BAB III
-
Upload
phandy-mbelink -
Category
Documents
-
view
96 -
download
5
Transcript of BAB III
Laporan Kuliah Kerja Lapang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Otot dan Sistem Saraf
Otot merupakan jaringan serat yang mempunyai kemampuan untuk
berkontraksi dan menghasilkan gerak atau menunjang posisi tubuh hewan
(Webster’s world encyclopedia, 2000). Jaringan otot rangka, jaringan konektif,
dan jaringan saraf merupakan satu kesatuan yang membentuk otot rangka
(skeletal muscles). Organ – organ yang dapat berkontraksi ini menyambung
secara langsung maupun tak langsung pada tulang rangka. Ackland and
Bloomfield (1995) dan NISMAT (2000) menyatakan bahwa otot rangka
merupakan 40% sampai 50% bagian dari keseluruhan berat badan. Fungsi otot
– otot rangka antara lain adalah untuk menghasilkan gerak, menunjang postur
dan posisi tubuh, dan mempertahankan temperatur tubuh (Martini, 1992). Otot
rangka terdiri dari sekumpulan serat otot (muscle fibers) yang bertugas
mengkonversi energi kimia menjadi usaha mekanik (McCormick, 1976).
Otot manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu otot
skaletal atau striated yang berhubungan dengan gaya luar, otot jantung, dan
otot polos. Otot skeletal yang bekerja di bawah kontrol sistem saraf badan,
sehingga dinamakan otot sadar (a voluntary muscle). Otot jantung dan otot
Gambar 3.1 Sistem motor unit (Sumber: Koch, V.M.,2007, Desertasi)
Page 18Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
polos dioperasikan oleh sistem saraf otomatis. Untuk kontraksi otot sadar
diperlukan stimulan dari sistem saraf. Sistem saraf pusat terdiri dari otak
(brain) dan spinal cord. Spinal cord menghubungkan otak dengan tubuh.
Sistem saraf tepi (peripheral nervous system) terdiri dari serabut saraf (axon)
yang membawa impuls dari dan ke sistem saraf pusat. Unit penggerak ( motor
unit ) adalah unit fungsional terkecil dari sistem otot saraf ( neuromuscular
system ), seperti yang ditunjukkan oleh gambar 1 (Khoiri, 2008).
Sistem saraf merupakan komunikasi berbagai tubuh dimana mekanisme
semua jenis sensasi yang diterima dari lingkungan, jaringan, dan organ tubuh
sendiri. Sistem saraf bertanggung jawab menginterpretasikan sensasi yang
sudah tersimpan dalam memori yang kemudian aksi dibawa melalui impuls ke
bagian sistem saraf lain dan organ tubuh lainnya (Watson, 1997).
Sistem saraf mencakup seluruh massa jaringan saraf dalam tubuh.
Fungsi dasar dari sistem saraf adalah komunikasi yang bergantung pada sifat
kimiawi dan listrik khusus dari sel-sel saraf dan cabang-cabang sel yang
panjang. Sifat-sifat ini mencerminkan sifat protoplasma yaitu iritabilitas dan
konduktivitas. Iritabilitas adalah kemampuan bereaksi dengan secara bertingkat
terhadap rangsang fisik dan kimiawi, sedangkan konduktivitas merupakan
kemampuan menghantarkan rangsang cepat dari satu tempat ke tempat lain.
Setelah menerima rangsang dari luar atau dalam tubuh, bentuk dan aliran
energi rangsang (mekanis, termal, kimiawi,dsb.) ditransduksi oleh struktur
khusus, yaitu reseptor menjadi potensial listrik yang pada gilirannya
membangkitkan rangsang saraf. Deretan impuls ini kemudian dengan cepat
diteruskan ke pusat saraf untuk membangkitkan pola aktivitas tambahan dalam
sel saraf lain yang menimbulkan sensasi atau respons motoris. Hal ini
merupakan cara suatu organisme berinteraksi dengan kejadian di sekitar atau di
dalam dan mengkoordinasi fungsi organ (Fawcett, 1994).
3.1.1 Anatomi Otot Manusia
Otot manusia dapat dikelompokkan menjadi 7 bagian, yaitu:
(Annonymous, 2013)
1. Bahu (Shoulders)
Page 19Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
a. Otot Deltoid, yakni otot yang bertugas untuk memutar dan mengangkat
lengan. Otot berbentuk segitiga bundar ini terdiri atas tiga kepala, yakni
anterior untuk mengangkat ke depan, middle untuk mengangkat ke
samping dan posterior untuk mengangkat ke belakang.
b. Otot Trapezius, yakni otot di belakang leher yang memanjang sampai
ke punggung. Tugasnya yaitu untuk mengangkat rangka bahu.
2. Dada (Chest), otot pada dada adalah Otot Pectoralis Major, yakni otot yang
bertugas untuk mendorong bahu ke depan. Fungsi utamanya adalah untuk
gerakan menekan atau mendorong.
3. Punggung (Back)
a. Otot Latissimus Dorsi, adalah otot terbesar di bagian tubuh atas
manusia yang berfungsi untuk menarik bahu ke belakang dan ke bawah.
b. Otot-otot punggung atas (upper back), merupakan kumpulan otot-otot
yang sangat kompleks dan saling bertindihan. Otot-otot ini berfungsi
sebagai penggerak bahu (rotator cuff) dan menjaga tubuh supaya tegak.
c. Otot-otot punggung bawah (lower back), merupakan kumpulan otot-
otot di punggung sebelah bawah yang bertugas untuk menegakkan
tubuh.
4. Perut (Abdominals)
a. Otot Rectus Abdominis, yakni otot yang membentang sepanjang perut.
Fungsinya untuk menekuk tubuh.
b. Otot External Obliques, yakni otot kecil di sisi perut yang berfungsi
untuk memutar dan menekuk tubuh.
5. Lengan (Arms)
a. Otot Biceps, yakni otot lengan atas yang berfungsi untuk menekuk
lengan. Selain itu ada juga yang namanya Brachialis, yakni otot kecil
yang terletak di sebelah luar.
b. Otot Triceps, yakni otot lengan atas yang berfungsi untuk meluruskan
lengan.
c. Otot-otot lengan bawah (forearms), yakni terdiri atas beberapa otot
kecil yang kompleks yang bertugas untuk memutar dan menggerakkan
tangan.
Page 20Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
6. Paha dan Pinggul (Thighs dan Glutes)
a. Otot Quadriceps, adalah otot manusia yang paling besar. Fungsinya
untuk meluruskan kaki. Otot ini terletak di bagian depan paha dan
terdiri atas 4 kepala, yakni Rectus Femoris, Vastus Intermedius, Vastus
Medialis dan Vastus Lateralis.
b. Otot Biceps Femoris (hamstrings), yakni otot yang terletak di bagian
belakang paha. Fungsinya untuk menekuk kaki.
c. Otot Glutes Maximus, yakni otot pantat yang memungkinkan manusia
menjadi satu-satunya makhluk hidup yang bisa berdiri dan berjalan
tegak.
7. Betis (Calves), otot pada betis adalah Otot Gastrocnemius, yakni otot yang
paling menonjol yang letaknya ada di bagian belakang betis. Fungsinya
adalah untuk menggerakkan telapak kaki.
Gambar 3.2 Anatomi otot manusia
3.1.2 Jaringan Saraf
Jaringan saraf terdiri atas sel-sel saraf yang disebut neuron. Sel
saraf ini mempunyai struktur bercabang-cabang ke berbagai bagian tubuh
untuk mengatur aktivitasnya. Neuron mendapat suplai makanan melalui
sel neuroglia yang menyelubunginya. Neuron terdiri atas bagian-bagian
berikut: (Annonymous, 2012)
Page 21Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
a. Badan sel saraf yang mengandung inti sel dan neuroplasma
b. Neurit atau akson atau cabang panjang, berfungsi membawa impuls
meninggalkan badan sel saraf.
c. Dendrit atau cabang pendek, berfungsi membawa impuls ke badan sel
saraf.
Akson dikelilingi oleh sel penyokong yang disebut sel Schwann.
Akson diselubungi oleh selaput yang dinamakan neurilema. Sebelah
dalam neurilema terdapat selubung mielin yang mengandung fosfolipid.
Bagian akson yang tidak tertutup oleh selubung mielin dinamakan nodus
Ranvier. Akson bercabang di dekat ujung (terminal akson). Titik
pertemuan antara terminal akson yang satu dengan neuron yang lain
disebut sinapsis. Titik pertemuan (sinapsis) ini berfungsi meneruskan
rangsang ke sel saraf yang lain dengan cara mengeluarkan bahan kimia
yang disebut neurotransmiter. Badan sel saraf memiliki sebuah inti dan
bangun perikarion yang berhubungan dengan akson membentuk huruf V,
yang dinamakan aksonhillok. Retikulum endoplasma dan ribosom
membentuk granula yang dinamakan badan nissl. Berdasarkan cara
memindahkan rangsang dan posisi yang ditempati, neuron dibedakan
menjadi tiga sebagai berikut: (Annonymous, 2012)
a. Neuron Afferent (Neuron Sensorik)
Neuron afferent menyampaikan pesan dari organ ke saraf pusat, baik
sumsum tulang belakang atau otak. Oleh karena itu, penerima
rangsang ini sering disebut juga neuron sensorik.
b. Neuron Intermedier (Interneuron)
Neuron intermedier menyampaikan impuls dari neuron sensorik atau
dari neuron intermedier yang lain ke neuron motorik. Antara saraf
satu dengan yang lain saling berhubungan. Antara saraf yang satu
dengan lainnya di hubungkan oleh akson. Hubungan antara sesama
saraf melalui titik temu antara ujung akson neuron yang satu dengan
dendrit neuron yang lain, yang disebut dengan sinaps. Fugsi sinaps
adalah meneruskan rangsang dari sel saraf yang satu ke sel saraf yang
Page 22Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
lain. Sinaps mengeluarkan zat untuk mempermudah meneruskan
rangsang yang disebut neurotransmitter.
c. Neuron Efferent (Neuron Motorik)
Neuron efferent meneruskan impuls saraf yang diterima dari neuron
intermedier. Pesan yang dikirim menentukan tanggapan tubuh
terhadap rangsang yang diterima oleh neuron aferen. Dendrit dari
neuron eferen menempel di otot sehingga sering disebut juga neuron
motorik.
Gambar 3.3 Sel saraf (neuron) dengan akson dan dendrit
3.1.2 Sistem Saraf Manusia
Sistem saraf merupakan sistem organ pada hewan yang terdiri atas serabut
saraf dan tersusun atas sel-sel saraf yang saling berhubungan. Sistem saraf
merupakan jaringan paling rumit dan paling penting karena terdiri dari jutaan
sel saraf (neuron) yang saling terhubung dan sangat penting untuk
perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Satuan kerja utama dalam sistem
saraf adalah neuron yang diikat oleh sel-sel glia. Sistem saraf pada vertebrata
secara umum dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Pada sistem
saraf tepi yang paling utama terdiri dari saraf, yang merupakan serat panjang
yang menghubungkan sistem saraf pusat ke setiap bagian dari tubuh. Sistem
saraf tepi meliputi saraf motorik, mengatur pergerakan volunter (disadari),
sistem saraf otonom yang meliputi sistem saraf simpatis dan parasimpatis dan
fungsi regulasi (pengaturan), involunter (tanpa disadari) dan sistem saraf
enterik (pencernaan). Saraf tepi terdiri dari saraf sensorik dan saraf motorik
(Annonymouse, 2013)
Page 23Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Pada tingkatan seluler, sistem saraf didefinisikan sebagai keberadaan jenis
sel khusus, yang disebut neuron, yang juga dikenal sebagai sel saraf. Neuron
memiliki struktur khusus yang mengatur pengiriman sinyal secara cepat dan
presisi ke sel lain. Neuron mengirimkan sinyal dalam bentuk gelombang
elektrokimia yang berjalan sepanjang serabut tipis yang disebut akson, yang
mana akan menyebabkan bahan kimia (neurotransmitter) dilepaskan pada
sinaps. Sel yang menerima sinyal sinaptik dari neuron dapat tereksitasi,
terhambat, atau termodulasi (Annonymouse, 2013)
Sistem saraf ditemukan pada kebanyakan hewan multiseluler. Hewan
multiselular yang tidak memiliki sistem saraf adalah porifera, placozoa dan
mesozoa, yang memiliki bentuk tubuh sangat sederhana. Semua jenis hewan
kecuali pada beberapa jenis cacing, memiliki sistem saraf yang meliputi otak,
sebuah central cord. Fungsi dari sistem saraf adalah mengirimkan sinyal dari
satu sel ke sel yang lain, atau dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain.
Sistem saraf sangat rawan terhadap cidera, penelitian medis di bidang
neurologi mempelajari penyebab malfungsi sistem saraf, dan mencari solusi
untuk dapat mencegah atau memperbaikinya. Dalam sistem saraf tepi, masalah
yang paling sering terjadi adalah tidak sampainya konduksi saraf, yang dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyebab termasuk neuropati diabetik dan
kelainan demyelinasi (Annonymouse, 2013)
Alat tubuh yang berfungsi sebagai reseptor rangsangan adalah indera.
Indera merupakan bagian tubuh yang memiliki ujung saraf sensorik yang peka
terhadap rangsangan tertentu. Saraf sensorik akan meneruskan rangsang dari
indera ke saraf pusat. Dari saraf pusat, reaksi atau tanggapan akan disampaikan
ke efektor melalui saraf motorik. Efektor adalah organ atau jaringan yang
bereaksi terhadap rangsangan, misalnya otot dan kelenjar. Reaksi atau
tanggapan oleh efektor dapat berupa gerakan, ucapan, dan sekresi kelenjar
(Pratama, 2013).
Rangsangan adalah perubahan lingkungan yang dapat diterima oleh
reseptor. Rangsang dibedakan menjadi dua, yaitu rangsangan dari luar tubuh
dan rangsangan dari dalam tubuh. Rangsangan dari luar tubuh misalnya suara,
cahaya, bau, panas, dan lain-lain. Sedangkan rangsang dari dalam tubuh
Page 24Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
misalnya lapar, haus, rasa nyeri, dan lain-lain. Menurut jenisnya, rangsangan
dibedakan menjadi rangsang mekanis, kimiawi dan fisis. Rangsangan mekanis
misalnya sentuhan dan tekanan. Rangsangan kimiawi misalnya rasa manis,
asam, pahit dan bau. Sedangkan rangsang fisis berupa suhu, listrik, gravitasi,
dan lain-lain (Pratama, 2013).
Gambar 3.4 Diagram Sistem Saraf Manusia
3.1.2 Struktur Membran Protein
Membran protein berbentuk alpha helix yang tersusun atas asam amino
dan protein bergerak di dalam lipid. Yang masuk melewati membran hanya
molekul-molekul air dan masuk melewati lipid dengan cara transport aktif dan
pasif. Akibat molekul-molekul air yang masuk ini menyebabkan hipotonik dan
hipertonik.
3.1.3 Struktur Sistem Saraf Manusia
Page 25Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis yang
merupakan sistem saraf utama dari tubuh. Secara garis besar dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.5 Susunan sistem saraf manusia
Susunan saraf tepi terdiri dari susunan saraf motoris dan saraf
sensoris. Susunan saraf ini dimulai dari neuron motoris dan neuron
sensoris menuju ke neuromuscular junction dan otot. Secara mikroskopis
serabut saraf mempunyai lapisan pelindung jaringan ikat, yang terdiri
dari endoneurium, perineurium dan epineurium (Gambar 3.4), yang
masing-masing berfungsi:
1. Endoneurium, membungkus secara langsung masing-masing akson.
2. Perineurium, merupakan pembungkus fasikel saraf. Fasikel adalah
kumpulan beberapa akson serta endoneuriumnya.
3. Epineurium, merupakan pembungkus beberapa fasikel dan pembuluh
darah yang ada diantaranya. Epineurium kemudian melanjutkan diri
menjadi lapisan duramater di medula spinalis.
sistem saraf
sistem saraf pusat
otak sumsum tulang belakang
sistem saraf tepi
sensorik motorik
voluntary (somatic)
nervous system
parasympathetic division
Page 26Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.6 Endoneurium, Perineurium dan Epineurium
Ketiga lapisan saraf tersebut merupakan pelindung yang sangat efektif,
dapat menahan beban sampai dengan 20-30 kg. Walaupun demikian,
pada titik pertemuan akar saraf spinalis menuju medula spinalis
merupakan tempat yang rawan terhadap trauma (terutama lesi
avulsi/tarikan), sebab pada titik tersebut hanya dapat menahan beban
sebesar 2-3 kg (Poernomo,dkk.,2003)
3.1.2.1 Susunan Saraf Tepi Motorik
Susunan saraf tepi motorik dimulai dari motor neuron di
kornu anterior medula spinalis, radiks motorik di bagian ventral
medula spinalis, yang bersama dengan radiks posterior pada
segmen yang sama keluar dari foramen intervertebralis
membentuk saraf spinalis. Beberapa saraf spinalis membentuk
pleksus, sebelum akhirnya terbagi lagi menjadi beberapa saraf
perifer dan akhirnya menuju masing-masing otot yang
dilayaninya.
Page 27Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.7 Susunan saraf tepi Ada 31 pasang saraf spinalis, yaitu 8 pasang saraf servikalis,
12 pasang saraf torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf
sakralis dan 1 pasang koksigeal. Ada dua sistem pleksus dalam
tubuh manusia yaitu pleksus brakialis dan pleksus lumbosakralis.
Pleksus brakialis, berfungsi melayani ekstremitas atas.
Terbentuk dari 5 pasang saraf spinalis, yaitu C5-Th1. Secara
anatomis pleksus brakialis dapat dibedakan menjadi beberapa
trunkus, divisi dan korda (cord) sesuai kedudukannya pada tulang
klavikula.
Tabel 3.1 Pembagian Pleksus Brakialis
Supraklavikula Klavikula Infraklavikula
C5Trunkus Superior
Divisi Anterior Korda Lateral
C6 Divisi Posterior Korda Posterior
C7 Trunkus MedialDivisi Anterior Korda Lateral
Divisi Posterior Korda Posterior
C8Trunkus Inferor
Divisi Anterior Korda Medialis
Th1 Divisi Posterior Korda Posterior
Korda lateralis akan membentuk nervus medianus dan
muskulokutaneus; korda medialis akan membentuk nervus
ulnaris. Sedangkan korda posterior dari ketiga trunkus akan
Page 28Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
bersatu membentuk nervus aksilaris dan radialis (Gambar 3.6).
Saraf-saraf tersebut akan memberikan inervasi pada otot-otot
ekstremitas atas (Tabel 3.2) (Poernomo,dkk.,2003)
Gambar 3.8 Pleksus brakialis, terdiri dari trunkus, divisi, korda dan cabang-cabangnya (Preston dan Shapiro, 1998).
Page 29Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Tabel 3.2 Otot ekstremitas atas sesuai dengan akar dan saraf yang menginnervasi
C5 C6 C7 C8 Th1N. Skapularis dorsalisM. Rhomboideus major/minor
N. SupraskapularisM. SupraspinatusM. Infraspinatus
N. AksilarisM. Deltoid
N. MuskulokutaneusM. Biseps Brakii
N. MedianusM. Pronator TeresM. Fleksor Karpi RadialisM. Fleksor Polisis LongusM. Abduktor Polisis Brevis
N. UlnarisM. Fleksor Karpi UlnarisM. Abduktor Digiti MinimiM. Firs Dorsal Interrosei
N. RadialisM. Triseps BrakiiM. BrakioradialisM. Ekstensor Indisis PropriusPlekus lumbosakral, terdiri dari saraf spinalis L2-S2, dan
memberikan innervasi pada otot-otot pada ekstremitas bawah
(Tabel 3.3). Satu saraf perifer dan satu saraf spinalis dapat
melayani beberapa otot. Sekelompok otot yang disarafi oleh satu
motor neuron atau saraf spinalis yang sama disebut miotom.
Misalnya pada ekstremitas atas, m. biseps brakii, m. deltoid dan
m. pronator teres dipersarafi oleh saraf tepi yang berbeda, yaitu n.
muskulokutaneus, n. aksilaris dan n. medianus, akan tetapi ketiga
otot tersebut merupakan satu miotom oleh karena dilayani oleh
Page 30Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
saraf spinalis yang sama yaitu C6 (lihat Tabel 3.2)
(Poernomo,dkk.,2003).
Demikian juga satu otot tertentu bisa memperoleh
persarafan dari beberapa saraf spinalis yang berbeda. Misalnya,
m. triseps brakii mendapat persarafan dari tiga saraf spinalis yaitu
C6, C7, C8, dengan C7 yang bersifat dominan. Oleh sebab itu lesi
pada saraf spinalis (lesi radikular) akan menyebabkan kelemahan
otot yang lebih ringan dari pada lesi saraf perifer. Akan tetapi, m.
triseps brakii mendapatkan pesarafan hanya dari n.radialis
sehingga lesi pada n. radialis menyebabkan kelemahan m. triseps
brakii yang jauh lebih berat dibanding lesi pada C7
(Poernomo,dkk.,2003)
Gambar 3.9 Pleksus lumbosakral (Preston dan Shapiro, 1998)
Page 31Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Page 32Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Tabel 3.3 Otot ekstremitas bawah sesuai dengan akar dan saraf yang menginversi
L2 L3 L4 L5 S1 S2N. Gluteus SuperiorM. Gluteus Maksimus
N. Gluteus InferiorM. Gluteus Medius
N. ObturatorM. Aduktor Longus
N. FemoralisM. IlliopsoasM. Rektus FemorisM. Vastus Lateralis/Medialis
N. IskiadikusM. Hamstring MedialM. Hamstring Lateral
N. Peroneus ProfundusM. Tibialis AnteriorM. Ekstensor Halusis Longus
N. Peroneus SuperfisialisM. Peroneus Longus
N. Tibialis PosteriorM. Gastroknemius MedialisM. Tibialis PosteriorM. Fleksor Digitorium Longus
3.1.2.2 Susunan Saraf Tepi Sensoris
Dari reseptor di kulit, seluruh modalitas rasa dikirim ke
pusat melalui saraf perifer, pleksus, saraf spinalis, radiks posterior
dan kemudian membentuk ganglion dorsalis yang berada di
foramen intervertebralis, selanjutnya menuju ke dalam medula
spinalis untuk diteruskan ke otak. Susunan saraf tepi sensoris
adalah sepanjang jalur sensoris antara reseptor di kulit sampai
dengan ganglion dorsalis. Ganglion dorsalis adalah neuron saraf
sensoris, yang letaknya tidak di dalam medula spinalis seperti
Page 33Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
neuron motoris. Seluruh daerah sensoris yang dilayani oleh satu
radiks sensoris disebut satu dermatom (Gambar 3.8). Seperti
halnya miotom, beberapa saraf tepi sensoris mendapatkan
persarafan dari beberapa saraf spinalis, sehingga lesi saraf spinalis
atau radiks sensoris akan menyebabkan keluhan yang lebih ringan
dari pada lesi saraf perifer (Poernomo,dkk.,2003).
Gambar 3.10 Dermatom, daerah kulit yang dipasok oleh satu segmen spinal (Preston dan Shapiro, 1998).
3.2 Potensial Sel Saraf
Jaringan saraf terdiri dari akson dan lapisan mielin yang
membungkusnya. Dalam keadaan istirahat, muatan listrik di bagian dalam
membran akson lebih negatif dibandingkan di luar sel. Konsentrasi ion
kalium (K+) intrasel lebih tinggi daripada ekstrasel, sedangkan ion natrium
(Na+) dan klorida (Cl-) lebih tinggi ekstraseluler (Poernomo,dkk.,2003).
Tabel 3.4 Konsentrasi ion di dalam dan di luar sel saraf (nmol/l)
Ion Ekstraselular IntraselularNa+ 150 15K+ 5 150
Page 34Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Cl- 125 10HCO3- 27 8A- (protein) - 155
Kerja dari sel saraf ada dua, yaitu: ( Annonymouse, 2013)
1. Potensial diam ( Resting potensial)
Pada keadaan diam/istirahat, pompa NaK memompa ion Na keluar
dan K masuk sel melintasi membran. Sehingga pemompaan ini
menyebabkan konsentrasi ion dan muatan diantara permukaan dalam dan
luar membran maka menghasilkan potensial listrik, dan disebut dengan
Resting Potensial. Potensial istirahat selalu negatif pada sel saraf dan otot
yaitu antara 55 mV – 100 mV. Dalam keadaan istirahat, bagian luar
membran bermuatan positif dan di dalam sel saraf bermuatan negatif. Sel
saraf dalam situasi ini disebut dalam keadaan polarisasi. Polarisasi
disebabkan karena distribusi ion tidak sama. Ion protein yang
berdistribusi adalah A-, Cl-, K+, Na+, ion A- hanya terdapat di dalam
cairan sel, sedangkan 3 ion lainnya terdapat di dalam dan di luar sel. Ion
K+ lebih banyak terdapat di dalam sel, sedangkan ion Na+ dan Cl- lebih
banyak terdapat di luar sel.
Gambar 3.11 Pompa Na-K berfungsi membuang ion Na+ ke luar dan K+
ke dalam sel
2. Potensial aksi
a. Depolarisasi
Pada saat ada rangsangan atau stimulus, maka ion channel pada
membran membuka dan Na masuk dengan cepat dalam jumlah yang
Page 35Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
besar ke dalam sel maka bagian sel menjadi lebih positif dari pada
luar sel besar potensialnya yaitu +30 mV.
Page 36Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.12 Proses depolarisasi
Jika neuron menerima stimulasi yang cukup untuk mencapai
ambang membran, Na gerbang secara berturut-turut di sepanjang
seluruh membran neuron akan terbuka, pembukaan gerbang ion Na
memungkinkan untuk pindah ke neuron, pergerakan ion Na ke
neruon penyebab potensial membran berubah dari -70mV menjadi
+40 mV. Sebagai potensial membran menjadi lebih positif, Na
gerbang mulai menutup. Jika neuron menerima stimulasi yang
cukup untuk mencapai ambang membran, berturut-turut Na
gerbang sepanjang seluruh membran neuron akan terbuka,
pembukaan gerbang ion Na memungkinkan untuk pindah ke
neuron, pergerakan ion Na ke neruon penyebab potensial membran
berubah dari-70mV ke +40 mV. Sebagai potensial membran
menjadi lebih positif, Na gerbang mulai menutup.
Gambar 3.15 Fase depolarisasi
Page 37Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
b. Repolarisasi
Pada tahap akhir depolarisasi, channel ion Na menutup, kemudian
channel ion K membuka, sehingga ion K keluar sel dengan cepat
maka permukaan dalam membran kembali lebih negatif dari pada di
luar sel. Besar potensial saat terjadi repolarisasi adalah -70 mV.
Gambar 3.16 Fase repolarisasi
Gambar 3.17 Grafik potensial aksi
Potensial aksi disebarkan dengan peranan lapisan mielin. Semakin besar
serabut saraf, semakin tebal lapisan mielin yang membungkusnya, dan
semakin cepat pila penghantaran potensialnya. Mielin dibentuk oleh sel
Schwann yang tersusun secara konsentrik, di antaranya terdapat nodus
Ranvier. Potensial aksi dihantarkan dengan cara melompat – lompat
Page 38Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
(saltatory conduction) dari satu nodus menuju nodus yang lain
(Poernomo,dkk.,2003).
Gambar 3.13 Konduksi saltatori. Serabut bermielin menjalarkan potensial aksi dengan cara konduksi yang meloncat-loncat. Depolarisasi terjadi hanya pada nodus Ranvier, di mana potensial aksi meloncat dari nodus ke nodus
(Preston dan Shapiro, 1998).Secara mikroskopis diketahui bahwa pompa Na-K banyak terdapat di
nodus Ranvier, sehingga depolarisasi diperkirakan lebih banyak terjadi di
nodus. Serabut saraf yang memiliki lapisan mielin tebal akan menghantarkan
potensial lebih cepat, oleh karena serabut saraf yang tebal memiliki jarak
internodal yang lebih panjang, sehingga mengurangi jumlah nodus yang
terdepolarisasi (Poernomo,dkk.,2003).
Serabut saraf tepi dapat digolongkan menjadi beberapa kategori, berdasarkan:
1. Bermielin – nirmielin
2. Somatik – autonom
3. Motoris – sensoris
4. Berdasarkan diameternya
Berdasarkan diameter, kecepatan hantaran, dan ciri – ciri fisiologinya, telah
dibuat klasifikasi dari serabut saraf (Tabel 3.5)
Serabut A mempunyai lapisan mielin yang paling tebal, sehingga
merupakan penghantar impuls yang terbaik. Serabut saraf A inilah yang
selalu diperiksa pada pemeriksaan EMNG. Serabut C adalah serabut yang
terkecil dan tidak memiliki lapisan mielin. Serabut ini menghantarkan rasa
nyeri dan suhu. Serabut C oleh karena terlalu kecil, tidak terekan dalam
pemeriksaan EMNG. Pada penderita polineuropati yang hanya mengenai
serabut kecil, walaupun dengan gejala klinis yang nyata, hasil pemeriksaan
EMNG nisa normal (Poernomo,dkk.,2003).
Page 39Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Tabel 3.5 klasifikasi serabut saraf menurut Erlanger & Gasser dan Lloyd & Hunt
Serabut sensoris
dan motoris*
Serabut sensoris**
Diameter (nm)
KHS (m/det)
Fungsi
Aα Ia 10-20 50-120
Motoris: alpha motor neuronSensoris: aferen muscle spindle
Aα Ib 10-20 50-120Sensoris: organ tendon golgi, raba, tekan
Aβ II 4-12 25-70
Motoris: motor neuron ke serabut otot intra/ekstrafusalSensoris: aferen muscle spindle sekunder, raba,tekan,getar
Aγ 2-8 10-50Motoris: motor neuron gamma ke serabut otot intrafusal
Aδ III 1-5 3-30Sensoris: serabut kecil raba, nyeri,suhu
B 1-3 3-15Motoris: serabut kecil autonom preganglion nirmielin
C IV <1 <2Motoris: semua serabut autonom post ganglionSensoris: nyeri,suhu
*Dari Erlanger dan Gesser
**Dari Lloyd dan Hunt
Page 40Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Hubungan antara dua buah saraf disebut sinapsis, berakhirnya saraf
pada sel otot atau hubungan saraf otot disebut Neuromyal Junction. Baik
sinapsis maupun neuromyal junction mempunyai kemampuan meneruskan
gelombang depolarisasi dengan cara lompat dari satu sel ke sel yang
berikutnya. Gelombang depolarisasi ini penting pada sel membran otot, oleh
karena pada waktu terjadi depolarisasi, zat kimia yang terdapat pada otot akan
trigger/bergetar/berdenyut menyebabkan kontraksi otot dan setelah itu akan
terjadi repolarisasi sel otot yang mana otot akan mengalami relaksasi
(Gabriel, 1996).
Gambar 3.14 Anatomi sel saraf
Gambar 3.15 Aliran arus listrik pada synapsis dan sel neuron
Page 41Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.16 Hubungan saraf otot (Neuromyal Junction)
Page 42Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
3.3 Elektroneuromiografi (ENMG)
Elektroneuromiografi yang terdiri dari Nerve Conduction Studies
(NCS) dan pemeriksaan jarum electrode dari otot merupakan sebuah tes yang
bernilai dan sensitif. Alat ini dapat mengenali dan membedakan
ketidaknormalan dari anterior horn cell, dorsal sensory ganglion cell, akar
saraf, saraf periferal, neuromuscular junction, membran otot, dan serat otot
(Koh dan Ken, 2011).
Elektroneuromiografi (ENMG) berfungsi untuk memeriksa fungsi dari
sistem saraf tepi. Elektroneuromiografi merekam kelainan pada neuron
motoris dan sensoris. Ketika merekam saraf tepi, ENMG memberikan
informasi terkait kerasnya, pathophysiology, lebar, profil temporal, tipe dan
distribusi serat (besar dan kecil). Ketika digunakan untuk mendiagnosis
penyakit otot dan neuromuscular, ENMG menunjukkan tempat terjadinya
kelainan, kerasnya, pathology, distribusi, dan respon terhadap terapi
(Manshukhani dan Bhavna, 2008).
Pemeriksaan ENMG adalah pemeriksaan yang sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis penyakit sistem saraf perifer. Pemeriksaan ini
merupakan kombinasi antara pemeriksaan elektroneurografi dan
elektromiografi. Elektroneurografi (ENG) disebut juga sebagai pemeriksaan
konduksi saraf, yang mencakup pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS)
motoris, sensoris dan respon lambat. Elektromiografi (EMG) dalam arti
sempit didefinisikan sebagai pemeriksaan aktivitas listrik otot. Kadang –
kadang istilah EMG disalah-artikan sebagai pengganti ENMG yang juga
mencakup pemeriksaan konduksi saraf. Berbeda dengan elektrokardiografi
(EKG) dan elektroensefalografi (EEG) yang biasa dikerjakan dengan
prosedur rutin, maka untuk EMG prosedur yang dikerjakan harus disesuaikan
dengan diagnosis klinis yang dibuat. Tiap – tiap pemeriksaan
elektrodiagnostik harus disesuaikan dengan masing – masing masalah pada
tiap individu. Sehingga evaluasi ini hanya dapat dikerjakan dengan sebaik –
baiknya oleh seorang dokter yang menguasai penyakit neuromuskular
(Poernomo,dkk.,2003).
Page 43Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Aparatus elektromiographi yaitu elektroda, amplifier, oscilloscope,
loudspeaker, dan tape recorder. Aktivitas elektrik dari kontraksi otot dapat
direkam menggunakan surface electrode yang ditempatkan pada kulit di atas
otot atau elektroda jarum (needle electrode) yang dimasukkan ke dalam otot.
Amplifier akan meningkatkan sinyal sampai sejuta kali dan ditayangkan pada
oscilloscope dan dapat didengar melalui loudspeaker untuk analisis secara
visual dan auditori secara simultan (Kimura, 1983)
Aktivasi dari sebuah neuron motor alpha ( an alpha motor neuron )
menyebabkan kontraksi serabut otot, sejumlah signal, sebagai kontribusi dari
potensial aksi serabut otot yang biasanya diukur. Aktivitas listrik ini disebut
potensial aksi unit motor (MUAP). Jadi MUAP adalah gelombang yang
diukur ketika sebuah unit motor diaktivasi pada suatu waktu. Sebuah signal
EMG berasal dari beberapa unit motor dan didefinisikan sebagai jumlah dari
semua MUAP ditambah noise dan artefacts. Ada beberapa tipe elektrode yang
digunakan untuk mengukur signal EMG, yaitu needle electrodes, fine-wire
electrodes, dan surface electrodes. Surface electrodes mudah dalam
pemasangannya dan juga tidak terlalu mengganggu aktivitas dari orang yang
diteliti. Prinsip dasar dari kerja EMG adalah adanya signal listrik yang berasal
dari aktivitas otot, yang mungkin disebabkan oleh faktor psikis, fisik, maupun
lingkungan ( Khoiri, 2008 ).
Gambar 3.15 Susunan Instrumen dengan Surface Electrodes dan Prinsip Perekaman Potensial Aksi Ekstrasellular
(Sumber: Luttmann, A., 1996)
Page 44Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
3.4 Dasar – Dasar Pemeriksaan Konduksi Saraf
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) atau Nerve Conduction
Velocity (NCV) dilakukan dengan cara meletakkan elektrode perekam pada
otot (untuk KHS motoris) atau saraf (untuk KHS sensoris) tertentu dan
elektrode stimulator di atas saraf tepi yang hendak diperiksa. Akibat
rangsangan ini, akan timbul potensial sepanjang lintasan saraf tersebut.
Potensial aksi yang terjadi pada saraf motorik disebut Compound Muscle
Action Potential (CMAP), dan pada saraf sensorik disebut Sensory Nerve
Action Potential (SNAP) (Poernomo,dkk.,2003).
3.4.1 Kecepatan Hantar Saraf Motoris
Pemeriksaan KHS motorik menggunakan stimulasi dengan
intensitas supramaksimal (20-30% di atas stimulus maksimal) agar
mengenai seluruh akson saraf yang diperiksa. Hasil sumasi potensial
serabut – serabut otot akibat stimulasi tersebut berupa Compound Muscle
Action Potentials (CMAP), yang berbentuk gelombang bifasik, yang
diawali oleh defleksi negatif (ke arah atas dari garis dasar). Beberapa
istilah elektrofisiologis yang penting untuk diketahui adalah sebagai
berikut (Poernomo,dkk.,2003).
1. Amplitudo (mV), diukur dari garis dasar sampai defleksi
negatif yang pertama, menggambarkan berapa banyak akson
yang terangsang. Besar kecilnya amplitudo CMAP
menunjukkan keadaan akson sepanjang perjalanan dari motor
neuron/kornu anterior sampai dengan saraf motorik. Amplitudo
CMAP yang menurun dapat dijumpai pada lesi motor neuron,
lesi radiks, lesi pleksus dan lesi saraf perifer.
2. Durasi (mdet), diukur dari defleksi pertama sampai dengan
titik dimana gelombang tersebut memotong garis dasar
kembali. Durasi ini menunjukkan kemampuan suatu serabut
saraf untuk menghantarkan immpuls dalam waktu yang relatif
bersamaan (sinkron).
3. Latensi (mdet), diukur dari stimulus artefak sampai defleksi
pertama dari garis dasar. Latensi ini mengukur konduksi
Page 45Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
serabut motoris tercepat. Latensi yang timbul oleh karena
stimulasi pada tempat yang paling distal dari ekstremitas
(misalnya pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki)
disebut latensi distal. Latensi distal terdiri dari:
a. Waktu konduksi impuls serabut saraf (nerve conduction
time)
b. Waktu transmisi neuromuscular-junction (neuromuscular
transmisson time)
c. Waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di
sepanjang membran otot sampai ke elektrode pencatat
(muscle fiber propagation time).
Untuk pengukuran kecepatan hantar saraf (KHS) motoris,
CMAP direkam minimal pada dua lokasi sepanjang saraf,
karena adanya neuromuscular transmisson time dan muscle
fiber propagation time tersebut.
Gambar 3.16 Compound Muscle Action Potential (CMAP) (Preston dan Shapiro, 1998).
Dengan men-stimulasi saraf tepi pada dua titik yang berbeda sepanjang
perjalanannya, dan dengan menetapkan interval waktu antara stimulus
terhadap masing – masing respons, maka dapat dihitung kecepatan hantar
sarafnya. Untuk menghitung kecepatan hantar saraf motoris minimal
dibutuhkan dua titik stimulasi.
Page 46Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.17 Pengukuran kecepatan hantar saraf motoris (Delisa, Lee, Baran, Lai, dan Spielholz, 1994)
KHS dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
KHS=Jarak antar stimulus proksimal dan distal (mm )latensi proksimal (mdet )−latensi distal(mdet )
Dengan memperhatikan latensi distal, amplitudo, dan KHS, maka dapat
diketahui jenis neuropati aksonal, dimielinating atau campuran aksonal-
demielinating (Poernomo,dkk.,2003).
Tabel 3.6 Gambaran konduksi saraf pada berbagai jenis neuropati
Latensi distal Amplitudo KHSLesi aksonal N ↓ NLesi demielinating ↑ N ↓Lesi campuran ↑ ↓ ↓
KHS = kecepatan hantar saraf; ↑= memanjang,↓= menurun
Pada lesi demielinating, bisa didapatkan penurunan amplitudo bila terjadi
blok konduksi (conduction block). Amplitudo akan menurun bila
stimulasi saraf terletak proksimal dari blok konduksi tersebut. Dianggap
terjadi blok konduksi ila tejadi penurunan amplitudo CMAP lebih dari
20% dan peningkatan durasi lebih dari 15% pada stimulasi proksimal
dibandingkan sisi distal (Poernomo,dkk.,2003)
Page 47Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.18 Amplitudo CMAP dan lokasi blok konduksi. A. Jika blok konduksi terletak di antara stimulasi distal dan elektrode aktif, amplitudo
akan rendah baik pada stimulasi distal maupun proksimal. B. Jika konduksi terletak di antara stimulasi distal dan proksimal, amplitudo
akan normal pada stimulasi distal, dan menurun pada stimulasi proksimal. C. Jika blok konduksi terletak proksimal dari stimulasi yang
paling proksimal, maka saraf yang ada di distalnya tetap normal, mengakibatkan amplitudo tetap normal baik stimulasi distal maupun
proksimal (Preston dan Shapiro, 1998).
3.4.2 Kecepatan Hantar Saraf Sensoris
Berbeda dengan motor conduction study, yang mana konduksi dari
potensial aksi motoris pada sepanjang saraf motoris, neuromuskular
junction, dan serat otot. Pada sensory conduction study hanya serat saraf
terkonduksi. Karena respon dari sensoris sangat kecil (biasanya berkisar
antara 1 sampai 50 μV . Potensial pada saraf sensoris disebut Sensory
Nerve Action Potential (SNAP) yang merupakan gabungan dari semua
potensial aksi setiap serat saraf sensoris yang terstimulasi. Untuk setiap
posisi stimulasi, dalam grafik dapat terekam onset latency, peak latency,
durasi, dan amplitudo yang telah diukur. Berikut ini merupakan
penjelasannya (Preston dan Shapiro, 1998).
a. Onset latensi, onset latensi merupakan waktu dari stimulus pada
defleksi negatif yang pertama dari dasar garis untuk biphasic SNAP
atau puncak positif pertama pada triphasic SNAP. Onset latensi pada
saraf sensoris ini menunjukkan waktu konduksi saraf dari posisi
Page 48Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
stimulasi ke elektroda perekam untuk serat sensor pada kulit yang
terbesar.
b. Latensi dasar, latensi dasar ini mengukur titik puncak negatif
pertama. Meskipun serabut sensoris yang diperlihatkan oleh latensi
dasar ini tidak diketahui dengan baik, pengukuran latensi dasar
mempunyai beberapa keuntungan. Latensi dasar dapat memastikan
dengan jelas dari pada onset latensi. Perbedaannya jika pada onset
latensi terdapat noise atau artifak stimulus yang dapat membuat
kesulitan dalam menentukan kepresisisan titik pada defleksi dari garis
dasar. Kesulitan ini tidak terjadi dalam penandaan latensi dasar,
terdapat nilai normal untuk latensi dasar pada kebanyakan perekaman
stimulasi studi sensoris pada jarak yang standar. Dengan catatan,
latensi dasar tidak bisa digunakan untuk menghitung kecepatan
konduksi.
c. Amplitudo, amplitudo SNAP biasanya diukur dari garis dasar sampai
puncak negatif, tetapi juga dapat digunakan untuk mengukur dari
puncak negatif pertama sampai puncak positif yang selanjutnya.
Amplitudo SNAP ini menunjukkan jumlah semua saraf sensoris yang
mengalami depolarisasi. Amplitudo SNAP yang rendah
mengindikasikan ketidak normalan dari saraf tepi.
d. Durasi, sama halnya dengan durasi pada CMAP, durasi SNAP
biasanya diukur dari onset pada potensial sampai perpotongan garis
dasar pertama (durasi puncak negatif), tetapi juga dapat diukur dari
awal sampai akhir defleksi. Durasi SNAP lebih pendek dari pada
durasi CMAP.
Kecepatan hantar pada saraf sensoris dapat ditentukan dengan
menstimulasi satu titik, dengan membagi jarak yang ditempuh oleh onset
latensi. Kecepatan hantar sensoris menunjukkan kecepatan hantar
tercepat pada serabut saraf yang termielinasi. Kecepatan hantar sensoris
di sepanjang segmen proksimal dapat ditentukan dengan menstimulasi
proksimal dan menghitung kecepatan hantar antara posisi proksimal dan
Page 49Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
distal sebagaimana cara yang sama dilakukan pada kecepatan hantar saraf
motoris (Preston dan Shapiro, 1998).
Stimulasi pada serabut saraf sensoris akan menghasilkan potensial
aksi yang disebut Sensory Nerve Action Potential (SNAP). SNAP
menggambarkan fungsi integritas ganglion dorsalis (neuron sensoris)
beserta seluruh akson sensoris. Bila stimulasi dikerjakan di daerah distal
dan elektrode pencatat di proksimal, teknik ini disebut ortodromik. Bila
stimulasi pada daerah proksimal dan elektrode pencatat di distal, disebut
antidromik. Dalam praktek, sering hanya satu titik pencatat saja yang
digunakan, oleh karena tidak ada transmisi sepanjang neuromuscular-
junction atau serabut otot. Diukur latensi yang didapat dari stimulasi ke
respons yang ditimbulkan. Selain latensi juga harus diperhatikan
amplitudo, durasi, dan bentuk (konfigurasi) dari potensial aksi. Untuk
menghitung kecepatan hantar saraf sensoris, bisa dikerjakan stimulasi
pada satu titik saja. SNAP akan menurun atau menghilang amplitudonya
pada lesi yang mengenai ganglion dorsalis dan akson saraf sensoris. Lesi
yang letaknya proksimal dari ganglion dorsalis akan memberikan
gambaran SNAP yang normal (Poernomo,dkk.,2003).
Gambar 3.19 Sensory nerve action potential (SNAP) (Preston dan Shapiro, 1998).
Page 50Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
3.4.3 F-Wave
Disebut sebagai F-wave oleh karena pertama kali direkam pada
otot-otot kecil pada kaki (foot). F-wave merupakan potensial hasil
rangsangan supramaksimal yang bersifat antidromik untuk mengetahui
lesi proksimal. Latensi F-wave mengukur latensi dari stimulator ke kornu
anterior melalui jalur motorik kemudian kembali menuju elektrode
perekam. F-wave merupakan CMAP kecil, yang menunjukkan 1-5% dari
serabut otot (Poernomo,dkk.,2003).
Gambar 3.20 Sirkuit F-wave (Preston dan Shapiro, 1998).
Tiap – tiap respons F, berbeda latensi, konfigurasi, dan amplitudonya
karena yang aktif pada tiap stimulasi adalah populasi sel kornu anterior
yang berbeda. Latensi yang paling pendek, dianggap mewakili serabut
motoris yang paling besar dan paling cepat. Beberapa hal yang harus
diperhatikan pada pengukuran F-wave adalah:
a. Latensi minimal dan maksimal.
b. Persistensi, yaitu persentase jumlah gelombang F yang didapat pada
sejumlah stimulasi, biasanya normal berkisar 80-100% dan selalu di
atas 50%.
c. Kronodispersi, yaitu perbedaan antara respons F minimal (tercepat)
dan maksimal (terlambat). Pada orang normal pada ekstremitas atas
kronodispersi sampai 4 mdetik, dan pada ekstremitas bawah sampai 6
mdetik.
Page 51Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.21 Pengukuran F-wave. Latensi minimal adalah latensi terpendek. Kronodispersion adalah perbedaan antara latensi minimal dan maksimal. Presistensi F-wave adalah jumlah respons F yang dapat pada sejumlah stimulasi. Pada kasus ini, F-wave nihil pada stimulasi ke-4 dan
10, sehingga presistensi = 80% (Preston dan Shapiro, 1998).
F-wave bisa diperoleh pada tiap saraf motoris, kecuali pada nervus
peroneus yang sulit dibangkitkan pada orang normal. Respons F bisa
nihil pada penderita yang tidur atau dengan obat penenang. Walaupun F-
wave digunakan untuk mengetahui segmen saraf proksimal sebenarnya F
wave memeriksa seluruh jalur saraf. Bila pada pemeriksaan konduksi
saraf didapatkan perpanjangan latensi distal maka latensi F wave juga
akan memanjang. Bila didapatkan perlambatan menyeluruh (misalnya
pada polineuropati) respon F juga akan melambat, mencerminkan
perlambatan kecepatan konduksi sepanjang perjalanan saraf. Latensi F-
wave lebih pendek pada lengan dibandingkan tungkai, karena pada
lengan saraf yang dilalui lebih pendek. Demikian juga seorang yang lebih
tinggi akan mempunyai latensi F-wave lebih panjang dibanding orang
yang pendek. Jadi, latensi distal motoris, kecepatan hantar saraf, dan
tinggi penderita harus diperhatikan sebelum menginterpratasikan
perpanjangan F-wave sebagai lesi saraf proksimal (Poernomo,dkk.,2003).
Banyak orang menganggap bahwa F wave ini sangat bermanfaat
untuk diagnosis radikulopati atau pleksopati, tetapi dalam prakteknya
kegunaannya sangat terbatas. Pertama, gelombang F hanya memeriksa
saraf yang menginervasi otot yang diperiksa. Saraf yang lazim diperiksa
pada ekstremitas atas adalah nervus medianus dan ulnaris dengan
Page 52Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
elektroda aktif pada otot – otot distal. Kedua, jika radikulopati mengenai
akar saraf sensoris F wave akan normal, oleh karena ia hanya memeriksa
jalur motoris. Ketiga, kelainan F wave (perpanjangan latensi atau
hilangnya F wave) hanya terjadi kalau semua atau paling tidak sebagian
besar serabut saraf terkena. F wave masih normal pada lesi yang hanya
mengenai sebagian kecil serabut saraf motoris (Poernomo,dkk.,2003).
3.5 Artefak dan Faktor – Faktor Teknis
Mengerti dan mengenal artefak dan faktor – faktor teknis memegang
peranan penting dalam setiap pemeriksaan konduksi saraf dan
elektromiografi. Bila tidak memahami faktor-faktor tersebut, akan
menyebabkan kesulitan merekam potensial aksi, membuang waktu, dan
yang paling penting mengakibatkan salah interpretasi. Faktor – faktor
teknis yang mempengaruhi konduksi saraf dan elektroneuromiografi ada
dua macam, yaitu faktor fisiologis dan faktor non-fisiologis
(Poernomo,dkk.,2003).
3.5.1 Faktor Fisiologis
a. Temperatur
Temperatur mempengaruhi hampir semua parameter yang diukur
dalam pemeriksaan konduksi saraf, termasuk kecepatan hantar saraf,
distal latensi dan bentuk gelombang. Suhu dingin mengakibatkan
penurunan kecepatan hantar saraf, yang lebih menonjol pada serabut
besar bermielin dibanding serabut kecil. Oleh karena yang diperiksa
rutin adalah serabut saraf besar bermielin, maka perubahan temperatur
akan sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan (Poernomo,dkk.,2003).
Page 53Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.22 Pengaruh suhu terhadap pemeriksaan konduksi saraf medianus. Pada lengan yang dingin (atas) latensi distal (DL) memanjang,
kecepatan konduksi (CV) melambat, sedangkan durasi dan amplitudo meningkat (Preston dan Shapiro, 1998).
b. Umur
Umur mempengaruhi kecepatan kondusi saraf, efek ini sangat
menonjol terutama pada tahun – tahun pertama kehidupan. Mielinisasi
belum sempurna pada saat lahir, dan mielinisasi ini berlanjut setelah
beberapa tahun kemudian. Kecepatan hantar saraf pada bayi baru lahir
sekitar 50% dari nilai dewasa normal. Mielinisasi sempurna terjadi
antara umur 3-5 tahun. Kecepatan konduksi bertahan relatif menetap
sepanjang umur – umur dewasa, tapi cenderung menurun sedikit saat
umur bertambah tua yaitu mulai 20 tahun dan menjadi lebih jelas
setelah umur 40 tahun. Kecepatan hantar saraf motoris dan sensoris
menurun sekitar 0,5-4 m/det per dekade. Pengaruh ini sedikit lebih
menonjol pada sensoris dibanding motoris (Poernomo,dkk.,2003).
c. Tinggi badan
Saraf yang lebih pendek berkonduksi lebih cepat dibandingkan
saraf yang panjang. Orang yang lebih tinggi biasanya mempunyai
kecepatan hantar saraf lebih lambat dibandingkan dengan orang yang
lebih pendek. Pengaruh panjang saraf ini juga tercermin pada keadaan
normal, di mana konduksi saraf pada tungkai lebih rendah dibanding
lengan, oleh karena tungkai lebih panjang. Ada dua faktor yang
mempengaruhi tinggi badan atau panjang ekstremitas pada kecepatan
hantar saraf. Pertama, saraf sedikit demi sedikit akan semakin mengecil,
Page 54Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
mengerucut pada bagian distal. Pada umumnya semakin tinggi
seseorang, semakin panjang tungkaidan semakin kecil saraf distal.
Kedua, tungkai lebih dingin pada sisi distal dibanding proksimal, dan
tungkai biasanya lebih dingin dibanding lengan (Poernomo,dkk.,2003).
d. Segmen proksimal dan segmen distal
Kecepatan hantar saraf bervariasi antara segmen proksimal dan
segmen distal, sama halnya dengan perubahan pada diameter dan
temperatur. Pada orang normal, segmen proksimal cenderung
berkonduksi sedikit lebih cepat dibanding segmen distal. Misalnya
segmen proksimal pada saraf medianus antara aksila dan siku sedikit
lebih cepat dibanding antara siku dan pergelangan tangan
(Poernomo,dkk.,2003).
3.5.2 Faktor Non Fisiologis
a. Tahanan elektrode dan desah (noise)
Desah elektrik (electrical noise) didapatkan hampir pada semua
laboratorium ENMG. Penyebab tersering adalah interferensi 60 Hz
yang dibangkitkan oleh peralatan elektronik lain (lampu, kipas angin,
komputer, dan lain-lain). Desah ini dapat menimbulkan masalah
besar,terutama bila merekam potensial yang sangat kecil, misalnya
SNAP atau potensial fibrilasi. Biasanya desah elektrik ini dapat
dikurangi dengan lebih memperhatikan tahanan elektrode dan masalah
teknis (Poernomo,dkk.,2003).
b. Artefak stimulus
Artefak stimulus selalu timbul pada tiap pemeriksaan KHS, dan ini
berguna untuk mengetahui mulainya rangsangan timbul, sebagai tempat
awal titik latensi diukur. Artefak stimulus akan menjadi masalah kalau
tumpang tindih dengan potensial yang diukur, terutama potensial yang
kecil (misalnya potensial sensoris), oleh karena akan menyebabkan
pengukuran latensi dan amplitudo tidak akurat (Poernomo,dkk.,2003).
Page 55Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Gambar 3.23 Artefak stimulus dan kesalahan pengukuran. Artefak stimulus negatif yang besar (atas) mengakibatkan amplitudo tampak rendah dan latensi memanjang. Sebaliknya artefak stimulus positif
(bawah) menyebabkan seolah-olah amplitudo besar dan latensi memendek (Preston dan Shapiro, 1998).
c. Filter
Semua potensial yang direkam selama pemeriksaan konduksi saraf
dan EMNG jarum berjalan melewatifilter frekuensi rendah (low-
frequency filter) dan filter frekuensi tinggi (high-frequency filter)
sebelum ditampilkan. Peranan dari filter-filter ini adalah untuk
mendapatkan sinyal yang diinginkan seraya meniadakan desah elektrik
frekuensi tinggi maupun rendah. Untuk pemeriksaan konduksi motoris,
filter dipasang antara 10 dan 10kHz, sedangkan untuk sensoris biasanya
antara 20 dan 2 kHz (Poernomo,dkk.,2003).
d. Posisi katode
Bila saraf distimulasi, depolarisasi pertama timbul di bawah
katode. Dengan demikian, pengukuran jarak harus selalu antara katode
dan elektrode aktif. Untuk pemeriksaan konduksi saraf, posisi katode
harus berhadapan dengan elektrode aktif. Bila penempatan katode dan
anode stimulator terbalik, ada dua efek yang timbul. Pertama,
depolarisasi yang terjadi di bawah katode terhalang oleh anode (anode
block), sehingga potensial motoris atau sensoris yang timbul menjadi
berkurang atau nihil. Kedua, kesalahan pengukuran latensi. Bila anode
dan katode terbalik, latensi distal akan memanjang sekitar 0,3-0,4 mdet,
Page 56Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
sesuai perkiraan waktu yang dibutuhkan saraf normal untuk berjalan
2,5-3 cm, jarak antara anode dan katode (Poernomo,dkk.,2003).
Gambar 3.24 Hasil pengukuran katode dan anode posisi terbalik menyebabkan pemanjangan latensi sekitar 0,3-0,4 mdet (bawah)
(Preston dan Shapiro, 1998).e. Stimulus supramaksimal
Semua pengukuran pada pemeriksaan konduksi saraf adalah
berdasarkan asumsi bahwa semua akson pada saraf tersebut telah
mengalami depolarisasi. Untuk meyakinkan bahwa semua akson betul-
betul telah depolarisasi, harus dikerjakan stimulasi supramaksimal.
Untuk mencapai stimulasi supramaksimal, intensitas rangsangan harus
dinaikkan pelan-pelansampai potensial tidak bertambah. Pada titik ini
intensitas dinaikkan lagi 20-25% untuk meyakinkan bahwa potensial
tidak bertambah lagi. Jika stimulasi pada sisi distal saraf tidak
supramaksimal, akan timbul salah interpretasi dianggap sebagai lesi
aksonal. Jika pada sisi proksimal stimulasi tidak supramaksimal,
mungkin bisa salah interpretasi sebagai blok konduksi. Atau mungkin
juga disalah interpretasikan sebagai anomali inervasi
(Poernomo,dkk.,2003).
f. Ko-stimulasi saraf berdekatan
Walaupun harus diberikan stimulasi supramaksimal pada tiap titik
stimulasi, yang tidak kalah pentingnya adalah pencegahan ko-stimulasi
pada saraf yang berdekatan. Pada seseorang dengan saraf yang normal
dan nilai ambang stimulasi yang normal, jarang terjadi ko-stimulasi.
Pada keadaan patologis, sering dibutuhkan arus listrik yang lebih tinggi
Page 57Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
untuk mencapai stimulasi supramaksimal. Saat arus rangsangan
dinaikkan, arus ini menyebar merangsang saraf yang berdekatan,
menimbulkan amplitudo yang lebih besar (lebih dari yang sebenarnya).
Ko-stimulasi ini sering terjadi pada pemeriksaan motoris pada
ekstremitas atas saat n.medianus dan n.ulnaris distimulasi di bagian
pergelangan tangan, siku, dan aksila. Pada ekstremitas bawah, ko-
stimulasi n.peroneus dan n.tibialis dapat terjadi di sendi lutut. Ko-
stimulasi saraf berdekatan tidak dapat dihindari bila merangsang saraf
sangat proksimal dan akar saraf (Poernomo,dkk.,2003).
g. Penempatan elektrode pada pemeriksaan motoris
Pada pemeriksaan konduksi sensoris bisa digunakan metode
antidromik maupun ortodromik. Kedua metode pemeriksaan ini akan
menghasilkan latensi dan kecepatan hantar saraf yang sama, dengan
amplitudo lebih tinggi pada pemeriksaan antidromik. Oleh karena itu
pemeriksaan antidromik lebih sering dipakai pada pemeriksaan rutin
(Poernomo,dkk.,2003).
h. Jarak antara elektrode pencatat dan saraf
Potensial amplitudo rendah dapat terjadi bila elektrode pencatat
terletak terlalu ke lateral atau ke medial, tidak tepat di atas saraf
tersebut. Keadan ini sering terjadi pada pemeriksaan sensoris di mana
posisi saraf sering bervariasi. Elektrode pencatat bisa digeser sedikit ke
lateral atau ke medial dari posisi awal untuk mendapatkan potensial
amplitudo yang paling tinggi. Selain berpengaruh pada amplitudo,
penempatan elektrode juga berpengaruh terhadap latensi. Jika elektrode
pencatat terletak terlalu ke lateral atau ke medial, onset-latency akan
memendek sedangkan peak-latency relatif tidak berubah
(Poernomo,dkk.,2003).
i. Jarak antara elektrode aktif dan elektrode referens
Pada pemeriksaan konduksi saraf, setiap potensial yang
direkamadalah merupakan perbedaan aktivitas listrik antara elektrode
aktif dan elektrode referens. Untuk studi sensoris, elektrode aktif dan
referens diletakkan pada garis lurus pada saraf yang diperiksa. Dengan
Page 58Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
demikian, segmen saraf yang mengalami depolarisasi berjalan pertama-
tama di bawah elektrode aktif kemudian berlanjut ke distal berjalan di
bawah elektrode referens. Jika elektrode aktif dan referens sangat
berdekatan, keduanya mungkin sama-sama aktif pada saat yang
berbarengan, mengakibatkan potensial amplitudo rendah. Berdasar
alasan ini, jarak antar elektrode yang dianjurkan antara elektrode aktif
dan referens untuk saraf sensoris adalah 3-4 cm. Untuk pemeriksaan
motoris tidak terlalu mempengaruhi besarnya potensial
(Poernomo,dkk.,2003).
j. Posisi ekstrenitas dan pengukuran jarak
Untuk menghitung kecepatan hantar saraf dengan akurat, harus
diukur dengan tepat jarak sepanjang saraf tersebut. Diperkiran jarak di
permukaan sesuai dengan panjang saraf sebenarnya yang ada di
bawahnya. Pada sebagian besar keadaan, dugaan ini memang betul,
tetapi ada beberapa perkecualian. Misalnya, n.ulnaris yang melewati
siku, pemeriksaan konduksi yang dilakukan pada lengan dalam keadaan
ekstensi sering mengakibatkan perlambatan palsu pada segmen yang
melintas di siku. Pengukuran dengan siku fleksi,lebih mencerminkan
jarak sebenarnya, sehingga pengukuran kecepatan konduksi akan lebih
baik (Poernomo,dkk.,2003).
k. Pengukuran latensi: sweep speed dan sensitivitas
Sweep speed maupun sensitivitas dapat mempengaruhi latensi
motoris maupun sensoris. Bila sensitivitas dinaikkan (gain dikurangi),
pengukuran onset latensi akan menurun. Sebaliknya bila sweep speed
dikurangi, pengukuran latensi biasanya memanjang
(Poernomo,dkk.,2003).
3.6 Polineuropati
Sistem saraf perifer terdiri dari bermacam-macam tipe sel dan elemen
yang membentuk saraf motor, saraf sensor, dan saraf autonom. Polineuropati
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindroma yang terjadi dari
lesi yang mengenai saraf-saraf, dimana ditampakkan sebagai kelemahan,
kehilangan kemampuan sensor, dan disfungsi autonom. Menurut Mattle et all,
Page 59Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
polineuropati adalah kondisi yang mengenai saraf-saraf perifer. Gambaran
klinis dari polineuropati biasanya terdistribusi secara simetris dan lambat
progresif. Gejala awalan dari polineuropati dalam praktek klinis sering
dimulai dari kedua kaki. Penyebab dari polineuropati bermacam-macam.
Dalam penelitian secara Consensus-based principles, polineuropati bermula
dari kaki dan simetris pada kedua sisi tubuh (Annonymous, 2013).
Gambar 3.25 Distribusi penyebaran polineuropati
Secara harfiah polineuropati diartikan sebagai disfungsi atau penyakit
pada banyak atau semua saraf tepi. Karena saraf tepi dapat berinteraksi hanya
pada jalannya penyakit yang terdekat. Polineuropati yang disebabkan karena
penyebab dapat diperlihatkan dengan gejala dan tanda yang sama.
Kebanyakan pasien polineuropati gejala pertama diperlihatkan pada saraf
motoris dan sensoris dan ditandai pada kaki dan kaki bagian bawah yang
kemudian menyebar secara proksimal pada kaki dan kemudian pada tangan
dan lengan. Meskipun banyak kesamaan, yang dapat membatasi perbedaan
diagnosis pada polineuropati dengan menentukan jawaban dari beberapa
pertanyaan yang diajukan pada pasien (anamnesa) (Preston dan Shapiro,
1998).
Kerusakan saraf tepi berhubungan dengan diabetes mellitus yang tidak
terkontrol. Lebih sering terjadi pada penderita insulin Dependent Diabetes
Page 60Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
Mellitus. Mekanisme kerusakan saraf terjadi karena gangguan metabolisme di
mana akumulasi sorbitol dan fruktosa di akson dan sel Schwann. Atau terjadi
oklusi pembuluh darah yang menyediakan nutrisi pada saraf tersebut (vasa
vasorum). Akibatnya daerah distal kehilangan beberapa akson atau lapisan
myelinnya rusak (Annonymous, 2013).
Gambar 3.26 (A) Saraf normal diperlihatkan dengan distribusi normal mielin yang banyak pada serabut saraf (B) Saraf pasien polineuropati diabetika diperlihatkan dengan pengurangan atau hilangnya sejumlah mielin pada akson (C) Perbesaran gambar B, tampak mielin yang merenggang dan
membentuk bulatan-bulatan kecil.Beberapa penyebab polineuropati yang sering terjadi adalah:
(Annonymous, 2013)
1. Polineuropati hereditas: Hereditas motoris dan sensoris neuropati,
Neuropati dengan kecenderungan pada kelumpuhan, Prophyria,
Primary amyloidosis
2. Polineuropati karena kelainan metabolik: diabetic neuropathy,
uremia, cirrhosis, gout dan hypothyroidism
3. Polineuropati karena penyakit infeksi: leprosy, mumps, thyphus,
infeksi HIV
Berbagai macam pencetus dan kondisi dapat mengakibatkan
polineuropati dengan caranya masing – masing. Kerusakan pada neuronal
nuclei seperti pada diabetes melitus, mengakibatkan degenerasi tipe axonal
retrogade sekunder distal. Dilain pihak kerusakan langsung pada bagian axon
mengakibatkan degenerasi tipe Wallerian pada axon bagian distal. Berbeda
pula pada polineuropati karena zat toksik, sel schwann menjadi target
serangan, sehingga menyebabkan demyelinisasi. Kerusakan bisa terjadi pada
Page 61Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
axon, myelin, tubuh sel, penghubung jaringan otot dan suplai nutrisi darah
pada saraf (Annonymous, 2013).
Gambar 3.27 Pola kerusakan sel saraf
Polineuropati merupakan kasus yang banyak dijumpai. Pada
pemeriksaan elektrodiagnostik harus ditentukan:
1. Onset: akut/subakut/kronis
2. Serabut saraf yang terkena: motoris/sensoris/autonom/serabut dengan
diameter besar atau kecil
3. Patologi yang mendasari yaitu bagian saraf yang terjadi lesi:
aksonal/demielinating/campuran
Pada umumnya gejala klinis berupa kelainan yang bersifat kronis
progresif yang artinya mengalami gejala yang lambat tetapi terus mengalami
peningkatan, terdiri dari:
1. Parestesia yaitu kulit terasa abnormal seperti terbakar atau menusuk-
nusuk yang terjadi tanpa stimulus dari luar, hipoestesia atau
berkurangnya sensitivitas terhadap rangsang sensorik yang dimulai dari
ujung distal ekstremitas bawah yaitu pada ujung jari terasa tebal-tebal.
Keluhan ini akan menjalar ke atas, dan setelah mencapai daerah sekitar
lutut, keluhan ini mulai dirasakan pada ujung jari tangan. Hal ini
Page 62Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
disebabkan oleh karena jarak antara mielum lumbal sampai ujung
radiks dermatom L3 (perhatikan gambar 3.8) lebih kurang sama dengan
jarak antara mielum servikal sampai ke ujung radiks dermatom T1
(perhatikan gambar 3.8).
2. Kelemahan otot, astrofi yang dimulai dari ujung distal ekstremitas bisa
di ujung jari kaki atau tangan.
3. Hiporefleksia atau arefleksia yaitu kurang adanya refleks yang
ditimbulkan.
Secara elektrofisiologi polineuropati dibedakan menjadi
polineuropati demielinating dan aksonal, yang bisa terjadi segmental atau
pada bagian-bagian tertentu, generalisata atau secara lebih menyeluruh,
maupun campuran.
1. Polineuropati demielinating generalisata
a. Keadaan ini dijumpai pada polineuropati yang disebabkan karena
hereditas atau keturunan.
b. Pemeriksaan KHS: diperlihatkan dengan adanya peningkatan distal
latensi dan penurunan kecepatan hantar saraf, CMAP dan SNAP
pada seluruh saraf perifer dan amplitudo relatif normal
c. EMG jarum: tidak didapatkan tanda denervasi artinya tidak ada
impuls yang dihantarkan dari saraf ke otot.
2. Polineuropati demielinating segmental generalisata
a. Keadaan ini dijumpai pada acute demyelinating poliradiculopathy
yang merupakan jenis paling umum dari Guillain-Barre Syndrome
(GBS) yang merupakan gejala gangguan pada saraf spinalis dan
saraf cranialis, terjadi proses autoimmune dengan respons inflamasi
atau peradangan pada radiks atau serabut saraf dan saraf tepi
(poliradiculopati dan polineuropati) serta dapat dijumpai pada
Morbus Hansen atau kusta yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae yang pertama menyerang pada saraf tepi.
b. Seringkali hanya mengenai saraf motorik.
c. Pemeriksaan KHS:
Page 63Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya
Laporan Kuliah Kerja Lapang
CMAP: peningkatan distal latensi, perlambatan kecepatan
hantar saraf dan blok konduksi
SNAP: normal, bila hanya mengenai saraf motorik
d. EMG jarum: akan didapatkan tanda denervasi yaitu tidak ada impuls
yang dihantarkan dari saraf ke otot apabila disertai lesi aksonal.
3. Polineuropati aksonal generalisata
a. Keadaan ini dapat dijumpai pada neuropati toksik yaitu penyakit
saraf yang dikarenakan adanya racun.
b. Dapat mengenai saraf motorik, sensorik atau campuran
c. Pemeriksaan KHS: didapatkan penurunan amplitudo CMAP atau
SNAP.
d. EMG jarum: didapatkan tanda denervasi yaitu tidak ada impuls yang
dihantarkan dari saraf ke otot pada otot – otot yang terkena
4. Polineuropati aksonal-demielinating generalisata
a. Dapat dijumpai pada polineuropati akibat diabetes melitus dan
uremia yaitu fungsi ginjal yang tidak dapat membuang urea keluar
dari tubuh sehingga menumpuk dalam darah.
b. Mengenai saraf motorik dan sensoris.
c. Pemeriksaan ENMG memenuhi kriteria aksonal dan demielinating
polineuropati.
Strategi ENMG pada polineuropati adalah dengan melakukan
pemeriksaan KHS motoris dan sensoris rutin pada ekstremitas atau bagian
atas dan bawah (Poernomo,dkk.,2003).
Page 64Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya