BAB II.docx

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Malaria 2.1.1 Definisi Penyakit Malaria Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus plasmodium. (buku malaria hal 1) Malaria merupakan penyakit protozoa yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles.(harison hal 1001) Malaria adalah penyakit infeksi parasite yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. (ipd jilid 3 hal 2813) 2.1.2 Etiologi Penyakit Malaria Penyebab infeksi malaria ialahh plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptile dan mamalia. Termasuk genus plasmodium dari family plasmodidae. 5

Transcript of BAB II.docx

Page 1: BAB II.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Malaria

2.1.1 Definisi Penyakit Malaria

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler

dari genus plasmodium. (buku malaria hal 1)

Malaria merupakan penyakit protozoa yang ditularkan melalui gigitan nyamuk

Anopheles.(harison hal 1001)

Malaria adalah penyakit infeksi parasite yang disebabkan oleh plasmodium yang

menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam

darah. (ipd jilid 3 hal 2813)

2.1.2 Etiologi Penyakit Malaria

Penyebab infeksi malaria ialahh plasmodium, yang selain menginfeksi manusia

juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptile dan mamalia.

Termasuk genus plasmodium dari family plasmodidae.

Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan

mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan

seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina. Secara keseluruhan

ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung

dan reptile dan 22 pada binatang primata).

5

Page 2: BAB II.docx

6

2.1.3 Manifestasi klinis Malaria

Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan

splenomegali. keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa

kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri

sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tak enak, diare ringan, dan

kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada P.vivax dan ovale ,

sedang pada P.falciparum dan malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan

gejala dapat mendadak

Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode

dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan

selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan

gigi-gigi saling terantuk. Diikutindengan meningkatnya temperatur; diikuti

denngan periode panas : penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap

tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat; kemudian periode

berkeringat : penderita berkeringat banyak dan temperature turun, dan penderita

meraasa sehat. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi P.vivax, pada

P.falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak

panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum, 36jam pada P.vivax dan

ovale,60jam pada P.malariae.

Page 3: BAB II.docx

7

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa

mekanisme terjadinya malaria adalah : pengrusakan eritrosit oleh parasit,

hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses complement

mediated immune complex, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran

retikulosit dan pengaruh sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali) sering di

jumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan

infeksi akut , limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan

organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian

pada binatang percobaan limpa menghapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui

perubahan metabolism, antigenic dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi.

(IPD)

2.1.4 Diagnosis Malaria

Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang

asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah

malaria, riwayat pengobatan kuratip maupun preventip.

a. Pemeriksaan tetes darah malaria

Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untukn menemukan adanya parasite

malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan satu

kali dengan hasil negatif tidak mengeyampingkan diagnosa malaria.

Pemeriksaan darah tepi tiga kali dan hasil negatif maka diagnosis malaria

dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga

laboratorik yang berpengalaman dalam pemerikasaan parasit malaria.

Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan

Page 4: BAB II.docx

8

kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan stimulasi

adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan sering membahayakan

terutama penderita dengan hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui

aspirasi sum-sum tulang hanya untuk bermaksud akademis dan tidak

sebagai cara diagnosa yang praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat

dilakukan melalui:

1. Tetesan preparat darah tebal

Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasite malaria karena

tetesan darrah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan

mudah dibuat khususnya untuk dtudi di lapangan. Ketebalan dalam

membuat sediaan perluu untukk memudahkan identifikasi parasit.

Pemeriksaan parasite di lakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang

pandang dangan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatip bila

setelah di periksa 200 lapang pandang dengan pembesaran kuat 700-1000

kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasite bias dilakukan pada tetes

tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit

10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50

merupakan jumlahh parasit per mikro-liter darah.

2. Tetesan darah Tepi

Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat

darah tebal sulit di tentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai

hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah

eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila

Page 5: BAB II.docx

9

jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat.

Hitung parasite penting untuk menentukan prognosa penderita malaria,

walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang

minimal. Pengevatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman’s,

atau Field’s dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum

dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang

mudah dengan hasil yang cukup baik.

3. Tes Antigen : P-F test

Yaitu mendeteksi antigen dari P.Falciparum (Histidine Rich Protein

II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan

khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi

untuk antigen vivaxs sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode

ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari

plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatogrraphic telah

dipasarkan dengan nama tes OPTOMAL. Optimal dapat mendeteksi

dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P.

Falciparum atau P. vivax. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif

salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang di kenal

sebagai tes cepat (Rapid Test). Tes ini tersedia dalam berbagai nama

tergantung pabrik pembuatnya.

4. Tes Serologi

Tes serologi mulai di perkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai

tehnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi

Page 6: BAB II.docx

10

adanya antibody specifik terhadap malaria atau dimana keadaan

parasite sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai allat

diagnostik sebab antibody baru terjadi setelah beberapa hari

parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian

epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap

sebagai infeksi baru; dan test> 1:20 dinyatakan positif. Metode-metode

tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immune-

precipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay.

5. Pemeriksaan PCR (Polymerase chain Reaction)

Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi

DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun

spesifitasmya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasite

sangat sedikit dapa memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai

sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

2.1.5 PENCEGAHAN DAN VAKSIN MALARIA

Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang

non-imun, khususnya pada turis nasional maupun international. Kemo-profilaksis

yang di anjurkan ternyatta tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh

karenanya masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan

untuk menghindarkan diri dari gigtan nyamuk yaitubdengan cara :

1). Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated

(dicelup peptisida : pemetrhin atau deltametrhin).

Page 7: BAB II.docx

11

2). Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquitoes repellents) :

gosok, spray, asap, elektrik

3). Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit

atau harus memakai proteksi (baju lengan panjang, kaus/stocking).

Nyamuk akan menggigit di antara jam 18.00 dampai jam 06.00.

Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000 m;

4). Memproteksi tempat tinggal/ kamar tidur dari nyamuk dengan

kawat anti-nyamuk.

Bila akan digunakan kemopropilaktis perlu di ketahui sensitivitas

plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif

(seperti Minahasa) cukup prpfilaktis dengan 2 tablet klorokuin (250

mg klorokuin diphosphat) tiap minggu 1 minggu sebelum berangkat

dan 4 minggu setelah tiba kembali. Profilaktis ini juga dipakai pada

wanita hamil di daerah endemik atau pada individu yang terbukti

imunitasnya rendah (sering terinfeksi malaria). Pada daerah dengan

resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100mg/hari atau mefloquin

250mg/minggu atau klorokuin 2 tablet/minggu ditambah proguanil 200

mg/hari. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin

dosis 0,5 mg/kg BB/ hari; Etaquin,Atovaquone/Proguanil (Malarone)

dan Azitromycin.

Page 8: BAB II.docx

12

Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal

yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada

plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada daur

Plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P. falciparum

sekarang baru ditunjukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi

terhadap P. falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang di

kembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin

terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk

melawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk aseksual yang pernah

dicoba adalah SPF-66 atau yang lebih dikenal sebagai vaksin Ptarroyo,

yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan

manffaatnya. Vaksin sporozoit bertujuan mencegah sporozoit

menginfeksi tidak terjadi.Vksin ini dikembangkan melalui

ditemukannya antigen circumsporozoit. Uji coba pada manusia

tampaknya memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun

demikian uji lapangan sedang dalam persiapan. HOFFMAN

berpendapat bahwa vaksin yang ideal ialah vaksin yang multi-stage

(sporozoit, aseksual), multivalen (terdiri beberapa antigen) sehingga

memberikan respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA

akan diharapkan memberi respon terbaik dan harga yang kurang

mahal.

2.1.6 Faktor Resiko Malaria

a) FAKTOR PARASIT

Page 9: BAB II.docx

13

Agar dapat hidup terus sebagai spesies, parasit malariaharus ada dalam

tubuh manusia untuk waktu yang cukup lama dan menghasilkan gametosit

jantan dan betina pada saat yang sesuai untuk penularan. Parasit juga harus

menyesuaikan diri dengan sifat-sifat spesies nyamuk anopheles yang

anthropofilik agar sporogoni dimungkinkan dan menghasilkan sporozoit

yang infektif.

Sifat-sifat spesifik parasit berbeda-beda untuk setiap spesies malaria dan

hal ini mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis dan penularan.

P.falciparum mempunyai masa infeksi yang paling pendek, namun

menghasilkan parasitemia paling tinggi, gejala yang paling berat dan masa

inkubasi yang paling pendek. Gametosit P.falciparum baru berkembang

setelah 8-15 hari sesudah masuknya parasite kedalam darah. Gametosit

P.falciparum menunjukan periodisitas dan infektivitas yang berkaitan

dengan aktifitas yang berkaittan dengan kegiatan menggigit vektor.

P.vivax dan P.ovale pada umumnya menghasilkan parasitemia yang

rendah, gejala yang lebih ringan dan mempunyai masa inkubasi yang lebih

lama. Sporozoit P.vivax dan P.ovale dalam hati berkembang menjadi sizon

jaringan primer dan hipnozoit. Hipnozoit ini yang menjadi sumber untuk

terjadinya relaps.

b) FAKTOR MANUSIA

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat

terkena malaria. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin

sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi

Page 10: BAB II.docx

14

keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria

dapat perlindungan antibody maternal yang diperoleh secara

transplasental.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa perempuan mempunyai respon

imun yang lebih kuat dibanding laki-laki, namun kehamilan menambah

risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk

terhadap kesehatan ibu dan anak a.l. berat badan lahir yang rendah,

abortus, partus prematur, dan kematian janin intrauterine

Malaria kongenital sebenarnya sangat jarang dan kasus ini berhubungan

dengan kekebalan yang rendah pada ibu. Secara proporsional insidens

malaria kongenital lebih tinggi di daerah prevalensi malaria lebih rendah.

Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya

malaria dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respon

imunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor.

Beberapa faktor genetik bersifat protektif terhadap malaria ialah:

a. Golongan darah Duffy negatif

b. Hemoglobin S yang menyebabkan sickle cell anemia

c. Thalasemia (alfa dan beta)

d. Hemoglobinopati lainnya (HbF dan HbE)

e. Defisiensi G-6-PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase)

f. Ovalositosis (di Papua New Guinea dan mungkin juga di Irian

Jaya)

Page 11: BAB II.docx

15

Keadaan gizi agaknya tidak menambah kerentanan terhadap malaria. Ada

beberapa studi yang menunjukan bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering

mendapat kejang dan malaria serebral dibandingkan dengan anak yang bergizi

buruk. Akan tetapi anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan

lebih cepat dibandingkan anak yang bergizi buruk.

c) FAKTOR NYAMUK

Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk betina

anopheles. Dari lebih 400 spesies anopheles di dunia, hanya sekitar 67

yang terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria.

Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada satu

atau yang paling banyak 3 spesies anopheles yang menjadi vektor penting.

Di Indonesia telah di temukan 24 spesies anopheles yang menjadi vektor

malaria. Penyebarannya di berbagai daerah.

Nyamuk anopheles terutama hidup di daerah beriklim sedang dan bahkan

di daerah Afrika. Anopheles jarang di temukan pada ketinggian lebih dari

2000-2500 m. Sebagian besar nyamuk anopheles nyamuk anopheles

ditemukan di dataran rendah.

Efektifitas vektor untuk menularkan malaria ditentukan hal-hal sebagai

berikut:

Kepaddatan vektor dekat pemukiman manusia

Kesukaan menghisap darah manusia atau antropofilia

Page 12: BAB II.docx

16

Frekuensi menghisap darah (ini tergantung dari suhu)

Lamanya sporogoni (berkembangnya parasite dalam

nyamuk sehingga menjadi infektif)

Lamanya hiduup nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan

kemudian menginfeksi jumlah yang berbeda-beda menurut

spesies

Nyamuk anopheles betina menggigit antara waktu senja dan suubuh, dengan

jumlah yang berbeda-beda menurut spesiesnya.

Kebiasaan makan dan istirahat nyamuk anopheles dapat dikelompokkan sebagai :

Endofili : suka tinggal dalam rumah/bangunan

Eksofili : suka tinggal di luar rumah

Endofagi : menggigit dalam rumah/bangunan

Eksofagi : menggigit di luar rumah/bangunan

Antroprofili : suka menggigit manusia

Zoofili : suka menggigit binatang

Jarrak terbang anopheles adalah terbatas, biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari

tempat perindukannya. Bila ada angina yang kuat nyamuk anopheles bias terbawa

sampai 30 km. Nyamuk anopheles dapat terbawa pesawat terbang atau kapal laut

dan dan menyebarkan malaria ke daerah yang non-endemik.

d) FAKTOR LINGKUNGAN

A. Lingkungan fisik

Page 13: BAB II.docx

17

Faktor georafi dan meteorologi di Indonesia sangat menuntungkan

transmisi malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap

spesies. Pada suhu 26,70c masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari

untuk P. falciparum dan 8-11 hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk P.

malariae dan P. ovale.

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu

yang optimum berkisar antara 20 dan 300C. Makin tinggi suhu (sampai

batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan

sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsi

b. Kelembaban

Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun

tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60%

merupakan batas yang paling rendah untuk memungkinkan

hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk

menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga

meningkatkan penularan malaria.

c. Hujan

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk

dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh

tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis

tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar

kemungkinan berkembang biaknya nyamuk anopheles.

Page 14: BAB II.docx

18

d. Ketinggian

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semaki

bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunya suhu rata-rata.

Pada ketinggian diatas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal

ini bias berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh dari El-

Nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan

malaria kini lebih sering ditemukan malaria. Ketinggian paling

tinggi masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m di atas

permukaan laut (di Bolovia).

e. Angin

Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang

nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan

manusia.

f. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahariterhadap pertumbuhan larva nyamuk

berbeda-beda. An.sundaicus lebih suka tempat yang teduh:

An.barbirostris dapat hidup baik ditempat yang teduh maupun yang

terang.

g. Arus air

An.barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir

lambat, sedangkan An.minimus menyukai aliran air yang deras dan

An.letifer menyukai air tenang

h. Kadar garam

Page 15: BAB II.docx

19

An. Sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar

garamnya 40% keatas. Namun di Sumatra Utara ditemukan pula

perindukan An. Sundaicus dalam air tawar.

B. Lingkungan Biologik

Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat

mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar

matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainny. Adanya

berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (panchax

spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi

nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi

dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila

ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah.

C. Lingkungan Sosial Budaya

Kebiasaan untuk berada diluar rumah sampai larut malam, dimana

vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan

nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan

mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria a.l.

dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang

kawat kasa pada rumah dan menggunakan obat nyamuk. Berbagai

kegiatan manusia sepperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan,

pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering

Page 16: BAB II.docx

20

mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan

malaria (“man-made malaria”).

Peperangan dan perpindahan penduduk dapat menjadi faktor penting

untuk meningkatkan malaria. Meningkatnya pariwisata dan perjalanan

dari daerah endemik mengakibatkan meningkatnya kasus malaria yang

di impor.

2.1.6 Epidemiologi Malaria

Pada Negara yang beriklim dingin sudah tidak ditrmukan lagi daerah

endemik malaria. Namun demikian, malaria masih merupakan persoalan

kesehatan yang besar di daerah tropis dan subtropis seperti di Brasil, Asia

Tenggara, dan seluruh Sub-Sahara Afrika.

Di Indonesia, malaria ditemukan hampir di semua wilayah. Pada tehun 1996

ditemukan kasus malaria di Jawa-Bali dengan jumlah penderita sebanyak

2.341 .401 orang, slide positive rate (SPR): 9215, annual paracitic index (API):

0,08%. CRF di rumah sakit sebesr 10-50%. Menurut laporan, di provinsi Jawa

Tengah tahun 1999; API sebanyak 0,35%, sebagian besarr disebabkan oleh

Plasmodium falciparum dan P. vivax. Angka prevalensi malaria di provinsi Jawa

Tengah terus menurun dari tahun ke tahun, mulai dari 0,51 pada tehun 2003,

menurun menjadi 0,15 dan berkurang lagi menjadi 0,07 paada tahun 2005.

Plasmodium malariae banyak ditemukan di Indonesia Timur, sedangkan

plasmodium ovale di Papua dan NTT.

Permasalahan resistensi terhadap obat malaria semakin lama semakin bertambah.

Plasmodium falciparum dilaporkan resisten terhadap klorokuin dan

Page 17: BAB II.docx

21

sulfadoksinpirimetamin di wilayah Amazon dan Asia Tenggara. P. vivax yang

resisten klorokuin di temukan di Papua Nugini, provinsi Papua, Papua Barat, dan

Sumatra.

Resisten obat menyebabkan semakin kompleksnya pengobatan dan

penanggulangan malaria. Profesional kesehatan harus mengetahui dari mana

seorang penderita berasal. WHO menerbitkan publikasi tahunan daftar Negara

endemik malaria (dapat dilihat pada International Travel and Heatlh ISBN-

9241580283, atau di internet www.who.int/ith). Akibat lebarnya variasi antar

daerah untuk Negara yang mempunyai daerah luas seperti Indonesia, Departemen

kesehatan RI seharusnya membuat daftar yang sama untuk antar provinsi.

2.2 Derajat Parasitemia

Pada pemeriksaan mikroskopus malaria, pemeriksaan apusan darah

merupakan salah satu pemeriksaan yang penting, baik pemeriksaan apusan

darah tebal ataupun tipis4. Pemeriksaan apusan darah dapat digunakan untuk

menentukan derajat parasitemia yang dilihat dengan menghitung kepadatan

parasite dalam lapang pandang besar (LPB)14. Kepadatan parasite dapat dilihat

melalui dua cara yaitu semi kuantitatfi dan kuantitatif. Metode semi kuantitatif

adalah menghitung parasite dalam LPB dengan tincian sebagai berikut14:

Page 18: BAB II.docx

22

(-) : SDr negative (tidak ditemukan parasite dalam 100 LPB)

(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasite dalam 100 LPB)

(+)(+) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasite dalam 100 LPB)

(+)(+)(+) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasite dalam 1 LPB)

(+)(+)(+)(+) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasite dalam 1 LPB)

Derajat parasitemia adalah presentase individu dalam populasi yang apusan

darahnya memperlihatkan parasite2. Tingkat parasetamia diklasifikasikan

menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah tingkatan ringan (mild

reaction) yaitu bila ditemukan 1-4 parasit per 500 erirosit (parasitosis <1%),

tingkatan kedua adalah tingkatan lebih berat (severe reaction) bila ditemukan

5-10 parasit per 500 eritrosit, sedangkan tingkatan ketiga adalah tingkatan

berat sekali (very severe reaction) yaitu bila ditemukan >10 parasit per 500

eritrosit (birkenheuer et al 2003).

2.3 Bilirubin

2.3.1 Definisi Bilirubin

Pigmen empedu yang di hasilkan dari pemecahan heme dan reduksi

biliverdi; bilirubin secara normal bersirkulasi di dalam plasma sebagai suatu

kompleks dengan albumin, diambil oleh sel sel hati dan dikonjugasikan menjadi

bilirubin diglukuronid, merupakan pigmen larut dalam air yang diekskresikan ke

dalam empedu. Konsentrasi bilirubin yang tinggi dapat menyebabkan ikterus.

Conjugated b., direct b., bilirubin yang telah diambil oleh sel sel hati dan

dikonjugasikan membentuk bilirubin diglukoronid yang larut dalam air. Indirect

Page 19: BAB II.docx

23

b., unconjugated b., bentuk bilirubin larut dalam lemak yang bersirkulasi dengan

asosiasi longgar terhadap protein.

2.3.2 Nilai-nilai Rujukan

Dewasa: Total: 0,1-1,12 mg/dL, 1,7-20,5µmol/L (unit SI)

Direc (terkonjugasi): 0,0-0,3 mg/dL, 1,7-5,1 mmol/L (unit SI)

Indirek (tak trkonjugasi): 0,1-1,0 mg/dL, 1,7-17,1 µmol/L (unit SI)

Anak: Total: Bayi baru lahir: 1-12 mg/dL; 17,1-205 µmol/L (unit

SI)

Anak 0,2-0,8 mg/dL.

2.3.3 Deskripsi bilirubin

Bilirubin dibentuk dari pemecahanhemoglobin oleh system retikuloendotelial dan

dibawa oleh plasma dan hepar, tempat dimana bilirubin tersebut terkonjugasi

(secara direct) dan di ekskresi dalam empedu. Ada dua bentuk bilirubin dalama

tubuh; terkonjugasi, atau reaksi langsung (mudah larut), dan tak terkonjugasi atau

reaksi indirect (ikatan protein). Bila bilirubin total dalam batas normal, nilai

bilirubin direct dan indirect tidak perlu di analisa. Bila salah satu nilai bilirubin

diketahui nilaii tersebut menunjukan nilai bilirubin total. Ikterik sering terjadi bila

serum bilirubin (total) lebih dari 3 mg/dL.

Peningkatan bilirubin direct atau indirect biasanya akibat ikterik obstruktif, ekstra

hepatik (oleh batu atau tumor) atau intrahepaik (kerusakan sel sel hepar). Bilirubin

indirect atau tak terkonjugasi berhubungan dengan peningkatan kerusakan sel sel

darah merah (hemolisis).

2.3.4 Masalah-masalah klinis

Page 20: BAB II.docx

24

a. Penurunan kadar bilirubin

direct: anemia defisiensi zat besi

obat obat yang dapat menurunkan nilai bilirubin: Barbiturat, aspirin (dalam

jumlah banyak), Penicillin, kafein.

b. Peningkatan kadar bilirubin

Direct: ikterik obstruktif yang disebabkan oleh batu atau neoplasma,

hepatitis, serosis hepar, infeksi mononukleosis, kangker hepar, penyakit

Wilson.

Indirect: Eritoblastosis fetalis, anemia sel sabit, reaksi transfuse, anemia

hemolitik, animea pernisiosa, malaria, septikemia, sirosis yang

terdekompensasi.

c. Obat yang meningkatkan kadar bilirubin

Antibiotika, diuretic, isoniazid, sulfonamide, diazepam, narkotik,

barbiturate, flurazepam, indometasin, metildopa, prokainamid, steroid,

kontrasepsi oral, tolbutamid, vitamin A,C dan K.

2.2.1 Pengukuran Obesitas Sentral

Obesitas sentral dapat dinilai memakai beberapa cara yaitu salah

satunya dengan waist to hip circumference ratio (WHR). Pada orang

kaukasian, WHR lebih dari 1.0 pada pria dan lebih dari 0.85 pada wanita

digunakan untuk mengidentifikasi akumulasi lemak di abdomen.

Meskipun demikian, lingkar perut merupakan cara pengukuran yang lebih

baik pada obesitas sentral jika dibandingkan WHR.14

Page 21: BAB II.docx

25

WHO menganjurkan agar lingkar perut sebaiknya diukur pada

pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka. Pengukuran

dilakukan dengan menggunakan pita secara horizontal pada saat akhir

ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20 hingga 30cm. Subjek

diminta untuk tidak menahan perutnya dan diukur memakai pita dengan

tegangan pegas yang konstan.15 Di Asia cut off untuk obesitas sentral

yaitu jika lingkar perut lebih dari 90cm pada pria dan lebih dari 80 cm

pada wanita.15

Lingkar perut menggambarkan lemak tubuh dan di antaranya tidak

termasuk sebagian besar berat tulang atau massa otot besar yang mungkin

akan bervariasi dan mempengaruhi hasil pengukuran. Ukuran lingkar

perut ini berkorelasi baik dengan rasio lingkar perut dan pinggul baik pada

pria maupun wanita serta dapat memperkirakan luasnya obesitas

abdominal yang tampaknya sudah mendekati deposisi lemak abdominal

bagian viseral. Lingkar perut juga berkorelasi baik dengan IMT (pria dan

wanita: r= 0.89, P<0.001).14

Walaupun IMT kurang dari 25 kg/m2, obesitas sentral dapat saja

terjadi sehingga penyesuaian IMT pada keadaan obesitas sentral perlu

diperhatikan, terutama bila IMT di antara 22 hingga 29 kg/m2. Lingkar

perut dikatakan memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah lemak intra

abdominal dan lemak total serta telah digunakan baik secara mandiri atau

bersama-sama tebal kulit subkutan, untuk mengembangkan suatu korelasi

regresi untuk mengoreksi massa lemak intra abdominal.14

Page 22: BAB II.docx

26

2.2.2 Hubungan Obesitas Sentral dengan Resistensi Insulin dan Dislipidemia

Resistensi insulin pada obesitas sentral diduga merupakan

penyebab sindrom metabolik. Insulin mempunyai peran penting karena

berpengaruh baik pada penyimpanan lemak maupun sintesis lemak dalam

jaringan adiposa. Resistensi insulin dapat menyebabkan terganggunya

proses penyimpanan lemak maupun sintesis lemak.14

Hubungan kausatif antara resistensi insulin dan penyakit jantung

koroner dan stroke dapat diterangkan dengan adanya efek anabolik insulin.

Insulin merangsang lipogenesis pada jaringan arterial dan jaringan adiposa

melalui peningkatan acetyl-CoA, meningkatnya asupan trigliserida, dan

glukosa. Dislipidemia yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi

trigliserida dan penurunan kolesterol HDL merupakan akibat dari

pengaruh insulin terhadap Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP)

yang memperlancar transfer Cholesteryl Ester (CE) dari HDL ke VLDL

(trigliserida) sehingga mengakibatkan terjadinya katabolisme dari apoA

komponen protein HDL. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh faktor

genetik dan lingkungan. Jenis kelamin mempengaruhi sensitivitas insulin

dan otot rangka pria lebih resisten dibandingkan wanita.14

2.2.3 Gangguan Kesehatan yang Berhubungan dengan Obesitas

Page 23: BAB II.docx

27

Salah satu mekanisme yang dapat menerangkan korelasi antara

obesitas dan penyakit-penyakit tertentu adalah kemampuan jaringan

adipose bertindak sebagai organ endokrin. Sebagai organ endokrin,

jaringan adipose mampu menghasilkan sejumlah molekul yang

mempunyai fungsi imunologik, sistem kardiovaskular, metabolisme, dan

endokrin. Fungsi endokrin jaringan adipose dipengaruhi oleh jumlah total

jaringan lemak tubuh dan distribusinya. Penyakit-penyakit yang

berhubungan dengan obesitas adalah13

1) Diabetes mellitus tipe 2

Pada populasi umum risiko diabetes mellitus meningkat dengan

pengingkatan IMT. Risiko untuk mendapatkan DM tipe 2 meningkat kira-

kira 25% pada setiap peningkatan IMT 1 unit setelah IMT mencapai 22,

terutama pada mereka yang berumur kurang dari 55 tahun.

2) Hipertensi

Data epidemiologi menunjukan risiko mendapatkan hipertensi akan

semakin tinggi sesuai dengan peningkatan berat badan. Risiko untuk

mendapatkan hipertensi overweight lebih tinggi bila dibandingkan dengan

berat badan normal dan risiko itu menjadi semakin tinggi secara bermakna

pada populasi yang menderita obesitas.

Page 24: BAB II.docx

28

3) Aterosklerosis

Prevalensi penyakit jantung koroner mempunyai korelasi kuat

dengan peningkatan IMT. Risiko relatif untuk penyakit jantung koroner

pasien overweight tidak berbeda bermakna dengan populasi normal, tetapi

mereka yang obesitas secara bermakna akan mengalami peningkatan.

Semakin tinggi derajat obesitas semakin tinggi pula risiko tersebut.

4) Hiperlipidemia dan dislipidemia

Kadar kolesterol darah mempunyai korelasi moderat dengan

obesitas. Korelasi tersebut menjadi lebih kuat bila obesitas dihubungkan

dengan peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar HDL kolesterol

dan gangguan komposisi lipoprotein.

5) Kolelitiasis

Obesitas akan meningkatkan sintesis kolesterol dan ekskresinya.

Kira-kira 50% pasien obesitas derajat 3 menderita kolelitiasis. Kolelitiasis

lebih sering dijumpai pada obesitas dari pada populasi normal, terutama

wanita berusia kurang dari 50 tahun.

6) Karsinoma kolon dan keganasan organ lain

Pasien dengan IMT lebih dari 29 mempunyai risiko mendapatkan

kanker kolon distal 2 kali lebih banyak dari pada mereka yang mempunyai

IMT kurang dari 21, terutama pada perempuan. Keganasan lain yang

Page 25: BAB II.docx

29

sering dihubungkan dengan obesitas adalah karsinoma payudara, esofagus,

ginjal, dan prostat.

7) Osteoartritis (OA)

Obesitas merupakan faktor risiko penting untuk OA, baik OA pada

jari maupun lutut. Obesitas berperan besar sebagai penyebab OA lutut.

Bagi pasien obesitas yang belum mendapatkan OA, penurunan berat badan

kira-kira 5kg akan menurunkan risiko OA hingga 50%.

Page 26: BAB II.docx

30

2.3 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka teori

Hipertensi

Unstable Angina Pectoris

Stable Angina Pectoris

STEMINSTEMI

Penyakit Jantung Koroner

Infark Iskemia

Miokardium kekurangan oksigen

Beban kerja jantung meningkat

Trombosis

Lumen menyempit aliran darah terganggu

Ruptur plak aterosklerosis

Aterosklerosis

Penimbunan Lipid pada arteriObesitas sentral

Dislipidemia

Resistensi Insulin hiperinsulinemia

Peningkatan LDL, dan TG/

VLDL;Penurunan HDL

Disfungsi endotel

Stress Oksidatif

Page 27: BAB II.docx

31

2.4 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian hubungan obesitas sentral dengan

penyakit jantung koroner di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

2.5 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

H0: Tidak terdapat hubungan antara obesitas sentral dengan penyakit

jantung koroner di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Ha: Terdapat hubungan antara obesitas dengan penyakit jantung koroner

di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Obesitas sentralPenyakit Jantung

Koroner