BAB III

66
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya Page 25 Laporan Kuliah Kerja Lapang BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Otot dan Sistem Saraf Otot merupakan jaringan serat yang mempunyai kemampuan untuk berkontraksi dan menghasilkan gerak atau menunjang posisi tubuh hewan (Webster’s world encyclopedia, 2000). Jaringan otot rangka, jaringan konektif, dan jaringan saraf merupakan satu kesatuan yang membentuk otot rangka (skeletal muscles). Organ – organ yang dapat berkontraksi ini menyambung secara langsung maupun tak langsung pada tulang rangka. Ackland and Bloomfield (1995) dan NISMAT (2000) menyatakan bahwa otot rangka merupakan 40% sampai 50% bagian dari keseluruhan berat badan. Fungsi otot – otot rangka antara lain adalah untuk menghasilkan gerak, menunjang postur dan posisi tubuh, dan mempertahankan temperatur tubuh (Martini, 1992). Otot rangka terdiri dari sekumpulan serat otot (muscle fibers) yang bertugas mengkonversi energi kimia menjadi usaha mekanik (McCormick, 1976). Otot manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu otot skaletal atau striated yang berhubungan dengan gaya luar, otot jantung, dan otot polos. Otot skeletal yang bekerja di bawah kontrol sistem saraf badan, sehingga dinamakan otot sadar (a

Transcript of BAB III

Page 1: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Otot dan Sistem Saraf

Otot merupakan jaringan serat yang mempunyai kemampuan untuk

berkontraksi dan menghasilkan gerak atau menunjang posisi tubuh hewan

(Webster’s world encyclopedia, 2000). Jaringan otot rangka, jaringan konektif,

dan jaringan saraf merupakan satu kesatuan yang membentuk otot rangka

(skeletal muscles). Organ – organ yang dapat berkontraksi ini menyambung

secara langsung maupun tak langsung pada tulang rangka. Ackland and

Bloomfield (1995) dan NISMAT (2000) menyatakan bahwa otot rangka

merupakan 40% sampai 50% bagian dari keseluruhan berat badan. Fungsi otot

– otot rangka antara lain adalah untuk menghasilkan gerak, menunjang postur

dan posisi tubuh, dan mempertahankan temperatur tubuh (Martini, 1992). Otot

rangka terdiri dari sekumpulan serat otot (muscle fibers) yang bertugas

mengkonversi energi kimia menjadi usaha mekanik (McCormick, 1976).

Otot manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu otot

skaletal atau striated yang berhubungan dengan gaya luar, otot jantung, dan

otot polos. Otot skeletal yang bekerja di bawah kontrol sistem saraf badan,

sehingga dinamakan otot sadar (a voluntary muscle). Otot jantung dan otot

Gambar 3.1 Sistem motor unit (Sumber: Koch, V.M.,2007, Desertasi)

Page 18Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 2: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

polos dioperasikan oleh sistem saraf otomatis. Untuk kontraksi otot sadar

diperlukan stimulan dari sistem saraf. Sistem saraf pusat terdiri dari otak

(brain) dan spinal cord. Spinal cord menghubungkan otak dengan tubuh.

Sistem saraf tepi (peripheral nervous system) terdiri dari serabut saraf (axon)

yang membawa impuls dari dan ke sistem saraf pusat. Unit penggerak ( motor

unit ) adalah unit fungsional terkecil dari sistem otot saraf ( neuromuscular

system ), seperti yang ditunjukkan oleh gambar 1 (Khoiri, 2008).

Sistem saraf merupakan komunikasi berbagai tubuh dimana mekanisme

semua jenis sensasi yang diterima dari lingkungan, jaringan, dan organ tubuh

sendiri. Sistem saraf bertanggung jawab menginterpretasikan sensasi yang

sudah tersimpan dalam memori yang kemudian aksi dibawa melalui impuls ke

bagian sistem saraf lain dan organ tubuh lainnya (Watson, 1997).

Sistem saraf mencakup seluruh massa jaringan saraf dalam tubuh.

Fungsi dasar dari sistem saraf adalah komunikasi yang bergantung pada sifat

kimiawi dan listrik khusus dari sel-sel saraf dan cabang-cabang sel yang

panjang. Sifat-sifat ini mencerminkan sifat protoplasma yaitu iritabilitas dan

konduktivitas. Iritabilitas adalah kemampuan bereaksi dengan secara bertingkat

terhadap rangsang fisik dan kimiawi, sedangkan konduktivitas merupakan

kemampuan menghantarkan rangsang cepat dari satu tempat ke tempat lain.

Setelah menerima rangsang dari luar atau dalam tubuh, bentuk dan aliran

energi rangsang (mekanis, termal, kimiawi,dsb.) ditransduksi oleh struktur

khusus, yaitu reseptor menjadi potensial listrik yang pada gilirannya

membangkitkan rangsang saraf. Deretan impuls ini kemudian dengan cepat

diteruskan ke pusat saraf untuk membangkitkan pola aktivitas tambahan dalam

sel saraf lain yang menimbulkan sensasi atau respons motoris. Hal ini

merupakan cara suatu organisme berinteraksi dengan kejadian di sekitar atau di

dalam dan mengkoordinasi fungsi organ (Fawcett, 1994).

3.1.1 Anatomi Otot Manusia

Otot manusia dapat dikelompokkan menjadi 7 bagian, yaitu:

(Annonymous, 2013)

1. Bahu (Shoulders)

Page 19Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 3: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

a. Otot Deltoid, yakni otot yang bertugas untuk memutar dan mengangkat

lengan. Otot berbentuk segitiga bundar ini terdiri atas tiga kepala, yakni

anterior untuk mengangkat ke depan, middle untuk mengangkat ke

samping dan posterior untuk mengangkat ke belakang.

b. Otot Trapezius, yakni otot di belakang leher yang memanjang sampai

ke punggung. Tugasnya yaitu untuk mengangkat rangka bahu.

2. Dada (Chest), otot pada dada adalah Otot Pectoralis Major, yakni otot yang

bertugas untuk mendorong bahu ke depan. Fungsi utamanya adalah untuk

gerakan menekan atau mendorong.

3. Punggung (Back)

a. Otot Latissimus Dorsi, adalah otot terbesar di bagian tubuh atas

manusia yang berfungsi untuk menarik bahu ke belakang dan ke bawah.

b. Otot-otot punggung atas (upper back), merupakan kumpulan otot-otot

yang sangat kompleks dan saling bertindihan. Otot-otot ini berfungsi

sebagai penggerak bahu (rotator cuff) dan menjaga tubuh supaya tegak.

c. Otot-otot punggung bawah (lower back), merupakan kumpulan otot-

otot di punggung sebelah bawah yang bertugas untuk menegakkan

tubuh.

4. Perut (Abdominals)

a. Otot Rectus Abdominis, yakni otot yang membentang sepanjang perut.

Fungsinya untuk menekuk tubuh.

b. Otot External Obliques, yakni otot kecil di sisi perut yang berfungsi

untuk memutar dan menekuk tubuh.

5. Lengan (Arms)

a. Otot Biceps, yakni otot lengan atas yang berfungsi untuk menekuk

lengan. Selain itu ada juga yang namanya Brachialis, yakni otot kecil

yang terletak di sebelah luar.

b. Otot Triceps, yakni otot lengan atas yang berfungsi untuk meluruskan

lengan.

c. Otot-otot lengan bawah (forearms), yakni terdiri atas beberapa otot

kecil yang kompleks yang bertugas untuk memutar dan menggerakkan

tangan.

Page 20Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 4: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

6. Paha dan Pinggul (Thighs dan Glutes)

a. Otot Quadriceps, adalah otot manusia yang paling besar. Fungsinya

untuk meluruskan kaki. Otot ini terletak di bagian depan paha dan

terdiri atas 4 kepala, yakni Rectus Femoris, Vastus Intermedius, Vastus

Medialis dan Vastus Lateralis.

b. Otot Biceps Femoris (hamstrings), yakni otot yang terletak di bagian

belakang paha. Fungsinya untuk menekuk kaki.

c. Otot Glutes Maximus, yakni otot pantat yang memungkinkan manusia

menjadi satu-satunya makhluk hidup yang bisa berdiri dan berjalan

tegak.

7. Betis (Calves), otot pada betis adalah Otot Gastrocnemius, yakni otot yang

paling menonjol yang letaknya ada di bagian belakang betis. Fungsinya

adalah untuk menggerakkan telapak kaki.

Gambar 3.2 Anatomi otot manusia

3.1.2 Jaringan Saraf

Jaringan saraf terdiri atas sel-sel saraf yang disebut neuron. Sel

saraf ini mempunyai struktur bercabang-cabang ke berbagai bagian tubuh

untuk mengatur aktivitasnya. Neuron mendapat suplai makanan melalui

sel neuroglia yang menyelubunginya. Neuron terdiri atas bagian-bagian

berikut: (Annonymous, 2012)

Page 21Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 5: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

a. Badan sel saraf yang mengandung inti sel dan neuroplasma

b. Neurit atau akson atau cabang panjang, berfungsi membawa impuls

meninggalkan badan sel saraf.

c. Dendrit atau cabang pendek, berfungsi membawa impuls ke badan sel

saraf.

Akson dikelilingi oleh sel penyokong yang disebut sel Schwann.

Akson diselubungi oleh selaput yang dinamakan neurilema. Sebelah

dalam neurilema terdapat selubung mielin yang mengandung fosfolipid.

Bagian akson yang tidak tertutup oleh selubung mielin dinamakan nodus

Ranvier. Akson bercabang di dekat ujung (terminal akson). Titik

pertemuan antara terminal akson yang satu dengan neuron yang lain

disebut sinapsis. Titik pertemuan (sinapsis) ini berfungsi meneruskan

rangsang ke sel saraf yang lain dengan cara mengeluarkan bahan kimia

yang disebut neurotransmiter. Badan sel saraf memiliki sebuah inti dan

bangun perikarion yang berhubungan dengan akson membentuk huruf V,

yang dinamakan aksonhillok. Retikulum endoplasma dan ribosom

membentuk granula yang dinamakan badan nissl. Berdasarkan cara

memindahkan rangsang dan posisi yang ditempati, neuron dibedakan

menjadi tiga sebagai berikut: (Annonymous, 2012)

a. Neuron Afferent (Neuron Sensorik)

Neuron afferent menyampaikan pesan dari organ ke saraf pusat, baik

sumsum tulang belakang atau otak. Oleh karena itu, penerima

rangsang ini sering disebut juga neuron sensorik.

b. Neuron Intermedier (Interneuron)

Neuron intermedier menyampaikan impuls dari neuron sensorik atau

dari neuron intermedier yang lain ke neuron motorik. Antara saraf

satu dengan yang lain saling berhubungan. Antara saraf yang satu

dengan lainnya di hubungkan oleh akson. Hubungan antara sesama

saraf melalui titik temu antara ujung akson neuron yang satu dengan

dendrit neuron yang lain, yang disebut dengan sinaps. Fugsi sinaps

adalah meneruskan rangsang dari sel saraf yang satu ke sel saraf yang

Page 22Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 6: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

lain. Sinaps mengeluarkan zat untuk mempermudah meneruskan

rangsang yang disebut neurotransmitter.

c. Neuron Efferent (Neuron Motorik)

Neuron efferent meneruskan impuls saraf yang diterima dari neuron

intermedier. Pesan yang dikirim menentukan tanggapan tubuh

terhadap rangsang yang diterima oleh neuron aferen. Dendrit dari

neuron eferen menempel di otot sehingga sering disebut juga neuron

motorik.

Gambar 3.3 Sel saraf (neuron) dengan akson dan dendrit

3.1.2 Sistem Saraf Manusia

Sistem saraf merupakan sistem organ pada hewan yang terdiri atas serabut

saraf dan tersusun atas sel-sel saraf yang saling berhubungan. Sistem saraf

merupakan jaringan paling rumit dan paling penting karena terdiri dari jutaan

sel saraf (neuron) yang saling terhubung dan sangat penting untuk

perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Satuan kerja utama dalam sistem

saraf adalah neuron yang diikat oleh sel-sel glia. Sistem saraf pada vertebrata

secara umum dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.

Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Pada sistem

saraf tepi yang paling utama terdiri dari saraf, yang merupakan serat panjang

yang menghubungkan sistem saraf pusat ke setiap bagian dari tubuh. Sistem

saraf tepi meliputi saraf motorik, mengatur pergerakan volunter (disadari),

sistem saraf otonom yang meliputi sistem saraf simpatis dan parasimpatis dan

fungsi regulasi (pengaturan), involunter (tanpa disadari) dan sistem saraf

enterik (pencernaan). Saraf tepi terdiri dari saraf sensorik dan saraf motorik

(Annonymouse, 2013)

Page 23Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 7: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Pada tingkatan seluler, sistem saraf didefinisikan sebagai keberadaan jenis

sel khusus, yang disebut neuron, yang juga dikenal sebagai sel saraf. Neuron

memiliki struktur khusus yang mengatur pengiriman sinyal secara cepat dan

presisi ke sel lain. Neuron mengirimkan sinyal dalam bentuk gelombang

elektrokimia yang berjalan sepanjang serabut tipis yang disebut akson, yang

mana akan menyebabkan bahan kimia (neurotransmitter) dilepaskan pada

sinaps. Sel yang menerima sinyal sinaptik dari neuron dapat tereksitasi,

terhambat, atau termodulasi (Annonymouse, 2013)

Sistem saraf ditemukan pada kebanyakan hewan multiseluler. Hewan

multiselular yang tidak memiliki sistem saraf adalah porifera, placozoa dan

mesozoa, yang memiliki bentuk tubuh sangat sederhana. Semua jenis hewan

kecuali pada beberapa jenis cacing, memiliki sistem saraf yang meliputi otak,

sebuah central cord. Fungsi dari sistem saraf adalah mengirimkan sinyal dari

satu sel ke sel yang lain, atau dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain.

Sistem saraf sangat rawan terhadap cidera, penelitian medis di bidang

neurologi mempelajari penyebab malfungsi sistem saraf, dan mencari solusi

untuk dapat mencegah atau memperbaikinya. Dalam sistem saraf tepi, masalah

yang paling sering terjadi adalah tidak sampainya konduksi saraf, yang dapat

disebabkan oleh berbagai macam penyebab termasuk neuropati diabetik dan

kelainan demyelinasi (Annonymouse, 2013)

Alat tubuh yang berfungsi sebagai reseptor rangsangan adalah indera.

Indera merupakan bagian tubuh yang memiliki ujung saraf sensorik yang peka

terhadap rangsangan tertentu. Saraf sensorik akan meneruskan rangsang dari

indera ke saraf pusat. Dari saraf pusat, reaksi atau tanggapan akan disampaikan

ke efektor melalui saraf motorik. Efektor adalah organ atau jaringan yang

bereaksi terhadap rangsangan, misalnya otot dan kelenjar. Reaksi atau

tanggapan oleh efektor dapat berupa gerakan, ucapan, dan sekresi kelenjar

(Pratama, 2013).

Rangsangan adalah perubahan lingkungan yang dapat diterima oleh

reseptor. Rangsang dibedakan menjadi dua, yaitu rangsangan dari luar tubuh

dan rangsangan dari dalam tubuh. Rangsangan dari luar tubuh misalnya suara,

cahaya, bau, panas, dan lain-lain. Sedangkan rangsang dari dalam tubuh

Page 24Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 8: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

misalnya lapar, haus, rasa nyeri, dan lain-lain. Menurut jenisnya, rangsangan

dibedakan menjadi rangsang mekanis, kimiawi dan fisis. Rangsangan mekanis

misalnya sentuhan dan tekanan. Rangsangan kimiawi misalnya rasa manis,

asam, pahit dan bau. Sedangkan rangsang fisis berupa suhu, listrik, gravitasi,

dan lain-lain (Pratama, 2013).

Gambar 3.4 Diagram Sistem Saraf Manusia

3.1.2 Struktur Membran Protein

Membran protein berbentuk alpha helix yang tersusun atas asam amino

dan protein bergerak di dalam lipid. Yang masuk melewati membran hanya

molekul-molekul air dan masuk melewati lipid dengan cara transport aktif dan

pasif. Akibat molekul-molekul air yang masuk ini menyebabkan hipotonik dan

hipertonik.

3.1.3 Struktur Sistem Saraf Manusia

Page 25Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 9: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis yang

merupakan sistem saraf utama dari tubuh. Secara garis besar dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.5 Susunan sistem saraf manusia

Susunan saraf tepi terdiri dari susunan saraf motoris dan saraf

sensoris. Susunan saraf ini dimulai dari neuron motoris dan neuron

sensoris menuju ke neuromuscular junction dan otot. Secara mikroskopis

serabut saraf mempunyai lapisan pelindung jaringan ikat, yang terdiri

dari endoneurium, perineurium dan epineurium (Gambar 3.4), yang

masing-masing berfungsi:

1. Endoneurium, membungkus secara langsung masing-masing akson.

2. Perineurium, merupakan pembungkus fasikel saraf. Fasikel adalah

kumpulan beberapa akson serta endoneuriumnya.

3. Epineurium, merupakan pembungkus beberapa fasikel dan pembuluh

darah yang ada diantaranya. Epineurium kemudian melanjutkan diri

menjadi lapisan duramater di medula spinalis.

sistem saraf

sistem saraf pusat

otak sumsum tulang belakang

sistem saraf tepi

sensorik motorik

voluntary (somatic)

nervous system

parasympathetic division

Page 26Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 10: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.6 Endoneurium, Perineurium dan Epineurium

Ketiga lapisan saraf tersebut merupakan pelindung yang sangat efektif,

dapat menahan beban sampai dengan 20-30 kg. Walaupun demikian,

pada titik pertemuan akar saraf spinalis menuju medula spinalis

merupakan tempat yang rawan terhadap trauma (terutama lesi

avulsi/tarikan), sebab pada titik tersebut hanya dapat menahan beban

sebesar 2-3 kg (Poernomo,dkk.,2003)

3.1.2.1 Susunan Saraf Tepi Motorik

Susunan saraf tepi motorik dimulai dari motor neuron di

kornu anterior medula spinalis, radiks motorik di bagian ventral

medula spinalis, yang bersama dengan radiks posterior pada

segmen yang sama keluar dari foramen intervertebralis

membentuk saraf spinalis. Beberapa saraf spinalis membentuk

pleksus, sebelum akhirnya terbagi lagi menjadi beberapa saraf

perifer dan akhirnya menuju masing-masing otot yang

dilayaninya.

Page 27Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 11: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.7 Susunan saraf tepi Ada 31 pasang saraf spinalis, yaitu 8 pasang saraf servikalis,

12 pasang saraf torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf

sakralis dan 1 pasang koksigeal. Ada dua sistem pleksus dalam

tubuh manusia yaitu pleksus brakialis dan pleksus lumbosakralis.

Pleksus brakialis, berfungsi melayani ekstremitas atas.

Terbentuk dari 5 pasang saraf spinalis, yaitu C5-Th1. Secara

anatomis pleksus brakialis dapat dibedakan menjadi beberapa

trunkus, divisi dan korda (cord) sesuai kedudukannya pada tulang

klavikula.

Tabel 3.1 Pembagian Pleksus Brakialis

Supraklavikula Klavikula Infraklavikula

C5Trunkus Superior

Divisi Anterior Korda Lateral

C6 Divisi Posterior Korda Posterior

C7 Trunkus MedialDivisi Anterior Korda Lateral

Divisi Posterior Korda Posterior

C8Trunkus Inferor

Divisi Anterior Korda Medialis

Th1 Divisi Posterior Korda Posterior

Korda lateralis akan membentuk nervus medianus dan

muskulokutaneus; korda medialis akan membentuk nervus

ulnaris. Sedangkan korda posterior dari ketiga trunkus akan

Page 28Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 12: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

bersatu membentuk nervus aksilaris dan radialis (Gambar 3.6).

Saraf-saraf tersebut akan memberikan inervasi pada otot-otot

ekstremitas atas (Tabel 3.2) (Poernomo,dkk.,2003)

Gambar 3.8 Pleksus brakialis, terdiri dari trunkus, divisi, korda dan cabang-cabangnya (Preston dan Shapiro, 1998).

Page 29Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 13: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Tabel 3.2 Otot ekstremitas atas sesuai dengan akar dan saraf yang menginnervasi

C5 C6 C7 C8 Th1N. Skapularis dorsalisM. Rhomboideus major/minor

N. SupraskapularisM. SupraspinatusM. Infraspinatus

N. AksilarisM. Deltoid

N. MuskulokutaneusM. Biseps Brakii

N. MedianusM. Pronator TeresM. Fleksor Karpi RadialisM. Fleksor Polisis LongusM. Abduktor Polisis Brevis

N. UlnarisM. Fleksor Karpi UlnarisM. Abduktor Digiti MinimiM. Firs Dorsal Interrosei

N. RadialisM. Triseps BrakiiM. BrakioradialisM. Ekstensor Indisis PropriusPlekus lumbosakral, terdiri dari saraf spinalis L2-S2, dan

memberikan innervasi pada otot-otot pada ekstremitas bawah

(Tabel 3.3). Satu saraf perifer dan satu saraf spinalis dapat

melayani beberapa otot. Sekelompok otot yang disarafi oleh satu

motor neuron atau saraf spinalis yang sama disebut miotom.

Misalnya pada ekstremitas atas, m. biseps brakii, m. deltoid dan

m. pronator teres dipersarafi oleh saraf tepi yang berbeda, yaitu n.

muskulokutaneus, n. aksilaris dan n. medianus, akan tetapi ketiga

otot tersebut merupakan satu miotom oleh karena dilayani oleh

Page 30Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 14: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

saraf spinalis yang sama yaitu C6 (lihat Tabel 3.2)

(Poernomo,dkk.,2003).

Demikian juga satu otot tertentu bisa memperoleh

persarafan dari beberapa saraf spinalis yang berbeda. Misalnya,

m. triseps brakii mendapat persarafan dari tiga saraf spinalis yaitu

C6, C7, C8, dengan C7 yang bersifat dominan. Oleh sebab itu lesi

pada saraf spinalis (lesi radikular) akan menyebabkan kelemahan

otot yang lebih ringan dari pada lesi saraf perifer. Akan tetapi, m.

triseps brakii mendapatkan pesarafan hanya dari n.radialis

sehingga lesi pada n. radialis menyebabkan kelemahan m. triseps

brakii yang jauh lebih berat dibanding lesi pada C7

(Poernomo,dkk.,2003)

Gambar 3.9 Pleksus lumbosakral (Preston dan Shapiro, 1998)

Page 31Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 15: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Page 32Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 16: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Tabel 3.3 Otot ekstremitas bawah sesuai dengan akar dan saraf yang menginversi

L2 L3 L4 L5 S1 S2N. Gluteus SuperiorM. Gluteus Maksimus

N. Gluteus InferiorM. Gluteus Medius

N. ObturatorM. Aduktor Longus

N. FemoralisM. IlliopsoasM. Rektus FemorisM. Vastus Lateralis/Medialis

N. IskiadikusM. Hamstring MedialM. Hamstring Lateral

N. Peroneus ProfundusM. Tibialis AnteriorM. Ekstensor Halusis Longus

N. Peroneus SuperfisialisM. Peroneus Longus

N. Tibialis PosteriorM. Gastroknemius MedialisM. Tibialis PosteriorM. Fleksor Digitorium Longus

3.1.2.2 Susunan Saraf Tepi Sensoris

Dari reseptor di kulit, seluruh modalitas rasa dikirim ke

pusat melalui saraf perifer, pleksus, saraf spinalis, radiks posterior

dan kemudian membentuk ganglion dorsalis yang berada di

foramen intervertebralis, selanjutnya menuju ke dalam medula

spinalis untuk diteruskan ke otak. Susunan saraf tepi sensoris

adalah sepanjang jalur sensoris antara reseptor di kulit sampai

dengan ganglion dorsalis. Ganglion dorsalis adalah neuron saraf

sensoris, yang letaknya tidak di dalam medula spinalis seperti

Page 33Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 17: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

neuron motoris. Seluruh daerah sensoris yang dilayani oleh satu

radiks sensoris disebut satu dermatom (Gambar 3.8). Seperti

halnya miotom, beberapa saraf tepi sensoris mendapatkan

persarafan dari beberapa saraf spinalis, sehingga lesi saraf spinalis

atau radiks sensoris akan menyebabkan keluhan yang lebih ringan

dari pada lesi saraf perifer (Poernomo,dkk.,2003).

Gambar 3.10 Dermatom, daerah kulit yang dipasok oleh satu segmen spinal (Preston dan Shapiro, 1998).

3.2 Potensial Sel Saraf

Jaringan saraf terdiri dari akson dan lapisan mielin yang

membungkusnya. Dalam keadaan istirahat, muatan listrik di bagian dalam

membran akson lebih negatif dibandingkan di luar sel. Konsentrasi ion

kalium (K+) intrasel lebih tinggi daripada ekstrasel, sedangkan ion natrium

(Na+) dan klorida (Cl-) lebih tinggi ekstraseluler (Poernomo,dkk.,2003).

Tabel 3.4 Konsentrasi ion di dalam dan di luar sel saraf (nmol/l)

Ion Ekstraselular IntraselularNa+ 150 15K+ 5 150

Page 34Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 18: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Cl- 125 10HCO3- 27 8A- (protein) - 155

Kerja dari sel saraf ada dua, yaitu: ( Annonymouse, 2013)

1. Potensial diam ( Resting potensial)

Pada keadaan diam/istirahat, pompa NaK memompa ion Na keluar

dan K masuk sel melintasi membran. Sehingga pemompaan ini

menyebabkan konsentrasi ion dan muatan diantara permukaan dalam dan

luar membran maka menghasilkan potensial listrik, dan disebut dengan

Resting Potensial. Potensial istirahat selalu negatif pada sel saraf dan otot

yaitu antara 55 mV – 100 mV. Dalam keadaan istirahat, bagian luar

membran bermuatan positif dan di dalam sel saraf bermuatan negatif. Sel

saraf dalam situasi ini disebut dalam keadaan polarisasi. Polarisasi

disebabkan karena distribusi ion tidak sama. Ion protein yang

berdistribusi adalah A-, Cl-, K+, Na+, ion A- hanya terdapat di dalam

cairan sel, sedangkan 3 ion lainnya terdapat di dalam dan di luar sel. Ion

K+ lebih banyak terdapat di dalam sel, sedangkan ion Na+ dan Cl- lebih

banyak terdapat di luar sel.

Gambar 3.11 Pompa Na-K berfungsi membuang ion Na+ ke luar dan K+

ke dalam sel

2. Potensial aksi

a. Depolarisasi

Pada saat ada rangsangan atau stimulus, maka ion channel pada

membran membuka dan Na masuk dengan cepat dalam jumlah yang

Page 35Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 19: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

besar ke dalam sel maka bagian sel menjadi lebih positif dari pada

luar sel besar potensialnya yaitu +30 mV.

Page 36Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 20: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.12 Proses depolarisasi

Jika neuron menerima stimulasi yang cukup untuk mencapai

ambang membran, Na gerbang secara berturut-turut di sepanjang

seluruh membran neuron akan terbuka, pembukaan gerbang ion Na

memungkinkan untuk pindah ke neuron, pergerakan ion Na ke

neruon penyebab potensial membran berubah dari -70mV menjadi

+40 mV. Sebagai potensial membran menjadi lebih positif, Na

gerbang mulai menutup. Jika neuron menerima stimulasi yang

cukup untuk mencapai ambang membran, berturut-turut Na

gerbang sepanjang seluruh membran neuron akan terbuka,

pembukaan gerbang ion Na memungkinkan untuk pindah ke

neuron, pergerakan ion Na ke neruon penyebab potensial membran

berubah dari-70mV ke +40 mV. Sebagai potensial membran

menjadi lebih positif, Na gerbang mulai menutup.

Gambar 3.15 Fase depolarisasi

Page 37Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 21: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

b. Repolarisasi

Pada tahap akhir depolarisasi, channel ion Na menutup, kemudian

channel ion K membuka, sehingga ion K keluar sel dengan cepat

maka permukaan dalam membran kembali lebih negatif dari pada di

luar sel. Besar potensial saat terjadi repolarisasi adalah -70 mV.

Gambar 3.16 Fase repolarisasi

Gambar 3.17 Grafik potensial aksi

Potensial aksi disebarkan dengan peranan lapisan mielin. Semakin besar

serabut saraf, semakin tebal lapisan mielin yang membungkusnya, dan

semakin cepat pila penghantaran potensialnya. Mielin dibentuk oleh sel

Schwann yang tersusun secara konsentrik, di antaranya terdapat nodus

Ranvier. Potensial aksi dihantarkan dengan cara melompat – lompat

Page 38Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 22: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

(saltatory conduction) dari satu nodus menuju nodus yang lain

(Poernomo,dkk.,2003).

Gambar 3.13 Konduksi saltatori. Serabut bermielin menjalarkan potensial aksi dengan cara konduksi yang meloncat-loncat. Depolarisasi terjadi hanya pada nodus Ranvier, di mana potensial aksi meloncat dari nodus ke nodus

(Preston dan Shapiro, 1998).Secara mikroskopis diketahui bahwa pompa Na-K banyak terdapat di

nodus Ranvier, sehingga depolarisasi diperkirakan lebih banyak terjadi di

nodus. Serabut saraf yang memiliki lapisan mielin tebal akan menghantarkan

potensial lebih cepat, oleh karena serabut saraf yang tebal memiliki jarak

internodal yang lebih panjang, sehingga mengurangi jumlah nodus yang

terdepolarisasi (Poernomo,dkk.,2003).

Serabut saraf tepi dapat digolongkan menjadi beberapa kategori, berdasarkan:

1. Bermielin – nirmielin

2. Somatik – autonom

3. Motoris – sensoris

4. Berdasarkan diameternya

Berdasarkan diameter, kecepatan hantaran, dan ciri – ciri fisiologinya, telah

dibuat klasifikasi dari serabut saraf (Tabel 3.5)

Serabut A mempunyai lapisan mielin yang paling tebal, sehingga

merupakan penghantar impuls yang terbaik. Serabut saraf A inilah yang

selalu diperiksa pada pemeriksaan EMNG. Serabut C adalah serabut yang

terkecil dan tidak memiliki lapisan mielin. Serabut ini menghantarkan rasa

nyeri dan suhu. Serabut C oleh karena terlalu kecil, tidak terekan dalam

pemeriksaan EMNG. Pada penderita polineuropati yang hanya mengenai

serabut kecil, walaupun dengan gejala klinis yang nyata, hasil pemeriksaan

EMNG nisa normal (Poernomo,dkk.,2003).

Page 39Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 23: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Tabel 3.5 klasifikasi serabut saraf menurut Erlanger & Gasser dan Lloyd & Hunt

Serabut sensoris

dan motoris*

Serabut sensoris**

Diameter (nm)

KHS (m/det)

Fungsi

Aα Ia 10-20 50-120

Motoris: alpha motor neuronSensoris: aferen muscle spindle

Aα Ib 10-20 50-120Sensoris: organ tendon golgi, raba, tekan

Aβ II 4-12 25-70

Motoris: motor neuron ke serabut otot intra/ekstrafusalSensoris: aferen muscle spindle sekunder, raba,tekan,getar

Aγ 2-8 10-50Motoris: motor neuron gamma ke serabut otot intrafusal

Aδ III 1-5 3-30Sensoris: serabut kecil raba, nyeri,suhu

B 1-3 3-15Motoris: serabut kecil autonom preganglion nirmielin

C IV <1 <2Motoris: semua serabut autonom post ganglionSensoris: nyeri,suhu

*Dari Erlanger dan Gesser

**Dari Lloyd dan Hunt

Page 40Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 24: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Hubungan antara dua buah saraf disebut sinapsis, berakhirnya saraf

pada sel otot atau hubungan saraf otot disebut Neuromyal Junction. Baik

sinapsis maupun neuromyal junction mempunyai kemampuan meneruskan

gelombang depolarisasi dengan cara lompat dari satu sel ke sel yang

berikutnya. Gelombang depolarisasi ini penting pada sel membran otot, oleh

karena pada waktu terjadi depolarisasi, zat kimia yang terdapat pada otot akan

trigger/bergetar/berdenyut menyebabkan kontraksi otot dan setelah itu akan

terjadi repolarisasi sel otot yang mana otot akan mengalami relaksasi

(Gabriel, 1996).

Gambar 3.14 Anatomi sel saraf

Gambar 3.15 Aliran arus listrik pada synapsis dan sel neuron

Page 41Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 25: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.16 Hubungan saraf otot (Neuromyal Junction)

Page 42Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 26: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

3.3 Elektroneuromiografi (ENMG)

Elektroneuromiografi yang terdiri dari Nerve Conduction Studies

(NCS) dan pemeriksaan jarum electrode dari otot merupakan sebuah tes yang

bernilai dan sensitif. Alat ini dapat mengenali dan membedakan

ketidaknormalan dari anterior horn cell, dorsal sensory ganglion cell, akar

saraf, saraf periferal, neuromuscular junction, membran otot, dan serat otot

(Koh dan Ken, 2011).

Elektroneuromiografi (ENMG) berfungsi untuk memeriksa fungsi dari

sistem saraf tepi. Elektroneuromiografi merekam kelainan pada neuron

motoris dan sensoris. Ketika merekam saraf tepi, ENMG memberikan

informasi terkait kerasnya, pathophysiology, lebar, profil temporal, tipe dan

distribusi serat (besar dan kecil). Ketika digunakan untuk mendiagnosis

penyakit otot dan neuromuscular, ENMG menunjukkan tempat terjadinya

kelainan, kerasnya, pathology, distribusi, dan respon terhadap terapi

(Manshukhani dan Bhavna, 2008).

Pemeriksaan ENMG adalah pemeriksaan yang sangat berguna untuk

menegakkan diagnosis penyakit sistem saraf perifer. Pemeriksaan ini

merupakan kombinasi antara pemeriksaan elektroneurografi dan

elektromiografi. Elektroneurografi (ENG) disebut juga sebagai pemeriksaan

konduksi saraf, yang mencakup pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS)

motoris, sensoris dan respon lambat. Elektromiografi (EMG) dalam arti

sempit didefinisikan sebagai pemeriksaan aktivitas listrik otot. Kadang –

kadang istilah EMG disalah-artikan sebagai pengganti ENMG yang juga

mencakup pemeriksaan konduksi saraf. Berbeda dengan elektrokardiografi

(EKG) dan elektroensefalografi (EEG) yang biasa dikerjakan dengan

prosedur rutin, maka untuk EMG prosedur yang dikerjakan harus disesuaikan

dengan diagnosis klinis yang dibuat. Tiap – tiap pemeriksaan

elektrodiagnostik harus disesuaikan dengan masing – masing masalah pada

tiap individu. Sehingga evaluasi ini hanya dapat dikerjakan dengan sebaik –

baiknya oleh seorang dokter yang menguasai penyakit neuromuskular

(Poernomo,dkk.,2003).

Page 43Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 27: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Aparatus elektromiographi yaitu elektroda, amplifier, oscilloscope,

loudspeaker, dan tape recorder. Aktivitas elektrik dari kontraksi otot dapat

direkam menggunakan surface electrode yang ditempatkan pada kulit di atas

otot atau elektroda jarum (needle electrode) yang dimasukkan ke dalam otot.

Amplifier akan meningkatkan sinyal sampai sejuta kali dan ditayangkan pada

oscilloscope dan dapat didengar melalui loudspeaker untuk analisis secara

visual dan auditori secara simultan (Kimura, 1983)

Aktivasi dari sebuah neuron motor alpha ( an alpha motor neuron )

menyebabkan kontraksi serabut otot, sejumlah signal, sebagai kontribusi dari

potensial aksi serabut otot yang biasanya diukur. Aktivitas listrik ini disebut

potensial aksi unit motor (MUAP). Jadi MUAP adalah gelombang yang

diukur ketika sebuah unit motor diaktivasi pada suatu waktu. Sebuah signal

EMG berasal dari beberapa unit motor dan didefinisikan sebagai jumlah dari

semua MUAP ditambah noise dan artefacts. Ada beberapa tipe elektrode yang

digunakan untuk mengukur signal EMG, yaitu needle electrodes, fine-wire

electrodes, dan surface electrodes. Surface electrodes mudah dalam

pemasangannya dan juga tidak terlalu mengganggu aktivitas dari orang yang

diteliti. Prinsip dasar dari kerja EMG adalah adanya signal listrik yang berasal

dari aktivitas otot, yang mungkin disebabkan oleh faktor psikis, fisik, maupun

lingkungan ( Khoiri, 2008 ).

Gambar 3.15 Susunan Instrumen dengan Surface Electrodes dan Prinsip Perekaman Potensial Aksi Ekstrasellular

(Sumber: Luttmann, A., 1996)

Page 44Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 28: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

3.4 Dasar – Dasar Pemeriksaan Konduksi Saraf

Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) atau Nerve Conduction

Velocity (NCV) dilakukan dengan cara meletakkan elektrode perekam pada

otot (untuk KHS motoris) atau saraf (untuk KHS sensoris) tertentu dan

elektrode stimulator di atas saraf tepi yang hendak diperiksa. Akibat

rangsangan ini, akan timbul potensial sepanjang lintasan saraf tersebut.

Potensial aksi yang terjadi pada saraf motorik disebut Compound Muscle

Action Potential (CMAP), dan pada saraf sensorik disebut Sensory Nerve

Action Potential (SNAP) (Poernomo,dkk.,2003).

3.4.1 Kecepatan Hantar Saraf Motoris

Pemeriksaan KHS motorik menggunakan stimulasi dengan

intensitas supramaksimal (20-30% di atas stimulus maksimal) agar

mengenai seluruh akson saraf yang diperiksa. Hasil sumasi potensial

serabut – serabut otot akibat stimulasi tersebut berupa Compound Muscle

Action Potentials (CMAP), yang berbentuk gelombang bifasik, yang

diawali oleh defleksi negatif (ke arah atas dari garis dasar). Beberapa

istilah elektrofisiologis yang penting untuk diketahui adalah sebagai

berikut (Poernomo,dkk.,2003).

1. Amplitudo (mV), diukur dari garis dasar sampai defleksi

negatif yang pertama, menggambarkan berapa banyak akson

yang terangsang. Besar kecilnya amplitudo CMAP

menunjukkan keadaan akson sepanjang perjalanan dari motor

neuron/kornu anterior sampai dengan saraf motorik. Amplitudo

CMAP yang menurun dapat dijumpai pada lesi motor neuron,

lesi radiks, lesi pleksus dan lesi saraf perifer.

2. Durasi (mdet), diukur dari defleksi pertama sampai dengan

titik dimana gelombang tersebut memotong garis dasar

kembali. Durasi ini menunjukkan kemampuan suatu serabut

saraf untuk menghantarkan immpuls dalam waktu yang relatif

bersamaan (sinkron).

3. Latensi (mdet), diukur dari stimulus artefak sampai defleksi

pertama dari garis dasar. Latensi ini mengukur konduksi

Page 45Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 29: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

serabut motoris tercepat. Latensi yang timbul oleh karena

stimulasi pada tempat yang paling distal dari ekstremitas

(misalnya pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki)

disebut latensi distal. Latensi distal terdiri dari:

a. Waktu konduksi impuls serabut saraf (nerve conduction

time)

b. Waktu transmisi neuromuscular-junction (neuromuscular

transmisson time)

c. Waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di

sepanjang membran otot sampai ke elektrode pencatat

(muscle fiber propagation time).

Untuk pengukuran kecepatan hantar saraf (KHS) motoris,

CMAP direkam minimal pada dua lokasi sepanjang saraf,

karena adanya neuromuscular transmisson time dan muscle

fiber propagation time tersebut.

Gambar 3.16 Compound Muscle Action Potential (CMAP) (Preston dan Shapiro, 1998).

Dengan men-stimulasi saraf tepi pada dua titik yang berbeda sepanjang

perjalanannya, dan dengan menetapkan interval waktu antara stimulus

terhadap masing – masing respons, maka dapat dihitung kecepatan hantar

sarafnya. Untuk menghitung kecepatan hantar saraf motoris minimal

dibutuhkan dua titik stimulasi.

Page 46Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 30: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.17 Pengukuran kecepatan hantar saraf motoris (Delisa, Lee, Baran, Lai, dan Spielholz, 1994)

KHS dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

KHS=Jarak antar stimulus proksimal dan distal (mm )latensi proksimal (mdet )−latensi distal(mdet )

Dengan memperhatikan latensi distal, amplitudo, dan KHS, maka dapat

diketahui jenis neuropati aksonal, dimielinating atau campuran aksonal-

demielinating (Poernomo,dkk.,2003).

Tabel 3.6 Gambaran konduksi saraf pada berbagai jenis neuropati

Latensi distal Amplitudo KHSLesi aksonal N ↓ NLesi demielinating ↑ N ↓Lesi campuran ↑ ↓ ↓

KHS = kecepatan hantar saraf; ↑= memanjang,↓= menurun

Pada lesi demielinating, bisa didapatkan penurunan amplitudo bila terjadi

blok konduksi (conduction block). Amplitudo akan menurun bila

stimulasi saraf terletak proksimal dari blok konduksi tersebut. Dianggap

terjadi blok konduksi ila tejadi penurunan amplitudo CMAP lebih dari

20% dan peningkatan durasi lebih dari 15% pada stimulasi proksimal

dibandingkan sisi distal (Poernomo,dkk.,2003)

Page 47Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 31: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.18 Amplitudo CMAP dan lokasi blok konduksi. A. Jika blok konduksi terletak di antara stimulasi distal dan elektrode aktif, amplitudo

akan rendah baik pada stimulasi distal maupun proksimal. B. Jika konduksi terletak di antara stimulasi distal dan proksimal, amplitudo

akan normal pada stimulasi distal, dan menurun pada stimulasi proksimal. C. Jika blok konduksi terletak proksimal dari stimulasi yang

paling proksimal, maka saraf yang ada di distalnya tetap normal, mengakibatkan amplitudo tetap normal baik stimulasi distal maupun

proksimal (Preston dan Shapiro, 1998).

3.4.2 Kecepatan Hantar Saraf Sensoris

Berbeda dengan motor conduction study, yang mana konduksi dari

potensial aksi motoris pada sepanjang saraf motoris, neuromuskular

junction, dan serat otot. Pada sensory conduction study hanya serat saraf

terkonduksi. Karena respon dari sensoris sangat kecil (biasanya berkisar

antara 1 sampai 50 μV . Potensial pada saraf sensoris disebut Sensory

Nerve Action Potential (SNAP) yang merupakan gabungan dari semua

potensial aksi setiap serat saraf sensoris yang terstimulasi. Untuk setiap

posisi stimulasi, dalam grafik dapat terekam onset latency, peak latency,

durasi, dan amplitudo yang telah diukur. Berikut ini merupakan

penjelasannya (Preston dan Shapiro, 1998).

a. Onset latensi, onset latensi merupakan waktu dari stimulus pada

defleksi negatif yang pertama dari dasar garis untuk biphasic SNAP

atau puncak positif pertama pada triphasic SNAP. Onset latensi pada

saraf sensoris ini menunjukkan waktu konduksi saraf dari posisi

Page 48Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 32: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

stimulasi ke elektroda perekam untuk serat sensor pada kulit yang

terbesar.

b. Latensi dasar, latensi dasar ini mengukur titik puncak negatif

pertama. Meskipun serabut sensoris yang diperlihatkan oleh latensi

dasar ini tidak diketahui dengan baik, pengukuran latensi dasar

mempunyai beberapa keuntungan. Latensi dasar dapat memastikan

dengan jelas dari pada onset latensi. Perbedaannya jika pada onset

latensi terdapat noise atau artifak stimulus yang dapat membuat

kesulitan dalam menentukan kepresisisan titik pada defleksi dari garis

dasar. Kesulitan ini tidak terjadi dalam penandaan latensi dasar,

terdapat nilai normal untuk latensi dasar pada kebanyakan perekaman

stimulasi studi sensoris pada jarak yang standar. Dengan catatan,

latensi dasar tidak bisa digunakan untuk menghitung kecepatan

konduksi.

c. Amplitudo, amplitudo SNAP biasanya diukur dari garis dasar sampai

puncak negatif, tetapi juga dapat digunakan untuk mengukur dari

puncak negatif pertama sampai puncak positif yang selanjutnya.

Amplitudo SNAP ini menunjukkan jumlah semua saraf sensoris yang

mengalami depolarisasi. Amplitudo SNAP yang rendah

mengindikasikan ketidak normalan dari saraf tepi.

d. Durasi, sama halnya dengan durasi pada CMAP, durasi SNAP

biasanya diukur dari onset pada potensial sampai perpotongan garis

dasar pertama (durasi puncak negatif), tetapi juga dapat diukur dari

awal sampai akhir defleksi. Durasi SNAP lebih pendek dari pada

durasi CMAP.

Kecepatan hantar pada saraf sensoris dapat ditentukan dengan

menstimulasi satu titik, dengan membagi jarak yang ditempuh oleh onset

latensi. Kecepatan hantar sensoris menunjukkan kecepatan hantar

tercepat pada serabut saraf yang termielinasi. Kecepatan hantar sensoris

di sepanjang segmen proksimal dapat ditentukan dengan menstimulasi

proksimal dan menghitung kecepatan hantar antara posisi proksimal dan

Page 49Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 33: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

distal sebagaimana cara yang sama dilakukan pada kecepatan hantar saraf

motoris (Preston dan Shapiro, 1998).

Stimulasi pada serabut saraf sensoris akan menghasilkan potensial

aksi yang disebut Sensory Nerve Action Potential (SNAP). SNAP

menggambarkan fungsi integritas ganglion dorsalis (neuron sensoris)

beserta seluruh akson sensoris. Bila stimulasi dikerjakan di daerah distal

dan elektrode pencatat di proksimal, teknik ini disebut ortodromik. Bila

stimulasi pada daerah proksimal dan elektrode pencatat di distal, disebut

antidromik. Dalam praktek, sering hanya satu titik pencatat saja yang

digunakan, oleh karena tidak ada transmisi sepanjang neuromuscular-

junction atau serabut otot. Diukur latensi yang didapat dari stimulasi ke

respons yang ditimbulkan. Selain latensi juga harus diperhatikan

amplitudo, durasi, dan bentuk (konfigurasi) dari potensial aksi. Untuk

menghitung kecepatan hantar saraf sensoris, bisa dikerjakan stimulasi

pada satu titik saja. SNAP akan menurun atau menghilang amplitudonya

pada lesi yang mengenai ganglion dorsalis dan akson saraf sensoris. Lesi

yang letaknya proksimal dari ganglion dorsalis akan memberikan

gambaran SNAP yang normal (Poernomo,dkk.,2003).

Gambar 3.19 Sensory nerve action potential (SNAP) (Preston dan Shapiro, 1998).

Page 50Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 34: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

3.4.3 F-Wave

Disebut sebagai F-wave oleh karena pertama kali direkam pada

otot-otot kecil pada kaki (foot). F-wave merupakan potensial hasil

rangsangan supramaksimal yang bersifat antidromik untuk mengetahui

lesi proksimal. Latensi F-wave mengukur latensi dari stimulator ke kornu

anterior melalui jalur motorik kemudian kembali menuju elektrode

perekam. F-wave merupakan CMAP kecil, yang menunjukkan 1-5% dari

serabut otot (Poernomo,dkk.,2003).

Gambar 3.20 Sirkuit F-wave (Preston dan Shapiro, 1998).

Tiap – tiap respons F, berbeda latensi, konfigurasi, dan amplitudonya

karena yang aktif pada tiap stimulasi adalah populasi sel kornu anterior

yang berbeda. Latensi yang paling pendek, dianggap mewakili serabut

motoris yang paling besar dan paling cepat. Beberapa hal yang harus

diperhatikan pada pengukuran F-wave adalah:

a. Latensi minimal dan maksimal.

b. Persistensi, yaitu persentase jumlah gelombang F yang didapat pada

sejumlah stimulasi, biasanya normal berkisar 80-100% dan selalu di

atas 50%.

c. Kronodispersi, yaitu perbedaan antara respons F minimal (tercepat)

dan maksimal (terlambat). Pada orang normal pada ekstremitas atas

kronodispersi sampai 4 mdetik, dan pada ekstremitas bawah sampai 6

mdetik.

Page 51Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 35: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.21 Pengukuran F-wave. Latensi minimal adalah latensi terpendek. Kronodispersion adalah perbedaan antara latensi minimal dan maksimal. Presistensi F-wave adalah jumlah respons F yang dapat pada sejumlah stimulasi. Pada kasus ini, F-wave nihil pada stimulasi ke-4 dan

10, sehingga presistensi = 80% (Preston dan Shapiro, 1998).

F-wave bisa diperoleh pada tiap saraf motoris, kecuali pada nervus

peroneus yang sulit dibangkitkan pada orang normal. Respons F bisa

nihil pada penderita yang tidur atau dengan obat penenang. Walaupun F-

wave digunakan untuk mengetahui segmen saraf proksimal sebenarnya F

wave memeriksa seluruh jalur saraf. Bila pada pemeriksaan konduksi

saraf didapatkan perpanjangan latensi distal maka latensi F wave juga

akan memanjang. Bila didapatkan perlambatan menyeluruh (misalnya

pada polineuropati) respon F juga akan melambat, mencerminkan

perlambatan kecepatan konduksi sepanjang perjalanan saraf. Latensi F-

wave lebih pendek pada lengan dibandingkan tungkai, karena pada

lengan saraf yang dilalui lebih pendek. Demikian juga seorang yang lebih

tinggi akan mempunyai latensi F-wave lebih panjang dibanding orang

yang pendek. Jadi, latensi distal motoris, kecepatan hantar saraf, dan

tinggi penderita harus diperhatikan sebelum menginterpratasikan

perpanjangan F-wave sebagai lesi saraf proksimal (Poernomo,dkk.,2003).

Banyak orang menganggap bahwa F wave ini sangat bermanfaat

untuk diagnosis radikulopati atau pleksopati, tetapi dalam prakteknya

kegunaannya sangat terbatas. Pertama, gelombang F hanya memeriksa

saraf yang menginervasi otot yang diperiksa. Saraf yang lazim diperiksa

pada ekstremitas atas adalah nervus medianus dan ulnaris dengan

Page 52Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 36: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

elektroda aktif pada otot – otot distal. Kedua, jika radikulopati mengenai

akar saraf sensoris F wave akan normal, oleh karena ia hanya memeriksa

jalur motoris. Ketiga, kelainan F wave (perpanjangan latensi atau

hilangnya F wave) hanya terjadi kalau semua atau paling tidak sebagian

besar serabut saraf terkena. F wave masih normal pada lesi yang hanya

mengenai sebagian kecil serabut saraf motoris (Poernomo,dkk.,2003).

3.5 Artefak dan Faktor – Faktor Teknis

Mengerti dan mengenal artefak dan faktor – faktor teknis memegang

peranan penting dalam setiap pemeriksaan konduksi saraf dan

elektromiografi. Bila tidak memahami faktor-faktor tersebut, akan

menyebabkan kesulitan merekam potensial aksi, membuang waktu, dan

yang paling penting mengakibatkan salah interpretasi. Faktor – faktor

teknis yang mempengaruhi konduksi saraf dan elektroneuromiografi ada

dua macam, yaitu faktor fisiologis dan faktor non-fisiologis

(Poernomo,dkk.,2003).

3.5.1 Faktor Fisiologis

a. Temperatur

Temperatur mempengaruhi hampir semua parameter yang diukur

dalam pemeriksaan konduksi saraf, termasuk kecepatan hantar saraf,

distal latensi dan bentuk gelombang. Suhu dingin mengakibatkan

penurunan kecepatan hantar saraf, yang lebih menonjol pada serabut

besar bermielin dibanding serabut kecil. Oleh karena yang diperiksa

rutin adalah serabut saraf besar bermielin, maka perubahan temperatur

akan sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan (Poernomo,dkk.,2003).

Page 53Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 37: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.22 Pengaruh suhu terhadap pemeriksaan konduksi saraf medianus. Pada lengan yang dingin (atas) latensi distal (DL) memanjang,

kecepatan konduksi (CV) melambat, sedangkan durasi dan amplitudo meningkat (Preston dan Shapiro, 1998).

b. Umur

Umur mempengaruhi kecepatan kondusi saraf, efek ini sangat

menonjol terutama pada tahun – tahun pertama kehidupan. Mielinisasi

belum sempurna pada saat lahir, dan mielinisasi ini berlanjut setelah

beberapa tahun kemudian. Kecepatan hantar saraf pada bayi baru lahir

sekitar 50% dari nilai dewasa normal. Mielinisasi sempurna terjadi

antara umur 3-5 tahun. Kecepatan konduksi bertahan relatif menetap

sepanjang umur – umur dewasa, tapi cenderung menurun sedikit saat

umur bertambah tua yaitu mulai 20 tahun dan menjadi lebih jelas

setelah umur 40 tahun. Kecepatan hantar saraf motoris dan sensoris

menurun sekitar 0,5-4 m/det per dekade. Pengaruh ini sedikit lebih

menonjol pada sensoris dibanding motoris (Poernomo,dkk.,2003).

c. Tinggi badan

Saraf yang lebih pendek berkonduksi lebih cepat dibandingkan

saraf yang panjang. Orang yang lebih tinggi biasanya mempunyai

kecepatan hantar saraf lebih lambat dibandingkan dengan orang yang

lebih pendek. Pengaruh panjang saraf ini juga tercermin pada keadaan

normal, di mana konduksi saraf pada tungkai lebih rendah dibanding

lengan, oleh karena tungkai lebih panjang. Ada dua faktor yang

mempengaruhi tinggi badan atau panjang ekstremitas pada kecepatan

hantar saraf. Pertama, saraf sedikit demi sedikit akan semakin mengecil,

Page 54Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 38: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

mengerucut pada bagian distal. Pada umumnya semakin tinggi

seseorang, semakin panjang tungkaidan semakin kecil saraf distal.

Kedua, tungkai lebih dingin pada sisi distal dibanding proksimal, dan

tungkai biasanya lebih dingin dibanding lengan (Poernomo,dkk.,2003).

d. Segmen proksimal dan segmen distal

Kecepatan hantar saraf bervariasi antara segmen proksimal dan

segmen distal, sama halnya dengan perubahan pada diameter dan

temperatur. Pada orang normal, segmen proksimal cenderung

berkonduksi sedikit lebih cepat dibanding segmen distal. Misalnya

segmen proksimal pada saraf medianus antara aksila dan siku sedikit

lebih cepat dibanding antara siku dan pergelangan tangan

(Poernomo,dkk.,2003).

3.5.2 Faktor Non Fisiologis

a. Tahanan elektrode dan desah (noise)

Desah elektrik (electrical noise) didapatkan hampir pada semua

laboratorium ENMG. Penyebab tersering adalah interferensi 60 Hz

yang dibangkitkan oleh peralatan elektronik lain (lampu, kipas angin,

komputer, dan lain-lain). Desah ini dapat menimbulkan masalah

besar,terutama bila merekam potensial yang sangat kecil, misalnya

SNAP atau potensial fibrilasi. Biasanya desah elektrik ini dapat

dikurangi dengan lebih memperhatikan tahanan elektrode dan masalah

teknis (Poernomo,dkk.,2003).

b. Artefak stimulus

Artefak stimulus selalu timbul pada tiap pemeriksaan KHS, dan ini

berguna untuk mengetahui mulainya rangsangan timbul, sebagai tempat

awal titik latensi diukur. Artefak stimulus akan menjadi masalah kalau

tumpang tindih dengan potensial yang diukur, terutama potensial yang

kecil (misalnya potensial sensoris), oleh karena akan menyebabkan

pengukuran latensi dan amplitudo tidak akurat (Poernomo,dkk.,2003).

Page 55Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 39: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Gambar 3.23 Artefak stimulus dan kesalahan pengukuran. Artefak stimulus negatif yang besar (atas) mengakibatkan amplitudo tampak rendah dan latensi memanjang. Sebaliknya artefak stimulus positif

(bawah) menyebabkan seolah-olah amplitudo besar dan latensi memendek (Preston dan Shapiro, 1998).

c. Filter

Semua potensial yang direkam selama pemeriksaan konduksi saraf

dan EMNG jarum berjalan melewatifilter frekuensi rendah (low-

frequency filter) dan filter frekuensi tinggi (high-frequency filter)

sebelum ditampilkan. Peranan dari filter-filter ini adalah untuk

mendapatkan sinyal yang diinginkan seraya meniadakan desah elektrik

frekuensi tinggi maupun rendah. Untuk pemeriksaan konduksi motoris,

filter dipasang antara 10 dan 10kHz, sedangkan untuk sensoris biasanya

antara 20 dan 2 kHz (Poernomo,dkk.,2003).

d. Posisi katode

Bila saraf distimulasi, depolarisasi pertama timbul di bawah

katode. Dengan demikian, pengukuran jarak harus selalu antara katode

dan elektrode aktif. Untuk pemeriksaan konduksi saraf, posisi katode

harus berhadapan dengan elektrode aktif. Bila penempatan katode dan

anode stimulator terbalik, ada dua efek yang timbul. Pertama,

depolarisasi yang terjadi di bawah katode terhalang oleh anode (anode

block), sehingga potensial motoris atau sensoris yang timbul menjadi

berkurang atau nihil. Kedua, kesalahan pengukuran latensi. Bila anode

dan katode terbalik, latensi distal akan memanjang sekitar 0,3-0,4 mdet,

Page 56Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 40: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

sesuai perkiraan waktu yang dibutuhkan saraf normal untuk berjalan

2,5-3 cm, jarak antara anode dan katode (Poernomo,dkk.,2003).

Gambar 3.24 Hasil pengukuran katode dan anode posisi terbalik menyebabkan pemanjangan latensi sekitar 0,3-0,4 mdet (bawah)

(Preston dan Shapiro, 1998).e. Stimulus supramaksimal

Semua pengukuran pada pemeriksaan konduksi saraf adalah

berdasarkan asumsi bahwa semua akson pada saraf tersebut telah

mengalami depolarisasi. Untuk meyakinkan bahwa semua akson betul-

betul telah depolarisasi, harus dikerjakan stimulasi supramaksimal.

Untuk mencapai stimulasi supramaksimal, intensitas rangsangan harus

dinaikkan pelan-pelansampai potensial tidak bertambah. Pada titik ini

intensitas dinaikkan lagi 20-25% untuk meyakinkan bahwa potensial

tidak bertambah lagi. Jika stimulasi pada sisi distal saraf tidak

supramaksimal, akan timbul salah interpretasi dianggap sebagai lesi

aksonal. Jika pada sisi proksimal stimulasi tidak supramaksimal,

mungkin bisa salah interpretasi sebagai blok konduksi. Atau mungkin

juga disalah interpretasikan sebagai anomali inervasi

(Poernomo,dkk.,2003).

f. Ko-stimulasi saraf berdekatan

Walaupun harus diberikan stimulasi supramaksimal pada tiap titik

stimulasi, yang tidak kalah pentingnya adalah pencegahan ko-stimulasi

pada saraf yang berdekatan. Pada seseorang dengan saraf yang normal

dan nilai ambang stimulasi yang normal, jarang terjadi ko-stimulasi.

Pada keadaan patologis, sering dibutuhkan arus listrik yang lebih tinggi

Page 57Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 41: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

untuk mencapai stimulasi supramaksimal. Saat arus rangsangan

dinaikkan, arus ini menyebar merangsang saraf yang berdekatan,

menimbulkan amplitudo yang lebih besar (lebih dari yang sebenarnya).

Ko-stimulasi ini sering terjadi pada pemeriksaan motoris pada

ekstremitas atas saat n.medianus dan n.ulnaris distimulasi di bagian

pergelangan tangan, siku, dan aksila. Pada ekstremitas bawah, ko-

stimulasi n.peroneus dan n.tibialis dapat terjadi di sendi lutut. Ko-

stimulasi saraf berdekatan tidak dapat dihindari bila merangsang saraf

sangat proksimal dan akar saraf (Poernomo,dkk.,2003).

g. Penempatan elektrode pada pemeriksaan motoris

Pada pemeriksaan konduksi sensoris bisa digunakan metode

antidromik maupun ortodromik. Kedua metode pemeriksaan ini akan

menghasilkan latensi dan kecepatan hantar saraf yang sama, dengan

amplitudo lebih tinggi pada pemeriksaan antidromik. Oleh karena itu

pemeriksaan antidromik lebih sering dipakai pada pemeriksaan rutin

(Poernomo,dkk.,2003).

h. Jarak antara elektrode pencatat dan saraf

Potensial amplitudo rendah dapat terjadi bila elektrode pencatat

terletak terlalu ke lateral atau ke medial, tidak tepat di atas saraf

tersebut. Keadan ini sering terjadi pada pemeriksaan sensoris di mana

posisi saraf sering bervariasi. Elektrode pencatat bisa digeser sedikit ke

lateral atau ke medial dari posisi awal untuk mendapatkan potensial

amplitudo yang paling tinggi. Selain berpengaruh pada amplitudo,

penempatan elektrode juga berpengaruh terhadap latensi. Jika elektrode

pencatat terletak terlalu ke lateral atau ke medial, onset-latency akan

memendek sedangkan peak-latency relatif tidak berubah

(Poernomo,dkk.,2003).

i. Jarak antara elektrode aktif dan elektrode referens

Pada pemeriksaan konduksi saraf, setiap potensial yang

direkamadalah merupakan perbedaan aktivitas listrik antara elektrode

aktif dan elektrode referens. Untuk studi sensoris, elektrode aktif dan

referens diletakkan pada garis lurus pada saraf yang diperiksa. Dengan

Page 58Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 42: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

demikian, segmen saraf yang mengalami depolarisasi berjalan pertama-

tama di bawah elektrode aktif kemudian berlanjut ke distal berjalan di

bawah elektrode referens. Jika elektrode aktif dan referens sangat

berdekatan, keduanya mungkin sama-sama aktif pada saat yang

berbarengan, mengakibatkan potensial amplitudo rendah. Berdasar

alasan ini, jarak antar elektrode yang dianjurkan antara elektrode aktif

dan referens untuk saraf sensoris adalah 3-4 cm. Untuk pemeriksaan

motoris tidak terlalu mempengaruhi besarnya potensial

(Poernomo,dkk.,2003).

j. Posisi ekstrenitas dan pengukuran jarak

Untuk menghitung kecepatan hantar saraf dengan akurat, harus

diukur dengan tepat jarak sepanjang saraf tersebut. Diperkiran jarak di

permukaan sesuai dengan panjang saraf sebenarnya yang ada di

bawahnya. Pada sebagian besar keadaan, dugaan ini memang betul,

tetapi ada beberapa perkecualian. Misalnya, n.ulnaris yang melewati

siku, pemeriksaan konduksi yang dilakukan pada lengan dalam keadaan

ekstensi sering mengakibatkan perlambatan palsu pada segmen yang

melintas di siku. Pengukuran dengan siku fleksi,lebih mencerminkan

jarak sebenarnya, sehingga pengukuran kecepatan konduksi akan lebih

baik (Poernomo,dkk.,2003).

k. Pengukuran latensi: sweep speed dan sensitivitas

Sweep speed maupun sensitivitas dapat mempengaruhi latensi

motoris maupun sensoris. Bila sensitivitas dinaikkan (gain dikurangi),

pengukuran onset latensi akan menurun. Sebaliknya bila sweep speed

dikurangi, pengukuran latensi biasanya memanjang

(Poernomo,dkk.,2003).

3.6 Polineuropati

Sistem saraf perifer terdiri dari bermacam-macam tipe sel dan elemen

yang membentuk saraf motor, saraf sensor, dan saraf autonom. Polineuropati

adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindroma yang terjadi dari

lesi yang mengenai saraf-saraf, dimana ditampakkan sebagai kelemahan,

kehilangan kemampuan sensor, dan disfungsi autonom. Menurut Mattle et all,

Page 59Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 43: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

polineuropati adalah kondisi yang mengenai saraf-saraf perifer. Gambaran

klinis dari polineuropati biasanya terdistribusi secara simetris dan lambat

progresif. Gejala awalan dari polineuropati dalam praktek klinis sering

dimulai dari kedua kaki. Penyebab dari polineuropati bermacam-macam.

Dalam penelitian secara Consensus-based principles, polineuropati bermula

dari kaki dan simetris pada kedua sisi tubuh (Annonymous, 2013).

Gambar 3.25 Distribusi penyebaran polineuropati

Secara harfiah polineuropati diartikan sebagai disfungsi atau penyakit

pada banyak atau semua saraf tepi. Karena saraf tepi dapat berinteraksi hanya

pada jalannya penyakit yang terdekat. Polineuropati yang disebabkan karena

penyebab dapat diperlihatkan dengan gejala dan tanda yang sama.

Kebanyakan pasien polineuropati gejala pertama diperlihatkan pada saraf

motoris dan sensoris dan ditandai pada kaki dan kaki bagian bawah yang

kemudian menyebar secara proksimal pada kaki dan kemudian pada tangan

dan lengan. Meskipun banyak kesamaan, yang dapat membatasi perbedaan

diagnosis pada polineuropati dengan menentukan jawaban dari beberapa

pertanyaan yang diajukan pada pasien (anamnesa) (Preston dan Shapiro,

1998).

Kerusakan saraf tepi berhubungan dengan diabetes mellitus yang tidak

terkontrol. Lebih sering terjadi pada penderita insulin Dependent Diabetes

Page 60Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 44: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

Mellitus. Mekanisme kerusakan saraf terjadi karena gangguan metabolisme di

mana akumulasi sorbitol dan fruktosa di akson dan sel Schwann. Atau terjadi

oklusi pembuluh darah yang menyediakan nutrisi pada saraf tersebut (vasa

vasorum). Akibatnya daerah distal kehilangan beberapa akson atau lapisan

myelinnya rusak (Annonymous, 2013).

Gambar 3.26 (A) Saraf normal diperlihatkan dengan distribusi normal mielin yang banyak pada serabut saraf (B) Saraf pasien polineuropati diabetika diperlihatkan dengan pengurangan atau hilangnya sejumlah mielin pada akson (C) Perbesaran gambar B, tampak mielin yang merenggang dan

membentuk bulatan-bulatan kecil.Beberapa penyebab polineuropati yang sering terjadi adalah:

(Annonymous, 2013)

1. Polineuropati hereditas: Hereditas motoris dan sensoris neuropati,

Neuropati dengan kecenderungan pada kelumpuhan, Prophyria,

Primary amyloidosis

2. Polineuropati karena kelainan metabolik: diabetic neuropathy,

uremia, cirrhosis, gout dan hypothyroidism

3. Polineuropati karena penyakit infeksi: leprosy, mumps, thyphus,

infeksi HIV

Berbagai macam pencetus dan kondisi dapat mengakibatkan

polineuropati dengan caranya masing – masing. Kerusakan pada neuronal

nuclei seperti pada diabetes melitus, mengakibatkan degenerasi tipe axonal

retrogade sekunder distal. Dilain pihak kerusakan langsung pada bagian axon

mengakibatkan degenerasi tipe Wallerian pada axon bagian distal. Berbeda

pula pada polineuropati karena zat toksik, sel schwann menjadi target

serangan, sehingga menyebabkan demyelinisasi. Kerusakan bisa terjadi pada

Page 61Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 45: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

axon, myelin, tubuh sel, penghubung jaringan otot dan suplai nutrisi darah

pada saraf (Annonymous, 2013).

Gambar 3.27 Pola kerusakan sel saraf

Polineuropati merupakan kasus yang banyak dijumpai. Pada

pemeriksaan elektrodiagnostik harus ditentukan:

1. Onset: akut/subakut/kronis

2. Serabut saraf yang terkena: motoris/sensoris/autonom/serabut dengan

diameter besar atau kecil

3. Patologi yang mendasari yaitu bagian saraf yang terjadi lesi:

aksonal/demielinating/campuran

Pada umumnya gejala klinis berupa kelainan yang bersifat kronis

progresif yang artinya mengalami gejala yang lambat tetapi terus mengalami

peningkatan, terdiri dari:

1. Parestesia yaitu kulit terasa abnormal seperti terbakar atau menusuk-

nusuk yang terjadi tanpa stimulus dari luar, hipoestesia atau

berkurangnya sensitivitas terhadap rangsang sensorik yang dimulai dari

ujung distal ekstremitas bawah yaitu pada ujung jari terasa tebal-tebal.

Keluhan ini akan menjalar ke atas, dan setelah mencapai daerah sekitar

lutut, keluhan ini mulai dirasakan pada ujung jari tangan. Hal ini

Page 62Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 46: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

disebabkan oleh karena jarak antara mielum lumbal sampai ujung

radiks dermatom L3 (perhatikan gambar 3.8) lebih kurang sama dengan

jarak antara mielum servikal sampai ke ujung radiks dermatom T1

(perhatikan gambar 3.8).

2. Kelemahan otot, astrofi yang dimulai dari ujung distal ekstremitas bisa

di ujung jari kaki atau tangan.

3. Hiporefleksia atau arefleksia yaitu kurang adanya refleks yang

ditimbulkan.

Secara elektrofisiologi polineuropati dibedakan menjadi

polineuropati demielinating dan aksonal, yang bisa terjadi segmental atau

pada bagian-bagian tertentu, generalisata atau secara lebih menyeluruh,

maupun campuran.

1. Polineuropati demielinating generalisata

a. Keadaan ini dijumpai pada polineuropati yang disebabkan karena

hereditas atau keturunan.

b. Pemeriksaan KHS: diperlihatkan dengan adanya peningkatan distal

latensi dan penurunan kecepatan hantar saraf, CMAP dan SNAP

pada seluruh saraf perifer dan amplitudo relatif normal

c. EMG jarum: tidak didapatkan tanda denervasi artinya tidak ada

impuls yang dihantarkan dari saraf ke otot.

2. Polineuropati demielinating segmental generalisata

a. Keadaan ini dijumpai pada acute demyelinating poliradiculopathy

yang merupakan jenis paling umum dari Guillain-Barre Syndrome

(GBS) yang merupakan gejala gangguan pada saraf spinalis dan

saraf cranialis, terjadi proses autoimmune dengan respons inflamasi

atau peradangan pada radiks atau serabut saraf dan saraf tepi

(poliradiculopati dan polineuropati) serta dapat dijumpai pada

Morbus Hansen atau kusta yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae yang pertama menyerang pada saraf tepi.

b. Seringkali hanya mengenai saraf motorik.

c. Pemeriksaan KHS:

Page 63Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya

Page 47: BAB III

Laporan Kuliah Kerja Lapang

CMAP: peningkatan distal latensi, perlambatan kecepatan

hantar saraf dan blok konduksi

SNAP: normal, bila hanya mengenai saraf motorik

d. EMG jarum: akan didapatkan tanda denervasi yaitu tidak ada impuls

yang dihantarkan dari saraf ke otot apabila disertai lesi aksonal.

3. Polineuropati aksonal generalisata

a. Keadaan ini dapat dijumpai pada neuropati toksik yaitu penyakit

saraf yang dikarenakan adanya racun.

b. Dapat mengenai saraf motorik, sensorik atau campuran

c. Pemeriksaan KHS: didapatkan penurunan amplitudo CMAP atau

SNAP.

d. EMG jarum: didapatkan tanda denervasi yaitu tidak ada impuls yang

dihantarkan dari saraf ke otot pada otot – otot yang terkena

4. Polineuropati aksonal-demielinating generalisata

a. Dapat dijumpai pada polineuropati akibat diabetes melitus dan

uremia yaitu fungsi ginjal yang tidak dapat membuang urea keluar

dari tubuh sehingga menumpuk dalam darah.

b. Mengenai saraf motorik dan sensoris.

c. Pemeriksaan ENMG memenuhi kriteria aksonal dan demielinating

polineuropati.

Strategi ENMG pada polineuropati adalah dengan melakukan

pemeriksaan KHS motoris dan sensoris rutin pada ekstremitas atau bagian

atas dan bawah (Poernomo,dkk.,2003).

Page 64Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya