BAB III

37
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Anemia Anemia didefinisikan sebagai kondisi rendahnya kadar hematokrit atau hemoglobin (Bhatta dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2008), anemia merupakan kondisi kurang darah yang umum terjadi ketika jumlah eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi hemoglobin yang rendah dalam darah. Menurut Hoffbrand, Petit dan Moss (2005), anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin darah. Menurunnya kadar hemoglobin biasanya disertai dengan penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit, tetapi kedua parameter ini mungkin normal pada beberapa pasien yang memiliki kadar hemoglobin subnormal. Pendapat lain mengatakan, anemia merupakan kondisi dimana berkurangnya volum sel darah merah atau menurunnya konsentrasi hemoglobin darah dibawah normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Nilai normal hemoglobin bervariasi berdasarkan jenis kelamin, umur, ketinggian tempat tinggal, adanya riwayat merokok serta status kehamilan, namun secara umum WHO mendefinisikan anemia pada orang dewasa sebagai kadar hemoglobin ≤ 13g/dl pada

Transcript of BAB III

Page 1: BAB III

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anemia

Anemia didefinisikan sebagai kondisi rendahnya kadar hematokrit atau

hemoglobin (Bhatta dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2008), anemia merupakan

kondisi kurang darah yang umum terjadi ketika jumlah eritrosit kurang dari normal

atau akibat konsentrasi hemoglobin yang rendah dalam darah. Menurut Hoffbrand,

Petit dan Moss (2005), anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin

darah. Menurunnya kadar hemoglobin biasanya disertai dengan penurunan jumlah

eritrosit dan hematokrit, tetapi kedua parameter ini mungkin normal pada beberapa

pasien yang memiliki kadar hemoglobin subnormal.

Pendapat lain mengatakan, anemia merupakan kondisi dimana berkurangnya

volum sel darah merah atau menurunnya konsentrasi hemoglobin darah dibawah

normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Nilai normal hemoglobin bervariasi

berdasarkan jenis kelamin, umur, ketinggian tempat tinggal, adanya riwayat merokok

serta status kehamilan, namun secara umum WHO mendefinisikan anemia pada orang

dewasa sebagai kadar hemoglobin ≤ 13g/dl pada pria dan ≤ 12g/dl pada wanita

(Masatsugu, 2009).

3.1.1. Insidensi Anemia

Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia mengalami anemia. Insiden lebih

tinggi pada Negara yang sedang berkembang, dikarenakan defisiensi nutrisi atau

kehilangan darah akibat infeksi parasit (EJ Parker, 2004). Menurut Mc Lean dkk

(2009), sekitar 1.62 miliar atau 24,8% penduduk dunia mengalami anemia.

Menurut WHO, pada tahun 1993 sampai 2005 terdapat sekitar 2 miliar

penduduk dunia mengalami anemia dengan gejala yang meliputi kulit pucat, rasa

lelah, napas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala

sebelah depan. Sedangkan di Indonesia, prevalensi anemia pada tahun 2003 sampai

Page 2: BAB III

2010 masih di atas 40%, dengan prevalensi tertinggi berupa anemia defisiensi besi

pada ibu hamil, anak prasekolah, wanita tidak hamil dan lansia (Depkes 2003).

3.1.2. Klasifikasi Anemia

3.1.2.1 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi Eritrosit

Menurut Bain (2006), anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi atas:

- Mikrositik hipokromik: MCV<80fl, MCH<27pg

- Normositik normokromik: MCV 80-95 fl, MCH>26 pg

- Makrositik: MCV>95 fl

Tabel 1. MCH, hemoglobin eritrosit rata-rata; MCV, volum eritrosit rata-rata

Mikrositik hipokrom Normositik normokrom Makrositik

MCV<80 fl MCV 80-95 fl MCV>95 fl

MCH<27 pg MCH>27 pg Megaloblastik: defisiensi

vitamin B12 atau folat

Defisiensi besi Banyak anemia hemolitik Non-megaloblastik:

alkohol, penyakit hati,

mielodisplasia, anemia

aplastik,dll.

Talasemia Anemia penyakit kronik

(60%-70% kasus)

Anemia penyakit kronik

(30%-40% kasus)

Setelah perdarahan akut

Penyakit ginjal

Keracunan timbale Defisiensi campuran

Anemia sideroblastik

(beberapa kasus)

Kegagalan sumsum tulang,

misalnya pasca kemoterapi,

infiltrasi oleh karsinoma,

Page 3: BAB III

dll.

Sumber: (Bain, 2006)

3.1.2.2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Derajat Berat - Ringan

Anemia berdasarkan derajat berat ringannya dibagi menjadi, ringan, sedang

dan berat (WHO, 2011):

Tabel 2. Kadar hemoglobin untuk mendiagnosa anemia dalam ukuran g/l

Normal/non

anemia

Ringan/mild Sedang/moderate Berat/severe

Wanita tidak

hamil (15

tahun atau

lebih)

≥120 g/l 110-119 g/l 80-109 g/l <80 g/l

Laki-laki(15

tahun atau

lebih)

≥130 g/l 110-129 g/l 80-109 g/l <80 g/l

Sumber: WHO 2011: Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and

assessment of severity

3.1.2.3. Klasifikasi Anemia Menurut Etiologi

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang

dipikirkan adalah peningkatan hilangnya sel darah merah (SDM) dan penurunan atau

kelainan pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh

perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma

Page 4: BAB III

atau ulkus atau akibat perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid

atau menstruasi. Penghancuran SDM di dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis,

terjadi jika gangguan pada SDM itu sendiri (kelainan intrinsik) maupun perubahan

lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik) (Price dan

Wilson, 2005).

Pembuatan sel darah merah akan terganggu apabila zat gizi yang dibutuhkan

tidak mencukupi. Zat-zat yang diperlukan oleh sumsum tulang untuk pembentukan

hemoglobin antara lain: logam (besi, mangan, kobalt, seng, tembaga), vitamin (B12,

B6, C, E, asam folat, tiamin, riboflavin, asam pantotenat), protein, hormon

(eritropoietin, androgen, trioksin). Produksi sel darah merah juga dapat terganggu

karena pencernaan tidak berfungsi dengan baik (malabsorbsi) atau kelainan lambung

sehingga zat-zat gizi penting tidak dapat diserap, apabila hal ini berlangsung lama,

maka tubuh akan mengalami anemia (Hoffbrand, Petit & Moss, 2005).

a. Anemia defisiensi besi

Secara morfologis, keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik

hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Defisiensi besi

merupakan penyebab utama anemia di dunia dan terutama sering dijumpai pada

perempuan usia subur, disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan

peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan (Price dan Wilson, 2005).

Defisiensi besi didefinisikan sebagai keadaan dimana serum feritin, saturasi

transferin, dan eritrosit protoporphyrin bebas berada dalam kadar yang abnormal.

Individu yang mengalami defisiensi besi dan memiliki kadar hemoglobin yang rendah

dikatakan mengalami anemia defisiensi besi (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005).

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan

besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi minim dan hampir kosong (depleted

iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang

(Bakta, 2006).

Menurut Bakta (2006) dalam Sinurat (2010) dan Hoffbrand(2005) anemia

Page 5: BAB III

defisiensi besi dapat disebabkan oleh:

1) Kehilangan besi akibat perdarahan kronik atau menahun:

Khususnya dari saluran pencernaan akibat tukak peptik, pemakaian salisilat atau

NSAID, kanker lambung, varises esophagus, gastrektomi parsial, karsinoma

lambung, sekum, kolon atau rectum, cacing tambang, angiodisplasia, colitis,

hemoroid, divertikulosis, dll. Pada kehilangan darah yang kronik, pasien

seringkali tidak dapat mengabsorbsi cukup besi dari usus untuk membentuk

hemoglobin secepat darah yang hilang (Guyton dan Hall, 2007). Selain itu

perdarahan dapat juga berasal dari saluran genitalia perempuan misalnya akibat

menorrhagia. Penyebab yang jarang adalah perdarahan dari saluran kemih seperti

hematuria, hemoglobinuria dan perdarahan dari saluran nafas seperti

hemosiderosis pulmonal dan hemoptisis.

2) Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau

asupan yang kurang atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang rendah.

3) Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak yang sedang dalam

masa pertumbuhan, kehamilan dan penggunaan terapi eritropoietin.

4) Gangguan absorbsi zat besi, contohnya enteropati yang diinduksi gluten,

gastrektomi.

Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi

yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.

Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi negatif, yaitu

tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar

feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam

sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi

menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga

menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum

terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini

kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protoporphyrin atau

zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat

Page 6: BAB III

besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor

transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka

eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun.

Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi

besi (iron deficiency anemia) (Bakta, 2006).

b. Anemia Megaloblastik

Merupakan suatu kelompok anemia makrositik dengan eritroblas di sumsum

tulang memperlihatkan adanya suatu kelainan yang khas, yaitu pematangan inti relatif

lebih lambat dibandingkan dengan sitoplasma. Kromatin inti tetap member gambaran

yang terbuka, berbercak, seperti renda, walaupun terjadi pembentukan hemoglobin

normal dalam sitoplasma eritroblas sejalan dengan pematangannya. Defek mendasari

yang menyebabkan maturasi inti yang tidak sinkron adalah sintesis DNA yang

terganggu, dan dalam praktek klinik, hal ini biasa disebabkan oleh defisiensi vitamin

B12 atau folat (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005). Manifestasi klinis dari defisiensi

vitamin B12 termasuk defek tabung saraf pada anak-anak yang diakibatkan dari

kekurangan zat tersebut pada ibu selama kehamilan. Sedangkan pada orang dewasa

dan orang tua didapatkan penurunan masa tulang yang berujung pada osteopenia,

osteoporosis dan fraktur patologi (Cagnacci dkk., 2004).

c. Anemia hemolitik

Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh

peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. Secara umum, anemia hemolitik dibagi

menjadi anemia hemolitik herediter dan anemia hemolitik didapat. Anemia hemolitik

herediter disebabkan oleh defek eritrosit ‘intrinsik’ sedangkan anemia hemolitik

didapat biasanya disebabkan oleh suatu perubahan ‘ekstrakorpuskular’ atau

lingkungan. Hemoglobinuria nocturnal paroksismal adalah pengecualian karena

walaupun penyakit ini adalah suatu penyakit didapat, eritrosit PNH mempunyai defek

intrinsic (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005).

Page 7: BAB III

Penyebab umum dari anemia hemolitik adalah autoimun, mikroangiopati, dan

infeksi. Hemolisis yang dimediasi oleh respon imun dapat diakibatkan oleh antibody

antieritrosit, dapat juga terjadi sekunder akibat keganasan, kelainan autoimun, obat

dan reaksi tranfusi. Anemia hemolitik mikroangiopati terjadi jika membrane sel darah

merah rusak di dalam sirkulasi, mengakibatkan hemolisis intravascular. Agen infeksi

seperti malaria dapat menginvasi sel darah merah. Kelainan enzim sel darah merah,

membrane dan hemoglobin menyebabkan anemia hemolitik herediter. Defisiensi

enzim glucose-6-phosphate mengakibatkan hemolisis akibat adanya stress oksidatif.

Sedangkan anemia sel sabit dan talasemia ditandai dengan proses hemolisis kronik

(Dhaliwal, Cornett dan Lawrence, 2004).

3.1.3. Gejala dan Tanda Anemia

a. Gejala

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)

dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl

(Bakta, 2006). Menurut Hoffbrand, Petit & Moss (2005), anemia ringan sering kali

tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi gejala biasanya muncul jika hemoglobin

kurang dari 9-10 g/dl. Bahkan anemia berat (kadar hemoglobin serendah 6,0 g/dl)

dapat menimbulkan gejala yang sangat sedikit jika awitan sangat lambat pada subyek

muda dan sehat. Gejala yang muncul berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata

berkunang-kunang, telinga mendenging, nafas pendek, khususnya saat berolahraga,

palpitasi dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal

jantung, angina pectoris, klausikasio intermiten, atau kebingungan (konfusi).

Gangguan penglihatan akibat perdarahan retina dapat mempersulit anemia yang

sangat berat, khususnya awitannya cepat (Bain dan Lewis, 2001).

b. Tanda

Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum

meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari

9-10 g/dl. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang

hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising

Page 8: BAB III

jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung mungkin

ditemukan, khususnya pada orang tua. Tanda yang spesifik dikaitkan dengan jenis

anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan defisiensi

besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan

anemia sel sabit dan anemia hemolitik lain, deformitas tulang dengan talasemia

mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat. Gejala-gejala anemia yang

disertai infeksi berlebihan atau memar spontan menunjukkan adanya kemungkinan

netropenia atau trombositopenia akibat kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand, Petit &

Moss, 2005).

Menurut Bakta (2006), tanda yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi

tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah:

1) Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris

garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.

2) Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang.

3) Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut

sehingga tampak sebagai bercak bewarna pucat keputihan.

4) Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

Satu gejala aneh yang khas pada anemia defisiensi besi adalah Pica, dimana

pasien memiliki keinginan makan yang tidak dapat dikendalikan terhadap bahan

seperti tepung (amilofagia), es (pagofagia), dan tanah liat (geofagia). Beberapa dari

bahan ini, misalnya tanah liat dan tepung, mengikat zat besi pada saluran pencernaan,

sehingga memperburuk defisiensi (Isselbacher dkk., 2000).

Selain itu, terdapat penurunan fungsi kognitif pada anak-anak dan remaja yang

mengalami defisiensi vitamin B12 meskipun tidak disertai dengan anemia (Garcia-

Casal dkk., 2005). Menurut Hoffbrand, Petit dan Moss (2005) gambaran klinis

anemia megaloblastik dapat berupa ikterus ringan (warna kuning lemon) karena

pemecahan hemoglobin berlebihan akibat peningkatan eritropoiesis inefektif dalam

sumsum tulang. Glositis (lidah berwarna merah daging dan nyeri), stomatitis

Page 9: BAB III

angularis, dan gejala malabsorpsi ringan disertai penurunan berat badan mungkin

terjadi akibat kelainan epitel.

Pada anemia hemolitik yang berkembang secara akut, baik pada reaksi

hemolitik akibat transfusi atau defisiensi enzim G6PD, gejala yang timbul dapat

berupa demam dengan nyeri otot, sakit kepala, malaise dan menggigil. Tanda syok,

gagal ginjal, jaundice, dan anemia dapat timbul pada kasus yang berat. Biasanya

gejala dan tanda yang timbul menyerupai anemia hemolitik kongenital, dan pada

sebagian pasien gejala yang timbul lebih berkaitan dengan penyakit yang mendasari

seperti lupus, limfoma dan infeksi mycoplasma (Ucar, 2002).

3.1.4. Temuan Laboratorium Pada Anemia

Anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) yang

berada dibawah nilai normal. Menurut kriteria WHO, seseorang dikatakan mengalami

anemia jika kadar Hb <13g/dl dan kadar Ht <0.39 (39%); pada wanita jika kadar Hb

<12g/dl dan Ht <0.36 (36%) (van Hove, Schisano dan Brace, 2000).

Menurut Campbell (2005) pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

1. Hemoglobin (Hb)

Kadar hemoglobin didapatkan dengan cara mengukur intensitas warna sampel

darah. Pada sampel darah tersebut, sel darah merah sudah dilisiskan.

2. Packed Cell Volume (PCV)

Packed cell volume atau hematokrit merupakan volum eritrosit yang dipisahkan

dari plasma dengan memutarnya di dalam tabung khusus. Nilai hematokrit

dinyatakan dalam persen. Nilai normal hematokrit untuk pria adalah 40-48 vol%

dan untuk wanita 37-43 vol%.

3. Red Cell Count (RBC)/Hitung Jumlah Eritrosit

RBC merupakan perkiraan jumlah eritrosit dalam 1ml darah lengkap (whole

blood). Nilai normal RBC pada pria adalah 4.7-6.1 juta/uL, wanita 4.2-5.4 juta/uL

dan anak-anak 4.6-4.8 juta/uL. Menurunnya jumlah hemoglobin pada anemia,

Page 10: BAB III

biasanya disertai dengan penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit, tetapi kedua

parameter ini mungkin normal pada beberapa pasien yang memiliki kadar

hemoglobin subnormal (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005).

4. Indeks eritrosit

Klasifikasi yang paling bermanfaat adalah klasifikasi berdasarkan indeks eritrosit

yang membagi anemia menjadi mikrositik, normositik dan makrositik. Selain

mengarah pada sifat defek primernya, pendekatan ini dapat juga menunjukkan

kelainan yang mendasari sebelum terjadi anemia yang jelas.

- Mean Corpuscular Volume (MCV)

MCV adalah volume rata-rata eritrosit atau ukuran rata-rata sel darah merah.

Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai

normal 80-100 fl, mikrositik <80 fl dan makrositik >100 fl.

- Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)

MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah (pada

dasarnya memberikan informasi yang sama dengan MCV). Dihitung dengan

membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg,

mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

- Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)

MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan

membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom <

30%.

Walaupun indeks eritrosit akan menunjukkan jenis anemia, informasi

bermanfaat lebih lanjut dapat diperoleh dari sampel darah permulaan. Menurut

Hoffbrand, Petit & Moss (2005), pemeriksaan berikut yang dapat dilakukan:

1. Jumlah leukosit dan trombosit

Pengukuran jumlah leukosit dan trombosit membantu membedakan anemia

‘murni’ dari ‘pansitopenia’ (penurunan jumlah eritrosit, granulosit, dan trombosit)

Page 11: BAB III

yang mengarah pada defek sumsum tulang yang lebih menyeluruh, misalnya

akibat hipoplasia sumsum tulang , infiltrasi, atau destruksi sel generalisata (mis.

hipersplenisme). Pada anemia yang disebabkan oleh hemolisis atau perdarahan,

jumlah neutrofil dan trombosit seringkali menigkat; pada infeksi dan leukemia,

jumlah leukosit seringkali juga meningkat dan mungkin terdapat precursor netrofil

atau leukosit abnormal.

2. Hitung retikulosit

Jumlah normal adalah 0,5-2,5% dari jumlah absolute 25-125x109/l. jumlah ini

seharusnya meningkat pada anemia karena terjadinya peningkatan eritropoietin

dan makin tinggi jika anemia makin berat. Hal ini lebih nyata bila sudah ada waktu

untuk terjadinya hyperplasia eritroid di sumsum tulang seperti pada hemolisis

kronik. Setelah perdarahan berat akut, terdapat respons eritropoietin dalam 6 jam,

hitung retikulosit meningkat dalam 2-3 hari, mencapai maksimum dalam 6-10 hari,

dan tetap tinggi sampai hemoglobin kembali ke kadar normal. Hasil hitung

retikulosit pada pasien anemia yang tidak meningkat menunjukkan terganggunya

fungsi sumsum tulang atau kurangnya rangsang eritropoietin.

3. Sediaan apus darah

Pemeriksaan sediaan apus darah semua kasus anemia sangat penting dilakukan.

Morfologi eritrosit abnormal atau inklusi eritrosit dapat mengarah pada diagnosis

tertentu. Jika penyebab makrositosis dan mikrositosis terdapat bersamaan,

misalnya defisiensi besi dan asam folat atau B12 campuran, indeks eritrosit

mungkin normal tetapi sediaan apus darah menunjukkan gambaran dismorfik (dua

populasi sel eritrosit besar dengan hemoglobin cukup dan sel kecil yang

hipokrom). Selama pemeriksaan apus darah, dilakukan pemeriksaan hitung jenis

leukosit, penilaian jumlah dan morfologi trombosit serta dicatat ada tidaknya sel

abnormal, misalnya normoblas, prekusor granulosit, atau sel blas.

4. Pemeriksaan sumsum tulang

Page 12: BAB III

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan melakukan aspirasi atau biopsy

trephine. Pada aspirasi sumsum tulang, sebuah jarum ditusukkan ke dalam

sumsum tulang sumsum tulang ke dalam spruit. Sampel ini kemudian diapuskan

pada kaca objek untuk pemeriksaan mikroskop dan diwarnai dengan teknik

Romanowsky. Banyak informasi morfologi dapat diperoleh dengan memeriksa

sediaan aspirat. Rincian sel yang sedang berkembang dapat diperiksa

(normoblastik atau megaloblastik), proporsi berbagai jalur sel dapat dinilai (rasio

myeloid:eritroid) dan adanya sel-sel asing di sumsum tulang (mis. Karsinoma

sekunder) dapat dilihat. Kepadatan sel sumsum tulang juga dapat dilihat asalkan

didapat partikel sumsum. Pewarnaan besi dilakukan secara rutin sehingga dapat

dinilai jumlah besi dalam cadangan retikuloendotelial (makrofag) dan sebagai

granula halus (granula siderotik) dalam eritroblas yang sedang berkembang.

5. Besi Serum (Serum Iron = SI) dan daya ikat besi total (Total Iron Binding

Capacity, TIBC)

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah

cadangan besi habis sebelum kadar hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum

karena variasi diurnal yang luas dan spesifitasnya yang rendah. Besi serum yang

rendah dapat ditemukan setelah kehilangan darah, infeksi kronis, syok, rheumatoid

arthtritis, dan malignansi. Pada anemia defisiensi besi, besi serum menurun dan

daya ikat besi total meningkat sehingga TIBC kurang dari 10% tersaturasi. Hal ini

berlawanan dengan anemia penyakit kronik yang kadar besi serum dan TIBC-nya

turun, serta anemia hipokrom lain yang kadar besi serumnya normal atau bahkan

meningkat.

6. Reseptor transferin serum (serum transferring receptor, sTfR)

Reseptor transferin dilepaskan dari sel ke dalam plasma. Kadar sTfR

meningkat pada anemia defisiensi besi, peningkatan kadar TfR (>8.5 mg/dl)

merupakan indikator yang sensitif untuk defisiensi besi (Provan, 1999). sTfR tidak

Page 13: BAB III

meningkat pada anemia penyakit kronik atau pembawa gen (trait) thalasemia.

Kadarnya juga meningkat jika tingkat eritropoiesis keseluruhan meningkat.

7. Feritin Serum

Sebagian Kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya

sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Kisaran

normal pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita. Pada anemia defisiensi besi,

kadar feritin serum sangat rendah (<15µg/L), sedangkan feritin serum yang

meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan

dari jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi.

Kadar feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik

Page 14: BAB III

3.2. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

3.2.1. Definisi

Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan

yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal.

Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas terjadi sebagai akibat

penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) (yang disebabkan oleh H.

Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau

alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan

penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008)

3.2.2. Gambaran Klinis

Pada kasus perdarahan saluran cerna, perlu diketahui beberapa kondisi yang

dapat terjadi pada pasien, yakni hematemesis, melena, dan hematoskezia. Pada

hematemesis terdapat perdarahan yang berasal dari lesi di mukosa saluran cerna

yang terletak di atas perbatasan duodenojejunum. Penyebab utama dari

hematemesis ada beberapa, yakni ulkus peptikum, gastritis erosif, sindroma

Mallory Weiss, dan varises esofagus. Pada 80-90% kasus, satu dari keempat

diagnosis tersebut dapat dijumpai pada pasien dengan keluhan utama

hematemesis. Diagnosis banding lain untuk hematemesis yang lebih jarang

dijumpai meliputi esofagitis, tumor regio gastroduodenum, diatesis hemoragik,

hemobilia, hemangioma, penyakit Osler, fistula aortointestinal, oklusi arteri

mesenterika, dan pseudoxantoma elastikum.

Pada melena didapatkan adanya perdarahan berupa tinja berwarna hitam

kental, seperti tar, yang disebabkan oleh etiologi yang sama dengan hematemesis,

yakni ulkus peptikum, gastritis erosif, sindroma Mallory Weiss, varises esofagus,

atau tumor. Hematemesis yang berlangsung bersama-sama dengan melena

mengindikasikan adanya perdarahan yang bersumber proksimal dari jejunum.

Page 15: BAB III

Walaupun demikian hematemesis dapat tidak dijumpai pada perdarahan saluran

cerna bagian atas. Perlu dipertimbangkan pula perdarahan saluran cerna yang

disebabkan oleh terapi NSAID, kondisi stres pascabedah dan luka bakar, dan efek

dari terapi antikoagulan. Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya

melena, yakni volume perdarahan yang terjadi (>50 ml), waktu transit usus (>8

jam), serta efek sekresi asam lambung dan flora normal usus terhadap

hemoglobin. Lebih lanjut perdarahan per rektal berwarna merah segar

(hematoskezia) mengindikasikan perdarahan yang bersumber dari kolon atau

usus halus bagian distal (karena tumor, divertikulum, penyakit Crohn, kolitis

ulseratif, dan angiodisplasia). Perdarahan masif dari saluran cerna atas yang

disertai dengan pemendekan waktu transit usus juga dapat menyebabkan

terjadinya hematoskezia. Sebaliknya pada perdarahan dari kolon proksimal yang

disertai pemanjangan waktu transit usus dapat menyebabkan melena. Perlu juga

diperhatikan adanya beberapa kondisi yang dapat menyerupai melena, yakni pada

pemberian suplementasi besi, preparat arang, dan konsumsi makanan tertentu (bit

atau blueberry) dalam jumlah besar.

Dalam kasus perdarahan saluran cerna, modalitas endoskopi digunakan

untuk menentukan etiologi sehingga dapat dipilih terapi definitifnya. Umumnya

dilakukan esofagogastroduodenoskopi yang dilanjutkan dengan kolonoskopi jika

diperlukan. Angiografi dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan saluran

cerna, namun terbatas pada kasus perdarahan terus-menerus dengan volume 0,5-

2,0 ml/menit. Lesi di usus halus, terutama lesi tumor, tergolong sulit untuk

dideteksi. Pada kasus perdarahan intestinal dengan hasil endoskopi negatif, perlu

dipertimbangkan adanya tumor intestinal (schwannoma, leiomioma, limfoma

maligna, karsinoma). Modalitas pencitraan lain yang dapat digunakan adalah

radiografi dengan foto polos abdomen, CT scan, MRI, atau endoskopi kapsul dan

double balloon enteroscopy.

Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti ter yang berasal dari

saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas

Page 16: BAB III

adalah saluran cerna di atas ligamentum treitz, yakni dari jejunum proksimal,

duodenum, gaster, dan esophagus. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas

(SCBA) penting untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh

varises esofagus dan non-varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan

prognosis.

Cara singkat untuk membedakan perdarahan yang berasal dari saluran cerna

bagian atas (SCBA) dan bagian bawah (SCBB) adalah: (1) pada SCBA,

manifestasi klinik pada umumnya hematemesis dan/atau melena, pada SCBB

terdapat hematokesia; (2) terlihat adanya darah pada aspirasi nasogastrik pada

pasien SCBA; (3) Rasio BUN/kreatinin meningkat >35 pada SCBA, dan; (4)

ditemukan bising usus yang meningkat pada auskultasi di SCBA.

Melena menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas dan dicernanya

darah pada usus halus. Warna gelap atau hitam berasal dari konversi Hb menjadi

hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Perubahan warna disebabkan oleh HCl

lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin.

Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml baru dijumpai keadaan

melena. Pada hematemesis melena yang disebabkan kelainan pada gaster,

biasanya didahului oleh gejala mual, muntah dan rasa perih di ulu hati.

Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa

lambung yang dapat bersifat akut, kronis dan difus atau lokal. Gastritis erosif bila

terjadi kerusakan mukosa lambung yang tidak meluas sampai epitel. Gastritis

merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan

merupakan respon mukosa terhadap berbagai iritan lokal. Endotoksin bakteri

(setelah menelan makanan), kafein, alkohol, dan aspirin merupakan pencetus

yang lazim. Infeksi Helicobacter pylori lebih sering diangap penyebab gastritis

akut. Obat-obatan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS) sulfonamid,

steroid juga diketahui menggangu sawar mukosa lambung.

Page 17: BAB III

3.2.3. Etiopatogenesis

a. Helicobater pylori

Individu sehat dibawah umur 30 tahun mempunyai angka prevalesi

koloni H. Pylori pada lambung sekitar 10 %. Kolonisasi meningkat sesuai

umur, pada mereka yang berumur lebih dari 60 tahun mempunyai tingkat

kolonisasi sesuai umur mereka. H. pylori merupakan basil gram-negatif,

spiral dengan flagel multipel lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik.

H. Pylori tidak menyerang jaringan, menghuni dalam gel lendir yang

melapisi epitel. H. pylori mengeluarkan urease yang memecah urea

menjadi amnion dan CO2 sehingga milieu akan menjadi basa dan kuma

terlindungi terhadap faktor merusak dari asam lambung. Disamping itu,

kuman ini membentuk platelet ectiving faktor yang merupakan pro

inflamatory sitokin. Sitokin yang terbentuk mempunyai efek langsung

pada sel epitel melalui ATP-ase dan proses transport ion.

b. OAINS dan Alkohol

OAINS dan alkohol merupakan zat yang dapat merusak mukosa

lambung dengan mengubar permeabilitas sawar epitel, sehinga

memungkinkan difus balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan

jaringan terutama pembuluh darah. Zat ini menyebabkan perubahan

kualitatif mukosa lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi

mukus oleh pepsin. Mukosa menjadi edem, dan sejumlah besar protein

plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak mengakibatkan hemoragi

interstisial dan perdarahan. Mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi

balik dibanding fundus sehinga erosif serin terjadi di antrum. Difus balik

ion H akan merangsang histamin untuk lebih banyak mengeluarkan asam

lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler,

Page 18: BAB III

kerusakan mukosa lambung.

c. Stress ulkus

Istilah ulkus stress digunakan untuk menjelaskan erosi lambung

yang terjadi akibat stress psikologis atau fisiologis yang berlangsung lama.

Bentuk stress dapat bermacam-macam seperti syok hipotensif setelah

trauma dan operasi besar, sepsis, hipoksia, luka bakar hebat (ulkus

Curling), atau trauma serebral (ulkus Cushing). Gastritis erosive akibat

stress memiliki lesi yang dangkal, ireguler, menonjol keluar, multiple. Lesi

dapat mengalami perdarahan lambat menyebabkan melena, dan seringkali

tanpa gejala. Lesi ini bersifat superficial. Ulkus stress dibagi menjadi 2.

Ulkus cushing karena cedera otak ditandai oleh hiperasiditas nyata yang

diperantarai oleh rangsang vagus dan ulkus curlingdan sepsis ditandai oleh

hipersekresi asam lambung. Sebagian besar peneliti setuju bila iskemia

mukosa lambung adalah factor etiologi utama yang menyebabkan

terjadinya destruksi sawar lambung dan terbentuk ulserasi.

Secara umum pasien gastritis erosive mengeluh dyspepsia.

Dyspepsia adalah suatu sindrom/ kumpulan gejala berupa mual, muntah,

kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan

cepat merasa kenyang. Secara umum dyspepsia dibagi menjadi empat

yaitu: dyspepsia akibat tukak, dyspepsia akibat gangguan motilitas,

dyspepsia akibat refluks da dyspepsia tidak spesifik.

3.2.4. Tatalaksana

3.2.4.1. Non Endoskopi

Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan

Page 19: BAB III

adalah kumbah lambung lewat pipa nasograstrik dengan air suhu kamar.

Prosedur ini diharapkan dapat mengurangi distensi lambung dan memperbaiki

proses hemostatik, namun manfaatnya dalam menghentikan perdarahan masih

belum terbukti.

Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang

mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian

tersebut tidak merugikan dan relatif murah.

Vasopresin dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan SCBA

lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah spalaknik, menyebabkan aliran

darah dan tekanan vena porta menurun. Terdapat dua sediaan yakni pitresin

yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitari gland yang

mengandung vasopressin dan oxcytocin. Cara pemberian : vasopressin sedian

50 unit diencerkan dalam 100ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 – 1 mg/menit iv

selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam.

Somatostatin dan analognya diketahui dapat menurunkan aliran darah

spanknik. Dosis pemberian somatostatin diawali dengan bolus 250 mcg/iv,

dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan

berhenti.

Obat-obat golongan anti sekresi seperti inhibitor pompa proton. Diawali

dengan bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8

mg/kgBB/jam selama 72 jam

penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises

esofagus.

3.2.4.2. Endoskopis

Terapi endoskopis ditujukan untuk perdarahan tukak yang masih aktif

atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi :

(1) contact thermal (2) non contact thermal (laser) (3) nonthermal, misalnya

suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol.

Page 20: BAB III

3.2.4.3. Terpi Radiologi

Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap

berlangsung dan belum bisa menentukan asal perdarahan, atau bila terapi

endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat beresiko.

3.2.4.4. Pembedahan

Pembedahan dilakukan apabila terapi medik, endoskopi dan radiologi

dinilai gagal.

Page 21: BAB III

3.3. Gastropati OAINS

Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan

karakteristik perdarahan subepitelial dan erosi. Salah satu penyebab dari

gastropati adalah efek dariNSAID (Non steroidal anti inflammatory drugs)

serta beberapa faktor lain sepertialkohol, stres, ataupun faktor kimiawi.

Gastropati NSAID dapat memberikan keluhan dangambaran klinis yang

bervariasi seperti dispepsia, ulkus, erosi, hingga perforasi.

Obat anti inflamasi non steroid, atau biasa disingkat OAINS/NSAID,

adalah obat-obat yang memiliki efek analgesik, antipiretik dan, bila

diberikan dalam dosis yang lebih besar, akan memberikan efek anti

inflamasi. OAINS mengurangi nyeri, demam, daninflamasi (peradangan).

Di Indonesia, Gastropati NSAID merupakan penyebab kedua

gastropati setelah Helicobacter pylori dan penyebab kedua perdarahan

saluran cerna bagian atas setelah ruptur varises oesophagus. Menurut data

dari Moskow Ilmiah Lembaga PenelitianGastroenterology, pengobatan

dengan NSAID menyebabkan gastritis akut dalam 100%kasus dalam satu

minggu setelah awal pengobatan. Lesi erosif gastrointestinal terjadipada

20-40% pasien, yang menerima secara teratur NSAID.Gastropati akibat

OAINS bervariasi sangat luas, dari hanya berupa keluhan nyeriulu hati

sampai pada tukak peptic dengan komplikasi perdarahan saluran cerna

bagianatas.

Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak

sepenuhnya dipahami. Dalam sebuah referensi, NSAID merusak mukosa

lambung melalui 2 mekanisme yaitu topical dan sistemik. Kerusakan

mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofili,

sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk mukosa dan

Page 22: BAB III

menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu

kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun secara

bermakna. Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi

sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi

itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan

sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan epitel defensif. Ia

memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan

kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan

mukosa, dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.

Selain itu, prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa lambung

duodenum (terutama di antara antrumlambung), dengan memperpanjang

daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama sel-seldi permukaan yang

memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi. Elemen

kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan

prostaglandin endogenous yang disintesis di mukosa traktus

gastrointestinal bagianatas. COX(siklooksigenase) merupakan tahap

katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat ini dikenal ada dua

bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 ditemukan terutama

dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan trombosit dan berperan

penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. COX-2

pula ditemukan dalam otak dan ginjal yang juga bertanggung jawab dalam

respon inflamasi. Endotelvaskular secara terus-menerus menghasilkan

vasodilator prostaglandin E dan I yangapabila terjadi gangguan atau

hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehinggaaliran darah

menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.Sebagian besar obat OAINS

bekerja sebagai inhibitor non selektif enzim siklooksigenase, dimana obat

ini menghambat isoenzim siklooksigenase 1 (COX-1) dansiklooksigenase

2 (COX-2). Siklooksigenase mengkatalisis pembentukkan prostaglandin

dan tromboksan dari asam arakidonat. Asam arakidonat ini dihasilkan dari

Page 23: BAB III

lapisan ganda fosfolipid oleh fosfolipase A2). Prostaglandin bekerja

sebagai molekul pembawa dalam proses inflamasi. Penghambatan COX

oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan produksi mediator

inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis

leukotrien yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme

asam arakidonat terhadap oxygenase jalur 5. Leukotrien yang memberikan

kontribusiterhadap cedera mukosa lambung dengan mendorong iskemia

jaringan dan peradangan.Peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti

molekul adhesi antar sel-1 oleh mediatorpro-inflamasi seperti tumor

necrosis factor-α mengarah ke peningkatan adheren danaktivasi neutrofil-

endotel.