BAB III ASAL USUL, PELAKSANAAN DAN PEMAKNAAN … · dua dukuh yaitu dukuh Gang Malang dan Mbatur,...

35
1 BAB III ASAL USUL, PELAKSANAAN DAN PEMAKNAAN JAGONGAN DI SEMBATURAGUNG Bab ini akan memaparkan mengenai hasil penelitian terhadap Jagongan kematian di masyarakat Sembaturagung. Data diperoleh melalui teknik wawancara. Bab ini akan disajikan sebagai berikut: I. Gambaran Umum Desa Sembaturagung. 1.1 Kondisi Geografis. Desa Sembaturagung merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Jakenan, Kabupaten pati. Kecamatana Jakenan pada masa kolonial menjadi ibukota Kawedanan yang membawahi Kecamatan Jaken, Jakenan, Pucakwangi, dan Winong. Namun setelah Indonesia merdeka, terjadilah pemusatan pemerintahan yang ada di Pati, sehingga Jakenan menjadi sebuah kecamatan seperti halnya kecamatan Jaken, Pucakwangi dan Winong 1 . Kecamatan Jakenan terletak di bagi an timur Kabupaten Pati (sekitar 16 km ke arah timur kota Pati). Berada di ketinggian antara 10-25 meter dpl. Tepatnya berada di koordinat 6°45'0?LS,111°11'0?BT - 7°4'29?LS,111°9'3?BT. Kecamatan ini berbatasan dengan: Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Juwana. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jaken. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pucakwangi dan Winong. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pati Kota dan dibatasi oleh sungai terbesar di Kabupaten Pati, Sungai Juwana. Seluruh wilayah kecamatan Jakenan terletak di dataran rendah dengan tanah berjenis aluvial. Wilayah barat yang menjadi daerah aliran sungai Juwana setiap tahun pada musim penghujan menjadi langganan banjir akibat meluapnya Sungai Juwana. Secara administratif, 1 Data dari kantor desa Sembaturagung. Diakses pada tanggal 16 Juni 2017 WIB..

Transcript of BAB III ASAL USUL, PELAKSANAAN DAN PEMAKNAAN … · dua dukuh yaitu dukuh Gang Malang dan Mbatur,...

  • 1

    BAB III

    ASAL USUL, PELAKSANAAN DAN PEMAKNAAN JAGONGAN DI

    SEMBATURAGUNG

    Bab ini akan memaparkan mengenai hasil penelitian terhadap Jagongan kematian di

    masyarakat Sembaturagung. Data diperoleh melalui teknik wawancara. Bab ini akan disajikan

    sebagai berikut:

    I. Gambaran Umum Desa Sembaturagung.

    1.1 Kondisi Geografis.

    Desa Sembaturagung merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Jakenan,

    Kabupaten pati. Kecamatana Jakenan pada masa kolonial menjadi ibukota Kawedanan yang

    membawahi Kecamatan Jaken, Jakenan, Pucakwangi, dan Winong. Namun setelah Indonesia

    merdeka, terjadilah pemusatan pemerintahan yang ada di Pati, sehingga Jakenan menjadi sebuah

    kecamatan seperti halnya kecamatan Jaken, Pucakwangi dan Winong1. Kecamatan Jakenan

    terletak di bagi an timur Kabupaten Pati (sekitar 16 km ke arah timur kota Pati). Berada di

    ketinggian antara 10-25 meter dpl. Tepatnya berada di koordinat 6°45'0?LS,111°11'0?BT -

    7°4'29?LS,111°9'3?BT. Kecamatan ini berbatasan dengan:

    Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Juwana.

    Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jaken.

    Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pucakwangi dan Winong.

    Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pati Kota dan dibatasi oleh sungai terbesar di

    Kabupaten Pati, Sungai Juwana.

    Seluruh wilayah kecamatan Jakenan terletak di dataran rendah dengan tanah berjenis

    aluvial. Wilayah barat yang menjadi daerah aliran sungai Juwana setiap tahun pada musim

    penghujan menjadi langganan banjir akibat meluapnya Sungai Juwana. Secara administratif,

    1 Data dari kantor desa Sembaturagung. Diakses pada tanggal 16 Juni 2017 WIB..

  • 2

    kecamatan Jakenan terdiri atas 23 desa yang terbagi ke dalam 58 Rukun Warga (RW) dan 341

    Rukun Tetangga (RT). Desa-desa tersebut adalah: Bungasrejo, Dukuhmulyo, Glonggong,

    Jakenan, Jatisari, Kalimulyo, Karangrejo Lor, Karangrowo, Kedungmulyo, Mantingan Tengah,

    Ngastorejo, Plosojenar, Puluhan Tengah, Sembaturagung, Sendangsoko, Sidoarum, Sidomulyo,

    Sonorejo, Tambahmulyo, Tanjungsari, Tlogorejo, Tondokerto, dan Tondomulyo.

    1.2 Kondisi Demografis.

    Mata pencaharian penduduk kecamatan Jakenan sebagian besar adalah bertani dengan

    memanfaatkan lahan pertanian berupa sawah tadah hujan. Sebagian lagi menggantungkan hidup

    sebagai buruh pada berbagai industri yang ada di kota Juwana dan Pati kota. Karena minimnya

    lapangan pekerjaan yang tersedia maka tidak sedikit warga yang pergi merantau ke lain daerah

    bahkan ke luar negeri, seperti umumnya warga kabupaten Pati lainnya. Selain padi, produk

    pertanian daerah ini adalah tebu, kedelai, dan kacang hijau. Kecamatan Jakenan mempunyai

    empat pasar: Pasar Jakenan yang diberi nama pasar Gorejo, pasar ini digunakan sebagai pasar

    orang dan pasar hewan, namun pasar ini mulai sepi beberapa tahun terakhir. Pasar

    Sembaturagung yang disebut pasar Jagan, bertempat di desa Sembaturagung dibuka setiap hari,

    di desa Glonggong ada sebuah pasar kecil yang biasa disebut pasar dadak’an karena hanya ada

    di saat fajar sampai jam 9an pagi dan pasar yang terakhir ada di Banglean yang terdapat di desa

    Tambahmulyo.

    1.2.1 Desa Sembaturagung.

    Sembaturagung merupakan salah satu desa di kecamatan Jakenan, desa ini terbagi atas

    dua dukuh yaitu dukuh Gang Malang dan Mbatur, dengan luas wilayah2:

    Pemukiman 44 ha.

    Sawah 196,276 ha.

    Ladang atau tegalan 49.460 ha.

    Perikanan (kolam, empang) 14,14 ha.

    2. Data diperoleh dari Waryanti sebagai pelaksana sensus ekonomi di desa Sembaturagung tahun 2015.

    Wawancara dengan waryanti pada tanggal 16 Juni 2017 WIB.

  • 3

    Jumlah penduduk Sembaturagung adalah sebagai berikut: 960 kepala keluarga, 3.197

    jiwa, 1.559 laki-laki dan 1638 perempuan. Struktur mata pencaharian warga desa Sembaturgung

    adalah sebagai berikut: Petani 1.257 orang, Pedagang 256 orang, Pns 89 orang, Buruh 116 orang,

    Peternak 9 orang, Nelayan /perikanan 2 orang, Industri kecil 40 orang, dan Jasa 6 orang. 94

    persen penduduk kecamatan Jakenan adalah suku Jawa, sedangkan sisanya adalah warga

    keturunan Thionghua dan dari luar pulau Jawa yang menikah dengan warga masyarakat setempat

    atau sedang mencari nafkah di desa ini.

    1.3. Jemaat GITJ Sembaturagung.

    1.3.1 Profil GITJ Sembaturagung.

    Sejarah berdirinya gereja GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa) Sembaturagung diawali

    dengan bertobatnya Slamet Santosa3 diawal bulan juli 1967. Slamet Santosa yang pada waktu itu

    berprofesi sebagai sekertaris desa memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat sehingga

    beliau dengan mudah mengajak masyarakat untuk ikut menerima layanan kristiani. Dibantu

    dengan sepupunya yang bernama Supomo (Purnawirawan TNI), mereka terus mengajak banyak

    warga menerima layanan kristiani. Setelah berjalan tiga bulanan, maka oleh pendeta Susanto

    harso yang waktu itu melayani di GITJ Juwana dan Pendeta S. Djojodiharjo yang bertindak

    sebagai ketua sinode GITJ meresmikan pepanthan (cabang pelayanan) Sembaturagung sebagai

    bagian dari cabang pelayanan GITJ induk Juwana.

    Seiring dengan berjalannya waktu, pepanthan Sembaturagung semakin berkembang

    secara kuantitas maupun kualitasnya, sehingga pada tanggal 17 oktober 2001 pepanthan GITJ

    Sembaturagung didewasakan sebagai gereja yang mandiri dengan pendeta Rukani sebagai

    gembala jemaatnya. Pada saat didewasakan sebagai gereja yang mandiri, jumlah jemaat secara

    keseluruhan yaitu mulai dari anak-anak sekolah minggu sampai dewasa ada 128 jiwa.

    Keseluruhan warga jemaat ini hanya berasal dari satu desa saja, yaitu desa Sembaturagung.

    3 Buku sejarah gereja GITJ Sembaturgung terbitan 2016. Sejarah ini selalu dibacakan dalam ibadah

    perayaan hari ulang tahun gereja yang selalu dirayakan setiap tanggal 17 oktober. Slamet Santosa adalah tokoh perintis dari pendirian gereja Sembaturagung.

  • 4

    Sampai pada tanggal 5 oktober 2017, jumlah warga jemaat GITJ Sembaturagung

    berjumlah 289 jiwa yang terdiri dari laki-laki 92 jiwa, perempuan 119 jiwa, kaum muda 32 jiwa,

    remaja 11 jiwa dan 34 anak-anak sekolah minggu.4 98% warga jemaat berasal suku Jawa

    sehingga budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Jawa begitu terasa dalam komunitas ini. Bahasa

    pengantar dalam setiap bentuk pelayanan ibadah hampir keseluruhannya memakai bahasa Jawa

    sebagai bahasa ibu mereka.

    Gereja GITJ Sembaturagung ini menganut sistem konggregasional sinodal yang artinya

    gereja setempat memiliki kewenangan untuk mengelola seluruh penatalayanan jemaat lokalnya

    dengan mengacu kepada tata gereja yang disepakati oleh seluruh gereja-gereja anggota sinode

    yang telah ditetapkan dalam sidang raya.5 Artinya bahwa setiap gereja lokal atau setempat dari

    sinode GITJ diberi keleluasaan untuk mengembangkan pelayanan sesuai konteksnya, namun

    tidak bertentangan dengan tata dasar tata laksana sinode (Tata Gereja).

    1.3.2 Pelayanan Kematian di GITJ Sembaturagung.

    Secara umum proses pelayanan kematian pada warga jemaat yang meninggal dunia

    tidak terlalu banyak perbedaan dengan warga desa yang mengalami kematian. Hanya saja pada

    beberapa bagian sudah mengalami sedikit modifikasi oleh karena pengaruh kekristenan. Jika

    pada pemberitaan dukacita pada saudara yang beragama muslim biasanya disiarkan lewat

    pengeras suara di masjid atau mushola, namun jika yang meninggal adalah warga nasrani maka

    berita dukacita ini biasanya disampaikan dari mulut ke mulut ataupun melalui alat

    telekomunikasi seperti handphone. Pernah juga beberapa kali ada anggota nasrani yang

    meninggal dunia namun pemberitaan kabar dukacita tersebut disiarkan lewat pengeras suara di

    masjid yang ada di desa ini,6 namun lebih banyak disampaikan dari mulut ke mulut.

    Sama seperti pada proses perawatan jenasah pada umumnya, setiap warga jemaat yang

    meninggal juga disuceni. Artinya dimandikan dan dirawat sedemikian rupa sebagai bentuk

    4 Data diambil dari buku keanggotaan gereja GITJ Sembaturagung tahun 2017. 5 Buku Tata Gereja Sinode GITJ revisi tahun 2015. 6 Wawancara dengan Suwignyo dilakukan pada tanggal 17 Juni 2017.

  • 5

    perawatan dan penghormatan yang terakhir bagi almarhum yang biasanya akan dipimpin oleh

    seorang majelisbagian diakonia. Setelah selesai dibersihkan dan beri pakaian yang baru atau

    yang pantas, maka layon akan diletakkan di ruang tengah supaya setiap anggota keluarga,

    kerabat dan siapa saja yang hendak memberi penghormatan terakhir akan dapat dengan mudah

    melakukannya.

    Sementara di rumah duka sedang ada proses perawatan bagi jenasah yang meninggal,

    maka di pemakaman juga terjadi proses pembuatan liang lahat sebagai tempat peristirahatan

    yang terakhir bagi almarhum. Ukuran liang lahatnya pun sama dengan yang lain, yaitu dua meter

    panjangnya serta lebar dan dalamnya masing-masing satu meter, hanya yang membedakannya

    adalah ketiadaan cemuri,7 sebab jenasah tidak dibungkus kain kafan namun diberi pakaian

    lengkap lalu dibaringkan di dalam peti kemudian baru dimasukkan ke dalam liang lahat.

    Setelah semua proses persiapan jenasah dan liang lahat selesai, maka di rumah duka

    akan diadakan Pangabekti panguntape layon (ibadah pemberangkatan jenasah). Ibadah ini selalu

    dipimpin oleh pendeta jemaat dan biasanya berlangsung hanya 1 sampai 1,5 jam saja, yang

    kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari wakil keluarga yang berduka, dari wakil gereja dan

    perangkat desa. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan pemberangkatan jenasah menuju ke

    pemakaman. Prosesi ibadah dipemakaman juga berlangsung sangat singkat, berupa pembacaan

    satu bagian dari kitab suci yang kemudian disambung dengan pembacaan pengakuan iman rasuli

    secara bersama-sama. Setelah itu maka jenasah almarhum segera ditimbun dengan tanah.

    Ketika proses pemakaman selesai, sebagian besar warga akan pulang ke rumah mereka

    atau kembali ke pekerjaan mereka yang mereka tinggalkan karena adanya peristiwa kematian

    tersebut, hanya kerabat dekat dan beberapa tetangga dekat yang langsung kembali ke rumah

    duka untuk menemani keluarga inti yang sedang berduka. Namun pada malam harinya,

    masyarakat akan kembali ke rumah duka untuk Njagong. Namun ada perbedaan yang cukup

    besar dalam proses pendampingan yang dilakukan masyarakat kristen kepada anggota warganya

    7 Cemuri adalah sebuah galian yang dibuat seukuran badan manusia yang ada di dasar liang lahat.

    Biasanya diperuntukan bagi warga masyarakat yang beragama muslim.

  • 6

    yang mengalami kedukaan dengan masyarakat Sembaturagung yang beragama non kristen. Jika

    pada masyarakat yang beragama muslim atau penganut kepercayaan melakukan kegiatan

    pendampingan secara formal sesuai kepercayaan yang mereka percayai tersebut bisa berlangsung

    selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, namun bagi warga kristen justru hanya

    berlangsung selama dua malam atau dua hari, yaitu ibadah panglipuran (Penghiburan) malam

    pertama dan kedua saja. Ketetapan tersebut dikarenakan adanya keputusan konven8 para

    pengajar se-sinode GITJ. Kesepakatan hasil konven tersebut kemudian dilaksanakan oleh seluruh

    anggota gereja se-sinode GITJ, tidak terkecuali GITJ Sembaturagung. Itulah sebabnya, sejak

    diputuskannya hasil konven tersebut maka ibadah penghiburan hanya dilakukan selama dua

    malam berturut-turut saja.

    Suwignyo9 menuturkan bahwa sebenarnya penghiburan selama dua hari dirasakan

    masih sangat kurang oleh keluarga yang berduka. Baginya, kehadiran pendeta, majelis dan

    segenap jemaat di rumah dukanya menjadi kekuatan tersendiri yang menopang hidupnya. Pujian

    dan renungan firman Tuhan yang disampaikan oleh pelayan firman begitu menguatkan baginya

    dalam menjalani hari-hari yang penuh duka tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh

    Saryo:

    “Tinilar dening tiyang ingkang sampun gesang sesarengan kaleh kula langkung saking

    40 tahun punika mboten perkawis ingkang gampil. Saben dinten, rina wengi tansah

    sesarengan, lajeng kapedotan sesambetan punika saestu sedih sanget. Sinaosa kula

    mangertos mangke ing kalanggengan badhe pinanggih malih, nanging samangke saestu

    remuk raose manah kula. Kejawi kekiatan saking Gusti Yesus, bapa pandita, sedaya

    majelis dan sederek nunggil pitados ingkang sampun mbiyantu abot repote kula saha

    ngrencangi kula nalika nandang duhkita saestu ngenthengi momotan kawula. Namung

    kemawon, menawi saget, mbok anggenipun kekempalan panglipuran dipun tambahi

    maleh supados griya kula mboten suwung.” 10

    8 Konven adalah sebuah pertemuan bersama para pengajar se-sinode GITJ yang dihadiri oleh para

    pendeta, pembantu pendeta, pendeta khusus dan guru Injil yang membahas tentang sebuah isu teologi ataupun hal-hal yang perlu dibahas secara ber-sinode. Pada konven tahun 2009 yang bertempat di Bandungan, Ambara, ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan yaitu mengenai pelayanan Pangrukti layon (Pelayanan kematian) bahwa mengenai pelaksanaan pelayanan ibadah penghiburan diputuskan bersama bahwa hanya boleh dilakukan selama dua hari berturut-turut saja.

    9 Wawancara dengan Suwignyo pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. Suwignyo adalah informan yang mengalami kedukaan karena kematian ibunya.

    10 Wawancara dengan Saryo pada tanggal 17 Juni 2017. Saryo adalah informan yang mengalami kedukaan karena kematian istrinya.

  • 7

    Kehadiran pendeta, seluruh majelis dan segenap jemaat menjadi sumber penghiburan

    tersendiri bagi hidupnya. Dengan kehadiran banyak orang di rumahnya, Saryo merasa bahwa ada

    begitu banyak orang yang peduli dan mengasihi dirinya. Hal itu merupakan sebuah motivasi

    yang besar baginya sehingga terus kuat menjalani hidup meskipun istrinya sudah tidak bersama-

    sama dia lagi. Ibadah penghiburan selama dua hari baginya terasa begitu kurang, namun apa

    daya sebab keputusan sudah diambil. Mereka masih mengharapkan agar di luar ibadah tersebut,

    pendeta dan warga jemaat tetap bersedia hadir untuk menemani mereka melewati masa-masa

    sedih tersebut.

    II. Asal Usul Jagongan.

    2.1 Istilah Jagongan.

    Setiap kebudayaan pasti sudah mengembangkan berbagai perangkat dan kebijaksanaan

    budaya untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap tahapan dari siklus perkembangan

    kehidupan manusia, mulai dari kelahiran sampai kematian. Karena kematian dan kedukaan

    adalah bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka setiap kebudayaan

    pasti memiliki perangkat dan tata cara dalam membantu masyarakat melewati masa-masa sulit

    karena kematian dan kedukaan. Dengan perangkat kebudayaan tersebut, anggota masyarakat

    ditolong secara kultural sehingga tidak merasa kesepian dan sendirian dalam menanggung beban

    kesedihan.

    Masyarakat Jawa mengenal berbagai upacara bagi orang yang meninggal. Berdasarkan

    penuturan Dwi Kristiyono11, berbagai perangkat budaya Jawa yang diciptakan oleh masyarakat

    Jawa dalam upacara kematian tidak hanya ditujukan bagi orang yang sudah meninggal saja,

    namun juga bagi anggota keluarga yang ditinggalkan agar bisa melewati dan mengatasi

    kedukaan mereka. Berbagai bentuk upacara yang dibuat oleh masyarakat sebenarnya adalah

    11 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017. Selain sebagai dalang wayang kulit,

    beliau juga pengajar Bahasa Jawa dan Seni musik Karawitan. Karawitan merupakan kesenian musik khas Jawa yang menggunakan Gamelan sebagai alat musiknya.

  • 8

    sebuah bentuk kesatuan dari masyarakat dalam mendampingi (Coorporate caring) sesamanya

    yang sedang berduka tersebut.

    Di kebudayaan Jawa, kita mengenal upacara yang dilakukan pada saat seseorang

    meninggal (geblag12) dan dikuburkan, kita juga menemukan upacara untuk memperingati orang

    yang meninggal dunia pada hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, mendak ke satu

    (ulang tahun pertama), mendak ke dua (ulang tahun ke dua) dan ke seribu hari13. Pada proses

    upacara itulah masyarakat Jawa mempergunakan istilah Jagongan atau Njagong (Untuk

    memperpendek kata Jagongan, kebanyakan orang lebih senang mengucapkannya menjadi

    Njagong), sebagai sebuah usaha masyarakat dalam melakukan pendampingan kepada keluarga

    yang mengalami dukacita.

    Sangat sulit untuk menentukan kapan budaya Jagongan atau Njagong mulai dilakukan

    oleh masyarakat Jawa dalam mendampingi dan menguatkan saudaranya yang sedang mengalami

    kedukaan. Menurut penuturan Suyita Basuki14, orang mulai peduli dengan kesedihan sesamanya

    sudah sejak awal peradapan manusia, sehingga sangat sulit untuk menentukan secara pasti kapan

    itu dimulai. Lebih sulit lagi untuk melacaknya sebab belum banyak ahli sejarah yang merekam

    kegiatan tersebut dalam bentuk tulisan secara detail. Lebih lanjut Basuki juga menuturkan bahwa

    pada sekitar tahun 1864 di daerah Pati dan Jepara pernah muncul istilah Pager layu15, sebuah

    tradisi yang makna dan bentuk pelaksanaan sama dengan Jagongan atau Njagong seperti yang

    dikenal sekarang ini.

    12 Dwi Kristiyono menuturkan bahwa upacara saat seseorang meninggal (geblag), memang lebih banyak

    menunjuk kepada perawatan atau pembersihan jasad (layon) supaya siap disemayamkan atau dimakamkan. Geblag sebenarnya memiliki arti saat dimana seseorang itu rebah atau mati, yang kemudian segera disucikan atau dimandiin sehingga patut untuk dikembalikan kepada asal Jasadnya, yaitu bumi sebab orang Jawa mempercayai bahwa badan wadag (jasad) itu berasal dari bumi atau tanah dan akan dikembalikan ke tanah lagi.

    13 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017. 14 Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017. Suyito Basuki adalah seorang dalang

    wayang kulit, yang juga seorang penggiat kebudayaan Jawa. Beliau tinggal di kota Jepara. 15 Suyita Basuki menuturkan bahwa Pager layu memiliki arti menopang yang berduka (sedang mengalami

    lelayu atau kematian sehingga mengalami kesedihan) agar bisa bertahan dan mendampinginya melewati kesedihan itu. Namun istilah tersebut tidak bertahan lama, karena segera diganti dengan istilah baru yaitu Tilawat, Layatan dan Njagong atau Jagongan kematian.

  • 9

    Dalam perkembangannya, istilah Pager layu inipun akhirnya berangsur-angsur hilang

    seiring dengan datangnya istilah baru yang lebih akrab diucapkan di kalangan pemeluk agama

    Islam yaitu Tilawat dan Takziah. Kedua istilah ini berakar dari budaya agama Islam yang mulai

    semakin menguat di masyarakat Jawa. Kata Takziah ini memiliki arti dasar menghibur. Takziah

    dimaksudkan dengan mengunjungi keluarga orang yang meninggal dunia dengan tujuan supaya

    keluarga yang ditinggalkan dapat terhibur, diberikan kesabaran serta mendoakan orang yang

    meninggal agar dosanya diampuni oleh Allah.16 Selama proses mendoakan jenasah yang

    meninggal ini, saudara-saudara muslim memakai panduan ayat-ayat Tilawatan.17 Memang dalam

    perkembangannya, penggunaan istilah Takziah dan Tilawat inipun lebih sering dipakai meskipun

    kadang tumpang tindih penggunaannya.

    Selain hadirnya dua istilah yang berbau agama Islam tersebut, masyarakat Jawa di Pati

    kemudian menghadirkan istilah baru yaitu Jagongan atau Njagong kematian. Informasi yang

    dituturkan oleh Bambang Sumartoyo18, bahwa pada sekitar tahun 1860 an, ketika ada seseorang

    yang akan berangkat mendatangi rumah duka untuk memberi penghiburan bagi keluarga yang

    berduka, saat ditanya akan pergi kemana, maka dia akan menjawab:”Arep lunga njagong

    kepaten (akan pergi Njagong di kematian)”. Dalam perkembangannya, masyarakat Jawa

    kemudian memakai beberapa istilah untuk mengungkapkan peristiwa pendampingan tersebut.

    Kadang orang mengatakan Jagongan atau Njagong kematian, Nglayat, Takziah kadang juga

    Tilawat.

    Informan kami selanjutnya menjelaskan bahwa pemakaian istilah yang berhubungan

    dengan pendampingan kepada keluarga yang mengalami kematian bisa ada beberapa istilah

    seperti yang sudah dibahas di atas tadi, namun yang umum dipakai oleh masyarakat di

    Sembaturagung adalah Njagong kepaten seperti yang dikatakanya:

    16 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017. Parmo adalah salah satu tokoh muslim di

    desa Sembaturagung. 17 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 18 Wawancara dengan Bambang Sumartoyo pada tanggal 23 Mei 2017. Bambang Sumartoyo adalah

    seorang Pendeta Emiritus yang melayani lebih dari 40 tahun di kota Juana. Beliau juga yang menjadi salah satu Pendeta perintis di GITJ Sembaturagung.

  • 10

    “Samangke panci kathah istilah ingkang kaginaaken kangge perkawes punika, namung

    kewamon ingkang limprah dipun ginaaken masyarakat mriki menawi kepengen mbiyantu

    tetangginipun ingkang bibar nandhang kasisahan karona pepejah, conto ngrencangi ing

    dalu-dalu sakbibaripun layon sampun dipun sareaken wonten pasarean inggih dipun

    wastani njagong kepaten utawi jagongan kepaten ing daleme si..., ingkang nandhang

    kasisahan”.19

    Penggunaan istilah ini memang lebih banyak digunakan oleh generasi tua yang usianya diatas 45

    tahunan, sebab bagi para pemuda, terutama yang beragama muslim lebih suka menggunakan

    istilah Takziah atau Tilawat.

    Basuki20 menambahkab bahwa di wilyah Pati bagian utara dan barat laut yang berbatasan

    dengan wilayah kabupaten Jepara menyebutkan bahwa tradisi dimana masyarakat sedang

    mendampingi kerabat atau masyarakat yang sedang berduka disebutnya sebagai layatan atau

    nglayat. Artinya bahwa untuk sebuah kegiatan yang sama, masyarakat Jawa di beberapa tempat

    memiliki istilah yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya adalah sebuah upaya masyarakat

    yang secara bersama-sama sebagai sebuah kesatuan dalam memberikan pendampingan dan

    penguatan kepada anggotanya yang sedang berduka.

    2.2 Arti kata Jagongan.

    Kata Jagongan sebenarnya memiliki arti linggihan Sinambi omong-omongan, maksudnya

    adalah duduk bersama sembari berbincang-bincang.21 Memang secara umum proses Jagongan

    selalu disematkan kepada mereka yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Jagongan pada

    umumnya dilakukan saat tetangga atau kerabat memiliki hajatan yang berupa pernikahan

    (jagongan manten), khitanan (jagongan sunatan), syukuran kelahiran bayi (jagongan bayek)dan

    lain sebagainya. Pada umunya jagongan dimulai pada sore hari sampai menjelang pagi hari,22 di

    beberapa daerah malah penggunaan istilah Jagongan lebih luas lagi, yaitu digunakan untuk

    setiap kesempatan dimana ada beberapa orang yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang,

    19 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 20 Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017. 21 S. A Mangun Suwita. Kamus Bahasa Jawa (Bandung: Yrama Widya, 2002), 72. 22 Wawancara dengan Dwi Kristiyono.

  • 11

    entahkah di warung kopi atau warung makan, di teras rumah atau pos kampling23. Pokoknya

    dimana saja asalkan ada beberapa orang yang duduk bersama sambil berbincang-bincang.

    Tetapi masyarakat Sembaturagung mempergunakan istilah Jagongan ini juga sebagai

    sebuah kegiatan dimana masyarakat secara komunal membantu dan mendampingi sesamanya

    yang sedang mengalami kedukaan karena peristiwa kematian. Jagongan dipakai sebagai sarana

    comunity caring di Sembaturagung.

    III. Pelaksanaan Jagongan.

    3.1. Pemberitahuan kabar dukacita atau Pemberitaan Lelayu.

    Hal yang pertama kali dilakukan dalam masyarakat Jawa ketika ada yang meninggal

    dunia adalah segera memberikan panglipuran/penghiburan (pendampingan) kepada keluarga

    yang kehilangan tersebut. Menolong yang berdukacita agar mampu menerima dengan iklas

    kepergian almarhum tersebut meskipun tidak mudah. Kerabat dekat dan tetangga akan berusaha

    menenangkan keluarga yang berduka dengan hadir di sekelilingnya, meyakinkan bahwa ada

    begitu banyak orang yang menemaninya24. Setelah keluarga mulai agak tenang, maka akan ada

    beberapa orang yang dengan segera merawat jenasah dengan menidurkannya secara membujur,

    terlentang dan menghadap ke atas. Kaki dipan tempat jenasah dibaringkan biasanya direndam

    dengan dengan air, maksudnya adalah supaya jangan sampai dipan dikerumuni oleh semut atau

    binatang kecil lainya, juga dibawah dipan biasanya ditaruh dupa wangi atau es batu dalam

    sebuah ember besar untuk menghilangkan bau yang kurang sedap25. Selanjutnya jenasah (layon)

    akan ditutup dengan kain batik atau selendang yang masih baru. Bersamaan dengan itu, ada

    sebagian orang yang segera memberitahu modin, perangkat desa atau pemimpin agama yang lain

    tentang lelayu tersebut, ada yang mengumumkannya lewat pengeras suara di masjid atau

    mushola (bagi yang beragama muslim), namun bagi yang beragama non muslim biasanya dari

    23 Wawancara dengan Suyita Basuki pada tanggal 12 Mei 2017 WIB. 24 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 25 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017. Imawati merupakan salah satu tokoh gereja

    dan masyarakat di desa Sembaturagung.

  • 12

    mulut ke mulut juga sangat cepat sekali kabar dukacita ini tersebar kepada para kerabat dan

    masyarakat sekitar26.

    Segera setelah masyarakat mendengar berita kematian atau lelayu dari anggota

    masyarakat, maka mereka akan segera meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukan

    untuk segera pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian itu. Tidak peduli apakah dia

    seorang guru, pegawai pemerintahan, tukang bangunan, petani ataupun pedagang di pasar,

    mereka akan segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas ke rumah duka27.

    3.2. Perawatan Jenasah.

    Setelah sampai di rumah, sebagian orang akan mempersiapkan segala keperluan untuk

    nyuceni layon (membersihkan jenasah dengan memandikan untuk yang terakhir kali), dengan

    mencari kursi panjang dari kayu atau bambu untuk tempat duduk tiga orang yang akan

    memangku jenasah saat dimandikan nanti28. Mencari ember-ember besar atau Blung (semacam

    tempat tandon air yang berukuran besar, biasanya setiap Rukun Warga/RT pasti memiliki 3

    sampai 4 buah sebagai persediaan kalau ada kematian), kemudian mengisinya dengan air bersih

    untuk upacara nyuceni layon tersebut. Selain itu juga disiapkan sabun mandi yang sudah

    dipotong-potong, shampo dan minyak wangi untuk keperluan si jenasah. Bersamaan dengan itu,

    ada sebagian warga yang lainnya akan membersihkan dan membereskan rumah sebelum semakin

    banyak orang yang datang.29

    Segera setelah pemimpin agama tiba di rumah duka, entahkah modin (kalau yang

    meninggal dunia memeluk agama Islam), pendeta atau majelis gereja (kalau yang meninggal

    dunia memeluk agama Kristen), ia akan segera membuka pakaian orang yang meninggal tersebut

    dan menggantinya dengan kain sarung yang longgar atau dengan jarit, dibantu dengan beberapa

    26 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017. Suci rahayu adalah salah seorang tokoh

    wanita yang biasa merawat jenasah di desa Sembaturagung. 27 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 28 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 29 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.

  • 13

    orang mengikat rahangnya ke atas dengan kain kafan agar tidak terbuka, mengikat kedua

    kakinya menjadi satu dan melipatkan kedua tangannya di dada.

    Sriyono30 menuturkan bahwa sebelum agama-agama berkembang dengan pesat di

    Sembaturagung, yang melakukan tugas itu adalah sesepuh desa atau pemimpin aliran

    kepercayaan. Jasad kemudian dimandikan oleh anggota keluarga, kerabat atau juga teman-teman

    dekat, diutamakan perempuan kalau yang meninggal adalah seorang perempuan (tetapi ini tidak

    menjadi keharusan), dan orang laki-laki kalau yang meninggal laki-laki di bawah pimpinan para

    sesepuh tadi. Tempat memandikan jenasah biasanya diadakan di samping rumah atau teras

    rumah, yang penting tempatnya lumayan lebar dengan banyak orang yang membentangkan kain

    penutup berupa jarit atau sarung-sarung yang lebar sehingga prosesi memandikan ini tidak serta

    merta bisa dilihat secara langsung. Namun jika ada yang ingin menyaksikannya juga bisa sebab

    kain yang dibentangkan sambung menyambung itu tidak terlalu tinggi sehingga bisa dengan

    mudah melihat prosesi tersebut. Cara memandikan layon harus diguyur secara perlahan-lahan

    dari arah kepala ke kaki dan terus menerus sampai selesai tanpa henti, dengan terus mencoba

    membersihkan layon sebersih mungkin31.

    Setelah selesai dimandikan maka jenasah akan diletakkan di sebuah ruangan yang lebih

    lebar supaya para kerabat dan tetangga dapat memberi penghormatan yang terakhir. Setelah

    jenasah dibaringkan di dalam rumah, maka dengan segera beberapa wanita dan pria akan

    membereskan area bekas memandikan tersebut, memastikan air bekas memandikan jenasah

    tersebut mengalir habis, jarit dan sarung serta berbagai peralatan yang dipakai untuk

    memandikan tadi segera dicuci serta dibersihkan oleh beberapa wanita dan kelarabat yang

    berduka sehingga semuanya kembali bersih dan rapi. Mesti tidak ada yang memberi instruksi,

    namun para warga akan dengan cekatan mengerjakan semuanya itu32.

    30 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. Sriyono adalah salah seorang penganut

    aliran kepercayaan Sapto Darmo di desa Sembaturagung. 31 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 32 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB.

  • 14

    Beberapa orang yang lain akan menyiapkan tempat duduk bagi para tamu yang akan

    Njagong di rumah duka, ada yang meminjam para tetangga, ada juga yang memang memesan

    dari tetangga desa yang memiliki persewaan tenda dan kursi. Warga akan dengan sigap

    memasang tenda, menata kursi, menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan sehingga pihak

    keluarga yang berduka tidak perlu lagi memikirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan

    penyiapan tempat bagi para tamu, kebutuhan bagi jenasah dan segala sesuatu bagi proses

    pemakaman jenasah nanti. Semuanya sudah dibantu disiapkan oleh warga dengan bergotong-

    royong33.

    3.3. Pembuatan Liang Lahat.

    Sebagian pria yang lain akan pergi ke makam untuk mempersiapkan liang lahat bagi

    sang jenasah tadi. Tidak ada yang memberi komando, namun saat ada berita kematian, beberapa

    pria sudah dengan sengaja datang ke pemakaman dengan membawa cangkul, linggis, arit dan

    beberapa peralatan lain yang dibutuhkan untuk membuat liang lahat. Sriyono34 menuturkan

    bahwa setiap orang yang datang ke makam ini sudah dengan sadar akan kebiasaannya untuk

    meringankan beban keluarga yang meninggal dengan menyiapkan liang lahat sebagai tempat

    peristirahatan yang terakhir, maka mereka akan dengan segera menyiapkan itu. Mereka akan

    saling bahu membahu, saling bergantian menggali tanah yang biasanya disiapkan dengan ukuran

    panjang sekitar dua meter, lebar satu meter dan dalamnya sekitar satu tengah meter.

    Sebagiannya lagi akan memasang tenda atau deklet di atas area pemakaman yang akan

    dijadikan makam manakala peristiwa kematian terjadi dimusim penghujan agar dalam proses

    penggalian dan pemakaman nantinya tidak basah kuyup. Juga ada beberapa pria yang membuat

    nisan dari kayu yang diberi nama orang yang meninggal tadi. Dalam perkembangannya memang

    sekarang banyak nisan beton yang sudah dijual di toko-toko penyedia perlengkapan kematian.

    Bahkan dahulu, bagi yang menghendaki dimakamkan dengan peti, para pria yang memiliki

    kemampuan tukang kayu akan bergotong-royong membuat peti bagi jenasah tersebut, selebihnya

    33 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 34 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  • 15

    para pria akan duduk-duduk sambil ngobrol-ngobrol di sekitar area makam sampai semua proses

    pemakaman siap dilakukan35.

    3.4. Persiapan Di rumah.

    Sementara para wanita yang datang ke rumah duka biasanya akan membawa se”baki”

    beras (baki adalah semacam tempayan kecil yang mampu menampung beras 1-2 kg, pada zaman

    dahulu terbuat dari anyaman pohon bambu namun sekarang sudah terbuat dari plastik atau

    tembaga), juga kadang ada yang membawa mie instan, gula, kopi, teh, minyak goreng dan lain

    sebagainya. Sementara para pria yang datang ke rumah duka akan membawa sejumlah uang

    yang dimasukan ke dalam sebuah kotak atau sebuah baki yang ditutupi kain yang sudah

    disiapkan, biasanya diletakkan di depan rumah orang yang berduka supaya warga yang datang

    bisa dengan mudah menemukannya (nominal uang yang dimasukan tersebut sesuai dengan

    kerelaan, tidak ada ukuran standar harus berapa sebab ini lebih kepada kepedulian sosial).

    Pemberian uang itu merupakan bentuk dukungan dari tetangga, kenalan maupun kerabat kepada

    keluarga yang berduka. Uang yang terkumpul itu harapannya bisa digunakan untuk membeli

    keperluan-keperluan bagi kebutuhan jenasah maupun untuk tambahan biaya menjamu yang akan

    Njagong nantinya36.

    Para wanita yang sudah datang akan ada yang sebagian langsung ke dapur untuk secara

    bersama-sama dengan wanita yang lain memasak nasi dan lauk pauk untuk para pria yang

    bekerja menggali liang lahat bagi jenasah yang akan dimakamkan nanti, juga untuk suguhan

    malamnya manakala para tetangga, kenalan dan kerabat yang Njagong untuk memberi

    penghiburan bagi keluarga yang berduka37. Pada umumnya para wanita yang memasak makanan

    tersebut tidak di rumah duka, namun akan memakai rumah kerabat atau rumah tetangga yang

    letaknya dekat dengan rumah duka. Bagi tetangga yang rumahnya dipakai untuk memasak

    makanan bagi para tamu atau orang-orang yang ikut Njagong itu, akan dengan sukarela atau

    35 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 36 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 37 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.

  • 16

    sukacita mengijinkan rumahnya dipakai untuk memasak. Salah satu informan kami, Imawati38

    menuturkan bahwa rumah yang bersedia dipakai untuk membantu meringankan beban orang

    yang kesripahan (Kesedihan yang mendalam) pasti akan diberkahi Yang Maha Kuasa sebab

    rumah itu sudah menjadi saluran berkah bagi sesamanya. Itulah sebabnya kebanyakan orang

    pasti bersedia jika rumahnya dipakai untuk kebutuhan memasak bagi keluarga yang sedang

    berdukacita. Jika di rumah yang dipakai itu tidak memiliki peralatan memasak yang cukup

    memadai maka para wanita akan segera mencari di tetangga yang lain, atau kalau ada yang

    punya di rumahnya maka akan segera pulang dan mengambilnya39. Yang menarik adalah bahwa

    mereka begitu antusias dan bersemangat dalam bekerjasama membantu segala kebutuhan

    tersebut.

    Sedangkan sebagian wanita yang lainnya, terutama yang lebih tua (yang dituakan

    seperti halnya pemimpin agama atau pemimpin masyarakat), mereka yang memiliki hubungan

    kekerabatan dengan yang berduka atau mereka yang memiliki kedekatan hubungan seperti

    halnya sahabat karib akan dengan segera bergabung dengan anggota keluarga inti yang berduka

    untuk memberi penghiburan (pendampingan)40. Ada yang memang terbiasa membantu

    menenangkan manakala ada yang menangis dengan histeris, atau sekedar duduk berkumpul di

    sekitaran jenasah yang sudah selesai di suceni. Ada juga beberapa wanita yang merangkai

    bunga-bunga untuk hiasan keranda (tempat untuk mengusung jenasah), karangan bunga untuk

    hiasan di atas makam atau juga untuk bunga tabur yang nantinya akan ditaburkan di sepanjang

    jalan yang akan dilalui oleh iring-iringan usungan jenasah almarhum.

    Menurut pengalaman Saryo41 dan Suwignyo42 yang diungkapan dengan pernyataan

    yang senada; “Saestu pak, nalika kula ningali bilih kathah sederek ingkang rawuh wonten griya

    kula, raos sedih kula radi kirang, awit kula ngraosno bilih kathah tiyang ingkang ntresnani

    38 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 39 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 40 Wawancara dengan Imawat pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 41 Saryo adalah informan yang mengalami kedukaan karena meninggalnya Suwarni istrinya pada bulan

    maret 2017. 42 Suwignyo adalah informan yang mengalami kedukaan karena meninggalnya Warkinah ibunya pada

    bulan September 2016.

  • 17

    brayat kula”. Bagi mereka, kehadiran para pemimpin masyarakat, agama, kerabat, tetangga dan

    para wanita yang duduk menemani keluarga yang berduka di sekitar jenasah almarhum sangat

    besar pengaruhnya bagi jiwa mereka yang sedang tergunjang karena kesedihan. Mereka yang

    duduk menemani keluarga di samping jenasah, dirasakan bagi yang berduka sebagai kekuatan

    besar bagi yang berduka dalam melewati masa-masa sulit tersebut.

    Setelah prosesi nyuceni layon selesai, maka keluarga dan warga akan segera meletakkan

    layon (Jenasah) di ruangan tengah di atas pandosa (balai-balai kecil untuk menidurkan jenasah),

    semua lubang yang ada di badan layon akan di tutup dengan kapas, lalu layon diberi pakaian

    yang terbaik yang dimiliki saat masih hidup, atau kadang juga dikenakan pakaian yang baru serta

    sedikit didandani. Memang bagi yang beragama muslim, hanya dibungkus kain mori (kafan)

    dengan diikat di tiga tempat yaitu di bagian kaki, pinggang dan atas kepala43.

    3.5. Persiapan Pemberangkatan Jenasah.

    Pemakaman orang Jawa di Sembaturagung (apapun agama yang dianut) akan

    dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Walaupun mungkin ada beberapa yang harus

    menunggu sanak keluarga yang kebetulan berada di tempat yang jauh, namun pada umumnya

    masyarakat akan berusaha secepat mungkin memakamkan jenasah saudaranya atau kerabatnya

    yang meninggal tersebut. Sekalipun nilai-nilai agama sudah mulai mewarnai pemahaman

    masyarakat Jawa di kota Pati, namun kepercayaan lokal hasil warisan leluhur ternyata masih

    tetap dihidupi. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa jenasah orang yang meninggal harus

    sesegera mungkin di makamkan agar rohnya tidak berkeliaran tanpa arah.44 Masyarakat Jawa

    mempercayai bahwa jika jasad seseorang yang meninggal dibiarkan berlama-lama dan tidak

    segera dikebumikan maka rohnya tidak bisa segera kembali ke tempatnya yang layak, namun

    akan berkeliaran tidak menentu seperti burung yang mencari sarangnya. Itulah juga yang

    menjadi alasan mengapa ketika ada orang yang meninggal dunia, anak-anak kecil dilarang untuk

    mendekat, sebab anak-anak masih rentan untuk dihinggapi oleh roh orang yang meninggal dunia.

    43 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 44 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017.

  • 18

    Setelah semuanya sudah siap, maka upacara pemberangkatan jenasah menuju ke

    pemakamannya akan dilakukan dengan diawali memanjatkan doa-doa khusus yang dipanjatkan

    kepada Yang Murbeng Gesang (manakala yang meninggal adalah penganut aliran kepercayaan

    Kejawen), bagi yang beragama Islam akan disholatkan dan dibacakan beberapa ayat suci

    Alquran, sementara bagi yang beragama kristen akan segera dilaksanakan ibadah Panguntape

    layon (Ibadah pemberangkatan jenasah menuju tempat peristiratan yang terakhir). Setelah proses

    doa-doa selesai, maka jenasah akan segera diusung untuk dibawa ke pemakaman45.

    Biasanya jenasah akan dipikul oleh empat atau enam pria yang akan membawanya

    sampai ke liang lahat. Sebelum usungan pergi meninggalkan rumah duka, biasanya akan berhenti

    sejenak di depan pintu atau halaman rumah duka untuk melakukan prosesi brobosan46. Brobosan

    adalah sebuah ritual dimana kerabat atau keluarga berlari-lari kecil secara bolak-balik di bawah

    usungan yang diangkat itu sebagai lambang bahwa segenap keluarga merelakan dengan iklas

    yang meninggal itu pergi ke alam baka atau sangkan paraning dumadi 47. Ritual ini menjadi

    pertanda bahwa jiwa mereka telah iklas dan tenang melepaskan almarhum pergi, perasaan

    mereka dibuat tenang sehingga tidak ada lagi yang akan menghalang-halangi kepergian

    almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir (beberapa tahun terakhir ini prosesi

    brobosan di kalangan kristiani sudah jarang dilakukan) . Pada umumnya yang memimpin proses

    brobosan ini adalah dari anggota keluarga yang paling tua. Proses brobosan tersebut

    dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:

    1.Peti mati di bawa ke luar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas

    setelah upacara doa lematian selesai. 2. Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu

    laki-laki dan cucu perempuan akan berjalan berurutan melewati pati jenasah yang

    berada di atas mereka (mrobos) sebanyak tiga kali searah jarum jam. 3.Urutan akan

    selalu diawali dengan anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada diurutan pertama,

    anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakangnya.48

    45 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 46 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 agustus 2017 WIB. 47 Suwardi Endraswara. Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-usul Kejawen. (Yogyakarta: Narasi-Lembu

    Jawa, 2015), 210. 48 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  • 19

    Setelah itu usungan jenasah akan segera dipikul beberapa pria yang secara bergantian

    mengusungnya ke pemakaman. Mereka yang diwajibkan untuk memikul usungan jenasah

    almarhum adalah semua kerabat laki-laki dan sahabat karib harus ikut merasakan berat jenasah

    ini, tujuannya supaya mereka yang bergantian memikul ini juga merasakan beratnya berpisah

    dengan orang yang mereka cintai tersebut.49 Sebagian besar yang hadir di rumah duka akan

    mengikuti dari belakang usungan jenasah tersebut sampai dipemakaman.

    3.6. Pemakaman Jenasah.

    Upacara di pemakaman akan berlangsung dengan singkat, jenasah diangkat dan di

    turunkan di liang lahat dan segera di upacarai sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh

    almarhum, apapun bentuk kepercayaan yang dianut, upacara pemakaman akan selalu

    dilaksanakan dengan cepat. Sebelum liang lahat ditutup dengan tanah secara penuh biasanya

    pihak keluarga akan dengan simbolis melemparkan gumpalan-gumpalan tanah kecil sebagai

    tanda bahwa mereka iklas ikut mengembalikan layon almarhum kembali ke asalnya, yaitu

    kembali ke tanah atau bumi50. Setelah timbunan liang lahat sudah selesai dan membentuk

    gundukan seperti bukit kecil maka nisan atau pathok di tanjapkan sebagai pertanda makam serta

    ditaburi bunga-bunga. Rangkaian prosesi ini biasanya diakhiri dengan pidato atau sambutan dari

    wakil keluarga atau perangkat desa mengenai ucapan terima kasih kepada segenap warga yang

    sudah membantu semua proses pemakaman almarhum ini, sambutannya biasanya sangat singkat.

    Segera setelah upacara pemakaman selesai, maka sebagian besar warga yang datang

    akan kembali ke rumah dan ke tempat pekerjaan mereka yang tadinya mereka tinggalkan.

    Namun malamnya, mereka akan datang kembali untuk Njagong di rumah duka untuk menemani

    keluarga almarhum melewati kedukaannya. Yang langsung kembali ke rumah duka pasca

    pemakaman biasanya hanya keluarga inti, sahabat karib dan tetangga yang akan mempersiapkan

    untuk acara Njagong kematian pada malam harinya51.

    49 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 50 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 51 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIb.

  • 20

    3.7. Upacara Slametan.

    Pada malam harinya para keluarga dan kerabat akan mengadakan upacara selametan

    untuk memperingati arwah almarhum dengan mengundang semua orang yang telah memberikan

    bantuan serta sumbangan yang berupa materi maupun non materi. Setiap slametan yang

    diadakan selalu dilakukan doa bersama untuk arwah almarhum maupun untuk keluarga yang

    ditinggalkan. Rata-rata pertemuan dalam ritual doa ini berlangsung selama 1,5-2 jam. Joko

    Susilo52 menuturkan bahwa maksud dari acara selametan ini adalah:

    Pertama, Mendoakan arwah almarhum agar segera diampuni dosa-dosanya dan segera

    mendapat tempat yang layak di sisi Yang Maha Kuasa. Kedua, Mendoakan anggota

    keluarga yang ditinggalkan almarhum agar senantiasa tatag (tegar), iklas dan ara ana

    apa-apa (tidak terjadi hal-hal yang buruk selepas kepergian almarhum, itulah inti

    penggunaan istilah selametan). Ketiga, Sebagai sebuah proses untuk tetap memelihara

    hubungan dengan almarhum sekalipun almargum sudah tidak bersama dengan mereka.

    Masyarakat Sembaturagung mempercayai bahwa dengan terus memelihara hubungan

    baik dengan almarhum akan mendatangkan kebaikan bagi hidup mereka di dunia ini.

    Acara doa selametan yang berhubungan dengan kematian juga akan terus diadakan

    oleh keluarga pada hari ke tiga selepas kematian almarhum (Nigang ndinteni), hari ke empat

    puluh (Ngawandasa dinten), hari ke seratus (Nyatus), peringatan setahun meninggalnya

    (Mendhak sepisan), peringatan dua tahun meninggalnya (Mendhak kaping kalih), peringatan ke

    seribu harinya (Nyewu), dan yang terakhir adalah peringan ke dua ribu yang di kenal dengan

    Lepas/lepase. Tetapi jika yang meninggal masih anak-anak, maka cukup diadakan sampai hari

    yang ke seratus saja dengan istilah Selametan/sedhekah Ngesah.53 Setelah peringatan hari ke

    seribu dan lepase maka oleh keluarga dan kerabat dianggap bahwa tanggung jawabnya kepada

    almarhum dianggap sudah selesai. Akan tetapi masyarakat di Sembaturagung masih tetap

    memelihara ikatan emosional dan spiritual dengan almarhum tetap ada, itulah sebabnya setiap

    hari-hari tertentu seperti malam jumat atau menjelang hari besar Jawa (Satu Syuro) serta hari

    raya besar agama mereka akan mengunjungi makamnya untuk Nyekar.

    52 Wawancara dengan Joko Susilo diadakan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. Joko Susilo adalah salah

    seorang tokoh muda desa Sembaturagung yang juga peduli dengan budaya Jawa. 53 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.

  • 21

    Pada zaman dahulu proses doa Selametan ini dipimpin oleh sesepuh desa atau sesepuh

    agama Jawi, namun karena sekarang masyarakat Jawa di Sembaturagung sudah banyak yang

    menganut agama Islam dan Kristen, maka proses upacara itupun mulai mengalami perubahan.

    Bagi yang menganut agama Islam, upacara selametan masih diadakan, baik untuk tiga harinya,

    tujuh harinya, empat puluh harinya dan seterusnya namun diisi dengan Dhikir atau membaca

    Yazin.54 Bagi yang masih menganut agama Jawi seperti halnya Sapta Darma maka upacara

    seperti ini dilaksanakan dengan teliti. Sedangkan bagi penganut kristiani, Cuma mengadakan

    kumpulan atau pengabekti panglipuran selama dua malam berturut-turut setelah meninggalnya

    almarhum.

    Yang paling menarik dari budaya masyarakat Sembaturagung dalam menjalani malam-

    malam upacara selametan tersebut, ketika ritual doanya sudah selesai sebagian dari mereka tidak

    langsung pulang ke rumah, tetapi akan dengan sengaja tinggal untuk beberapa jam lagi di rumah

    duka untuk dengan sengaja Njagong menemani keluarga yang masih dirundung kedukaan

    tersebut. Mungkin ada beberapa yang pulang dahulu ke rumahnya sebentar untuk mengantar

    sedikit makanan dan jajan (berkat) dari acara selamatan tersebut namun akan segera bergabung

    dengan warga desa yang lain untuk Njagong juga. Terutama pada minggu pertama setelah

    kematian almarhum, rumah duka pasti tidak akan terlihat sepi sebab keluarga, kerabat dan

    tetangga akan terlihat Njagong di rumah tersebut. Warga Sembaturagung menyadari bahwa

    ditinggal pergi orang yang dikasihi itu bukan perkara yang mudah, karena itu mereka sengaja

    datang untuk menemani dan memberi dukungan kepada saudaranya yang berduka agar kuat dan

    tabah melewati masa-masa sulit tersebut. Memang yang banyak melakukan Jagongan ini adalah

    kaum pria, para wanita hanya sedikit jumlahnya, itupun bertugas untuk menyediakan sekedar

    makanan dan minuman sebagai teman untuk melekan atau Wungon55 saja.

    54 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 55 Melekan atau Wungon adalah sebuah istilah yang berarti berjaga-jaga atau tidak tidur. Dimana ada

    beberapa orang yang dengan sengaja tidak tidur untuk sebuah tujuan. Biasanya masyarakat Jawa melakukan tradisi ini bukan hanya saat menemani saudaranya yang sedang berduka saja, namun saat menjelang hari besar Jawa (Malam satu Syuro) atau untuk sebuah ritual Tirakat mereka akan menjaga diri untuk tidak tidur semalam suntuk.

  • 22

    Mereka yang Njagong selama berhari-hari di rumah duka biasanya adalah kerabat

    almarhum, pemimpin agama, sahabat karib, dan tetangga yang dekat dengan rumah duka.

    Kegiatan yang dilakukan selama Njagong itu biasanya hanya duduk-duduk sambil ngobrol-

    ngobrol bersama dengan keluarga yang berduka. Pada umumnya hanya sebagian orang saja yang

    secara intens selama beberapa jam berbicara serius dengan memberikan beberapa nasehat yang

    menguatkan bagi pihak keluarga agar bisa dengan iklas melepaskan dan merelakan kepergian

    almarhum ke alam kekekalan. Karena pada prinsipnya, ketika seseorang masih dikuasai rasa

    duka, banyak nasehat tidaklah terlalu berarti56. Yang mereka butuhkan adalah kehadiran banyak

    saudara menemani dan mendukung mereka agar mereka tidak merasa kesepian dan sendirian

    melewati malam-malam yang hampa tanpa kehadiran almarhum57.

    Kebanyakan dari kerabat dan warga masyarakat yang hadir dalam Jagongan akan mulai

    meninggalkan rumah duka saat tengah malam tiba, hal ini mereka lakukan sebab esok harinya

    mereka harus bekerja, hanya keluarga dekatlah yang biasanya bertahan sampai subuh.

    Masyarakat Sembaturagung mengusahakan minimal selama seminggu atau 7 hari berturut rumah

    duka tidak boleh terlihat sunyi atau sepi. Menurut penuturan Joko susilo58 supaya yang berduka

    tidak merasa nglangut (terbawa dalam kesedihan yang mendalam karena merasa sendiri tanpa

    ada yang menemani). Masyarakat menyadari bahwa kehilangan seseorang yang dicintai itu

    meninggalkan kesedihan yang mendalam, apalagi jika kematian terjadi secara tragis atau tiba-

    tiba, maka makin dalamlah rasa kesedihan itu. Itulah sebabnya masyarakat berusaha untuk

    membantu dengan menemaninya melewati kesedihan tersebut59.

    Jagongan kematian itu berarti segala bentuk bantuan yang dengan sukarela diberikan

    oleh masyarakat saat menjelang proses pemakaman almarhum sampai dengan hadir di malam-

    malam acara Selametan. Semua bentuk bantuan dan kehadiran kerabat, kenalan dan warga

    masyarakat desa saat terjadi kematian merupakan sebuah bentuk pendampingan masyarakat

    56 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 57 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 58 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 59 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  • 23

    secara komunal yang tumbuh dan berakar dari budaya lokal. Sebuah kearifan lokal yang ternyata

    memberi dampak yang sangat baik bagi mereka yang sedang mengalami kedukaan. itulah

    sebabnya tradisi jagongan ini tetap terpelihara dengan baik meskipun gempuran modernisasi

    menyerang di berbagai bentuk budaya di dalam masyarakat60.

    Di dalam Jagongan kita melihat bagaimana kearifan lokal mampu mempersatukan

    segala lapisan masyarakat tanpa membedakan agama, suku, dan status sosial. Rasa kekeluargaan

    dan solidaritas yang tinggi membuat masyarakat Sembaturagung berusaha untuk datang saat

    mendengar ada berita meninggalnya salah satu warga mereka. Keinginan mereka untuk

    membantu tercermin dari tanpa adanya perintah atau komando dari seseorang untuk melakukan

    sesuatu, namun mereka seperti telah memiliki tugas masing-masing serta mengerti bagaimana

    harus segera bertindak. Masyarakat tidak menuntut imbalan sedikitpun dari pihak keluarga yang

    berduka, mereka iklas melakukan semuanya itu. Informan kami, Suwignyo61 menuturkan bahwa

    sering terjadi, manakala yang meninggal kebetulan dari keluarga yang sangat sederhana maka

    beberapa warga yang mampu secara finansial akan saweran atau iuran secara sukarela untuk

    membantu semua kebutuhan bagi perawatan jenasah sampai pada memberi jamuan sederhana

    bagi warga masyarakat yang akan Njagong pada malam-malam sesudah jenasah dimakamkan.

    IV. PEMAKNAAN JAGONGAN.

    Tradisi dalam upacara kematian ini merupakan peninggalan kebudayaan atau warisan

    leluhur masyarakat setempat yang masih dibudayakan. Meskipun harus diakui bahwa seiring

    perkembangan zaman, ada beberapa hal yang mulai dihilangkan. Yang dihilangkan bukan pada

    tata cara atau makna dari pelaksanaanya namun lebih kepada peralatan atau properti yang diganti

    dengan sesuatu yang lebih mudah ditemukan. Sebagai contoh, dahulu saat mau mencuci rambut

    layon, masyarakat harus mencari merang (ujung batang dari tanaman padi yang dibakar) sebagai

    bahan untuk keramas, namun sekarang cukup dengan membeli shampo yang lebih praktis. Jika

    60 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 61 Wawancara dengan Suwignyo pada tanggal 17 Juni 2017. Suwignyo merupakan anggota BPD desa

    Sembaturagung yang juga penggiat kesenian Jawa di Sembaturagung.

  • 24

    pada zaman dahulu, tempat untuk menutupi area memandikan jenasah (Nyuceni layon) harus

    ditutup dengan gedek (anyaman dari bambu) atau kloso (Tikar yang terbuat dari anyaman daun

    pandan), namun sekarang orang lebih praktis menggunakan selendang atau kain yang lebih lebar

    dan panjang serta beberapa hal praktis lainnya62.

    Tradisi Jagongan merupakan suatu bentuk tradisi yang selalu dilakukan masyarakat

    Sembaturagung setiap kali terjadi kematian. Bagi masyarakat Sembaturagung, Jagongan

    memiliki nilai atau falsafah hidup yang sangat mendalam.

    4.1 Jagongan sebagai wujud guyup rukun atau gotong-royong.

    Sebagai masyarakat yang tumbuh, hidup dan berkembang di pulau Jawa, warga

    Sembaturagung sungguh-sungguh menghidupi nilai luhur warisan leluhur mereka yaitu

    kebersamaan atau guyup rukun. Joko Susilo63 menuturkan: “Guyup rukun niku ngih, gotong-

    royong lah menawi wonten ing istilah bahasa Indonesia.”. Penghayatan akan nilai inilah yang

    membuat masyarakat dengan rela berjerih lelah membantu sesamanya, bukan hanya tenaga dan

    waktu yang mereka berikan, bahkan harta merekapun rela mereka korbankan.

    Sriyono64 menambahkan bahwa guyup artinya dilampahi kanthi sesarengan, sedangkan

    rukun artinya dalam proses melakukannya, dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang

    perbedaan. Sehingga guyup rukun ini dimaknai sebagai melakukan sebuah pekerjaan yang

    dikerjakan secara bersama-sama dalam kerukunan tanpa melihat berbagai perbedaan, baik suku,

    agama maupun status sosialnya.

    Guyup-rukun dipahami sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut

    terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang-orang

    di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan,

    62 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 63 Wawancara dengan Joko Susilo dilakukan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 64 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  • 25

    tenaga fisik, mental, spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasehat yang konstuktif,

    bahkan sampai hanya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa65.

    Budaya guyup-rukun dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni guyup-rukun

    tolong-menolong dan guyup-rukun kerja bakti. Budaya guyup-rukun tolong menolong terjadi

    pada aktifitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan perayaan dan pada peristiwa

    bencana atau kematian. Sedangkan budaya guyup-rukun kerja bakti biasanya dilakukan untuk

    mengerjakan sesuatu yang sifatnya untuk kepentingan umum, entah yang terjadi atas inisiatif

    warga atau guyup-rukun/sambatan lain seperti memperbaiki rumah warga, membangun tempat

    ibadah, membangun sarana umum untuk masyarakat (kerja bakti) dan lain sebagainya.66 Nilai

    luhur guyup-rukun adalah sebuah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau

    tindakan individu dimana saat dilakukan tanpa mengharapkan balasan, dilakukan secara

    bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu67.

    Setiap orang sadar bahwa kehilangan seseorang yang dicintai merupakan beban berat

    yang harus ditanggung, ditambah lagi harus memberikan pelayanan kematian yang pantas bagi

    almarhum sebagai tanda kasih dan penghormatan terakhir bagi almarhum. Tentu aja hal itu

    semakin membuat beban keluarga yang berduka semakin bertambah. Belum lagi harus

    mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan prosesi upacara pemakaman yang

    membutuhkan persiapan dan dana yang juga tidak sedikit. Semuanya itu akan membuat beban

    keluarga yang berduka semakin terasa berat. Untuk itulah anggota masyarakat yang lain, yang

    tidak berduka atau mengalami kesedihan itu berusaha guyup rukun membantu meringankan

    beban keluarga yang sedang berduka tersebut dengan menyiapkan segala hal yang dibutuhkan

    bagi kebutuhan jenasah dan prosesi upacara pemakamannya serta segala hal yang dibutuhkan

    keluarga yang berduka selama beberapa hari ke depannya.68 Masyarakat yang sadar akan kondisi

    tersebut secara sukarela mengambil inisiatif untuk bergotong-royong atau guyup rukun

    65 Wawancara dengan Zaman Madyo Admojo pada tanggal 23 Mei 2017 WIB. 66 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 67 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 68 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB.

  • 26

    meringankan beban keluarga yang sedang berduka. Itulah sebabnya Jagongan bagi masyarakat

    di desa Sembaturagung dimaknai sebagai wujud kerjasama masyarakat secara bersama-sama

    dalam meringankan beban saudaranya yang sedang berduka. Masyarakat Sembaturagung juga

    sadar bahwa guyup rukun atau gotong-royong juga berperan sebagai perekat kerukunan diantara

    sesama anggota masyarakat.

    4.2 Jagongan sebagai wujud rasa paseduluran atau solidaritas.

    Paseduluran adalah rasa kebersamaan, rasa kesatuan kepentingan, rasa simpati sebagai

    salah satu anggota dari keluarga atau kelompok yang sama, atau juga bisa diartikan sebagai

    perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok/komunitas yang dibentuk oleh kepentingan

    bersama.69 Demikianlah masyarakat di Sembaturagung terikat dengan satu dengan yang lain

    karena mereka tinggal dan hidup di area/wilayah yang sama, dengan tingkat kepentingan hidup

    saling membutuhkan yang sama dan juga mempercayai nilai-nilai luhur budaya yang sama

    juga70.

    Sebagaian besar masyarakat Sembaturagung masih memiliki hubungan kekerabatan

    atau kekeluargan. Dahulu saat populasi masyarakat masih sedikit, desa Sembaturagung awalnya

    hanya dihuni puluhan kepala keluarga saja. Namun karena keluarga-keluarga ini terus beranak

    cucu dari generasi ke generasi maka desa ini menjadi semakin banyak jumlah penduduknya

    seperti sekarang ini71. Memang benar bahwa ada sebagian warga yang karena pendidikan,

    pekerjaan dan pasangan hidup harus keluar dari desa ini, tetapi sebagian besar dari generasi ke

    generasi menetap di desa ini72. Itulah yang membuat masyarakat Sembaturagung memiliki

    kedekatan hubungan satu dengan yang lain sebab kebanyakan dari mereka terlahir dari keluarga-

    keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Mereka mayoritas bersuku sama,

    memiliki kebudayaan dan memahami nilai-nilai kehidupan yang sama.

    69 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 70 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 71 Wawancara dengan Warjomo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB . 72 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  • 27

    Informan kami, Suci Rahayu menuturkan: “Kadospundi kula mboten nderek sisah

    menawi rencang kula ingkang rinten lan dalu tansah sesarengan ing dusun menika nembe

    nandhang kesrimpahan?Temtu kula nderek sisah, wong sampun kados sederek kok. 73 Hal itulah

    yang membangun masyarakat ini memiliki rasa paseduluran/persaudaran yang kuat. Kesadaran

    bahwa jika ada anggota yang menderita, maka anggota yang lain berkuwajiban untuk

    menolongnya. Jika ada yang menanggung kedukaan maka anggota yang lainnya berkuajiban

    mendampingi dan menopangnya supaya bisa bertahan melewati masa-masa krisis hidupnya.

    Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat di Sembaturagung begitu kompak membantu

    anggotanya yang sedang kesripahan atau mengalami kedukaan yang berat karena sebuah

    kematian dengan berusaha membantu melakukan segala hal yang bisa meringankan beban

    saudaranya tersebut.

    4.3 Jagongan sebagai wujud tanggung jawab sebagai saudara.

    Masyarakat yang tinggal di Sembaturagung kebanyakan masih memiliki keterikatan

    atau hubungan darah meskipun jauh. Hal itulah yang membuat setiap orang seperti terikat satu

    dengan yang lain dengan mengatakan bahwa “awake dewe iki sejatine iseh mambu sedulur,

    senajan to wes adoh74” (kita ini sebenarnya masih ada hubungan darah meskipun sudah jauh).

    Konsep inilah yang membuat warga Sembaturagung menganggap bahwa warga desa adalah

    saudaranya. Mereka merasa saling memiliki satu dengan yang lain (ndarbeni).

    Selain itu, mereka juga memiliki keterikatan emosional karena mereka menghabiskan

    hidup bersama-sama di tempat atau desa yang sama75. Perasaan yang tumbuh karena selalu

    bersama dalam waktu yang lama membuat mereka saling peduli dan memperhatikan sehingga

    ikatan persaudaraan mereka menjadi sedemikian kuat. Kondisi seperti ini akan sangat berbeda

    dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan atau perumahan yang mayoritas bertetangga

    dengan warga pendatang. Masyarakat Sembaturagung yang lebih ke arah pinggiran memegang

    73 Wawancara dengan Suci rahayu dilakukan pada tanggal 18 Juni 2017. 74 Wawancara dengan Sriyono dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2017. 75 Wawancara dengan Joko Susilo dilakukan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.

  • 28

    teguh pemahaman bahwa tetangga dekat itu lebih baik dibanding saudara kandung yang jauh

    tempat tinggalnya. Itulah sebabnya setiap orang di desa ini berusaha untuk menjadikan

    tetangganya sebagai saudaranya. Mengapa demikian, sebab jika terjadi sesuatu maka yang

    pertama kali datang menolong atau membantu adalah tetangga yang terdekat dari rumahnya76.

    Tetangga adalah saudara terdekat kita, sebab merekalah yang selalu dengan cepat

    membantu apapun yang menjadi kesulitan kita. Sebagai contoh, manakala ada musibah

    kebakaran rumah, tetanggalah yang akan pertama kali menolong, bukan keluarga yang rumahnya

    jauh dari kita.77 Pemahaman inilah yang membuat warga desa menempatkan sesamanya penting

    di kehidupannya seperti saudara kandungnya sendiri. Itulah yang mendorong masyarakat untuk

    rela bekerja keras serta bergotong-royong membantu sesamanya yang sedang dilanda dukacita.

    Masyarakat bukan hanya rela memberikan waktu dan tenaga mereka guna membantu keluarga

    yang sedang berduka karena kematian, jika diperlukan hartapun rela mereka sumbangkan.

    4.4 Jagongan sebagai wujud bela raos kepada sesamanya yang sedang menanggung beban

    dukacita.

    Kehilangan orang yang dicintai merupakan sebuah gonjangan hidup yang tidak mudah.

    Apalagi jika yang berpulang itu masih terbilang dalam usia yang relatif muda, ditambah lagi

    bentuk kehilangannya terjadi secara mendadak seperti terkena musibah kecelakaan atau tiba-tiba

    saja meninggal dunia. Tentu saja akan membuat rasa dukanya semakin berat dan mendalam.

    Sebagai anggota masyarakat yang sudah lama hidup bersama dalam suatu komunitas tentu

    menyadari bahwa kehilangan tersebut sangat menyakitkan78. Berangkat akan kesadaran akan hal

    itu, maka masyarakat mencoba memposisikan diri di keadaan orang yang sedang mengalami

    kedukaan tersebut, bagaimana rasa sedih dan hancurnya hati karena harus kehilangan serta

    berpisah dengan orang yang dicintai, masyarakat ikut merasakan kesedihan (bela raos).

    76 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 77 Wawancara dengan Suci Rahayu diadakan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 78 Wawancara dengan Zaman Madyo Admojo pada tanggal 23 Mei 2017 WIB.

  • 29

    Masyarakat bukan hanya menaruh simpati, tetapi juga empati terhadap setiap anggotanya yang

    mengalami kematian. Informan Imawati menjelaskan bahwa:

    “Sebagai sesama manusia dan anggota masyarakat, kita ikut merasakan kesedihan yang

    mendalam juga (bela raos) manakala ada anggota warga kita yang meninggal dunia. Kita

    juga ikut merasakan apa yang mereka rasakan, mencoba memposisikan diri kita seperti

    mereka yang berduka, sehingga dengan demikian kita bisa membantu dan mendampingi

    mereka dengan tulus, sebab kita tahu bahwa beban yang mereka sedang tanggung sangat

    berat. Siapa lagi yang menjadi harapan dan kekuatan bagi mereka dalam menjalani

    kesedihan ini kalau bukan kita? kita memang tetangganya, tapi kita juga adalah saudara

    dekatnya.”79

    Rasa itulah yang mendorong masyarakat untuk sesegera mungkin membantu anggota

    masyarakat yang berduka. Bahkan, jika yang meninggal dari keluarga yang tidak mampu atau

    miskin, maka akan ada beberapa tokoh masyarakat atau gereja yang akan menggerakkan

    masyarakat untuk “patungan” atau melakukan iuran guna mencukupi semua kebutuhan upacara

    pemakaman jenasah serta biaya untuk kebutuhan yang lain sesudah prosesi pemakaman selesai.

    Apa yang menggerakan masyarakat untuk melakukan semunya itu? Rasa empati dan simpatilah

    yang mendorongnya atau bela raos..

    4.5 Jagongan sebagai wujud “ Mulad sarira hangkrasa wani”.

    Pemaknaan berikutnya yang dihidupi oleh masyarakat Sembaturagung adalah “ Mulad

    sarira hangkrasa wani”. Secara sederhana dapat diartikan kalau seandainya hal itu terjadi di

    hidup saya. Secara sederhana mungkin pemaknaan ini hampir sama dengan rasa empati, namun

    perasaan ini jauh lebih dalam dan lama. Rasa empati secara sederhana dapat diartikan sebagai

    mengerti perasaan atau pengalaman orang lain, dan merasakannya sesaat seakan-akan anda

    sendiri yang merasakan80, namun makna “ Mulad sarira hangkrasa wani” itu menempatkan

    seseorang yang pasti akan mengalami kedukaan seperti orang yang sedang dia bantu. Dwi

    Kristiyono81 menjelaskan makna ini dengan sebuah kalimat sederhana:

    “Besuk kalau keluargaku ada kesusahan, saya juga butuh orang lain untuk membantu dan

    menemani saya melewati masa-masa sulit itu. Karena itu, mumpung sekarang saya bisa

    79 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017. 80 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 81 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB.

  • 30

    menolong orang lain yang sedang kesusahan, maka saya akan berusaha semampu saya

    untuk membantunya, karena apa yang ditanam baik, baik pula yang akan didapatnya

    kelak”.

    Masyarakat Sembaturagung percaya bahwa apa yang ditaburkan baik, maka kelak akan

    menuai baik juga. Apabila sekarang menghibur mereka yang susah, maka kelak ketika

    mengalami kesusahan, maka akan ada orang yang menghiburnya juga. Setiap orang sadar bahwa

    kemalangan dan malapetaka bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja, itulah sebabnya

    mengapa masyarakat menyadari pentingnya saling membantu dan saling menolong diantara

    sesamanya yang sedang menanggung kemalangan atau kesusahan. Kesadaran akan hal itu

    membuat masyarakat menjadi peduli akan kesusahan sesamanya.

    Mulad sarira hangrasa wani sebagai nilai diri masyarakat.

    Masyarakat Jawa memiliki pepatah hidup “aja rumangsa bisa nanging bisaa

    rumangsa”, jika diuraikan secara literal akan memiliki maksud aja senang rumangsa bisa yen

    durung bisa, nanging bisaa ngrumangsani yen durung bisa, nduwenan sifat rumangsaa seng

    jero. Artinya setiap orang Jawa diharapkan agar jangan merasa bisa atau mampu, tetapi bisalah

    (dapatlah) merasa (mengakui) bahwa dirinya belum bisa. Intinya jadilah orang yag rendah hati,

    tidak sombong dan kesadaran bahwa seperti apapun kita, kita tetap membutuhkan orang lain.

    Pepatah inilah yang mengantarkan orang Jawa pada kesadaran bahwa setiap manusia tidak bisa

    hidup tanpa orang lain, mereka memerlukan bantuan orang lain dan saling ketergantungan satu

    dengan yang lain82. Apabila orang Jawa sudah kehilangan nilai diri ini maka akan disebut

    sebagai wong jawa seng ilang jawane83.

    Mulad sarira hangrasa wani sebagai identitas diri. Mulad sarira hangrasa wani

    berasal dari tiga suku kata utama yaitu sarira yang berarti badan/tubuh/diri sendiri, hangrasa

    yang berarti merasa, wani yang berarti berani. Sehingga mulad sarira hangrasa wani artinya

    berani melihat diri sendiri (menempatkan diri sendiri dengan segala kekurangan dan

    82 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 83 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Juni 2017 WIB.

  • 31

    kelemahannya) sehingga selalu siap menerima masukan dan evaluasi84. Pepatah ini kemudian

    menyadarkan orang Jawa bahwa diri ini adalah manusia lemah (jalma sawantah/ hanya ciptaan

    Tuhan yang fana). Falsafah ini menolong orang Jawa untuk bisa intropeksi diri (mawas diri)

    serta menempatkan diri dengan benar serta tepat (ngerti empan lan papan) kemudian dilanjutkan

    dengan berani mengambil sikap yang benar seperti filosofi yang dipahami tadi.

    Masyarakat Jawa menyadari betul bahwa dirinya adalah manusia biasa (jalma

    sawantah), yang lemah dan terbatas. Mereka menyadari bahwa dirinya tidak bisa hidup sendiri

    dan akan selalu butuh orang karena pada dasarnya hidupnya bergantung kepada orang lain.

    Mereka juga sadar bahwa sebagai mahkluk yang lemah, suatu saat pasti akan mengalami

    kematian sebab kematian sudah menjadi takdirnya (pinesti dening Gusti). Kesadaran tersebut

    menggiring masyarakat Jawa kepada rasa peduli kepada sesamanya yang sedang menerima

    kedukaan (duhkita) karena sebuah kematian yang juga suatu saat akan mendatanginya. Rasa

    peduli yang ditumbuhkan karena pemahaman mulad sarira angrasa wani membuat masyarakat

    Jawa memperlakukan sesamanya yang sedang berduka seperti saudaranya sendiri85. Pemahaman

    Mulad sarira hangrasa wani ini kemudian mengarahkan kepada pencarian terbesar orang Jawa

    mengenai hakekat kehidupan manusia, yaitu mengetahui dengan tepat mengenai sangkan parane

    dumadi. Apa itu sangkan parane dumadi? Sangkan-paraning dumadi adalah sebuah pandangan

    hidup orang Jawa yang yang membicarakan mengenai asal usul dan tujuan segala sesuatu yang

    ada di dunia ini.86

    Pengertian yang paling mendasar mengenai sangkan dan paran sebenarnya merujuk

    kepada keyakinan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan kelak akan kembali kepada

    Tuhan.87 Oleh karena itu mereka menyadari bahwa suatu saat kematian pasti mendatangi setiap

    orang. Kedatangan kematian tersebut seperti pencuri yang tidak bisa diantisipasi atau dihindari,

    jika sudah datang tidak bisa ditolak dan jika sudah menjemput tidak bisa menghindar.

    84 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 85 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 86 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 87 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  • 32

    Kedatangan sang kematian dipahami orang Jawa mendatangkan kedukaan bagi keluarga yang

    mengalaminya sebab hal itu berarti bahwa batas perjumpaan secara fisik berakhir. Setiap

    peristiwa kematian yang terjadi dalam lingkungan jemaat ataupun masyarakat akan menyita

    perhatian semua warga tanpa terkecuali, mereka akan datang untuk memberi dukungan dan

    bantuan bagi keluarga yang berduka sebab perpisahan tersebut adalah beban yang tidak mudah

    untuk ditanggung. Masyarakat sadar bahwa beban duka itu berat, sama seperti pemahaman

    bahwa suatu saat mereka akan mengalami beban duka yang sama dan mereka membutuhka

    dukungan serta bantuan dari sesamanya maka mereka akan memulainya terlebih dulu.

    Seandainya saja ada seseorang atau keluarga yang jarang njagong kepaten, maka para tetangga

    akan berucap tentang orang tersebut atau keluarga tersebut: Apa wong kui ora bakal mati a ?

    (Apakah orang itu tidak akan meninggal dunia) atau saupama keluargane ana seng kapundut,

    kira-kira bakal butuh tangga apa ara? (Seandainya ada anggota keluarganya ada yang

    meninggal dunia, kira-kira membutuhkan bantuan orang lain apa tidak).88 Bagi mereka yang

    tidak atau kurang peduli dengan kondisi sesamanya yang sedang berduka, masyarakat

    memberikan sebutan wong Jawa seng ora njawani (orang Jawa yang sudah kehilangan jati diri

    atau nilai dirinya sebagai orang Jawa). Apa yang masyarakat lakukan ini akhirnya menghasilkan

    solidaritas yang semakin kuat. Sebab mereka terikat secara kuat dengan nilai diri yang mereka

    hidupi.

    Mulad sarira hangrasa wani sebagai penggerak kepedulian sosial. Kehadiran

    kerabat, jemaat dan masyarakat dalam acara njagong kepaten ini karena mereka digerakan oleh

    nilai diri bahwa saya harus membantu sesama saya yang berduka sebab suatu saat ketika saya

    sedang berduka, saya juga membutuhkan sesama saya untuk membantu saya. Kesadaran bahwa

    masyarakat membutuhkan sesamanya membuat masyarakat mempedulikan sesamanya. Njagong

    kepaten dipahami masyarakat sebagai sebuah tradisi atau budaya yang membantu masyarakat

    menghayati arti “hidup bersama” sebagai sebuah komunitas. Kesadaran secara kolektif atau

    88 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.

  • 33

    bersama ini terbangun atas dasar kepercayaan yang sama atau sentimen bersama sehingga

    mereka saling terikat satu dengan yang lain.89 Jagongan kepaten ini kemudian meleburkan

    perbedaan antar keluarga, antar status sosial, dan antar kepercayaan. Masyarakat yang hadir

    tidak lagi memperhitungkan ini dari keluarga siapa dan agamanya apa, yang mereka pahami

    adalah mereka harus segera membantu sesamanya yang sedang berduka. Rasa peduli yang

    muncul dari nilai diri yang mereka hidupi menggerakan masyarakat sesegera mungkin

    menghadiri rumah duka dengan tujuan agar secepat mungkin menemani sesamanya yang sedang

    berduka. Rasa peduli ini juga yang menggerakan masyarakat untuk tidak tanggung-tanggung

    menyumbangkan tenaga, waktu, pikiran dan juga uang mereka.

    Kedatangan masyarakat ke rumah duka dalam proses njagong kepaten ini apakah bisa

    dianggap sebagai upaya agar mendapat balasan/agar orang lain kelak membalas apa yang sudah

    mereka lakukan (upaya untuk mendapatkan balas budi)? Bisa dikatakan unsur balas budi itu ada,

    sebab memang masyarakat Sembaturagung mempercayai kalau yang ditanam baik, pasti juga

    akan ngundhuh (menuai) yang baik pula. Ketika mereka membantu, mendukung, menopang dan

    menguatkan sesamanya yang berduka, maka suatu saat ketika sang duka menerpa hidupnya

    maka anggota masyarakat yang lainpun akan membantu, mendukung, menopang dan

    menguatkannya. Njagongan kepaten bukan hanya melunturkan sentimen atas keperbedaan

    namun juga melahirkan rasa kepedulian secara komunal sehingga masyarakat secara kolektif

    bisa memberikan dukungan, topangan dan usaha untuk menguatkan sesamanya yang sedang

    digunjang oleh peristiwa kematian.

    V. RANGKUMAN.

    Secara keseluruhan, isi Bab ini telah dipaparkan dengan fokus pada serangkaian hasil-

    hasil temuan di lapangan, sebagai data empiris yang diperlukan bagi penulisan tesis ini. Adapun

    beberapa hal penting, yakni sebagai berikut:

    89 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.

  • 34

    Pertama, Tradisi Jagongan atau Njagong kepaten merupakan sebuah tradisi yang lahir

    dari kearifan lokal dimana masyarakat berusaha untuk memberikan dukungan dan pendampingan

    kepada anggota warganya yang sedang mengalami kedukaan karena meninggalnya anggota

    kerabatnya. Meskipun agak sulit untuk menentukan kapan secara tepat tradisi ini mulai

    dikembangkan dan dilakukan oleh masyarat Jawa di Sembaturagung, namun yang pasti bahwa

    tradisi Njagong kepaten ini dihidupi dan dijiwai dengan kuat oleh masyarakat Sembaturagung

    sampai sekarang ini.

    Kedua, pelaksanaan Jagongan ini merupakan sebuah bentuk kepedulian masyarakat

    kepada sesamanya yang sedang menanggung beban hidup karena kehilangan seseorang yang

    mereka cintai. Kehadiran masyarakat yang dengan segera membantu menyiapkan segala sesuatu

    yang dibutuhkan bagi persiapan prosesi pemakaman dan acara sesudahnya membuat keluarga

    yang berduka sangat tertolong. Selain itu, selama proses persiapan sampai proses pemakaman

    jenasah berjalan, di sana dapat dijumpai adanya rasa kebersamaan, persatuan dan kerjasama yang

    baik, yang tidak memandang suku, agama maupun strata sosial antar sesama. Semuanya bekerja

    sama untuk membantu saudaranya yang sedang berduka.

    Ketiga, Jagongan dimaknai bagi masyarakat sebagai wujud guyup rukun atau gotong-

    royong sesama masyarakat di Sembaturagung. Ini adalah usaha masyarakat secara komunal

    untuk memberikan bantuan kepada sesamanya yang sedang kesusuhan. Jagongan juga sebagai

    wujud solidaritas sesama anggota masyarakat. Mereka yang tinggal, tumbuh dan hidup bersama-

    sama di desa yang sama membuat setiap anggota masyarakat memiliki rasa keterikatan

    emosional yang kuat.

    Jagongan dimaknai sebagai mulad sarira hangrasa wani dimana mereka sadar bahwa

    suatu saat mereka pasti akan mengalami kesedihan seperti yang sedang dialami oleh saudaranya

    sehingga mereka akan membantu saudaranya dalam menanggung beban kedukaan tersebut.

    Mulad sarira hangrasa wani menjadi identitas masyarakat yang ada di Sembaturagung,yang

    kemudian menggerakan mereka untuk memiliki rasa peduli secara komunal atas kedukaan yang

  • 35

    dialami oleh anggotanya. Perasaan mereka yang menganggap bahwa sesamanya sebagai saudara

    membuat mereka rela membantu tanpa pamprih apapun sebab mereka sadar bahwa tetangganya

    adalah saudara dekat mereka yang akan sewaktu-waktu menolong mereka manakala mereka

    sedang membutuhkan pertolongan. Masyarakat sadar bahwa peristiwa kematian dan kedukaan

    pasti akan dialami oleh setiap manusia termasuk dirinya, itulah sebabnya mereka dengan

    sukacita membantu dan mendampingi anggota masyarakat yang sedang berduka karena suatu

    ketika, mereka juga akan membutuhkan bantuan dari sesamanya.