BAB III
-
Upload
ayu-fadhilah -
Category
Documents
-
view
5 -
download
2
Transcript of BAB III
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Anemia
Anemia didefinisikan sebagai kondisi rendahnya kadar hematokrit atau
hemoglobin (Bhatta dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2008), anemia merupakan
kondisi kurang darah yang umum terjadi ketika jumlah eritrosit kurang dari normal
atau akibat konsentrasi hemoglobin yang rendah dalam darah. Menurut Hoffbrand,
Petit dan Moss (2005), anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin
darah. Menurunnya kadar hemoglobin biasanya disertai dengan penurunan jumlah
eritrosit dan hematokrit, tetapi kedua parameter ini mungkin normal pada beberapa
pasien yang memiliki kadar hemoglobin subnormal.
Pendapat lain mengatakan, anemia merupakan kondisi dimana berkurangnya
volum sel darah merah atau menurunnya konsentrasi hemoglobin darah dibawah
normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Nilai normal hemoglobin bervariasi
berdasarkan jenis kelamin, umur, ketinggian tempat tinggal, adanya riwayat merokok
serta status kehamilan, namun secara umum WHO mendefinisikan anemia pada orang
dewasa sebagai kadar hemoglobin ≤ 13g/dl pada pria dan ≤ 12g/dl pada wanita
(Masatsugu, 2009).
3.1.1. Insidensi Anemia
Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia mengalami anemia. Insiden lebih
tinggi pada Negara yang sedang berkembang, dikarenakan defisiensi nutrisi atau
kehilangan darah akibat infeksi parasit (EJ Parker, 2004). Menurut Mc Lean dkk
(2009), sekitar 1.62 miliar atau 24,8% penduduk dunia mengalami anemia.
Menurut WHO, pada tahun 1993 sampai 2005 terdapat sekitar 2 miliar
penduduk dunia mengalami anemia dengan gejala yang meliputi kulit pucat, rasa
lelah, napas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala
sebelah depan. Sedangkan di Indonesia, prevalensi anemia pada tahun 2003 sampai
2010 masih di atas 40%, dengan prevalensi tertinggi berupa anemia defisiensi besi
pada ibu hamil, anak prasekolah, wanita tidak hamil dan lansia (Depkes 2003).
3.1.2. Klasifikasi Anemia
3.1.2.1 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi Eritrosit
Menurut Bain (2006), anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi atas:
- Mikrositik hipokromik: MCV<80fl, MCH<27pg
- Normositik normokromik: MCV 80-95 fl, MCH>26 pg
- Makrositik: MCV>95 fl
Tabel 1. MCH, hemoglobin eritrosit rata-rata; MCV, volum eritrosit rata-rata
Mikrositik hipokrom Normositik normokrom Makrositik
MCV<80 fl MCV 80-95 fl MCV>95 fl
MCH<27 pg MCH>27 pg Megaloblastik: defisiensi
vitamin B12 atau folat
Defisiensi besi Banyak anemia hemolitik Non-megaloblastik:
alkohol, penyakit hati,
mielodisplasia, anemia
aplastik,dll.
Talasemia Anemia penyakit kronik
(60%-70% kasus)
Anemia penyakit kronik
(30%-40% kasus)
Setelah perdarahan akut
Penyakit ginjal
Keracunan timbale Defisiensi campuran
Anemia sideroblastik
(beberapa kasus)
Kegagalan sumsum tulang,
misalnya pasca kemoterapi,
infiltrasi oleh karsinoma,
dll.
Sumber: (Bain, 2006)
3.1.2.2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Derajat Berat - Ringan
Anemia berdasarkan derajat berat ringannya dibagi menjadi, ringan, sedang
dan berat (WHO, 2011):
Tabel 2. Kadar hemoglobin untuk mendiagnosa anemia dalam ukuran g/l
Normal/non
anemia
Ringan/mild Sedang/moderate Berat/severe
Wanita tidak
hamil (15
tahun atau
lebih)
≥120 g/l 110-119 g/l 80-109 g/l <80 g/l
Laki-laki(15
tahun atau
lebih)
≥130 g/l 110-129 g/l 80-109 g/l <80 g/l
Sumber: WHO 2011: Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity
3.1.2.3. Klasifikasi Anemia Menurut Etiologi
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang
dipikirkan adalah peningkatan hilangnya sel darah merah (SDM) dan penurunan atau
kelainan pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh
perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma
atau ulkus atau akibat perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid
atau menstruasi. Penghancuran SDM di dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis,
terjadi jika gangguan pada SDM itu sendiri (kelainan intrinsik) maupun perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik) (Price dan
Wilson, 2005).
Pembuatan sel darah merah akan terganggu apabila zat gizi yang dibutuhkan
tidak mencukupi. Zat-zat yang diperlukan oleh sumsum tulang untuk pembentukan
hemoglobin antara lain: logam (besi, mangan, kobalt, seng, tembaga), vitamin (B12,
B6, C, E, asam folat, tiamin, riboflavin, asam pantotenat), protein, hormon
(eritropoietin, androgen, trioksin). Produksi sel darah merah juga dapat terganggu
karena pencernaan tidak berfungsi dengan baik (malabsorbsi) atau kelainan lambung
sehingga zat-zat gizi penting tidak dapat diserap, apabila hal ini berlangsung lama,
maka tubuh akan mengalami anemia (Hoffbrand, Petit & Moss, 2005).
a. Anemia defisiensi besi
Secara morfologis, keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik
hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Defisiensi besi
merupakan penyebab utama anemia di dunia dan terutama sering dijumpai pada
perempuan usia subur, disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan
peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan (Price dan Wilson, 2005).
Defisiensi besi didefinisikan sebagai keadaan dimana serum feritin, saturasi
transferin, dan eritrosit protoporphyrin bebas berada dalam kadar yang abnormal.
Individu yang mengalami defisiensi besi dan memiliki kadar hemoglobin yang rendah
dikatakan mengalami anemia defisiensi besi (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi minim dan hampir kosong (depleted
iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang
(Bakta, 2006).
Menurut Bakta (2006) dalam Sinurat (2010) dan Hoffbrand(2005) anemia
defisiensi besi dapat disebabkan oleh:
1) Kehilangan besi akibat perdarahan kronik atau menahun:
Khususnya dari saluran pencernaan akibat tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, varises esophagus, gastrektomi parsial, karsinoma
lambung, sekum, kolon atau rectum, cacing tambang, angiodisplasia, colitis,
hemoroid, divertikulosis, dll. Pada kehilangan darah yang kronik, pasien
seringkali tidak dapat mengabsorbsi cukup besi dari usus untuk membentuk
hemoglobin secepat darah yang hilang (Guyton dan Hall, 2007). Selain itu
perdarahan dapat juga berasal dari saluran genitalia perempuan misalnya akibat
menorrhagia. Penyebab yang jarang adalah perdarahan dari saluran kemih seperti
hematuria, hemoglobinuria dan perdarahan dari saluran nafas seperti
hemosiderosis pulmonal dan hemoptisis.
2) Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau
asupan yang kurang atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang rendah.
3) Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak yang sedang dalam
masa pertumbuhan, kehamilan dan penggunaan terapi eritropoietin.
4) Gangguan absorbsi zat besi, contohnya enteropati yang diinduksi gluten,
gastrektomi.
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi
yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi negatif, yaitu
tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar
feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam
sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi
menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum
terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protoporphyrin atau
zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat
besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka
eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun.
Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi
besi (iron deficiency anemia) (Bakta, 2006).
b. Anemia Megaloblastik
Merupakan suatu kelompok anemia makrositik dengan eritroblas di sumsum
tulang memperlihatkan adanya suatu kelainan yang khas, yaitu pematangan inti relatif
lebih lambat dibandingkan dengan sitoplasma. Kromatin inti tetap member gambaran
yang terbuka, berbercak, seperti renda, walaupun terjadi pembentukan hemoglobin
normal dalam sitoplasma eritroblas sejalan dengan pematangannya. Defek mendasari
yang menyebabkan maturasi inti yang tidak sinkron adalah sintesis DNA yang
terganggu, dan dalam praktek klinik, hal ini biasa disebabkan oleh defisiensi vitamin
B12 atau folat (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005). Manifestasi klinis dari defisiensi
vitamin B12 termasuk defek tabung saraf pada anak-anak yang diakibatkan dari
kekurangan zat tersebut pada ibu selama kehamilan. Sedangkan pada orang dewasa
dan orang tua didapatkan penurunan masa tulang yang berujung pada osteopenia,
osteoporosis dan fraktur patologi (Cagnacci dkk., 2004).
c. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. Secara umum, anemia hemolitik dibagi
menjadi anemia hemolitik herediter dan anemia hemolitik didapat. Anemia hemolitik
herediter disebabkan oleh defek eritrosit ‘intrinsik’ sedangkan anemia hemolitik
didapat biasanya disebabkan oleh suatu perubahan ‘ekstrakorpuskular’ atau
lingkungan. Hemoglobinuria nocturnal paroksismal adalah pengecualian karena
walaupun penyakit ini adalah suatu penyakit didapat, eritrosit PNH mempunyai defek
intrinsic (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005).
Penyebab umum dari anemia hemolitik adalah autoimun, mikroangiopati, dan
infeksi. Hemolisis yang dimediasi oleh respon imun dapat diakibatkan oleh antibody
antieritrosit, dapat juga terjadi sekunder akibat keganasan, kelainan autoimun, obat
dan reaksi tranfusi. Anemia hemolitik mikroangiopati terjadi jika membrane sel darah
merah rusak di dalam sirkulasi, mengakibatkan hemolisis intravascular. Agen infeksi
seperti malaria dapat menginvasi sel darah merah. Kelainan enzim sel darah merah,
membrane dan hemoglobin menyebabkan anemia hemolitik herediter. Defisiensi
enzim glucose-6-phosphate mengakibatkan hemolisis akibat adanya stress oksidatif.
Sedangkan anemia sel sabit dan talasemia ditandai dengan proses hemolisis kronik
(Dhaliwal, Cornett dan Lawrence, 2004).
3.1.3. Gejala dan Tanda Anemia
a. Gejala
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl
(Bakta, 2006). Menurut Hoffbrand, Petit & Moss (2005), anemia ringan sering kali
tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi gejala biasanya muncul jika hemoglobin
kurang dari 9-10 g/dl. Bahkan anemia berat (kadar hemoglobin serendah 6,0 g/dl)
dapat menimbulkan gejala yang sangat sedikit jika awitan sangat lambat pada subyek
muda dan sehat. Gejala yang muncul berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, telinga mendenging, nafas pendek, khususnya saat berolahraga,
palpitasi dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal
jantung, angina pectoris, klausikasio intermiten, atau kebingungan (konfusi).
Gangguan penglihatan akibat perdarahan retina dapat mempersulit anemia yang
sangat berat, khususnya awitannya cepat (Bain dan Lewis, 2001).
b. Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum
meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari
9-10 g/dl. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang
hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising
jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung mungkin
ditemukan, khususnya pada orang tua. Tanda yang spesifik dikaitkan dengan jenis
anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan defisiensi
besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan
anemia sel sabit dan anemia hemolitik lain, deformitas tulang dengan talasemia
mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat. Gejala-gejala anemia yang
disertai infeksi berlebihan atau memar spontan menunjukkan adanya kemungkinan
netropenia atau trombositopenia akibat kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand, Petit &
Moss, 2005).
Menurut Bakta (2006), tanda yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi
tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah:
1) Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
2) Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
3) Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak bewarna pucat keputihan.
4) Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Satu gejala aneh yang khas pada anemia defisiensi besi adalah Pica, dimana
pasien memiliki keinginan makan yang tidak dapat dikendalikan terhadap bahan
seperti tepung (amilofagia), es (pagofagia), dan tanah liat (geofagia). Beberapa dari
bahan ini, misalnya tanah liat dan tepung, mengikat zat besi pada saluran pencernaan,
sehingga memperburuk defisiensi (Isselbacher dkk., 2000).
Selain itu, terdapat penurunan fungsi kognitif pada anak-anak dan remaja yang
mengalami defisiensi vitamin B12 meskipun tidak disertai dengan anemia (Garcia-
Casal dkk., 2005). Menurut Hoffbrand, Petit dan Moss (2005) gambaran klinis
anemia megaloblastik dapat berupa ikterus ringan (warna kuning lemon) karena
pemecahan hemoglobin berlebihan akibat peningkatan eritropoiesis inefektif dalam
sumsum tulang. Glositis (lidah berwarna merah daging dan nyeri), stomatitis
angularis, dan gejala malabsorpsi ringan disertai penurunan berat badan mungkin
terjadi akibat kelainan epitel.
Pada anemia hemolitik yang berkembang secara akut, baik pada reaksi
hemolitik akibat transfusi atau defisiensi enzim G6PD, gejala yang timbul dapat
berupa demam dengan nyeri otot, sakit kepala, malaise dan menggigil. Tanda syok,
gagal ginjal, jaundice, dan anemia dapat timbul pada kasus yang berat. Biasanya
gejala dan tanda yang timbul menyerupai anemia hemolitik kongenital, dan pada
sebagian pasien gejala yang timbul lebih berkaitan dengan penyakit yang mendasari
seperti lupus, limfoma dan infeksi mycoplasma (Ucar, 2002).
3.1.4. Temuan Laboratorium Pada Anemia
Anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) yang
berada dibawah nilai normal. Menurut kriteria WHO, seseorang dikatakan mengalami
anemia jika kadar Hb <13g/dl dan kadar Ht <0.39 (39%); pada wanita jika kadar Hb
<12g/dl dan Ht <0.36 (36%) (van Hove, Schisano dan Brace, 2000).
Menurut Campbell (2005) pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Hemoglobin (Hb)
Kadar hemoglobin didapatkan dengan cara mengukur intensitas warna sampel
darah. Pada sampel darah tersebut, sel darah merah sudah dilisiskan.
2. Packed Cell Volume (PCV)
Packed cell volume atau hematokrit merupakan volum eritrosit yang dipisahkan
dari plasma dengan memutarnya di dalam tabung khusus. Nilai hematokrit
dinyatakan dalam persen. Nilai normal hematokrit untuk pria adalah 40-48 vol%
dan untuk wanita 37-43 vol%.
3. Red Cell Count (RBC)/Hitung Jumlah Eritrosit
RBC merupakan perkiraan jumlah eritrosit dalam 1ml darah lengkap (whole
blood). Nilai normal RBC pada pria adalah 4.7-6.1 juta/uL, wanita 4.2-5.4 juta/uL
dan anak-anak 4.6-4.8 juta/uL. Menurunnya jumlah hemoglobin pada anemia,
biasanya disertai dengan penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit, tetapi kedua
parameter ini mungkin normal pada beberapa pasien yang memiliki kadar
hemoglobin subnormal (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005).
4. Indeks eritrosit
Klasifikasi yang paling bermanfaat adalah klasifikasi berdasarkan indeks eritrosit
yang membagi anemia menjadi mikrositik, normositik dan makrositik. Selain
mengarah pada sifat defek primernya, pendekatan ini dapat juga menunjukkan
kelainan yang mendasari sebelum terjadi anemia yang jelas.
- Mean Corpuscular Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit atau ukuran rata-rata sel darah merah.
Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 80-100 fl, mikrositik <80 fl dan makrositik >100 fl.
- Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah (pada
dasarnya memberikan informasi yang sama dengan MCV). Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg,
mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
- Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom <
30%.
Walaupun indeks eritrosit akan menunjukkan jenis anemia, informasi
bermanfaat lebih lanjut dapat diperoleh dari sampel darah permulaan. Menurut
Hoffbrand, Petit & Moss (2005), pemeriksaan berikut yang dapat dilakukan:
1. Jumlah leukosit dan trombosit
Pengukuran jumlah leukosit dan trombosit membantu membedakan anemia
‘murni’ dari ‘pansitopenia’ (penurunan jumlah eritrosit, granulosit, dan trombosit)
yang mengarah pada defek sumsum tulang yang lebih menyeluruh, misalnya
akibat hipoplasia sumsum tulang , infiltrasi, atau destruksi sel generalisata (mis.
hipersplenisme). Pada anemia yang disebabkan oleh hemolisis atau perdarahan,
jumlah neutrofil dan trombosit seringkali menigkat; pada infeksi dan leukemia,
jumlah leukosit seringkali juga meningkat dan mungkin terdapat precursor netrofil
atau leukosit abnormal.
2. Hitung retikulosit
Jumlah normal adalah 0,5-2,5% dari jumlah absolute 25-125x109/l. jumlah ini
seharusnya meningkat pada anemia karena terjadinya peningkatan eritropoietin
dan makin tinggi jika anemia makin berat. Hal ini lebih nyata bila sudah ada waktu
untuk terjadinya hyperplasia eritroid di sumsum tulang seperti pada hemolisis
kronik. Setelah perdarahan berat akut, terdapat respons eritropoietin dalam 6 jam,
hitung retikulosit meningkat dalam 2-3 hari, mencapai maksimum dalam 6-10 hari,
dan tetap tinggi sampai hemoglobin kembali ke kadar normal. Hasil hitung
retikulosit pada pasien anemia yang tidak meningkat menunjukkan terganggunya
fungsi sumsum tulang atau kurangnya rangsang eritropoietin.
3. Sediaan apus darah
Pemeriksaan sediaan apus darah semua kasus anemia sangat penting dilakukan.
Morfologi eritrosit abnormal atau inklusi eritrosit dapat mengarah pada diagnosis
tertentu. Jika penyebab makrositosis dan mikrositosis terdapat bersamaan,
misalnya defisiensi besi dan asam folat atau B12 campuran, indeks eritrosit
mungkin normal tetapi sediaan apus darah menunjukkan gambaran dismorfik (dua
populasi sel eritrosit besar dengan hemoglobin cukup dan sel kecil yang
hipokrom). Selama pemeriksaan apus darah, dilakukan pemeriksaan hitung jenis
leukosit, penilaian jumlah dan morfologi trombosit serta dicatat ada tidaknya sel
abnormal, misalnya normoblas, prekusor granulosit, atau sel blas.
4. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan melakukan aspirasi atau biopsy
trephine. Pada aspirasi sumsum tulang, sebuah jarum ditusukkan ke dalam
sumsum tulang sumsum tulang ke dalam spruit. Sampel ini kemudian diapuskan
pada kaca objek untuk pemeriksaan mikroskop dan diwarnai dengan teknik
Romanowsky. Banyak informasi morfologi dapat diperoleh dengan memeriksa
sediaan aspirat. Rincian sel yang sedang berkembang dapat diperiksa
(normoblastik atau megaloblastik), proporsi berbagai jalur sel dapat dinilai (rasio
myeloid:eritroid) dan adanya sel-sel asing di sumsum tulang (mis. Karsinoma
sekunder) dapat dilihat. Kepadatan sel sumsum tulang juga dapat dilihat asalkan
didapat partikel sumsum. Pewarnaan besi dilakukan secara rutin sehingga dapat
dinilai jumlah besi dalam cadangan retikuloendotelial (makrofag) dan sebagai
granula halus (granula siderotik) dalam eritroblas yang sedang berkembang.
5. Besi Serum (Serum Iron = SI) dan daya ikat besi total (Total Iron Binding
Capacity, TIBC)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum kadar hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum
karena variasi diurnal yang luas dan spesifitasnya yang rendah. Besi serum yang
rendah dapat ditemukan setelah kehilangan darah, infeksi kronis, syok, rheumatoid
arthtritis, dan malignansi. Pada anemia defisiensi besi, besi serum menurun dan
daya ikat besi total meningkat sehingga TIBC kurang dari 10% tersaturasi. Hal ini
berlawanan dengan anemia penyakit kronik yang kadar besi serum dan TIBC-nya
turun, serta anemia hipokrom lain yang kadar besi serumnya normal atau bahkan
meningkat.
6. Reseptor transferin serum (serum transferring receptor, sTfR)
Reseptor transferin dilepaskan dari sel ke dalam plasma. Kadar sTfR
meningkat pada anemia defisiensi besi, peningkatan kadar TfR (>8.5 mg/dl)
merupakan indikator yang sensitif untuk defisiensi besi (Provan, 1999). sTfR tidak
meningkat pada anemia penyakit kronik atau pembawa gen (trait) thalasemia.
Kadarnya juga meningkat jika tingkat eritropoiesis keseluruhan meningkat.
7. Feritin Serum
Sebagian Kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Kisaran
normal pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita. Pada anemia defisiensi besi,
kadar feritin serum sangat rendah (<15µg/L), sedangkan feritin serum yang
meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan
dari jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi.
Kadar feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik
3.2. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
3.2.1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan
yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal.
Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas terjadi sebagai akibat
penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) (yang disebabkan oleh H.
Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau
alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan
penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008)
3.2.2. Gambaran Klinis
Pada kasus perdarahan saluran cerna, perlu diketahui beberapa kondisi yang
dapat terjadi pada pasien, yakni hematemesis, melena, dan hematoskezia. Pada
hematemesis terdapat perdarahan yang berasal dari lesi di mukosa saluran cerna
yang terletak di atas perbatasan duodenojejunum. Penyebab utama dari
hematemesis ada beberapa, yakni ulkus peptikum, gastritis erosif, sindroma
Mallory Weiss, dan varises esofagus. Pada 80-90% kasus, satu dari keempat
diagnosis tersebut dapat dijumpai pada pasien dengan keluhan utama
hematemesis. Diagnosis banding lain untuk hematemesis yang lebih jarang
dijumpai meliputi esofagitis, tumor regio gastroduodenum, diatesis hemoragik,
hemobilia, hemangioma, penyakit Osler, fistula aortointestinal, oklusi arteri
mesenterika, dan pseudoxantoma elastikum.
Pada melena didapatkan adanya perdarahan berupa tinja berwarna hitam
kental, seperti tar, yang disebabkan oleh etiologi yang sama dengan hematemesis,
yakni ulkus peptikum, gastritis erosif, sindroma Mallory Weiss, varises esofagus,
atau tumor. Hematemesis yang berlangsung bersama-sama dengan melena
mengindikasikan adanya perdarahan yang bersumber proksimal dari jejunum.
Walaupun demikian hematemesis dapat tidak dijumpai pada perdarahan saluran
cerna bagian atas. Perlu dipertimbangkan pula perdarahan saluran cerna yang
disebabkan oleh terapi NSAID, kondisi stres pascabedah dan luka bakar, dan efek
dari terapi antikoagulan. Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya
melena, yakni volume perdarahan yang terjadi (>50 ml), waktu transit usus (>8
jam), serta efek sekresi asam lambung dan flora normal usus terhadap
hemoglobin. Lebih lanjut perdarahan per rektal berwarna merah segar
(hematoskezia) mengindikasikan perdarahan yang bersumber dari kolon atau
usus halus bagian distal (karena tumor, divertikulum, penyakit Crohn, kolitis
ulseratif, dan angiodisplasia). Perdarahan masif dari saluran cerna atas yang
disertai dengan pemendekan waktu transit usus juga dapat menyebabkan
terjadinya hematoskezia. Sebaliknya pada perdarahan dari kolon proksimal yang
disertai pemanjangan waktu transit usus dapat menyebabkan melena. Perlu juga
diperhatikan adanya beberapa kondisi yang dapat menyerupai melena, yakni pada
pemberian suplementasi besi, preparat arang, dan konsumsi makanan tertentu (bit
atau blueberry) dalam jumlah besar.
Dalam kasus perdarahan saluran cerna, modalitas endoskopi digunakan
untuk menentukan etiologi sehingga dapat dipilih terapi definitifnya. Umumnya
dilakukan esofagogastroduodenoskopi yang dilanjutkan dengan kolonoskopi jika
diperlukan. Angiografi dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan saluran
cerna, namun terbatas pada kasus perdarahan terus-menerus dengan volume 0,5-
2,0 ml/menit. Lesi di usus halus, terutama lesi tumor, tergolong sulit untuk
dideteksi. Pada kasus perdarahan intestinal dengan hasil endoskopi negatif, perlu
dipertimbangkan adanya tumor intestinal (schwannoma, leiomioma, limfoma
maligna, karsinoma). Modalitas pencitraan lain yang dapat digunakan adalah
radiografi dengan foto polos abdomen, CT scan, MRI, atau endoskopi kapsul dan
double balloon enteroscopy.
Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti ter yang berasal dari
saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas
adalah saluran cerna di atas ligamentum treitz, yakni dari jejunum proksimal,
duodenum, gaster, dan esophagus. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) penting untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh
varises esofagus dan non-varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan
prognosis.
Cara singkat untuk membedakan perdarahan yang berasal dari saluran cerna
bagian atas (SCBA) dan bagian bawah (SCBB) adalah: (1) pada SCBA,
manifestasi klinik pada umumnya hematemesis dan/atau melena, pada SCBB
terdapat hematokesia; (2) terlihat adanya darah pada aspirasi nasogastrik pada
pasien SCBA; (3) Rasio BUN/kreatinin meningkat >35 pada SCBA, dan; (4)
ditemukan bising usus yang meningkat pada auskultasi di SCBA.
Melena menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas dan dicernanya
darah pada usus halus. Warna gelap atau hitam berasal dari konversi Hb menjadi
hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Perubahan warna disebabkan oleh HCl
lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin.
Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml baru dijumpai keadaan
melena. Pada hematemesis melena yang disebabkan kelainan pada gaster,
biasanya didahului oleh gejala mual, muntah dan rasa perih di ulu hati.
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronis dan difus atau lokal. Gastritis erosif bila
terjadi kerusakan mukosa lambung yang tidak meluas sampai epitel. Gastritis
merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan
merupakan respon mukosa terhadap berbagai iritan lokal. Endotoksin bakteri
(setelah menelan makanan), kafein, alkohol, dan aspirin merupakan pencetus
yang lazim. Infeksi Helicobacter pylori lebih sering diangap penyebab gastritis
akut. Obat-obatan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS) sulfonamid,
steroid juga diketahui menggangu sawar mukosa lambung.
3.2.3. Etiopatogenesis
a. Helicobater pylori
Individu sehat dibawah umur 30 tahun mempunyai angka prevalesi
koloni H. Pylori pada lambung sekitar 10 %. Kolonisasi meningkat sesuai
umur, pada mereka yang berumur lebih dari 60 tahun mempunyai tingkat
kolonisasi sesuai umur mereka. H. pylori merupakan basil gram-negatif,
spiral dengan flagel multipel lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik.
H. Pylori tidak menyerang jaringan, menghuni dalam gel lendir yang
melapisi epitel. H. pylori mengeluarkan urease yang memecah urea
menjadi amnion dan CO2 sehingga milieu akan menjadi basa dan kuma
terlindungi terhadap faktor merusak dari asam lambung. Disamping itu,
kuman ini membentuk platelet ectiving faktor yang merupakan pro
inflamatory sitokin. Sitokin yang terbentuk mempunyai efek langsung
pada sel epitel melalui ATP-ase dan proses transport ion.
b. OAINS dan Alkohol
OAINS dan alkohol merupakan zat yang dapat merusak mukosa
lambung dengan mengubar permeabilitas sawar epitel, sehinga
memungkinkan difus balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan
jaringan terutama pembuluh darah. Zat ini menyebabkan perubahan
kualitatif mukosa lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi
mukus oleh pepsin. Mukosa menjadi edem, dan sejumlah besar protein
plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak mengakibatkan hemoragi
interstisial dan perdarahan. Mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi
balik dibanding fundus sehinga erosif serin terjadi di antrum. Difus balik
ion H akan merangsang histamin untuk lebih banyak mengeluarkan asam
lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler,
kerusakan mukosa lambung.
c. Stress ulkus
Istilah ulkus stress digunakan untuk menjelaskan erosi lambung
yang terjadi akibat stress psikologis atau fisiologis yang berlangsung lama.
Bentuk stress dapat bermacam-macam seperti syok hipotensif setelah
trauma dan operasi besar, sepsis, hipoksia, luka bakar hebat (ulkus
Curling), atau trauma serebral (ulkus Cushing). Gastritis erosive akibat
stress memiliki lesi yang dangkal, ireguler, menonjol keluar, multiple. Lesi
dapat mengalami perdarahan lambat menyebabkan melena, dan seringkali
tanpa gejala. Lesi ini bersifat superficial. Ulkus stress dibagi menjadi 2.
Ulkus cushing karena cedera otak ditandai oleh hiperasiditas nyata yang
diperantarai oleh rangsang vagus dan ulkus curlingdan sepsis ditandai oleh
hipersekresi asam lambung. Sebagian besar peneliti setuju bila iskemia
mukosa lambung adalah factor etiologi utama yang menyebabkan
terjadinya destruksi sawar lambung dan terbentuk ulserasi.
Secara umum pasien gastritis erosive mengeluh dyspepsia.
Dyspepsia adalah suatu sindrom/ kumpulan gejala berupa mual, muntah,
kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan
cepat merasa kenyang. Secara umum dyspepsia dibagi menjadi empat
yaitu: dyspepsia akibat tukak, dyspepsia akibat gangguan motilitas,
dyspepsia akibat refluks da dyspepsia tidak spesifik.
3.2.4. Tatalaksana
3.2.4.1. Non Endoskopi
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan
adalah kumbah lambung lewat pipa nasograstrik dengan air suhu kamar.
Prosedur ini diharapkan dapat mengurangi distensi lambung dan memperbaiki
proses hemostatik, namun manfaatnya dalam menghentikan perdarahan masih
belum terbukti.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang
mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian
tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopresin dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan SCBA
lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah spalaknik, menyebabkan aliran
darah dan tekanan vena porta menurun. Terdapat dua sediaan yakni pitresin
yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitari gland yang
mengandung vasopressin dan oxcytocin. Cara pemberian : vasopressin sedian
50 unit diencerkan dalam 100ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 – 1 mg/menit iv
selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam.
Somatostatin dan analognya diketahui dapat menurunkan aliran darah
spanknik. Dosis pemberian somatostatin diawali dengan bolus 250 mcg/iv,
dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan
berhenti.
Obat-obat golongan anti sekresi seperti inhibitor pompa proton. Diawali
dengan bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8
mg/kgBB/jam selama 72 jam
penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises
esofagus.
3.2.4.2. Endoskopis
Terapi endoskopis ditujukan untuk perdarahan tukak yang masih aktif
atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi :
(1) contact thermal (2) non contact thermal (laser) (3) nonthermal, misalnya
suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol.
3.2.4.3. Terpi Radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap
berlangsung dan belum bisa menentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat beresiko.
3.2.4.4. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila terapi medik, endoskopi dan radiologi
dinilai gagal.
3.3. Gastropati OAINS
Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan
karakteristik perdarahan subepitelial dan erosi. Salah satu penyebab dari
gastropati adalah efek dariNSAID (Non steroidal anti inflammatory drugs)
serta beberapa faktor lain sepertialkohol, stres, ataupun faktor kimiawi.
Gastropati NSAID dapat memberikan keluhan dangambaran klinis yang
bervariasi seperti dispepsia, ulkus, erosi, hingga perforasi.
Obat anti inflamasi non steroid, atau biasa disingkat OAINS/NSAID,
adalah obat-obat yang memiliki efek analgesik, antipiretik dan, bila
diberikan dalam dosis yang lebih besar, akan memberikan efek anti
inflamasi. OAINS mengurangi nyeri, demam, daninflamasi (peradangan).
Di Indonesia, Gastropati NSAID merupakan penyebab kedua
gastropati setelah Helicobacter pylori dan penyebab kedua perdarahan
saluran cerna bagian atas setelah ruptur varises oesophagus. Menurut data
dari Moskow Ilmiah Lembaga PenelitianGastroenterology, pengobatan
dengan NSAID menyebabkan gastritis akut dalam 100%kasus dalam satu
minggu setelah awal pengobatan. Lesi erosif gastrointestinal terjadipada
20-40% pasien, yang menerima secara teratur NSAID.Gastropati akibat
OAINS bervariasi sangat luas, dari hanya berupa keluhan nyeriulu hati
sampai pada tukak peptic dengan komplikasi perdarahan saluran cerna
bagianatas.
Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak
sepenuhnya dipahami. Dalam sebuah referensi, NSAID merusak mukosa
lambung melalui 2 mekanisme yaitu topical dan sistemik. Kerusakan
mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofili,
sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk mukosa dan
menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu
kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun secara
bermakna. Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi
sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi
itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan
sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan epitel defensif. Ia
memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan
kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan
mukosa, dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.
Selain itu, prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa lambung
duodenum (terutama di antara antrumlambung), dengan memperpanjang
daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama sel-seldi permukaan yang
memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi. Elemen
kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan
prostaglandin endogenous yang disintesis di mukosa traktus
gastrointestinal bagianatas. COX(siklooksigenase) merupakan tahap
katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat ini dikenal ada dua
bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 ditemukan terutama
dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan trombosit dan berperan
penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. COX-2
pula ditemukan dalam otak dan ginjal yang juga bertanggung jawab dalam
respon inflamasi. Endotelvaskular secara terus-menerus menghasilkan
vasodilator prostaglandin E dan I yangapabila terjadi gangguan atau
hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehinggaaliran darah
menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.Sebagian besar obat OAINS
bekerja sebagai inhibitor non selektif enzim siklooksigenase, dimana obat
ini menghambat isoenzim siklooksigenase 1 (COX-1) dansiklooksigenase
2 (COX-2). Siklooksigenase mengkatalisis pembentukkan prostaglandin
dan tromboksan dari asam arakidonat. Asam arakidonat ini dihasilkan dari
lapisan ganda fosfolipid oleh fosfolipase A2). Prostaglandin bekerja
sebagai molekul pembawa dalam proses inflamasi. Penghambatan COX
oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan produksi mediator
inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis
leukotrien yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme
asam arakidonat terhadap oxygenase jalur 5. Leukotrien yang memberikan
kontribusiterhadap cedera mukosa lambung dengan mendorong iskemia
jaringan dan peradangan.Peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti
molekul adhesi antar sel-1 oleh mediatorpro-inflamasi seperti tumor
necrosis factor-α mengarah ke peningkatan adheren danaktivasi neutrofil-
endotel.