BAB III

31
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Atrial Fibrilasi 3.1.1 Definisi Atrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini ditandai dengan tidak terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada gambaran elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya gelombang P, juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika konduksi atrioventricular (AV) dibatasi. Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara 15

description

analisa kasus

Transcript of BAB III

Page 1: BAB III

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Atrial Fibrilasi

3.1.1 Definisi

Atrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia.

Hal ini ditandai dengan tidak terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga

terjadi kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada gambaran

elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya

gelombang P, juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika

konduksi atrioventricular (AV) dibatasi.

Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi

secara spontan dengan kecepatan yang tidak beraturan (300kali/menit)

sehingga atrium  menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV.

Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan

terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang

sangat ireguler.

Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen.

Jika terjadi secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol.

Pasien umumnya memiliki keluhan palpitasi, perasaan tidak nyaman

di dada (nyeri dada), dispnea, pusing, atau sinkop (pingsan mendadak)

yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya

pengisian sistolik ventrikel. Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi

bersifat asimptomatik. Trombus dapat terbentuk dalam rongga atrium

kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi atrium yang

mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya

emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak dan ekstremitas sehingga

atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya serangan stroke.

15

Page 2: BAB III

16

Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama

umumnya tidak teratur dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bias

normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari 60 kali permenit

disebut atrial fibrilasi slow ventricular respons (SVR), jika laju

jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi normo ventricular

respon (NVR) sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali permenit

disebut  atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR). Kecepatan

QRS biasanya normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau

jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga

bentuknya tidak dapat didefinisikan.

Banyak faktor risiko yang menyebabkan berkembangnya

kejadian atrial fibrilasi terutama dengan semakin meningkatnya usia

semakin meningkat pula risiko kejadian atrial fibrilasi. Faktor risiko

lainnya dapat dibedakan berdasarkan faktor kondisi jantung dan non

jantung. Selain faktor usia, faktor risiko yang berasal dari non-

cardiac adalah penyakit diabetes, penipisan elektrolit, kelainan tiroid,

dan emboli pulmonal. Sedangkan faktor risiko yang berasal dari

jantung sendiri adalah atrial septal defect, post operasi jantung,

kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung iskemik,

dll.

3.1.2 Klasifikasi Atrial Fibrilasi

Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas.

Beberapa hal antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan

keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang

mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P.

Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan

keberhasilan intervensi dikelompokkan menjadi; AF initial

event (episode pertama kali terdeteksi atau new AF), AF paroksismal,

AF persisten, dan AF permanen. AF initial event terjadi pertama kali

Page 3: BAB III

17

dengan atau tanpa gejala yang tampak serta onset tidak diketahui. AF

proksimal terjadi jika AF hilang timbul dengan gejala dirasakan

kurang dari tujuh  hari dan kurang dari 48 jam, tanpa diberikan

intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti kardioversi.

AF persisten terjadi jika atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti jika

diberikan obat atau intervensi nonfarmakologi berlangsung lebih dari

tujuh  hari. AF permanen terjadi jika AF tidak hilang dengan

intervensi apapun baik obat maupun kardioversi.

Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain

yang mendasari yaitu AF primer dan AF sekunder. Disebut AF primer

jika tidak disertai penyakit jantung lain atau penyakit sistemik lainnya.

AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau penyakit

sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral dan

lain-lain. Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk

gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF dan Fine AF. Coarse

AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali.

Sedangkan Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti

garis lurus.

3.1.3 Manajemen Atrial Fibrilasi

Atrial fibrilasi harus benar-benar dipertimbangkan jika pasien

telah mengalami  dua kali atau lebih episode atrial fibrilasi.

Penanganan farmakologis mencakup pengembalian irama sinus

normal, dapat digunakan amiodaron (sebagai pengontrol irama). Obat

lain yang dapat diberikan adalah agen lain yang digunakan untuk

mensupresi konduksi AV.

Tujuan penanganan AF menurut American College of

Cardiology (ACC)/American Heart Association(AHA)/European

Society of Cardiology (ESC) (2006) adalah untuk mengembalikan lagi

irama sinus dan menurunkan risiko terjadinya stroke dengan terapi

Page 4: BAB III

18

antirombolitik. Terdapat tiga kategori tujuan perawatan atrial fiibrilasi

yaitu terapi profilaksis untuk mencegah tromboemboli,

mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal, dan

memperbaiki irama yang tidak teratur. Kombinas ketiga strategi

tersebut menjadi tujuan penting dalam mengelola pasien atrial

fibrilasi.

Tatalaksana AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM)

Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III

yaitu:

1. Medikamentosa

a.      Rhythm control, tujuannya adalah untuk mengembalikan

ke irama sinus sehingga memungkinkan penderita terbebas

dari tromboemboli dan takikardiomiopati. Dapat diberikan

anti-aritmia golongan I seperti quinidine, disopiramide dan

propafenon. Untuk golongan III dapat diberikan

amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi

dengan DC shock. Pengembalian irama sinus dengan obat-

obatan (amiodaron, flekainid, atau sotalol) bisa mengubah

AF menjadi irama sinus atau mencegah episode AF lebih

jalnjt. Antikoagulasi untuk mencehag tromboembolik

sistemik.

b.       Rate control dan pemberian antikoagulan di lakukan

dengan pemberian obat-obat yang bekerja pada AV node

dapat berupa digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta

(β bloker). Amiodaron dapat juga digunakan untuk rate

control. Namun pemberian obat-obat tersebut harus hati-

hati pada pasien dengan AF disertai  hipertrovi ventrikel.

Pemeriksaan ekokardiografi bisa membantu sebelum

pemberian obat-obat tersebut.

Page 5: BAB III

19

2. Non-Medikamentosa

a.       Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan

pada setiap penderita AF. Jika pasien mengalami AF

sekunder, penyakit penyerta harus dikoreksi terlebih

dahulu. Jika AF lebih dari 48 jam maka harus diberikan

antikoagulan selama 4 minggu dan 3 minggu pasca

kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat

emboli. Pemeriksaan trnasesofagus echo dapat

direkomendasikan sebelum melakukan kardioversi dengan

DC shock jika pemberian antikoagulan belum dapat

diberikan untuk memastikan tidak adanya thrombus

diatrium.

b.      Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF dapat

diberikan. Penelitian menunjukkan pemasangan pacu

jantung kamar ganda lebih dapat mencegah episode AF

dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal.

Dan akhir-akhir ini pemasangan lead atrium pada lokasi

Bachman Bundle atau di septum atrium bagian bawah

dapat mencegah terjadinya AF.

c.       Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan

isolasi vena pulmonary  dapat dilakukan.  

d.      Ablasi AV node dan pemasangan pascu jantung permanen

(VVIR). Teknik ini digunakan terutama pada penderita AF

permanen dan penderita masih menggunakan obat

antikoagulan.

e.       Pembedahan diperlukan dengan operasi modifikasi Maze.

Hal ini dapat dilakukan sekaligus pada pasien dengan

kelainan katub mitral.

Page 6: BAB III

20

3.2. Kor Pulmonal

3.2.1 Definisi

Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru,

didefinisikan sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat

adanya penyakit parenkim paru atau pembuluh darah paru.1,2

Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis

dengan ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh

kelainan fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena

penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung

kongenital (bawaan).3

Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis

akibat hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh

hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara lain penyakit parenkim paru,

kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan

thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan

kelainan ventrikel kiri, penyakit jantung bawaan, penyakit jantung

iskemik, dan infark miokard akut.9

3.2.2.Etiologi dan Epidemiologi

Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis

pada pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat

menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.10

Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan.

Pertama, tidak semua kasus penyakit paru kronis menjadi kor

pulmonal, dan kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi

pulmonal dan kor pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan hasil

laboratorium tidaklah sensitif. Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D

echo/Doppler memberikan kemudahan untuk mendeteksi dan

mendiagnosis suatu kor pulmonal.2

Page 7: BAB III

21

Diperkirakan prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7%

dari seluruh penyakit jantung berdasarkan hasil penyelidikan yang

memakai kriteria ketebalan dinding ventrikel post mortem.3

Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat

digolongkan menjadi 4 kelompok10:

1. Penyakit pembuluh darah paru.

2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum,

aneurisma, granuloma atau fibrosis.

3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.

4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli,

termasuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru

interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.

Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal

kronis adalah PPOK, diperkirakan 80-90% kasus.1

3.2.3.Patogenesis

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal

adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-

paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan penyakit yang

mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan

obstruktif atau restriktif.3

Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal

biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi

pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban

kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan

kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini

nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru pada

arteri dan arteriola kecil.3

Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan

resistensi vaskuler paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah

Page 8: BAB III

22

pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi

jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan

rangsangan yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal

daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik

memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru,

sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.

Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik

dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah

yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung

yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut

meningkatkan tekanan arteri paru.5

Mekanisme kedua  yang turut meningkatkan resistensi vaskuler

dan tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema

ditandai oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan

pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler

disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen

menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada

penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar

karena efek mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan

obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler

diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis

kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman

vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi

peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik

kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit

obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat

kelainan perfusi-ventilasi. Setiap penyakit paru memengaruhi

pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat

mengakibatkan kor pulmonal.9

Page 9: BAB III

23

Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan

hipertensi pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem

peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan

terjadinya hipertensi pulmonal.9

Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil

pada paru yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling.

Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya resistensi

pembuluh darah paru yang mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel

kanan dan kematian. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan

sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal

yang tidak disebabkan oleh adanya penyakit jantung, parenkim paru,

maupun penyakit sistemik yang melatarbelakanginya. Hipertensi

pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi pulmonal

sekunder.9 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru

(sekunder) didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri

pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal

primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada pasien muda

(<50 tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg.

Dengan bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1

mmHg setiap 10 tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi

oleh aktivitas. Semakin berat aktivitas maka TAP akan semakin

meningkat. Pada aktivitas ringan TAP dapat meningkat >30 mmHg.

Melihat hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus dilakukan saat

pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.2

Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme

terjadinya hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya

resistensi vaskular. Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi,

remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in situ.

Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan

Page 10: BAB III

24

produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta

akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari mediator vasokonstriktor

seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya mekanisme tersebut maka

pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni

dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin,

antagonis reseptor endothelin-1, dan inhibitor phosphodiesterase-5.9

Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja

ventrikel kanan dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik

kanan jantung. Timbulnya keadaan ini diperberat dengan adanya

polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya

retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac output. Ketika

jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi

maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan

adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya hipertropi atau dilatasi

ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada masing-masing

orang berbeda-beda.3,10

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5

fase.9

Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal

Fase Deskripsi

Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala klinis

yang jelas, selain ditemukannya

gejala awal penyakit paru obstruktif

kronis (PPOK), bronkitis kronis,

tuberkulosis paru, bronkiektasis dan

sejenisnya. Anamnesa pada pasien

50 tahun biasanya didapatkan

kebiasaan banyak merokok.

Page 11: BAB III

25

Fase 2

Fase 3

Fase 4

Pada fase ini mulai ditemukan tanda-

tanda berkurangnya ventilasi paru.

Gejalanya antara lain, batuk lama

yang berdahak (terutama

bronkiektasis), sesak napas, mengi,

sesak napas ketika berjalan

menanjak atau setelah banyak

bicara. Sedangkan sianosis masih

belum nampak. Pemeriksaan fisik

ditemukan kelainan berupa,

hipersonor, suara napas berkurang,

ekspirasi memanjang, ronki basah

dan kering, mengi. Letak diafragma

rendah dan denyut jantung lebih

redup. Pemeriksaan radiologi

menunjukkan berkurangnya

corakan bronkovaskular, letak

diafragma rendah dan mendatar,

posisi jantung vertikal.

Pada fase ini nampak gejala hipoksemia

yang lebih jelas. Didapatkan pula

berkurangnya nafsu makan, berat

badan berkurang, cepat lelah.

Pemeriksaan fisik nampak sianotik,

disertai sesak dan tanda-tanda

emfisema yang lebih nyata.

Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah,

Page 12: BAB III

26

Fase 5

mudah tersinggung kadang

somnolen. Pada keadaan yang berat

dapat terjadi koma dan kehilangan

kesadaran.

Pada fase ini nampak kelainan jantung,

dan tekanan arteri pulmonal

meningkat. Tanda-tanda

peningkatan kerja ventrikel, namun

fungsi ventrikel kanan masih dapat

kompensasi. Selanjutnya terjadi

hipertrofi ventrikel kanan kemudian

terjadi gagal jantung kanan.

Pemeriksaan fisik nampak sianotik,

bendungan vena jugularis,

hepatomegali, edema tungkai dan

kadang asites.

Page 13: BAB III

Penyakit paru kronis

Kerusakan paru & semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang

mengembang

Hipoksia alveolar

Asidosis dan hiperkapnia

Berkurangnya vascular bed paru

Vasokonstriksi

Polisitemia dan hiperviskositas

darah

Hipertensi Pulmonal

27

Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor

pulmonal, disediakan ringkasan pada skema 1.

Page 14: BAB III

28

Skema 1. Patogenesis Kor Pulmonal9

3.2.4 Diagnosis

Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat

adanya hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau

struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis kor pulmonal secara

pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan

fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang mendukung ke arah

adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional.

Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti

dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan

pemeriksaan penunjang.9

3.2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit

paru yang mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang

produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah

lelah. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak

Page 15: BAB III

29

menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit

parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila

sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan

atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi

branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan

ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.11

Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya

karena adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan

dalam elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau adanya over

inflasi pada penyakit PPOK. Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi.

Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau

teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri

pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat

hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi

gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan

hipoksemia.11

Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan

keadaan sianosis, suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat

teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada daerah

pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan

tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi, maka

gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat ditemukan

murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,

hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-

tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.11

3.2.6. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi

Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi

itu akan menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang

Page 16: BAB III

30

mungkin dapat menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi

hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan

cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer

tampak relatif oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri

pulmonalis kanan >16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm

pada 93% penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen

thoraks PA sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran

kearah lateral batas jantung kiri dan pembesaran bayangan jantung ke

anterior, ke daerah retrosternal pada foto dada lateral.12

b. Elektrokardiogram

Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat

berupa13:

Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 90 atau

lebih.

Terdapat pola S1 S2 S3

Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1

Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1

Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF

Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block

komplet atau inkomplet.

Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik

pada sadapan prekordial.

Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama

pada PPOK karena adanya hiperinflasi.

Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat

memberikan gambaran gelombang Q di sadapan

prekordial yang dapat membingungkan dengan infark

miokard.

Page 17: BAB III

31

Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari

depolarisasi prematur atrium terisolasi hingga

supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial

paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium,

dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan karena

keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan,

hipoksemia, gangguan keseimbangan asam- basa,

gangguan elektrolit, serta penggunaan bronkodilator

berlebihan).

c. Ekokardiografi

Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan

penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari

hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan

yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada

gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang,

menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan

pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena

“accoustic window” sempit akibat penyakit paru.14

Page 18: BAB III

32

Gambar 1. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan

ventrikel kanan)9

3.2.7.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan

untuk menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung

kanan, meningkatkan kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit

dasar dan komplikasinya.10

a. Tirah Baring dan Pembatasan Garam

Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya

hipoksemia, yang nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan

arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara

berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi

usaha untuk menurunkan hiperkapnia.9,10

b. Terapi Oksigen

Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan

kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis:

(1) terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan

resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup

Page 19: BAB III

33

ventrikel kanan, (2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen

arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan

organ vital lainnya.9,10

Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National

Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research

Counsil) , dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup

dibanding kan dengan pasien tanpa terapi oksigen.4,5

Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤

88%, PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti,

edema yang disebabkan  gagal jantung kanan, P pulmonal pada

EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.1

c. Diuretika

Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal

jantung kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang

berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa

memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi

diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan

preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.9,10

d. Vasodilator

Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis

kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum

direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat

menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik,

meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang

primer.9,10

e. Digitalis

Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila

disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan

fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi

ventrikel normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi

Page 20: BAB III

34

ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi

ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko

aritmia.9,10

f. Antikoagulan

Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli

akibat disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor

imobilisasi pada pasien.9

3.2.8 Komplikasi

Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope,

hypoxia, pedal edema, passive hepatic congestion dan kematian.

3.2.9.Prognosis

Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik

dari prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain

seperti "restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah

paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup

antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung

kanan, asalkan mendapat pengobatan yang baik. Padmavati dkk di

India mendapatkan angka antara 14 tahun. Sadouls di Perancis

mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3