BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN -...
Transcript of BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN -...
12
BAB III
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.1 Geomorfologi
3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian
Geomorfologi di daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi peta
topografi, citra SRTM, citra DEM, dan pengamatan langsung di lapangan. Secara
umum, daerah penelitian terdiri dari perbukitan, dataran rendah dan bukit terisolir
yang dilalui oleh tiga sungai utama yaitu Sungai Cikaniki, Sungai Cianten dan
Sungai Ciaruteun. Elevasi permukaan di daerah penelitian berada pada 137,5-337
meter di atas permukaan laut (Gambar 3.1). Elevasi terendah berada pada lembah
Sungai Ciaruteun di bagian hulu dan elevasi tertinggi berada pada Bukit Cibodas.
Kemiringan lereng di daerah penelitian landai hingga sangat terjal (2%-140%), yang
diklasifikasikan berdasarkan kemiringan lereng oleh van Zuidam (1985) (Gambar
3.2). Peta kemiringan lereng didapatkan dari hasil modifikasi peta topografi digital
Bakosutranal dengan menggunakan software ArcGIS.
Peta Elevasi Daerah Ciampea-Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
U
0 2 km
Elevasi (meter) Keterangan
325 - 350 300 - 325 275 - 300 250 - 275 225 - 250 200 - 225 175 - 200 150 - 175 137.5 - 150
6° 34’12’’ LS
6° 32’50’’ LS 106° 41’40’’ BT
106° 36’00’’ BT
Gambar 3.1. Peta Elevasi Daerah Ciampea-Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Peta ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah penelitian berupa dataran rendah. Perbukitan cenderung terletak di sebelah barat daerah penelitian.
13
3.1.2 Pola Aliran Sungai
Berdasarkan klasifikasi Howard (1967, op. cit. Sampurno, 1986), pola aliran
sungai di daerah penelitian secara umum dapat dikelompokkan ke dalam pola aliran
dendritik dan subdendritik (Gambar 3.3). Pola aliran subdendritik terletak di sebelah
barat daerah penelitian yang memiliki morfologi dominan berupa perbukitan,
sedangkan pola aliran dendritik terdapat di sebelah timur daerah penelitian yang
memiliki morfologi berupa dataran rendah. Pada bagian tengah daerah penelitian
aliran sungai sebagian besar tidak alami karena teras sungai telah dibatasi oleh
dinding semen yang disesuaikan dengan pola pemukiman penduduk.
Keterangan Kemiringan Lereng (%)
0.00 - 2.00
2.00 - 7.00
7.00 - 15.00
15.00 - 25.62
25.62 - 70.00
70.00 - 140.00
Peta Kemiringan Lereng
Daerah Ciampea-Leuwiliang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat U
2 km 0
6° 34’12’’ LS 106° 36’00’’ BT
6° 32’50’’ LS
106° 41’40’’ BT
Gambar 3.2. Peta Kemiringan Lereng Daerah Ciampea-Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa barat. Peta ini dibuat berdasarkan peta kontur yang dimodifikasi menggunakan software ArcGIS. Peta ini menunjukkan kemiringan lereng sebagian besar daerah penelitian adalah landai
U
Gambar 3.3. Pola Aliran Sungai Daerah Penelitian. Pola aliran sungai daerah penelitian dikelompokkan menjadi dua bagian yakni, pola aliran dendritik dan pola aliran subdendritik. Pola aliran subdendritik cenderung berasal dari aliran Sungai Cikaniki. Sedangkan pola aliran dendritik cenderung berasal dari Sungai Cianten.
14
Pola aliran sungai subdendritik pada umumnya dipengaruhi oleh kekerasan
batuan disekitarnya yang cenderung keras serta morfologinya yang membentuk
perbukitan lipatan. Pada daerah dengan pola aliran ini dimungkinkan juga
dipengaruhi oleh adanya sesar. Sedangkan pola aliran sungai dendritik dipengaruhi
oleh litologi yang cenderung tidak resisten dan telah lapuk juga morfologi yang
hampir datar.
Daerah penelitian memiliki tiga sungai utama yakni, Sungai Cikaniki, Sungai
Cianten, dan Sungai Ciaruteun. Ketiga sungai tersebut pada umumnya memiliki
arah aliran timurlaut-baratdaya dengan teras sungai yang tinggi dan lembah sungai
berbentuk “U”. Sedangkan sungai-sungai kecil di daerah penelitian memiliki teras
sungai yang bervariasi dari rendah hingga tinggi dan lembah sungai yang berbentuk
“V”.
Secara genetik, sungai di daerah penelitian terbagi menjadi tiga yaitu sungai
konsekuen, sungai obsekuen dan sungai subsekuen. Sungai konsekuen adalah
sungai yang arah alirannya searah dengan struktur utama atau kemiringan lapisan
batuan dan dapat dijumpai di Sungai Cianten. Sungai subsekuen adalah sungai yang
arah alirannya searah dengan jurus lapisan batuan dan dapat dijumpai pada Sungai
Cijambu dan sungai kecil lainnya yang terletak di sekitar Gunung Jambu dan
Gunung Sudong. Sungai obsekuen adalah sungai yang arah alirannya berlawanan
dengan kemiringan lapisan batuan dan dapat dijumpai pada Sungai Citeras dan
Sungai Cikaniki.
.
Gambar 3.4. Sungai Cikaniki dengan arah aliran berlawanan dengan arah kemiringan lapisan yang dapat diklasifikasikan ke dalam sungai obsekuen
15
3.1.3 Pola Kelurusan
Berdasarkan data kelurusan punggungan, lembah, dan sungai dari citra DEM
daerah penelitian, terdapat pola kelurusan umum yang berarah timurlaut-baratdaya.
Pola umum tersebut diinterpretasikan sebagai arah sumbu lipatan dan sesar (Gambar
3.5). Pola yang berarah timurlaut-baratdaya diinterpretasikan sebagai arah sumbu
lipatan dan sesar di daerah penelitian
3.1.4 Satuan Geomorfologi
Berdasarkan pengamatan dari peta topografi, citra SRTM, DEM, dan
pengamatan lapangan, satuan geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi
empat satuan. Satuan geomorfologi di daerah penelitian yaitu:
- Satuan Perbukitan Kars
- Satuan Perbukitan Lipatan
- Satuan Lembah Homoklin
- Satuan Dataran Volkanik
Elevasi (meter) Keterangan
325 - 350
300 - 325
275 - 300
250 - 275
225 - 250
200 - 225
175 - 200
150 - 175
<150
T B
S
U
Gambar 3.5. Pola Kelurusan di Daerah Penelitian, terdapat pola kelurusan utama yang berarah timurlaut-baratdaya. Pola kelurusan ini menunjukkan arah dari sumbu lipatan dan sesar di daerah penelitian
16
- Satuan Bukit Volkanik
- Alluvial
3.1.4.1Satuan Perbukitan Kars
Satuan ini menempati 10% daerah penelitian. Satuan ini berada di bagian
timur dan selatan daerah penelitian seperti yang terlihat pada peta
geomorfologi (lihat Lampiran C.3), dan dicirikan oleh punggungan yang
memanjang baik dengan arah barat-timur maupun utara-selatan (Gambar
3.7). Satuan ini memiliki kemiringan lereng 8°-45°(7%-100%) yang
termasuk kelas lereng yang cukup terjal-terjal (berdasarkan klasifikasi van
Zuidam, 1985), dengan ketinggian topografi 200-337 m di atas permukaan
laut. Litologi yang menyusun satuan ini adalah batugamping yng sebagian
besar telah mengalami karstifikasi. Satuan ini dikontrol oleh kekerasan
batuan yang lebih keras dibandingkan batuan disekitarnya.
Pada umumnya tidak terdapat sungai pada satuan ini, kecuali sungai
bawah tanah yang terdapat pada Bukit Batugamping Cibodas. Pada Bukit
Batugamping Cibodas juga terdapat beberapa goa yang sebagian telah
tertutup oleh longsoran. Hal ini menunjukkan adanya pelarutan yang intensif
pada batugamping ini. Sungai-sungai cenderung mengalir di tepi satuan ini.
Hal ini menunjukkan bahwa satuan ini memiliki kekerasan batuan yang
lebih keras dibandingkan batuan disekitarnya sehingga sungai-sungai
cenderung mengerosi dan mengalir melewati batuan disekitarnya yang
kekerasannya lebih rendah.
Proses eksogen yang umum terjadi pada satuan ini adalah longsoran.
Longsoran pada batugamping pada umumnya disebabkan oleh penambang
batugamping yang menggunakan bahan peledak dalam proses
penambangannya.
17
3.1.4.2Satuan Perbukitan Lipatan
Satuan ini menempati 20% daerah penelitian. Satuan ini berada pada
bagian barat daerah penelitian seperti yang terlihat pada peta geomorfologi
(Lampiran C.3), dan dicirikan dengan morfologi yang berbukit-bukit
(Gambar 3.9) serta jurus dan kemiringan lapisan yang hampir sama. Satuan
ini memiliki kemiringan lereng 8°-45° (7%-100%) yang termasuk kelas
lereng yang cukup terjal hingga terjal (klasifikasi van Zuidam, 1985),
dengan ketinggian 175-317 m di atas permukaan laut. Litologi yang
Goa
Lereng yang terbentuk akibat longsoran
Gambar 3.6. Punggungan Batugamping Cibodas. Gambar ini menunjukkan bahwa lereng terbentuk akibat longsoran alamiah. Pada bukit ini juga terdapat goa yang lebih jelas terlihat karena longsoran yang terjadi.
Gambar 3.7. Punggungan Batugamping Cibodas dilihat dari Rancabungur, Bogor. Bentuknya memanjang berupa punggungan dengan lereng yang terjal di kedua sisinya.
18
menyusun satuan ini adalah batugamping, batupasir, batulempung, tufa, dan
konglomerat. Sumbu antiklin terdapat pada satuan ini yang ditandai dengan
adanya perbedaan kemiringan lapisan batuan di daerah Sungai Citeras yang
menjadi batas utara daerah penelitian.
Pola aliran sungai yang berkembang pada satuan ini adalah subdendritik.
Sungai yang melewati satuan ini adalah Sungai Cikaniki, Sungai Citeras,
dan beberapa sungai kecil lainnya. Sungai Cikaniki pada satuan ini memiliki
lembah sungai berbentuk “U”, teras yang tinggi, dan arus yang deras
(Gambar 3.8). Sedangkan Sungai Citeras beserta sungai kecil lainnya
memiliki lembah sungai berbentuk “V”, teras yang cukup tinggi, dan arus
yang cukup deras. Proses-proses eksogenik yang mempengaruhi satuan ini
adalah erosi yang bersifat vertikal, pelapukan, dan longsoran. Satuan ini juga
dipengaruhi oleh keberadaan gesar geser di Sungai Cikaniki. Tahapan
geomorfik pada satuan ini berada pada tahap dewasa yang terlihat dari
morfologi yang berupa perbukitan bergelombang dan proses erosi yang
intensif.
Gambar 3.8.Sungai Cikaniki yang memotong batugamping. Gambar ini menunjukkan erosi yang intensif juga pengaruh sesar yang menyebabkan batugamping dengan kekerasan yang tinggi dapat dipotong oleh aliran sungai.
19
3.1.4.3Satuan Lembah Homoklin
Satuan ini menempati 20% daerah penelitian. Satuan ini berada pada
bagian baratdaya daerah penelitian seperti yang terlihat pada peta
geomorfologi (lihat Lampiran C.3), dan dicirikan dengan morfologi yang
landai hingga sangat landai (Gambar 3.10a). Satuan ini memiliki kemiringan
lereng 0°-4° (0%-7%) yang termasuk kelas lereng sangat landai hingga
landai (berdasarkan klasifikasi van Zuidam, 1985) dengan ketinggian 150-
200 m di atas permukaan laut. Litologi yang menyusun satuan ini adalah
batulempung dan tufa-batupasir. Pada satuan ini, kemiringan lapisan batuan
yang ada seragam.
Bukit Jambu Bukit Sudong
Gambar 3.9. Satuan Perbukitan Lipatan. Satuan Perbukitan Lipatan dilihat dari jalan raya Leuwiliang-Jasinga. Kedua bukit tersebut terdiri dari litologi yang berbeda dan terpotong oleh Sungai Cikaniki.
Satuan Lembah Homoklin Gambar 3.10a. Satuan Lembah Homoklin. Foto diambil dari jalan menuju Bukit Sudong
20
Pola aliran sungai yang berkembang adalah dendritik. Sungai yang
melewati satuan ini adalah Sungai Cianten, Sungai Cikaniki bagian hulu,
Sungai Cihaniwung, dan sungai-sungai kecil yang terletak di sebelah timur
daerah penelitian. Sungai Cianten memiliki lembah sungai yang luas, aliran
air yang deras, lembah sungainya membentuk huruf “U”, dan teras yang
tinggi. Sungai Cihaniwung memiliki lembah sungai yang agak luas, aliran
air yang tidak deras dan lembah sungai yang membentuk huruf “U”. Proses-
proses eksogenik yang mempengaruhi satuan ini adalah erosi dan pelapukan.
Tahapan geomorfik pada satuan ini berada pada tahap dewasa yang dicirikan
oleh perubahan morfologi akibat pelapukan dan erosi yang intensif. Hal ini
juga terlihat dari meander-meander sungai utama pada satuan ini yang
menunjukkan tahapan sungai dewasa.
3.1.4.4Satuan Dataran Volkanik
Satuan ini menempati 30% daerah penelitian. Satuan ini berada pada
bagian baratdaya daerah penelitian seperti yang terlihat pada peta
geomorfologi (lihat Lampiran C.3), dan dicirikan dengan morfologi yang
landai hingga sangat landai (Gambar 3.10a). Satuan ini memiliki kemiringan
lereng 0°-4° (0%-7%) yang termasuk kelas lereng sangat landai hingga
landai (berdasarkan klasifikasi van Zuidam, 1985) dengan ketinggian 150-
200 m di atas permukaan laut. Litologi yang menyusun satuan ini adalah
breksi laharik.
Pola aliran sungai yang berkembang adalah dendritik. Sungai yang
melewati satuan ini adalah Sungai Cianten, Sungai Ciaruteun, Sungai
Cibungbulang, Sungai Cimangir, dan sungai-sungai kecil yang terletak di
Satuan Dataran Volkanik
Gambar 3.10. Satuan Dataran Volkanik. Foto ini diambil dari Bukit Batugamping Cibodas. Kemiringan lereng pada satuan dataran rendah jelas terlihat sangat landai – landai.
21
sebelah timur daerah penelitian. Sungai Cianten dan Sungai Ciaruteun
memiliki lembah sungai yang luas, aliran air yang deras, lembah sungainya
membentuk huruf “U”, dan teras yang tinggi. Sungai Cibungbulang
memiliki lembah sungai yang sempit, aliran air yang cukup deras, dan
lembah sungai yang membentuk huruf “V”. Sungai Cimangir dan sungai-
sungai kecil lainnya memiliki lembah sungai yang sempit, aliran air yang
tidak deras. Proses-proses eksogenik yang mempengaruhi satuan ini adalah
erosi dan pelapukan. Tahapan geomorfik pada satuan ini berada pada tahap
dewasa yang dicirikan oleh perubahan morfologi akibat pelapukan dan erosi
yang intensif. Hal ini juga terlihat dari meander-meander sungai utama pada
satuan ini yang menunjukkan tahapan sungai dewasa.
3.1.4.5Satuan Bukit Volkanik
Satuan ini menempati 10% daerah penelitian. Satuan ini berada di bagian
tengah daerah penelitian seperti yang terlihat pada peta geomorfologi (lihat
Lampiran C.3), dan dicirikan oleh bukit terisolir (Gambar 3.7). Satuan ini
memiliki kemiringan lereng 8°-45°(7%-100%) yang termasuk kelas lereng
yang cukup terjal-terjal (berdasarkan klasifikasi van Zuidam, 1985), dengan
ketinggian topografi 200-270 m di atas permukaan laut. Litologi yang
menyusun satuan ini adalah breksi dan lava (batuan beku). Satuan ini
dikontrol oleh kekerasan batuan yang lebih keras dibandingkan batuan
disekitarnya.
Pada umumnya tidak terdapat sungai pada satuan ini. Sungai-sungai
cenderung mengalir di tepi satuan ini. Hal ini menunjukkan bahwa satuan ini
memiliki kekerasan batuan yang lebih keras dibandingkan batuan
disekitarnya sehingga sungai-sungai cenderung mengerosi dan mengalir
melewati batuan disekitarnya yang kekerasannya lebih rendah. Proses
eksogen yang umum terjadi pada satuan ini adalah longsoran.
3.1.4.6 Alluvial
Satuan ini menempati 6% daerah penelitian. Satuan ini dicirikan dengan
lembah memanjang yang berarah timurlaut-baratdaya seperti yang terlihat pada peta
geomorfologi (lihat Lampiran C.3). Satuan ini memiliki kemiringan lereng 0°-4° (0-
2%) yang termasuk kelas sangat landai (klasifikasi van Zuidam, 1985) dengan
ketinggian 137.5-180 m di atas permukaan laut. Satuan ini terdapat di sepanjang
22
sungai-sungai utama daerah penelitian, yakni Sungai Cikaniki, Sungai Cianten, dan
Sungai Ciaruteun. Satuan ini terdiri dari material lepas berupa bongkah hingga
lempung yang merupakan hasil rombakan dari batuan beku, batuan sedimen, dan
material volkanik. Proses sedimentasi masih berlangsung hingga saat ini.
3.2 Stratigrafi
Secara regional, pada Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi, 1998) daerah penelitian
terdiri dari delapan satuan yaitu, Formasi Bojongmanik (Tmb), Anggota Batugamping
Formasi Bojongmanik (Tmbl), Tuf dan Breksi (Tmtb), Batuan Gunungapi Tua (Qvl dan
Qvu), Batuan Gunungapi Gunung Salak (Qvst dan Qvsb), dan Kipas Aluvium (Qav).
Berdasarkan jenis batuan, keseragaman, dan ciri-ciri fisik batuan yang dapat diamati di
lapangan. Satuan batuan di daerah penelitian dibagi menjadi tujuh satuan batuan tidak resmi.
Stratigrafi daerah penelitian diurutkan dari tua ke muda adalah sebagai berikut (Tabel 3.1)
Gambar 3.11. Aluvial pada Sungai Ciaruteun.
23
Tabel 3.1. Kolom stratigrafi daerah penelitian.
3.2.1 Satuan Batulempung
Satuan batulempung merupakan satuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian dan
terdiri dari batulempung, perlapisan batulempung-batupasir, perlapisan batulempung-
batugamping (Gambar 3.12a). Satuan batulempung menempati 20% daerah penelitian, dan
terletak di bagian barat seperti yang terlihat pada peta geologi (Lampiran C.1) dan tersingkap
baik di Sungai Cikaniki dan Citeras pada bagian barat daerah penelitian. Secara umum,
satuan ini tersingkap pada morfologi dataran rendah dan perbukitan homoklin dengan
ketinggian 180-210 m di atas permukaan laut. Kondisi singkapan pada umumnya cukup
segar- lapuk karena terdapat di sekitar sungai dan telah tererosi, akan tetapi di beberapa
tempat terdapat singkapan dengan perlapisan yang cukup baik, kedudukan singkapan
bervariasi. Perbedaan kemiringan dari kedudukan batuan tersebut menunjukkan adanya
24
lipatan antiklin. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini mencapai
lebih dari 500 m.
Secara megaskopis, batulempung ini berwarna abu-abu gelap, getas dan dicirikan
dengan flaser batupasir serta adanya nodul berupa batupasir . Pada batulempung ini terdapat
fosil moluska yang membentuk sebuah lapisan dengan arah tertentu. Beberapa bagian
batulempung terlihat hancur hingga tidak terlihat lagi lapisannya . Perlapisan batulempung-
batupasir menebal dan mengasar ke atas, pada batupasir terdapat struktur sedimen laminasi
dan graded bedding. Batulempung berwarna abu-abu gelap, getas, terdapat flaser batupasir.
Batupasir berwarna abu-abu terang, ukuran butir pasir sangat halus-kasar, bentuk butir
membulat tanggung, terpilah baik-sedang, kemas tertutup, mineral terdiri dari plagioklas,
glaukonit dan kuarsa. Perlapisan batulempung-batugamping menebal ke atas, pada
batugamping terdapat banyak acakan binatang. Ketebalan lapisan berkisar antara 2-15 meter.
Batulempung berwarna abu-abu gelap, getas dan terdapat banyak cangkang moluska yang
membentuk lapisan. Batugamping berwarna putih kotor, berupa batugamping grainstone
dengan fragmen koral, moluska, foraminifera, dan semen sparry kalsit. Secara mikroskopis
batugamping berupa batugamping grainstone (Klasifikasi Dunham, 1976), terdiri dari
fragmen koral 60%, foraminifera 2%, moluska 5%. Semen berupa sparry kalsit.
Berdasarkan hasil analisis keterdapatan fosil foraminifera plankton, satuan
batulempung ini berumur Miosen Tengah (N12-N13) (Lampiran B.1). Satuan batuan ini
merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian.
Lingkungan pengendapan pada satuan ini didasarkan pada fosil foraminifera bentos
yang ditemukan yaitu Nonion dan Elphidium yang menunjukkan lingkungan pengendapan
pada laut dangkal dengan kedalaman 0 - 200 m. Satuan ini merupakan bagian offshore bar
(Martodjojo, 1984). Hubungan satuan batulempung dengan satuan di bawahnya tidak
tersingkap di daerah penelitian. Dengan demikian, satuan ini merupakan satuan tertua di
daerah penelitian. Satuan ini disetarakan dengan batulempung Formasi Cibulakan
(Martodjojo, 1984).
25
3.2.2 Satuan Batugamping
Satuan Batugamping hanya terdiri dari satu litologi saja yaitu batugamping yang pada
bagian tertentu terdapat sisipan batulempung setebal 1-7 cm. Satuan ini menunjukkan
batugamping dengan fasies yang berbeda-beda.
Satuan Batugamping menempati 13% daerah penelitian, terletak di bagian barat dan
timur daerah penelitian seperti yang terlihat pada peta geologi (Lampiran C.1), dan tersingkap
baik di perbukitan Jambu, perbukitan Sudong, dan punggungan Cibodas. Secara umum,
satuan batugamping ini berupa bukit atau punggungan yang membentuk lereng-lereng yang
terjal. Kondisi singkapan pada satuan batugamping umumnya sangat segar hingga lapuk.
Satuan Batugamping ini merupakan lensa-lensa di dalam satuan batulempung. Berdasarkan
rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini sekitar 250-550 m.
Secara megaskopis, batugamping terdiri dari batugamping Boundstone (Framestone,
Bindstone, dan Bafflestone) , Rudstone dan Wackestone (Klasifikasi Dunham, 1962 dan
Embry and Klovan, 1971).
Batugamping Framestone terlihat jelas secara megaskopis dengan adanya massive head
coral, encrusting bryozoa, formaninifera dan alga. Batuan ini berwarna putih kotor hingga
abu-abu terang, sangat masif, padat dan terdapat di sebelah utara bagian tengah punggungan
Cibodas, sebelah barat perbukitan Jambu dan sebelah utara perbukitan Sudong.
Gambar 3.12a. dan 3.12b.Satuan Batulempung dengan kemiringan lapisan 700. Litologi berupa pelapisan batulempung-batugamping. Batulempung menebal ke atas. Pada batulempung ditemukan banyak gash fracture. Dan pada batugamping terdapat struktur acakan binatang.
26
Batugamping Bindstone terlihat jelas secara megaskopis dengan adanya coral pada
kondisi tumbuh, dengan pengisian lumpur karbonat, encrusting bryozoa, formaninifera dan
alga pada jarak antar koral. Batuan ini berwarna putih kotor hingga abu-abu terang, sangat
masif, padat dan terdapat di sebelah selatan bagian tengah punggungan Cibodas, sebelah
barat perbukitan Jambu, dan sebelah utara perbukitan sudong.
Gambar 3.13a batugamping terumbu, menunjukkan koral yang masih utuh.
Gambar 3.13b. head coral yang menunjukkan batugamping terumbu
Gambar 3.14. Batugamping terumbu dengan adanya branching coral pada kondisi tumbuh
27
Batugamping Bafflestone terlihat jelas secara megaskopis dengan adanya branching
coral pada kondisi tumbuh, dengan pengisian lumpur karbonat, encrusting bryozoa,
formaninifera dan alga pada jarak antar koral. Batuan ini berwarna putih kotor hingga abu-
abu terang, sangat masif, padat dan terdapat di sebelah selatan bagian tengah punggungan
Cibodas, sebelah barat perbukitan Jambu dan sebelah utara perbukitan sudong.
Batugamping Rudstone terlihat secara mikroskopis dengan butiran yang lebih dominan
dibandingkan dengan lumpur. Batuan ini berwarna putih kotor, berbutir kasar, berlapis
sangat buruk, padat dan terdapat di sebelah utara bagian timur punggungan Cibodas, sebelah
utara bagian tengah perbukitan Jambu dan sebelah utara perbukitan Sudong (Lampiran A.2).
Batugamping Wackestone terlihat secara mikroskopis dengan lumpur karbonat lebih
dominan dibandingkan dengan butiran. Batuan ini berwarna putih kotor hingga abu-abu,
berbutir halus hingga sedang, berlapis baik - sedang, padat dan terdapat di sebelah barat
punggungan Cibodas, sebelah timur perbukitan Jambu (Lampiran A.1) dan sebelah selatan
perbukitan Sudong.
Gambar 3.15. Batugamping Terumbu. Berupa koral dalam posisi tumbuh.
28
Pada satuan batugamping ini ditemukan fosil lepidocyclina (C-5), Nodosaria (B-4), dan
lain-lain. Berdasarkan ciri litologi yang ada, diperkirakan satuan ini berumur Miosen Tengah
dan diendapkan pada lingkungan neritik (0-200 m) dan merupakan lensa dari satuan
batulempung. Berdasarkan ciri lithologi yang ada, satuan batugamping ini diendapkan pada
back reef-reef front. Satuan ini disetarakan dengan lensa batugamping pada Formasi
Cibulakan (Martodjojo, 1984).
Gambar 3.17. Zonasi Marginal Reef. Menunjukkan korelasi antara facies batugamping dengan lingkungan pengendapannya.
Gambar 3.16. Batugamping Wackestone yang disisipi oleh batulempung menunjukkan pelapisan yang berkedudukan N124E/61
29
3.2.3 Satuan Tuff-Batupasir
Satuan batupasir terdiri dari litologi yaitu tuff , batupasir dan konglomerat. Satuan tuff-
batupasir menempati 13% daerah penelitian, terletak pada bagian barat daerah penelitian
seperti yang terlihat pada peta geologi (lihat Lampiran C.1), dan tersingkap baik di Sungai
Cijambu, sebelah selatan perbukitan Jambu dan di daerah Kawungluwuk. Secara umum
satuan ini berada pada morfologi perbukitan dan dataran rendah pada ketinggian 180-260 m
di atas permukaan laut. Kondisi singkapan pada umumnya cukup baik-lapuk, terdapat sisipan
tipis batulempung, kedudukan batuan N275°E/40° NE pada bagian utara daerah penelitian
dan N75°E/15°SE pada bagian selatan daerah penelitian. Berdasarkan rekonstruksi
penampang geologi, ketebalan satuan ini sekitar 180 m.
Secara megaskopis, Tuff berwarna putih, ukuran butir pasir halus hingga kasar, bentuk
butir membulat tanggung, terpilah baik, kemas tertutup, mineral terdiri dari mineral gelas dan
opak. Batupasir berwarna putih kecoklatan hingga abu-abu terang, ukuran butir pasir sangat
halus hingga kasar, bentuk butir membulat-membulat tanggung. Struktur sedimen yang
dijumpai berupa graded bedding, acakan binatang dan laminasi sejajar. Konglomerat
berwarna putih – hitam, terdiri dari fragmen tuff, andesit, dan batupasir, matriks berupa
batupasir tufaan. Secara mikroskopis tuff ini bertekstur klastik, terpilah buruk, kemas
terbuka, butiran 40%, terdiri dari butiran piroksen. Matriks 60% terdiri dari mineral gelas dan
mineral opak (Lampiran A.3).
Pada satuan batupasir ini, tidak ditemukan fosil petunjuk umur dan penciri lingkungan
pengendapan. Berdasarkan asosiasi foraminifera planktonik pada sisipan batulempung dan
ciri litologi yang ada, satuan ini berumur Miosen Tengah (N13-N14) dan diendapkan pada
lingkungan lagoon. Hal ini juga ditunjang dengan melimpahnya kandungan foraminifera
bentos berupa Rotalia becarii, Nonion, dan Elphidium pada sisipan batulempungnya.
Hubungan satuan tuff-batupasir dengan satuan di bawahnya adalah selaras. Satuan ini
disetarakan dengan tuff-batupasir Formasi Bojongmanik (Martodjojo, 1984).
3.2.4 Satuan Breksi Volkanik
Satuan Breksi Volkanik terdiri dari litologi breksi dan batuan beku (lava). Satuan ini
menunjukkan breksi dengan matriks berupa pasir dengan fragmen andesit (Gambar 3.18).
Satuan breksi volkanik menempati 8% daerah penelitian, terletak di menyebar di bagian
tengah daerah penelitian seperti yang terlihat pada peta geologi (Lampiran C.1), dan
tersingkap baik di perbukitan Sudong, Galuga dan Bukit Jatake. Secara umum, satuan breksi
ini tersingkap pada daerah dengan ketinggian 190-336 m di atas permukaan laut. Kondisi
30
singkapan pada satuan breksi umunya segar hingga sangat lapuk. Kedudukan batuan pada
satuan ini tidak terlihat begitu baik. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebalan
satuan ini sekitar 100 m.
Secara megaskopis, breksi berwarna abu-abu, monomik, berukuran butir kerikil-
bongkah, bentuk butir menyudut tanggung, matriks berupa pasir, terpilah buruk, kemas
terbuka terdiri dari fragmen andesit. Fragmen breksi berupa andesit, memiliki ciri-ciri
megaskopis batuan andesit warna abu-abu, masif, tekstur afanitik, holokristalin, bentuk butir
subhedral-anhedral, terdiri dari mineral piroksen, plagioklas, dan kuarsa. Secara mikroskopis,
sayatan tipis pada breksi terbagi dua yaitu pada matriks (massa dasar) dan fragmen. Fragmen
merupakan andesit bertekstur holokristalin, porfiritik, fenokris 25%, terdiri dari olivin 15%,
piroksen 7%, dan mineral opak 3%, ukuran kristal 0,1-1 mm, massa dasar 65%, struktur
aliran dan intersertal, terdiri dari plagioklas, olivin, gelas, dan mineral opak (Lampiran
A.4). Dan lava berupa batuan beku andesit, memiliki ciri-ciri megaskopis batuan andesit
warna abu-abu, masif, tekstur afanitik, holokristalin, bentuk butir subhedral-anhedral, terdiri
dari mineral piroksen, plagioklas, dan kuarsa.
Pada satuan breksi volkanik ini tidak ditemukan fosil petunjuk umur dan penciri
lingkungan pengendapan. Berdasarkan ciri litologi yang ada, diperkirakan satuan ini berumur
Plistosen Atas dan diendapkan pada lingkungan darat. Hubungan satuan breksi dengan satuan
batuan di bawahnya adalah tidak selaras, walaupun tidak ditemukan kontak di antaranya.
Gambar 3.18. Fragmen Batuan Andesit dari Satuan Breksi. Fragmen ini memiliki ukuran bongkah.
31
3.2.6 Satuan Breksi Laharik
Satuan ini merupakan breksi yang berasal dari hasil kegiatan vulkanisme dari Gunung
Salak (Effendi, 1988) yang diendapkan pada lingkungan daratan setelah terjadinya
pengangkatan.
Satuan ini menempati 45% daerah penelitian, terletak pada bagian timur daerah
penelitian seperti yang terlihat pada peta geologi (lihat Lampiran C.1), dan tersingkap baik di
Sungai Cibungbulang dan Sungai Ciaruteun. Secara umum satuan ini berada pada morfologi
dataran rendah ketinggian 156-200 m di atas permukaan laut. Hal ini dikarenakan mekanisme
pengendapan satuan ini berupa aliran laharik yang mengalir sepanjang lembah dan membawa
aliran massa berupa material-material vulkanik dan rombakan batuan sepanjang lembah.
Kondisi singkapan yang berada pada lembah sungai umumnya agak lapuk karena telah
mengalami erosi. Struktur batuan yang terlihat pada singkapan ini berupa struktur initial dip
dengan kemiringan yang relatif kecil atau kurang dari 15°. Berdasarkan rekonstruksi
penampang geologi, ketebalan satuan ini 70 m.
Secara megaskopis, breksi laharik berwarna putih kecoklatan, polimik, berukuran butir
kerikil-bongkah, bentuk butir menyudut tanggung, matriks berupa debu vulkanik berukuran
pasir, terpilah buruk, kemas terbuka, terdiri dari fragmen andesit, batugamping, batupasir,
Gambar 3.19. Kekar kolom pada satuan breksi volkanik di Bukit Jatake. Keberadaan kekar kolom ini menjadi sebab terbentuknya air terjun Curug Sikabayan.
32
dan tuff. Fragmen breksi laharik, memiliki ciri-ciri megaskopis batuan andesit warna abu-
abu, masif, tekstur afanitik, holokristalin, bentuk butir subhedral-anhedral, terdiri dari
mineral piroksen, olivine, plagioklas, dan kuarsa. Fragmen breksi yang berupa andesit secara
mikroskopis bertesktur hipokristalin, porfiritik, fenokris 40%, butiran terdiri dari piroksen
20%, olivin 5%, mineral opak 8% dan mineral gelas 7%, subhedral-anhedral, ukuran kristal
0,1- 1 mm, massa dasar 60% intergranular dan trakitik, terdiri dari plagioklas, piroksen,
kuarsa, gelas, dan mineral opak.
Satuan ini diendapkan pada lingkungan darat setelah terjadinya pengangkatan dan
merupakan produk gunungapi tua (Martodjojo, 1984). Satuan ini merupakan hasil kegiatan
vulkanisme dari Gunung Salak (Effendi, 1998) dengan mekanisme pengendapan berupa
aliran lahar. Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada Effendi (1998) yang memperoleh
umur Plistosen akhir. Hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan di bawahnya tidak
selaras.
Gambar 3.20. Satuan Breksi Laharik yang tersingkap di Sungai Ciaruteun. Breksi memiliki matriks berupa tuff dan fragmen andesit, tuff, batugamping, batupasir.
33
3.2 Struktur Geologi
Identifikasi unsur struktur di daerah penelitian didasari pada penafsiran citra radar, citra
DEM, peta topografi, dan pengamatan lapangan. Untuk memudahkan identifikasi unsur
struktur di lapangan, maka penafsiran awal dilakukan yaitu berupa analisis citra radar, citra
DEM, dan peta topografi.
3.3.1 Analisis Citra Radar dan DEM
Untuk mendapatkan pola-pola umum struktur geologi daerah penelitian, dilakukan
interpretasi dan analisis kelurusan berdasarkan data citra DEM yang diolah dari peta
topografi digital dengan menggunakan ArcGIS 9.3. Berdasarkan hasil analisis diagram Roset
(Gambar 3.5), terdapat dua arah utama yaitu dan baratlaut-tenggara. Pola yang berarah
timurlaut-baratdaya mencerminkan arah perlapisan batuan dan sumbu lipatan, sedangkan arah
baratlaut-tenggara mencerminkan arah sesar di daerah penelitian. Citra DEM dan Citra radar
digunakan untuk menginterpretasikan pergeseran-pergeseran kelurusan bukit yang
mengindikasikan gejala sesar.
3.3.2 Struktur Lipatan
Adanya lipatan pada daerah penelitian dapat disimpulkan dari perubahan arah
kemiringan pada lapisan batuan. Jenis lipatan pada daerah penelitian didasarkan pada
klasifikasi Rickard (1971) dalam Harsolumakso (1997) dan klasifikasi sudut antar sayap.
Struktur lipatan di daerah penelitian memiliki arah sumbu lipatan Timurlaut-Baratdaya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, arah lipatan ini telah dapat dilihat dari arah umum
kelurusan yang terdapat di daerah penelitian. Struktur lipatan tersebut didapatkan dari hasil
rekonstruksi penampang geologi dari kedudukan lapisan yang diamati di daerah penelitian.
Berdasarkan arah sumbu lipatan, dapat diambil kesimpulan awal bahwa arah tegasan utama
yang bekerja di daerah penelitian memiliki arah Utara-Selatan.
3.3.2.1 Lipatan Antiklin
Pada daerah penelitian, lipatan antiklin ditandai dengan adanya perubahan jurus
dan kemiringan yang ditemukan pada daerah Sadeng-Jambu. Kedudukan lapisan
batulempung pada meander Sungai Cikaniki adalah N250°E/60°NE, sedangkan pada
Sungai Citeras memiliki kedudukan lapisan N124°E/50°SW. Arah sumbu lipatan
memiliki arah timurlaut-baratdaya. Perlipatan diperkirakan terjadi pada kala Miosen
Akhir setelah diendapkan Formasi Cibulakan dan Bojongmanik (Martodjojo, 1984).
34
3.3.3 Struktur Sesar
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar–sesar naik
berarah ENE-WSW, sesar-sesar geser berarah NNE–SSW dan NW-SE. Bukti-bukti yang
menunjukkan adanya struktur-struktur tersebut diantaranya berupa data kekar gerus (shear
fracture), breksiasi, off set lapisan, cermin sesar dan kedudukan lapisan. Sesar-sesar tersebut
diberi nama berdasarkan sifat pergeserannya dan lokasi geografis tempat sesar tersebut
dijumpai.
3.3.3.1 Sesar Naik
Sesar naik di daerah penelitian diinterpretasikan berdasarkan keberadaan batuan
yang berumur lebih tua terletak di atas batuan yang lebih muda berdasarkan
rekonstruksi penampang geologi (Lampiran E3), keberadaan lapisan tegak atau hampir
tegak pada litologi batugamping, cermin sesar, perubahan kemiringan lapisan secara
drastic, analisis kelurusan kontur dan sungai, serta terlihat adanya punggungan terjal
(Foto 4.6).
Sesar Naik Jambu
Sesar ini berada pada batas lapisan antara satuan batugamping dan satuan
batulempung dengan satuan tuff-batupasir. Sesar ini diinterpretasikan berdasarkan
keberadaan lapisan batuan yang lebih tua di atas lapisan batuan yang lebih muda
berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, keberadaan lapisan hampir tegak, analisis
kelurusan kontur dan sungai, serta cermin sesar. Berdasarkan analisa tersebut, sesar ini
diklasifikasikan sebagai sesar naik dengan arah relatif timurlaut-baratdaya dan dipotong
oleh sesar mendatar pada sungai Cikaniki.
Gambar 3.21a. dan 3.21b. Cermin Sesar pada batugamping yang tidak terlalu terlihat jelas karena telah lapuk dan batupasir. Cermin sesar ini menunjukkan gejala sesar naik.
35
Sesar Naik Sadeng
Sesar ini berada pada batas lapisan antara satuan batugamping dan satuan batulempung
dengan satuan tuff-batupasir. Sesar ini diinterpretasikan berdasarkan keberadaan lapisan
batuan yang lebih tua di atas lapisan batuan yang lebih muda berdasarkan rekonstruksi
penampang geologi, keberadaan lapisan yang cukup tegak dan perubahan kemiringan
lapisan yang drastis. Berdasarkan analisa tersebut, sesar ini diklasifikasikan sebagai
sesar naik dengan arah relatif timurlaut-baratdaya dan dipotong oleh sesar mendatar
pada sungai Cikaniki.
Sesar Naik Cibodas
Sesar ini berada pada satuan batugamping. Sesar ini diinterpretasikan berdasarkan
rekonstruksi penampang geologi, analisis kelurusan kontur dan sungai, adanya
punggungan terjal serta keberadaan cermin sesar. Berdasarkan analisa tersebut, sesar ini
diklasifikasikan sebagai sesar naik dengan arah relatif barat-timur. Sesar inilah yang
menyebabkan punggungan Cibodas memiliki topografi jauh lebih tinggi dibandingkan
sekitarnya dan morfologi berupa punggungan yang memanjang berarah barat-timur.
Daerah Penelitian
Gambar 3.22. Citra SRTM yang menunjukkan kelurusan yang menunjukkan arah sesar-sesar di daerah penelitian.
36
3.3.3.2 Sesar Mendatar Cikaniki
Gejala struktur sesar yang ditemukan di lapangan adanya kekar gerus, gash
fracture, breksiasi dan offset litologi yang memperlihatkan gejala sesar mendatar
dengan pergerakan mengiri (Gambar 3.34). Gejala-gejala tersebut didukung dengan
analisis citra DEM yang memperlihatkan adanya pergeseran pada kelurusan
punggungan dan lembah. Berdasarkan analisis kinematik (lihat lampiran C.1) yang
dilakukan dari data perpotongan gash fracutre dan kekar gerus serta arah breksiasi
didapat sesar mengiri. Sesar ini ditafsirkan terbentuk setelah terjadinya lipatan yakni
pada fase kompresi Plio-Plistosen yang kemudian memotong sumbu lipatan yang telah
ada.
Gambar. 2.23. Offset lapisan batuan yang terlihat di Sungai Cikaniki. Offset ini menunjukkan keberadaan sesar geser mengiri.