BAB III

16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA I. Pendahuluan Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun dan ireversibel dengan etiologi yang beragam serta memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau trasplantasi ginjal. 1 Gagal ginjal kronik dapat mengakibatkan berbagai perubahan sistemik pada manusia yang salah satunya adalah rongga mulut. Penderita gagal ginjal umumnya akan mengalami perubahan secara fisiologi berupa gangguan pada indera pengecap. Hal ini dikernakan defisiensi seng atau gangguan fungsi neurologis. Pada umumnya penderita mengeluh rasa kecap logam (metallic taste). Penderita juga mengalami penurunan produksi saliva karena pembatasan intake cairan. Intake cairan diperlukan untuk menjaga keseimbangan cairan karena menurunnya output pada penderita gagal ginjal kronik. Hal ini dapat menyebabkan xerostomia dan parotitis. Selain itu, adanya kadar urea yang berlebih di dalam saliva akan diubaj oleh bakteri mulut menjadi ammonia sehingga nafas berbau ammonia. Manifestasi lain di rongga mulut dapat berupa pembesaran gingiva, halitosis, hipoplasia email dan peningkatan karies sehingga perawatan gigi

description

aa

Transcript of BAB III

Page 1: BAB III

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Pendahuluan

Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan

penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun dan ireversibel dengan etiologi

yang beragam serta memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialysis atau trasplantasi ginjal.1 Gagal ginjal kronik dapat mengakibatkan

berbagai perubahan sistemik pada manusia yang salah satunya adalah rongga

mulut. Penderita gagal ginjal umumnya akan mengalami perubahan secara

fisiologi berupa gangguan pada indera pengecap. Hal ini dikernakan defisiensi

seng atau gangguan fungsi neurologis. Pada umumnya penderita mengeluh rasa

kecap logam (metallic taste). Penderita juga mengalami penurunan produksi saliva

karena pembatasan intake cairan. Intake cairan diperlukan untuk menjaga

keseimbangan cairan karena menurunnya output pada penderita gagal ginjal

kronik. Hal ini dapat menyebabkan xerostomia dan parotitis. Selain itu, adanya

kadar urea yang berlebih di dalam saliva akan diubaj oleh bakteri mulut menjadi

ammonia sehingga nafas berbau ammonia. Manifestasi lain di rongga mulut dapat

berupa pembesaran gingiva, halitosis, hipoplasia email dan peningkatan karies

sehingga perawatan gigi harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan umum

penderita penyakit ginjal. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko tejadinya

perdarahan, pengontrolan dalam penggunaan obat karena turunnya laju filtrasi,

glomerulus, dan pemakaian profilaksis dalam penggunaan obat karema turunnya

laju filtrasi glomerulus, dan pemakaian profilaksis antibiotik untuk mencegah

terjadinya infeksi sekunder. Tujuan perawatan gigi dan mulut pada penderita

gagal ginjal kronis adalah untuk memulihkan dan mempertahakan kesehatan

mulut sebaik mungkin dan untuk menghilangkan timbulnya semua kemungkinan

yang bisa menjadi sumber infeksi di kemudian hari.

Page 2: BAB III

II. Epidemiologi Gagal Ginjal

2.1. Distribusi Gagal Ginjal

a. Distribusi Menurut Orang

Gagal ginjal dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis

kelamin,umur maupun ras. Menurut penelitian Aghighi, dkk (2009), dari total

35.859 orang,jumlah penderita yang terdaftar di seluruh Rumah Sakit di Iran dari

tahun 1997 sampai dengan 2006, terdapat penderita laki-laki sebesar 20.633 orang

dan perempuan sebesar 15.226 orang. Rata-rata umur penderita laki-laki dan

perempuan meningkat dari umur 47 dan 49 tahun menjadi 52,5 dan 53 tahun. Dari

data United States Renal Data System (USRDS) 2008, di Amerika Serikat sejak

tahun 2000 penderita gagal ginjal untuk usia 45-64 meningkat, dengan IR dari

2,6/10.000 menjadi 6,25/10.000. Penderita dengan usia ≥75 meningkat dengan

cepat, dengan IR dari 1,6/10.000 menjadi 17,74/10.000. Penderita dengan usia 20-

44 meningkat, dengan IR dari 2,1/100.000 menjadi 12,7/100.000. Menurut hasil

penelitian Hendrati (1999) menunjukkan bahwa penderita gagal ginjal yang

menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Sutomo Surabaya terbanyak pada laki-laki

(77,3%).23 Menurut Marlina (2009), di RSU dr. Pirngadi Medan , penderita GGA

yang terbesar pada kelompok umur 40-50 tahun (42%).13 Menurut Flora (2008)

di RSUP H Adam Malik Medan, penderita GGK terbesar terdapat pada kelompok

umur 45-59 tahun (43,1%) dan jenis kelamin laki-laki (63,8%).

b. Distribusi Menurut Tempat

Menurut penelitian Grasmaan (2005), hingga akhir tahun 2004, 52% dari

seluruh penderita gagal ginjal di dunia terdapat di Amerika, Jepang, Brazil dan

Jerman, dimana ke empat negara tersebut memiliki angka populasi penduduk

hanya 11% dari seluruh populasi di dunia. China menempati urutan ke lima

dengan penderita gagal ginjal sebanyak 48.000 penderita. Pada Tahun 2000 di

Page 3: BAB III

Indonesia terdapat 3000 penderita gagal ginjal terminal yang menjalani

hemodialisa dengan prevalensi sebesar 1,5/100.000 penduduk.

c. Distribusi Menurut Waktu

Berdasarkan data laporan European Renal Association–European Dialysis

and Transplant Association Registry (ERA-EDTA 2008), pada tahun 2007, IR

penderita gagal ginjal yang terdaftar adalah 1,16 per sepuluh ribu populasi,

denganPR kasus sebesar 6,62 per sepuluh ribu populasi. Pada tahun 2007,

Australia and New Zealand Dialysis and Transplant Registry, melaporkan IR

gagal ginjal tahap akhir sebesar 1,1/ 10.000 untuk Australia dan 1,09/10.000 di

New Zealand, sedangkan PR sebesar 7,97/10.000 untuk Australia dan 7,93/10.000

untuk New Zealand. Peningkatan jumlah penderita Diabetes Melitus yang terkena

penyakit ginjal di Indonesia menunjukkan angka 8,3% dari seluruh penderita

gagal ginjal terminal pada tahun 1983. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun

1993, angka ini telah meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu 17% dari seluruh

penderita gagal ginjal terminal yang disebabkan nefropati diabetik.

III. Manifestasi oral pada penyakit ginjal kronis

Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka

fungsi ginjal hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun

dan retensi dari berbagai produk buangan sistemik akan memberikan gambaran

penyakit ginjal kronis pada rongga mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik

menjadi uremik. Berikut merupakan manifestasi penyakit ginjal kronis pada

rongga mulut, yaitu:

Bau mulut/ Halitosis

Gejala yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal

gagal berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam (metallic

taste) akibat alterasi sensai pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap

logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi ini sering dialami oleh penderita yang

menjalani hemodialysis.

Page 4: BAB III

Xerostomia

Gejala xerostomia dapat muncul pada banyak pasien yang menjalani

hemodialisis. Xerostomia adalah kondisi mulut kering. Penyebab yang mungkin

meliputi efek samping terapi obat,pernapasan menggunakan mulut (Kussmaul’s

respiration) dan keterlibatan langsung kelenjar salivarius, dan restriksi konsumsi

cairan. Xerostomia yang lama dapat menjadi predisposisi timbulnya karies dan

peradangan gingiva dan dapat menyebabkan kesulitan bicara, retensi dental,

mastikasi, disfagi, luka pada mulut, dan hilang rasa. Xerostomia juga menjadi

predisposisi terjadinya karies dan kejadian infeksi, seperti kandidosis dan

sialadenitis supuratif akut serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan

retensi gigi palsu, kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman.

Plak, Kalkulus dan Karies

Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari

penyakit ginjal kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam satu

penelitian, xerostomia akan meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies

karena retensi produk urea serta pengaliran dan produksi saliva yang sedikit.

Proses dialysis dapat memperburuk kondisi rongga mulut dimana jumlah kalkulus

meningkat, dan banyaknya dijumpai lesi karies. Deposit kalkulus dapat bertambah

akubat dari hemodialysis.

Namun menurut beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan

konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada

penderita penyakit ginjal kronis sehingga meningkatkan substansi fosfat dan

ammonia dalam saliva dan hasilnya kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko

karies menurun. Hal ini turut didukung oleh peneliti, dimana hidrolisis urea

mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat peningkatan urea nitrogen

dalam saliva. Kebenaran teori ini terus diperkuat terutama pada anak-anak

walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga

mulut, risiko karies tetap rendan dan terkontrol.

Page 5: BAB III

Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan gangguan

homeostasis kalsium-fosfor. Prepitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH

yang buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva

menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi

basa. Secara langsung, retensi urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan

meningkatkan pembentukan kalkulus terutama pada penderita yang menjalani

hemodialysis. Selain itu, penderita yang menalani hemodialysis memiliki jumlah

magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita yang menjalani

hemodialysis mengandung oksalat dan pada kondisi uremia turut menyebabkan

retensi oksalat.

Pembengkakan gingiva

Pembengkakan gingiva dikarenakan terapi obat adalah manifestasi oral pada

penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Ini dapat disebabkan oleh

siklosporin dan atau penghambat calcium channel. Hal ini terutama

mempengaruhi papila interdental labia, walaupun dapat juga menjadi lebih luas,

meliputi margo gingiva dan lingua serta permukaan palatum.

Pembengkakan Gingiva disebabkan siklosporin

Prevalensi pembengkakan gingiva pada pasien yang meminum siklosporin masih

belum jelas, dari 6 sampai 85%. Hal ini dapat tampak 3 bulan setelah permulaan

penggunaan siklosporin. Usia anak-anak dan remaja lebih rentan terjadi penyakit

ini dibanding pada dewasa. Bila kebersihan mulut jelek, usia lebih tua dapat

rentan mendapat penyakit ini juga.

Perbaikan kebersihan mulut dapat mengurangi kejadian penyakit ini. Tetapi, ini

lebih dikarenakan pengurangan plak yang terkait proses inflamasi, dibandingkan

pelebaran gingiva karena penggunaan siklosporin ini sendiri. Ada beberapa

laporan yang masih bertentangan pada hubungan pembengkakan gingiva dengan

dosis siklosporin, tapi luas pembengkakan gingiva tampaknya tidak berhubungan

dengan fungsi cangkok ginjal.

Page 6: BAB III

Pengawasan secara teratur penyakit ini penting, karena karsinoma sel skuamosa

dan sarkoma Kaposi dilaporkan didapatkan pada penyakit pembengkakan gingiva

seperti ini.8

Pembengkakan gingiva disebabkan obat calcium channel blocker

Penghambat kanal kalsium digunakan oleh para pasien resipien cangkok ginjal

untuk mengurangi hipertensi dan efek nefrotoksik yang disebabkan siklosporin.

Dilaporkan penggunaan berbagai jenis obat ini, di antaranya, nifedipin,

amilodipin.,diltiazem, verapamil, oksidipin, felodipin, nitrendipin, menyebabkan

pembengkakan gingiva. Dilaporkan, prevalensi kejadian pembengkakan gingiva,

disebabkan nifedipin bervariasi antara 10-83% pasien yang dirawat. Belum ada

data mengenai prevalensi pada obat yang lain.

Adanya plak gigi dapat menjadi prediposisi pembengkakan gingiva karena

nifedipin, tapi tidak begitu penting untuk perkembangan selanjutnya. Dosis dan

durasi penggunaan tidak berhubungan dengan prevalensi pembengkakan gingiva.

Beberapa penelitian menunjukkan pengurangan kejadian pembengkakan gingiva

setelah adanya penggantian dengan Obat Penghambat Saluran Kalsium yang lain,

tapi obat-obat ini juga masih tetap dapat menyebabkan pembengkakan gingiva.6

Kombinasi terapi siklosporin dan penghambat saluran kalsium

Ada peningkatan kejadian dan keparahan pembengkakan gingiva ketika

siklosporin dan obat penghambat saluran kalsium digunakan bersama. Sebaliknya,

kombinasi verapamil dangan siklosporin tampaknya tidak meningkatkan frekuensi

atau keparahan pembengkakan gingiva secara signifikan.

Takrolismus

Takrolismus dilaporkan dapat menyebabkan atau juga mengurangi pembengkakan

gingiva, walaupun pada penelitian terbaru pada anak dengan cangkok ginjal, 41 %

pasien yang memakai siklosporin mengalami pembengkakan gingiva, mayoritas

Page 7: BAB III

mereka yang menerima takrolismus tidak memiliki penyakit ini. Pembengkakan

gingiva karena siklosporin dapat berkurang atau sembuh ketika siklosporin

digantikan dengan takrolismus.

Perubahan gingiva yang lain

Gingiva pada pasien GGK dapat menjadi pucat karena anemia, dengan

kemungkinan hilangnya garis pertemuan mukogingiva, dan kalau ada kelainan

trombosit, gingiva dapat menjadi mudah berdarah.

Kebersihan mulut dan penyakit periodontal

Kebersihan mulut pada pasien yang menggunakan hemodialisis dapat menjadi

jelek. Contohnya, hanya 15% -45% pasien dengan hemodialisis pada 4 pusat

kesehatan di Virginia yang memliki tingkat kebersihan mulut yang baik. Deposit

kalkulus dapat meningkat.

Tidak ada bukti yang cukup kuat mengenai peningkatan risiko periodontitis,

walaupun tanggal gigi lebih awal juga telah dilaporkan, osteomielitis supuratif

terlokalisasi , sekunder dari periodontitis, telah ditemukan pada satu pasien

penerima hemodialisis.

Lesi mukosa mulut

Beragam jenis lesi mukosa mulut, terutama bercak putih dan atau ulserasi, telah

didapatkan pada pasien-pasien penerima hemodialisis dan cangkok ginjal.

Khususnya, penyakit seperti liken planus, dapat muncul, terkadang, tapi tidak

selalu, sebagai akibat terapi obat. Hal yang sama, oral hairy leukoplakia dapat

muncul disebabkan imunosupresi karena obat, walaupun secara klinis dan

histopatologis lesi yang serupa dengan yang disebabkan virus EBV tersebut, telah

ditemukan dengan uremia. Dengan catatan, lesi lanjut dapat sembuh dengan

koreksi uremia.

Stomatitis uremia dapat berwujud sebagai daerah putih, merah, atau abu-abu pada

mukosa mulut. Bentukan eritema pustulosa terbentuk dari pseudomembran abu-

Page 8: BAB III

abu di atas bercak merah yang nyeri, sedang bentukan ulseratif berwarna merah

dengan ditutupi pustul. Tidak ada deskripsi secara histologis yang jelas mengenai

stomatitis uremia ini, dan juga sulit untuk menjelaskan penyebab perubahan

mukosa mulut yang tidak biasa ini.Beberapa penelitian menyebutkan secara

histologis, penyakit ini ditandai dengan infiltrat keradangan minimal dengan

hiperplasi epitel dan hiperparakeratinisasi yang tidak biasa.

Etiologi stomatitis uremia masih belum jelas diketahui, walaupun diperkirakan

berasal dari kenaikan komponen amonia dalam darah, juga diperkirakan dapat

berasal dari pembakaran kimia. Amonia terbentuk oleh kerja bakteri urease yang

merubah urea saliva yang dapat meningkat pada pasien tersebut. Diperkirakan,

stomatitis muncul bila kadar urea dalam darah lebih tingi dari 300 mg/ml,

walaupun ada beberapa laporan perubahan mukosa dapat terjadi pada kadar urea

kurang dari 200 mg/dl.

Pasien yang mengalami penyakit ini biasanya mengeluh penyakit mukosa mulut

yang membuat tidak nyaman, terkadang berpengaruh pada nutrisi dan input

cairan, penurunan aliran saliva, dan sensasi terbakar pada bibir.

Pada beberapa keadaan, permukaan mukosa dapat menjadi eritema atau berupa

ulserasi. Makula mukosa mulut dan nodul juga didapatkan pada 14% pasien yang

menerima hemodialisis.

Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima

hemodialisis adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat, walaupun

telah ada laporan yang menunjukkan bahwa terapi yang menyertai cangkok ginjal

merupakan predisposisi kejadian displasia epitelial dan karsinoma pada bibir.

Mungkin, Sarkoma Kaposi dapat muncul pada mulut resipien cangkok ginjal yang

mengalami imunosupresi. Ada beberapa laporan kejadian karsinoma sel skuamosa

di daerah pembengkakan gingiva yang disebabkan penggunaan siklosporin. Tiap

peningkatan risiko keganasan mulut pada pasien GGK mungkin menunjukkan

efek imunosupresan iatrogenik, yang meningkatkan kejadian tumor yang

berhubungan dengan virus seperti sarkoma Kaposi ataiu limfoma Non Hodgkin.

Page 9: BAB III

Infeksi oral

Kandidosis

Keilitis angular ditemukan pada 4% pasien dengan hemodialisis dan resipien

cangkok ginjal. Lesi kandidiasis oral lain seperti pseudomembran (1,9%), eritema

(3,8%) dan kandidosis atropik kronis (3,8%) ditemukan pada resipien cangkok

ginjal.

Infeksi Virus

Sekitar 50 % resipien cangkok ginjal yang seropositif herpes simplex, mengalami

episode infeksi HSV rekuren, parah dan lama. Tetapi akhir-akhir ini, penggunaan

terapi anti herpes yang efektif telah mengurangi infeksi serupa secara signifikan.

Keadaan imunosupresi yang lama pada pasien pasca pencangkokan ginjal dapat

menjadi predisposisi infeksi herpesvirus 8 (HHV-8) dan sarkoma Kaposi yang

terkait.

Kelainan Gigi

Gigi lambat tumbuh dilaporkan pada anak-anak dengan GGK. Hipoplasi enamel

pada gigi susu maupun permanen dengan atau tanpa warnanya berubah menjadi

coklat juga dapat timbul.

Pada pasien GGK dewasa, penyempitan atau kalsifikasi ruang pulpa juga dapat

terjadi. Penyebab yang sebenarnya dari perubahan gigi ini belum diketahui.

Resipien cangkok ginjal mengalami penyempitan ruang pulpa lebih banyak

daripada pasien yang menerima hemodialisis. Tidak ada hubungan yang

konsisiten antara terapi kortikosteroid dengan penyempitan ruang pulpa.

Peningkatan maupun penurunan angka kejadian karies gigi telah dilaporkan pada

kelompok pasien GGK. Tetapi, tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan

risiko karies secara signifikan pada pasien dengan GGK. Walaupun pasien

mengalami xerostomia, tampaknya tidak ada peningkatan risiko terjadi karies

servikalis, seperti yang diperkirakan sebelumnya.

Page 10: BAB III

Kehilangan jaringan gigi non-karies lebih banyak dijumpai pada pasien dengan

GGK dibandingkan populasi orang sehat. Ini mungkin disebabkan karena nausea,

regurgitasi esofagus atau vomitus yang disebabkan bulimia nervosa.

Lesi pada tulang

Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Ini

menunjukkan bermacam jenis kelainan metabolisme kalsium, termasuk

hidroksilasi dari 1-hidroksikolekalsiferol menjadi vitamin D aktif, penurunan

ekskresi ion hidrogen (dan asidosis yang diakibatkannya), hiperpospatemia,

hipokalsemia,dan hiperparatiroidisme sekunder yang diakibatkan, dan terakhir

gangguan biokimiawi pospat oleh proses dialisis.

Hiperparatiroidisme sekunder mempengaruhi 92% pasien yang menerima

hemodialisis. Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi tumor

coklat maksila, pembesaran tulang basis skeletal dan mempengaruhi mobilitas

gigi. Beberapa kelainan pada tulang yang lain antara lain adalah demineralisasi

tulang, fraktur rahang, lesi fibrokistik radiolusen, penurunan ketebalan korteks

tulang, dan lain-lain. Sedang pada gigi dan jaringan periodonsium antara lain,

terlambat tumbuh, hipoplasi enamel, kalsifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan

lain-lain.