BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian … · 2020. 3. 9. · b. Kebijakan...

31
46 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Perbandingan Kebijakan Hukum Pidana Indonesia Dan Amerika Serikat Tentang Pertanggungjawaban Korporasi Dalam sub bab ini penulis memaparkan hasil penelitan yang merupakan suatu perbandingan kebijakan hukum pidana kejahatan korporasi antara dua negara dengan sistem hukum yang berbeda tentunya yaitu Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System). Beberapa Indokator yang menjadi perbandingan oleh penulis antara lain, (1). Sumber Hukum; (2). Kebijakan formulasi korporasi sebagai subjek hukum pidana, korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pertanggungjawabanya; dan (3). Ajaran Pemidanaan dan Doktrin yang digunakan dalam pertanggungajawaban Korporasi. Ke 3 (tiga) indikator perbandingan tersebut dipaparkan penulis sebagai berikut: a. Sumber Hukum Indonesia 1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor); 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH); Amerika Serikat 1) Model Penal Code (MPC), Section 1.13 dengan title “General Definitions”, Section 2.07 title “Liability of Corporations,

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian … · 2020. 3. 9. · b. Kebijakan...

  • 46

    BAB III

    HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

    A. Hasil Penelitian

    1. Perbandingan Kebijakan Hukum Pidana Indonesia Dan

    Amerika Serikat Tentang Pertanggungjawaban Korporasi

    Dalam sub bab ini penulis memaparkan hasil penelitan yang merupakan

    suatu perbandingan kebijakan hukum pidana kejahatan korporasi antara dua

    negara dengan sistem hukum yang berbeda tentunya yaitu Indonesia (Civil Law

    System) dengan Amerika Serikat (Common Law System). Beberapa Indokator

    yang menjadi perbandingan oleh penulis antara lain, (1). Sumber Hukum; (2).

    Kebijakan formulasi korporasi sebagai subjek hukum pidana, korporasi sebagai

    pelaku tindak pidana dan pertanggungjawabanya; dan (3). Ajaran Pemidanaan

    dan Doktrin yang digunakan dalam pertanggungajawaban Korporasi.

    Ke 3 (tiga) indikator perbandingan tersebut dipaparkan penulis sebagai

    berikut:

    a. Sumber Hukum

    Indonesia

    1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

    Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor);

    2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH);

    Amerika Serikat

    1) Model Penal Code (MPC), Section 1.13 dengan title “General

    Definitions”, Section 2.07 title “Liability of Corporations,

  • 47

    Unincorporated Association and Persons Acting, or Under a Duty to Act,

    in Their Behalf”dan Section 6.04 dengan title “Penalties Against

    Corporations and Unincorporated Association; Forfeiture of Corporate

    Charter or Revocation of Certificate Authorizing Foreign Corporation to

    Do Business in the State“;

    2) Comprehensive Environmental Response Compensation And Liability

    Act (CERLA);

    3) The Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), United State Code.

    b. Kebijakan formulasi korporasi sebagai subjek hukum pidana,

    korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pertanggungjawabanya.

    Indonesia

    Aturan Hukum Pidana Indonesia (KHUP) pada dasarnya tidak mengatur

    tentang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana, karena dalam KUHP

    sifatnya hanya natuurlijkpersoon yang menjadi subjek hukum pidana,

    sedangkan korporasi merupakan rechtspersoon.Dengan tidak diaturnya

    korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam KUHP yang berlaku saat ini,

    maka dalam hal upaya untuk menanggulangi kejahatan khususnya kejahatan

    yang dilakukan oleh korporasi, badan legislatif kemudian membuat aturan

    peruandang-undangan (diluar KUHP) yang mengatur tentang korporasi

    dapat dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan suatu kejahatan

    maka dengan kata lain bahwa aturan diluar KUHP menjadikan korporasi

    sebagai subjek hukum pidana.

    1) Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana

    a) UU Tipikor

    Korporasi sebagai subjek hukum pidana tercantum dalam Pasal 1

    angka 3 berbunyi : “Setiap orang adalah orang perseorangan atau

    termasuk korporasi”.1

    1 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak

    Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:3874);

  • 48

    b) UU PPLH

    Korporasi sebagai subjek tindak pidana tercantum dalam Pasal 1

    angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi : “Setiap

    orang adalah orang perseorangan atau badan hukum usaha, baik

    yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”2

    2) Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban

    Pidana

    a) UU Tipikor

    Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pertanggungajwaban

    pidana di diatur dalam Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (7)

    yang berbunyi:

    (1) “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama

    suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat

    dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”;

    (2) “Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi apabila

    tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik

    berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,

    bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri

    maupun besama-sama”;

    (3) “Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,

    maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;

    (7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya

    pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (satu

    pertiga).3

    Dalam hal “pengurus” pada ayat (1), dijelaskan bahwa: “Yang

    dimaksud pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan

    2Pasal 1 angka 32, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

    3 Pasal 20 ayat (2), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak

    Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:3874);

  • 49

    kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran

    dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki

    kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat

    dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.4

    b) UU PPLH

    Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pertanggungajwaban

    pidana di diatur dalam Pasal 116 yang berbunyi:

    (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk,

    atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana

    dijatuhkan kepada:

    a. Badan usaha; dan/atau

    b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak

    pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin

    kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

    (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan

    kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam

    lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap

    pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut

    tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara

    sendiri atau individu.

    Pasal 117 berbunyi:

    “Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau

    pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat

    (1) huruf b, acaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan

    pidana denda diperberat dengan sepertiga.”5

    Pasal 118 berbunyi:

    4 Penjelasan Pasal 20 ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

    tentang Tindak Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:3874); 5Pasal 117, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

  • 50

    “Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat

    (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang

    diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar

    pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku

    pelaku fungsional.”

    Dengan penjelasan Pasal 118 mengemukan sebagai berikut:

    “Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah

    badan usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana dikenakan terhadap

    pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan

    usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga

    pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki

    kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik

    tersebut. Yang dimaksud menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk

    menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan

    terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang

    memingkinkan terjadinya tindak pidana tesebut.”6

    Pasal 119 berbunyi:

    Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini,

    terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan

    tata tertib berupa:

    a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

    b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;

    c. Perbaikan akibat tindak pidana;

    d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

    e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga)

    tahun.7

    6Pasal 118, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 7Pasal 119, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

  • 51

    Amerika Serikat

    Dalam model hukum pidana Amerika Serikat atau yang dikenal dengan

    Model Penal Code Korporasi sebagai subjek hukum. Selain Model Penal

    Code, Statuta Law (Undang-Undang) terkait dengan lingkungan di

    Amerika Serikat juga mengatur Korporasi sebagai subjek hukum pidana dan

    Statuta Law (Undang-Undang) terkait dengan Koripsi juga mengatur

    Korporasi sebagai subjek hukum pidana.

    1) Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana

    a) Modek Penal Code (MPC)

    Korporasi sebagai subjek hukum pidana diatur dalam Section 1.13

    dengan tittle “General Definition” sub section (8) :“person”. “he”,

    and “actor” include any natural person and, where relevant, a

    corporation or an unicorporation association.8

    b) Comprehensive Environmental Response, Compensation and

    Liability Act (CERLA)

    Korporasi sebagai subjek hukum pidana diatur dalam Section 101

    dengan tittle “Hazardous Substances Release, Liability,

    Compensation” dengan sub tittle “Definition” sub section (21) : The

    term ‘‘person’’ means an individual, firm, corporation, association,

    partnership, consortium, joint venture, commercial entity, United

    States Government, State, municipality, commission, political

    subdivision of a State, or any interstate body.

    c) The Foreign Corrupt Practices Act. (FCPA), United State Code

    Korporasi secara umum sebagai subjek hukum pidana dalam FCPA

    tercantum dalam title 15. Commerce and Trade, Cahpter 1.

    Monopolies and Combination In Restraint Of Trade,Section 07

    dengan title ”Person or Personsdefined“ : ”The word Person or

    Persons, wherever used in section 1 to 7 of this title shall be deemed

    to include corporations and associations existing under or

    authorized by the laws of either the United States, the laws of any of

    8Model Penal Code, Official Draft And Explanatory Notes, hlm. 17;

  • 52

    the Terrirories, the laws of any State, or the laws of any foreign

    country“.9

    FCPA Title 15. Commerce and Treade pada dasarnya memiliki

    begitu banyak chapter (1 sampai dengan 111 chapter) dan didalam

    masing-masing chapter dengan title masing masing, semua memuat

    tetang corporation.

    Sehingga dalam hasil penelitian ini penulis akan lebih

    menspesifikkan title yang digunakan.

    Secara lebih spesifik dalam FCPATitle 15. Commerce and Treade,

    Chapter 2B. Securities Exchanges Section 78c dengan

    title ”Definition and Application“, sub section (9) : ”The term

    person means a natural person, company, government, or political

    subdivision, agency, or instrumentality of government.“10

    2) Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan

    Pertanggungjawabannya

    a) Model Penal Code (MPC)

    Sub Section (1) :A Corporation may be convicted of the commission

    of an offense if:

    (a) The offense is a violation or the offense is defined by a statute

    other than the Code in which a legislative purpose to impose

    liability on corporations plainly appears and the conduct is

    performed by an agent of the corporation acting in behalf of the

    corporation within the scope of his office or employment,

    except that if the law defining the offense designates the agents

    for whose conduct the corporation is accountable or the

    circumstances under which it is accountable, such provisions

    shall apply;

    (b) The offense consists of an omission to discharge a specific duty

    of affirmative performance imposed on corporations by law;

    10The Foreign Corrupt Practices Act. (FCPA), diakses melalui

    https://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78c, pada tanggal 12 April 2019;

    file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/violations.htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/omissions.htmhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78c

  • 53

    (c) The commission of the offense was authorized, requested,

    commanded, performed or recklessly tolerated by the board of

    directors or by a high managerial agent acting in behalf of the

    corporation within the scope of his office or employment:

    Sub Section (2) : “When absolute liability is imposed for the

    commission of an offense, a legislative purpose to impose liability

    on a corporation shall be assumed, unless the contrary plainly

    appears.“ Berdasarkan ketentuan tersebut, Strict Liability

    (pertanggungjawaban langsung atau pertanggungjawaban ketat)

    tidak dapat diterapkan maka MPC menganggap bahwa pembuat

    undang-undang bermaksud mempertanggungjawab-kan korporasi

    berdasarkan teori Respondeat Superior atau Vicarious Liability,

    kecuali apabila dengan tegas undang-undang menyatakan lain.11

    Sub Section (4) :As used in this Section:

    (a) "corporation" does not include an entity organized as or by a

    governmental agency for the execution of a governmental

    program;

    (b) "agent" means any director, officer, servant, employee or other

    person authorized to act in behalf of the corporation or

    association and, in the case of an unincorporated association, a

    member of such association;

    (c) "high managerial agent" means an officer of a corporation or

    an unincorporated association, or, in the case of a partnership,

    a partner, or any other agent of a corporation or association

    having duties of such responsibility that his conduct may fairly

    be assumed to represent the policy of the corporation or

    association.12

    Sub Suction (5) : In any prosecution of a corporation or an

    unincorporated association for the commission of an offense

    included within the terms of Subsection (1)(a) or Subsection (3)(a)

    11Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tinjauan Teoritis dan Perbandingan

    Hukum di Berbagai Negara), Bandung, PT. Refika Aditama, Cetakan Ke-1, 2016, hlm. 256; 12Ibid., hlm. 257

    file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_05.htm

  • 54

    of this Section, other than an offense for which absolute

    liability has been imposed, it shall be a defense if the defendant

    proves by a preponderance of evidence that the high managerial

    agent having supervisory responsibility over the subject matter of

    the offense employed due diligence to prevent its commission. This

    paragraph shall not apply if it is plainly inconsistent with the

    legislative purpose in defining the particular offense.

    Sub Section (6):

    (a) A person is legally accountable for any conduct he performs or

    causes to be performed in the name of the corporation or an

    unincorporated association or in its behalf to the same extent

    as if it were performed in his own name or behalf;

    (b) Whenever a duty to act is imposed by law upon a corporation

    or an unincorporated association, any agent of the corporation

    or association having primary responsibility for the discharge

    of the duty is legally accountable for a reckless omission to

    perform the required act to the same extent as if the duty were

    imposed by law directly upon himself;

    (c) When a person is convicted of an offense by reason of his legal

    accountability for the conduct of a corporation or an

    unincorporated association, he is subject to the sentence

    authorized by law when a natural person is convicted of an

    offense of the grade and the degree involved;13

    Model Penal Code (MPC), Section 6.04 Sub Section (1) dan Sub

    Section (2) dengan title “Penalties Against Corporations and

    Unincorporated Association; Forfeiture of Corporate Charter or

    Revocation of Certificate Authorizing Foreign Corporation to Do

    Business in the State“.

    Sub Section (1) : “Court may suspend the sentence of a

    corporation or an unincorporated association which has been

    convicted of an offense or may sentence it to pay a fine authorized“.

    13Kristian, Op.Cit. hlm 255 - 258

    file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_05.htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_05.htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htm

  • 55

    Sub Cection (2) :

    (a) The [prosecuting attorney] is authorized to institute civil

    proceedings in the appropriate court of general jurisdiction to

    forfeit the charter of a corporation organized under the laws of

    this State or to revoke the certificate authorizing a foreign

    corporation to conduct business in this State. The Court may

    order the charter forfeited or the certificate revoked upon

    finding (i) that the board of directors or a high managerial

    agent acting in behalf of the corporation has, in conducting the

    corporation's affairs, purposely engaged in a persistent course

    of criminal conduct and (ii) that for the prevention of future

    criminal conduct of the same character, the public interest

    requires the charter of the corporation to be forfeited and the

    corporation to be dissolved or the certificate to be revoked;

    (b) When a corporation is convicted of a crime or a high

    managerial agent of a corporation, as defined in Section 2.07,

    is convicted of a crime committed in the conduct of the affairs

    of the corporation, the Court, in sentencing the corporation or

    the agent, may direct the [prosecuting attorney] to institute

    proceedings authorized by paragraph (a) of this Subsection.

    The proceedings authorized by paragraph (a) of this Subsection

    shall be conducted in accordance with the procedures authorized

    by law for the involuntary dissolution of a corporation or the

    revocation of the certificate authorizing a foreign corporation to

    conduct business in this State. Such proceedings shall be deemed

    additional to any other proceedings authorized by law for the

    purpose of forfeiting the charter of a corporation or revoking the

    certificate of a foreign corporation.14

    b) Comprehensive Environmental Response, Compensation and

    Liability Act(CERLA)

    14Model Penal Code, Official Draft And Explanatory Notes, Op.Cit., hlm. 45

    file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07.htm

  • 56

    Section 107 tittle “Hazardous Substances Release, Liability,

    Compensation” dengan sub tittle “Liability” Notwithstanding any

    other provision or rule of law, and subject only to the defenses set

    forth in subsection (b) of this section—

    (1) the owner and operator of a vessel or a facility;

    (2) any person who at the time of disposal of any hazardous

    substance owned or operated any facility at which such

    hazardous substances were disposed of;

    (3) any person who by contract, agreement, or otherwise arranged

    for disposal or treatment, or arranged with a transporter for

    transport for disposal or treatment, of hazardous substances

    owned or possessed by such person, by any other party or entity,

    at any facility or incineration vessel owned or operated by

    another party or entity and containing such hazardous

    substances, and

    (4) any person who accepts or accepted any hazardous substances

    for transport to disposal or treatment facilities, incineration

    vessels or sites selected by such person, from which there is a

    release, or a threatened release which causes the incurrence of

    response costs, of a hazardous substance.

    There shall be no liability under subsection (a) of this section for a

    person otherwise liable who can establish by a preponderance of

    the evidence that the release or threat of release of a hazardous

    substance and the damages resulting therefrom were caused solely

    by—

    (1) an act of God;

    (2) an act of war;

    (3) an act or omission of a third party other than an employee or

    agent of the defendant, or than one whose act or omission

    occurs in connection with a contractual relationship, existing

    directly or indirectly, with the defendant (except where the sole

    contractual arrangement arises from a published tariff and

  • 57

    acceptance for carriage by a common carrier by rail), if the

    defendant establishes by a preponderance of the evidence that

    (a) he exercised due care with respect to the hazardous

    substance concerned, taking into consideration the

    characteristics of such hazardous substance, in light of all

    relevant facts and circumstances, and (b) he took precautions

    against foreseeable acts or omissions of any such third party

    and the consequences that could foreseeably result from such

    acts or omissions; or

    (4) any combination of the foregoing paragraphs.15

    c) The Foreign Corrupt Practices Act. (FCPA) United State Code

    Korporasi dikatakan sebagai pelaku tindak pidana apabila telah

    melanggar ketentuan dalam Title 15. Commerce and Treade,

    Chapter 2B. Securities Exchanges Section 78m dengan

    title ”Periodical and other report“, sub section (2) dengan

    title ”Form of report;Books, Record, and Internal Accounting;

    Directives“:

    (2)Every issuer which has a class of securitiesregistered pursuant

    to section 78l of this title and everyissuer which is required

    to file reports pursuant to section 78o(d) of this title shall—

    (a) make and keep books, records, and accounts,which,in

    reasonable detail, accurately and fairly reflect the

    transactions and dispositions of the assets of the issuer;

    (b) devise and maintain a system of internal accounting

    controls sufficient to provide reasonable assurances

    that—

    (i) transactions are executed in accordance with

    management’s general or specific authorization;

    15Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act (CERLA), Section 107,

    hlm 57;

    https://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78m

  • 58

    (ii) transactions are recorded as necessary (I) to permit

    preparation of financial statements in conformity

    with generally accepted accounting principles or

    any other criteria applicable to such statements, and

    (II) to maintain accountability for assets;

    (iii) access to assets is permitted only in accordance with

    management’s general or specific authorization;

    and

    (iv) the recorded accountability for assets is compared

    with the existing assets at reasonable intervals and

    appropriate action is taken with respect to any

    differences;

    (4)No criminal liability shall be imposed for failing to comply with

    the requirements of paragraph (2) of this subsection except as

    provided in paragraph (5) of this subsection.

    FCPA menjatuhkan pidana bagi setiap individu dan korporasi yang

    didasarkan pada pedoman pemidanaan Amerika Serikat. Dikatakan

    bahwa:

    a. Individuals who commit willful violations of the FCPA anti-

    bribery provisions may be punished by up to $250,000 in fines

    and/or five years imprisonment;

    b. Individuals who violate the FCPA accounting provisions may be

    fined up to $5,000,000 and imprisoned up to 20 years;

    c. Corporations may be fined up to $2,500,000 per violation of the

    FCPA accounting provisions and $2,000,000 for violation of the

    FCPA anti-bribery provisions.16

    Sanksi pidana bagi korporasi dalam berbagai aturan perundang-

    undangan yang diberlakukan di Amerika Serikat mengenakan

    denda yang dapat berjumlah ratusan miliar dollar Amerika untuk

    16 Robert W. Tarun, Basic of The Foreign Corrupt Act, American Law Review: WhatEvery

    General Councel, Transactional Lawyer,White Collar Criminal Lawyer Should Know, Chicago,

    2006, hlm. 10;

  • 59

    setiap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Lebih lanjut,

    setiap korporasi yang dijatuhkan pidana oleh putusan hakim karena

    melakukankejahatan usahanya dapat ditutup secara permanen oleh

    institusi pemerintah Amerika Serikat.17

    c. Ajaran Pemidanaan dan Doktrin yang digunakan dalam

    pertanggungjawaban Korporasi

    Indonesia

    Indonesia dalam hal pertanggungajwaban pidana korporasi pada umumnya

    dikenal 3 (tiga) sistem seperti yang telah dijelaskan pada bab awal yaitu:

    1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

    bertanggungjawab;

    2) Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungawab;

    dan

    3) Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus

    bertanggungjawab.18

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang

    Nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) Pasal 20 ayat (2) menganut Doctrine of

    Identification dan Doctrine of Aggregation. Doctrine of Identification

    ditunjukan dari frasa “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-

    orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain”,

    sedangkan Doctrine of Aggregation ditunjukan dari frasa “apabila tindak

    pidana tersebut dilakukan … baik sendiri maupun bersama-sama”.19

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2),

    17 Hesti Widyaningrum, Sejarah dan Perkembangan Pertanggungjawaban Korporasi, diakses

    melalui http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/volksgeist/article/view/1633, pada tanggal

    12 April 2019;

    18Kristian, Op.Cit. hlm. 112;

    19Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan ke-II, Jakarta, Grafiti,

    2011, hlm 243;

    http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/volksgeist/article/view/1633

  • 60

    dalam hal korporasi melakukan tindak pidana maka pertanggungajwaban

    dapat dijatuhakan kepada korporasi dan perseorangan.

    Korporasi dapat dijatuhi sanksi pidana dengan diwakili oleh pemimpin

    badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan

    hukum adalah tindak pidana fungsional. Sekalipun dalam UU PPLH telah

    memberikan ketentuan mengenai pelaku fungsional tetapi undang-undang

    tersebut belum dengan tegas menentukan ajaran apa yang digunakan untuk

    membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.20

    Amerika Serikat

    Mengacu kepada Model Penal Code (MPC), ajaran pemidanaan korporasi di

    Amerika Serikat menganut kepada ajaran pembebanan pidana dari tindak

    pidana yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Contohnya seorang

    principal (pemberi kuasa) bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan

    oleh agent (penerima kuasa).

    Pengadilan – pengadilan federal (the federal coursts) di Amerika Serikat

    dalam penuntutan terhadap korporasi menerapkan ajaran vicarious liability

    atau respondeat superior untuk perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh

    pegawainya apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup tugas

    pegawai tersebut dan apabila perbuatan itu dilakukan untuk keuntungan

    korporasi 21 . Dengan katalain seorang atau korporasi pemberi kerja

    (employer) bertanggungjawab secara vikarius (liable vicarious) atas

    perbuatan – perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan gangguan

    publik (public nuisance) atau dalam hal membuat pernyataan yang dapat

    merusak nama baik orang lain (criminal libel).22

    Doctrine of Vicariouse Liability memiliki pembatasan dalam penerapannya

    antara lain:

    a. Pembatasan pertama, ditetapkan oleh pengadilan/ pengadilan Amerika

    Serikat telah mengizinkan pemberi kerja (employer), yaitu korporasi

    20Ibid, hlm. 238;

    21 The Law Reform Commission, Consultation Paper on Corporate Killing, Dublin, Irlandia: The

    Law Reform Commission, 2003, hlm. 20 – 110. 22Gary Scanlan dan Christopher Ryan, An Introduction to Criminal Law, London, Backstone

    Press Limited, 1985, hlm.120;

  • 61

    untuk membela diri (mengajukan pembelaan terhadap tuntutan atau

    tuduhan pidana) telah melakukan semua tindakan yang seharusnya

    diambil untuk mencegah terjadinya tindakan pidana yang bersangkutan;

    b. Pembatasan kedua, pembatasan yang diberikan oleh konstitusi Amerika

    Serikat. Terdapat pandangan yang mencuat tentang proporsionalitas

    dalam hukum tata negara Amerika Serikat. Prinsip ini mengkehendaki

    bahwa pemidanaan (punishment) harus proporsional dengan kesalahan

    dan harus melarang pembebanan sanksi – sanksi pidana yang berat

    berdasarkan pertanggungjawaban vikarius. Maka dengan kata lain

    apabila employer (pemberi kerja atau korporasi) tidak dapat

    membuktikan telah memberi peringatan atau intruksi kepada para

    pegawainya untuk tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang

    melanggar undang-undang, maka korporasi, juga pengurusnya, harus

    memikul beban pertanggungjawaban atas dilakukannya tindak pidana

    tesebut.23

    Dalam Statutory Laws terkait lingkungan khususnya dalam The

    comprehensive environmental responce compensation and liability act

    (CERLA) dengan mendasarkan pada Section 107 doktrin

    pertanggungjawaban yang dianut ialah menererapkan Doctrine Strict

    Liability terhadap para penghasil dan pengangkut limbah B3. Hal tersebut

    pun didikung dengan The quintessential pure strict liability category of

    crime was environmental crime, inas much as the affender need only cause

    defined forms of environmental risk or harms (such as exposing the public

    to certain pollutans or toxins in excess of a specified level) and it is

    virelevant that she lached-negligence, knowledge, or any other culvability.

    (Strict Liability yang paling murni adalah dalam kasus-kasus yang

    berhubungan dengan lingkungan dimana pelaku telah melakukan perusakan

    lingkungan atau membahayakan lingkungan seperti mengekspos masyarakat

    dengan polusi atau zat beracun.

    23Peter W. Low, Criminal Law, Revised First Edition, St. Paul, Minn.: West Publishing Co., 1990,

    hlm. 251 – 253;

  • 62

    Dalam peradilan di Amrika Serikat, Doctrine of Vicarious Liability tidak

    dicampur padukan atau dikacaukan dengan Doctrine of Strict Liability.

    2. Ius Constituendum dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana (RKUHP) tahun 2015 tentang

    Korporasi di Indonesia

    Korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam RKUHP termuat dalam Pasal

    48 yang berbunyi “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”. RUU KUHP

    2015 telah memuat syarat-syarat agar tindak suatu tindak pidana dapat dibebankan

    pertanggungjawabannya kepada korporasi dengan atau tanpa membebankan

    pertanggungjawaban pidana kepada manusia yang menjadi pelakunya.24

    Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tindak pidana yang dilakukan

    oleh seseorang atau orang-orang dapat dibebankan pertanggungajwabannya

    kepada korporasi, Pasal 49 RKUHP 2015 menentukan sebagai berikut :

    “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-

    orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur

    oeganisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi

    atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau

    bedasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut,

    baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.”25

    Dalam hal pembebanan pertanggungjawaban pidana Pasal 50 RKUHP 2015

    menyatakan bahwa :

    24 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 192;

    25Direktorat Jendral Peraturan Perundang – Undangan, Naskah Rancangan Kitab Undang-undang

    Hukum Pidana (RKUHP), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015, hlm. 13

  • 63

    “Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungajwaban

    pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.”26

    Pasal 51 RKUHP, berbunyi :

    “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap

    suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi,

    jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya

    sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain

    yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.”27

    Pasal 52 RKUHP, berbunyi :

    “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi

    sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam

    struktur organisasi korporasi.”28

    Pasal 53 RKUHP, berbunyi :

    (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan

    perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana

    terhadap suatu korporasi;

    (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.”29

    Pasal 54 RKUHP, berbunyi :

    “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh

    pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat

    diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung

    berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada

    korporasi.”30

    26 Ibid.;

    27 Ibid.;

    28 Ibid.;

    29 Ibid.;

    30 Ibid.

  • 64

    B. Analisis

    1. Analisis Perbandingan Kebijakan Hukum Pidana Indonesia

    Dan Amerika Serikat Tentang Pertanggungjawaban

    Korporasi

    Dalam sub bab sebelumnya penulis telah memaparkan 3 (tiga) indikator

    perbandingan kebijakan hukum pidana kejahatan korporasi antara Indonesia dan

    Amerika Serikat, namun dalam analisis penulis lebih memfokuskan pada 2 (dua)

    indikator saja antara lain (a). Kebijakan Formulasi Korporasi Sebagai Subjek

    Hukum Pidana, dan pertanggugjawaban pidana; dan (b). Ajaran Pemidanaan dan

    Doktrin yang digunakan dalam pertanggungjawaban Korporasi. Analisis kedua

    indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

    a) Kebijakan Formulasi Korporasi Sebagai Subjek Hukum

    Pidana, Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan Sanksi Terhadap

    Korporasi

    Perbedaan yang mendasar antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait

    dengan Korporasi ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP)

    belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, sedangkan Model

    Hukum Pidana Amerika telah mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana

    Model Penal Code (MPC). Kendati demikian, Undang-Undang diluar KUHP

    contohnya seperti UU PPLH dan UU Tipikor serta Perma Nomor 13 tahun 2016

    tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi telah

    mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selain MPC, aturan hukum di

    Amerika Serikat terkait Lingkungan dan Korupsi juga mengakui korporasi sebagai

  • 65

    subjek hukum pidana, hal tersebut tercantum dalam Comprehensive

    Environmental Response Compensation And Liability Act (CERLA) dan The

    Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), United State Code.

    Selain perbedaan, terdapat pula persamaan antara Indonesia dan Amerika

    Serikat yaitu korporasi dianggap sebagai pelaku tindak pidana ialah apabila agen-

    agen yang berdasarkan hubungan kerja baik secara sendiri-sendiri maupun

    bersama-sama melalukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang lewat dari

    batas wewenangnya demi memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri maupun

    korporasi. Selain itu, dalam hal pertanggungjawaban pidana baik Indonesia

    maupun Amerika Serikat menjatuhkan pidana kepada Individu selaku agen dari

    Korporasi dan/atau Korporasi itu sendiri. Dalam hal sanksi pokok masing-masing

    aturan di Indonesia maupun Amerika Serikat memiliki persamaan yaitu Penjara

    dan Denda.

    Namun ada beberapa hal yang membedakan terkait pertanggungjawaban

    pidana. Dalam MPC dan CERLA. MPC diperkenalkan “pembelaan” yang dapat

    dilakukan suatu korporasi yang diduga telah melakukan tindak pidana, pembelaan

    tesebut dapat dilakukan dengan membuktikan bahwa “a high managerial agent”

    yang mempunyai tanggungjawab pengawasan terhadap pokok masalah yang

    menjadi perkara telah melakukan “due diligence” atau prinsip kehatian-hatian

    yang sepatutnya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. kemudian dalam

    CERLA tidak ada kewajiban suatu Individu maupun Korporasi

    bertanggungjawab apabila kerusakan lingkungan disebabkan oleh keadaan alam

    (alamiah), tindakan perang, dan oleh suatu tindakan atau kelalaian pihak ketiga

    selain dari karyawan atau agen korporasi atau kelalaian terjadi sehubungan

  • 66

    dengan hubungan kontrak yang secara langsung maupun tidak langsung dengan

    koporasi. Pembelaan dan pengecualian tersebut yang belum terncantum dalam UU

    PPLH, UU Tipikor maupun Perma terkait dengan Korporasi.

    b) Ajaran Pemidanaan dan Doktrin yang Digunakan dalam

    Pertanggungjawaban Korporasi

    Dalam analisis ajaran pemidanaan dan doktrin yang digunakan dalam

    pertanggungjawaban korporasi, penulis akan memetakan masing-masing

    kebijakan hukum pidana baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat.

    (1) Indonesia

    Di Indonesia dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi pada

    umumnya dikenal 3 (tiga) sistem pertanggungjaiwaban antara lain: (a). Pengurus

    Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; (b)

    Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab; dan (c)

    Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab.

    Dengan mengacu kepada ketiga sistem tersebut maka penulis menggunakan 2

    (dua) peraturan perundang-undangan yang menurut penulis telah mewakili ketiga

    sistem tesebut yaitu UU Tipikor, UU PPLH serta Perma Nomor 13 tahun 2016

    tentang Tata Cara Penanggulangan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

    Seperti hasil penelitian yang dikemukan oleh penulis sebelumnya bahwa,

    masing-masing peraturan terkait korporasi di Indonesia belum memiliki

    keseragaman terkait dengan ajaran pemidanaan yang dianut dalam masing-masing

    peraturan selain ajaran pemidanaan hal tesebut dapat dilihat dari UU Tipikor yang

    menganut Doctrine of Identification dilihat dari frasa “apabila tindak pidana

  • 67

    tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

    berdasarkan hubungan lain” kemudian Doctrine of Aggregation yang ditunjukan

    dari frasa “apabila tindak pidana tersebut dilakukan … baik sendiri maupun

    bersama-sama”, kedua frasa tesebut dikutip dari Pasal Pasal 20 ayat (2) UU

    Tipikor. Kemudian dalam UU PPLH belum secara jelas menggunakan ajaran

    pemidanaan seperti apa yang digunakan walapun dalam penjelasan Pasal 118 UU

    PPLH dijelaskan terkait Pelaku Fungsional. Selain kedua peraturan Undang-

    Undang tersebut, Perma Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanggulangan

    Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi belum mengatur secara jelas terkait ajaran

    pemidanaan korporasi. Perma ini berfungsi untuk mempermudah aparat penegak

    hukum dalam penanganan tindak pidana korporasi terkhususnya dalam

    menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, kesalahan korporasi dan

    proses persidangan.

    Dalam penelitan ini penulis kemudian ingin mengkaitkan masing- masing

    peraturan dengan ajaran pemidanaan. Dalam UU Tipikor disebutkan bahwa

    menganut Doctrine Of Identification Theory dan Doctrine Of Aggregation.

    Doctrine of identification theory erat kaitannya dengan personel pengendali

    “directing mind” atau “controlling mind” (otak yang menjalankan seluruh

    aktivitas) dengan kata lain dalam teori ini kesalahan dari “directing mind”

    disamakan dengan kesalahan dan kehendak dari suatu korporasi tersebut,

    sedangkan Doctrine of Aggregation merupakan sebuah doktrin yang

    memperlihatkan kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu apabila terdapat

    sekelompok orang yang melakukan suatu tindak pidana namun orang tesebut

    bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau untuk kepentingan korporasi,

  • 68

    maka semua perbuatan dan unsur mental atau sikap batin atau kesalahan dari

    kumpulan orang tersebut dianggap sebagai dan dilakukan oleh suatu korporasi

    sehingga baik oarng-orang yang bersangkutan maupun korporasi dapat

    dibebankan pertanggungajawaban pidana. Dalam penelitian ini penulis

    berpendapat bahwa Doctrine Of Identification Theory dan Doctrine Of

    Aggregation tidak berbeda dengan Doctrine Vicarious Liability karena pada

    dasarnya sesuai dengan ajaran Vicarious Liability “the company is liable for the

    wrongful acts of all its employees”, “Employment principle”, majikan adalah

    pihak utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan oleh buruh atau

    karyawannya selama perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup kerjaannya.

    Rasionalisasi penerapan doktrin ini mengingat majikan (yang dalam hal ini adalah

    korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas organ-organnya dan keuntungan

    yang mereka (organ-organnya) peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan

    (korporasi).

    Dalam UU PPLH walaupun pada dasarnya belum menjelaskan ajaran

    pemidanaan seperti apa yang dianut, namun seperti yang telah dijelaskan pada

    subbab sebelumnya bahwa dalam Pasal 116 ayat (1) dimana pembebanan

    pertanggungajwaban dapat dijatuhkan kepada Badan Usaha/Korporasi yang dalam

    hal ini diwakili oleh pengurus selaku pelaku fungsional hal tersebut tercantum

    dalam Pasal 118. Dalam hal badan hukum sebagai pelaku fungsional, maka

    tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum

    karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana

    fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang

  • 69

    memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik

    tersebut.

    Dalam teori fungsional suatu korporasi dapat dianggap sebagai pelaku

    tindak pidana dan dapat dibebankan pertanggungjawaban ialah apabila suatu

    perbuatan yang dilarang, dilakukan oleh korporasi dalam rangka pelakasanaan

    tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan dari korporasi, kemudian sebagai pelaku

    fungsional, perlu adanya delik-delik fungsional yaitu perbuatan fungsional yang

    dilakukan oleh agen-agen korporasi sebagai alat untuk melakukan tindak pidana

    tersebut. Kemudian selain itu, terhadap korporasi perlu adanya pembuktian

    kesalahan atas dasar kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh agen-agen

    korporasi melalui suatu rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi. Namun

    disisi lain penulis berpendapat bahwa dengan dalam UU PPLH juga menganut

    ajaran pemidanaan Doctrine of Strict Liability hal tersebut dilihat dari Pasal 88

    UU PPLH bahwa : “Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau

    kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,

    dan/atau yang ,menimbulkan ancaman serius tehadap lingkungan hidup

    bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian

    unsur kesalahan” atau dengan kata lain cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa

    pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang

    dilarang oleh ketentuan pidana. Hal tersebut pun kemudian sejalan dengan ajaran

    feit materiel dalam pelanggaran, cukup melihat khusus dalam suatu tindak pidana

    yang berat maka tidak perlu lebih jauh membuktikan kesalahan hanya dengan

    melihat akibat yang ditimbulkan dari perubuatan tesebut maka dapat dibebankan

    pertanggungjawaban pidana. Dalam Pasal 88 frasa “setiap orang” diartikan

  • 70

    sebagai orang perseorangan atau badan usaha baik berbadan hukum maupun tidak

    bebadan hukum. Selain Doctrine of Stricy Liability penulis juga berpendapat

    bahwa UU PPLH menganut Doctrine of Vicarious Liability dalam penjatuhan

    pidana kepada Badan Hukum/Korporasi hal tersebut sama halnya dengan

    penjelasan pada UU Tipikor. Maka dengan demikian Penulis berpendapat bahwa

    dalam UU PPLH terdapat 3 (tiga) doktrin yang digunakan sesuai dengan sistem

    pertanggungjawaban pidana korporasi.

    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara

    Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, dapat dilihat dalam Perma ini

    Pasal 3 “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan

    oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik

    sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama

    Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi”, kemudian Pasal 4

    ayat (2) menjatuhkan pidana terhadap korporasi Hakim dapat menilai kesalahan

    Korporasi antaralain: (a). Korporasi mendapatkan keuntungan atau manfaat dari

    tindak pidana tersebut atau tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi,

    (b) Korporasi membiarkan terjadinya Tindak Pidana, (c) Korporasi tidak

    melakukan langkah untuk pencegahan guna mencegah dampak yang lebih besar

    dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna

    menghindari tindak pidana”.

    Dari frasa Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (2) tersebut penulis berpendapat bahwa

    ajaran pemidanaan yang dianut adalah Vicarious Liability karena seperti yang

    telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa dalam asas Vicarious Liability

    tentunya hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent dan

  • 71

    hal ini dilihat dari adanya frasa “tindak pidana yang dilakukan oleh orang

    berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain”, kemudian

    korporasi sendiri tidak dapat melakukan kesalahan, melainkan hanya agen-agen

    korporasilah yang dapat melakukan kesalahan yakni mereka bertindak untuk dan

    atas nama korporasi dan bertindak untuk memberikan keuntungan korporasi dan

    hal ini dapat dilihat dari frasa dalam Pasal 4 ayat (2) yang telah dijelaskan diatas.

    Selain Vicarious Liabilty, pada Pasal 4 ayat (2) khususnya pada frasa

    “menjatuhkan pidana terhadap korporasi Hakim dapat menilai kesalahan

    Korporasi” kata “Hakim dapat menilai kesalahan” dalam frasa ini penulis

    memaknai bahwa menilai dapat dilakukan dengan pembuktian, maka penulis

    kemudian juga mengacu kepada ajaran Pelaku Fungsional. Seperti dipahami

    bahwa dalam ajaran Pelaku Fungsional, terhadap korporasi perlu adanya

    pembuktian kesalahan atas dasar kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh

    agen-agen korporasi melalui suatu rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi.

    (2) Amerika Serikat

    Di Amerika Serikat dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi pada

    umumnya menganut ajaran Doctrine of Strict Liability dan Doctrine of Vicarious

    Liability dan kedua doktrin ini tidak dicampur padukan dalam satu peraturan

    khususnya terkait dengan pertanggungjawaban korporasi. Dalam Model Penal

    Code doktrin yang digunakan adalah Doctrin Vicarious Liability hal ini dilihat

    dari hasil penelitian dimana dalam MPC ajaran pemidanaan korporasi di Amerika

    Serikat menganut kepada ajaran pembebanan pidana dari tindak pidana yang

    dilakukan seseorang kepada orang lain sehingga dengan mengacu pada MPC

    Pengadilan di Amerika Serikat menerapkan ajaran vicarious liability atau

  • 72

    respondeat superior untuk perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh

    pegawainya apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup tugas

    pegawai tersebut dan apabila perbuatan itu dilakukan untuk keuntungan korporasi.

    Dalam hal kejahatan korporasi, seperti yang dipahami bahwa dalam sebuah

    korporasi ada agen-agen atau pekerja yang memiliki tugas dan wewenangnya

    masing-masing yang tentunya sesuai dengan aturan dalam korporasi tesebut.

    Apabila agen atau pekerja melakukan kesalahan atau hal yang telah melampau

    kewenangannya demi memberikan keuntungan kepada korporasi namun

    memberikan dampak kerugian bagi pihak lain diluar korporasi tersebut tentunya,

    maka dalam ajaran vicarious liability yang bertanggungjawab atas tindakan para

    agen atau pekerja tersebut ialah pimpinan korporasi karena pimpinan korporasi

    selaku pemberi kerja yang telah memberikan perintah kepada para agen tersebut

    yang berupa tugas dan wewenang masing-masing para agen terlepas hal tersebut

    telah dilakukan dengan sesuai ataupun tidak sesuai.

    Selain ajaran Vicarious Liability, dalam analisis ini penulis berpendapat

    MPC tidak hanya menganut Vicarious Liability saja namun juga mengatut ajaran

    Presumtion Liability hal ini dilihat dari MPC sub section (5) yang memuat bahwa

    dapat dilakukannya “pembelaan“ dari suatu korporasi yang diduga telah

    melakukan tindak pidana. Dengan demikian suatu korporasi dapat menghindari

    pertanggungjawaban pidana selama korporasi dapat membuktikan bahwa “a high

    managerial agent“ yang mempunyai tanggungjawab pengawasan terhadap pokok

    masalah yang menjadi perkara telah melakukan “due diligence“ atau prinsip

    kehati-hatian yang sepatutnya untuk mencegah terjadinya tindak pidana tersebut.

    Dengan demikian maka penulis tidak dapat diterapkan Strict Liability, karena

  • 73

    dalam Strict Liability tidak ada kesempatan untuk dapat dilakukannya pembelaan,

    karena pada prinsipnya apabila sudah dilihat ada akibat dari perbuatan yang

    dilakukan maka korporasi dibebani pertanggungjawaban pidana.

    Sama halnya dengan Model Penal Code, The Foreign Corrupt Practices Act

    United State Code (FCPA) yang merupakan aturan hukum terkait dengan tindak

    Pidana Korupsi di Amerika Serikat juga menerapkan ajaran vicarious liability

    atau respondeat superior untuk perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh

    pegawainya apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup tugas

    pegawai tersebut dan apabila perbuatan itu dilakukan untuk keuntungan korporasi.

    Dalam penelitian ini penulis mengambil terkait aturan tentang Laporan Berkala

    suatu Perusahaan yang mencakup Bentuk Laporan, Pembukuan Catatan, dan

    Akuntasi Internal Perusahaan yang dilakukan agen-agen perusahaan dalam

    lingkup tugasnya. Dalam FCPA juga dapat dilakukannya “pembelaan“ dengan

    melakukan pembuktian bahwa agen-agen perusahaan telah melakukan tugasnya

    sesuai ketentuan yang telah diatur dalam FCPA yang diterapkan dalam

    Perusahaan tersebut.

    Ajaran yang berbeda kemudian yang dianut oleh The comprehensive

    environmental responce compensation and liability act (CERLA) yang merupakan

    Staturory Laws tekait dengan lingkungan. Dalam CERLA ajaran pemidanaan

    yang digunakan adalah Doctrin Strict Liability. Pertanggungajwaban multak

    dianut dalam CERLA karena Strict Liability yang paling murni adalah dalam

    kasus-kasus yang berhubungan dengan lingkungan dimana pelaku telah

    melakukan perusakan lingkungan atau membahayakan lingkungan seperti

  • 74

    mengekspos masyarakat dengan polusi atau zat beracun. CERLA pun pada

    dasarnya serupa dengan UU PPLH.

    2. Analisis Ius Constituendum terhadap konsep

    pertanggungjawaban korporasi

    Ius Contuendum yaitu merupakan hukum yang dicita-citakan (masa

    mendatang), maka dengan demikian hal tersebut pun sangat erat kaitannya dengan

    kebijakan hukum pidana khususnya pada Tahap Kebijakan Formulasi, karena hal

    tersebut kemudian akan sejalan dengan usaha untuk mewujudkan suatu peraturan

    yang lebih baik lagi sesuai dengan keadaan saat ini maupun masa mendatang.

    Kebijakan formulasi ialah merupakan suatu tahap awal dalam pembentukan suatu

    kebijakan hukum pidana, yang mana dalam tahap ini merupakan tahap yang

    sangat penting yang dilakukan oleh badan legislatif dalam membentuk suatu

    kebijakan pidana yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini sesuai

    dengan definisi kebijakan pidana yang di kemukakan oleh Prof Sudarto pada sub

    bab sebelumnya.

    Sesuai dengan fokus penelitian penulis ialah terkait kebijakan hukum pidana,

    maka penulis pun berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Prof. Sudarto yang

    memberikan definisi dari Kebijakan Hukum Pidana ialah:

    a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

    keadaan dan situasi pada suatu saat; dan

    b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

    menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

  • 75

    bisa digunakan untuk mengeksperesikan apa yang terkandung dalam

    masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

    Dalam sub bab sebelumnya telah dijelaksan paparkan beberapa Pasal dalam

    RKUHP terkait dengan Korporasi yaitu dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 54

    RKUHP. Dari pemaparan pasal-pasal tesebut, penulis menganalisis terkhususnya

    dalam Pasal 49 RKUHP tindak pidana dapat dibebankan pertanggungjawabannya

    kepada Korporasi apabila:

    a. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak

    untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi;

    b. Orang yang melakukan tindak pidana harus memiliki hubungan kerja

    atau hubungan lain dengan korporasi;

    c. Tindak pidana harus dilakukan dalam lingkup usaha korporasi, hal ini

    berkaitan dengan ketentuan Pasal 52 RKUHP 2015 yang menetukan

    bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan apabila perbuatan-

    perbuatan tesebut merupakain perbuatan yang intra vires; dan

    d. Tindak pidana dilakukan baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

    Selain dalam Pasal 49 RKUHP, dalam hal pertanggungajwaban pidana pada

    Pasal 50 RKUHP penulis berpendapat bahwa akan munculnya 3 (tiga)

    kemungkinan mengenai pertanggungjawaban Pidana Korporasi hal tesebut terlihat

    dari frasa “pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau

    pengurusnya” . Ketiga kemungkinan tersebut antara lain: (a) pertanggungjawaban

    dibebankan hanya kepada korporasi tanpa membebankan kepada manusia sebagai

    pelakunya, (b) pertanggungjawaban pidana hanya kepada pengurus korporasi

    (manusia pelakunya) tanpa membebankan pertanggungjawaban pidananya kepada

  • 76

    korporasi, dan (c) pertanggungjawaban pidana dibebankan baik kepada manusia

    pelakunya dan korporasi. Salah satu dari ketiga kemungkinan tesebut kemudian

    menurut penulis kemudian sedikit akan memberi ketidakadilan khususnya apabila

    hanya korporasi saja yang dibebankan pertanggungjawaban sedangkan pengurus

    tidak dibebankan pertanggungajwaban. Karena pada dasarnya bahwa korporasi

    merupakan Badan Hukum yang dikendalikan oleh agen-agen atau pengurus

    (manusia) dan tentunya korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri kecuali

    melalui manusia yang menjadi pengurus korporasi tesebut. Dalam hal

    pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pengurus, menurut penulis dapat

    dibebankan pertanggungjawaban dengan dasar adanya unsur “turut membantu”

    (Pasal 56 dan 57 KUHP) melakukan tindak pidana sehingga dalam penjatuhan

    pidana pengurus dapat dijatuhkan dengan maksimum pidana pokok terhadap

    kejahatan dikurangi sepertiga.

    Kemudian dari pemaparan diatas penulis berpendapat bahwa dalam RKUHP

    2015 terkhususnya terkait dengan Kejahatan Korporasi, ajaran pemidanaan yang

    dianut adalah Doctrin of Vicarious Liability dan Doctrin of Strict Liability. Hal ini

    pun sesuai dengan Pasal 39 RKUHP “selain menganut asas kesalahan, dalam

    tindak pidana tertentu diterapkan asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability)

    dan asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).