TESIS MENOLAK W AISAK NASIONAL W ALUBI: Perayaan …

125
TESIS MENOLAK WAISAK NASIONAL WALUBI: Perayaan Waisak di Yogyakarta Sebagai Counter Hegemony Waisak Nasional di Candi Borobudur Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Strata II Ilmu Religi dan Budaya Oleh: Nama : Totok NIM : 126322008 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of TESIS MENOLAK W AISAK NASIONAL W ALUBI: Perayaan …

TESIS

MENOLAK WAISAK NASIONAL WALUBI: Perayaan

Waisak di Yogyakarta Sebagai Counter Hegemony Waisak

Nasional di Candi Borobudur

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora(M.Hum)

pada Strata II Ilmu Religi dan Budaya

Oleh: Nama :

Totok

NIM : 126322008

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2017

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tesis Menolak Waisak Nasional WALUBI: Perayaan Waisak Di Yogyakarta Sebagai

Counter Hegemony Waisak Nasional Di Candi Borobudur saya persembahkan

kepada:

1. Ayah dan Ibu yang telah berada di alam kedewaan

2. Isteri Geby Tri Utami dan peri kecil Ayunda

3. Untuk mahaguru-ku Bhante Pannyavaro dan Bhante Joti

4. Untuk guru-guruku Pak Supri (SD), Pak Mardi (SMP), Mas Bram

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vii

KATA PENGANTAR

Terima kasih dan syukur atas segala proses yang telah terlewati, Tesis dengan

judul “Menolak Waisak Nasional WALUBI: Perayaan Waisak di Yogyakarta Sebagai

Counter Hegemony Waisak Nasional di Candi Borobudur” dapat diselesaikan

meskipun menghabiskan waktu yang lama. Penyusunan tesis ini merupakan salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Program Pasca

Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang begitu sulit saya

dapatkan.

Tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan beberapa pihak. Oleh karena

itu, penulis menyampaikan sujud bakti dan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Universitas Sanata Dharma Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Religi dan

Budaya

2. Para dosen, pendidik yang sangat baik di Program Pasca Sarjana Magister

Ilmu Religi dan Budaya Romo Banar, Pak Nardi, Bu Katrin, Romo Beni,

Romo Bas, Romo Bagus, Pak Pratik, Pak Tri juga kepada para staff Mbak

Desy, Mas Mul

3. Para achariya yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan moral

spiritual sehingga selalu dapat membantu mengatasi setiap kesulitan hidup

saya

4. Isteriku Tri Utami dan Anakku tercinta Ayunda Visakha Vimalasanti juga

kepada mertua dan adik dan kakak tercinta beserta keluarga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

5. Teman-teman seperjuangan IRB angkatan 2012

Secara pribadi saya mohon maaf kepada keluarga dan yang telah mendukung

studi saya karena banyak waktu telah saya habiskan untuk ini semua. Banyak waktu

yang penulis habiskan karena menunda-nunda penulisan tesis ini dengan berbagai

alasan. Perubahan status dari lajang menjadi berkeluarga juga merupakan tantangan

tersendiri sehingga membutuhkan kecernatan membagi waktu untuk penyelesaian

tesis ini.

Penulis menyadari dalam penulisan tesis masih banyak kekurangan. Oleh

karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Semoga Tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

Semoga semua mahkluk berbahagia.

Yogyakarta, Juli 2017

Penulis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

ABSTRAK

Waisak adalah salah satu hari raya besar Agama Buddha. Hari raya Waisak ini adalahmomentum untuk memperingati tiga peristiwa penting yang dialami oleh SidhartaGautama yaitu saat kelahirannya, saat pencapaian kesempurnaannya dan saat wafatatau parinirvananya yang semuanya terjadi pada bulan Vesakha di India kuno.Sebagai hari yang disucikan oleh umat Buddha, hari raya Waisak dirayakan olehumat Buddha seluruh dunia dengan melakukan puja, perenungan serta upacara ritualuntuk memahami makna Waisak itu sendiri. Di Indonesia, umat Buddha merayakanWaisak sejak tahun 1930 di area Candi Borobudur. Sejak saat, itu perayaan Waisakberkembang seiring dengan munculnya berbagai organisasi Buddhis danperkembangan umat Buddha. Masa Orde Baru, ketika pemerintah menerapkankebijakan stabililtas nasional dengan mencoba menyatukan organisasi-organisasidalam wadah yang dapat dikontrol pemerintah, hal ini juga berpengaruh padaorganisasi umat Buddha dengan munculnya wadah tunggal WALUBI. Konflikinternal dalam kepengurusan WALUBI memunculkan dua organisasi besar dalamumat Buddha di Indonesia yaitu WALUBI (baru) dan KASI. Dua organisasi besardalam umat Buddha di Indonesia berpengaruh terhadap perayaan Waisak di CandiBorobudur terutama di kalangan umat Buddha di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Penelitian ini hendak menunjukkan bagaimana sejarah awal berkembangnya WaisakNasional di Borobudur yang terpusat hingga munculnya perayaan-perayaan Waisakdi sekitaran Borobudur terutama di Yogyakarta. Dengan menggunakan konseppenelitian resistensi, penelitian ini akan menunjukkan bahwa terdapat penolakan-penolakan dari masyarakat Buddhis khususnya warga Buddhis di bawah KASI baikdalam bentuk ucapan-ucapan peyoratif, maupun aksi-aksi simbolik dalam perayaanwaisak.

Berpedoman pada teori Counter Hegemony Gramsci, perayaan Waisak di Yogyakartaterutama yang dilakukan di Candi Sewu oleh Keluarga Buddhayana Indonesia adalahusaha melakukan dominasi balik dengan mempergunakan simbol candi, nasional, danliturgi yang mirip dengan apa yang dilakukan dalam perayaan Waisak di CandiBorobudur. Dengan menangkap kegelisahan umat Buddha tentang kekhusyukanritual Waisak di Candi Borobudur, perayaan Waisak di Candi Sewu lebihmenekankan pada aspek kualitas kekhusyukan ritual. Banyak peserta merasamenemukan kembali kekhusyukan Waisak yang lama hilang dari Waisak yangdiselenggarakan di Candi Borobudur.

Kata kunci :

Waisak Nasional, WALUBI, Buddhis Yogyakarta, Counter Hegemony

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1010

ABSTRACT

Vesak is one of the major feast days in Buddhism. Vesak is amomentum to commemorate three important events experienced bySiddhartha Gautama, namely at the time of his birth, the moment of reachingperfection and the time of death or Buddha’s parinirvana that everythinghappens in Vesakha month in ancient India. As the day that consecrated bythe Buddhists, Vesak is celebrated by Buddhists all over the world withperform puja (tribute), meditation and ritual to understand the significance ofVesak itself. In Indonesia, Buddhists celebrate Vesak has been since 1930 inthe area of Borobudur. Since then the celebration of Vesak is growing in linewith the emergence of the Buddhist organization and development of theBuddhists. In the new order (orde baru) when the government implemented apolicy of national stabililty by trying to unite the organizations in containersthat can be controlled by the government, it also affects the Buddhistorganization with a single organization WALUBI. When arise internalconflicts in WALUBI, there are two major Buddhist organizations rise inIndonesia. That are WALUBI and KASI. The emergence of two majorBuddhist organizations in Indonesia has effect on the celebration of Vesak atBorobudur, especially among Buddhists in Central Java and Yogyakarta.

This research seeks how the early history of the Vesak is celebrated atBorobudur and become National Vesak Comemoration. And now vesakcelebration not only in Borobudur but also in Yogyakarta. Using a resistanceconcept, this study will show that there are resistances from Buddhistsespecially Buddhist under KASI Organization. There are pejorative utterancesand symbolic action in vesak celebration that show the resistance.

Guided by the Gramsci’s theory, Counter Hegemony, Vesakcelebrations in Yogyakarta mainly conducted by Indonesian BuddhayanaFamily in Candi Sewu is an effort to make the counter domination using thesymbols like temple, national, and a liturgy that are similar to what is done inVesak celebration at Borobudur. By capturing the Buddhists anxiety abaoutsolemnity on Vesak ritual at Candi Borobudur temple, the celebration ofVesak at Candi Sewu more emphasis on the quality of solemnity in ritual.Many of the participants felt rediscover the solemnity of Vesak ritual that lostat Borobudur.

Key Words:

National Vesak, WALUBI, Buddhist Yogyakarta, Counter Hegemony

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1111

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................. ............ ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................ iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................... vi

KATA PENGANTAR ....................................................................... vii

ABSTRAK ......................................................................................... ix

ABSTRACT ......................................................................................... x

DAFTAR ISI ...................................................................................... xi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1B. Tema Penelitian ....................................................................... 9C. Rumusan Masalah ................................................................... 9D. Tujuan Penelitian .................................................................... 10E. Pentingnya Penelitian .............................................................. 10F. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 11G. Kerangka Teoritis .................................................................... 14H. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 23I. Sistematika Penulisan ………………………………………… 24

BAB II: PUJA WAISAK: MAKNA, RITUAL DAN PERAYAANNYA

A. Puja: Antara Ritual dan Pelaksanaan Ajaran Buddha ............ 26B. Tempat Pelaksanaan Ritual Waisak....................................... .. 28C. Waisak sebagai pemujaan terhadap Buddha Gautama atas tiga

peristiwa suci............................................................................ 29D. Ritual Perayaan Waisak .......................................................... 31E. Perayaan Waisak di Indonesia Pada Mulanya ........................ 32F. Waisak di Candi Borobudur: ‘Ngontrak’ Di Rumah Sendiri... 37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii

BAB III: KOMPLEKSITAS MASALAH PENYELENGGARAANPERAYAAN WAISAK DI CANDI BOROBUDUR

A. Memahami Komunitas Agama Buddha di Dunia dan Indonesia 42A.1. Theravada ........................................................................ 44A.2. Mahayana ........................................................................ 46A.3. Tantrayana atau Vajrayana .............................................. 47

B. WALUBI: Wadah Pemersatu KomunitasUmat Buddha Indonesia........................................................... 51

C. Kemelut WALUBI: Munculnya KASI dan WALUBI “Baru” 55D. Siti Hartati Murdaya, actor Intelektual WALUBI Baru … ...... 62E. Perayaan Waisak Era WALUBI dan

Pasca Pecahnya WALUBI ....................................................... 64E.1 Perayaan Waisak Era Wadah Tunggal WALUBI ............ 65E.2 Perayaan Waisak Pasca bubarnya WALUBI .................... 68

F. Tersingkirnya umat Buddha KASI :Waisak Nasional dikuasai WALUBI (baru) ............................ 75

BAB IV: PENOLAKAN MASYARAKAT BUDDHIS KASI TERHADAPPERAYAAN WAISAK NASIONAL CANDI BOROBUDUR

A. Waisak Nasional WALUBI di Mata Masyarakat KASI ......... 79A.1. WALUBI: Wanita Luar Biasa ......................................... 80A.2. WaKubi dan Rekor MURI ............................................... 83A.3. Bhikkhu Tidak Makan Amplop........................................ 84A.4. Bhikkhu Bayaran ............................................................. 84A.5. Sulit Khusyuk................................................................... 85

B. Waisak di Yogyakarta sebuah War of Position........................ 88

BAB V: KESIMPULAN.............................................................. 106

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 110

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu event keagamaan rutin terbesar umat Buddha di Indonesia

adalah Waisak Nasional di candi Borobudur. Even ini biasanya diselenggarakan

oleh organisasi masyarakat umat Buddha Indonesia yang tergabung dalam

WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Setiap tahun ribuan orang dari

berbagai wilayah dalam dan luar negeri berbondong-bondong datang ke candi

Borobudur untuk mengikuti, melihat dan menikmati wisata religi Umat Buddha

ini. Ribuan orang tersebut datang dengan berbagai motivasi, mengingat yang

hadir dalam event tersebut bukan hanya mereka yang menganut agama Buddha

saja. Ada yang datang dengan niat tulus beribadah pada hari Waisak, ada pula

yang sekadar melihat dan berwisata sebagian lagi ada yang datang karena

bertugas dalam penyelenggaraan Waisak walaupun sedikit terpaksa karena

perintah organisasi.

Memasuki bulan Mei atau Juni awal, bertepatan dengan bulan Vesakha di

India kuno, kawasan Mendut Magelang Jawa Tengah telah terlihat persiapan-

persiapan perayaan Waisak. Hotel-hotel mulai dipenuhi dengan bookingan

wisatawan, tak kalah juga penginapan-penginapan kecil di rumah-rumah

penduduk seputaran Candi Mendut mulai dipenuhi jadwal menginap para tamu.

Seperti sering telah diketahui setiap tahunnya aktivitas kegiatan Waisak

sudah mulai terlihat beberapa hari sebelum hari Waisak tiba. Tujuh hari

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

menjelang detik-detik Waisak, panitia telah sibuk melaksanakan berbagai agenda

kegiatan. Di antaranya kegiatan pengobatan gratis di sekitar candi Borobudur,

tabur bunga di taman makam pahlawan di berbagai daerah, pengambilan api

Waisak di Mrapen Jawa Tengah dan pengambilan air suci Waisak di Jumprit

Temanggung. Air dan api Waisak sesemuanya kemudian ditempatkan di candi

Mendut yang juga merupakan tempat berlangsungnya kegiatan Waisak.

Sebelum acara puncak, umat Buddha dari berbagai daerah berkumpul di

Candi Mendut melakukan puja dan berjalan kaku menuju Candi Borobudur.

Perjalanan dari candi Mendut ke Candi Borobudur dikenal dengan istilah prosesi

Waisak yaitu perjalanan dengan rasa bakti dan penghormatan (devotional walk).

Ribuan orang berjalan kaki dengan membawa barang persembahan seperti bunga

sedap malam dan sebatang hio yang dinyalakan. Di barisan depan petugas-

petugas membawa bermacam-macam benda-benda seperti relik, lilin, air dan

bendera-bendera baik merah putih maupun bendera Umat Buddha, tidak

ketinggalan identitas kenegaraan seperti burung Garuda juga ikut diarak. Arak-

arakan mobil, gajah hingga pejalan kaki membelah jalanan menuju Borobudur.

Ribuan pasang mata menanti dipinggir jalan membawa alat dokumentasi baik HP,

camera digital hingga ‘DSLR’ mahal jeprat-jepret menyambut arak-arakan.

Sesampai di candi Borobudur para bhikkhu/bhiksu berjalan naik mengitari

stupa utama Borobudur searah jarum jam yang dikenal dengan pradaksina.

Kegiatan itu tak luput dari sorotan dan jepretan kamera-kamera wisatawan yang

ikut naik ke stupa utama. Dalam sebuah foto di instagram yang termuat dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

kompasiana1, seorang bhikkhu bersembahyang di dekat stupa utama sedangkan di

depannya para wisatawan sibuk menjepret adegan bhiksu tersebut. Wisatawan

dengan bercelana pendek yang ketat seakan-akan sedang dipuja oleh seorang

bhiksu. Ribuan orang di pelataran utama Candi Borobudur duduk berpanas-

panasan sambil membacakan mantra untuk memuja Sang Buddha.

Puncak hari Waisak ditandai dengan puja bakti2 detik-detik Waisak di

Candi Borobudur. Sebelumnya umat Buddha melakukan prosesi berjalan kaki

dengan rasa bakti (devotional walk) dari candi Mendut menuju Candi Borobudur

dengan membawa bunga atau dupa. Tepat pada saat detik-detik Waisak umat

Buddha melakukan meditasi merenungkan tiga peristiwa yang dialami Sidharta

Gautama. Yakni saat lahirnya, saat mencapai pencerahan dan saat wafat atau

parinirvana yang ke semuanya terjadi pada bulan Waisak atau vesakha.

Sebelumnya umat Buddha membaca mantra, sutra atau paritta sebagai pengantar

sebelum meditasi Waisak. Sesaat setelah melewati detik purnama Waisak maka

umat Buddha melanjutkan lagi membaca mantra dan paritta hingga upacara puja

bakti Waisak berakhir.

Selain ritual keagamaan terdapat pula acara seremonial formal dengan

mengundang berbagai tamu baik dari pejabat negara, tokoh masyarakat, tokoh

agama Buddha dan agama lain. Acara seremonial ini disebut “Dharmasanti

Waisak”. Acara Dharmasanti biasanya diisi dengan berbagai sambutan mulai dari

laporan panitia penyelenggara, sambutan pejabat kementerian agama atau bahkan

1 http://www.kompasiana.com/kompasiana/melihat-cerita-perayaan-waisak-dari-tahun-ke- tahun_5742b174907e6135078f3f49 diakses pada 21 April 20142 Sembahyang bagi umat Buddha secara umum disebut puja bakti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

Presiden Republik Indonesia. Acara ini dirangkai dengan hiburan-hiburan serta

ceramah (pesan Waisak) oleh Bhiksu Sangha.

Dalam beberapa waktu belakangan acara Waisak ditutup dengan

pelepasan ribuan lampion. Pelepasan lampion ini merupakan acara yang baru

karena sebelum tahun 2008 belum terdapat acara pelepasan lampion. Acara ini

banyak diminati para wisatawan dan pemburu foto. Dalam berbagai media,

pemberitaan Waisak sering digiasi dengan lampion yang berterbangan di atas

Candi Borobudur. Demikianlah gambaran umum perayaan Waisak nasional di

Indonesia yang berpusat di candi Borobudur. Istilah Waisak Nasional sendiri

merujuk pada siapa penyelenggara even ini yaitu organisasi umat Buddha yang

kedudukannya di pusat.

Sementara itu tak jauh dari candi Borobudur tepatnya di Yogyakarta

aktifitas perayaan Waisak juga terlihat meskipun tidak sebesar dan megah seperti

di Candi Borobudur. Vihara-vihara di Yogyakarta seperti Vihara Karangdjati

Sleman Yogyakarta, Vihara Giriloka, Giridharma, Girisurya Kulon Progo

Yogyakarta mengadakan perayaan Waisak secara sederhana di masing-masing

vihara. Ada pula perayaan Waisak yang cukup besar di kawasan Yogyakarta yaitu

perayaan Waisak di candi Sewu. Mereka mengadakan perayaan Waisak mirip

seperti di candi Borobudur namun dengan skala yang lebih kecil dan dengan lebih

menonjolkan sisi kesakralan upacara ritual.

Berdasarkan pengamatan penulis pada Waisak 2557 Tahun Umat Buddha

atau tahun 2013 terdapat beberapa kegiatan umat Buddha di Yogyakarta. Umat

Buddha dari Gunung Kidul dan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

notabene menganut agama Buddha tradisi Buddhayana melakukan perayaan

Waisak di candi Sewu bersama umat Buddha dari Jawa Tengah yaitu Kabupaten

Klaten, Boyolali, Semarang dan Temanggung. Umat Buddha Kabupaten Kulon

Progo Yogyakarta yang terdiri dari 5 vihara dan 1 cetiya3 merayakan Waisak di

vihara masing-masing, umat Buddha Kabupaten Sleman Yogyakarta yang terdiri

dari 2 vihara (Vihara Dharmavijaya Berbah dan Vihara Karangdjati yang

semuanya menganut tradisi Theravada) mengadakan perayaan Waisak di vihara

masing-masing, sedangkan di kota Yogya yang terdiri dari 5 Vihara dan 1 cetiya

terbagi-bagi. Umat vihara Vimalakirti dan Vihara Bodhicitta Yogyakarta

seringkali terlibat sebagai panitia Waisak nasional di Candi Borobudur. Umat

Buddha dari Vihara Buddhaprabha di Kota Yogyakarta merayakan Waisak di

candi Sewu Jawa Tengah dan umat Vihara Vidyaloka pergi ke Vihara Mendut

Jawa Tengah melakukan ritual Waisak bersama para bhikkhu-bhikkhu dan umat

Buddha dari Muntilan Jawa Tengah. Acara ritual Waisak di vihara Mendut

dilangsungkan bersama dengan acara di Candi Mendut dengan penyelenggara

yang berbeda. Sekilas bagi yang awam (kurang memahami) dengan situasi

internal umat Buddha akan bertanya apa bedanya melakukan ritual Waisak di

Candi Mendut dengan yang ada di vihara Mendut? Ritual di Candi Mendut

dilakukan dengan tradisi yang sama dengan ritual di Vihara Mendut yaitu ritual

Umat Buddha Theravada namun keduanya berjalan sendiri-sendiri, dari sisi

3 Cetiya adalah tempat ibadah agama Buddha yang lebih kecil dari vihara, padanan dalam agama lainmushola (Islam), Kapel (Katolik), Sanggar (Hindu)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

pengikut yang melakukan ritual umat di vihara Mendut sangat sedikit jika

disbanding dengan yang mengkuti ritual di candi Mendut.

Aktifitas perayaan-perayaan Waisak alternatif semacam ini di Yogyakarta

maupun apa yang terjadi di Vihara Mendut belumlah lama. Sebelumnya Waisak

di Candi Borobudur menjadi pusat perayaan Waisak. Sejak tahun 2005 umat

Buddha di Yogyakarta cenderung melakukan kegiatan ritual Waisak dengan

mengadakan puja bakti di Vihara sendiri dan tidak pergi merayakan Waisak ke

Candi Borobudur. Hiruk pikuk dan gema Waisak di Candi Borobudur sudah

bukan menjadi prioritas umat Buddha di Yogyakarta.

Menilik sejarah awal perayaan Waisak di Indonesia khususnya di Candi

Borobudur bahwa pada awalnya Waisak di Candi Borobudur dirayakan sejak

sekitar tahun 1937 oleh umat Buddha dari sekitar daerah Mendut dan

Yogyakarta4. Pada waktu itu masih menggunakan bahasa Jawa yaitu tirakatan

wungon purnomosiden. Waisak pertama kali dirayakan secara nasional di Candi

Borobudur pada tahun 1953, diselenggarakan oleh umat Buddha dipelopori oleh

Tee Boan An, seorang umat awam yang kemudian menjadi bhikkhu dengan nama

Ashin Jinarakhita yang dihadiri dari berbagai wilayah termasuk duta-duta besar

Negara Asia Tenggara dan Sri Lanka. Semenjak peristiwa itu, Waisak selalu

diperingati tiap tahunnya dengan skala nasional di Candi Borobudur.

Beberapa tahun silam umat Buddha dari berbagai daerah baik dari Jawa

Tengah, Yogyakarta maupun dari daerah-daerah lain seperti Jakarta, Bogor,

Tangerang, Bekasi dan luar pulau Jawa datang ke Candi Borobudur mengikuti

4 www.bhagavant.com diakses pada 19 April 2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

prosesi Waisak nasional. Umat Buddha dari Jawa Tengah dan Yogyakarta yang

berada di pelosok-pelosok difasilitasi transport dengan disewakan bus atau

setidaknya diberikan subsidi uang untuk sewa bus. Masih teringat oleh penulis

dahulu di tahun-tahun 1990-an (antara tahun 1994-1997) umat Buddha di

Yogyakarta (utamanya di Kulon Progo Kecamatan Girimulyo tempat tinggal

penulis) sangat antusias merayakan Waisak di Borobudur. Ditambah dengan

adanya subsidi-subsidi transport dan kadang disewakan bus gratis semakin

membuat umat Buddha semarak mengikuti prosesi Waisak Nasional. Umat

Buddha pergi dari pagi hari sampai pulang malam hari demi untuk mengikuti

prosesi Waisak. Vihara-vihara di daerah menjadi kosong dan sepi dari orang

beribadah Waisak karena hampir semua pergi ke Borobudur. Mereka telah

bersembahyang Waisak pada malam sebelum hari Waisak tiba.

Kondisi ini begitu berbeda kini. Gema Waisak nasional di candi

Borobudur yang selalu dimunculkan di televisi maupun media lain tidak begitu

mencuri perhatian masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta. Mereka lebih

memilih perayaan Waisak yang sederhana jauh dari kesan glamor dan mewah.

Merayakan Waisak tanpa harus menghadirkan presiden, menteri agama, menteri

pariwisata, gubernur dan lain-lain. Sepi dan tenang, bebas dari jepretan kamera

dan ribuan pasang mata yang menonton ritual Waisak. Masyarakat umat Buddha

Kulon Progo misalnya di Vihara Giriloka begitu sakral mengikuti rangkaian

upacara ritual patidana (nyekar di makam leluhur), mengambil air Waisak di

sumber-sumber air terdekat, kenduri selamatan Waisak hingga pada puncak acara

detik-detik Waisak dan dharmasanti Waisak. Demikian juga dengan umat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

Buddha di Gunung Kidul Yogyakarta begitu larut dalam kesakralan Waisak di

candi Sewu yang hampir-hampir mirip dengan rangkaian Waisak di candi

Borobudur.

Umat Buddha Yogyakarta yang dahulunya merupakan basis massa utama

perayaan Waisak Nasional kini telah mempunyai event sendiri dalam merayakan

Waisak. Memang dalam masyarakat umat Buddha di Indonesia pasca reformasi

1998 muncul dua organisasi besar yaitu KASI dan WALUBI sebagai organisasi

keagamaan yang mempunyai kuasa atas masyarakat Umat Buddha di Indonesia.

Sejauh mana relasi kedua organisasi itu dalam perayaan Waisak di Indonesia?

Apakah ada ketimpangan relasi (terjadi dominasi dan subordinasi) diantara

keduanya sehingga muncul berbagai perayaan Waisak baru khususnya di

Yogyakarta dan sekitarnya. Apakah aktifitas perayaan Waisak masyarakat Umat

Buddha Yogyakarta adalah merupakan kritik atas manajemen Waisak di candi

Borobudur mengingat Waisak telah ‘dijual’ untuk kepentingan pariwisata oleh PT

Taman Wisata Borobudur?

Bertitik tolak dari realitas masyarakat Umat Buddha demikian, penulis

ingin mengangkatnya dalam sebuah penelitian tesis. Penelitian ini nantinya

hendak menggali pandangan-pandangan masyarakat Umat Buddha Yogyakarta

khususnya warga masyarakat Umat Buddha di bawah organisasi KASI tentang

perayaan Waisak nasional di candi Borobudur. Pandangan-pandangan tersebut

menjadi dasar untuk menghubungkan apakah perayaan-perayaan yang dilakukan

pada hari Waisak di Yogyakarta dan sekitarnya adalah bentuk penolakan atau

resistensi terhadap Waisak di Candi Borobudur. Apakah perayaan-perayaan di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

luar candi Borobudur tersebut merupakan mekanisme perlawanan sebagai cara

melakukan counter hegemony terhadap hegemoni dalam relasi yang terbangun.

Perlawanan ini hanya mungkin terjadi ketika ada afirmasi kekuasaan yang

melahirkan dominasi dan subordinasi. Sehingga dalam penelitian ini nantinya

juga akan mengungkap bagaimana relasi yang terbangun antara stakeholder yaitu

WALUBI, KASI dan Masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta dalam kaitannya

dengan perayaan Waisak.

B. TEMA

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka

tema besar dari penelitian ini adalah perlawanan masyarakat umat Buddha

Yogyakarta terhadap perayaan Waisak nasional di Candi Borobudur.

C. RUMUSAN MASALAH

Secara spesifik penelitian ini akan dipandu dengan rumusan masalah sebagai

berikut:

a. Bagaimana pemahaman Waisak dan ritus perayaannya di kalangan

masyarakat Umat Buddha?

b. Bagaimana relasi kuasa bermain dalam perayaan Waisak di Indonesia

khususnya di Candi Borobudur?

c. Bagaimana sikap dan cara perlawanan masyarakat Umat Buddha di sekitar

Yogyakarta terhadap perayaan Waisak di Candi Borobudur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1010

D. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:

a. Memetakan pemahaman terhadap ritus Waisak dan perayaannya di

kalangan umat Buddha.

b. Menunjukkan relasi kuasa dalam pelaksanaan Waisak di candi Borobudur

c. Menunjukkan sikap dan cara masyarakat Umat Buddha sekitar

Yogyakarta terhadap Waisak Nasional di candi Borobudur sebagai sebuah

perlawanan.

E. PENTINGNYA PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempunyai signifikansi:

a. Di bidang keilmuan kajian budaya dan agama dapat menunjukkan bahwa

dalam setiap hubungan selalu ada relasi kekuasaan yang timpang bahkan

dalam perayaan agama yang kelihatan suci. Afirmasi dominasi akan selalu

menimbulkan resistensi. Resistensi masyarakat justru merupakan sumber

kreativitas yang perlu dihargai dan bukan dipandang sebagai sesuatu yang

negatif.

b. Bagi pengambil kebijakan (stake holder) perayaan Waisak antara lain

WALUBI, KASI, Taman Wisata Candi Borobudur dan Kementerian

Agama sebagai pengelola event Waisak dan wadah komunikasi umat

Buddha hendaknya saling mendukung tercapainya tujuan perayaan

Waisak yang sakral dan memberikan manfaat bagi yang mengikuti

perayaan Waisak dan bukan sebagai ajang saling unjuk kekuasaan dan

mencari keuntungan semata.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1111

c. Bagi masyarakat luas diharapkan memberikan informasi bahwa Waisak di

Indonesia tidak hanya berpusat di Candi Borobudur tetapi juga di

seputaran Yogyakarta terdapat variasi kegiatan dalam perayaan Waisak.

F. TINJAUAN PUSTAKA

Waisak adalah salah satu hari yang sangat disucikan oleh umat Buddha di

seluruh dunia sebagai peringatan terhadap tiga peristiwa penting dalam kehidupan

Buddha Gautama yaitu kelahiran Sidharta Gautama, pencapaian pencerahan, dan

meninggalnya Sidharta Buddha Gautama. Ketiga peristiwa tersebut terjadi dalam

waktu yang sama yaitu pada saat bulan purnama pada bulan Mei. Dalam

memperingatinya, para umat Buddha di seluruh dunia melakukan banyak

perbuatan baik untuk mengekspresikan rasa bakti pada ajaran Buddha terutama

kebijaksanaan, kesucian dan welas asih Buddha Gautama.

Di Indonesia, perayaan Waisak yang paling mencolok adalah perayaan

Waisak Nasional di Candi Borobudur. Penelitian tentang Waisak Nasional di

candi Borobudur umumnya sebatas membuat deskripsi tentang rangkaian

kegiatan yang dilakukan oleh umat Buddha. Sejarah berlangsungnya Waisak di

Borobudur pada awal-awalnya dapat ditulis oleh Herman S. Endro, SH dalam

bukunya “Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Umat Buddha 1996-2026”

diterbitkan oleh Yayasan Dhammadipa Arama tahun 1997. Buku ini memberikan

gambaran hari-hari besar umat Buddha sekaligus membahas Waisak dan sejarah

berlangsungnya Waisak Nasional di Indonesia. Sumbangan buku ini dalam

penelitian saya adalah mencakup sejarah apa dan bagaimana Waisak di Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1212

dilangsungkan dari awalnya. Namun demikian buku ini belum memuat

kompleksitas penyelenggaraan Waisak terutama pasca bubarnya WALUBI tahun

1998. Melalui buku ini kita juga dapat mengetahui tentang bagaimana

menetapkan jatuhnya hari Waisak lengkap dengan detik-detik sempurnanya bulan

purnama. Perayaan Waisak dihitung dari wafatnya Buddha Gautama pada tahun

543 Sebelum Masehi (SM), inilah yang sering disebut sebagai Tahun Buddhis

(TB) atau Buddhis Era (BE). Karena secara internasional sekarang menggunakan

kalender Gregorian maka kita akan menemui penulisan tahun Waisak dengan

skema perayaan Waisak ke sekian per tahun Gregorian. Contoh pada tahun 1996

umat Buddha memperingati Waisak yang ke 2540 maka ditulis Waisak

2540/1996.

Penelitian yang lebih spesifik tentang Waisak di Candi Borbobudur

ditulis oleh Hermin Tri Astuti tahun 1998 dalam Skripsi “Waisak Nasional

2540/1996”. Penelitian ini memuat tentang tata rangkaian upacara Waisak dan

maknanya bagi umat Buddha. Hermin mengungkap tentang Waisak secara

umum, prosesi upacara Waisak Nasional 2540 tahun 1996 termasuk tata upacara

dan simbol-simbol yang digunakan serta makna Waisak di Candi Borobudur bagi

masyarakat Umat Buddha baik makna secara spiritual maupun secara sosiologis.

Dari penelitian ini, saya menangkap beberapa informasi terkait tata upacara yang

dilakukan oleh umat Buddha pada waktu belum pecahnya WALUBI. Selain itu

sumbangan lain dari penelitian ini adalah makna sosiologis yang diungkap oleh

Hermin Tri Astuti adalah makna sosiologis Waisak bagi umat Buddha yaitu

sebagai ajang membangun persatuan dan rasa kekeluargaan diantara penganut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1313

sekte-sekte dalam agama Buddha di Indonesia. Namun lagi-lagi penelitian ini

adalah penelitian sebelum pecahnya WALUBI tahun 1998.

Penelitian lain terkait Waisak di Borobudur dilakukan oleh Bernadetta

Budi Lestari yakni “Persepsi masyarakat sekitar Candi Mendut, Pawon dan

Borobudur terhadap upacara ritual Waisak”. Penelitian ini adalah tesis pada

Program studi Geografi tahun 1996. Penelitian ini menitikberatkan pada

perbedaan persepsi masyarakat berdasarkan lokasi, jenis kelamin, kelompok

umur dan tingkat pendidikan; perbedaan persepsi masyarakat berdasarkan

Pengetahuan Waisak, Konsepsi Kehidupan umat Buddha, Konsepsi Kehidupan

bikkhu, Waisak sebagai obyek wisata, dan Toleransi beragama terhadap lokasi;

besarnya tingkat pendapatan tambahan yang diperoleh bagi masyarakat dan

perhotelan; proses kemunculan kembali agama Budha di Indonesia pada

umumnya dan di Kaloran khususnya. Penelitian lainnya seputar Waisak adalah

laporan kerja mahasiswa Universitas Sanata Dharma (CB. Ismulyadi dkk)

tentang ziarah Waisak di Borobudur tahun 2012 berjudul “Fenomena Ziarah

Pada Hari Raya Waisak Tahun 2556” laporan ini menggali pengalaman-

pengalaman, harapan dan makna Waisak bagi umat Buddha yang hadir di

Borobudur pada Waisak 2556 tahun 2012. Laporan ini memuat Waisak yang

sudah dikelola oleh WALUBI baru dimana perayaan Waisak sudah tidak lagi

dilakukan oleh umat Buddha dalam wadah WALUBI saja namun juga dilakukan

oleh umat Buddha yang tergabung dalam KASI. Laporan lain tentang Waisak

yang terbaru (2557 tahun umat Buddha atau tahun 2013) dimuat dalam

http://www.jurnalterkini.com/2013/05/ribuan-umat-budha-rayakan-Waisak-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1414

di.html laporan ini mengeksplorasi pengalaman baik bhiksu maupun umat yang

datang ke Candi Borobudur. Banyak pengalaman-pengalaman para peserta

Waisak yang justru tidak dapat memperoleh makna Waisak karena karut marut

penyelenggaraan Waisak di Candi Borobudur oleh WALUBI Baru.

Penelitian-penelitian tentang Waisak yang berpusat di candi Borobudur

umumnya adalah penelitian yang dilakukan sebelum terjadinya perpecahan

WALUBI tahun 1998. Pada saat itu Waisak biasanya dinarasikan tunggal di

Candi Borobudur. Penelitian yang akan saya lakukan pada tesis ini lebih

menitikberatkan pada Waisak pasca pecahnya WALUBI yang menjadikan

perayaan Waisak tidak lagi hanya terpusat pada Candi Borobudur semata.

Terlebih lagi penelitian politik perayaan Waisak di Candi Borobudur belum

tersedia. Oleh karenanya, penelitian dengan perspektif kajian budaya yang akan

dilakukan ini tergolong baru karena perspektif penelitiannya yaitu memandang

Waisak bukan sebagai ritual keagamaan belaka namun sebagai ruang tarik

menarik kekuasaan.

G. KERANGKA TEORITIS

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan resistensi yaitu

sebuah pendekatan klasik untuk mempelajari pengalaman langsung dalam kajian

budaya. Resistensi dalam kajian budaya adalah dalam rangka untuk

memperlihatkan bahwa orang-orang mempunyai kemampuan kritis dan kreatif

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1515

dalam melawan sebuah dominasi5. Studi resistensi merupakan usaha menangkap

fenomena pengalaman langsung sebagai perlawanan oleh peneliti, jadi dalam hal

ini peneliti mempunyai otoritas tinggi untuk menentukan fenomena sebagai

perlawanan. Menurut Paula Saukko6 ada dua macam pendekatan studi resistensi

yaitu ‘critical contextualist’ yaitu pendekatan studi resistensi yang berfokus pada

tindakan nyata yang tidak berpretensi mengubah struktur sosial. Kedua, yaitu

‘optimistic textualist’ sebagai pendekatan studi resistensi yang berfokus pada

resistensi simbolik yang dengan maksud untuk mengadakan perubahan sosial.

Pendekatan resistensi seringkali dipandang sebagai bagian dari relasi

konflik sedangkan resistensi sesungguhnya adalah perlawanan yang lebih

menekankan pada ketidaksetujuan terhadap sesuatu. Resistensi muncul karena ada

dominasi (menindas) dari satu pihak ke pihak lainnya. Resistensi dapat dilakukan

oleh individu maupun kelompok (kelas). James Scott (2000: 41) menyatakan

bahwa resistensi kelas itu memuat tidakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh

kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim yang

dibuat kelas atas berhadap dengan kaum yang kalah. Resistensi berfokus pada

basis materi hubungan antara kelas dan pertarungan antar kelas; berlaku baik

sebagai tindakan resistensi perorangan maupun resistensi kolektif, juga bentuk-

bentuk resistensi ideologi yang menantang definisi situasi yang dominan dan

menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Jadi resistensi berfokus pada

5 Saukko, Paula. 2003. Hlm 396 Saukko, Paula. 2003. Hlm 39-40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1616

tujuannya ketimbang pada konsekuensi, sehingga diakui bahwa banyak aksi

resistensi mungkin gagal mencapai hasil yang dimaksud.

Menurut James Scott7 ada sepasang bentuk resistensi, yaitu: pertama,

resistensi setiap hari, yaitu perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus

menerus antara kaum tani dan orang yang berupaya untuk menarik tenaga kerja,

makanan, pajak, dan keuntungan dari mereka. Umumnya bentuk resistensi ini

tidak sampai pada tarap pembangkangan terang-terangan secara kolektif. kedua,

pembangkangan langsung atau terbuka yaitu dengan perlawanan yang secara fisik

(perang) atau penolakan dengan aksi langsung.

Studi resistensi biasanya digunakan untuk mengungkap siapa yang

melawan, apa yang dilawan, ancaman seperti apa yang dirasakan oleh pihak yang

terdominasi, dan bagaimana cara-cara perlawanannya apakah dengan cara-cara

apatis, pasif, atau agresif. Dalam penelitian ini akan ditunjukkan bahwa

masyarakat Umat Buddha di bawah KASI sebagai organisasi Umat Buddha di

Indonesia selain WALUBI adalah kelompok masyarakat Umat Buddha yang

terdominasi oleh WALUBI (baru). Dominasi WALUBI terlihat dalam aktifitas

perayaan Waisak Nasional tahunan di Candi Borobudur pasca tahun 1998 dan

membuat kelompok masyarakat Umat Buddha di bawah KASI tidak mempunyai

akses untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur. Melihat kondisi demikian

masyarakat Umat Buddha KASI bergerak melakukan perlawanan dengan cara

7 Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah Bentu ResistensiSehari-hari Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta hlm.40-43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1717

membuat perayaan Waisak tandingan di berbagai daerah dalam skala yang relatif

kecil, namun ada juga dengan skala yang cukup besar. Yogyakarta sebagai salah

satu kawasan yang dekat dengan Candi Borobudur dirasa sebagai tempat yang pas

untuk memotret fenomena perlawanan ini.

Praktik-praktik ritual keagamaan seperti perayaan Waisak baik yang

dilakukan di Candi Borobudur maupun yang dilakukan di kawasan Yogyakarta

adalah praktik-praktik dari ideologi tertentu yang menciptakan kesenjangan

diantara keduanya. Menciptakan jurang antara yang dominan dan subordinan

dalam hal ini Waisak nasional di candi Borobudur oleh WALUBI sebagai yang

dominan dan Waisak yang diselenggarakan masyarakat Umat Buddha anggota

KASI di Yogyakarta adalah sebagai subordinan.

Perlawanan masyarakat Umat Buddha di Yogyakarta bukanlah

perlawanan agresif dengan ‘menyerang’ kelompok penguasa, dalam hal ini

WALUBI (baru) namun mempergunakan perlawanan secara simbolik.

Perlawanan masyarakat Umat Buddha Yogyakarta juga bukan karena faktor

ekonomi seperti studi perlawanan dalam Marxisme yang biasanya determinan

ekonomi. Perlawanan muncul karena relasi kekuasaan yang timpang. Oleh

karenanya dalam penelitian ini dirasa cocok memakai teori perlawanan post

Marxisme yakni Hegemoni Tandingan dari Antonio Gramsci. Namun obyek

penelitian ini adalah ritual keagamaan yang tentu saja tidak secara mudah kita

dapat menariknya ke wilayah politik agama semata. Untuk itulah kita perlu

menempatkan perayaan Waisak ini juga dalam kajian religi khususnya soal ritual,

sehingga kita memahami apa makna dan bagaimana Waisak tersebut dirayakan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1818

Untuk itulah diperlukan sejumlah alat atau pisau bedah yakni teori ritual dan teori

hegemoni tandingan (counter hegemony) Gramsci.

1. Konsep Ritual

Dalam pandangan teori kontemporer (Hinnells, 2010: 388-393)

terdapat berbagai macam pandangan tentang ritual. Ritual dapat dipandang

sebagai bentuk ekspresi dari sebuah keyakinan. Ritual terkadang juga

dipandang sebagai cara untuk menghilangkan ketakutan dan rasa berdosa.

Ritual sebagai rekonsiliasi dari kontradiksi. Bagi beberapa kelompok, ritual

juga merupakan cara menanamkan keyakinan-keyakinan tertentu.

Menurut Koentjaraningrat (1985:56) Ritual merupakan tata cara dalam

upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat

beragama, yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan

komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat upacara dilakukan, alat-alat

dalam upacara, serta orang orang yang menjalankan upacara. Jadi yang

dimaksud ritual disini ada beberapa komponen yaitu upacara (perbuatan

keramat), tata acara, kelompok atau komunitas, waktu, tempat, alat-alat

upacara.

Waisak bagi umat Buddha adalah waktu yang sakral yang perlu

diperingati sebagai bagian dari aktualisasi keberagamaan selain dengan ritual

juga dirayakan dengan berbagai dramaturgi sehingga Waisak mempunyai

siginifikansi bagi kehidupannya. Waisak dipandang sebagai momentum untuk

memuja tiga peristiwa agung yang dialami Sidharta Gautama supaya

memperoleh berkah dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sidharta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1919

(Buddha) Gautama. Pemilihan tempat upacara perayaan Waisak di Candi

Borobudur pada saat bulan purnama dipandang sebagai tempat suci dan

mengandung nilai-nilai kesakralan. Demikian pula tata upacara ritual,

perkataan-perkataan (dalam wujud mantra atau paritta) dengan berbagai

barang persembahan yang ditata di altar seperti patung Buddha, lilin lima

warna, bunga, buah, dupa, air merupakan sarana merayakan Waisak yang

dapat menumbuhkan keyakinan dan keberkahan bagi umat Buddha

khususnya.

2. Hegemoni Tandingan Gramsci

Antonio Gramsci adalah seorang post Marxis asal Italia yang menaruh

perhatian pada soal bagaimana kekuasaan dipertahankan dalam negara

modern. Dalam bukunya Prison Notebooks Gramsci merefleksikan mengapa

dan bagaimana negara modern bisa mendapatkan konsensus atas

kekuasaannya terhadap mayoritas masyarakat, dan mengapa serta bagaimana

seorang sosialis bisa memastikan bahwa konsensus ini dapat diubah menjadi

konsensus baru yang mendukung nilai-nilai sosialisme (Beilharz.2003:201).

Salah satu sumbangan Gramsci dalam kajian budaya adalah teori

tentang Hegemoni dan Counter Hegemony. Hegemoni adalah konsep politik

yang dikembangkan oleh Gramsci semasa mendekam di penjara rezim Fascis.

Konsep ini pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan mengapa revolusi tidak

terjadi di negara Barat yang notebene demokratis dan maju padahal di sana

terjadi tekanan dam eksploitasi akibat dari kapitalisme (Storey, 2003: 172-

173). Menurut Gramsci hal itu terjadi karena kelas dominan (para pemilik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2020

modal) tidak hanya mengatur mayarakat namun juga mengarahkan

masyarakat melalui ‘pemaksaan’ kepemimpinan moral dan intelektual.

Pemaksaan dalam hal ini saya beri tanda khusus karena sesungguhnya

masyarakat subordinan merasa tidak dipaksa tetapi menyetujui bahkan

mendukung dan menerima nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat

dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada. Cara mengontrol

masyarakat tanpa melalui paksaan tetapi melalui kepemimpinan, intelektual

dan moral. Hegemoni diproduksi dan terus dipelihara melalui penciptaan

makna-makna yang merepresentasikan praktik yang dominan dijalankan oleh

kelas berkuasa.

Gramsci memberi solusi bagi subordinan untuk dapat untuk melawan

dominasi dengan cara melakukan hegemoni tandingan (counter hegemony).

Kaum yang berkuasa menciptakan dan memperkenalkan hegemoni melalui

pengaruh mereka di lembaga-lembaga baik itu seperti negara, tempat ibadah,

dan sistem pembelajaran di sekolah. Mereka yang memiliki strata tertinggi

dalam masyarakat menghasilkan sebuah identitas dan suatu bentuk budaya

popular dengan cara memvalidasi tatanan sosial yang dominan. Bagi Gramsci,

istilah “intelektual” tidak mengacu pada seseorang dari strata tertinggi yang

memiliki latar belakang pendidikan dan jabatan yang tinggi, melainkan untuk

individu yang menciptakan dimensi dimensi moral-politik yang berkuasa

dalam hegemoni kelas (Hoare dan Smith, 1971: 199)

Gramsci menciptakan gagasan perlawanan hegemoni tandingan

(counter hegemony) sebagai sebuah tindakan revolusioner, di mana ideologi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2121

kebudayaan psikologis diciptakan dari kaum intelektual dari kelas yang

tereksploitasi untuk membubarkan tatanan kapitalis yang telah berdiri dan

menggantikannya dengan sosialisme demokratis. Gramsci berargumen bahwa

ideologi ini harus menciptakan visi perlawanan hegemoni (counter hegemony)

melalui lembaga-lembaga anti penindasan kelas oleh yang berkuasa dan

memimpin massa dalam pementasan sebuah revolusi universal melalui

subversi budaya yang bertentangan dengan tindak kekerasan (Boggs 1968:

164).

Untuk bisa melawan kelompok dominan tentu saja diperlukan cara-

cara penyadaran oleh kelompok subordinan melalui kepemimpinan,

intelektual dan moral yang lebih kuat sehingga lama-kelamaan bisa

mendominasi balik atas kelompok lain. Di sinilah pentingnya intelektual

organik menurut Gramsci. Melalui kepemimpinan moral dan intelektual

kelompok yang tersubordinasi melakukan perang posisi (war of position) dan

membentuk blok historis yang baru.

Ketika akan melakukan counter hegemony suatu kelompok masyarakat

yang dikuasai (subordinan) haruslah berangkat dari kenyataan yang ada di

masyarakat pada umumnya. Mereka haruslah yang berpartisipasi aktif dalam

kehidupan masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap

kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisir masyarakat, dengan begitu

ide pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga

tercapainya revolusi. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan

melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2222

dan mereka harus bekerja sama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak

mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemony.

Konsep counter hegemony Gramsci dalam penelitian ini dirasa dapat

digunakan untuk menerangi fenomena relasi kuasa antara WALUBI dan

KASI di mana dalam hal ini WALUBI yang juga merupakan representasi dari

negara karena WALUBI adalah lembaga masyarakat yang dibentuk

pemerintah pada awalnya, selalu berusaha mendominasi perayaan Waisak di

Candi Borobudur. Cara mendominasi Waisak di Indonesia khususnya di

Candi Borobudur hadir melalui berbagai macam cara, seperti melalui PT

Taman Wisata Borobudur sebagai lembaga ekonomi maupun lewat kehadiran

pemerintah dalam hal ini adalah melalui pejabat-pejabat negara yang hadir

dalam Waisak Nasional di Candi Borobudur. WALUBI yang pada mulanya

merupakan kesatuan hegemonik masyarakat Umat Buddha semenjak tahun

1998 telah terpecah dan memunculkan dua organisasi yaitu KASI dan

WALUBI. Demi melanjutkan hegemoni WALUBI, organisasi pecahan dari

WALUBI membentuk nama baru juga dengan nama WALUBI. Ini adalah

strategi dari WALUBI baru untuk mempertahankan hegemoni WALUBI

sebelumnya sehingga tetap mempunyai akses terhadap candi Borobudur

khususnya dalam perayaan Waisak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2323

H. METODE PENGUMPULAN DATA

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan

pendekatan perlawanan. Untuk memperoleh hasil penelitian yang dimaksud akan

dilakukan pengumpulan data dengan memperhatikan panduan berikut ini:

1. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat umat Buddha di sekitar

Yogyakarta yang tersebar di wilayah Kabupaten Kulon Progo, Sleman, Kota

Yogyakarta, Bantul dan Gunung Kidul. Selain itu juga para tokoh-tokoh vihara,

bhikkhu dan majelis-majelis di Yogyakarta yang biasanya mengelola perayaan

Waisak. Sumber data sekunder diambil dari dokumen-dokumen kegiatan, website

maupun laporan beserta buku-buku yang memuat perayaan-perayaan Waisak di

seputaran Jogjakarta dan Jawa Tengah.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Yogyakarta (Kota Yogya, Kulon Progo dan Gunung

Kidul), vihara-vihara di Yogyakarta, candi Sewu Jawa Tengah serta vihara di

Mendut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Observasi terlibat (participant observation) ke vihara-vihara atau

tempat yang biasanya dijadikan tempat perayaan Waisak oleh umat Buddha

baik di candi Borobudur yang diselenggarakan WALUBI maupun di

Yogyakarta seperti di Candi Sewu, di vihara-vihara Sleman dan Kulon Progo.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2424

b) Wawancara kepada umat-umat Buddha di Yogyakarta, para tokoh

majelis, bhiksu serta ketua-ketua vihara tentang kegiatan perayaan Waisak dan

pandangan mereka terhadap praktik perayaan Waisak di candi Borobudur.

4. Studi dokumen/arsip

Berupa teks-teks tertulis baik buku maupun laporan-laporan kegiatan Waisak

yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam penulisan tesis ini. Teks-teks

tersebut meliputi teks pelaksanaan Waisak di candi Borobudur dari tahun ke

tahun, teks-teks perayaan Waisak di Yogyakarta seperti di candi Sewu maupun

buku-buku yang membahas tentang keadaan masyarakat umat Buddha

Yogyakarta seperti dari Bimas Buddha Kementerian Agama DIY.

5. Teknik Pengolahan Data

Data yang terkumpul akan diolah dengan cara menjabarkan data,

mengklasifikasikan, memetakan mengaitkan, kemudian dianalisis

menggunakan pendekatan perlawanan (resistensi) dengan teori Counter

Hegemony. Selanjutnya data dipergunakan sejelas mungkin untuk menjawab

rumusan masalah. Hasil analisa kemudian disimpulkan sebagai hasil

penelitian.

I. SISTEMATIKA PENULISAN

Pembahasan dari hasil penelitian ini akan dituangkan secara sistematis dalam

bab per bab. Bab pertama sebagai pendahuluan penelitian ini memuat latar

belakang masalah, tema, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka,

kerangka teoritis, metode penelitian, hingga sistematika penulisan. Bab kedua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2525

akan menjelaskan tentang seputar Waisak, apa makna bagi umat Buddha,

bagaimana pelaksanaan ritual dan perayaanya juga sejarah perayaan Waisak di

Indonesia pada mulanya di candi Borobudur. Bab tiga menjelaskan

kompleksitas masalah penyelenggaraan perayaan Waisak Nasional di candi

Borobudur. Penyelenggaraan perayaan Waisak Nasional tidak bisa dipisahkan

dari penyelenggara dalam hal ini umat Buddha yang tersegmentasi baik

menurut aliran agama, organisasi masyarakat umat Buddha, maupun

organisasi besar umat Buddha di Indonesia yaitu KASI dan WALUBI. Bab

empat menyajikan analisis data berdasarkan teori hegemoni untuk memetakan

peran intelektual dalam melakukan counter hegemony. Bab kelima merupakan

penutup dari penulisan ini yang berupa kesimpulan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2626

BAB II

WAISAK: MAKNA, RITUAL DAN PERAYAANNYA

Sebagai salah satu agama besar di dunia, agama Buddha mempunyai hari-hari

spesial yang kemudian dirayakan sebagai hari raya. Setidaknya ada empat hari raya

yang dikenal dalam umat Buddha di seluruh dunia yaitu: Waisak, Asadha, Kathina

dan Maghapuja. Waisak menempati posisi yang penting terutama di Indonesia karena

disejajarkan dengan hari-hari raya agama lain seperti Idul Fitri, Natal, Nyepi dan

Imlek. Apalagi Waisak di Indonesia mengambil tempat perayaannya di Candi

Borobudur, sebuah Candi Buddha terbesar yang ditetapkan sebagai world heritage

dan menjadi obyek wisata dunia.

Bab ini akan membahas tentang hari raya Waisak secara umum. Apa makna

pada awalnya, bagaimana ritualnya dan bagaimana cara merayakannya serta

bagaimana hubungan ritual perayaan Waisak dengan pelaksanaan ajaran Buddha.

Hubungan ritual dengan pelaksanaan ajaran Buddha akan dibahas pertama sebagai

landasan memahami mengapa dan dalam rangka apa perayaan suatu moment hari raya

dilangsungkan. Selain itu juga akan membantu memahami mengapa perayaan Waisak

dapat mempunyai berbagai varian dalam pelaksanaannya.

A. Puja: Antara Ritual dan Pelaksanaan Ajaran Buddha

Seperti telah dijelaskan dalam landasan teori bahwa ritual merupakan cara

mengekspresikan sebuah keyakinan. Dalam pelaksanaanya ritual akan berkaitan

dengan waktu, tempat, alat-alat perlengkapan dan tata acaranya serta orang-orang

yang melaksanakannya. Dalam agama Buddha, ritual dikenal dengan istilah Puja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2727

(bahasa Pali) yang berarti penghormatan. Secara tekstual konsep tersebut terdapat

dalam kitab Tipitaka (Sutta Pitaka) bagian Manggala Sutta. Sebuah kalimat dalam

Manggala Sutta (Sangha Theravada Indonesia, 2015: 29) tersebut mengatakan “Puja

ca Pujaniyanam” yang berarti menghormat yang pantas dihormati adalah berkah

utama. Jadi dalam hal ini puja atau penghormatan adalah sarana untuk memperoleh

berkah, hampir mirip dengan apa yang dikatakan oleh Turner. Dikatakan hampir mirip

karena puja dalam agama Buddha bukan hanya sekadar melakukan ritual untuk

‘menyogok’ kekuatan di luar manusia supaya memberi berkah. Namun lebih kepada

memberi semangat diri untuk melakukan penyesuaian dengan hukum alam semesta

dengan tingkah lakunya.

Puja dalam agama Buddha dikenal dua macam yaitu Amisa Puja dan Patipati

Puja. Amisa Puja adalah cara memberikan penghormatan kepada suatu tempat,

peristiwa ataupun sosok tertentu dengan cara mempersembahkan materi-materi.

Sedangkan Patipati Puja adalah memberikan penghormatan kepada suatu tempat,

peristiwa ataupun sosok tertentu dengan cara menunjukkan atau melakukan

perbuatan-perbuatan yang pantas dan baik. Dapat dikatakan bahwa ritual dalam

agama Buddha mengandung makna pemujaan terhadap sesuatu, sedangkan cara untuk

memuja dapat melalui dua cara yaitu memuja melalui persembahan benda-benda

dengan suatu upacara tertentu. Cara yang kedua (biasa dikatakan sebagai yang paling

tinggi) adalah dengan mengerti makna benda-benda dalam suatu upacara, mengerti

makna apa yang dilakukan dalam upacara tersebut dan mengerti apa yang harus

dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai praktik dari ajaran Buddha.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2828

Dalam setiap ritual umat Buddha termasuk perayaan Waisak kita dapat

melihat dua macam puja ini. Amisa Puja dapat kita lihat bagaimana umat Buddha

mengatur sedemikian rupa suatu upacara ritual dengan menempatkan berbagai macam

barang-barang persembahan di altar Waisak seperti patung Buddha, bunga, dupa, air,

lilin, buah-buahan dan segala pernak pernik yang ditempatkan pada sebuah meja

khusus yang disebut altar. Sementara dalam menunjukkan Patipati Puja umat Buddha

melakukan berbagai tindakan yang mencerminkan ajaran Buddha seperti bermeditasi,

melatih moralitas dan memberikan dana kepada para Bhikkhu, mengadakan bakti

sosial. Pada intinya melakukan kegiatan-kegiatan sebagai aplikasi ajaran Buddha.

B. Tempat Pelaksanaan Ritual Waisak

Kebiasaan umat Buddha melakukan puja untuk menghormati atau

memperingati suatu peristiwa dilakukan di tempat-tempat yang dapat menumbuhkan

semangat relijius. Dalam keyakinan umat Buddha terdapat tempat-tempat yang

disakralkan. Disakralkan dengan alasan tempat-tempat tersebut menjadi bagian

penting dalam kehidupan Buddha Gautama yaitu Taman Lumbini tempat lahirnya

Sidharta Gautama, Bodhgaya tempat Sidharta Gautama memperoleh pencerahan,

Taman Rusa Isipatana Benares tempat Buddha Gautama membabarkan ajaran Dharma

pertama kali dan Kusinara tempat wafatnya Buddha Gautama. Menurut kitab

Mahaparinibbana Sutta, tempat-tempat yang dapat menimbulkan semangat relijius

jika dikunjungi (ziarah) akan dapat membawa orang lahir di Surga.

Selain empat tempat ziarah yang penting bagi umat Buddha dalam melakukan

puja, ada empat hal yang juga pantas diberikan puja. Empat hal itu adalah Dhatu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2929

Cetiya, Paribhoga Cetiya, Dhammacetiya dan Udhesika Cetiya. Dhatu cetiya adalah

tempat-tempat menyimpan relik8 Buddha Gautama seperti relik gigi, tulang, rambut,

kulit dan lainnya. Relik ini ditempatkan di stupa atau candi atau vihara yang dapat

dipuja oleh umat Buddha. Dalam hal ini Candi Borobudur oleh umat Buddha diyakini

menyimpan salah satu relik rambut Buddha Gautama. Paribhoga Cetiya adalah

benda-benda yang pernah digunakan oleh Buddha Gautama semasa kehidupannya.

Benda-benda ini dapat berupa jubah, mangkok, pohon Bodhi tempat bertapa Buddha

Gautama. Dhamma Cetiya adalah koleksi-koleksi ajaran Buddha (Tri Pitaka) yang

dapat berupa tulisan daun lontar, buku, maupun prasasti. Udhesika Cetiya yaitu

benda-benda yang ditujukan untuk menghormati sifat-sifat Buddha seperti patung

Buddha, lukisan Buddha dan gambar-gambar Buddha. Dengan demikian jelaslah

mengapa dalam perayaan upacara agama Buddha seringkali dilaksanakan di candi-

candi, vihara bersejarah, ataupun tempat-tempat yang menimbulkan suasana relijius

dengan berbagai macam benda-benda relijius (Dharmakosajarn, 2011: 3-4).

C. Waisak sebagai pemujaan terhadap Buddha Gautama Sakyamuni atas tiga

peristiwa suci

Waisak sesunggunya diambil dari nama bulan kedua dalam kalender India

Kuno. Terdapat banyak penyebutan dalam berbagai bahasa misalnya dalam bahasa

Sinhala disebut Vesak, dalam bahasa Pali Vesākha. Dalam tradisi India, Nepal dan

Bangladesh terkenal dengan sebutan Buddha Pūrnima atau Buddha Jayanti. Di

8 Relik adalah sisa-sisa jasad dari seorang yang suci. Ketika jasad orang yang mencapai kesucianseperti Buddha Gautama dikremasi atau dikubur dalam waktu yang lama akan terdapat sisa-sisa yangberbentuk butiran berwarna-warni yang sulit dihancurkan baik dengan cara dibakar atau ditumbuk.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3030

Jepang dikenal dengan Hanamatsuri, di Korea dikenal dengan Seokka Tanshin-Il, di

China disebut Fòdàn, beberapa komunitas orang China Cantonese menyebut

Fātdàahn, di Vietnam disebut Phât Ðan, di Tibet disebut Saga Dewa, di Kamboja

dikenal Visaka Bochea, di Thailand disebut Visākha Puja, di Srilanka dan Malaysia

disebut Vesak, di Laos disebut Vixakha Bouxa, di Myanmar dikenal dengan sebutan

Ka-sone-la-Pyae dan di Indonesia disebut Waisak. (Dhammahaso and Vuddhikaro,

2011:2).

Menurut penelitian Dhammahaso and Vuddhikaro dalam buku The Vesak Day

History, significance and Celebrations (2011:2-3), istilah Waisak sendiri muncul

dalam kitab Umat Buddha Mahavamsa, sebuah kitab kuno dari Sri Lanka yang

menyebutkan bahwa Raja Sri Lanka Duttagamani telah menggelar perayaan festival

Waisak sekitar 2100 tahun yang lalu. Dalam kitab tersebut ditulis

"Mahāvesākhapūjāca catuvīsati kārayī", yang berarti bahwa Raja mengadakan dua

puluh empat festival besar Waisak. Sri Lanka adalah negara pertama yang merayakan

Hari Waisak.

Hari raya Waisak adalah penghormatan komunitas pemeluk agama Buddha

terhadap tiga peristiwa penting dalam masa kehidupan Buddha Gautama. Yaitu

kelahiran Sidharta Gautama di Taman Lumbini, pencapaian tingkat spiritualitas

“Buddha” oleh Sidharta Gautama di Bodhgaya, dan Wafatnya “Buddha” Sidharta

Gautama di Benares India. Ketiga peristiwa itu terjadi pada waktu bulan purnama di

bulan Waisak pada tahun-tahun yang berbeda. Oleh karenanya, ketiga peristiwa yang

spesial ini disucikan dan dirayakan oleh umat Buddha di seluruh dunia setiap

tahunnya. Khusus di Indonesia perayaan puncak Waisak sering disebut ‘detik-detik’

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3131

Waisak. Hal ini mengacu pada penentuan bulatnya bulan purnama paling sempurna

(full moon) yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika di Indonesia

(Wawancara, Bhikkhu Jayamedho, 22 Februari 2017).

D. Ritual Perayaan Waisak

Di negara-negara dengan pemeluk agama Buddha yang besar seperti Srilanka,

Thailand, China, Tibet, Laos, Kamboja dan Myanmar Waisak menjadi festival agama

dan budaya yang menjadi agenda tahunan. Di Sri Lanka misalnya, hari Waisak

dirayakan dalam durasi satu minggu. Selama waktu seminggu ini, penjualan alkohol

dan daging biasanya dilarang, serta tempat pemotongan hewan juga ditutup.

Perayaan meliputi berbagai kegiatan agama dan pemberian sedekah makanan

untuk para Bhikkhu. Lampu-lampu hiasan seperti lampion yang didirikan di berbagai

lokasi di kota Colombo dinyalakan. Setiap lampu hiasan menggambarkan cerita dari

kehidupan lampau Sidharta Gautama dalam kitab Jataka. Selain itu, lentera berwarna-

warni yang disebut Vesak Koodu digantung di sepanjang jalan-jalan dan di depan

rumah. Hal ini menandakan terang Buddha, Dharma dan Sangha. Warung-warung

makan milik umat Buddha (dansälas) memberikan makanan dan minuman gratis

untuk orang yang lewat. Kelompok orang dari berbagai masyarakat, organisasi,

pebisnis, dan departemen pemerintah melantunkan pujian-pujian bakti atau lagu-lagu

pujian kepada Buddha.

Thailand sebagai salah satu negara dengan pemeluk agama Buddha membuat

perayaan Waisak dengan dimobilisasi oleh pemerintah kerajaan. Waisak di Thailand

pertama kali dirayakan pada periode Sukhothai (1249-1438 M) yang awalnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3232

diperkenalkan oleh biksu Sri Lanka yang datang untuk menyebarkan agama Buddha

dan membawa tradisi perayaan Hari Waisak.

Menurut sebuah buku tentang Loi Krathong Festival, Nangnopphamat,

perayaan Hari Waisak di Thailand dilakukan oleh raja, para pegawai kerajaan dan

penduduk baik dari dalam istana maupun luar istana membersihkan dan menghiasi

kota Sukhothai dengan bunga dan dupa, menerangi kota dengan cahaya obor

sehingga seluruh kota itu cerah dan indah. Mereka menyembah Tiga Permata (Tri

Ratna: Buddha, Dhamma, Sangha) secara terus menerus untuk dalam waktu tiga hari

tiga malam. Raja beserta keluarga kerajaan melatih sila (aturan moral bagi umat

Buddha) dan melakukan banyak kebajikan. Di malam hari, Raja dan keluarga

kerajaan beserta dengan pejabat kerajaan, pergi ke Vihara kerajaan untuk

mengelilingi dan memberikan penghormatan kepada simbol Buddha.

Penduduk Sukhothai saling melatih sila (moralitas), mendengarkan khotbah

Dharma, memberikan persembahan kepada individu biarawan dan kepada Sangha.

Para pemeluk Buddha memberikan dana kepada orang miskin, anak yatim, orang tak

berdaya, orang tua dan orang cacat. Selain itu mereka juga mengumpulkan uang

untuk membeli hewan berkaki empat dan berkaki dua, kura-kura serta ikan untuk

dilepas dan dibebaskan supaya lestari dengan keyakinan bahwa tindakan seperti akan

memperpanjang usia mereka sendiri.

E. Perayaan Waisak di Indonesia pada mulanya

Perayaan Waisak di awal-awal tumbuh kembangnya kembali agama Buddha

di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran para teosof. Para penggiat Teosofi

yang tergabung dalam Perhimpunan Teosofi dipelopori oleh E.E Power, Josias Van

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3333

Deist, Kwee tek Hoay, dan Mengelaar Meerteens adalah orang-orang yang menggali

kembali ajaran Buddha. Mereka mendirikan “Java Umat Buddhat Association”

sebagai cabang dari International Umat Buddhat Mission yang berpusat di

Myanmar9. Perkumpulan teosofi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal organisasi

Umat Buddha di Indonesia.

Penemuan candi Borobudur oleh Stamford Rafles dan candi-candi Umat

Buddha yang lain semakin memberi motivasi para teosof untuk lebih menggali ajaran

Buddha. Situs-situs candi bukan saja dikagumi oleh para penggiat teosofi namun juga

dipergunakan sebagai tempat untuk menyepi dan bermeditasi melaksanakan ajaran

Buddha. Pada hari-hari penting dalam agama Buddha seperti Waisak, para teosof dan

umat Buddha di sekitar Magelang dan Yogyakarta mengadakan kegiatan ‘tirakatan

wungon purnomosiden’ (bhs. Jawa) secara leksikal diartikan sebagai berjaga di

malam bulan purnama. Hal ini dikarenakan perkembangan agama Buddha saat itu

belum begitu menonjol. Iem Brown (dalam Martin Ramsted, 2005:47) mengatakan:

“...And when Waisak was observed at the great temple of Borobudur for thefirst time in the modern era on 20 May 1932, the ceremonies were conductedby the Theosophical Society. It was not until 1934 that the ceremony was firstperformed by Buddhists“.

Jadi pada awalnya bukanlah komunitas Umat Buddha yang menginisiasi

Waisak di Borobudur namun para teosof. Event tirakatan wungon purnomosiden

inilah yang kemudian menjadi agenda rutin tahunan, dan ketika telah dikenal di

masyarakat kegiatan ini dijadikan sebagai perayaan Waisak (Astuti, 1998:38).

9 Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 81-82

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3434

Perubahan perayaan Waisak dari yang bersifat meditatif menjadi seremonial

berlangsung pada tahun 1953. Perayaan Waisak yang besar ini adalah kali pertama,

dan sering disebut sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan kembali umat Buddha

di Nusantara. Perayaan dipelopori oleh Tee Boan An, seorang penggiat Umat

Buddhame dari Indonesia yang banyak belajar di Belanda. Ia juga merupakan ketua

organisasi Sam Kauw Hwee Indonesia (tiga ajaran: Umat Buddhame, Konfusianisme,

Taoisme). Ia kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk menjadi samanera (calon

bhikkhu) dalam tradisi Mahayana pada tahun 1953. Samanera Tee Boan An setahun

kemudian menjadi bhikkhu dengan tradisi Theravada pertama dari Indonesia pasca

bangkitnya kembali agama Buddha di Nusantara.

Setelah perayaan Waisak yang besar pada tahun 1953, tahun 1956 kembali

digelar Perayaan Waisak. Waisak kali ini cukup monumental karena bertepatan

dengan usia agama Buddha ke 2500 (Buddhajayanti10) dan peringatan perayaan

Waisak dunia ke 2500. Event Waisak pada tahun 1956 ini diselenggarakan oleh

Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI). Organisasi ini mempunyai

jaringan yang cukup kuat di Indonesia dan dengan agama Buddha Internasional. Hal

ini terbukti dengan diterbitkannya buku “2500 Buddha Jayanti” oleh PUUI dengan

kontributor artikel adalah orang-orang ternama seperti PM India Jawaharlal Nehru,

Prof Dr. G.P. Malalasekera Presiden World Fellowship of Umat Buddhats, Dr. Luang

Suriyabongs dari Bangkok dan Mademoiselle G. Constant Lounsbery, B.Sc. ketua

‘Les Amis Du Bouddhisme’ Paris Perancis.

10 Buddhajayanti adalah event untuk mengenang kemunculan Buddha yang dhitung dari tahun 544S.M., tahun dimana Buddha wafat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3535

Setelah Waisak tahun 1953 dan 1956, Waisak yang cukup monumental juga

pernah terjadi pada tahun 1959 pada waktu itu pada peringatan Waisak tahun 1959

dilakukan pentahbisan bhikkhu dan samanera11 dari Indonesia untuk pertama kali

dalam sejarah sejak kebangkitan kembali agama Buddha di Nusantara. Acara

perayaan Waisak dimulai dari persembahyangan yang diadakan di candi Mendut

kemudian melakukan prosesi berjalan kaki dengan membawa barang-barang

persembahan seperti bunga, lilin, dupa, bunga menuju ke candi Borobudur. Sesampai

di candi Borobudur melakukan puja pradaksina (mengelilingi stupa utama

Borobudur sebanyak tiga kali searah jarum jam) dan bermeditasi hingga melewati

detik-detik Waisak12.

Selain upacara ritual perayaan Waisak, ada berbagai kesenian masyarakat yang

digelar di seputaran candi Borobudur. Hal ini dikatakan oleh seorang non Umat

Buddha Mualim M Sukethi di laman blognya yang menceritakan Waisak pada tahun

1960-1970an.

“Ketika kecil, tahun 1960-70-an, saya termasuk anak yang selalu menanti-nanti perayaan Waisak. Saat itu pemahaman tentang perbedaan agama belummerasuk benak anak-anak. Sehingga saya bisa menerima perayaan Waisakseperti halnya menghadapi perayaan Lebaran Iedul Fitri. Dalam benak sayasaat itu, Waisak identik dengan perayaan alias pesta desa. Ada ribuan manusiaberkumpul, ada prosesi ribuan obor, ada upacara meriah, tontonan bermacam-macam kesenian, hingga berbagai jajanan di sekitar candi Mendut danBorobudur”. (http://borobudurlinks.blogspot.co.id/2012/06/rindu-Waisak-kultural.html diakses pada 13 Juni 2014)

Syamsudin Abdullah (1973: 36-37) mencatat bagaimana perayaan Waisak

2517 tahun 1973 dirayakan oleh umat Buddha di candi Mendut dan Pawon. Pada saat

11 Bhikkhu adalah pemuka agama Buddha atau dalam bahasa yang lebih umum disebut biksu danpanggilannya Bhante, sedangkan samanera adalah status sebelum menjadi bhikku atau calon bhikkhu.12 Jayamedho. 2011. Menapak Pasti Kisah Spiritual Anak Madura. Cenas: Jakarta hlm 90-92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3636

itu Waisak tidak dirayakan di candi Borobudur. Perayaannya terdiri dari pengambilan

air Waisak (air kramat) dari sumber “Umbul Tingal” yang tidak jauh dari candi

Mendut, kemudian dibacakan do’a Paritta oleh Bhikkhu dan disemayamkan untuk

dikeramatkan di candi Mendut. Pada hari Waisak ini para bhikkhu membaca paritta13

di dalam candi Mendut kemudian bersama-sama melakukan meditasi dan dilanjutkan

persembahyangan dengan pembacaan Paritta kembali. Selesai upacara di candi

Mendut para bhikkhu dan beberapa umat awam menuju candi pawon dan melakukan

upacara persembahyangan di candi Pawon. Sekitar 150 orang berbaris dari candi

Pawon dengan membawa bendera dan alat-alat musik tetabuhan berjalan melakukan

prosesi berjalan dengan kaki telanjang menuju candi Mendut14.

Barisan prosesi kemudian melakukan pradaksina mengelilingi candi Mendut

sebanyak tiga kali, lalu salah seorang Bhikkhu menyalakan lilin dan dupa sebagai

tanda dimulainya upacara kebaktian, sedangkan beberapa bhikkhu menuju bilik di

candi Mendut. Upacara dilanjutkan dengan pembacaan paritta-paritta sampai

datangnya detik-detik Waisak. Pada detik-detik Waisak umat dan bhikkhu melakukan

meditasi saat bulan purnama sempurna. Selesai bermeditasi, seorang bhikkhu yang

telah ditugaskan kemudian memberikan wejangan Dharma. Upacara dilanjutkan

dengan pemberkahan air keramat kepada para umat oleh para bhikkhu kemudian

upacara ditutup dengan menyembah patung Buddha dan para bhikkhu kembali ke

vihara Mendut.

13 Paritta adalah kalimat-kalimat perlindungan dalam bahasa Pali yang biasa dibaca pada saat umatBuddha khususnya aliran Theravada.14 Abdullah, Syamsudin. 1973. Perayaan Waisak 2517 di Candi Mendut. Perpustakaan Digital UINSunan Kalijaga: Jogjakarta Hlm. 37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3737

F. Waisak di Candi Borobudur: ‘ngontrak’ di rumah sendiri

Membicarakan Waisak Nasional di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari

konteks ekonomi dan politik. Sebagai warga negara Indonesia, umat Buddha yang

jumlahnya tidak banyak juga ingin diakui eksistensinya oleh pemerintah. Demikian

juga masyarakat umat Buddha ingin memberikan sumbangsih dalam berbangsa dan

bernegara di Indonesia. Jumlah penganut agama Buddha yang tidak banyak dan

tersebar di berbagai wilayah tentu menjadi kesulitan tersendiri dalam upaya

menunjukkan eksistensi di ranah nasional bagi umat Buddha.

Hari raya Waisak merupakan momentum penting bagi umat Buddha di

Indonesia baik secara spiritual maupun sosial kemasyarakatan Umat Buddha. Secara

spiritual Waisak menjadi momen suci untuk mengenang tiga peristiwa penting dalam

sejarah Sidharta Gautama untuk membangkitkan kesadaran diri umat Buddha. Secara

sosial Waisak merupakan momentum umat Buddha untuk berkumpul dan

menunjukkan eksistensi di Indonesia.

Di Indonesia sendiri Waisak diakui sebagai satu-satunya hari suci dalam

agama Buddha dan dijadikan sebagai hari libur nasional sejak tahun 1983

berdasarkan Keppres No. 3/1983. Hal ini adalah hasil lobi para pemuka umat Buddha

kepada pemerintah hingga sehingga menjadikan hari Waisak sebagai hari libur

nasional. Hari raya Waisak menjadi sejajar dengan hari raya agama lain. Edij

Juanghari (2016: 278) menyatakan “Keputusan ini tidak hanya meningkatkan

kemantapan peribadatan umat Buddha, tetapi juga menghapuskan hambatan

psikologis hidup keagamaan”. Hal ini menunjukkan betapa berharganya pengakuan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3838

pemerintah atas eksistensi umat Buddha dengan dijadikannya hari raya Waisak

sebagai hari libur.

Keberadaan Borobudur yang penuh dengan filosofi ajaran Buddha menjadi

tempat yang tepat bagi umat Buddha untuk merayakan Waisak. Bagi sebagian umat

Buddha merayakan Waisak jika belum dirayakan di candi Borobudur belum terasa

merayakan Waisak. Setidaknya itulah yang diungkapkan Jeffry Cin (25 tahun) umat

Buddha asal Tegal yang bersedia diwawancarai dia mengatakan:

“tidak peduli soal KASI atau WALUBI15 pokoknya kalau belum Waisakan diBorobudur belum afdol”.

Demikian juga dituturkan oleh Pak Kamto umat Buddha dari Kalimanggis Kaloran

Temanggung yang setiap tahunnya selalu hadir di candi Borobudur untuk merayakan

Waisak:

“pokoknya kalau belum Waisakan di Borobudur rasanya belum manteb,sampai kapanpun harus tetap diadakan Waisakan di Borobudur”

Demikianlah candi Borobudur bagi masyarakat Umat Buddha begitu penting

artinya dalam perayaan Waisak. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kebiasaan yang

telah dibangun dalam kurun waktu yang lama oleh para penganut agama Buddha

sejak dahulu. Iem Brown (dalam Ramsted, 2005:53) mengatakan:

“For all Umat Buddhats, Borobudur functions as a central icon, a Kiblatperhaps, to borrow a religious term from the Muslim community: a placetowards which one’s spiritual energies are directed”.

Di sisi lain candi Borobudur sebagai candi Buddha terbesar dan merupakan

tempat sakral bagi umat Buddha bukanlah milik umat Buddha. Candi Borobudur

telah dikelola oleh negara dan korporasi. Komodifikasi candi Borobudur jelas

15 Persoalan tentang siapa KASI dan WALUBI akan secara detail di bahas dalam bab selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3939

merupakan hal yang tak terhindarkan. Keberadaan even Waisak tiap tahunnya hanya

dijadikan pasar pariwisata yang diharapkan menarik wisatawan. Tidak ada privelege

atau perlakuan khusus bagi ‘tuan rumah’ candi Borobudur ini.

Umat Buddha tidak pernah secara gratis menggunakan candi Borobudur. Umat

Buddha tetap harus membayar layaknya wisatawan biasa. Dalam beberapa

kesempatan memang mungkin ada potongan-potongan harga namun tetap saja,

peserta dihitung per kepala untuk setiap tiket. Setidaknya demikianlah pengalaman

penulis sewaktu terlibat menjadi panitia kegiatan-kegiatan keagamaan Buddha yang

memanfaatkan candi-candi Umat Buddha. Dalih ‘biaya perawatan’ candi Borobudur

yang mahal dan pertanyaan ‘apa sumbangsih umat Buddha pada candi Borobudur”

seringkali menjadi senjata yang menghegemoni umat Buddha yang akhirnya harus

legawa membayar biaya ‘ngontrak’ candi Borobudur.

Kalau dilihat sekilas signifikansi pendapatan dari sektor pariwisata candi

Borobudur pada hari Waisak cukup tinggi. Bayangkan saja jika di hari-hari biasa,

pengunjung candi Borobudur berkisar antara 1.000 - 2.000 pengunjung dan

meningkat di hari-hari libur, tetapi di hari Waisak bisa mencapai 20.000-an

pengunjung yang terdiri dari umat Buddha yang akan beribadah Waisak dan

pengunjung lain yang ingin menyaksikan kemeriahan perayaan Waisak. Dampak

lainnya adalah aktifitas perhotelan yang meningkat tajam, hotel-hotel sekitar Candi

Mendut dan Borobudur telah dipesan oleh wisatawan ludes dalam beberapa hari

menjelang Waisak. Bukan hanya hotel saja tetapi juga homestay dan rumah-rumah

penginapan penduduk yang seringkali dipesan oleh panitia Waisak untuk menginap

para relawan perayaan Waisak Nasional. Juga tentu saja adalah penduduk sekitar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4040

memanfaatkan momentum ini untuk menjadi agen perjalanan, makanan, souvenir,

dan barang komoditi lainnya. Bahkan tarif parkir dari Rp. 2000,00 yang tertulis di

karcis resmi terpaksa dicoret dan dinaikkan Rp. 5.000,00 oleh tukang parkir dadakan.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar memandang perayaan Waisak

sebagai ‘rejeki’ tahunan yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi

masyarakat.

Sebagai tempat wisata yang mendunia candi Borobudur merupakan magnet

uang bagi negara Indonesia, apalagi didukung dengan event-event religi seperti

perayaan Waisak jelas merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik domestik

maupun mancanegara. Kebijakan pengelola Taman Wisata Candi Borobudur yang

tidak menutup Candi Borobudur untuk memberikan kesempatan kepada umat Buddha

melakukan ibadah Waisak tersendiri menjadikan ibadah Waisak di candi Borobudur

campur aduk dengan wisata. Hal ini membuat suasana Waisak jauh dari sakral. Sudah

merupakan hal yang jamak umat Buddha mengeluhkan ketidaksakralan Waisak di

candi Borobudur. Ibadah di candi Borobudur bukan lagi sebagai aktivitas relijius

yang bermanfaat besar bagi perkembangan spiritualitas umat Buddha namun justru

menjadi tontonan wisatawan candi Borobudur.

Dari segi politik nasional, Waisak Nasional di candi Borobudur adalah ajang

pertemuan petinggi-petinggi negara baik Presiden, Wakil Presiden, Menteri Agama,

Gubernur dan pejabat-pejabat lainnya dengan tokoh-tokoh agama Buddha Indonesia

baik para rohaniwan bhikkhu dan pandita16, maupun para pengusaha-pengusaha Umat

16 Para pemuka agama Indonesia, Bhikkhu merupakan kelompok pemuka dari komunitas pertapa danpandita merupakan pemuka dari komunitas umat Buddha awam.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4141

Buddha kerena penyelenggaraan Waisak tidak bisa dilepaskan dari biaya yang

dikeluarkan oleh para donator terutama para pengusaha. Acara Dharmasanti Waisak

menjadi bagian perayaan Waisak untuk mengakomodasi pertemuan ini. Dalam acara

Dharmasanti inilah pemerintah dapat mengetahui bagaimana kondisi masyarakat

Umat Buddha.

Sebagai kelompok kecil kehadiran negara melalui pejabat-pejabat penting

merupakan sebuah penghargaan negara atas eksistensi umat Buddha. Waisak adalah

even nasional umat Buddha sebagai ajang strategis untuk memperkenalkan

keberadaan umat Buddha. Oleh karenanya, meskipun candi Borobudur sudah

dikomodifikasi sedemikian rupa bagi komunitas umat Buddha tetaplah merupakan

simbol penting bagi penyelenggaraan Waisak Nasional.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4242

BAB III

KOMPLEKSITAS MASALAH PENYELENGGARAAN PERAYAAN

WAISAK NASIONAL CANDI BOROBUDUR

Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang masalah perayaan Waisak di

Candi Borobudur, ada baiknya kita perlu memahami seperti apa komunitas umat

Buddha di dunia dan di Indonesia. Hal ini penting untuk memetakan permasalahan

Waisak di Indonesia, karena ritual Waisak erat kaitannya dengan komunitas mana

yang melakukan ritual Waisak. Di Indonesia khususnya, komunitas-komunitas umat

Buddha sejak tahun 1979 tergabung dalam satu wadah yaitu WALUBI. Sebagai

wadah pemersatu umat Buddha Indonesia yang saat ini mempunyai kewenangan

besar menyelenggarakan Waisak di Borobudur, WALUBI mengakomodir ritual-ritual

Waisak dalam berbagai komunitas tersebut.

Untuk itu dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal yakni komunitas umat

Buddha dunia yang dibagi dengan mengacu pada konsep-konsep keagamaannya,

komunitas-komunitas umat Buddha yang tumbuh dan ada di Indonesia serta

bagaimana umat Buddha Indonesia memaknai dan merayakan Waisak di Candi

Borobudur dari zaman ke zaman.

A. Memahami Komunitas Agama Buddha Dunia dan Indonesia

Agama Buddha tumbuh dan berkembang di India pada abad ke 6 Sebelum

Masehi. Kemunculannya ditandai dengan lahirnya Sidharta Gautama. Sidharta

Gautama hidup dalam tradisi Veda dan Brahmanisme yang kental di India dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4343

kemudian menemukan pencerahan dengan sebutan Buddha. Pencerahan Sidharta

Gautama kemudian diajarkan kepada pengikut-pengikutnya dan kemudian

terlembaga menjadi agama Buddha yang kita kenal saat ini.

Pengikut ajaran Buddha terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan cara

hidupnya yaitu kelompok awam disebut Gharavassa dan kelompok pertapa yang

disebut Pabbajjita. Yang membedakan secara mencolok kedua kelompok itu adalah

cara penghidupannya. Kelompok Gharavassa adalah para perumah tangga yang

menjalani hidup sebagai umat awam baik berkeluarga maupun tidak berkeluarga dan

berpedoman pada ajaran-ajaran Buddha. Sedangkan Pabbajjita adalah para pertapa

yang hidup secara selibat, memisahkan diri dengan kehidupan duniawi,

memfokuskan diri pada pelatihan spirituanl dan kebutuhan kehidupannya disokong

oleh umat awam. Para pabbajjita ini diikat dengan peraturan-peraturan dan hidup

dalam komunitas yang disebut Sangha. Bagi umat Buddha, para pabbajjita inilah

yang menjadi guru (pemuka agama) yang akan diikuti nasihat dan disokong

kehidupannya sebagai bentuk penghormatan.

Dalam perkembangannya selama lebih dari 2600 tahun, ajaran Buddha telah

mengalami berbagai perkembangan ajaran terutama dalam hal pendekatan

pemahaman terhadap ajaran Buddha. Pada saat Buddha Gautama masih hidup,

pengajaran Dharma langsung dari Buddha Gautama sehingga tidak banyak terdapat

perbedaan pemahaman. Namun sejak wafatnya Buddha Gautama mulai terdapat

perbedaan-perbedaan pemahaman. Pengikut ajaran Buddha kemudian terbagi dalam

18 aliran skolastik dengan Sthaviravada dan Mahasanghika sebagai aliran skolastik

yang paling besar dan bertahan. Sthaviravada dan Mahasanghika ini yang menjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4444

cikal bakal terbentuknya dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu Theravada dan

Mahayana. Mahayana sendiri setelah berkembang beberapa lama juga terbagi

menjadi beberapa aliran salah satu yang terbesar adalah Tantrayana17.

Sekarang secara sederhana agama Buddha dapat digolongkan menjadi tiga

aliran besar. Kata ‘aliran’ dalam wacana agama Buddha dipahami sinonim dengan

kata ‘sekte’, ‘tradisi’ dan ‘mahzab’. Terdapat tiga aliran agama Buddha di dunia ini

yaitu Mahayana, Theravada dan Tantrayana atau Vajrayana. Di Indonesia ketiga

aliran tersebut hidup dan mewarnai perkembangan agama Buddha utamanya setelah

terdapat bhikkhu-bhikkhu ditahbiskan dan berafiliasi dengan komunitas bhikkhu

baik Srilanka, Thailand, Birma maupun di China.

A.1 Theravada

Theravada berasal dari dua kata Thera yang berarti tua atau sesepuh, dan

ovada yang berarti ajaran, jadi Theravada adalah ajaran para sesepuh. Ciri ajaran dari

aliran ini sangat konservatif dan mendasarkan pada kitab Tipitaka berbahasa Pali.

Sebuah bahasa dialek yang diyakini digunakan pada masa Buddha Gautama. Bagi

penganutnya Theravada sering dianggap sebagai aliran yang paling mendekati dengan

yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Aliran Theravada berkembang dari India ke

Sri Lanka, Thailand, Myanmar (Birma), Laos dan Kamboja. Theravada menekankan

pencapaian tujuan akhir umat Buddha ‘Nirvana’ melalui praktik Sila (moralitas),

Samadhi (meditasi), dan Pannya (kebijaksanaan).

17 Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis agama BuddhaMahayana Indonesia hlm 81

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4545

Liturgi upacara ritual baik dalam ritual rutin maupun hari raya dalam aliran

Theravada menggunakan Paritta berbahasa Pali. Paritta merupakan kalimat-kalimat

pemujaan yang diucapkan umat Buddha aliran Theravada sebagai sarana untuk

memperoleh perlindungan dan ketenangan. Ritual pemujaan ditujukan kepada

Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Dalam ritual-ritual Waisak di Candi

Borobudur ritual dari aliran Theravada ini paling sering dipakai.

Di Indonesia aliran ini berkembang ketika para Theosof pada tahun 1932

mengundang Bhikkhu Narada Mahathera dari Sri Lanka untuk mengajarkan ajaran

Buddha. Bhikkhu Narada yang merupakan bhikkhu aliran Theravada menginspirasi

penganut ajaran Buddha untuk menjadi Bhikkhu dan mempelajari agama Buddha

aliran Theravada baik dari negara Thailand maupun Birma. The Boan An adalah

orang umat Buddha Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu Theravada. The Boan

An kemudian menginspirasi penganut Umat Buddha Indonesia dan mendirikan

beberapa organisasi Umat Buddha termasuk Sangha beraliran Theravada.

Aliran Theravada di Indonesia saat ini diikuti oleh beberapa organisasi baik

organisasi kebhikkhuan (Sangha) maupun organisasi umat awam. Organisasi

kebhikkhuan (sangha) aliran Theravada di Indonesia yaitu: Sangha Theravada

Indonesia (STI). Sedangkan organisasi umat awam yang mengikuti aliran Theravada

antara lain Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI), Majelis

Umat Buddha Theravada Indonesia (MAJUBUTHI), Majelis Mahanikaya Indonesia

(Dhammakhaya).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4646

A.2 Mahayana

Mahayana berasal dari kata Maha (besar) dan Yana (jalan, seringkali juga

diterjemahkan sebagai kendaraan), jadi Mahayana dipahami sebagai jalan/kendaraan

besar. Aliran ini berciri progresif dalam menafsirkan ajaran Buddha sehingga banyak

muncul perbedaan antara kelompok satu dengan yang lainnya dalam hal-hal yang

bukan esensi pokok dasar agama Buddha. Mahayana mendasarkan ajarannya pada

Tripitaka berbahasa Sanskerta, namun karena perkembangannya ke wilayah Asia

timur seperti China, Taiwan, Jepang, dan Hongkong maka sekarang bahasa yang

sering dipakai dan lebih populer adalah bahasa Mandarin. Mahayana mendasarkan

ajaran pada pencapaian tujuan akhir umat Buddha ‘Nirvana’ melalui jalan

Bodhisattva dengan mengembangkan prajna (kebijaksanaan) dan karuna (kasih

sayang). Liturgi ritual ritual harian maupun pada saat hari raya dengan mendaraskan

sutra, mantra, dharani sebagai pemujaan terhadap berbagai Buddha, Bodhisattva18

sebagai sarana untuk memperoleh berkah dan keselamatan.

Di Indonesia aliran Mahayana dibawa oleh orang-orang keturunan Tionghoa.

Para ahli sejarah menyatakan Umat Buddhame Nusantara dahulu kala adalah

bercirikan aliran Mahayana. Namun Mahayana yang sekarang berkembang di

Indonesia lebih banyak bercirikan Asia timur yang sangat dekat dengan kebudayaan

China dan menggunakan tata ritual bahasa Mandarin. Aliran mahayana dapat

ditemukan dalam organisasi-organisasi Umat Buddha Indonesia seperti organisasi

bhikkhu Sangha Mahayana Indonesia (SMI), organisasi umat awam seperti Majelis

18 Makhluk-makhluk yang beraspirasi menjadi Buddha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4747

Umat Buddha Mahayana Indonesia (MAJABUMI), Majelis Mahayana Buddha

Indonesia (MAHABUDHI), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia Tanah Suci

(MAJABUMI TANAH SUCI), Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia

(MAJUBUMI), Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (TRIDHARMA).

A.3 Tantrayana atau Vajrayana

Tantrayana berasal dari kata Tantra yang berarti rahasia (esoteric), dan Yana

berarti jalan. Jadi Tantrayana adalah salah satu aliran dalam agama Buddha yang

pengajarannya bersifat rahasia (esoteric). Tantrayana di Tibet dikenal dengan sebutan

Vajrayana. Tantrayana sebenarnya merupakan perkembangan dari Mahayana karena

mendasarkan ajaran pada pencapaian tujuan akhir melalui jalan Bodhisattva namun

berbeda secara metode karena menekankan ketaatan pada guru spiritual dan

pengajaran yang bersifat rahasia. Disebut rahasia karena masing-masing pengikut

aliran ini harus diinisiasi oleh guru spiritual / guru akar (root guru) dan menerima

pengajaran dengan metode sesuai dengan panduan guru spiritual. Dalam praktik

ritualnya aliran Tantrayana menekankan pada pelafalan sutra dan mantra sehingga

seringkali juga disebut aliran mantrayana.

Aliran tantrayana di Indonesia diikuti oleh organisasi-organisasi Umat

Buddha seperti Majelis Kasogatan, Majelis Umat Buddha Tantra Indonesia

(MAJUBUDTI), Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia

(MADANTANTRI), Majelis Agama Buddha Tantrayana Zen Fo Zhong Indonesia

(KASOGATAN ZEN FO ZHONG). Untuk organisasi Bhikkhu (sangha) Tantrayana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4848

di Indonesia belum terbentuk meskipun sudah banyak bhikkhu-bhikkhu dari aliran

Tantrayana di Indonesia.

Pada dasarnya ketiga aliran besar dalam agama Buddha tersebut berbeda

dalam penekanan ajaran dan metode pencapaian tujuan akhir (Nibbana/Nirvana19).

Ketiga aliran dipersatukan dengan pokok-pokok pengajaran yang telah disepakati

oleh Persatuan umat Buddha Dunia, World Fellowship of Umat Buddhat (WFB) tahun

1950. Pokok-pokok ajaran yang dimaksud adalah:

1. Tujuan agama Buddha adalah menghapuskan ketidaktahuan (avidya) dan

mencapai akhir penderitaan (Nirvana)

2. Buddha Sakyamuni sebagai Guru Agung dari para Dewa dan Manusia yang

telah menunjukkan jalan untuk membebaskan diri dari derita (dukkha)

3. Alam semesta dikuasai oleh hukum Trilaksana (Tilakkhana)

4. Hukum Paticca Samuppada (Pratitya Samutpada)

5. Catur Ariya Satyani (Ariya Sacca 4)

6. Hukum Karma (Kamma) dan kelahiran kembali (Punarbhava).

Terdapat usaha dan pemikiran untuk mempersatukan ketiga aliran agama

Buddha sejak tahun 1885, misalnya dengan diciptakannya lambang-lambang yang

dapat mempersatukan aliran Buddha seperti Bendera Umat Buddha Internasional oleh

H.S. Olcott dan Y.A. Sumanggala dari Sri Lanka. Selain lambang-lambang Umat

Buddha juga terdapat majalah Internasional “The Middle Way” sebagai media

19 Nibbana (bahasa Pali), Nirvana (bahasa Sanskerta)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4949

pemikiran bersama baik oleh Theravada, Mahayana dan Tantrayana (Tim Penyusun,

2003: 72).

Di Indonesia gerakan mempersatukan ini terlembaga dalam gerakan

Buddhayana (jalan Buddha), sebagai gerakan non sekte yang diprakarsai oleh

Bhikkhu Ashin Jinarakkhita bhikkhu pertama dari Indonesia. Pemikiran Buddhayana

melembaga dalam organisasi Bhikkhu yaitu Sangha Agung Indonesia (SAGIN)

dimana para anggotanya berasal dari tiga aliran Buddha, sedangkan organisasi umat

awam yaitu Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Wanita Buddhayana Indonesia

(WBI), Persatuan Pemuda Vihara Buddhayana Indonesia (PMVBI). Ketiganya

bersatu dalam wadah Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI).

Selain aliran Theravada, Mahayana dan Tantrayana, di Indonesia juga

berkembang aliran Maitreya dan aliran Nichiren. Kedua aliran ini termasuk aliran

kontroversial dalam agama Buddha. Sebenaranya keduanya adalah bagian dari Umat

Buddhame Mahayana namun terdapat perbedaan mendasar dari ajaran Buddha

terutama terkait dengan pemujaan terhadap Buddha. Dalam keputusan WFB, salah

satu kriteria aliran Buddha adalah pemujaan terhadap Buddha Sakyamuni sebagai

guru agung. Namun kedua aliran ini tidak memuja Buddha Sakyamuni namun

mempunyai sosok Buddha tersendiri sehingga aliran ini sering disebut aliran yang

kontroversial.

Aliran Maitreya sebenarnya adalah aliran Buddha yang berkembang pada

abad ke 2 Masehi di India namun berkembang pesat di Taiwan. Aliran ini berciri

pemujaan terhadap Buddha Maitreya (Mi Le Fo), sedangkan bagi tiga aliran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5050

mainstream Umat Buddha, Buddha Maitreya bukanlah Buddha namun baru

merupakan Calon Buddha di masa mendatang (Bodhisattva). Buddha Maitreya

disimbolkan dengan patung bertubuh gemuk dengan wajah tertawa lepas. Buddha

Maitreya oleh penganut aliran Maitreya dipercaya pernah lahir sebagai seorang

Bhiksu pada masa dinasti Tang akhirnya (907-1060) bernama Qici. Postur tubuhnya

yang tinggi, gendut dan ia memikul sebuah kantong kain besar dengan tongkat kayu

sambil berkelana . jika ada yang mendermakan barang untuknya ia memasukkannya

ke dalam kantong sembari tertawa lebar. Dan orang memanggilnya Bhiksu Badai.

Bagi penganut aliran Maitreya mereka meyakini jika melakukan praktik Dharma

disertai dengan pelafalan mantra rahasia dari Pandita Maitreya akan dapat

memperoleh tujuan akhir.

Sama halnya dengan aliran Maitreya, aliran Nichiren juga dianggap

kontroversial karena pemujaan utama adalah kepada Nichiren Daisonin. Aliran ini

berasal dari Jepang, dan sering dianggap sebagai bagian dari aliran Mahayana karena

dasar ajaran aliran ini adalah kitab Buddha Mahayana Saddharma Pundarika Sutra.

Daisonin dianggap sejajar dengan Buddha Sakyamuni Di Indonesia aliran Maitreya

tergabung dalam organisasi Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia

(MAPANBUMI), sedangkan aliran Nichiren tergabung dalam tiga organisasi yaitu

Sokka Gakai Indonesia, Majelis Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia

(MNSBDI) dan Parisadha Buddha Dharma Nichiren Sosyu Indonesia (PBDNSI).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5151

B. WALUBI, Wadah Pemersatu Komunitas Umat Buddha Indonesia

Telah diuraikan sebelumnya bahwa Agama Buddha di dunia jika

dikelompokkan menurut tradisi atau alirannya terdapat tiga aliran yaitu Theravada,

Mahayana dan Tantrayana. Di Indonesia ketiga aliran dapat kita jumpai baik

komunitas bhikkhu maupun umat awam. Pada awal perkembangan agama Buddha di

Indonesia memang belum mengarah pada aliran, namun kehadiran bhikkhu Narada

dari Srilanka yang beraliran Theravada menjadi tonggak dikenalkannya aliran-aliran

dalam Buddhisme di Indonesia. Setelah kehadiran bhikkhu Narada dan menahbiskan

upasaka-upasika serta bhikkhu maka banyak yang juga turut belajar aliran Mahayana

dan Vajrayana ke luar negeri.

Di masa Orde Baru, pemerintah mencanangkan kebijakan Trilogi

pembangunan, yaitu tiga upaya pemerintah dalam rangka menciptakan keteraturan

pasca tumbangnya orde lama. Trilogi Pembangunan tersebut yakni stabilitas nasional

yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pembangunan dan

hasil-hasilnya. Kebijakan ini berdampak juga terhadap persoalan keagamaan20.

Stabilitas nasional juga dimaknai dengan penyederhanaan organisasi

kemasyarakatan baik yang berbasis politik, agama maupun ekonomi. Terkait agama,

hal ini berdampak pada upaya penyederhanaan kelompok-kelompok agama menjadi

satu wadah yang bisa dikontrol oleh pemerintah. Ini dimaksudkan terutama terkait

20 Tumbangnya Orde Lama dengan ditandai lengsernya presiden Soekarno dan naiknya Soehartomenjadi presiden menjadi tonggak sejarah baru Indonesia dan dikenal dengan Orde Baru. Lengsernyakepemipinan presiden Soekarno dibarengi dengan kondisi politik yang tidak stabil terutama denganmunculnya isu pemberontakan oleh PKI pada tahun 1965. Upaya pembersihan ideologi komunisdilakukan dengan berbagai cara. Dugaan saya organisasi-organisasi yang tumbuh pada umat Buddhasaat itu juga discreening dalam rangka mencegah tumbuhnya ideologi komunis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5252

aliran-aliran keagamaan yang banyak berkembang di Indonesia. Aliran-aliran ini

harus dikontrol supaya tidak disusupi oleh ideologi-ideologi yang tidak sejalan

dengan kemauan pemerintah.

Agama Buddha yang terbagi dalam aliran-aliran dan kelompok organisasi

pada waktu itu diminta untuk dapat memberikan kriteria yang jelas sehingga tidak

bisa disusupi oleh aliran-aliran keagamaan yang semakin banyak. Untuk itulah para

tokoh umat Buddha mengadakan konggres untuk menentukan kriteria tersebut. Hal

ini diungkapkan dalam Biografi Bhikkhu Jayamedho “Menapak Pasti, Kisah

Spiritual Anak Madura” yang diterbitkan Cennas tahun 2011. Dalam buku itu

Bhikkhu Jayamedho yang dahulu adalah umat awam bernama Herman E Endro

menuturkan:

“Pada suatu hari di tahun 1976 dipanggilah beberapa tokoh umat UmatBuddha non-Bhikkhu dari berbagai mahzab ke rumah Wakil Kepala BadanIntelejen Negara (Wakabakin) Mayor Jendral Roedjito di kawasan PermataHijau, Jakarta. Dalam pertemuan itu Roedjito bertanya tentang bagaimanasebaiknya melindungi agama Buddha dari unsur-unsur luar yang bisamenganggu stabilitas nasional. Pemerintah kurang paham tentang agamaBuddha di belahan dunia sehingga memerlukan banyak informasi, katanya.Suatu hari akan datang berbagai sekte baik dari dalam maupun luar negeriyang menggunakan label Buddha. Untuk menentukan mana yang ajaranBuddha dan mana yang bukan agama Buddha perlulah dipikirkan. Roedjitoterangnya meminta: tolong umat Buddha itu memformulasi mana yang agamaBuddha dan mana yang bukan agama Buddha!Rombongan beradu pandang dalam situasi kebingungan mendengarpermintaan tersebut, saya kemudian membuka suara mengawali jawaban yangdiminta Wakabakin: Pak, di ranah internasional sudah ada kesepakatan, yangdisebut agama Buddha itu kalau memiliki ciri-ciri tertentu. Kalau ciri-ciritertentu itu tidak ada, boleh dikatakan bukan sebagai agama Buddha”(Jayamedho, 2011:154)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5353

Pada tahun 1978 tepatnya tanggal 7-8 Mei 1978 tokoh-tokoh umat Buddha

Indonesia menyelenggarakan sebuah kongres di Yogyakarta yang dihadiri oleh

perwakilan-perwakilan organisasi baik organisasi bhikkhu (Sangha) maupun

organisasi umat awam (majelis). Pada saat itu terbentuk wadah pemersatu organisasi

umat Buddha yaitu WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia).

WALUBI sebagai wadah pemersatu umat Buddha yang didalamnya terdapat

berbagai macam aliran dan organisasi tentu merupakan persoalan yang tidak mudah

dalam mempersatukan. Apalagi terdapat pandangan-pandangan bahwa aliran tertentu

dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai aliran Buddha semakin menambah

persoalan. Masing-masing aliran mempunyai penekanan doktrin dan liturgi yang

berbeda sehingga dalam mempersatukan terutama dalam konteks ritual Waisak akan

sangat menyulitkan.

Menurut Jayamedho pendirian WALUBI memang banyak diwarnai dengan

berbagai perdebatan, terutama terkait kriteria-kriteria mana aliran agama Buddha dan

mana yang bukan aliran agama Buddha. Kriteria-kriteria yang ditetapkan berdasarkan

kesepakatan organisasi Umat Buddha internasional World Umat Buddhat Sangha

Council (WBSC) mengancam eksistensi kelompok-kelompok Umat Buddhat yang

dianggap tidak sesuai dengan kriteria seperti aliran “Maitreya” dan “Nichiren Sosyu”.

“Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) didirikan juga sebetulnyadalam situasi ketegangan antar sekte yang tengah memanas ...Pergolakan internal WALUBI seakan tidak pernah putus karena adanya faktoreksistensi dan kemajemukan agama Buddha. Pihak penguasa lebih condongpemikiran masyarakat Islam yang kurang adanya sinkretisme ataupunpenyimpangan ajaran dari sumber aslinya. Seperti halnya Muhammadiyahmencantumkan dalam anggaran dasarnya: Kembali pada kemurnian Islam”.(Jayamedho, 2011: 163)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5454

Dalam pernyataan Jayamedho di atas nampak bahwa upaya penyeragaman

pemerintah dalam hal ini melalui WALUBI yang juga terkait dengan puritanisme

menjadi titik masalah antar kelompok dalam internal WALUBI yang saling

mempunyai kepentingan untuk eksis. Penerapan kriteria mana yang aliran Buddha

mana yang bukan dapat mengancam eksistensi aliran tertentu seperti Maitreya dan

NSI.

Namun dalam perkembangannya WALUBI bukan lagi bersifat sebagai

lembaga yang dapat menentukan mana yang masuk Buddha mana yang bukan.

WALUBI lebih berfungsi sebagai lembaga pemersatu, wadah komunikasi untuk

mengakomodasi semua aliran Buddha yang ada sehingga menjadi rukun dan dapat

melakukan kegiatan bersama. Hal ini tercermin dari organisasi-organisasi yang

tergabung dalam WALUBI yakni:

1. Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDDHI) yang

kemudian berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia

(MAGABUDHI).

2. Majelis Buddha Mahayana Indonesia (MAJABUMI)

3. Majelis Dharma Duta Kasogatan (KASOGATAN).

4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).

5. Majelis Rokhaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA).

6. Majelis Umat Buddha Indonesia (MUABI) yang kemudian berubah nama

menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI)

7. Majelis Nichiren Shoshu Indonesia (MNSI)

8. Sangha Theravada Indonesia (STI).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5555

9. Sangha Mahayana Indonesia (SMI).

10. Sangha Agung Indonesia (SAGIN).

Kepengurusan WALUBI dibentuk setiap 4 tahun sekali dan diputuskan dalam

kongres untuk menentukan kepengurusan ketua umum, wakil ketua umum, sekretaris

jendral, dewan pembina, ketua harian, vidyeka sabha. Dalam kongres itu para ketua-

ketua organisasi yang tergabung dalam WALUBI memilih wakil-wakil yang akan

duduk dalam kepengurusan WALUBI. Sangha-Sangha yang ada ditempatkan sebagai

dewan fatwa yang menjadi rujukan pengajaran agama Buddha.

WALUBI sebagai organisasi pemersatu umat Buddha Indonesia dipimpin

oleh tokoh umat Buddha yang dipilih dalam suatu konggres. Pada awal-awal

perkembangan agama Buddha terutama pada saat belum banyaknya tokoh-tokoh

Bhikkhu di Indonesia, organisasi WALUBI dipimpin oleh umat awam. Namun

setelah muncul tokoh bhikkhu maka yang terpilih menjadi ketua umum adalah

bhikkhu. Hal ini tidak lepas dari pandangan masyarakat Umat Buddha bahwa

bhikkhu dipandang sebagai pribadi yang mempunyai kualitas lebih berkenaan dengan

agama Buddha. Bhikkhu Girirakhito dari Sangha Theravada Indonesia sempat

memimpin organisasi WALUBI ini dalam tiga periode yakni sejak 1986-1998

sebelum akhirnya WALUBI bubar. Sebelumnya WALUBI dipimpin oleh umat awam

yakni Suparto HS satu periode (1978-1982), dan Brigjend Soemantri satu periode

(1982-1986). Bhikkhu Girirakhito (tahun 1986-1998).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5656

C. Kemelut WALUBI: munculnya KASI dan WALUBI “baru”

Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) melakukan beberapa kali

kongres untuk memilih ketua umum baru serta melakukan perubahan AD/ART.

Dalam kurun waktu 20 tahun WALUBI melakukan pergantian ketua umum sebanyak

tiga kali yaitu Suparto Hs (1978-1982), Drs. Soemantri (1982-1986), Bhikkhu

Girirakhito (tahun 1986-1998). Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa

pembentukan WALUBI tidak lepas dari masalah terutama karena perbedaan pendapat

organisasi-organisasi yang ada di dalamnya. Masalah-masalah seperti penetapan

kriteria agama Buddha yang mengancam eksistensi majelis tertentu dan masalah kode

etik antar majelis menjadi dinamika organisasi WALUBI.

Kemelut dalam tubuh WALUBI mulai menguat ketika terjadi dualisme

rancangan AD/ART. Akibat adanya dualisme AD/ART ini sempat terjadi pelaporan

kepada kepolisian terhadap beberapa orang dari Buddhayana dan Tri Dharma bahkan

. beberapa dari mereka juga sempat mengalami siksaan fisik. Dari peristiwa itu,

beberapa kelompok juga dikeluarkan dari keanggotaan WALUBI yaitu SAGIN dan

MBI (Edij Juanghari, 2016: 281). Pada Konggres WALUBI ke III SAGIN dan MBI

diminta untuk bergabung kembali ke WALUBI namun tidak bersedia bahkan

beberapa organisasi lain menyatakan keluar dari WALUBI seperti Sangha Theravada

Indonesia (STI), Sangha Mahayana Indonesia (SMI) dan MAGABUDHI dan

MATRISIA. Pada tanggal 6 November 1998 pada Munas III WALUBI

membubarkan diri.

Sebelum bubarnya WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) telah

muncul “WALUBI baru” yang merupakan singkatan dari Perwakilan Umat Buddha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5757

Indonesia. Menurut AD/ART WALUBI baru ini mereka berdiri pada tanggal 20

Agustus 1998 berdasarkan atas Konsensus Nasional Umat Buddha Indonesia dengan

ketua umum Siti Hartati Murdaya. Jadi tampaknya memang ada usaha dari segelintir

kelompok dalam WALUBI lama yang sudah merencanakan membuat organisasi

pengganti sehingga ketika organisasi WALUBI lama dibubarkan mereka sudah

mempunyai WALUBI baru. Anggota WALUBI baru sebagian berasal dari anggota-

anggota WALUBI lama.

Organisasi-organisasi yang tidak tergabung dengan WALUBI baru kemudian

mendirikan organisasi nasional KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) yang

terdiri dari Sangha Theravada Indonesia (STI), Sangha Mahayana Indonesia (SMI),

Sangha Agung Indonesia (SAGIN) pada tanggal 14 November 1998. Tidak lain

mereka sesungguhnya juga adalah para pendiri WALUBI lama namun menjadi

tersingkir dari pusaran kekuasaan WALUBI setelah makin kuatnya pengaruh Hartati

Murdaya. Organisasi lain yakni MAGABUDHI, MAJABUMI, MBI dan MATRISIA

kemudian juga ikut bergabung dalam KASI.

KASI secara keanggotaan sangat kuat dibandingkan WALUBI lama karena

Sangha dan Majelis tergabung dalam wadah ini. Selain itu organisasi yang tergabung

dalam KASI ini mempunyai basis pengikut di Indonesia yang cukup besar. Secara

kultural organisasi-organisasi ini juga mempunyai pengetahuan dan pengalaman

keagamaan yang kuat sehingga cukup dapat menjadi representasi Umat Buddhame.

Sedangkan WALUBI baru didukung oleh organisasi awam seperti

MAPANBUMI, MNSI, dan KASOGATAN. Seperti telah diuraikan sebelumnya

bahwa MAPANBUMI dan MNSI adalah beraliran Maitreya dan Nichiren Sosyu yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5858

sering dianggap ‘kurang umat Buddhistik’ karena tidak memenuhi kriteria agama

Buddha seperti yang telah ditetapkan oleh World Buddhist Sangha Council (WBSC).

Bahkan Nichiren Sosyu pernah dikeluarkan dari WALUBI pada masa dominasi

kelompok aliran mainstream Umat Buddha terutama dari Theravada memegang

peranan di WALUBI. Sehingga secara kultural organiasasi-organisasi ini kurang

dapat mewakili Umat Buddha. Untuk itu WALUBI baru juga membentuk organisasi

aliran Theravada, Mahayana dan Tantrayana organisasi bentukan baru tersebut

adalah: MAJUBUTHI (Theravada), MAHABUDHI (Mahayana), MAJABUMI

TANAH SUCI (Mahayana), PSBDI (Nichiren), MADHATANTRI (Tantrayana),

KASOGATAN ZEN FO ZHONG (Tantrayana). Sedangkan komunitas Bhikkhu tidak

ada namun WALUBI mendirikan Dewan Sangha WALUBI yang berisi bhikkhu-

bhikkhu baik dari Theravada, Mahayana maupun Tantrayana yang bukan anggota

dari Sangha di KASI.

Guna memudahkan pemahaman tentang komunitas umat Buddha di dunia dan

Indonesia saat ini kita dapat melihat tabel berikut ini.

Tabel. 1 Komunitas umat Buddha Indonesia

Aliran/Tradisi Organisasi Umat Buddha Di Indonesia Wadah organisasidi Indonesia

(WALUBI/KASI)

TheravadaSangha Theravada Indonesia (STI) KASIMajelis Agama Buddha Theravada Indonesia(MAGABUDHI)Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia(MAJUBUTHI)

WALUBI

Majelis Mahanikaya Indonesia(Dhammakhaya)Sangha Mahayana Indonesia (SMI) KASIMajelis Umat Buddha Mahayana Indonesia(MAJABUMI)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5959

Mahayana

Majelis Agama Buddha Tri DharmaIndonesia (MAJELIS TRIDHARMA)Majelis Mahayana Buddha Indonesia(MAHABUDHI)

WALUBI

Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia(MAPANBUMI)Majelis Agama Buddha Mahayana TanahSuci Indonesia (MAJABUMI TANAHSUCI)Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia(PSBDI)Pandita Buddha Dharma Nichiren SosyuIndonesia (PBDNSI)Majelis Rohaniawan Tridharma seluruhIndonesia (MATRISIA)

Tantrayana Majelis Agama Buddha KasogatanTantrayana Indonesia (KASOGATAN)

WALUBI

Majelis Umat Buddha Tantra Indonesia(MADHATANTRI)Majelis Zen Fo Zhong Indonesia(KASOGATAN ZEN FO ZHONG)

Buddhayana(mencakupTheravada,Mahayana,Tantrayana)

Sangha Agung Indonesia (SAGIN) KASI

Majelis Buddhayana Indonesia (MBI)

Sumber: Buku Pola Pembinaan Lembaga Keagamaan Buddha, Departemen AgamaRI, Dirjend Bimas Buddha RI

Selain memaparkan gambaran umat Buddha dan organisasinya, rasanya saya

perlu memaparkan pula kondisi masyarakat Umat Buddha Yogyakarta yang nantinya

akan dipakai sebagai ‘laboratorium’ kecil tempat melihat proses-proses pembelotan

masyarakat Umat Buddha terhadap perayaan Waisak oleh WALUBI di Candi

Borobudur. Masyarakat Umat Buddha Yogyakarta secara jumlah sesungguhnya tidak

terlalu banyak menurut data Bimas Buddha jumlahnya sekitar 12.000 jiwa.

Persebaran umat ada di beberapa daerah, umat Buddha dengan konsentrasi massa

yang besar ada di kabupaten Kulon Progo di daerah Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo

dan di daerah Gunung Kidul yaitu di daerah Panggang, Semin dan Wonosari. Selain

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6060

di daerah Kulon Progo dan Gunung Kidul persebaran umat Buddha ada di Kabupaten

Sleman dan juga di Kota Yogyakarta sedangkan untuk di kabupaten Bantul

jumlahnya relatif paling sedikit21.

Jumlah Vihara di D.I.Yogyakarta menurut data dari Bimas Buddha tahun 2012

ada 22 Vihara dan Cetiya22. Vihara terbanyak ada di daerah Gunung Kidul dengan

jumlah vihara 9, Kota Yogyakarta dengan 5 Vihara dan 1 cetiya, Kabupaten Sleman

terdapat 2 vihara, Kabupaten Kulon Progo terdapat 5 vihara 1 cetiya. Sedangkan

untuk kabupaten Bantul tidak terdapat vihara maupun cetiya.

Meskipun umat Buddha Yogyakarta tidak terlalu besar jumlahnya tetapi cukup

representatif menggambarkan keadaan keagamaan Buddha di Indonesia. Peranan-

peranan strategis dalam event-event perayaan Waisak Nasional juga sering dilakukan

oleh umat Buddha Yogyakarta sejak dahulu kala. Hal ini tidak lepas dari keadaan

geografis Yogyakarta yang dekat dengan candi-candi Buddha yang terkenal seperti

Borobudur, Mendut, Sewu dan Kalasan.

Keterbelahan organisasi umat buddha antara WALUBI dan KASI juga dengan

mudah dapat ditemukan contohnya di Yogyakarta. Jika dibedakan dengan

menggunakan instrumen dua organisasi besar (WALUBI-KASI) dalam masyarakat

Buddha Indonesia, maka saat ini umat Buddha Yogyakarta dapat dideskripsikan

sebagai berikut:

1. Jaringan Organisasi WALUBI di Yogyakarta

21Menurut data kependudukan DIY tahun 2014 (kependudukan.jogjaprov.go.id) hanya 218 jiwa22 Cetiya adalah bangunan tempat ibadah agama buddha yang kecil setara dengan istilah mushalla ataukapel

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6161

Di Yogyakarta organisasi yang tergabung dalam WALUBI baru terdapat

dua organisasi yaitu Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (PSBDI) dari

aliran Nichiren Sosyu dan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia

(MAPANBUMI) dari aliran Maitreya. PSBDI mempunyai basis umat dan

sekretariat di Vihara Vimalakirti Jl. Soka Baciro sedangkan MAPANBUMI

mempunyai basis umat dan sekretariat di Vihara Bodhicitta Jl. Kemetiran. Dua

organisasi ini selalu terlibat dalam kepanitiaan perayaan-perayaan Waisak

nasional di Candi Borobudur yang diselenggarakan oleh WALUBI setiap

tahunnya. Mereka membantu perayaan Waisak Nasional dari H-3 sampai dengan

upacara Waisak selesai23.

2. Jaringan organisasi KASI di Yogyakarta

Di Yogyakarta organisasi yang tergabung dalam KASI adalah Sangha

Agung Indonesia (SAGIN), Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) yang

mempunyai basis umat di vihara Buddha Praba Gondomanan, dan 9 Vihara di

Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu juga anggota KASI yang lain adalah STI dan

MAGABUDHI dengan basis umat di vihara Dharma Vijaya Berbah, Vihara

Karangdjati Sleman, Vihara Vidyaloka Umbulharjo, dan Vihara-vihara serta

cetiya di Kulon Progo yang berjumlah 6 lokasi.

SAGIN dan MBI adalah Umat Buddha aliran Buddhayana. Mereka

bersama Pemuda Buddhayana (Sekber PMVBI) dan Wanita Buddhayana

Indonesia tergabung dalam Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI). Pada tulisan

23 Wawancara dengan Misdiantoro pengurus YPSBDI Yogyakarta tanggal 2 Juni 2015

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6262

sebelumnya telah diuraikan bahwa aliran Buddhayana ini merupakan salah satu

organisasi yang kuat dan mempunyai basis massa terbesar di Indonesia termasuk

di Yogyakarta. Demikian juga dengan aliran Theravada, yang dimotori oleh

Keluarga Umat Buddha Theravada Indonesia (KBTI) terdiri dari STI,

MAGABUDHI, PATRIA dan WANDANI merupakan aliran Buddha dengan

penganut yang terbesar di Indonesia. Kedua aliran ini menjadi unsur penting

dalam perlawanan terhadap WALUBI baru.

D. Siti Hartati Murdaya, aktor Intelektual WALUBI (baru)

Membicarakan Walubi baru pasca bubarnya Walubi lama tidak bisa

dilepaskan dari seorang tokoh wanita Umat Buddha Siti Hartati Murdaya (SHM).

Inilah nama yang paling populer di kalangan umat Buddha ketika membicarakan

Waisak Nasional di Candi Borobudur semenjak bubarnya Walubi lama. Setiap kali

menyebut Walubi tidak bisa dilepaskan dari sosok Siti Hartati Murdaya. Dalam

terminologi Gramsci, Siti Hartati Murdaya bisa disebut sebagai intelektual yakni

mereka yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan

masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan

kebudayaan.

Siti Hartati Murdaya adalah seorang Umat Buddha yang taat dan pernah

bercita-cita menjadi Bhikkhuni namun tidak diijinkan oleh orang tuanya. Ia kemudian

meneruskan orang tuanya sebagai pengusaha yang mempunyai berbagai korporasi

besar di Indonesia. Hartati Murdaya bersama suaminya Murdaya Poo adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6363

pengusaha yang masuk dalam deretan 20 orang terkaya di Indonesia. Hartati menurut

majalah Forbes pada tahun 2008 berada di urutan ke 13 dan tahun 2012 sebagai

orang terkaya no 11 di Indonesia dengan kekayaan mencapai 1,5 Milyar Dollar US24.

Dalam situs tersebut juga diungkapkan aktifitas politik Siti Hartati Murdaya

yakni selain pengusaha beliau juga dekat dengan kekuasaan dan politik. Siti Hartati

Murdaya pernah menjadi kader GOLKAR dan menjadi Utusan Golongan di MPR

pada masa orde baru. Setelah orde reformasi, Siti Hartati Murdaya (SHM) juga

dikenal dekat dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sering terlihat

dalam pertemuan-pertemuan Partai Demokrat sebelum terjerat kasus skandal suap

dengan Bupati Buol tahun 2012.

Hartati Murdaya sering dianggap sebagai sosok paling bertanggungjawab atas

bubarnya Walubi lama. Hingga sekarang ia seringkali dituduh menggunakan

kekuasaannya dalam Walubi sebagai salah satu modalitas politiknya. Tidak heran jika

pada Waisak di era Walubi baru pejabat-pejabat papan atas Indonesia seperti Presiden

dan Wakil Presiden, menteri-menteri dan pejabat daerah dapat dihadirkan dalam

perayaan Waisak di Borobudur. Memang yang paling menonjol dari perayaan Waisak

oleh Walubi baru ini adalah bagian Dharmasanti Waisak sebagai ajang untuk

mempertemukan petinggi-petinggi negeri dengan tokoh-tokoh umat Buddha

Indonesia. Kemampuan Siti Hartati Murdaya dalam kepemimpinan WALUBI baru

merupakan modal hegemoni Walubi baru atas penyelenggaraan Waisak di

Borobudur. Dia berhasil mengatasi krisis hegemoni pasca bubarnya Walubi lama

24 http://www.orangterkayaindonesia.com/profil-siti-hartati-murdaya/ (diakses pada 1Desember 2015)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6464

dengan sangat cepat sehingga ketika Walubi baru hadir banyak orang tetap

memandang Walubi ini adalah yang paling pantas memperoleh akses terhadap Candi

Borobudur.

E. Perayaan Waisak Nasional Era WALUBI dan Pecahnya WALUBI

Seperti telah dijelaskan sedikit di bab sebelumnya bahwa perayaan Waisak di

Indonesia telah berlangsung sejak lama. Terutama pada zaman sebelum kemerdekaan

telah ada komunitas teosofi yang mempelajari agama Buddha. Mereka kemudian

melakukan praktik-praktik ritual dan spiritual di kawasan candi. Hal ini tidak lepas

dari sejarah Indonesia masa lampau bahwa agama Buddha pernah tumbuh dan

berkembang cukup luas dengan peninggalan-peninggalan artefak maupun situs candi

Buddha yang cukup banyak. Situs-situs arkeologi tersebut disakralkan bagi umat

Buddha dan tentu cocok dipergunakan sebagai locus ritual umat Buddha.

Pada awalnya para teosof mempergunakan candi yang masih berupa

reruntuhan sebagai tempat peringatan hari hari suci agama Buddha secara sederhana,

hingga lama kelamaan berkembang menjadi seperti event karnaval tahunan seperti

saat sekarang ini. Pada sub bab ini akan dibicarakan perayaan Waisak yang telah

berubah menjadi karnaval terutama sejak Waisak diurus oleh organisasi WALUBI

dan setelah WALUBI mengalami perpecahan.

Jika dilihat dari sejarah perayaan Waisak di Indonesia kita dapat memetakan

perayaan Waisak di Indonesia dalam tiga masa seturut dengan sejarah perkembangan

agama Buddha di Indonesia ini yaitu pada masa awal kebangkitan kembali agama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6565

Buddha di Nusantara pada masa kolonial yang telah dibicarakan pada bab

sebelumnya, era wadah tunggal WALUBI dan pasca pecahnya organisasi tunggal

umat Buddha menjadi WALUBI (perwakilan) dan KASI.

E.1. Perayaan Waisak Era Wadah Tunggal WALUBI

Telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa WALUBI merupakan wadah

tunggal organisasi-organisasi komunitas Umat Buddha di Indonesia. Berdasarkan

konsteks sejarahnya, fungsi awal WALUBI adalah untuk melakukan filtrasi terhadap

ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan Pancasila. Demi menjaga stabilitas

politik nasional, semua organisasi-organisasi disederhanakan pada era orde baru.

Selain sebagai media filtrasi WALUBI juga menjadi wadah kerukunan umat Buddha

Indonesia. Waisak adalah salah satu program WALUBI sebagai titik temu kerukunan

antar organisasi-organisasi umat Buddha. Waisak menjadi media saling

mempertemukan baik antar organisasi maupun dengan pemerintah.

Kegiatan pada hari Waisak dipusatkan di Candi Mendut dan Borobudur.

Tidak ada perayaan Waisak lain di seputaran Yogya dan Jawa Tengah pada saat

detik-detik Waisak kecuali di Mendut dan Borobudur ini. Konsentrasi massa umat

Buddha diarahkan ke Candi Mendut dan Borobudur. Umat Buddha dimobilisasi dari

daerah-daerah seperti Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progo, Kota Yogyakarta,

Temanggung, Kabupaten Semarang, Wonogiri dan daerah-daerah Pati-Jepara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6666

Mereka diberikan fasilitas bus-bus gratis25 yang akan mengantar umat Buddha ke

Candi Mendut dan membawa pulang kembali dari candi Borobudur usai perayaan

Waisak. Hal ini diungkapkan oleh Cipto Iyono salah seorang umat Buddha dari

Kulon Progo:

“kalau dulu Waisak sering ke Borobudur karena disewakan bus, umat tinggalberangkat bawa bekal ketupat. Banyak umat Buddha dari Gunung Kelir,Sanggrahan, Sonyo yang ikut. Berangkat pagi-pagi jam lima pulang malamjam sembilan” (Ciptoiyono, wawancara, 22 Mei 2014).

Semua pengikut dari ketiga aliran Buddha di Indonesia berpartisipasi dalam

acara Waisak Nasional ini. Meskipun demikian dominasi aliran Theravada tampak

pada Waisak di Borobudur. Hal ini tampak dari ritual dilakukan berdasarkan aliran

Theravada yakni dengan pembacaan Paritta. Hal ini tidak lepas dari peran para

tokoh-tokoh aliran Theravada yang cukup dominan dalam WALUBI daripada tokoh-

tokoh dari organisasi lain. Selain itu pengikut aliran Theravada memang jumlahnya

cukup besar di Indonesia.

Rangkaian upacara Waisak pada era wadah tunggal WALUBI tidak terlalu

banyak berbeda dengan upacara Waisak sebelum organisasi WALUBI ada. Saya

menduga alasan utama adalah karena tokoh-tokoh yang terlibat dalam acara Waisak

adalah orang-orang yang sama setiap tahunnya. Secara umum acara utama yaitu

pemujaan terhadap Buddha Gautama Sakyamuni dengan pembacaan paritta. Jika

terdapat modifikasi biasanya hanya supaya acara Waisak lebih menarik tanpa harus

keluar dari tradisi dan esensi ajaran Buddha. Acara ini disusun oleh panitia Waisak

25 Beberapa daerah ada yang disewakan bus secara gratis tetapi di beberapa daerah yang agak jauhhanya diberikan subsidi transport sehingga umat harus menyewa bus sendiri dan menambahi uangsewa bus jika masih kurang biayanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6767

yang terdiri dari para bhikkhu dan ketua-ketua majelis agama Buddha. Adapun acara

yang dilakukan adalah sebagai berikut (Astuti, Hermin Tri, 1998: 47-58):

a. Mengambil air Waisak di mata air Jumprit yang kemudian disemayamkan dan

disakralkan di candi Mendut dan nantinya di bawa ke Candi Borobudur

b. Mengambil api Waisak dari Mrapen Grobogan Jawa Tengah. Api ini berfungsi

sebagai simbol penerangan dan nantinya akan digunakan untuk menyalakan lilin-

lilin di Candi Mendut dan Borobudur.

c. Melakukan puja di candi Mendut dan berjalan kaki menuju ke Candi Borobudur.

Puja dilakukan oleh aliran-aliran yang ada di Indonesia. Pada prosesi ini diarak

relik suci Buddha dan barang persembahan diiringi dengan bendera merah putih

serta bendera Umat Buddha. Para peserta Waisak mengikuti prosesi jalan kaki

dari Candi Mendut menuju Borobudur.

d. Puja dan meditasi detik-detik Waisak di Candi Borobudur dilanjutkan dengan

ceramah pesan Waisak oleh Bhikkhu senior. Puja dilakukan dengan tatacara

Theravada sedangkan umat dari aliran lain mengikuti.

Antusiasme umat sangat tinggi meskipun hambatan transportasi kadang menjadi

kendala. Seorang umat Buddha asal Kulon Progo Ngatiri mengenang kehadirannya

pada Waisak di Borobudur Tahun 1980-an dengan berjalan kaki dari Girimulyo

Kulon Progo menuju ke Candi Borobudur,

“Dulu kami ke Mbudur jalan kaki lewat Samigaluh bawah Suroloyo bawa bekaltermos dan jalan sampai 8 jam, tapi rasanya ya senang saja karena memang belumada kendaraan ke sini” (Ngatiri, wawancara, 21 Mei 2014).

Hal serupa juga disampaikan Sumartini, ia merasa bangga menjadi bagian

perayaan Waisak. Dahulu ia sering diminta untuk menjadi petugas pembawa amisa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6868

puja26 dengan memakai pakaian Jawa bersama teman-teman sebayanya pada acara

Waisak di Borobudur:

“Pada waktu itu saya masih SMP dan sering diminta oleh panitia Waisak untukmenjadi pembawa amisa puja, rasanya bangga bisa terlibat dalam acara itu. Sayabertugas dalam Waisak zaman dulu berkali-kali tiap tahun”. (Sumartini,wawancara, 22 Mei 2014)

Ini menunjukkan antusiasme warga umat Buddha dalam merayakan Waisak

Nasional. Semangat keagamaan yang tinggi walaupun dalam keadaan yang belum

maju seperti sekarang. Kebanggaaan turut serta dalam perayaan Waisak muncul

ketika menjadi partisipan acara.

E.2. Waisak Pada Era WALUBI baru

Semarak Waisak di Candi Borobudur pasca bubarnya WALUBI tahun 1998

tidak surut meskipun tidak diikuti oleh organisasi-organisasi Umat Buddha dan

pengikutnya yang telah menyatakan diri keluar dari WALUBI lama dan membentuk

KASI. Banyak inovasi-inovasi acara dalam perayaan Waisak dilakukan oleh

WALUBI baru. Inti perayaan Waisak adalah puja bakti dan meditasi pada detik-detik

Waisak, namun sebelum maupun sesudahnya dapat dilakukan berbagai acara dalam

rangka mengekspresikan ajaran-ajaran Buddha.

Sebelum acara puncak perayaan Waisak di Borobudur biasanya telah

diadakan kegiatan-kegiatan menjelang Waisak diantaranya adalah tabur bunga di

makam taman pahlawan di berbagai provinsi seperti di DKI, Jogjakarta, Jawa

26 Benda-benda persembahan untuk altar. Dalam prosesi Waisak amisa puja selalu dibawa dari CandiMendut menuju Borobudur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6969

Tengah; pengobatan gratis; pengambilan air Waisak; pengambilan api Waisak;

pensakralan amisa puja; prosesi; dharmasanti dan pelepasan lampion.

Umat dari berbagai daerah utamanya kantong-kantong umat Buddha di bawah

binaan WALUBI diberikan fasilitas transportasi sehingga dapat termobilisasi di

Candi Mendut dan Borobudur. Pawai prosesi dari candi Mendut ke Borobudur dibuat

menjadi karnaval. Ornamen-ornamen Waisak menjadi sangat beragam dan seringkali

dirasa kurang bernuansa Umat Buddha. Hal ini disampaikan seorang tokoh umat

Buddha Theravada, BJ “Prosesi sekarang malah seperti tujuh belasan, terlalu ramai

malah tidak sakral”. Jadi Waisak dipandang sudah tidak lagi berorientasi pada

kesakralannya tetapi lebih pada kemeriahannya.

Adapun gambaran lengkap acara perayaan Waisak yang diselenggarakan oleh

WALUBI baru sebagai berikut:

1. Tabur bunga di Taman Makam Pahlawan

Acara ini dilaksanakan oleh pengurus-pengurus WALUBI, baik di Taman

Makam Pahlawan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Yogyakarta.

Kegiatan ini dalam agama Buddha dikenal istilah patidana yaitu melakukan

kebaikan atas nama para leluhur dengan tujuan supaya para leluhur lahir di alam

bahagia, demikian pula dengan para pahlawan harapan dari pengurus WALUBI

agar mereka yang telah berjasa dapat lahir di alam bahagia.

2. Bakti sosial pengobatan gratis di area Candi Borobudur

Acara pengobatan gratis diadakan oleh WALUBI sebagai manifestasi ajaran

welas asih terhadap sesama. Dengan bekerja sama dengan dokter-dokter, TNI dan

para relawan memberikan pelayanan pengobatan gratis bagi masyarakat sekitar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7070

Borobudur hingga dua hari berturut-turut. Di area Taman Lumbini Borobudur

didirikan tenda-tenda untuk pasien yang jumlahnya bisa mencapai ribuan pasien.

3. Pengambilan air Waisak di Jumprit Temanggung

Sebagai kelengkapan sarana persembahan, air dalam agama Buddha

mempunyai makna kesucian. Air sebagai unsur yang tak terpisahkan bagi

kehidupan begitu dipuja oleh umat Buddha, oleh karenanya dalam upacara-

upacara keagamaan Buddha air diambil dari mata air yang jernih. Dalam upacara

Waisak di Candi Borobudur air yang dipergunakan berasal dari sumber mata air

Jumprit di Temanggung. Mata air Jumprit inilah yang mengalirkan air hingga

melewati sungai Elo di Magelang sehingga wajar jika pengambilan air diambil

dari Jumprit. Dengan membawa kendi-kendi para Bhikkhu dan rombongan

pengambil air membawa air Waisak menuju ke Candi Mendut dengan iring-

iringan mobil.

4. Pengambilan Api Dharma di Mrapen Grobogan

Selain air, dalam agama Buddha juga terdapat simbol cahaya sebagai

manifestasi dari penerangan. Dalam upacara Waisak di Borobudur cahaya

biasanya diambil dari api alam di Mrapen Grobogan dengan cara membawa

semacam obor lalu diarak dibawa memakai mobil khusus pembawa api menuju ke

Candi Mendut. Sesampainya di Candi Mendut obor diterima oleh ketua DPP

WALUBI dan diserahkan kepada Dewan Sangha WALUBI untuk selanjutnya

digunakan menyalakan lilin-lilin di Candi Mendut.

5. Pembacaan mantra di Candi Mendut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7171

Seluruh barang-barang persembahan seperti air dari Jumprit dan Api dari

grobogan, relik Buddha, buah-buahan, bunga dan dupa ditata dan disemayamkan

di altar candi Mendut. Setelah segala persembahan tertata dengan baik, diadakan

upacara sembahyang untuk menghaturkan persembahan. Karena WALUBI terdiri

dari berbagai macam aliran baik Theravada, Mahayana, Tantrayana, Maitreya,

Nichiren, Tri Dharma dengan berbagai organisasi maka pensakralan tidak hanya

dengan tradisi Theravada namun berbagai tradisi. Dulu dilakukan secara

bergantian namun sekarang (Waisak tahun 2016) dilakukan secara bersamaan di

tenda-tenda organisasi sendiri, sehingga kita bisa melihat begitu ramainya acara di

Candi Mendut.

6. Pindapata Bhikkhu-bhikkhu di Jl. Pemuda Magelang

Pindapata adalah salah satu tradisi Umat Buddha kuno bagi para bhikkhu.

Para bhikkhu berjalan membawa mangkok dan umat-umat awam mendanakan

makanan dan menaruhnya ke dalam mangkok. Dalam rangkaian Waisak di

Borobudur hal ini dilakukan biasanya sehari menjelang upacara puncak Waisak

diadakan di Jl. Pemuda di Magelang dekat Kelenteng Magelang. Selain sebagai

rangkaian acara Waisak, hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan umat-

umat awam melakukan kebaikan dengan berdana.

7. Prosesi arak-arakan dari candi Mendut menuju Borobudur

Selesai mengadakan acara di Candi Mendut, upacara Waisak akan dilanjutkan

di Candi Borobudur. Barang-barang persembahan yang ada di altar candi Mendut

sebagian akan dibawa ke candi Borobudur seperti relik Buddha, air, lilin (api),

dengan diiringi oleh ribuan umat Buddha yang masing-masing membawa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7272

sebatang bunga sedap malam. Berjalan iring-iringan menuju ke Candi agung

Borobudur.

Barisan depan ditata berdasarkan urutan mulai dari mobil foraider polisi,

barisan mobil lambang negara Garuda Pancasila, barisan pembawa bendera umat

Buddha (panji umat Buddha) sekitar 18 orang, pembawa bendera WALUBI

sekitar 21 orang, pembawa bendera merah putih sekitar 30 orang, barisan

Bhinekkha, barisan pembawa sesaji buah (amisa puja), pembawa bendera

WALUBI, pembawa bendera Umat Buddha, pembawa bendera 10 majelis dalam

WALUBI, barisan bhikkhu yang dipayungi, barisan Silacarini/Brahmacariya27

dan barisan umat, barisan seni reog dan ambulans.

Namun demikian mengatur ribuan orang bukanlah hal yang mudah, tidak

semua yang berjalan menuju Candi Borobudur berjalan dengan hening dan penuh

penghormatan yang sering terjadi muncul adalah keramaian, saling mengobrol,

dan bercanda ria.

Belum lagi banyaknya penonton di sepanjang jalan dari Candi Mendut

menuju Borobudur begitu banyak, para penjual-penjual dadakan berjubel dan

kendaraan-kendaraan motor terparkir di pinggir-pinggir jalan semakin menambah

ketidaksakralan upacara prosesi dari Candi Mendut melewati candi Pawon dan

berakhir di Candi Borobudur.

8. Puja bakti detik-detik Waisak di Borobudur

27Orang yang menjalani kehidupan selibat dengan melaksanakan aturan-aturan moral dan berpakaianputih-putih. Secara hierarkis kedudukannya di bawah bhikkhu dan samanera

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7373

Setelah ribuan orang sampai di pelataran Candi Borobudur, para bhikkhu

melanjutkan dengan naik ke stupa utama Candi Borobudur dan mengelilingi

stupa tiga kali atau disebut pradaksina sambil membawa lilin dupa dan bunga

yang dirangkai. Setelah itu mereka turun menuju altar utama di pelataran Candi

Borobudur dan memulai upacara puja bakti detik-detik Waisak. Dengan

membaca paritta-paritta suci menganggungkan Buddha Gautama, bermeditasi

pada saat detik-detik sempurnanya bulan (detik-detik Waisak) dan

mendengarkan khotbah pesan Waisak dari bhikkhu sangha. Selesai memberikan

khotbah, para bhikkhu-bhikkhu yang lain kemudian mengambil air Waisak dan

memercikkannya kepada para umat Buddha yang hadir diiringi bacaan paritta.

Air ini menjadi simbol berkah Waisak bagi mereka yang turut hadir dalam acara

Waisak. Upacara Waisak diakhiri dengan kalimat penghormatan untuk Triratna

(Namakhara patha).

9. Pelepasan Lampion Waisak

Acara pelepasan lampion belum begitu lama baru pada tahun 2012 dimulai.

Filosofi dasar dari pelepasan lampion diambil dari tradisi-tradisi China dimana

orang biasa menyampaikan harapan kepada Tuhan dengan doa. Menulis doa dan

menerbangkannya dengan lampion. Acara inilah yang akhir-akhir ini begitu

menarik minat orang untuk datang dalam acara Waisak.

Hasil beberapa observasi dan wawancara penulis kepada beberapa orang yang

bukan beragama Buddha mengatakan motivasi datang ke acara Waisak adalah

untuk ikut acara melepas lampion. Mereka rela mengikuti acara dari pagi di

Mendut, membayar biaya pengganti lampion sebesar Rp. 100.000,00 per lampion

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7474

dan menunggu hingga malam pelepasan lampion. Bagi mereka suasana terang

rembulan berpadu cahaya yang menyorot keindahan Candi Borobudur dan dihias

ribuan lampion begitu indah dan romantis.

10. Dharmasanti Waisak

Dharmasanti Waisak adalah kegiatan seremonial sebagai ajang untuk

membangun komunikasi dan silaturahmi di kalangan umat Buddha dengan

lembaga pemerintah. Acara seremonial menjadi penting bagi kalangan umat

Buddha karena inilah momentum untuk umat Buddha bisa disentuh, diperhatikan

oleh pemeritah. Acara utama adalah sambutan dari wakil pemerintah.

Wakil pemerintah yang dimaksud adalah presiden, wakil presiden, menteri

agama dan jajaran pemerintah daerah Jawa Tengah atau Jakarta. Adalah

kebanggaan jika mampu menghadirkan seorang Presiden dalam acara

Dharmasanti ini. Adapun susunan acara dalam Dharmasanti biasanya adalah

pembukaan, sambutan ketua panitia penyelenggara, sambutan gubernur, sambutan

Presiden atau wakil presiden atau menteri agama, pesan Waisak oleh bhikkhu

sangha. Acara ini dirangkai dengan berbagai jenis hiburan kesenian.

Dharmasanti dilaksanakan sebelum acara puja bakti detik-detik Waisak tetapi

sering juga dilaksanakana setelah acara puja bakti detik-detik Waisak di

Lapangan Taman Lumbini di area Candi Borobudur. Selain diadakan di Candi

Borobudur juga terkadang dilaksanakan di Arena PRJ, di JI Expo Jakarta ataupun

di Jakarta Convention Center.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7575

F. Tersingkirnya umat Buddha KASI: Waisak Nasional Dikuasai WALUBI

Baru

Pasca bubarnya WALUBI lama dan terbentuknya dua organisasi umat

Buddha yaitu WALUBI baru dan KASI, perayaan Waisak di Candi Borobudur

menjadi arena perebutan bagi kedua organisasi ini. Adu modalitas menjadi hal

yang tidak terhindarkan. Masing-masing organisasi mempunyai capital untuk

saling mendominasi. WALUBI baru dapat dikatakan mempunyai kekuatan

modalitas ekonomi dan sosial, dimana kekuatan modal ekonomi yang dimiliki

ketua umum Siti Hartati Murdaya dan posisinya yang dekat dengan penguasa

menjadi kekuatan utama. Sedangkan di sisi lain kelompok organisasi KASI

memiliki dua kekuatan kapital yakni kapital simbolik dan kapital budaya. Waisak

adalah hal yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan yang sarat dengan nilai

spiritual dan oleh karenanya kehadiran simbol-simbol spiritual umat Buddha

seperti bhikkhu yang dipandang sebagai kaum ahli dalam ritual sangatlah penting.

Bhikkhu yang merupakan penggerak KASI selalu mendapatkan posisi yang tinggi

dalam masyarakat Umat Buddha dan akan diikuti serta didukung oleh umat

Buddha.

Seperti kita tahu bahwa Candi Borobudur semenjak ditetapkannya sebagai

world heritage telah bergeser fungsinya bukan lagi sebagai tempat sakral namun

sebagai komoditas pariwisata Indonesia. Munculnya PT Taman Wisata Candi

Borobudur jelas merupakan bentuk kapitalisasi tempat suci umat Buddha ini.

Penerapan tiket masuk bagi siapapun dan dalam kepentingan apapun pengunjung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7676

Candi Borobudur juga menjadi bukti kuat komodifikasi tempat suci ini. Umat

Buddha yang sering dikatakan sebagai “pemilik” Candi Borobudur pun tak lepas

dari kebijakan keharusan membayar tiket. Persoalan ini jelas tidak

menguntungkan bagi KASI sebagai organisasi yang tidak mempunyai pendanaan

sekuat WALUBI baru. Sedangkan bagi WALUBI baru soal ‘bayar - membayar’

bukan persoalan serius sehingga dengan mudah WALUBI baru dapat mengakses

Candi Borobudur sebagai simbol eksistensi umat Buddha pada waktu Waisak.

Sejak munculnya dua organisasi besar umat Buddha, WALUBI baru

selalu tampil menjadi ‘pemilik Borobudur sehari’. Para pendiri KASI dan umat

pengikutnya terutama di wilayah Jogja dan Jawa Tengah terpaksa merayakan

Waisak di masing-masing Viharanya. Beberapa umat Buddha pengikut KASI

pada awal-awal pecahnya WALUBI masih mencoba merayakan Waisak di Candi

Borobudur namun mereka menyadari sudah tidak ada lagi kenyamanan di sana.

Di sisi lain organisasi seperti STI dan MAGABUDHI mengeluarkan kebijakan

agar umat Buddha lebih menggiatkan kegiatan perayaan Waisak di vihara

masing-masing. Hal ini diungkapkan salah satu pengurus Vihara Karangdjati

Yogyakarta, Supriyanto: “Waisak kita lebih fokus ke vihara masing-masing saja

bagaimana supaya vihara tidak sepi, masa’ pas hari raya Vihara malah sepi

tidak ada kegiatan. Yang di Borobudur sudah ada yang ngurusi”. (wawancara,

Supriyanto, 15 Mei 2015)

Pada masa pemerintahan Gus Dur, KASI sedikit memperoleh dukungan

dari pemerintah dan mulai kelihatan eksistensinya. Berlanjut pada tahun 2004

diadakan negosiasi antara KASI, WALUBI dan Kementerian Agama dalam hal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7777

pengelolaan kepanitiaan Waisak di Candi Borobudur, hasilnya ada konvensi tidak

tertulis tentang pembagian pengelola Waisak nasional di Candi Borobudur28.

Pengelolaan Waisak nasional diadakan secara bergantian tiap tahunnya.

Tahun 2005 dilaksanakan oleh WALUBI, tahun 2006 untuk pertama kalinya

dikelola oleh KASI demikian seterusnya. Tetapi kesepakatan itu tidak sepenuhnya

berjalan sesuai seperti awalnya, karena WALUBI tetap saja menyelenggarakan

Waisak di Candi Borobudur meskipun jatahnya KASI. Hal ini terjadi ketika tahun

Waisak tahun 2010 dimana pada saat KASI menyelenggarakan Waisak di Zona 1

Candi Borobudur sedangkan WALUBI yang mestinya tidak menggelar Waisak di

Borobudur tetap menyelenggarakan di area Taman Lumbini.

“yang lucu ketika tahun 2010, saat itu jatahnya KASI tetapi WALUBI tetapsaja menyelenggarakan Waisak bahkan kita yang sudah buat altar di CandiBorobudur dilarang oleh orang PT Taman Wisata untuk tidak menyalakanlilin dan dupa yang besar, katanya bisa merusak Candi padahal kan sudahbiasa acara Waisak menyalakan lilin dupa besar. Itu ya pasti suruhannya ‘ibu’supaya Waisak KASI tidak meriah. Sejak saat itu KASI mulaimenyelengarakan Waisak tidak lagi berminat melaksanakan Waisak di candiBorobudur” (Wawancara, Parsiyono, Mei 2015).

Ketimpangan akses antara WALUBI baru dan KASI terhadap Candi

Borobudur terutama pada hari Waisak menjadi titik pembeda. Superioritas

ekonomi WALUBI baru tidak dapat ditandingi oleh KASI sehingga dengan

mudahnya KASI menjadi tersubordinan dalam aksestabilitas terhadap Candi

Borobudur. Lemahnya keputusan terkait pembagian penyelenggara Waisak

nasional dengan mudah dapat dikangkangi oleh WALUBI baru. Sementara sesuai

pengalaman penulis dalam kepanitiaan Waisak Nasional di Candi Borobudur oleh

28 wawancara dengan bhikkhu Dr. Jotidhammo Mahathera (ketua Sangha Theravada Indonesia) padasabtu 27 April 2013

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7878

KASI tidak solid. Hal ini karena masing-masing aliran dalam KASI sudah

membuat agenda-agenda perayaan Waisak di luar Candi Borobudur sebagai

bentuk eksistensi kelompok masing-masing. Dalam bab selanjutnya akan dibahas

bagaimana kelompok-kelompok aliran dalam agama Buddha Indonesia terutama

dua kelompok besar dalam KASI yakni Theravada dan Buddhayana melakukan

berbagai kegiatan dalam rangka ‘melawan’ WALUBI baru.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7979

BAB IV

PENOLAKAN MASYARAKAT UMAT BUDDHA KASI TERHADAP

PERAYAAN WAISAK NASIONAL CANDI BOROBUDUR DAN

USAHA MELAKUKAN HEGEMONI TANDINGAN

Bab ini merupakan bagian analisis dalam tesis ini. Bab ini membahas

bagaimana komunitas yang tergabung dalam organisasi KASI terutama aliran

Theravada (STI dan Magabudhi) dan Buddhayana (SAGIN dan MBI) sebagai

organisasi dengan jumlah pengikut terbesar diantara organisasi yang lain melakukan

perayaan Waisak. Perayaan Waisak di sini bukan lagi sebatas perayaan Waisak pada

umumnya namun secara ideologis adalah sebagai bentuk perlawanan atas dominasi

WALUBI baru pada Waisak Nasional di Candi Borobudur.

Bab ini akan diawali dengan berbagai pandangan negatif umat di bawah KASI

didukung oleh pengalaman-pengalaman masyarakat Umat Buddha lainnya yang

mengikuti perayaan Waisak Nasional oleh WALUBI baru. Selanjutnya akan

dijelaskan tentang kegiatan perayaan Waisak oleh umat Buddha di sekitar Yogyakarta

dan Jawa Tengah sebagai bentuk usaha melakukan ‘koreksi’ atas perayaan Waisak di

Candi Borobudur yang sudah dirasa jauh dari spirit awal mula perayaan Waisak.

A. Waisak Nasional WALUBI di Mata Masyarakat KASI

WALUBI baru sebagai panitia penyelenggara Waisak Nasional di Candi

Borobudur telah melakukan berbagai terobosan baru dalam penyelenggaraan

Waisak. Seperti telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya bagitu banyak

agenda perayaan Waisak Nasional yang sudah menjadi kegiatan paten tahunan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8080

Waisak sebagai ritual, sesuai dengan praktik puja dalam agama Buddha,

bukan saja sebatas ritual penghormatan teradap sesuatu demi memperoleh tujuan-

tujuan tertentu tetapi juga merupakan praktik pelaksanaan ajaran Buddha.

Kegiatan yang telah disusun oleh panitia Waisak tidak lain juga merupakan

bentuk patipati puja. Namun demikian tidak semua masyarakat Umat Buddha

terutama dari masyarakat pengikut KASI memandang kegiatan yang

dilaksanakan sesaui dengan ajaran Buddha. Banyak komentar-komentar miring

atas pelaksanaan rangkaian kegiatan perayaan Waisak.

A.1. WALUBI: Wanita Luar Biasa

Beberapa tahun silam sering dalam pergunjingan soal WALUBI dan

KASI muncul istilah “Wanita Luar Biasa”. Istilah ini acap kali kita dengar dalam

pembicaraan masyarakat Buddhis terutama di kalangan tokoh-tokoh KASI.

Namun celotehan tersebut akrab saya temui beberapa tahun yang lalu (sekitar

2009-an) ketika KASI mendapatkan jatah merayakan Waisak Nasional di candi

Borobudur namun tiba-tiba WALUBI baru juga melakukan hal yang sama di satu

sisi candi Borobudur.

Nama WALUBI sendiri sering dipelesetkan sebagian masyarakat Umat

Buddha menjadi “Wanita Luar Biasa”. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sosok

pemimpin WALUBI baru Siti Hartati Muradaya (SHM). Sosok Hartati Murdaya

dalam kepengurusan WALUBI memang sangat melekat mengingat sejak tahun

1998 hingga sekarang 2017 masih menjabat Ketua WALUBI. Siti Hartati

Murdaya memang memegang peranan penting dalam WALUBI sejak 1992 yakni

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8181

sebagai dewan penyantun WALUBI. Sebagai organisasi, WALUBI tentu tidak

lepas dari kebutuhan dana sehingga membutuhkan donatur besar seperti Siti

Hartati Murdaya. Pasca bubarnya WALUBI lama, Hartati Murdaya menjabat

ketua umum WALUBI baru yang tidak pernah tergantikan sebelum tersandung

kasus suap tahun 2012.

Pemelesetan nama organisasi WALUBI menjadi gelar bagi seseorang

merupakan salah satu bentuk penurunan makna (peyoratif). WALUBI sejak dari

Perwalian Umat Buddha Indonesia menjadi Perwakilan Umat Buddha Indonesia

merupakan organisasi besar yang legalitasnya diakui pemerintah dan sangat

akrab di telinga masyarakat Indonesia. Di dalamnya terdapat orang-orang penting

dan representasi masyarakat Umat Buddha Indonesia mulai dari Bhikkhu,

Pandita, Pengurus Majelis dan Upasaka-Upasika29. Namun organisasi ini

kemudian ‘diturunkan’ statusnya dari organisasi yang sifatnya komunal menjadi

personal “wanita luar biasa”.

Siti Hartati Murdaya memang adalah seorang wanita karir yang

cemerlang dengan berbagai usahanya. Berbagai prestasi dan kesuksesan telah

diraih dalam usaha yang dirintisnya. Namun demikian makna “wanita luar biasa”

di sini tidak untuk menunjuk pada prestasi karier usahanya namun mengarah

pada dominasinya atas WALUBI terutama semenjak menjadi WALUBI

Perwakilan. Posisinya sebagai ketua umum tiada pernah tergantikan.

A. 2. WaKubi dan rekor MURI

29 Sebutan bagi umat awam yang telah memeluk agama Buddha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8282

Tidak berhenti dengan celotehan Walubi sebagai “Wanita Luar Biasa”

Walubi baru menurut seorang bhikhu mestinya disebut WaKubi bukan Walubi.

Hal ini dilakukan untuk untuk membedakan dengan WALUBI (perwalian) dan

WALUBI (perwakilan) supaya masyarakat dapat mengetahui dengan jelas

perbedaan WALUBI baru dan lama. Dalam perbincangan saya melalui Blacberry

Messenger (BBM) menyoal tentang sejarah bubarnya Walubi beliau mengatakan:

“Kami tidak pernah keluar dari Walubi. Di bulan Agst 1998 jelasMagabudhi membacakan pernyataan di depan rapat Pleno DPP Walubitdk setuju Walubi dibubarkan. Tapi tdk digubris. Sangha2 juga tdkmenyatakan masuk menjadi anggota Wakubi. Dan... Ketum WaKUBIsudah 28 thn lebih belum juga berganti. Mungkin ingin menyamai PakHarto 32 tahun, atau lebih, supaya bisa dicatat di MURI” (wawancara, 8Februari 2017).

Selain soal WaKUBI pernyataan tersebut di atas adalah bentuk peyoratif

bagi seroang Siti Hartati Murdaya. SHM akan disandingkan dengan sosok

‘dkitator’ sekelas Presiden kedua RI Soeharto yang menjabat selama 32 tahun

tanpa ada yang berani mengganti. Durasi waktu mempimpin salah satu

organisasi dalam jangka waktu yang sangat lama disepadankan dengan

kediktatoran suatu rezim. Selain itu pernyataan tentang rekor MURI juga

merupakan bentuk ‘kegelian’ atas rentang waktu kepemipinan SHM. Rekor

MURI biasanya mencatat rekor-rekor yang spektakuler dan untuk prestasi-

prestasi besar namun di sini diturunkan untuk menunjuk posisi yang tiada

tergantikan dan merupakan ketidakwajaran dalam suatu organisasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8383

A.3. Bhikkhu Tidak Makan Amplop

Pindapata adalah tradisi Umat Buddha bagi para bhikkhu dalam

menerima dana makanan yang lumrah dilakukan. Pindapata juga merupakan

salah satu kegiatan yang selalu ada dalam rangkaian kegiatan Waisak di candi

Borobudur. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya pindapata digelar di

Magelang dekat sekretariat Walubi baru di Magelang.

Salah seorang tokoh umat Buddha sekaligus tokoh Theravada di

Yogyakarta Bing Soetrisno, memberikan komentar tentang pelaksanaan

Pindapata di Jl. Pemuda Magelang. Menurut beliau tradisi Pindapata yang

digelar oleh WALUBI menjelang perayaan puncak Waisak di Borobudur jauh

dari tradisi Umat Buddha yang selama ini diketahuinya:

“pindapata itu kan artinya berjalan membawa mangkok untuk menerimamakanan, namun yang kita lihat di acara Waisak-nya WALUBI adalahbhikkhu menerima amplop merah, malah seperti orang mengamen saja.Kalau amplop dan isinya kan tidak bisa dimakan” (Wawancara, BingSoetrisno,22 Mei 2015)

Foto liputan Waisak seringkali menangkap gambar para bhikkhu

menerima amplop merah yang dimasukkan ke mangkok para bhikkhu yang

berbaris. Dalam tradisi Umat Buddha di berbagai negara, pindapata adalah

kegiatan bagi para bhikkhu berjalan membawa mangkok dan menerima sedekah

makanan dari umat awam. Hal ini dilakukan bukan untuk mengemis namun

untuk memudahkan umat awam dalam memberi persembahan makanan kepada

Bhikkhu karena tidak perlu datang ke Vihara tempat bhikkhu tinggal. Yang

dipersembahkan oleh umat adalah kebutuhan makanan bagi para bhikkhu

sehingga tidak lazim jika mempersembahkan uang dan menaruhnya ke dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8484

mangkok (pinda: berjalan, pata: mangkok merupakan bahasa Pali). Hal ini yang

membuat Bing Soetrisno salah seorang tokoh Theravada di Yogya memberikan

komentar bahwa hal itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan tradisi Pindapata dan

meledeknya dengan seperti “mengamen “ dan “amplop tidak bisa dimakan”.

Berikut salah satu gambar yang saya temukan dari berita online Suara Merdeka.

Foto1. Pindapata acara Waisak Nasional di Jl. Pemuda Magelang diambildarihttp://berita.suaramerdeka.com/puluhan-bhiksu-turun-ke-jalan-terima-sedekah-umat/ diakses pada Jum’at, 10 Maret 2016.

A.4. Bhikkhu Bayaran

Banyaknya bhikkhu-bhikkhu yang hadir di acara Waisak Nasional bagi

kalangan warga KASI banyak mengundang pertanyaan. Dari sangha mana para

bhikkhu itu? Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa WALUBI baru tidak

mempunyai komunitas bhikkhu (Sangha) kecuali pribadi-pribadi Sangha yang

terbentuk dalam Dewan Sangha WALUBI, sehingga menurut beberapa umat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8585

Buddha bhikkhu yang hadir disana diragukan kebhikkhuannya. Hasil wawancara

dengan seorang yang tidak ingin disebut namanya mengatakan bahwa para

bhikkhu-bhikkhu itu adalah orang-orang bayaran.

“banyak bhikkhu yang hadir di Waisak WALUBI itu sekadar dipolesseperti bhikkhu, beberapa dari mereka adalah orang bayaran. Saya tahumereka bayaran karena ada tetangga saya yang juga sering jadi langgananikut jadi bhikkhu bayaran pada saat Waisak” (wawancara, nn, 17 Mei2015)

Bhikkhu bukanlah profesi. Seperti telah saya uraikan pada bab

sebelumnya bahwa Bhikkhu merupakan cara hidup bertapa (Pabbajjita) yang

menjalani praktik kehidupan spiritual, jauh dari nikmat keduniawian, harta dan

kekayaan. Posisinya dalam sosial kemasyarakatan umat Buddha begitu tinggi

karena dinilai yang paling serius menjalani praktik ajaran Buddha. Ujaran

‘sekadar dipoles’, ‘seperti bhikkhu’, ‘bhikkhu bayaran’, merupakan bentuk

sindiran keras bahwa oleh WALUBI apapun bisa dibuat melalui uang. Kualitas

kebhikkhuan jadi sangat direndahkan hanya demi berlangsungnya sebuah acara

ritual.

A.5. Sulit Khusyuk

Komentar negatif yang paling sering muncul pada penyelenggaraan

Waisak Nasional di Candi Borobudur adalah tentang ritual upacara Waisak yang

selalu jauh dari kekhusyukan. Ritual puja pada saat di Candi Mendut misalnya,

dimana semua majelis dan aliran Buddha di bawah WALUBI baru berkumpul di

masing-masing tenda. Ritual yang dilakukan secara bersamaan tidak ubahnya

seperti pameran ritual Umat Buddha. Hal ini dikatakan Misdiantoro, salah

seorang anggota Nichiren dari Yogyakarta yang notabene merupakan anggota

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8686

WALUBI sendiri. Misdiantoro mengatakan: “disini kita sembahyang secara

bersamaan, masing-masing majelis punya ritual tersendiri dengan sound system

sendiri, sebenarnya sulit khusyuk dan malah seperti pameran ritual”.

(wawancara, Misdiantoro, 1 Juni 2015)

Puja membutuhkan suasana sakral, hening dan tenang, sedangkan yang

terjadi pada ritual puja di Candi Mendut adalah keramaian karena banyaknya

orang lalu lalang baik penonton maupun para peserta. Suara ritual puja antar

tenda dari antar aliran dan majelis serta suara bising kendaraan di jalan raya

Mendut-Borobudur membuat suasana jauh dari kesakralan. Setidaknya ini adalah

pengalaman langsung penulis pada perayaan Waisak tahun 2015. Misdiantoro

mengatakan ritual ini seperti ‘pameran ritual’ yang jelas sangat menurunkan

makna puja sesungguhnya. Puja bukanlah ajang eksebisi antar aliran atau

majelis, namun ungkapan ‘pameran ritual’ merupakan bentuk protes atas suasana

yang terjadi.

Kesan jauh dari sakral juga diungkapkan oleh Susanto, salah seorang

umat Buddha asal Temanggung yang sekadar ‘coba-coba’ ikut Waisak di candi

Borobudur. Saya mengatakan ‘coba-coba’ karena Susanto adalah warga umat

Buddha Theravada di Kaloran Temanggung yang sebelumnya tidak pernah

mengikuti perayaan Waisak di Borobudur namun pada Waisak tahun 2015 dia

datang dan merasakan pengalaman Waisak pertamanya di Candi Borobduru. Dia

mengatakan: “sangat berbeda dengan Waisak yang diselenggarakan KASI dulu,

ini malah tidak ada bau-bau dupanya, tidak sakral sama sekali” (Susanto,

Wawancara tanggal 2 Juni 2015).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8787

Dalam ritual puja umat Buddha aroma dupa dan juga biasanya bunga

seperti sedap malam adalah sesuatu yang khas dan merupakan bagian tidak

terpisahkan dalam upacara ritual umat Buddha. Dupa dan bunga termasuk air,

lilin dan persembahan lainnya adalah bagian dari amisa puja yang mengandung

makna-makna ajaran Buddha seperti keharuman kebajikan (dupa), kesucian

pikiran (air), perubahan (bunga), penerangan dhamma (lilin), akibat perbuatan

(buah-buahan) dan keagungan Buddha (patung). Ungkapan ‘tidak ada bau-bau

dupa’ dan ditegaskan dengan ‘tidak sakral sama sekali’ dari Susanto dapat dibaca

sebagai ungkapan ada gap antara ideal puja Waisak dengan realitas yang

ditemui.

Salah seorang umat buddha dari Vihara Dharma Vijaya Berbah bapak

Putu Polos yang pernah mengikuti kegiatan Waisak di Candi Borobudur

mengatakan “acara di vihara sendiri-sendiri lebih khidmad dan memperoleh

makna Waisak, kalau di Borobudur hanya seperti hura-hura saja, sulit untuk

memperoleh ketenangan” (Wawancara, Putu Polos, 21 Mei 2015). Pak Putu

mengungkapkan bahwa sembahyang Waisak di vihara sendiri-sendiri terutama di

Vihara Karangdjati sebagai salah satu cara untuk menyelami Waisak yang lebih

terasa dari pada Waisak di Borobudur

Persoalan ketidaksakralan upacara Puja dalam perayaan Waisak di candi

Borobudur tidak bisa dilepaskan dari kebijakan PT Taman Wisata Borobudur,

pemerintah dan pihak umat Buddha (WALUBI) sendiri. Ibadah hari raya yang

menjadi tontonan adalah salah satu faktornya. Hal ini terjadi karena negara dan

korporasi (PT Taman Wisata Candi Borobudur) seperti sengaja menjadikan puja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8888

Waisak sebagai komoditas yang dapat menghasilkan pendapatan besar melalui

Candi Borobudur dan eventnya. Kebijakan tetap memberlakukan tiket masuk

dan membuka akses bagi semua pengunjung terutama pada hari Waisak adalah

tanda-tanda telah dikomodifikasikannya puja Waisak. Banyak orang di luar

Umat Buddha mungkin tidak menduga bahwa umat Buddha dalam

mempergunakan Candi Borobudur tetap diharuskan membayar tiket masuk.

Pada posisi ini umat Buddha tidak mempunyai daya tawar yang kuat dan

dengan terpaksa harus ‘berdamai’ menerima hegemoni kebijakan negara dan

korporasi soal penyelenggaraan Waisak. Sebagian umat Buddha menerima

kebijakan itu karena merasa bahwa sudah sepantasnya umat Buddha yang sering

mengklaim Candi Borobudur adalah milik umat Buddha mempunyai kontribusi

terhadap pemeliharaan candi. Ditambah lagi persoalan internal umat Buddha

yang sulit bersatu tidak mampu menjadi kekuatan untuk mendesak negara dan

korporasi membuat kebijakan baru yang lebih menghargai ibadah rakyat

kecilnya.

B. Waisak di Yogyakarta sebuah War of Position

Penolakan masyarakat Umat Buddha di bawah organisasi KASI bukan

hanya sebatas perlawanan pasif seperti dengan mengeluarkan celotehan,

ketidakhadiran atau memandang rendah Waisak di Candi Borobudur yang

diselenggrakan oleh WALUBI baru. Penolakan juga berupa aksi perayaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8989

Waisak dengan skala kecil-kecil namun lebih dirasakan sakral dan memberi

manfaat dalam kehidupannya.

Di awal-awal pecahnya WALUBI dan KASI, masyarakat Yogyakarta

terutama masyarakat Umat Buddha Theravada dan Buddhayana mengadakan

perayaan-perayaan Waisak tandingan untuk memperlihatkan eksistensi mereka.

Umat Buddha dari kelompok Buddhayana dan Theravada di Yogyakarta menjadi

motor penggerak perayaan Waisak selain di vihara-vihara di Yogyakarta dan

Candi Sewu

Adapun aktifitas perayaan Waisak di Yogyakarta sebagai bentuk

perlawanan mereka terhadap perayaan Waisak di Borobudur adalah sebagai

berikut:

1. Umat Buddha di bawah organisasi KASI di wilayah Sleman yaitu umat

Vihara Dharmavijaya Berbah, umat dari Cetiya Buddhakirti dan Umat

Vihara Karangdjati mengadakan persembahyangan detik-detik Waisak di

Vihara Karangdjati. Perayaan Waisak dengan acara yang sederhana yaitu

puja bhakti, meditasi detik-detik Waisak, pembacaan pesan Waisak dari

KASI oleh ketua Vihara, potong tumpeng dan acara keakraban seperti

pemberian hadiah-hadiah untuk umat yang telah mengikuti kegiatan-

kegaiatan yang diadakan Vihara Karangdjati menjelang perayaan Waisak.

Tri Widiyanto, salah satu pengurus Vihara Karangdjati mengatakan

bahwa vihara tidak boleh kosong pada saat hari perayaan Waisak, beliau

mengatakan:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9090

“banyak juga orang Jogja seperti para mahasiswa yang tidak pergi keBorobudur atau ke candi Sewu dan lebih suka puja bakti di Vihara inijadi ini semakin memantapkan pengurus vihara untuk tetapmengadakan perayaan di vihara sendiri. Para umat juga merasa lebihnyaman merayakan Waisak sederhana di Vihara Karangdjati ini”(Wawancara, Tri Widiyanto, 2 Juni 2015).

Kehadiran para mahasiswa sebagai simbol hadirnya komunitas

intelektual yang mampu berfikir lebih daripada umat Buddha biasa merupakan

point penting dalam simbol perlawanan terhadap apa yang WALUBI lakukan

dalam perayaan Waisak di Candi Borobudur. Kesederhanaan dan kesakralan

puja Waisak adalah bagian penting dalam perayaan Waisak. Namun hal ini jauh

dari apa yang dibayangkan umat Buddha di Candi Borobudur. Komunitas

intelektual muda melihat hal tersebut dan mendukung apa yang dilakukan

masyarakat Umat Buddha di Vihara Karangdjati.

1. Umat Buddha dari Vihara Vidyaloka yang merupakan binaan dari Sangha

Theravada Indonesia (STI) melakukan perayaan Waisak dengan menggelar

Puja Bakti detik-detik Waisak di Vihara Mendut Magelang. Ketika di Candi

Mendut dipakai untuk perayaan Waisak oleh WALUBI dengan hiruk

pikuknya, para umat dari Vihara Vidyaloka Yogyakarta bersama umat

Buddha di Magelang, Muntilan dan beberapa umat dari Parakan melakukan

ritual sederhana di Vihara Mendut yang berada persis di belakang Candi

Mendut. Menurut salah satu bhikkhu di Vihara Mendut Bhikkhu Jotidhammo

banyak umat Buddha yang ikut Puja Bhakti detik-detik Waisak di Vihara

Mendut antara lain umat dari Yogya, Semarang, Kudus, dan Muntilan

bahkan banyak pula peserta Waisak Nasional dari WALUBI yang juga ikut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9191

puja bakti. Metta salah satu umat Vihara Vidyaloka mengakui selain karena

lebih sakral dan khidmad karena dipimpin bhikkhu senior, umat juga lebih

suka ikut puja bhakti di Vihara Mendut karena sekalian menonton perayaan

Waisak di Candi Mendut:

“...karena Bhante Joti pembina kita maka kita ikut puja bakti Waisak diVihara Mendut, biasanya bhante yang mimpin detik-detik Waisak.Sebelum puja bakti detik-detik kami juga sekalian bisa nonton hirukpikuknya orang merayakan Waisak di Candi Mendut. Kalau lagisembahyang bersama ramai sekali dari berbagai sekte ada jadi kami bisanonton cara sembahyangnya sekte lain” (Metta, wawancara, 7 Juni2015)

Bhante30 Joti (Jotidhammo Mahathera) adalah seorang bhikkhu senior

dalam Sangha Theravada Indonesia. Beliau sempat menjadi ketua umum

(Sanghanayaka) Sangha Theravada Indonesia pada periode 2009-2016.

Beliau juga sangat mengerti tentang perjalanan WALUBI dan proses-proses

penyelenggaraan Waisak di candi Borobudur. Selain sebagai bhikkhu beliau

adalah pengajar (dosen) di Lembaga Pabbajja Samanera (LPS)31 Mendut,

dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang, dosen tamu

pada Center For Religius and Cross Cultural Studies (CRCS) Universitas

Gadjah Mada (CRCS UGM). Bhikkhu Jotidhammo berdomisili di Vihara

Mendut Magelang tetapi membina secara khusus organisasi pemuda

Vidyasena di Vihara Vidyaloka.

30 Panggilan untuk seorang Bhikkhu31 Sekolah untuk para samanera (calon bhikkhu) pada Sangha Theravada Indonesia (STI)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9292

Metta sebagai salah satu informan merupakan mahasiswa di salah

satu perguruan tinggi di Yogya dan merupakan anggota Vidyasena. Bhikkhu

Jotidhammo dan Vihara Mendut memang tidak pernah mengundang umat

binaannya untuk hadir pada puja bakti detik-detik Waisak, mereka hadir

dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa Vihara Mendut dan Bhikkhu

Jotidhammo serta bhikkhu-bhikkhu yang tinggal di Vihara Mendut

mempunyai kepemimpinan moral dan intelektual sehingga dengan

kesadarannya masyarakat Umat Buddha di bawahnya hadir bersama-sama

melakukan puja di Vihara Mendut yang jelas posisinya dekat dengan

perayaan Waisak Nasional. Mereka yang hadir di Vihara Mendut mengambil

jarak dengan Waisak Nasional dan memperlakukan Waisak Nasional tak

lebih sebagai tontonan belaka.

2. Umat Buddha di wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan binaan STI dan

MAGABUDHI di bawah organisasi KASI. Mereka terdiri dari 5 vihara 1

cetiya, kurang lebih 1000 umat Buddha berada di wilayah Kabupaten Kulon

Progo ini. Dalam perayaan Waisak mereka mengadakan acara Waisak di

vihara masing-masing. Mereka menyambut Waisak dengan berbagai macam

kegiatan misalnya nyekar di makam keluarga, bakti sosial bersih lingkungan,

pengambilan air di sumber-sumber mata air dekat vihara, puja bakti

selamatan dan kenduri Waisak, serta puja bakti detik detik Waisak.

Tahun 2016 misalnya Waisak di Kulon Progo dirayakan secara besar

bahkan telah dilakukan sebulan sebelum hari Waisak tiba. Umat Buddha

Kulon Progo adalah umat Buddha dari suku Jawa sehingga dalam merayakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9393

Waisak unsur budaya Jawa sangat kental. Upacara ritual seperti kirab amisa

puja, tirta amerta, kenduri Waisak dan puja mangala Waisak dilakukan

dengan tradisi Jawa baik pakaian ritual, bahasa maupun sesajiannya.

Vihara Giriloka misalnya, sebagai pusat kegiatan pada Waisak 2560

tahun 2016 mengangkat tema “memayu hayuning bawana lumantar laku

welas asih”. Menurut Sumartini sebagai salah satu pencetus tema

mengatakan bahwa Waisak mestinya bukan hanya sebagai ajang unjuk

eksitensi umat Buddha saja namun harus mampu menjadi momentum umat

Buddha untuk sadar diri menjadi bagian alam semesta yang harus senantiasa

memberi manfaat bagi alam semesta.

Salah satu acara besar yang diselenggarakan dalam rangka menyambut

hari Waisak di Kulon Progo pada tahun 2016 adalah “Tri Buana Manggala

Bhakti” yaitu wujud bakti pada alam dengan penanaman pohon di

pegunungan Menoreh, pelepasan satwa ikan dan burung di Taman Sungai

Mudal Jatimulyo. Menurut Surahman salah satu penggagas acara ini

mengatakan:

“Tri Buana Manggala Bakti mengandung makna bahwa sebagai umatBuddha perlu berkontribusi pada pelestarian alam semesta sepertipelestarian mata air dengan penanaman pohon, pelepasan berbagaijenis burung dan ikan. Jika di Borobudur mereka menerbangkanlampion dalam jumlah banyak yang justru mengotori udara, kita disiniberusaha untuk menjaga kualitas udara dengan menanampohon”.(Surahman, wawancara,16 Mei 2016)

Gagasan baru yang diusung oleh masyarakat Umat Buddha di Jatimulyo

Kulon Progo dalam perayaan Waisak merupakan bentuk ekspresi perayaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9494

Waisak yang lebih substansial dibandingkan dengan perayaan-perayaan yang

bersifat seremonial. Sepertri telah diuraikan bahwa puja (khususnya patipati

puja) yang paling tinggi adalah praktik Dharma yang diajarkan oleh Buddha.

Nilai-nilai harmoni terhadap alam, cinta kasih dan kepedulian terhadap

penderitaan telah diusung dalam kegiatan Wiasak oleh masyarakat Umat Buddha

di Jatimulyo. Dengan tegas dikatakan oleh Surahman dalam wawancara tersebut

bahwa pesta lampion yang begitu indah dan memukau wisatawan di Candi

Borobudur justru bukanlah cerminan ajaran Buddha. Penanaman pohon,

pelepasan satwa dan pelestarian sumber mata air menjadi sebuah counter apa

yang dilakukan oleh WALUBI yaitu event lepas lampion.

Secara umum jika kita tarik benang merah umat Buddha aliran Theravada

di bawah binaan MAGABUDHI dan STI lebih menekankan perayaan Waisak

pasca pecahnya WALUBI-KASI dengan melakukan ritual Waisak di Vihara

masing-masing. Hal ini juga tidak lepas dari himbauan yang pernah dilakukan

oleh Pengurus Pusat MAGABUDHI melalui surat edaran kepada umat Buddha

di bawah binaan Theravada Indonesia untuk lebih memberdayakan kegiatan di

Vihara masing-masing dalam merayakan Waisak.

Perayaan Waisak yang justru dikelola oleh umat Buddha sendiri di Kulon

Progo ini justru lebih membuat umat Buddha lebih merasakan makna Waisak.

Hal ini diungkapkan oleh Ibu Satimah salah satu umat Buddha di Vihara

Giriloka:

“kalau dulu Waisak kita sering disuruh ke Borobudur, harus berangkatpagi-pagi pulang sore sampai malam ya memang senang karena bisaberkumpul dengan umat Buddha dari berbagai daerah, tapi kalau masalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9595

makna Waisaknya kita lebih sakral di sini (di vihara) kita bisa benar-benar bermeditasi Waisak dan bisa saling mengucapkan Waisak bersamaumat disini rasanya lebih indah”. (Satimah, wawancara, 22 Mei 2016)

Pernyataan Satimah seorang warga umat Buddha di Jatimulyo dalam

wawancara ini semakin mempertegas pentingnya suasana sakral dalam puja

Waisak. Ketika sebuah institusi (panitia) tidak mampu menciptakan kesakralan

dalam suatu ritual upacara maka biasanya para umat akan mencari dan memilih

perayaan mana yang bisa memberikan makna mendalam dalam suatu uapacara

ritual Waisak.

3. Perayaan hari raya Asadha di Candi Borobudur oleh KBTI

Kerinduan masyarakat Umat Buddha di bawah kelompok Theravada

Indonesia terhadap ritual Waisak di Candi Borobudur akibat dominasi WALUBI

nampaknya ditangkap oleh para petinggi Keluarga Umat Buddha Theravada

Indonesia (KBTI). KBTI membuat acara ritual keagamaan hari raya agama

Buddha yang lain di Candi Borobudur. Selain Waisak dalam agama Buddha

terdapat juga hari raya Asadha, Kathina dan Maghapuja. KBTI memilih hari raya

Asadha untuk dirayakan di Candi Borobudur. Asadha merupakan hari raya untuk

memperingati pertama kali Buddha Gautama memberikan ajaran Dharma

kepada lima orang murid pertama. Asadha dirayakan dua bulan setelah Waisak.

Mulai tahun 2015 Sangha Theravada Indonesia dengan didukung oleh

organisasi Theravada lainnya menyelenggarakan perayaan Asadha di Candi

Borobudur. Acara juga dirangkai dengan pembacaan Tipitaka kitab agama

Buddha selama tiga hari dan pada puncaknya melaksanakan Puja bakti Asadha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9696

dengan diawali prosesi layaknya Waisak dari candi Mendut menuju ke candi

Borobudur.

Perayaan Asadha ini selain sebagai bentuk perlawanan terhadap

WALUBI juga bisa kita pandang sebagai bentuk negosiasi terhadap komunitas

umat Buddha Theravada supaya dapat kembali merasakan kesakralan Candi

Borobudur. Dengan basis massa yang cukup besar acara perayaan Asadha. Ini

merupakan war of position KBTI terhadap WALUBI. Jika para intelektual KBTI

mampu menjaga hegemoni maka bukan tidak mungkin bahwa medan eksistensi

akan bergeser ke KBTI.

4. Waisak Nasional Candi Sewu Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI)

Perayaan Waisak yang cukup besar di sekitaran Yogyakarta adalah

Waisak yang digelar oleh Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI). Umat Buddha

dari Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta yang terdiri dari 9 vihara dengan

jumlah umat yang cukup banyak bersama ribuan umat Buddha dari berbagai

wilayah di Indonesia khususnya Jawa Tengah dan DIY,turut serta dalam

perayaan Waisak di Candi Sewu ini.

Inilah kegiatan perayaan Waisak yang dapat dikatakan sebagai Waisak

Nasional tandingan dari Waisak Nasional Candi Borobudur. Hal ini dapat dilihat

dari bagaimana Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) mengambil tempat

pelaksanaan, ritual dan seremonial serta melihat jumlah massa pesertanya. Dari

tempat pelaksanaanya, perayaan ini dilaksanakan di kompleks Candi Sewu yang

merupakan salah satu Candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Dari

ritual dan seremonialnya sangat mirip dengan apa yang dilaksanakan di Candi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9797

Borobudur seperti ritual mengambil api, air, prosesi mengarak amisa puja, detik-

detik Waisak hingga Dharmasanti. Dari jumlah massa pesertanya, Waisak di

Candi Sewu juga melibatkan ribuan peserta yang bukan hanya dari umat Buddha

Yogjakarta dan Jawa Tengah saja namun juga dihadiri dari umat Buddhayana

dari berbagai daerah. Demikian pula pendukung acara ini tidak hanya dari

Yogyakarta saja namun juga didukung oleh Keluarga Buddhayana dari pusat

(Jakarta).

Perayaan Waisak di Candi Sewu dimotori oleh Bhikkhu dari Wonosari

Yogyakarta Sasana Bodhi Thera. Beliau adalah seorang bhikkhu pembina

Sangha Agung Indonesia (SAGIN) wilayah Yogyakarta yang juga merupakan

pembina di Vihara Jina Dharma Sradha Wonosari Gunung Kidul. Selain sebagai

bhikkhu pembina Buddhayana di Yogyakarta, Bhante Sasana Bodi juga

merupakan mantan ketua sekolah tinggi agama Buddha di Boyolali yaitu STIAB

Smaratungga Boyolali. Hal ini menjadi modal sosial bagi Bhikkhu Sasana Bodhi

untuk dapat menyelenggarakan Waisak Nasional di Candi Sewu. Dalam

kacamata Gramsci, Bhikkhu Sasana Bodhi adalah intelektual organik yang

mempunyai pengaruh besar berlangsungnya Waisak Nasional di Candi Sewu.

Waisak di Candi Sewu mulai berlangsung sejak tahun 2004 sebagai

respon keterbelahan organisasi KASI dan WALUBI yang berimbas pada praktik

perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur. Dominasi WALUBI pada

perayaan Waisak Nasional Candi Borobudur membuat KBI perlu membuat

perayaan Waisak seperti di Candi Borobudur. Meskipun tidak ada larangan

terhadap umat Buddha warga KASI untuk menghadiri Waisak Nasional di Candi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9898

Borobudur banyak warga Umat Buddha KASI tabu untuk datang ke Candi

Borobudur.

Hal ini pula yang membuat Keluarga Buddhayana Indonesia (SAGIN,

MBI, WBI dan SEKBER) wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk membuat

alternatif kegiatan Waisak. Atas prakarsa dari Bhikkhu Sasana Bodhi, dibuatlah

acara Waisak di Candi Sewu. Kekuatan jaringan umat Buddha di Yogyakarta,

Boyolali, dan Semarang serta STIAB Smaratungga Boyolali menjadi motor

acara Waisak di Candi Sewu secara besar.

“Latar belakang diselenggarakannya acara Waisak di Candi Sewu adalahtidak terakomodirnya umat Buddha dari Keluarga Buddhayana Indonesiadalam perayaan Waisak nasional di Candi Borobudur yang dimonopolioleh WALUBI, sehingga candi Sewu menjadi alternatif untuk kegiatanWaisak” (Sasana Bodhi, wawancara, 15 Desember 2015).

Dari pernyataan Bhante Bodhi di atas jelas bahwa perayaan Waisak di

Candi Sewu merupakan bentuk perlawanan subordinan atas dominasi WALUBI.

Perlawanaanya tidak lagi tersebunyi dan tersirat dalam ucapan-ucapan peyoratif.

Strategi perlawanan yang diambil menggunakan strategi perlawanan langsung

melalui ritual-ritual Waisak.

Dari tahun ke tahun acara Waisak di Candi Sewu ini terus dikenal oleh

masyarakat Umat Buddha di berbagai daerah. Tahun 2014 Waisak di candi Sewu

ini dihadiri kurang lebih 7.000 umat Buddha. Umat Buddha dari Yogyakarta,

Kaloran Temanggung, Jepara, Pati, Kabupaten Semarang hadir melaksanakan

puja bakti Waisak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9999

Tahun 2014 Waisak Candi Sewu menjadi semakin dikenal masyarakat

luas, ketika calon presiden Jokowi turut menghadiri acara Waisak tersebut

(http://buddhazine.com/boediono-hadiri-Waisak-di-candi-borobudur-jokowi-di-

candi-sewu/ diakses tgl 14 okt 2016). Pesona Gubernur Jakarta yang dicalonkan

menjadi Presiden dari PDIP yang hadir dalam Waisak di Candi Sewu seakan

memberi harapan baru bahwa pemerintah (nantinya) akan memperhatikan orang-

orang terpinggirkan seperti umat Buddha warga KASI. Salah seorang umat

Buddha yang hadir pada waktu itu cukup terkejut dan senang atas kehadiran

Jokowi:

“saat itu kami tidak menyangka pak Jokowi tiba-tiba hadir di Waisak,senang sekali karena bisa bersalaman dengan pak Jokowi orangnyamerakyat, saya juga berdo’a semoga beliau menang Pilpres dan ternyatamemang menang”(wawancara, Marsinem, 14 Oktober 2016)

Ungkapan Marsinem dan saya menduga juga merupakan sebagian besar

ungkapan umat Buddha di bawah KASI adalah bentuk kerinduan ‘disentuh’ oleh

penguasa. Jokowi meskipun saat itu belum menjabat sebagai presiden RI sudah

dibayangkan sebagai penguasa negeri yang akan memberi harapan baru

‘menyentuh’ masyarakat terpinggirkan. Sapaan Jokowi dalam Waisak di Candi

Sewu menjadi setitik embun harapan bagi umat Buddha.

Rangkaian acara Waisak di Candi Sewu tidak jauh berbeda dengan

Waisak nasional di Candi Borobudur, pada puncak ritual adalah puja bakti detik-

detik Waisak. Hanya saja rangkaian acara Waisak di Candi Sewu berubah setiap

tahunnya, terkadang dirayakan secara besar-besaran namun ada kalanya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100100100

dirayakan secara sederhana. Hal ini juga dirasakan oleh Risky salah satu umat

dari Gunung Kidul yang sering juga terlibat dalam acara Waisak di Candi Sewu:

“kalau Waisak tahun ini (2016) di Candi Sewu hanya sederhana sekalitidak ramai-ramai, umat Gunung Kidul datang jam 10 malam lalumengikuti Dharmasanti sambil menunggu acara sembahyang jam 1 pagidan puja bakti detik-detik jam 4. Beda dengan 2 tahun kemarin banyakpentas-pentas seni, prosesinya juga panjang dan bagus ada marchingband-nya. Yang paling berkesan saat pak Jokowi datang acaranya ramaisekali, ada pertujukan wayang juga” (Risky, wawancara, 14 Oktober2016)

Adapun rangkaian acara Waisak yang saya dapatkan adalah perayaan

Waisak Nasional 2559 BE tahun 2015, acaranya sebagai berikut:

1. Pengambilan air Waisak serta pengambilan api alam di Mrapen

Seperti prosesi Waisak nasional WALUBI, dalam prosesi Waisak di

candi Sewu juga terdapat pengambilan air Waisak. Bahkan tidak hanya dari

satu sumber mata air namun dari 7 sumber mata air. Sebagai contoh pada

Waisak 2556 tahun 2015 hari Selasa tanggal 2 Juni 2015 dimulai pukul 06.00

pagi dilakukan dua acara yaitu pengambilan air dan api alam Mrapen.

Air suci diambil dari Umbul Jumprit, Pikatan, Senjoyo, Candi Umbul,

Jolotundo, Umbul Pengging, dan Sendang Pitutur. Tujuh sumber

mengandung makna tujuh faktor pencerahan. Pengambilan air dipimpin oleh

para bhikkhu yang dibagi dalam beberapa kelompok sesuai sumber air yang

diambil. Air ini kemudian di bawa ke candi Lumbung dekat Candi Sewu

untuk nantinya di arak ke altar Candi Sewu.

Selain pengambilan air, panitia dan Sangha juga melakukan

pengambilan api alam dari Mrapen. Api adalah lambang dari penerangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101101101

sehingga hal ini menjadi bagian penting dalam upacara Waisak. Pengambilan

dilakukan dengan memakai obor seperti api PON. Api alam ini nantinya akan

digunakan sebagai sarana untuk menyalakan pelita-pelita di altar. Air dari

tujuh sumber dan api dari Mrapen tiba di lokasi pada pukul 15.00 dan

disemayamkan di Candi Lumbung.

2. Prosesi membawa amisa puja ke altar candi Sewu

Upacara Waisak diawali dengan prosesi mengarak persembahan seperti relik,

air dari tujuh sumber, bunga, api, gunungan sayur dan buah dengan dipayungi

berwarna keemasan dari Candi Lumbung menuju altar Candi Sewu pada jam

15.00 - 17.30. Adapun urutan barisan prosesi pada Waisak 2556 tahun 2015

sebagai berikut:

1). Liong Samsi dari Vihara Metta Buddha dari Sumbing Wonosobo

2). Marching Band oleh mahasiswa STIAB Smaratungga Boyolali

3). Bendera merah putih dan panji-panji Umat Buddha sebanyak 16

petugas dari SMK Pembangunan Ampel Boyolali

4). Barisan Bhinekha Tunggal Ika

5). Sarana puja api obor diikuti lilin pancawarna, air suci, bunga dua

pasang dan buah dua pasang, manisan sepasang, dan dupa oleh

muda-mudi dari Gunung Kidul Yogyakarta

6). Gunungan Tumpeng dan Gunungan Palawija sebanyak 8 orang dari

Gunung Kidul

7). Drum band dari SMP Smaratungga Boyolali Jawa Tengah

8). Barisan kesenian tradisional seperti Topeng Ireng dan Jathilan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102102102

9). Bhikkhu pembawa relik yang dibawa bhikkhu dengan dipayungi

warna keemasan dan barisan Para Bhikkhu, bhikkhuni, samanera,

samaneri yang berbaris rapi dan khidmad berjalan diikuti umat

dengan membawa bunga sedap malam menuju altar utama.

Selanjutnya, Air Suci, Api Dharma, bunga dan relik dipersembahkan

di Altar Utama Candi Sewu oleh bhikkhu yang sudah ditunjuk,

kemudian dilanjutkan dengan prosesi penyalaan pelita oleh sangha

pada waktu menjelang senja dan barisan bhikkhu maupun umat

menempati karpet yang telah dipersiapkan oleh panitia.

3. Persembahyangan di Candi Sewu

Ketika Altar Waisak sudah lengkap acara dilanjutkan dengan

sembahyang baik dengan tradisi Tantrayana, Mahayana maupun Theravada

yakni membaca Sutra, Paritta dan Mantra yang diikuti oleh para peserta yang

telah hadir. Sembahyang ini dilakukan satu jam mulai dari jam 18.00 sampai

19.00 diawali dengan penyalaan lilin altar oleh Bhikkhu Sangha.

4. Dharmasanti Waisak

Momen puncak Waisak adalah pada saat detik-detik Waisak yang bisa

jatuh kapan saja baik pagi dini hari, siang maupun malam tergantung dari

titik sempurna bulan purnama menurut perhitungan astronomi. Biasanya

detik-detik telah dapat diketahui dalam kalender-kalender vihara. Jeda waktu

antara prosesi Waisak dan detik-detik Waisak selain digunakan untuk

sembahyang dengan tiga tradisi, biasanya juga digunakan untuk acara

seremonial Dharmasanti yang berisi sambutan dan hiburan pentas seni.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103103103

Sambutan oleh panitia, DPP Majelis Buddhayana Indonesia dan dari Bimas

Buddha Kementerian Agama RI. Adapun Dharmasanti pada Waisak 2559

tahun 2016 sebagai berikut:

a. Penyalaan lilin perdamaian oleh tokoh lintas agama dan penghayat

kepercayaan dalam hal ini dilakukan oleh anggota Forum

Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogya

b. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya

c. Pembacaan ayat kitab suci Dhammapada oleh mahasiswa STIAB

Smaratungga

d. Prakata ketua umum oleh ketua Waisak Candi Sewu

e. Penampilan paduan suara dari STIAB Smaratungga yakni Mars

Buddhayana, Mars Wanita Umat Buddha Jaya, Mars Sekber PMVBI.

f. Pesan Waisak oleh SAGIN biasanya hal ini mengacu pada tema yang

telah ditetapkan

g. Sambutan-sambutan: DPP MBI disambut dengan lagu Dharmagita

Semangat Buddhayana versi gamelan; sambutan Dirjend Bimas

Buddha disambut dengan lagu Dharmagita Berkah Waisaka Puja;

penyerahan piagam penghargaan kepada tokoh umat Buddha.

5. Puja Bhakti detik-detik Waisak

Setelah acara-acara seremonial dilanjutkan dengan acara ritual

Waisak sebagai puncak acara yaitu puja bakti detik-detik Waisak. Acaraa

diawali dengan pradaksina mengelilingi candi sewu sebanyak tiga kali searah

jarum jam dengan membawa bunga sedap malam dan dupa. Setelah semua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104104104

umat Buddha melakukan pradaksina kemudian menuju altar dan melakukan

puja bakti dengan tradisi Theravada membaca Paritta.

Pada pukul 23.18.43 seluruh umat Buddha hening melakukan meditasi

detik-detik Waisak kurang lebih selama lima menit. Upacara dilanjutkan

dengan pemercikan air berkah Waisak kepada seluruh umat yang hadir

sebagai simbol berkah telah tercurah. Puja bakti ditutup dengan melakukan

sujud penghormatan kepada Tiratana menghadap altar Buddha. Setelah itu

umat membubarkan diri pulang ke daerah masing-masing dan membawa air

Waisak yang telah dipersiapkan oleh panitia.

Waisak yang diselenggarakan di Candi Sewu oleh Keluarga

Buddhayana Indonesia memang cukup menarik dan bisa menjadi alternatif

umat Buddha. Hal ini disampaikan oleh Tri Utami asal Kaloran Temanggung

yang mengatakan bahwa tiap tahun umat Buddha di Kaloran sekarang sering

ikut Waisak di Candi Sewu.

“Kalau ke Borobudur kan dulu sudah sering dan malah orang seringhanya kecapekan dan tidak bisa sembahyang, mereka hanya suka bisa keCandi Borobudur. Namun sekarang malah banyak yang ikut ke CandiSewu, ada yang dari Glethuk, Delen, Wates dan banyak daerah-daerahKaloran ke sana. Orang Wonosobo juga sering kesana. Apalagi banyakanak-anak muda Temanggung kuliah di STIAB Smaratungga sehinggamereka menginfokan ke orang tua dan pengurus Vihara disana. Merekayang sudah pernah mengikuti di Candi Sewu juga bercerita di Sewu lebihkhusyuk dan indah, jadi tahun depan depannya banyak lagi yang ikutWaisak di Sewu” (Tri Utami , Wawancara, 15 Oktober 2016)

Dalam beberapa event Waisak yang telah digelar di Candi Sewu juga

sering diadakan acara kenduri Waisak dan potong tumpeng sebagai wujud

kebersamaan dan syukur. Hal ini cukup menarik masyarakat Umat Buddha di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105105105

berbagai wilayah untuk mengikuti perayaan Waisak di candi Sewu.

Kepemimpinan secara intelektual dan moral oleh Bhikkhu Sangha dari SAGIN

menjadi kekuatan bagaimana dapat menjadikan Waisak di Candi Sewu sebagai

cara menghegemoni balik masyarakat Umat Buddha. Masyarakat secara tanpa

paksaan dan tanpa mobilisasi umat dengan uang mau mengikuti perayaan

Waisak di Candi Sewu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106106106

BAB V

KESIMPULAN

Dari data dan analisa yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya

dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait relasi kuasa antara perayaan Waisak

di Borobudur dan Perayaan Waisak-Waisak lain di sekitar Candi Borobudur.

Perayaan Waisak sebagai aktualiasasi keyakinan religius masyarakat Buddha

sebagai cara penghormatan terhadap tiga peristiwa penting dalam kehidupan

Buddha Gautama bukanlah ruang netral yang selalu nampak suci dan bebas

dari afirmasi ideologi dominan kelompok tertentu. Terdapat proses-proses

peneguhan ideologi dominan terhadap kelompok sub ordinan melalui praktik-

praktik ritual dalam perayaan Waisak. Di mana ada afirmasi dominasi disitu

muncul resistensi.

Waisak bagi penganut ajaran Buddha mengandung makna sakral pada

tiga peristiwa besar yang dialami Sidharta Gautama. Pemujaan terhadap tiga

peristiwa penting tersebut merupakan ruang ekspresi identitas bagi umat

Buddha. Di Indonesia ketiga peristiwa (saat lahirnya Sidharta Gautama, saat

pencapaian kesempurnaan (Buddha) Sidharta Gautama dan saat wafatnya

Sidharta ‘Buddha’ Gautama) telah dirayakan sejak sebelum Indonesia

merdeka. Para Teosof yang belajar Umat Buddhame dari Sri Lanka melalui

tokoh Bhikkhu Narada melakukan ritual Waisak sebagai salah satu aktualisasi

ajaran Buddha di tempat keramat reruntuhan Candi Borobudur. Seiiring

dengan perkembangan agama Buddha di Indonesia, perayaan Waisak makin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107107107

dikenal dan diikuti oleh ribuan orang di candi Borobudur. Di masa Orde Baru

dibentuklah WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) sebagai wadah

tunggal umat Buddha yang kemudian juga meneruskan tradisi perayaan

Waisak di Candi Borobudur yang telah ada sebelumnya. Waisak Nasional

Candi Borobudur adalah penanda eksistensi umat Buddha (secara komunal)

paling menonjol di Indonesia.

Di akhir masa Orde Baru WALUBI terpecah dan bubar. Dengan

bubarnya WALUBI muncul dua organisasi besar yaitu Perwakilan Umat

Buddha Indonesia (WALUBI baru) dan Konferensi Agung Sangha Indonesia

(KASI). Munculnya dua organisasi tersebut menjadikan masyarakat Umat

Buddha Indonesia terdikotomi. Dua organisasi saling mengklaim berhak

mengakses Candi Borobudur sebagai sacred place dalam perayaan Waisak.

Di sisi lain Candi Borobudur dalam pandangan negara dan terutama korporasi

Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) adalah komoditas siap pakai bagi

siapapun yang mampu membayarnya.

Melalui kepemimpinan Siti Hartati Murdaya WALUBI baru mampu

melanggengkan tradisi WALUBI adalah penyelenggara tunggal Waisak

Nasional di candi Borobudur. WALUBI baru berhasil membentuk persepsi

bahwa Waisak Nasional di Candi Borobudur adalah WALUBI yang berhak

menyelenggarakannya. Di sisi lain, KASI dengan anggota-anggota bhikkhu

Sangha dan majelis umat Buddha dahulu juga merupakan bagian penting

dalam penyelenggaraan Waisak Nasional. Sehingga KASI juga merasa punya

hak sama untuk menjadi penerus tradisi Waisak Nasional di candi Borobudur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108108108

Dominasi WALUBI baru atas akses penggunaan Candi Borobudur

menjadi faktor munculnya berbagai penolakan baik secara secara individual

anggota masyarakat Umat Buddha di bawah KASI maupun secara kolektif

dengan perlawanan simbolik. Perlawanan oleh masyarakat Umat Buddha

KASI merupakan aktualisasi Waisak sebagai momentum umat Buddha

membersihkan diri dari kekotoran batin untuk mencapai kesempurnaan.

Mereka melihat bahwasanya dalam penyelenggaraan Waisak Nasional begitu

banyak kepentingan bermain yang justru mengotori kesakralan Waisak itu

sendiri. Merayakan Waisak dengan cara-cara sederhana tanpa campur tangan

WALUBI baru menjadi pilihan umat Buddha.

Namun demikian, KASI sebagai organisasi yang semestinya mampu

menjadi pengganti WALUBI lama justru tidak mampu memenuhi ekspektasi

masyarakat Umat Buddha. Soliditas KASI sebagai organisasi nasional umat

Buddha tidak terbentuk dengan baik ketika Waisak tiba, sehingga seringkali

kesulitan dalam penyelenggaraan perayaan Waisak secara bersama.

Perjuangannya lebih terkotak-kotak dalam organisasi berbasis aliran. Hal ini

terlihat dari bagaimana dua organisasi besar anggota KASI merespon

dominasi WALUBI dalam penyelenggaraan Waisak Nasional. Keluarga Umat

Buddha Theravada Indonesia (KBTI) dan Keluarga Buddhayana Indonesia

(KBI) masing-masing mempunyai agenda tahunan tersendiri dalam

merayakan Waisak.

Kepemimpinan intelektual dan moral para eks-pengurus WALUBI

lama terutama para bhikkhu-bhikkhu dari kelompok Theravada dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109109109

Buddhayana menjadi modal dasar pembentukan blok historis baru untuk

melakukan counter hegemony terhadap hegemoni WALUBI dalam perayaan

Waisak di Candi Borobudur. Para bhikkhu merupakan intelektual yang

mampu memberikan pengaruh yang kuat bagi umat Buddha di bawah

organisasi yang mereka pimpin. Para intelektual organik dari kelompok

Theravada memilih memberdayakan umatnya dalam merayakan Waisak

melalui Vihara-vihara binaan. Di sisi lain para intelektual organik kelompok

Buddhayana lebih memilih jalan perlawanan dengan mengadakan perayaan

Waisak tandingan di candi Sewu Jawa Tengah. Hanya saja usaha yang telah

dilakukan oleh dua kelompok eks-WALUBI ini belum dapat secara masif

mengubah persepsi masyarakat terutama terhadap pentingnya Candi

Borobudur dalam perayaan Waisak, namun demikian setidaknya dua

organisasi ini telah memberikan wacana alternatif dalam perayaan Waisak

Nasional di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110110110

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syamsudin. 1973. Perayaan Waisak di Candi Mendut. Perpusatakaan

Digital UIN Sunan Kalijaga: Jogjakarta

Astuti, Hermin Tri. 1998. Skripsi: Waisak Nasional 2540/1996. Tidak diterbitkan.

IAIN Yogyakarta

Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial Observasi Kritis terhadap Para Filosof

Terkemuka (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dhammahasso, Prama Hansa and Vuddhikaro, Pramaha Sombon (Ed). 2011. The

Vesak Day History, Significance dan Celebrations. Mahaculalongkorn

University: Ayutthaya

Dharmakosajarn, Phra. 2011. International Recognition Of the Day of Vesak. Tidak

diterbitkan. Mahachulalongkornrajavidyalaya University Bangkok, Thailand

Endro, Herman S. 1997. Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026.

Malang: Yayasan Dhammadipa Arama

Gramsci, Antonio. 1987. Selections From the PRISON NOTEBOOKS. New York:

International Publisher (Terjemahan oleh Teguh Wahyu Wibowo Tahun 2013

diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta)

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111111111

Ismulyadi, CB, Dkk. 2012. Fenomena Ziarah Pada Hari Raya Waisak 2556 (Laporan

kerja mahasiswa). Tidak diterbitkan

Jayamedho, Bhikkhu. 2011. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Cennas:

Jakarta

Juanghari, Edij. 2016. Menebar Benih Dharma di Nusantara. Karaniya: Jakarta

Lestari, Bernadetta Budi. 1996. Tesis: Persepsi Masyarakat Sekitar Candi Mendut

Pawon dan Borobudur Terhadap Upacara Ritual Waisak. Tidak Diterbitkan.

UGM Yogyakarta

Patria, Nezar, dkk. 2003, “Negara&Hegemoni”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar:Yogyakarta

Ramstedt, Martin (Ed). 2005. Hinduism In Modern Indonesia (sub bab The Revival

Of Umat Buddham In Indonesia). Routledge Curzon: London

Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to

Classical and New Methodological Approaches. London: Sage Publications.

Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah Bentu Resistensi Sehari

hari Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Simon, Roger. 2004. Gramsci’s Political Thought (Terjemahan oleh Kamdani dan

Imam Baehaqi diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta).

Smith, Hoare. 1971. Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New

York: International Publishers

Storey, John. 2012. Cultural Theory and Popular Culture an introduction.

Sunderland: University of Sunderland

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112112112

Tim Penyusun. 2003. Kapita Selekta Agama Buddha. Jakarta: CV. Dewi Kayana

Abadi

Wijayamukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta; Yayasan

Dharma Pembangunan

Wuryanto, Joko (Ed). 2009. Pola Pembinaan Lembaga Keagamaan Buddha. Dirjend

Bimas Buddha: Jakarta

Sumber dari Website:

www.bhagavant.com

www.WALUBI.ac.id

www.buddhayana.id

https://www.scribd.com/doc/66269914/AD-ART-WALUBI-2006-2011 diakses padatanggal 30 Sept 2016 jam 15.00

http://segenggamdaun.com/2013/08/jaman-wadah-tunggal-WALUBI/ diakses pada30 Sept 2016

www.smaratungga.co.id

http://www.timlo.net/baca/68719670099/mengintip-persiapan-detik-detik-Waisak-di-candi-sewu/

http://corporate.borobudurpark.com/node/136

http://photo.sindonews.com/view/12889/perayaan-Waisak-di-candi-sewu

http://buddhazine.com/boediono-hadiri-Waisak-di-candi-borobudur-jokowi-di-candi-sewu/ tgl 14 okt 2016

http://berita.suaramerdeka.com/puluhan-bhiksu-turun-ke-jalan-terima-sedekah-umat/diakses pada Jum’at, 10 Maret 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113113113

http://www.orangterkayaindonesia.com/profil-siti-hartati-murdaya/ (diakses pada 1Desember 2015)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI