BAB III AKTIFITAS DAKWAH K.H. AMIN BUDI HARJONO A...
Embed Size (px)
Transcript of BAB III AKTIFITAS DAKWAH K.H. AMIN BUDI HARJONO A...

39
BAB III
AKTIFITAS DAKWAH K.H. AMIN BUDI HARJONO
A. Biografi K.H. Amin Budi Harjono
1. Kelahiran dan Keluarga
K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.
Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil

40
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2.
2. Pendidikan, Pengalaman Organisasi, dan Prestasi
Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.
1 Masing-masing adalah Sarjana Pendidikan (S.Pd) dari IKIP Veteran, Sarjana
Pendidikan (S.Pd) Bahasa Inggris IKIP PGRI, Sekolah Tinggi Farmasi, dan K.H. Budi Harjono sendiri sebagai lulusan dari Sarjana Agama (S.Ag) IAIN Walisongo Semarang; Sebagaimana dijelaskan oleh K.H. Budi Harjono dalam wawancara tanggal 13 Maret 2006.
2 Kedekatan K.H. Budi Harjono dengan Amin Dimyati berdampak pada pola pendidikan dan pengetahuan dakwah K.H. Budi Harjono. Dalam pendidikan, kakek beliaulah yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan dalam pendidikannya, terutama pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama. Selain hal pendidikan, terlalu seringnya K.H. Budi Harjono mengikuti pengajian dari kakeknya sewaktu kecil telah memberikan wacana baru dalam diri K.H. Budi Harjono tentang urgensi dan hakekat dakwah yang memberikan pengaruh terhadap model dakwah beliau hingga saat ini. Bahkan sebagai rasa hormatnya kepada sang kakek, K.H. Budi Harjono menambahkan nama depan dari kakeknya ke dalam namanya yang menjadi K.H. Amin Budi Harjono; Wawancara dengan K.H. Budi Harjono tanggal 13 Maret 2006.

41
Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

42
Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA se-
Kodia Semarang dan juga juara harapan III lomba Musabaqah Tilawatil
Qur’an (MTQ) pada tingkat yang sama. Sedangkan pada masa kuliah,
Budi Harjono berprestasi di kejuaraan Pidato yang diadakan oleh KMA
PBS Undip pada tahun 1989 dengan merebut juara pertama. Bahkan di
dunia politik, nama Budi Harjono pernah diusung oleh salah satu partai
politik untuk dijadikan calon anggota legislatif tingkat kodia Semarang,
namun beliau menolak dengan alasan tidak ingin terjun aktif ke dalam
dunia politik.
Saat ini Budi Harjono bertempat tinggal di salah satu lingkungan
pesantren di bawah yayasan yang didirikannya, tepatnya di Yayasan Al-
Ishlah, Meteseh Tembalang Semarang. Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.
B. Hasil Karya
Ke-gandrung-an Budi Harjono terhadap seni telah membawa
kehidupannya untuk selalu berhubungan dengan seni. Bahkan – seperti telah

43
disinggung di atas – dakwahnya pun tidak lepas dari unsur seni. Ditunjang
dengan kemampuan dalam pemilihan dan pengolahan kata, Budi Harjono
telah mampu menciptakan bait-bait puisi religius yang senantiasa
dilantunkannya di sela-sela dakwahnya. Hasil karya puisi tersebut terkumpul
dalam sebuah catatan yang diberi judul “Duh Gusti” yang hingga saat ini
masih berada di tangan Emha Ainun Najib (Cak Nun). Beberapa kutipan
naskah puisi Duh Gusti dapat dipaparkan sebagai berikut :
Duh Gusti Kami inilah pengembara yang hilang Dalam rimba rayaMu Yang musti meniti lorong – lorong waktu Menjadi kafilah tak berbekal dalam menuju Didunia yang hanya berteduh sejenak ini Kami senandungkan nyanyian nestapa penghibur hati Kami dendangkan lagu – lagu pilu penawar rindu Karena dunia panggung sandiwara ini Banyak insan yang tidak tahu dirinya tak tahu Sedikit manusia yang tahu dirinya tahu Sementara laut, padang, gunung, rumput tuli dan biju Aduhai pedihnya kalbu ini Sunyi, sepi, sendiri Meratap di dunia yang terbuat dari air dan debu ini dapatkah dikatakan punya hati? Dari lahir sampai mati dari bangun tidur sampai kembali mendekur Hanyalah saat yang selayang Sementara hati ini rindu pada Hari Gemilang Yang fajar tak kenal malam maupun siang Yang membangunkan diri dari tidur panjang Yang mebangkitkan diri dari nglindur di ranjang
Duh Gusti Siapakah yang hatinya tidak mabuk kepayang Bila cahayaMu bersinar terang benderang Pada jiwa kami yang tak kenyang – kenyang ? Pancarkanlah walau amat sangat sedikit Asal itu nurMu, cahayaMU, jadilah Agar jiwa kami tambah – tambah gelisah Supaya tumbuh rindu padaMu mendesah Wahai Engkau yang sinarMu menembus dada

44
Jangan tinggalkan kami dalam geliat ini WajahMu adalah ketentraman kami WajahMu adalah kedamaian kami WajahMu adalah keselamatan kami WajahMu adalah kekuatan kami WajahMu adalah kemesraan kami Bukankanlah pintu – pintu yang tertutup Dalam pandangan kami selama ini Agar ladang akhirat ini memiliki fungsi yang suci Agar lempung inimenjadi mutiara di hati Agar air ini memercik – mercik cahaya ilahi Agar hidup ini menjadi.
Duh Gusti Nyalakanlah api dalam dada kami Kami semua ini mencariMu Memang langit bumi yang menjadi tanda – tandaMu Telah memberitakan segalanya Memang Nabi Rasul yang menjadi kekasihMu Sudah mengabarkan semuanya Namun kami ingin melihat kenyataan Kami buta sementara Engkau ada Kami tuli sementara Engkau berkata – kata Kami bisa sementara Engkau menyapa Maka singkapkanlah tabir segala rahasiaMU Atau dekaplah kami agar menikmati pesonaMu Wahai Engkau yang rahmatMu meliputi sesuatukami ini bersifat duniawi, jadikanlah ukhrawi Curahkanlah rahmat kasih sayangMu Kepada seluruh wujud di alam raya ini Agar perjalanan menjadi sampai Agar pencarian menjadi tergapai
Karya seni lain – yang tetap saja berhubungan – dengan dakwahnya
adalah musik kreatif “Kyai Sodrun” yang hampir selalu setia mengiringi
kegiatan dakwahnya. Racikan musik Kyai Sodrun tidak jauh berbeda dengan
warna musik dari Kyai Kanjeng kepunyaan Cak Nun.3 Dengan memadukan
3 Kesamaan jenis musik antara Kiai Sodrun dan Kiai Kanjeng tidak lepas dari peranan
Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang juga pemimpin Kiai Kanjeng dalam membimbing dan mengarahkan Kiai Sodrun melalui diskusi dengan K.H. Budi Harjono saat awal berdiri dan berubahnya aliran musik Kiai Sodrun dari musik rebana menjadi musik kontemporer.

45
jenis musik klasik tradisional dan modern, Budi Harjono mengemas lagu-lagu
yang telah ada menjadi sebuah warna musik yang berbeda.
C. Proses Dakwah K.H. Budi Harjono
1. Pengertian Dakwah K.H. Budi Harjono
Dakwah dalam pandangan K.H. Budi Harjono adalah sebuah
proses yang di dalamnya memiliki dua dimensi yaitu dimensi Ilahiyah
(Ketuhanan) dan dimensi insaniyah (manusia). Dimensi Ilahiyah meliputi
ajakan dan seruan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas
dalam berhubungan dengan Sang Khalik (Allah). Sedangkan dimensi
insaniyah (kemanusiaan) meliputi ajakan dan seruan untuk menciptakan
kerukunan antar umat manusia, baik dengan sesama umat seagama
maupun dengan umat lain agama.
Dasar dari pengertian dakwah di atas adalah mengacu kepada dua
hal. Dasar pertama adalah kepada akhlak Nabi Muhammad yang
senantiasa mendahulukan perdamaian dan persaudaraan dalam proses
dakwahnya. Meski memikul tugas untuk menyiarkan Islam pada seluruh
umat – bukan hanya satu umat sebagaimana para Nabi terdahulu – akan
tetapi Nabi Muhammad tidak pernah melakukan suatu paksaan kepada
umatnya.
Dasar yang kedua adalah pendapat dari Imam al-Ghazali yang
berpendapat bahwa dakwah memiliki dua esensi yakni untuk merukunkan
umat manusia dan mendekatkan diri (hati) kepada Allah. Sehingga apabila
seorang da’i tidak mampu memahami dan menjalankan dakwah berdasar

46
pada dua esensi tersebut maka akan lebih baik lagi jika dia tidak
melakukan dakwah.
“Apa gunanya dakwah kalau hanya menghasilkan perbedaan pandang yang berakibat kepada semakin tidak pahamnya mad’u akan nilai-nilai Islam yang identik dengan persaudaraan dan perdamaian yang akhirnya bermuara pada disintegrasi baik dalam lingkungan intern umat Islam maupun dengan umat agama lain”
Oleh karenanya K.H. Budi Harjono dalam berdakwah cenderung
menggunakan pendekatan harmoni, yakni suatu pendekatan yang lebih
mengedepankan terciptanya suatu lingkungan masyarakat yang saling
memahami, menghormati serta saling bersaudara.
Filosofi kualitas manusia menjadi pijakan pengembangan
dakwahnya. Berpijak pada dasar “tak ada manusia yang sempurna” beliau
selalu berdakwah dan (sambil) “belajar”. Di tengah-tengah kesibukannya
berdakwah, K.H. Budi Harjono masih menyempatkan diri untuk terus
menambah “wawasan” dengan melakukan sowan ke kyai-kyai sepuh.
Dalam mengembangkan syiar Islam, K.H. Budi Harjono tidak
menutup diri. Di samping membentuk jamaah pengajian,4 seringkali beliau
melakukan “duet” dengan para ulama atau kelompok (Islam) dalam
berdakwah. Model dakwah bersama tersebut beliau lakoni diantaranya
bersama “Gambang Syafaat” di Semarang, “Padang Bulan” di Jombang,
“Haflah Shalawat” di Surabaya, “Mocopat Syafaat” di Yogya, dan
“Kenduri Cinta” di Jakarta.
4 Jamaah pengajian yang didirikan dan diasuhnya antara lain Forum SIlaturrahmi
Minggu Pagi (FOSMIP) dan Himpunan Masyarakat Shalawat (HAMAS).

47
Selain kelompok-kelompok yang Islami, K.H. Budi Harjono juga
menggandeng kelompok-kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sangat
jauh dari asumsi “Kelompok Islam”. Bahkan bisa jadi kelompok yang
diajak berdakwah adalah kelompok yang (mungkin) dipandang ekstrim
oleh sebagian masyarakat. Hal itu dapat terlihat dari digandengnya
kelompok pengamen Gema Simpanglima (GSL)5 Semarang dan Pekerja
Seni Payung Kertas Taman Budaya Raden Saleh (TBRS)6 Semarang untuk
mendampingi beliau dalam berdakwah bersama Gambang Syafaat.
Penggandengan kedua kelompok yang (mungkin) jauh dari
mainstream Islam tersebut merupakan realisasi dari prinsip harmoni yang
lebih mengedepankan kebersamaan, persaudaraan, dan persamaan.
“Jadi wong itu lha mbok eling. Manusia itukan dijadikan dari satu pasang manusia (Adam dan Hawa) yang tentunya jika diurutkan ke belakang akan bermuara pada satu nenek moyang. Inikan berarti seluruh manusia adalah saudara, lantas mengapa kita selalu mencari dan memproklamirkan kelas-kelas sosial sebagai jurang pemisah dan semakin menjauhkan makna persaudaraan? Bukankah Allah sendiri menjelaskan bahwasanya manusia itu semua sama di hadapan-Nya jika diukur dari duniawi. Sedang jika diukur dari ukhrawi baru akan tampak dengan kelompok orang yang paling bertaqwa sebagai kelompok yang paling dimuliakan oleh Allah SWT.” (Wawancara K.H. Budi Harjono, 20 Maret 2006)
5 Gema Simpanglima adalah salah satu kelompok pengamen “senior” di Kota
Semarang yang dikoordinir oleh Bapak Krebo dan sering “mangkal” di warung-warung tenda di wilayah Simpanglima.
6 Kelompok Pekerja Seni Payung Kertas merupakan kumpulan dari beberapa seniman Kota Semarang yang ber-home base di Taman Budaya Raden Saleh dan dikoordinir oleh Bapak Wage.

48
2. Pemilihan dan Ruang Lingkup Materi Dakwah K.H. Budi Harjono
Materi bagi K.H. Budi Harjono merupakan salah satu masalah
mendasar yang teramat penting. Sukses tidaknya dakwah seseorang tidak
terlepas dari unsur materi. Oleh karenanya dalam pemilihan materi
dakwah, seorang da’i dituntut untuk memperhatikan “kebutuhan” para
mad’u.
Berbicara tentang kebutuhan mad’u, maka yang menjadi kebutuhan
mereka (baca: mad’u) tidak hanya sebatas pada kebutuhan akan hal-hal
yang bersifat agamis saja. Kebutuhan manusia meliputi segala aspek
kehidupan, dan untuk itu perlu kiranya apabila materi dakwah jangan
melulu membahas persoalan agama secara monoton namun juga perlu
kiranya dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan duniawi manusia.
Jadi bukan tidak mungkin seorang da’i mengkaitkan (semisal) suatu sikap
politik maupun ekonomi yang harus dimiliki oleh manusia pada nilai-nilai
Islam (wawancara dengan K.H. Budi Harjono, tanggal 13 Maret 2006).
Perpaduan antara tauhid (aqidah), syari’at dan akhlak senantiasa
ditonjolkan oleh Budi Harjono di setiap materi dakwahnya.
“Hidup manusia itukan tidak terbagi secara sendiri-sendiri namun merupakan bagian-bagian yang saling memperkuat antara satu dan yang lainnya. Sehingga untuk memperbaiki kehidupan manusia juga tidak hanya dilakukan pada bagian-bagian tertentu saja akan tetapi harus secara menyeluruh. Bukankah Islam itu agama yang agung yang tidak pernah membatasi dan memisahkan aspek-aspek kehidupan manusia. Semuanya telah diatur dalam sebuah nilai ajaran yang berdasar pada kodrat “status” manusia sebagai makhluk duniawi dan ukhrawi. Sebagai komitmennya ajaran Islam tidak pernah melarang manusia untuk mewujudkan kesejahteraan dalam hidup di dunia sekaligus juga tidak memperbolehkan

49
manusia lupa bahwa dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan abadi ukhrawinya” (Wawancara dengan K.H. Budi Harjono, tanggal 13 Maret 2006)
K.H. Budi Harjono, di setiap khotbahnya, juga senantiasa
menekankan perlunya memeluk Islam secara kaffah dan dilakukan oleh
pribadi orang Islam itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan sebab menurutnya
selama ini orang memeluk Islam hanya karena “warisan” dari orang
tuanya yang terlebih dahulu Islam.
“Tanggung jawab Islam itu seharusnya ada dalam masing-masing diri kita. Akan tetapi selama ini banyak dari kita yang tidak pernah mengerti dan memahami Islam yang mereka peluk dan anggap sebagai pedoman hidup di dunia. Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini tidak lebih karena kita tidak pernah merasa memiliki Islam secara penuh. Bisa kita bayangkan sejak kecil kita terlalu ‘dipaksa’ untuk memeluk Islam oleh orang tua kita tanpa adanya bimbingan yang lebih mendalam tentang hakekat Islam itu sendiri. Orang tua hanya memberitahu bahwa Islam adalah agama yang benar yang telah menjadi pilihan secara turun temurun. Bahkan seringkali kita menyaksikan ancaman dari orang tua apabila anaknya meninggalkan Islam (murtad), para orang tua tidak akan pernah lagi menganggap anaknya sebagai darah dagingnya lagi”7
Selain persoalan proses pemelukan Islam, K.H. Budi Harjono juga
menekankan pentingnya ketetapan rasa percaya (iman) kepada
“keberadaan” Allah SWT.
“Manusia itu berjalan di atas taqdir dan iradah Allah. Maksud dari berjalan di atas taqdir adalah bahwa segala jalan hidup kita telah ditentukan oleh Allah, baik yang dianggap baik maupun buruk bagi kita. Semua telah tertulis dalam ‘kitab kehidupan’ di mana yang tahu rahasianya hanyalah Allah semata. Akan tetapi ketika garis kehidupan telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah, bukan berarti manusia kemudian hanya tinggal diam dan menjalani kehidupannya tanpa adanya usaha. Taqdir yang ditentukan Allah tidaklah semata hanya satu, ada berbagai kemungkinan yang ketetapan (taqdir) akan terjadi dan diterima oleh manusia yang
7 Materi pengajian di Masjid Badak Semarang, tanggal 25 April 2006.

50
kesemuanya tergantung pada seberapa besar usaha manusia. Semakin besar dan banyak manusia berusaha maka semakin berpeluang pula taqdir yang baik yang akan dia terima, begitupula sebaliknya. Hal ini juga telah dijelaskan Allah dalam surat ar-Ra’d ayat 11 yang berbunyi,
...انّ اهللا ال يغير ما بقوم حىت يغيروا ما بأنفسهم ...
‘… Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri …’ (Depag RI, 1984 : 370)
Sedangkan maksud dari manusia berjalan di bawah iradah Allah adalah segala yang ada dalam diri manusia baik berupa keinginan-keinginan maupun kekuatan dan kekuasaan senantiasa berada dalam kehendak Allah. Oleh karenanya, bagi manusia yang telah diamanati kekuatan dan kekuasaan yang lebih dari manusia lain dia wajib untuk senantiasa memanfaatkan dan menjalankan amanah itu secara baik dan sesuai dengan syari’at Islam. Dan bagi manusia yang merasa lelah karena selalu berusaha namun tidak menghasilkan apapun, maka segeralah membuang jauh-jauh sikap dan sifat putus asa atau mudah menyerah tersebut. Apabila kita percaya akan iradah Allah, maka yang kita lakukan bukanlah menyerah kepada keadaan namun tetap terus berusaha untuk mendapatkan yang terbaik serta senantiasa memasrahkan hasil dalam berusaha tersebut kepada taqdir dan iradah Allah serta percaya bahwa Allah Maha Mengetahui tentang segala kondisi dan segala yang terbaik bagi manusia. Dari sikap ini, tentunya manusia tidak akan merasa ‘dijauhi’ oleh Allah karena keadaan dirinya akan tetapi dia akan lebih merasa bahwa segala kesulitan dalam hidupnya bisa jadi sebagai ujian bagi dirinya atau peringatan dari Allah akibat kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Hal ini pula yang harus menjadi sandaran berfikir dan bertindak bagi umat Islam Indonesia dan dunia umumnya atas segala kesulitan hidup yang seakan menjadi ‘saudara’ angkat kita”8
Di bidang syari’at, dakwah K.H. Budi Harjono terfokus pada
penjabaran tentang syari’at-syari’at atau aturan yang ada dalam agama
Islam, baik aturan yang terkait dengan hubungan manusia dengan Allah
maupun manusia dengan alam semesta dan juga sesama manusia.
8 Materi pengajian Minggu Pagi tanggal 14 Mei 2006

51
“Sesungguhnya kita diciptakan bukan tanpa tujuan. Allah menjadikan manusia dan seluruh makhluk lainnya dengan satu tugas utama yakni beribadah kepada Allah SWT,
وما خلقت اجلن و اإلنس االّ ليعبدون
‘Dan Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku’ (Depag RI, 1984 : 862)
Ayat tersebut menjelaskan kepada manusia bahwasanya penciptaan dirinya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menyembah Allah sebagai tugas utamanya. Tugas ini tidak lantas kita terima dalam konteks yang sempit di mana kemudian dalam hidup di dunia ini kita hanya menyembah dalam ruang peribadatan pribadi kita dengan Allah semata. Makna menyembah Allah dalam ayat ini memiliki makna yang sangat luas. Ibadah menyembah Allah tidak hanya terealisasi melalui ibadah-ibadah pribadi saja, namun juga menyangkut bagaimana kita bersikap terhadap diri kita dan sesama makhluk Allah. Oleh karenanya, pada satu sisi Allah memerintahkan kepada manusia untuk selalu mengingat diri-Nya. Seperti apabila telah tiba waktu sholat, maka segala urusan di dan yang menyangkut dunia harus segera ditinggalkan untuk menghadap sejenak kepada-Nya,…9; serta pelaksanaan-pelaksanaan syari’at ubudiah lainnya yang termaktub dan tergabung menjadi Rukun Islam. Pada sisi lain Allah juga memerintahkan dalam syari’at Islam kepada manusia berkenaan dengan aturan-aturan dalam berhubungan dengan sesama makhluk. Seperti bagaimana kita memperlakukan alam raya. Alam raya ini memang diciptakan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia semata, akan tetapi tidak berarti bahwa manusia bisa berbuat seenaknya terhadap alam raya, mengambil dan memanfaatkan tanpa pernah ada usaha untuk melestarikannya,…; selain syari’at yang berhubungan dengan alam raya, Allah juga memberikan petunjuk kepada manusia tentang aturan-aturan (syari’at) yang terkait dengan hubungan sesama manusia; seperti aturan dalam menyantuni kaum dhuafa, aturan dalam bermasyarakat, serta aturan-aturan dalam mencari nafkah kehidupan duniawi, atau bahkan aturan-aturan dalam berpolitik….”10
Pembicaraan akhlak bagi umat Islam lebih ditekankan pada tiga
hubungan yang dimiliki oleh umat Islam, yakni hubungan antara umat
9 …… : dijabarkan melalui improvisasi diaog dengan mad’u 10 Materi pengajian Minggu Pagi 28 Mei 2006.

52
Islam dengan Allah, hubungan intern umat Islam (antar umat Islam
sendiri) dan hubungan antara umat Islam dengan umat beragama yang lain.
“Status dan fungsi umat Islam di dunia ini tidak lain adalah menjadi khalifat fil ardl. Sebagai seorang khalifah yang diamanati untuk mengelola bumi, umat Islam harus menyadari dan mengetahui bahwa Allah tidak hanya menjadikan penghuni bumi dalam satu golongan atau kelompok saja. Manusia sebagai khalifah harus selalu menggenggam penjelasan Allah dalam sebuah firman-Nya yang berbunyi,
يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر و أنثى وجعلنكم شعوبا ...د اهللا اتقكموقبا ئل لتعارفوا إنّ أكرمكم عن
‘Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu …’ (Depag RI, 1984 : 847)
Oleh karenanya dalam berhubungan dengan umat manusia, baik yang seagama (sesama umat Islam) maupun dengan umat lain agama, sudah seharusnya umat Islam mampu menjaga harmonisasi hubungan manusia sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw tatkala membangun dan mengembangkan pemerintahan umat Islam di Madinah. Karena sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah hanyalah orang yang paling taqwa”
Selain akhlak yang berhubungan dengan pola bermasyarakat,
materi dakwah K.H. Budi Harjono tentang akhlak juga membahas
permasalahan akhlak yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh umat
manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sejak bangun tidur hingga
kembali tidur.
“Marilah kita selalu berlomba-lomba untuk menjadi makhluk yang paling dicintai oleh Allah. Bagaimanakah cara menjadi makhluk yang paling dicintai oleh Allah?....: untuk menjadi makhluk yang paling dicintai oleh Allah adalah dengan melakukan amal yang

53
paling disukai oleh Allah. Nah, amal apakah yang paling disukai oleh Allah? ….; Amal yang paling disukai oleh Allah adalah melakukan segala sesuatu yang lebih mementingkan orang lain daripada kepentingan diri sendiri atas dasar kebaikan dan semata-mata hanya karena Allah. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain adalah saling menolong dalam syari’at Islam,…; memuliakan orang lain,…; serta yang lainnya yang bersifat sosial”11
Pola hubungan manusia dalam keluarga juga menjadi “bahan”
materi ceramah. Penyajian materi ini cenderung dikarenakan bahwa
kehidupan keluarga merupakan lingkup kehidupan yang paling banyak
dilalui dan menghabiskan waktu manusia. Permasalahan-permasalahan
yang bersifat sederhana hingga yang berskala rumit disajikan, baik melalui
sajian retorika maupun dialog-dialog dengan pendengarnya. Sebagai salah
satu contoh adalah permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan
suami dan isteri dalam upaya melanggengkan keharmonisan rumah
tangganya,
“….masak kuwi yo ibadah, lha wong masakake anak bojo; … umbah-umbah yo ibadah mergo sing dikumbahi yo duweke anak bojo;…ibu-ibu,… unggah ungguhmu karo wong lanang ojo ucul tur ojo kulino mbanding-mbandingke bojomu. Bapak-bapak yo ora entuk maedu eleke bojomu; …omah ra’ pateko sugih ning njeroni rukun …”12
“…kerja-kerja seperti kasus keluarga umbah-umbah, asah-asah, momong bocah. Itu dikira apa tidak ibadah? Servis semua itu, untuk kebahagiaan anakmu. Kalau anak suamimu tersenyum, itu disebut ahabbul a’mal ilallah. Amal yang paling dicintai oleh Gusti Allah kuwi nek kowe iso nggawe mesem sedulur-sedulurmu, ngono lho nda…”.13
11 Materi pengajian Minggu Pagi 28 Mei 2006. 12 Materi pengajian di Perum BPI Ngaliyan tanggal 20 Agustus 2006. 13 Materi pengajian Gambang Syafaat 25 Agustus 2006 di Masjid Baiturrahman
Semarang.

54
Pemaparan materi dakwah K.H. Budi Harjono dilakukan dalam
berbagai variasi. Meski sering melakukannya dengan model ceramah,
tidak jarang juga K.H. Budi Harjono juga memaparkan materi dakwahnya
melalui pembacaan puisi maupun nyanyian serta lantunan shalawat. Selain
variatif dalam penyajian, K.H. Budi Harjono juga memberlakukan variasi
pada bahasa yang digunakan, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
3. Metode Dakwah K.H. Budi Harjono
Penyebaran dakwah Islam yang dilakukan oleh K.H. Budi Harjono
tidak terbatas pada satu wilayah saja. Dalam berdakwah, K.H. Budi
Harjono senantiasa mendasarkan pada pendekatan harmoni, yakni metode
yang lebih mengedepankan kebersamaan dan persaudaraan tanpa
membedakan. Kepiawaian dan pendekatan harmoni K.H. Budi Harjono
diterapkan dalam metode-metode dakwahnya sebagai berikut :
a. Metode Ceramah
Kegiatan-kegiatan pengajian seringkali dilakukan oleh K.H.
Budi Harjono. Pengajian tersebut tidak terbatas hanya di daerahnya
atau di wilayah-wilayah kota besar saja namun juga meliputi wilayah-
wilayah yang jauh (pelosok). Bahkan terkadang K.H. Budi Harjono
diundang untuk memberikan ceramah hingga ke luar wilayah Pulau
Jawa.
Selain mengadakan dan menghadiri pengajian keliling – dari
suatu wilayah ke wilayah lain – K.H. Budi Harjono juga menggunakan

55
media komunikasi massa dalam pengajiannya seperti halnya ketika
beliau pernah menjadi pengisi acara Siraman Rohani di TV Borobudur.
b. Metode Tanya Jawab
Pengajian yang dilakukan oleh K.H. Budi Harjono bukanlah
sebuah sajian “one man show”. Hal ini dikarenakan setiap usai
pemaparan materi pengajian, mad’u diberikan kesempatan untuk
menanyakan hal-hal yang ingin diketahuinya, baik yang terkait dengan
materi maupun di luar materi.
c. Metode Persuasif
Metode persuasif diterapkan oleh K.H Budi Harjono dalam
setiap dakwahnya – terutama ketika mengisi pengajian. Prinsip
persuasuif yang dipegang oleh K.H. Budi Harjono didasari pada
prinsip bahwa da’i bukanlah sumber utama dakwah yang tanpa cacat
dan mad’u hanyalah “botol kosong” yang harus diisi sesuai selera
pengisinya. Oleh karenanya, di setiap dakwahnya K.H. Budi Harjono
sangat menjauhi hal-hal yang bisa menimbulkan asumsi menggurui
dan menganggap benar diri sendiri.
d. Metode Diskusi
Metode penyampaian materi dakwah K.H. Budi Harjono tidak
selalu dipaparkan dengan metode satu arah (one man show) namun
juga dilakukannya dengan jalan diskusi. Baik dalam pengajian maupun
dalam forum yang lainnya. Bahkan seringkali K.H. Budi Harjono

56
melakukan diskusi dengan para akademisi dari berbagai kampus
(perguruan tinggi) dan juga remaja-remaja masjid di lingkungan kota
Semarang.
e. Metode Infiltrasi
Metode infiltrasi sering dilakukan oleh K.H. Budi Harjono
melalui pembacaan puisi maupun nyanyian lagu serta shalawat. Dalam
berdakwah, melalui ketiga cara tersebut, K.H. Budi Harjono selalu
memberikan interpretasi terhadap syair puisi, lagu, maupun shalawat
yang berkaitan dengan materi dakwah dengan tujuan agar mad’u dapat
mengambil contoh atau intisari darinya. Bahkan lagu yang
dinyanyikan olehnya tidak terbatas pada lagu-lagu Islami saja namun
juga lagu-lagu lain yang syairnya berkenaan dan bermanfaat dalam
kehidupan manusia.
f. Metode Pendidikan dan Pengajaran
Dakwah melalui media dan metode pendidikan dan pengajaran
diwujudkan oleh K.H. Budi Harjono dengan mendirikan yayasan yang
bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Ada tiga yayasan yang telah
didirikannya yakni Yayasan al-Ishlah yang berlokasi di Meteseh
Kecamatan Tembalang yang juga merupakan tempat kediamannya,
Yayasan Darut Taqwa yang berlokasi di Tembalang, dan Yayasan
Imaduddin yang berlokasi di Bawen Kabupaten Semarang.

57
Di bidang pendidikan dan pengajaran, K.H. Budi Harjono
berdakwah melalui lembaga pendidikan yang ada di setiap yayasan
yang dikelolanya. Hampir setiap tingkat pendidikan yang berlaku di
Indonesia ada di lembaga pendidikannya. Tingkat pendidikan yang ada
di Yayasan al-Ishlah meliputi Madrasah Taman Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Aliyah (MA) serta
Pondok Pesantren. Dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang ada
pada Yayasan al-Ishlah, tingkat pendidikan yang ada dalam Yayasan
Darut Taqwa lebih tinggi tingkatannya yang meliputi jenjang
pendidikan dari tingkat SD, MTs, MA, Pondok Pesantren, hingga
Perguruan Tinggi. Hal ini tidak terlepas dari adanya kerjasama antara
Yayasan Darut Taqwa dengan CKU (Cendekiawan Karya Usaha)
Universitas Diponegoro.14 Sedangkan Yayasan Imaduddin baru
berkembang pada tingkat pendidikan Madrasah Diniyah dan Pondok
Pesantren.
Lembaga pendidikan secara fungsi tempat dapat dikategorikan
sebagai media (sarana) berdakwah. Akan tetapi jika dilihat dari proses
pembelajarannya, maka proses pendidikan dapat dikelompokkan
sebagai metode dakwah. Hal ini didasarkan pada adanya kesamaan
kandungan dalam proses pendidikan dengan cara berdakwah yang
dijelaskan Allah dalam surat an-Nahl ayat 125 yang menjelaskan
berdakwah dapat dilakukan dengan cara hikmah atau kebijaksanaan,
14 Sebagai konsekuensi dari kerjasama tersebut, maka nama sekolah yang didirikan
menggunakan nama dari Yayasan CKU yakni Diponegoro.

58
pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik
(diskusi).
Terkait dengan kebijaksanaan dan pelajaran, dakwah melalui
metode pendidikan K.H. Budi Harjono teridentifikasi dari dua bidang,
yakni penentuan kurikulum serta metode belajar dan mengajar.
Kurikulum yang diberlakukan dalam sistem pendidikan di tiga yayasan
milik K.H. Budi Harjono disesuaikan dengan kurikulum dari
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Akan tetapi untuk
materi agama cenderung sedikit berbeda dengan kurikulum nasional
karena disesuaikan dengan kurikulum pendidikan agama di pondok
pesantren. Kajian-kajian kitab-kitab yang berisi hukum-hukum dan
penyelesaian masalah sesuai Islam senantiasa berjalan beriringan
dengan materi-materi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara umum. Kitab yang dikaji antara lain
adalah Kitab Safinatun Najjah, Tafsir Jalalain, Nahwu Shorof, Sulam
Taufiq, Kitab Ta’lim Muta’alim, Durusul ‘Aqoid, Durusul Fiqih,
Akhlaq lil Banin, Bahasa Arab, dan sebagainya (Wawancara dengan
K.H. Budi Harjono tanggal 13 Maret 2006).
Tujuan dari pemberlakuan dua kurikulum tersebut ke dalam
satu kurikulum adalah terciptanya siswa (anak didik) yang siap dan
berkualitas dalam ilmu pengetahuan umum dan agama. Sehingga
nantinya akan selalu siap terjun untuk berdakwah di lingkungan
masyarakat dan tidak gagap pengetahuan umum.

59
Sedangkan dalam bidang metode belajar mengajar, proses
pembelajaran tidak menjadi “hak paten” para pengajar semata. Melalui
proses kaderisasi santri, para santri yang sudah dianggap mampu dan
memenuhi persyaratan akan dididik untuk menjadi sosok pendidik
yang akan mewakili para guru bila berhalangan hadir. Metode ini
diterapkan sebatas di lingkungan pondok pesantren. Belum
diterapkannya metode pendidikan dan pengajaran dengan proses
kaderisasi dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan
umum lebih dikarenakan faktor aturan yang berlaku.
g. Metode bil Hal
Metode dakwah bil hal K.H. Budi Harjono direalisasikan
dengan pemberlakuan pembayaran bulanan yang tidak didasarkan pada
kebutuhan sarana pengajaran melainkan berdasar pada kemampuan
masyarakat. Bahkan kebanyakan yang menjadi santri di Pondok
Pesantren yang diasuhnya adalah anak-anak dari keluarga kurang
mampu dan juga yatim piatu.
Selain prioritasisasi siswa kurang mampu, dakwah bil hal K.H.
Budi Harjono juga terwujud dalam aktifitas ekonomi sosial dengan
mendirikan koperasi dan pemberian modal untuk kemandirian santri.