BAB II.docx

36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Nyeri Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. B. Fisiologi nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri

Transcript of BAB II.docx

Page 1: BAB II.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang

dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori

subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan

kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan.

B. Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung

syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara

potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis

reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak

bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),

somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang

berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari

Page 2: BAB II.docx

daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan

kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan

sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri

yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi

sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana

nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai

Page 3: BAB II.docx

teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori

gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate

control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat

diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.

Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan

dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup

pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol

desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C

melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls

melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-

A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter

penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka

akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat

terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan

yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang

dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka

pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls

nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang

memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti

endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.

Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat

Page 4: BAB II.docx

pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo

merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon fisiologis terhadap nyeri

a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

ii. Peningkatan heart rate

iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

iv. Peningkatan nilai gula darah

v. Diaphoresis

vi. Peningkatan kekuatan otot

vii. Dilatasi pupil

viii. Penurunan motilitas GI

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

i. Muka pucat

ii. Otot mengeras

iii. Penurunan HR dan BP

iv. Nafas cepat dan irreguler

v. Nausea dan vomitus

vi. Kelelahan dan keletihan

Page 5: BAB II.docx

Respon tingkah laku terhadap nyeri

a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari & tangan

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd

aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi

sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau

menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu

letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri

hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi

mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini

bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang

belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran

Page 6: BAB II.docx

perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan

informasi pada klien.

b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat

subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.

Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan

orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri

tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang

toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan

stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri

mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi

terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum

nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana

orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar

endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit

merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri

lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari

ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan

klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang

menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila

klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang

Page 7: BAB II.docx

tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus

seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien

masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,

sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila

klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)

dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam

membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan

kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji

respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika

sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung

memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri

adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami

penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

b. Jenis kelamin

Page 8: BAB II.docx

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara

signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya

(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh

nyeri).

c. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon

terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan

bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan

kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

d. Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan

dan bagaimana mengatasinya.

e. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya

distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik

relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

f. Anxietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan

seseorang cemas.

g. Pengalaman masa lalu

Page 9: BAB II.docx

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat

ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.

Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di

masa lalu dalam mengatasi nyeri.

h. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan

sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang

mengatasi nyeri.

i. Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

C. Skala Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua

orang yang berbeda. Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan dengan

menggunakan berbagai alat pengukuran nyeri salah satu nya yaitu menggunakan

skala nyeri numerik. (Tamsuri, 2007).

Page 10: BAB II.docx

Gambar 2

Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,

tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan distraksi

Nyeri

ringan

Nyeri

berat

Nyeri

sedang

Nyeri

sangat

berat

Tidak

Ada

nyeri

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Page 11: BAB II.docx

10 : Nyeri sangat berat Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

C. Manajemen Nyeri Non Farmakologis

Terapi Musik

Tehnik Terapi Musik

1) Memilih sebuah tempat yang tenang dan bebas dari gangguan untuk

memulai melakukan terapi musik, khusunya untuk relaksasi, serta dapat

disempurnakan dengan menyalakan lilin wangi aromaterapi guna

membantu menenangkan tubuh.

2) Pada awalnya mendengarkan berbagi jenis musik untuk mengetahui respon

dari tubuh.

3) Lalu duduk di lantai, dengan posisi tegak dengan kaki bersilangan, ambil

nafas dalam-dalam, tarik dan keluarkan perlahan-lahan melalui hidung.

4) Mendengarkan dengan seksama instrumennya saat musik dimainkan,

seolah-olah pemainnya sedang ada di ruangan memainkan musik khusus.

Bisa dengan duduk lurus di depan speaker, atau bisa juga menggunakan

headphone.

5) Membayangkan gelombang suara itu datang dari speaker dan mengalir

keseluruh tubuh. Fokuskan dalam ke dalam jiwa ditempat mana yang ingin

disembuhkan dan suara tersebut mengalir ke sana. Mendengarkan, sembari

membayangkan alunan musik mengalir melewati seluruh tubuh dan

melengkapi kembali sel-sel, lapisan tipis tubuh dan organ dalam.

Page 12: BAB II.docx

6) Mendesain sesi mendengarkan musik secara teratur setelah mengetahui

bagaimana tubuh merespon pada instrumen, warna nada, dan gaya musik

yang didengarkan.

Idealnya, terapi musik dilakukan selama kurang lebih 30 menit hingga satu

jam setiap hari, namun jika tidak memiliki cukup waktu minimal selama10 menit,

karena selama waktu 10 menit musik telah membantu pikiran untuk beristirahat.

D. MANAJEMEN NYERI PASCAOPERASI

The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk

meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini

dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang

logis untuk mengatasi nyeri.

Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan

adalah Obat Anti-

Inflamasi non steroid,

Aspirin, atau Paracetamol

yang merupakan obat-

obatan yang bekerja di

perifer. Apabila dengan

obat-obatan ini, nyeri tidak

dapat teratasi, maka

diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah seperti kodein dan

Page 13: BAB II.docx

dextropropoxyphene disertai dengan obat –obat lain untuk meminimalisasi efek

samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol

nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan Opioid Kuat,

misalnya Morfin.

Belakangan, World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)

Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya,

nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan

dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring

berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan

dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah

pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak

lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan

menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah.

Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan

menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.

E. Anestesi Lokal

Page 14: BAB II.docx

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif

terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya

perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang

dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna

untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga

melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang

dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang

efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi

anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau

sentral. Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat

mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor

penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri

pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil

terbaik.

F. Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti

Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.

Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan

menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan

analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau

saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan

anestesi untuk pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-

teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok simpatik diperlukan untuk

Page 15: BAB II.docx

meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila blokade pusat seperti

blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.

G. Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di

tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah

selesai operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung

vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang

berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan

pasca-operasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher,

toraks atau daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling

umum digunakan. Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat

menghasilkan analgesia sangat efektif, teknik ini juga menghasilkan efek

samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik dan motorik,

mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang

diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.

H. Analgesik Non-Opioid

I. Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh

dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-

obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang.

J. Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh

dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera

dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan,

mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki

waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis

Page 16: BAB II.docx

tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja

aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.

K. Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,

menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek

antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin

untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-

obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis

dengan Reye’s Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai

analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun.

L. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga

maksimum 4g, per oral per hari.

M. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik

dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis

prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi

asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama

peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya

tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS

pada umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan

kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.

N. Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya

tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka

waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang

dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki

Page 17: BAB II.docx

insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang dan harus

digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas

antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-

obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung

dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek

samping.

O. Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap

riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang

berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal

sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk

OAINS atau aspirin.

P.

Q. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara

klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah

dibandingkan dengan OAINS lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak,

naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin dan asam mefenamat. Apabila

Page 18: BAB II.docx

rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti

supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia

sebagai supositoria dan diserap dengan baik.

R. Opioid Lemah

S. Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid

(seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang

dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit

ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol

tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang

dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet.

T. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum

300mg setiap hari.

U. Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi

memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam

kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine

harus diawasi.

V. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai

60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.

W. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat

berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang

berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:

X.

Page 19: BAB II.docx

Y. Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai

maksimum 8 tablet perhari.

Z. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan

Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat

digunakan.

AA. Opioid Kuat

BB. Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral

membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat

dimulai dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan

modus tindakan. Pemberian awal akan mencapai konsentrasi obat yang

efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik obat

di dalam darah.

CC. Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah

pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau

besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin

tersedia pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga

opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per

oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara

pemberian lain harus dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat

diberikan melalui suntikan.

DD. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada

variasi yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah

injeksi intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau

Page 20: BAB II.docx

penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi

apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu

penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu tubuh,

hipovolemia dan hipotensi semua ini akan mengakibatkan menurunnya

penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan hipotiroidisme keduanya

menyebabkan penurunan metabolisme yang menyebabkan peningkatan

kepekaan terhadap obat-obatan.

EE.

FF. Metode menggunakan obat opioid

GG. Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang

paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk

mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang

akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah

dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di

samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus

dan hati. Jadi rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.

HH. Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi

obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak

melewati metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering

digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki

durasi kerja yang panjang (6 jam).

II. Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada

metabolisme jika diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang

Page 21: BAB II.docx

berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan

muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi

tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan

kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok

untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid

kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan

opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia.

JJ. Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara

berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek

analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana

untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara

reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular

opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk

mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor

nyeri dan pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari

tingkat nyeri.

KK. Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk

memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-

operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki

kelemahan fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan,

meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan

nyeri dengan lebih cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik

infus, baik oleh suntikan intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali

Page 22: BAB II.docx

dalam pengawasan ketat dan berada dalam unit terapi intensif karena secara

inheren berbahaya jika pasien dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk

periode singkat.

LL.

MM. Patient Controlled Analgesia (PCA)

NN. Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui

bahwa kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun

suatu sistem di mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka

sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri

menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa.

Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan

demikian mereka dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan,

menurut keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma dari analgesik

akan relatif konstan dan efek samping yang disebabkan oleh fluktuasi

tingkat plasma akan dihilangkan.

OO. Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka

pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan

secara rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan

untuk PCA. Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat,

durasi kerja sedang, dan memiliki margin keselamatan yang luas antara

efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung pada

ketersediaan, preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat

parameter-parameter lainnya perlu ditentukan termasuk ukuran bolus dosis,

Page 23: BAB II.docx

jangka waktu minimum antara dosis (kunci-habis) dan dosis maksimum

yang diperbolehkan.

PP. Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh.

Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang

diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah

memadai. Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk

mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus

cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya,

jangka waktu ini berkisar antara 5 dan 10 menit cukup untuk sebagian besar

opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih logis untuk menerima bahwa

persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi dan beberapa pasien

mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk mencapai nyeri yang

memadai.

QQ. Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke

titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri.

Alasan untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan

kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf

Page 24: BAB II.docx

rumah sakit dan harapan setelah operasi.