BAB III
-
Upload
eka-saputra -
Category
Documents
-
view
257 -
download
3
description
Transcript of BAB III
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang bersifat
terapan, dimana penelitian ini dapat segera dirasakan oleh kalangan yang
menggunakan untuk menentukan masalah sehingga hasil penelitian dapat segera
diaplikasikan.
Menurut Sugiyono (2009 : 11) menyatakan bahwa penelitian terapan
dilakukan dengan tujuan menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan
suatu teori yang diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah praktis.
Penelitian terapan ini termasuk kedalam klasifikasi penelitian berdasarkan
teknik pengumpulan data dalam kelompok kuantitatif. Penelitian ini berorientasi
kepada pemenuhan kebutuhan perusahaan.
3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian
3.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Perusahaan Tambang Batubara Bawah
Tanah PT. Allied Indo Coal Jaya yang terletak di Desa Salak, Kecamatan Talawi,
Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.
3.2.2 Lokasi Dan Kesampaian Daerah
Secara administratif konsesi penambangan PT. Allied Indo Coal Jaya
berada di Desa Salak, Kecamatan Talawi, Kotamadya Sawahlunto, Provinsi
Sumatera Barat, wilayah tersebut terletak di sebelah Timur Laut Kota Padang.
Secara geografis Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT. AICJ terletak pada
38
39
koordinat 100º46’48’’ BT - 100º48’47’’ BT dan 0º35’34’’ LS - 0º36’59’’ LS,
dengan batas lokasi kegiatan sebagai berikut:
1. Sebelah utara : Wilayah Desa Batu Tanjung dan Desa Tumpuak Tangah,
Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto
2. Sebelah Timur : Wilayah Jorong Bukit Bua dan Koto Panjang Nagari V
Koto, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung
3. Sebelah Selatan : 1. Wilayah Jorong Koto Panjang Nagari V Koto,
Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung.
2. Wilayah Desa Salak, Kecamatan Talawi, Kota
Sawahlunto
4. Sebelah Barat : Wilayah Desa Salak dan Desa Sijantang Koto, Kecamatan
Talawi, Kota Sawahlunto
Untuk mencapai Wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT.
Allied Indo Coal Jaya dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat (Padang) dapat
ditempuh dengan menggunakan jalur Lintas Sumatera melalui Lubuk Selasih –
Kota Solok – Kota Sawahlunto sejauh 90 km dengan waktu tempuh ± 3-4 jam
dengan menggunakan kendaraan roda 4. (Lampiran B).
3.2.3. Keadaan Geologi Regional
A. Geologi
Cekungan Ombilin terbentuk sebagai akibat gerak mendatar menganan
sistem sesar Sumatra pada masa Paleosen awal (Marhaendrasworo,1999).
Akibatnya terjadi tarikan yang dibatasi oleh sistem sesar normal berarah utara -
selatan. Daerah tarikan tersebut dijumpai di bagian utara cekungan pada daerah
40
pengundakan mengiri antara sesar Sitangkai dan sesar Silungkang yaitu terban
Talawi. Sedangkan bagian selatan cekungan merupakan daerah kompresi yang
ditandai oleh terbentuknya sesar naik dan lipatan (terban Sinamar) seperti pada
lampiran C. Ketebalan batuan sedimen di cekungan Ombilin mencapai 4.500 m
terhitung sangat tebal untuk cekungan berukuran panjang 60 km dan
lebar 30 km.
Dari hasil beberapa penyelidikan yang telah dilakukan, daerah penelitian
diyakini terletak pada sub-cekungan Kiliran yang merupakan bagian dari suatu
sistim cekungan intramontana (cekungan antar pegunungan), yang merupakan
bagian tengah bentangan Pegunungan Bukit Barisan. Cekungan-cekungan tersebut
mulai berkembang pada pertengahan Tersier, sebagai akibat pergerakan ulang dari
patahan-patahan yang menyebabkan terbentuknya cekungan-cekungan tektonik di
daerah tinggi (intra mountain basin). Cekungan-cekungan yang terbentuk di
antara pegunungan tersebut merupakan daerah pengendapan batuan-batuan tersier,
yang merupakan siklus sedimentasi tahap kedua.
B. Geomorfologi
Secara umumnya Geomorfologi daerah penyelidikan dapat digolongkan
sebagai perbukitan yang rendah sampai terjal, dengan kemiringan lereng berkisar
antara 50 sampai 300, yang dikontrol oleh litologi berupa rijang, metagamping,
lava, breksi, batupasir, batulanau, dan batulempung, serta struktur sesar.
Sedangkan pada kawasan yang berupa dataran mempunyai kemiringan lereng
berkisar antara 00 sampai 40, dengan litologi batupasir, batulempung, serta
rombakan dari batuan yang lebih tua. Ketinggian bukit berkisar antara 140 m
hingga 300 m dari permukaan laut (dpl). Puncak tertinggi pada lereng timur
41
berupa bukit kapur dengan ketinggian 300 m dpl. Lereng-lereng perbukitan
umumnya cukup terjal dengan kemiringan lereng berkisar antara 300 hingga 500.
Pada umumnya sungai yang mengalir pada daerah penelitian berada pada
stadium muda dimana dasarnya relatif masih berbentuk "V". Adanya erosi
horizontal yang relatif lebih intensif dibandingkan dengan erosi vertikal di
beberapa tempat, sehingga terlihat pada beberapa sungai mempunyai dasar telah
berbentuk "U". Secara umum pola aliran di wilayah ini dapat dikategorikan
sebagai sistim pola aliran sub paralel. Kenaikan permukaan air sungai pada saat
musim hujan antara 0,5 hingga 2,50 meter.
C. Litologi
Daerah Parambahan terdiri dari empat satuan batuan yaitu batu pasir
(sandstone), batu lempung (claystone), batubara (coal) dan batu lanau (siltstone).
Tabel 3.1Densitas Jenis Batuan Ombilin
No Jenis Batuan Density (ton/m3)
1.2.3.4.5.6.7.8.
ClaystoneCoaly Clay
Carbonaceous ClayCoal
Sandstone (atap)Sandstone (lantai)
Siltstone (atap)Siltstone (lantai)
2,502,452,451,352,242,472,592,60
Sumber : Satuan Kerja Kajian Operasi dan Pelaporan, PT. AICJ, 2005
D. Stratigrafi
42
Secara regional stratigrafi daerah Sawahlunto dapat dibagi menjadi dua
bagian utama, yaitu komplek batuan Pra – Tersier dan komplek batuan Tersier.
Sratifigrafi daerah sawahlunto berdasarkan umurnya dapat dibagi menjadi dua
bagian utama, yaitu :
1. Komplek batuan Pra Tersier terdiri dari:
a. Formasi Silungkang
Nama formasi ini mula-mula diusulkan oleh Klompe, Katili dan Sukendar
pada tahun 1958. Secara petrografi formasi ini masih dapat dibedakan
menjadi empat satuan yaitu : Satuan lava andesit, satuan lava basalt,
satuan tufa andesit, dan satuan tufa basalt. Umur dari formasi ini di
perkirakan Perm sampai Trias.
b. Formasi Tuhur
Formasi ini di cirikan oleh lempung abu-abu kehitaman berlapisan baik
dengan sisipan-sisipan batu pasir dan batu gamping hitam. Formasi ini
diperkirakan berumur Trias.
2. Komplek batuan Tersier terdiri dari:
a. Formasi Singkarewang.
Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Kastowo dan Silitonga pada
tahun 1975. Formasi ini terutama terdiri dari serpih gampingan sampai
napal berwarna coklat kehitaman, berlapis halus dan mengandung fosil
ikan serta tumbuhan. Formasi ini di perkirakan berumur Eosen Tengah –
Eosen Atas.
b. Formasi Sawahlunto
43
Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh R.P. Kusumadinata dan TH.
Matasak pada tahun 1979. Formasi paling penting karena mengandung
batubara yang dicirikan oleh adanya batu lanau, batu lempung, dan
berselingan dengan batubara. Diperkirakan umur formasi ini Oligosen.
c. Formasi Brani
Formasi ini terdiri dari konglomerat dan batu pasir kasar yang berwarna
cokelat keunguan, dengan kondisi terpilah baik (well sorted), padat, keras,
dan umumnya memperlihatkan adanya suatu perlapisan. Formasi ini
diperkirakan berumur Paleosen.
d. Formasi Sawahtambang
Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Kastowo dan Silitonga pada
tahun 1975. Bagian bawah formasi ini dicirikan oleh beberapa siklus
endapan yang terdiri dari batu pasir konglomerat, batu lanau dan batu
lempung, sedangkan bagian atas didominasi oleh batu pasir konglomerat
tanpa adanya sisipan lempeng atau batu lanau. Umur formasi ini
diperkirakan lebih tua dari Miosen bawah.
e. Formasi Ombilin
Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Kastowo dan Silitonga pada
tahun 1975. Formasi ini terdiri dari lempung gampingan, napal dan pasir
gampingan yang berwarna abu-abu kehitaman, berlapis tipis dan
mengandung fosil. Umur dari formasi ini diperkirakan Miosen bawah.
f. Formasi Ranau
44
Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Marks pada tahun 1961.
Formasi ini terdiri dari tufa batu apung berwarna abu-abu kehitaman.
Umur dari formasi ini diperkirakan Pleistosen.
Satuan Kerja Kajian Operasi dan Pelaporan, PT. AICJ, 2005
Gambar 3.1 Stratigrafi Cekungan Ombilin.
3.2.4. Izin Usaha Pertambangan PT. AICJ
45
Pada tahun 2008 PT. Allied Indo Coal berubah nama menjadi PT. Allied Indo
Coal Jaya (PT. AICJ) merupakan izin Walikota berupa Kuasa Pertambangan
dengan luas area 372,40 Ha, kemudian pada tanggal 4 April 2010 Izin Kuasa
Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas area 372,40
Ha.
Sumber : Departemen Engineering PT. AICJ
Gambar 3.2 Batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT. AICJ
46
3.2.5. Cadangan Dan Kualitas Batubara PT. AICJ
Dari hasil eksplorasi telah diketahhui terdapat 2 lapisan utama yaitu B1
dan C, dimana lapisn C mengalami pemisahan (splitting) menjadi lapisan C1 dan
C2. Lapisan B1 merupakan lapisan batubara dengan ketebalan berkisar 1,30 –
1,40 m. Lapisan B1 ini dapat ditambang dengan tambang terbuka dan tambang
bawah tanah.
Lapisan C1 merupakan lapisan batubara dengan ketebalan berkisar 2,0 –
4,0 m di bawah lapisan batubara B1 sehingga selain ditambang dengan tambang
terbuka jug kemungkinan untuk ditambang dengan tambang bawah tanah.
Lapisan C2 merupakan lapisan batubara dengan ketebalan berkisar 3,0 –
6,0 m berada hampir sama dengan lapisan batubara C1.
Tabel 3.2Cadangan Batubara PT. AICJ
NO Lokasi Tambang (Central Area)
Sisa Cadangan Yang Dapat
Ditambang (Ton)
1 Seam B1 1.359.540,95
2 Seam C1 1.790.257,85
3 Seam C2 1.494.794.00
Total Cadangan 4.644.592,80
Sumber ; PT. Allied Indo Coal Jaya, 2003
Kualitas batubara di PT. AICJ termasuk tingkat bituminous dengan kadar
kalori yang berbeda setiap lapisannya, seperti yang terlihat pada tabel 3.3.
Tabel 3.3
47
Kualitas Batubara PT. AICJ
Lokasi – posisi lapisan
No
.
Komposisi Kualitas Satuan Seam B1 Seam C1 Seam C2
1 Proximate Analysis
Ash % 7,1 11 9,4
Volatile Matter % 37,3 35,3 37,3
Fixed Carbon % 51,6 49,3 49,7
2 Total Sulfur % 0,51 0,51 0,43
Pyrite % 0,11 0,08 0,49
Organic % 0,4 0,43 0,34
Sulfur % < 0,01 < 0,01 < 0,01
3 Kalori Kcal/Kg 7.220 6.860 7.020
4 Ultimate Analysis
Carbon % 81,3 81,4 82
Hydrogen % 5,85 5,99 6,15
Nitrogen % 1,61 1,43 1,44
Oxygen % 11,24 11,18 10,41
Sumber : PT. Allied Indo Coal Jaya, kualitas batubara dalam keadaan air dry base (adb)
3.2.6. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini yaitu
mulai dari tanggal 28 Oktober 2013 sampai dengan selesai pengambilan data,
seperti schedule pada lampiran E.
3.3. Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan suatu atribut dari sekelompok objek yang
diteliti yang mempunyai variasi satu dengan yang lain dalam kelompok tersebut.
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti maka variabel penelitian meliputi
perencanaan sistem ventilasi di PT. Allied Indo Coal Jaya (AICJ).
48
3.4. Jenis Dan Sumber Data
3.4.1. Jenis Data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Jenis data ini merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek
penelitian terutama sistem ventilasi tambang bawah tanah. Data tersebut berupa
pengamatan aplikasi di lokasi penambangan dan pengukuran secara langsung,
data itu berupa; dimensi lubang bukaan, kandungan kadar gas dan pengotor.
2. Data Sekunder
Data ini merupakan data yang telah ada di perusahaan berupa arsip dan
laporan-laporan. Adapun data Sekunder tersebut adalah peta rencana
penambangan, tenaga kerja, peralatan penunjang penambangan, software
kazemaru.
3.4.2. Sumber Data
Sumber data yang penulis dapatkan berasal dari pengamatan langsung,
arsip-arsip dan dokumentasi dari PT. Allied Indo Coal Jaya (AICJ) serta studi
kepustakaan.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Studi lapangan, diantaranya pengamatan secara langsung sistem ventilasi yang
digunakan pada tambang batubara bawah tanah PT. AICJ dan melakukan
pengukuran menggunakan alat ukur yang tersedia.
49
2. Studi pustaka, mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan membaca buku-
buku literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas sehingga
dapat digunakan sebagai landasan dalam pemecahan masalah.
3.6. Teknik Pengolahan Data
Adapun teknik yang digunakan penulis dalam pengolahan data yaitu :
3.6.1. Metoda Perhitungan Manual
Metoda perhitungan manual pada system ventilasi meliputi tahanan
ventilasi, kuantitas udara dan kualitas udara.
A. Tahanan Ventilasi
Menurut Hartman, H.L (1997), perhitungan tahanan ventilasi dinyatakan
dalam :
Keterangan :
h = Tahanan Ventilasi (mm air)
K = Koefisien Gesek Terowongan (kgs²/m4)
u = Panjang Keliling Penampang Terowongan (m)
L = Panjang Terowongan (m)
V = Kecepatan Angin (m/s)
a = Luas Penampang Terowongan (m²)
V = Qa
(Q = jumlah aliran)
h=KULa
V ²
50
B. Perhitungan Kuantitas Udara
Perhitungan dan penentuan kuantitas udara di permukaan kerja dapat
dilakukan dengan menghitung Luas Jalur Udara (Luas Penampang Terowongan),
kebutuhan pernafasan pekerja dan kebutuhan udara pada front penambangan,
yaitu dengan mengukur tinggi serta lebar terowongan. Juga mengukur luas
penghalang udara. Di dalam lubang bukaan, besarnya luas penampang tergantung
kepada bentuk penampang jalur udara tersebut.
1. Luas Jalur Udara (Luas Penampang Terowongan)
Pada perencanaan penambangan PT. AICJ terowongan berbentuk
trapesium, sehingga luas penampang terowongan adalah sebagai berikut :
Gambar 3.3. Penampang Jalur Udara Trapesium
Keterangan:
A = Luas Penampang (m2)
H = Tinggi penampang (m)
W = Lebar Penampang Bawah (m)
T = Lebar Penampang Atas (m)
51
Keterangan:
Q = Kuantitas udara (m3/dtk)
V = Kecepatan aliran udara tambang (m/dtk)
A = Luas penampang jalan udara tambang (m2)
2. Kebutuhan Pernafasan Pekerja
Jika jumlah pekerja yang direncanakan adalah sebanyak 21 orang, maka
kebutuhan udara untuk pernafasan pekerja dapat dihitung dengan cara koefisien
kebutuhan pernafasan dikalikan dengan jumlah pekerja yaitu : 0.1 m3/det x 21
orang
3. Kebutuhan Udara Pada Front Penambangan
Kebutuhan udara pada front penambangan yaitu dengan menghitung Panas
udara tambang agar tercipta kondisi kerja yang nyaman dan aman.
4. Perhitungan Kebutuhan Udara Untuk Menetralkan Gas Methan
Gas methan ini merupakan gas yang selalu berada dalam tambang
batubara dan sering merupakan sumber dari suatu peledakan tambang. untuk
menetralkan gas methan digunakan rumus sebagai berikut :
Q = [ Qg / ( MAC – B ) ] – Qg
Keterangan :
Qg = masukan gas pengotor
B = konsentrasi gas dalam udara normal
MAC = maximum allowable concentration
Q = V x A
52
C. Perhitungan Kualitas Udara
1. Berdasarkan nilai ambang batas minimum oksigen yaitu 19,5%
Jumlah udara yang dibutuhkan = Q cfm Pada pernafasan, jumlah oksigen
akan berkurang sebanyak 0,1 cfmm sehingga akan dihasilkan persamaan untuk
jumlah oksigen sebagai berikut :
Keterangan :
Q = Jumlah udara yang diperlukan (m3/dtk)
= Jumlah udara yang diperlukan (m3/dtk)
(O2 in intake) = Konsentrasi O2 di atmosfer (%)
(O2 consumed) = Kuantitas yang dikomsumsi
(O2 downstream) = Nilai ambang batas O2 (19,5%)
2. Berdasarkan nilai ambang batas maksimum CO2 yaitu 0,5%
Dengan harga angka bagi pernafasan = 1,0 maka jumlah CO2 pada
pernafasan akan bertambah sebanyak 1,0 x 0,1 = 0,1 cfm. Dengan demikian akan
didapat persamaan :
Keterangan :
Q = Jumlah udara yang diperlukan (m3/dtk)
(CO2 in intake) = Konsentrasi CO2 di atmosfer (%)
(CO2 consumed) = Kuantitas yang dikomsumsi
(CO2 downstream) = Nilai ambang batas CO2 (0,5%)
(O2 in intake)Q- (O2 consumed) = (O2 down stream)Q
(CO2 in intake)Q + (CO2 produced) = (CO2 down stream)Q
53
3.6.2. Metoda Analisis Kazemaru
Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan Kazemaru adalah :
1. Elevasi
2. Temperatur
3. Aliran udara
4. Jarak antar node
5. Luas area
6. Tahanan
54
3.7. Kerangka Metodologi
Adapun langkah-langkah penelitian yang digunakan penulis dapat dilihat
pada kerangka metodologi berikut ;
Studi Lapangan
Pengamatan dan pengukuran secara langsung sistem ventilasi yang digunakan pada tambang batubara bawah tanah PT. AICJ.
Studi LiteraturMengumpulkan data yang dibutuhkan
dengan membaca buku-buku literatur yang berkaitan dengan masalah.
Identifikasi Masalah
Batasan Masalah
Rumusan Masalah
Pengumpulan DataDalam teknik pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder
Pengolahan Data
a. Metoda Perhitungan Manualb. Metoda Analisis Kazemaru
Kesimpulan Dan Saran
FINISH
START