BAB III,
description
Transcript of BAB III,
BAB III
ANALISIS KASUS
Gangguan Ginjal Akut ( Acute Kidney Injury)
Di Indonesia definisi AKU belum diterjemahkan secara baku, maka sering di gunakan
gangguan ginjal akut (GnGA) sebagai terjemahan AKI
Tabel 1. Tahapan GgGA Menurut KDIGO2
Tahap Kriteria Serum Kreatinin Kriteria Produksi Urin1 Peningkatan serum kreatinin ≥ 26
µmol/L (0,3 mg/dl) dalam 48 jam atau peningkatan 1,5-1,9 kali dari kadar kreatinin referensi
Produksi urin < 0,5 cc/kgBB selama lebih dari 6 jam
2 Peningkatan serum kreatinin 2-2,9 kali dari kadar kreantinin referensi
Produksi urin< 0,5 cc/ kgBB selama lebih dari 12 jam
3 Peningkatan kreatinin 3 kali kadar sebelumnya, atau serum kreatinin ≥ 4 mg/ dl atau telah memerlukan Terapi Pengganti Ginjal (tanpa melihat tahapannya)
Produksi urin< 0,3 cc/ kgBB selama lebih dari 24 jam atau anuri selama 12 jam
Catatan: Kadar kreatinin adalah kadar serum kreatinin pasien terendah dalam 3 bulan terakhir. Seandainya nilai ini tidak diketahui, maka pemeriksaan ukang serum kreatinin dalam 24 jam ( kadar srum kreatinin yang pertama dijadikan kadar referensi)
Kriteria RIFLE dapat digunakan secara mudah dan murah untuk menegakkan diagnosis GgGA, dalam praktek klinik, karena hanya berdasarkan kenaikan kadar kreatinin serum atau penurunan produksi urin dalam satuan waktu.
Di Negara berkembang insdens GgGA pada populasi umum jarang dilaporkan, Karen tidak semua pasien di rujuk ke rumah sakit.
Tabel 2. Klasifikasi AKIN
Tahap Kriteria Kreatinin Kriteria Produksi urin
Kenaikan kreatiin serum ≥ 0,3 mg/dl (≥ 26.4 µmol/l ) atau kenaikan ≥ 150% sampe 200% (1,5-2 kali lupat dari dasar normal
Kurang dari 0,5 ml/ kg per jam lebih dari 6 jam
Kenaikan kreatinin serum > 200% - 300% (> 2-3 kali lipat dari kenaikan nilai dasar kreatinin serum 200%-300% (> 2-3 kali lipat dari nilai dasar
Kurang dari 0,5 ml/ kg per jam lebih dari 12 jam.
Kenaikan kreatinin serum > 300% (>3 kali lipat) dari nilai dasar (or serum creatinine of more that or equalto 4,0 mg/dl (≥354µmol/l) with an acute increase of a least 0,5 mg/dl [ 44 µmol/l).
Kurang dari 0,3 ml/kg per jam lebih dari 24 jam atau anuria 12 jam
Hipertensi emergensi
Hipertensi emergensi adalah suatu keadaan darurat dimana tekanan darah yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan disfungsi end-organ progresif atau akan datang. Dalam
kondisi ini tekanan darah harus diturunkan secara agresif dari menit ke jam. Kerusakan
neurologis karena tidak terkontrolnya tekanan darah mungkin termasuk ensepalopati
hipertensif, cerebral vaskular, perdarahan intrakranial. Kerusakan kardiovaskular mungkin
termasuk iskemik/infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut dan atau
diseksi aorta. Organ lain mungkin bisa terpengaruh yaitu gagal ginjal akut/insufisiensi,
retinopati, eklampsia dan anemia hemolitik mikroangiopati15. Pada pasien ini didapatkan
keadaan edema paru akut dan retinopati hipertensi grade III.
Preavalensi rata-rata 1,25% pendduk derawasa
Penyakit Ginjal Kronis (PGK)
Penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan ginjal dengan kriteria sebagai berikut : 2,6
Kerusakan ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, yang didefinisikan sebagai
abnormalitas struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal,
termasuk ketidakseimbangan komposisi zat dalam darah atau urin serta ada atau tidaknya
gangguan hasil pemeriksaan pencitraan.
LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan gnjal.
Pada pasien ini mengalami gangguan ginjal lebih dari 3 bulan yaitu 6 bulan, dengan CCT
perhitungan yaitu 2,48 ml/mnt dan jumlah urin ± 100 ml/24 jam, disertai peningkatan kadar
ureum lebih dari 4–5 kali dan kadar kreatinin lebih dari 6 – 10 kali, serta dari gambaran USG
ginjal yaitu contracted kidney ginjal kanan dan kiri telah memenuhi kriteria penyakit ginjal
kronik tahap 5.
Tabel 1. Stadium Disfungsi Renal
Stadium Keterangan
Klirens Kreatinin (~LFG)
(ml/min/1.73m2)
Dampak Metabolik
1 LFG normal atau meningkat(Penderita risiko tinggi atau dengan kerusakan ginjal dini)
>90
2 Insufisiensi renal dini 60-89 Konsentrasi hormon paratoroid mulai meningkat (LFG ~60-80)
3 Gagal ginjal moderat (gagal ginjal kronik)
30-59 Penurunan absorbsi kalsium (LFG <50)
Aktivitas lipoprotein menurun
Malnutrisi Timbul hipertrofi ventrikel
kiri Timbul anemia (defisiensi
eritropoetin)
4 Gagal ginjal berat (tahap awal dari penyakit ginjal stadium akhir)
15-29 Konsentrasi trigliserid mulai meningkat
Hiperfosfatemia Asidosis metabolik Cenderung hiperkalemia
5 Penyakit ginjal stadium akhir (uremia)
< 15 Berkembang azotemia
Gejala klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi
kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit,
selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.2,6,7
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 84 fL), sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari
100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
Pada pasien ini telah terjadi anemia dengan rata-rata Hb 6,0 g/dl, dan gambaran darah
tepi yaitu normokrom normositer, dengan indeks retikulosit 1,4% yang merupakan tipikal
pada penyakit gagal ginjal kronis. Hal ini terjadi berkaitan dengan terganggunya fungsi ginjal
dalam produksi hormon eritropoetin yang berperan dalam proses proliferasi sel darah
merah.2,6,8
Gambar 1. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein.2,9
Pada anamnesis pasien ini ditemukan keluhan mual. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan nyeri tekan epigastrium. Gejala gastrointestinal bagian atas banyak terjadi pada
pasien gagal ginjal kronis. Mekanisme yang mendasari dan faktor yang berkontribusi pada
perkembangan gastropati sangat kompleks. Hipomotilitas lambung dapat terjadi pada pasien
gagal ginjal kronis. Pasien dengan gangguan aktivitas mioelektrik gaster dan lamanya waktu
pengosongan lambung berperan dalam gejala utama gastrointestinal. Mekanisme yang
mungkin terjadi pada hipomotilitas dipengaruhi oleh hormonal yang terlibat dalam motilitas
gastrointestinal, seperti kolesistokinin, gastrin, dan neurotensin, yang berkurang melalui
ekskresi ginjal, dan disfungsi sistem saraf otonom oleh uremia. Mekanisme sekresi asam
lambung pada patogenesis gastropati uremia masih belum jelas. Abnormalitas endoskopi
sering pada pasien dengan gejala, tetapi dapat juga ditemukan pada pasien tanpa gejala
dengan kondisi gagal ginjal kronik. Gastropati dengan perdarahan merupakan lesi lambung
yang umum ditemukan pada pasien dengan kondisi uremia.
c. Kelainan mata
Gangguan visus dapat terjadi pada pasien gagal ginjal kronik, tetapi keluhan tersebut
dapat cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang
adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis
dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun
anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit
garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal
kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.2,6,10
Pada pasien, setelah dikonsulkan ke bagian mata ditemukan retinopati hipertensi
grade II okular dekstra dan sinistra, hal ini merupakan proses lama akibat hipertensi yang
dialami oleh pasien.
d. Kelainan kulit
Gatal sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik berkaitan dengan ureum yang
tinggi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada
kulit muka dan dinamakan urea frost.2
Pada pasien tidak dikeluhkan kulit terasa gatal.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu
indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.2
Pada pasien ini, tidak ditemukan gejala dan tanda kelainan selaput serosa
f. Gangguan elektrolit
Gangguan elektrolit merupakan salah satu komplikasi yang penting pada penyakit
ginjal kronik, karena akan mengganggu kualitas hidup dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Kelainan laboratorium yang didapatkan biasanya peningkatan kadar fosfor serum,
kadar kalsium serum rendah, normal, atau tinggi, dan hiperkalemia.2
Pada pasien ini didapatkan kadar kalium waktu masuk rumah sakit sedikit tinggi yaitu
5,8 mmol/L dengan kadar Ca 6,4 mg/dL. Untuk mencegah gangguan metabolisme fosfat dan
kalsium maka dapat diberikan suplemen kalsium.2,3,6
g. Kelainan neuromuskular
Pada pasien gagal ginjal kronik dapat mengalami gangguan persarafan, salah satunya
adalah polineuropati. Polineuropati terjadi secara simetris bilateral, yang terjadi akibat
gangguan metabolik oleh zat toksik seperti urea yang tinggi didalam tubuh. 8,10
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung. Pada pasien ini berdasarkan anamnesis ditemukan
sesak nafas bila beraktivitas berat, berkurang bila beristirahat, tidur nyaman dengan
menggunakan 1 bantal, dari pemeriksaan fisik JVP (5+2) cm H20, ronkhi basah halus
dikedua lapang paru (+),batas kanan LPS dextra, batas kiri ICS VI LAA sinistra..
Berdasarkan kriteria Framingham telah memenuhi minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor, sehingga dapat didiagnosis sebagai gagal jantung kongestif.11
Penyakit Ginjal Kronik
Progresivitas penyakit ginjal
Penurunan perfusi renal
Penurunan tekanan pengisian
Gagal jantung
Kardiomiopati
Kematian miosit
eritropoetin
Penyakit kardiovaskuler AnemiaKeadaan output tinggi
Kelebihan tekanan dan volum
Gambar 2. Skema patofisiologi penyakit ginjal kronik, anemia, dan penyakit
kardiovaskular.12
Sindrom Kardiorenal
Pada pasien ini didapatkan kondisi penyakit ginjal kronis Tahap V ec. nefrosklerosis
hipertensi dengan anemia penyakit ginjal dan gagal jantung kongestif ec. penyakit jantung
hipertensi, dimana kedua keadaan ini termasuk kedalam gangguan organ yang mempengaruhi
organ lain, dalam hal ini jantung dan ginjal.12,13 Oleh karena itu diagnosis banding dengan
sindrom kardiorenal masih belum dapat disingkirkan, karena proses kedua gangguan organ
dapat terjadi, dalam hal ini penyakit ginjal kronis mempengaruhi organ jantung.
Tabel 2. Tipe Sindrom Kardiorenal
Tipe Sindrom Patofisiologi
I Kardiorenal AkutPenurunan fungsi jantung akut (acute cardiogenic shock) yang menyebabkan Gangguan Ginjal Akut (GgGA).
II Kardiorenal KronikPenurunan fungsi jantung kronis (gagal jantung kongestif) yang menyebabkan penyakit ginjal kronis (PGK).
III Renokardiak AkutPenurunan fungsi ginjal akut (iskemi atau glomerulonefritis) menyebabkan gangguan jantung akut (aritmia, iskemia, infark).
IV Renokardiak KronikPenurunan fungsi ginjal kronis (iskemi atau glomerulonefritis kronik) menyebabkan gangguan jantung kronis (LVH, gagal jantung).
Keadaan output tinggi
Kelebihan tekanan dan volum
V Kardiorenal SekunderKondisi sistemik (diabetes mellitus, sepsis) menyebabkan gangguan kedua organ.
Suatu keadaan patologi yang mengenai salah satu organ dapat menimbulkan kelainan
pada organ yang lain. Reaksi dari organ dapat terjadi secara akut maupun kronis, dalam hal
ini proses patologis yang terjadi pada jantung dapat menimbulkan penyakit ginjal ataupun
sebaliknya. Pompa jantung menjadi lemah (pumping failure) dan stroke volume menurun,
akibatnya terjadi kelebihan cairan dalam pembuluh darah (volume overload). Bila fungsi
ginjal masih baik maka ginjal akan membantu dengan meningkatkan diuresis dan ekskresi
natrium. Tetapi pada kondisi klinik ini telah terjadi juga gangguan fungsi ginjal sehingga
mekanisme normal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibat proses inflamasi,
atherosklerosis atau mikroangiopati terjadi gangguan keseimbangan neurohormonal dengan
akibat gangguan ekskresi cairan dan elektrolit dengan konsekuensi volume cairan tubuh
bertambah. Inilah yang disebut CRS yaitu kondisi klinik pasien dengan sesak nafas yang
bertambah berat dan resisten terhadap pengobatan diuretik.12,13,14
Pada pasien ini didapatkan 2 kondisi utama yaitu gagal jantung kongestif ec. penyakit
jantung hipertensi dan penyakit ginjal kronis Tahap V ec. nefrosklerosis hipertensi dengan
anemia penyakit ginjal. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang terhadap pasien, sesak dapat terjadi karena kondisi jantung pasien, berdasarkan
hasil ekokardiografi, didapatkan kesan penyakit jantung hipertensi + preserved LV Function
dengan fraksi ejeksi 56,5%, mengakibatkan perfusi darah yang membawa oksigen ke
jaringan semakin berkurang, sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Selain itu, kondisi
jantung yang menurun dan overload cairan, maka terjadi hipertensi pulmonal yang
menyebabkan edema paru akut, sehingga sesak bertambah semakin hebat.
Keadaan kedua kondisi tersebut diperburuk dengan anemia penyakit kronis akibat
penyakit ginjal kronis pasien, dimana produksi eritrosit yang membutuhkan hormon
eritropoetin yang dihasilkan oleh ginjal berkurang. Ketiga kondisi ini yang diduga menjadi
penyebab sesak nafas pada pasien.
Hipertensi emergensi
Hipertensi emergensi adalah suatu keadaan darurat dimana tekanan darah yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan disfungsi end-organ progresif atau akan datang. Dalam
kondisi ini tekanan darah harus diturunkan secara agresif dari menit ke jam. Kerusakan
neurologis karena tidak terkontrolnya tekanan darah mungkin termasuk ensepalopati
hipertensif, cerebral vaskular, perdarahan intrakranial. Kerusakan kardiovaskular mungkin
termasuk iskemik/infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut dan atau
diseksi aorta. Organ lain mungkin bisa terpengaruh yaitu gagal ginjal akut/insufisiensi,
retinopati, eklampsia dan anemia hemolitik mikroangiopati15. Pada pasien ini didapatkan
keadaan edema paru akut dan retinopati hipertensi grade III.