agamanya masing-masing wajib harus dicatatkan di Kantor catatan

    sipil. Apabila pencatatan tersebut tidak dilakukan walaupun orang tersebut

    telah melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya, berarti

    orang tersebut telah melanggar azas legalitas, sehingga akibatnya ialah

    bahwa akibat-akibat dari telah dilangsungkannya perkawinan tidak diakui sah

    secara hukum, (misalnya apabila lahir anak, maka anak yang bersangkutan

    tidak diakui sebagai anak yang lahir akibat perkawinan, ia hanya mempunyai

    hak sebagai anak ibu dengan konsekuensi yang bermacam-macam).

  • 36

    Oleh karenanya, sebagai warga negara yang baik, tentu harus

    menghormati hukum agamanya sekaligus wajib menghormati hukum negara

    yang berlaku dimana ia menjadi warga negaranya. Jadi berdasarkan Pasal 34

    ayat (1) ini memberikan penegasan bahwa perkawinan yang sah menurut

    agama yang disertai dengan bukti pemberkatan/surat nikah secara absah

    dan prosedural dapat dicatatkan.

    Dasar pemahaman kepala dinas tentang Pasal 34 ayat (1) diatas juga

    semakin diperkuat dengan dasar hukum lain yaitu Pasal 67 ayat (2) Peraturan

    Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

    Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil ditetapkan, bahwa salah satu

    persyaratan pencatatan perkawinan adalah Surat keterangan telah terjadinya

    perkawinan dari pemuka agama/pendeta. Jadi Dinas kependudukan dan

    pencatatan sipil bertugas hanya mencatat dengan dasar bukti pemberkatan

    perkawinan / surat nikah secara agama. Dinas kependudukan dan pencataan

    sipil tidak memiliki kapasitas untuk menolak/melarang perkawinan

    khususnya bagi pasangan yang berbeda keyakinan.

    Kenyataan yang ada, sampai dengan saat ini masih muncul

    interpretasi yang berbeda dari para ahli hukum, para Pemimpin Daerah, para

    pimpinan Kepala Dinas Dan Kependudukan dari masing-masing daerah

    (secara khusus Disdukcapil Salatiga) terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-

    Undang 1 Tahun 1974. Seperti dalam pemberitaan di Kompas beberapa

    pemuka agama mengklaim bahwa perkawinan pasangan yang berbeda

    agama ini tidak sesuai dengan hukum agama. (Baca

    http://nasional.Kompas.com/reas/2014/09/05/). Beberapa ahli hukum juga

    mengklaim bahwa perkawinan beda agama tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat

    (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah,

    apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

    kepercayaannya itu.25 Dengan kata lain perkawinan beda agama itu

    merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974. Akan tetapi sekalipun

    25

    Sudarsono , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineksa Cipta, 2010), 10

    http://nasional.kompas.com/reas/2014/09/05/

  • 37

    banyak multi tafsir atas ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974

    para Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil khususnya di Kota

    Salatiga tetap mengambil sebuah kebijakan yang tetap berdasarkan hukum

    dan Undang-undang yang berlaku, seperti yang tertuang di Pasal 34 ayat (1)

    Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan,

    Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang

    Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Penca tatan Sipil.

    Berkaitan dengan Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan

    no 23 tahun 2006 pasal 35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya

    melalui prosedur penetapan pengadilan. Para kepala Dinas berpendapat

    bahwa Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006

    pasal 35a ini dikenakan bagi mereka yang masing-masing mempertahankan

    agama dan tidak bersedia menikah berdasarkan hukum agama pihak lain.

    Maka solusi untuk kasus seperti ini harus ada ijin dari Pengadilan setempat

    dan harus ada pernyataan dari pemimpin agama masing-masing bahwa

    mereka tidak sanggup melangsungkan perkawinan bagi calon pengantin.

    Pengadilan atas pertimbangannya akan menerima atau menolak permintaan

    mempelai, dan apabila menerima permohonan mempelai, Pengadilan

    setempat akan memerintahkan kepada Pejabat Kantor Catatan Sipil setempat

    atas nama Negara melangsungkan pernikahan pihak yang berkepentingan.

    Seorang Kepala Dinas (baca: Pemimpin) harus memiliki prioritas

    utama dalam kepemimpinannya.26 Memiliki “spirit” melayani, yang selalu

    mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa seorang

    pemimpin harus sungguh-sungguh melayani kepentingan masyarakat. Selalu

    memperjumpakan keutamaan dan kebahagiaan dalam hidup bersama (baca:

    konteks pelayanan masyarakat). Apa keutamaan dan kebahagiaan seorang

    pemimpin (baca:pelayan) dalam kepemimpinannya? Ketika dirinya sebagai

    pemimpin dapat me-representasikan- kehadiran negara dalam kehidupan

    26

    Berdasarkan wawancara dengan ibu “A” pada bulan Desember 2015

  • 38

    warga negaranya27, dalam hal ini kehidupan religiusitas warganya yang

    berkaitan dengan perkawinan. Ketika agama sudah mengesahkan sebuah

    perkawinan dengan sebuah bukti berupa surat keterangan telah terjadinya

    perkawinan dari pemuka agama/pendeta maka sebagai seorang pemimpin

    (baca: Kepala Dinas dan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil) harus

    menghormati hukum agama yang mengesahkan itu dengan cara

    mencatatkan peristiwa perkawinan itu. Ketika semua ini terjadi maka

    terwujudlah sebuah keutamaan dan kebaikan dalam sebuah komunitas

    masyarakat yang dipimpinnya.

    Jadi bisa disimpulkan bahwa Kewenangan dan kebijakan khusus

    (baca: Otonomi kehendak) dari Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan

    Sipil yang terkait dengan pencatatan perkawinan, khususnya bagi pasangan

    beda agama bukan sekedar sebuah tindakan yang muncul dari emosi,

    keinginan, atau pilihan. Para pemimpin Dinasdukcapil bertindak secara moral

    dan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan dan

    kebijakan khusus yang diambil bukan karena sekedar ”kecenderungan” atau

    ikut-ikutan tetapi tindakan yang dilakukan bertolak dari suatu “rasa

    kewajiban” . Sebuah kewajiban adalah apa yang harus dikerjakan apapun

    kecenderungan subyektif yang muncul. Dan semua yang dikerjakan selalu

    disertai dengan berbagai pertimbangan, seperti nilai, norma, etika dan

    hukum yang berlaku dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa bernegara.

    27

    Hal ini sejalan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan sekaligus pelaksanaan pasal 28 b bahwa Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

  • 39