BAB II.docx
-
Upload
iphenk-rusapande -
Category
Documents
-
view
37 -
download
2
Transcript of BAB II.docx
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Penelitian Terdahulu
Setyorini (2010) dengan judul penelitian “Pengaruh Metode Pembelajaran
dan Gaya Belajar Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri Siswa
Kelas VIII MTsN Plandi Jombang”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui 1) Apakah ada perbedaan kemampuan siswa dalam pemecahan
masalah geometri dimensi tiga antara kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran GI dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran STAD,
(2) Apakah ada perbedaaan kemampuan pemecahan masalah geometri dimensi
tiga pada siswa ya-ng memiliki gaya belajar berbeda, (3) Apakah ada interaksi
antara metode pem-belajaran yang digunakan dengan gaya belajar siswa terhadap
kemampuan peme-cahan masalah geometri dimensi tiga. Sampel penelitian
berjumlah 60 orang siswa, dengan hasil penelitian menunjukkan 1) ada perbedaan
kemampuan siswa dalam pemecahan masalah geometri dimensi tiga antara
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran GI dengan kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran STAD. (2) ada perbedaaan kemampuan pemecahan
masalah geometri dimensi tiga pada siswa yang memiliki gaya belajar berbeda.
(3) ada interaksi antara metode pembelajaran yang digunakan dengan gaya belajar
siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah geometri dimensi tiga.
Mawaddah (2011) dengan judul penelitian “Efektivitas Pembelajaran
Problem Solving Dipadu Kooperative Jigsaw Dalam Meningkatkan Kemampuan
10
11
Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Biologi di MTsN
Model Palu”. Penelitian ini bertujuan untuk 1). Menjelaskan efektivitas
pembelajaran problem solving dipadu cooperative jigsaw dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Biologi di
MTsN Model Palu, 2). Untuk menggambarkan model penerapan pembelajaran
Problem Solving Dipadu Kooperative Jigsaw Dalam Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Biologi di MTsN
Model Palu, 3). Menjelaskan/mendeskripsikan respon siswa terhadap
pembelajaran Problem Solving Dipadu Kooperative Jigsaw Dalam Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Biologi
di MTsN Model Palu. Desain penelitian yang digunakan adalah quasy experiment
semu dan dianalisis secara deskriptif dan statistik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 1). Pembelajaran problem solving dipadu kooperatif jigsaw lebih efektif
menaingkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa dalam mata
pelajaran Biologi dibandingkan pembelajaran kooperatif jigsaw ataupun
pembelajaran problem solving saja, 2). Efektifitas pelaksanaan pembelajaran
problem solving dipadu kooperatif jigsaw dalam penerapannya dapat dilihat dari
kemampuan berpikir kritis, prestasi hasil belajar, aktivitas guru mengelola
pembelajaran, aktivitas siswa dan respon siswa.
Perbedaan dan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat
dilihat pada Tabel 2.1 berikut:
12
Tabel 2.1Persamaan dan Perbedaan dengan
Penelitian Terdahulu
No.Judul / Peneliti /
ThnHasil Perbedaan Persamaan
1. Pengaruh Metode Pembelajaran dan Gaya Belajar Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri Siswa Kelas VIII MTsN Plandi Jombang / Setyorini (2010)
1) ada perbedaan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah geometri dimensi tiga antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran GI dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran STAD.
(2) ada perbedaaan kemampuan pemecahan masalah geometri dimensi tiga pada siswa yang memiliki gaya belajar berbeda.
(3) ada interaksi antara metode pembelajaran yang digunakan dengan gaya belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah geometri dimensi tiga.
Objek penelitian
Variabel Gaya belajar
Variabel kemampuan pemecahan masalah
Alat analisis
Metode pembelajaran
Efektivitas Pembelajaran Problem Solving Dipadu Kooperative Jigsaw Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Biologi di MTsN Model Palu / Mawaddah / 2011
1). Pembelajaran problem solving dipadu kooperatif jigsaw lebih efektif menaingkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Biologi dibandingkan pembelajaran kooperatif jigsaw ataupun pembelajaran problem solving saja,
2). Efektifitas pelaksanaan pembelajaran problem solving dipadu kooperatif jigsaw dalam penerapannya dapat dilihat dari kemampuan berpikir kritis, prestasi hasil belajar, aktivitas guru mengelola pembelajaran, aktivitas siswa dan respon siswa.
Objek penelitian
Variabel pembelajaran problem solving
Variabel kemampuan berpikir kritis
Varibel hasil belajar
Alat analisis
13
2.2 Konsep Cooperative Learning
Istilah cooperative learning dalam wacana Indonesia dikenal dengan
pembelajaran kooperatif. Istilah ini lebih bermakna daripada sekedar belajar
kelompok tradisional yang membentuk kelompok kerja dengan lingkungan yang
positif dan meniadakan persaingan individu dalam kelompok untuk mencapai
prestasi akademik. Pembelajaran kooperatif berlandaskan teori konstruktivisme
sosial Vygotsky yang menekankan bahwa pengetahuan dibangun dan dikonstruksi
secara mutual (Suprijono, 2009:55). Aliran Vygotsky ini menekankan peserta
didik untuk mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang
lain. Pembelajaran cooperative muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih
mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling
berdiskusi dengan temannya (Trianto, 2007:14). Siswa bekerja dalam kelompok
untuk saling membantu dalam memcahkan suatu masalah agar semua siswa
tersebut dapat memahami apa yang diajarkan oleh gurunya. Sehingga arti penting
dari pembelajaran kooperatif ini adalah belajar kelompok untuk mencapai tujuan
bersama. Pembelajaran kooperatif ini menggunakan system pengelompokkan
antara 4 sampai 6 orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik,
jenis kelamin, rasa atau suku yang berbeda/heterogen (Sanjaya, 2008:242).
Kelompok yang dimaksud bukanlah semata-mata sekumpulan orang tetapi
di dalam kumpulan tersebut harus terdapat interaksi, mempunyai tujuan,
berstruktur dan groupness (Suprijono, 2009:57). Menurut teori psikodimika,
kelompok bukan hanya sekedar kumpulan individu melainkan merupakan satu
kesatuan yang memiliki cirri dinamika dan emosi sendiri. Misalnya, kelompok
14
terbentuk karena adanya ketergantungan masing-masing individu, mereka merasa
tidak berdaya sehingga mereka membutuhkan bantuan orang lain. Dalam situasi
yang demikian, maka pimpinan kelompok bias mengarahkan perilaku dan
interaksi antar anggota kelompok (Sanjaya, 2008:241).
Menurut Slavin (Rinawati, 2002:15) bahwa tiga konsep utama yang
menjadi karakteristik cooperative learning yaitu penghargaan kelompok,
pertanggung jawaban kelompok, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
Proses pembelajaran dengan model cooperative learning mampu merangsang dan
menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar dalam kelompok-
kelompok kecil yang bervariasi kemampuan dan jenis kelaminnya untuk
menyelesaikan tugasnya dan memecahkan masalah secara bersama-sama.
Dari uraian di atas, maka model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan
pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu
mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Dalam model
pembelajaran ini, tiap anggota kelompok terdiri 4 – 5 orang, siswa heterogen
(kemampuan, gender, karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung
jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi yang membentuk kelompok
heteregon, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
Menurut Slavin (2009:11) pembelajaran kooperatif memiliki beberapa
jenis atau tipe, yaitu:
a. Students Teams Achievement Learning yang dikembangkan oleh
Robert E. Slavin. Jenis ini terbagi dalam lima tipe yaitu: Student Teams
Achievement Division (STAD), Teams Games Tournament (TGT),
15
Jigsaw, Cooperative Intergrated Reading and Composition (CIRC) dan
Team Accelerated Instruction (TAI).
b. Group Investigation yang dikembangkan oleh Sholomo B. dan Yael
Sharon. Dalam tipe ini, siswa tidak hanya bekerja sama namun terlibat
merencanakan baik topic untuk dipelajari maupun prosedur
penyelidikan yang digunakan.
c. Learning Together yang dikembangkan oleh David Johnson dan Roger
Johnson.
d. Complex Instruction yang dikembangkan oleh Elizabet Cohan.
e. Structured Dyadie yang dikembangkan oleh Dan Serean dkk.
Roger dan David Johnsons (dalam Suprijono, 2009:58) mengatakan tidak
semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong yang harus
diterapkan, yaitu sebagai berikut:
a. Saling ketergantungan positif
b. Tanggung jawab perseorangan
c. Tatap muka
d. Komunikasi antar anggota
e. Evaluasi proses kelompok
Pengelompokan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam
model pembelajaran cooperative learning. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk
dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama dan sosial,
serta kemampuan akademis. Dalam kemampuan akademis, kelompok
16
pembelajaran cooperative learning biasanya terdiri dari satu orang yang
berkemampuan akademis tinggi, dua orang berkemampuan sedang, dan satu
lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.
Menurut Johnson dan Johnson (dalam Rinawati, 2002:11) mengemukakan
empat elemen dasar dalam pembelajaran kooperatif, yang juga merupakan ciri-ciri
belajar kooperatif, yaitu (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan
interaksi langsung diantara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab
atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu
mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (e) guru
hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Menurut Slavin (Fajar, 2002:11) beberapa keuntungan dalam
pembelajaran kooperatif, antara lain sebagai berikut:
a. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi
norma kelompok,
b. Siswa aktif membantu dan mendorong semangat untuk sama-sama
berhasil,
c. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan
keberhasilan kelompok,
d. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka
berpendapat,
Adapun kelemahan yang lain yang harus dihindari yaitu adanya anggota
kelompok yang tidak aktif. Menurut Slavin (dalam Fajar 2002:12) kelemahan-
kelemahan ini dapat dihindari dengan cara sebagai berikut:
17
a. Masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab pada bagian-
bagian tertentu dari permasalahan kelompok,
b. Masing-masing anggota kelompok harus mempelajari materi secara
keseluruhan. Hal ini karena hasil kelompok ditentukan oleh skor
perkembangan masing-masing individu,
2.2.1 Karakteristik dan Prinsip Cooperative Learning
Karakteristik merupakan perilaku yang tampak dan akan menjadi tabiat
atau karakter dari kegiatan cooperative learning. Slavin mengatakan bahwa
cooperative learning memiliki sejumlah karakteristik tertentu yang membedakan
dengan pembelajaran lain, dan karakteristik tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Mengacu kepada keberhasilan kelompok. Keberhasilan kelompok adalah kemenangan kelompok dalam berkompetisi dalam suatu kegiatan pembelajaran, seperti halnya tipe STAD. Keberhasilan kelompok dicapai bersama oleh semua anggota kelompok.
2) Menekankan peranan anggota. Setiap anggota dalam kelompok memiliki tugas dan fungsi yang jelas, artinya anggota kelompok berperan sebagai pendorong, pendamai, penggerak, pemberi keputusan, atau perumus.
3) Mengandalkan sumber atau bahan. Sumber atau bahan yang akan dipelajari dibagi secara merata untuk setiap anggota kelompok. Bahan pembelajaran yang dimaksud adalah berupa bahan bacaan atau Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berkenaan dengan materi pelajaran yang diajarkan.
4) Menekankan interaksi. Setiap anggota kelompok berinteraksi secara tatap muka dalam kelompok secara terarah dan memanggil teman dengan menyebut nama.
5) Mengutakan tanggung jawab individu. Kemenangan kelompok tergantung kepada hasil belajar individu terhadap pemahaman materi pembelajaran. Setiap anggota kelompok membimbing satu sama lain terhadap bahan pembelajaran yang belum dipahami. Setelah semua anggota kelompok memahami bahan pembelajaran, maka anggota kelompok siap untuk melaksanakan tes pada akhir setiap pertemuan.
6) Menciptakan peluang untuk kemenangan bersama. Setiap siswa memberikan sumbangan kepada kelompoknya berupa nilai hasil belajarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara setiap anggota kelompok berusaha memperoleh nilai terbaik.
18
7) Mengutamakan hubungan pribadi. Semua anggota kelompok perlu bergaul satu sama lain dan saling tolong menolong dalam belajar kelompok.
8) Menitik beratkan kepada kepemimpinan bersama. Setiap siswa berhak untuk bicara dan memiliki tugas sendiri-sendiri. Guru bertindak sebagai pembimbing pada setiap waktu pembelajaran berlangsung.
9) Menekankan penilaian atau penghargaan kelompok. Penilaian kelompok diberikan pada usaha bersama dengan anggota kelompok, dan penghargaan kelompok biasanya diberikan apabila suatu kelompok menang atau menjuarai permainan antar kelompok (Fajar, 2009:11).
Bernet (dalam Isjoni, 2008:41) menyatakan ada lima unsur dasar yang
dapat membedakan cooperative learning dengan kerja kelompok, yaitu:
1. Positive Interdependence2. Interaction Face to Face3. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi dalam anggota
kelompok4. Membutuhkan keluwesan5. Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah
(proses kelompok)
Sebagai suatu model pembelajaran, cooperative learning muncul dengan
beberapa prinsip seperti diungkapkan oleh Lundgren (dalam Rinawati, 2002:11)
yang mengenalkan prinsip-prinsip cooperative learning sebagai berikut:
a. Siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama.
b. Siswa memiliki tanggung jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
c. Siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
d. Siswa harus berbagi tugas dan tanggung jawab sama besarnya diantara anggota kelompok.
e. Siswa diberi suatu evaluasi atau penghargaan, yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
f. Siswa melakukan kepemimpinan bersama sambil bekerja dan belajar untuk mendapatkan keterampilan.
g. Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang dipelajari dalam kelompok kooperatif.
19
2.2.2 Langkah-Langkah Model Cooperative Learning
Terdapat enam fase atau langkah utama dalam pembelajaran kooperatif,
keenam fase pembelajaran kooperatif dirangkum dalam Tabel 2.1 sebagai berikut:
Table 2.2Langkah-Langkah Pembelajaran KooperatifFase Tingkah Laku Guru
Fase-1Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
Fase-2Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase-3Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase-4Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase-5Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing
Sumber: Trianto, 2007:48
2.2.3 Teori Belajar yang Melandasi Cooperative Learning
Terdapat berbagai teori dalam mempelajari pembelajaran kooperatif. Tiga
diantaranya sebagaimana disebutkan berikut ini:
1. Teori Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel
(dalam Isjoni, 2007:35) bahwa tujuan bahan pelajaran yang dipelajari haruslah
“bermakna”. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
20
seseorang berupa fakta-fakta dan konsep-konsep yang telah dipelajari atau diingat
oleh siswa.
Adapun Suparno (dalam Isjoni, 2007:35) mengatakan, pembelajaran
bermakna adalah:
“Suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah ada dipinyai seseorang dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi bila pelajar mencoba
menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya,
bahan pelajaran itu harus cocok dengan struktur kognitif yang dimiliki pelajar”.
Dengan demikian pembelajaran kooperatif akan dapat mengusir rasa jenuh
dan bosan. Menurut Ausubel, pemecahan masalah yang cocok adalah lebih
bermanfaat bagi siswa dan merupakan strategi yang efisien dalam pembelajaran.
Kekuatan dan kebermaknaan proses pemecahan masalah dalam pembelajaran
terletak pada kemampuan pelajar dalam mengambil peran pada kelompoknya.
Untuk memperlancar proses tersebut diperlukan bimbingan langsung dari guru,
baik lisan maupun dengan contoh tindakan. Sedangkan siswa diberi kebebasan
untuk membangun pengetahuannya sendiri.
2. Teori Piaget
Menurut Piaget (dalam Isjoni, 2007:38) bahwa setiap individu mengalami
tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut:
1. Sensoni motor (0-2 tahun)
2. Pra operasional (2-7 tahun)
3. Operasional konkret (7-11 tahun)
21
4. Operasional formal (11 tahun ke atas)
Bila merujuk pada teori Piaget, maka pelajar yang berada pada jenjang
SMP (Usia berkisar antara 13-15 tahun), termasuk dalam kategori tingkat
operasional formal. Pada periode ini kemajuan yang dimiliki anak ialah siswa
tidak perlu berfikir dengan pertolongan benda-benda atau perisitiwa-peristiwa
konkret, karena anak mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak.
Dalam hubungannya dengan pembelajaran, teori ini mengacu kepada
kegiatan pembelajaran yang harus melibatkan partisipasi peserta didik. Sehingga
menurut teori ini pengetahuan tidak hanya sekedar dipindahkan secara verbal
tetapi harus dikonstruksikan pada kehidupan nyata, maka dalam kegiatan
pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif dan dengan menggunakan
model pembelajaran cooperative karena model tersebut membuat siswa menjadi
aktif dan berpartisipasi.
Selanjutnya implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam
pengajaran menurut Surya (dalam Isjoni, 2007:38), antara lain:
1. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, dalam mengajar guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak,
2. Guru harus membantu anak/peserta didik agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya,
3. Bahan yang harus dipelajari anak/peserta didik hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing,
4. Diberi peluang agar pembelajaran anak sesuai dengan peringkat perkembangannya,
5. Di dalam ruangan kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi.
22
3. Teori Vygotsky
Vygotsky (dalam Isjoni, 2007:39) mengemukakan bahwa pembelajaran
merupakan suatu perkembangan pengertian. Ia membedakan adanya dua
pengertian yang spontan dan ilmiah. Pengertian yang spontan adalah pengertian
yang didapatkan dan pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ilmiah adalah
pengertian yang didapat dari ruang kelas, atau yang diperoleh dan dipelajari di
sekolah.
Ide terpenting lain yang dikemukakan oleh Vygotsky adalah scaffolding, yaitu
memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran,
kemudian menguranginya dan member kesempatan kepada anak untuk
mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan tersebut berupa
petunjuk, peringatan, dorongan, mengurangi masalah pada langkah-langkah
pemecahan, member contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan pelajar
tumbuh dengan mandiri.
Dalam teori Vygotsky dijelaskan ada hubungan langsung antara domain
kognitif dengan social budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun di dalam ruangan
kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam bentuk kerjasama
antara pelajar dengan pelajar lainnya yang lebih mampu dibawah bimbingan guru.
2.2.4 Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe STAD
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan rekan-rekan sejawatnya di
Johns Hopkins University dan merupakan metode pembelajaran kooperatif yang
paling sederhana dan merupakan metode yang sangat mudah diterapkan dalam
pembelajaran. Seperti dalam kebanyakan model pembelajaran kooperatif lainnya,
23
model STAD didasarkan pada prinsip bahwa para siswa bekerja bersama-sama
dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap belajar teman-temannya dalam tim
dan juga dirinya sendiri.
Dalam model STAD kelompok terdiri atas empat sampai lima siswa yang
mewakili keseimbangan kelas dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, dan
ras. Kelompok merupakan tampilan yang paling penting dari STAD dan penting
pula bagi guru dalam rangka mengarahkan anggota masing-masing kelompok.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD merujuk pada
konsep Slavin (2009:71) yang terdiri dari lima komponen utama/langkah, yaitu:
presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim.
Komponen atau langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahap Penyajian Materi/Presentasi kelas
Kegiatan penyajian materi dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD
pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas yang dilakukan oleh
guru dengan metode seperti ceramah, demonstrasi atau diskusi, tetapi bisa juga
memasukkan presentasi audiovisual. Slavin (2009:144) mengungkapkan bahwa
“Perbedaan presantasi kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa presentasi
tersebut haruslah berfokus pada unit-unit STAD”. Dengan cara ini, para siswa
akan menyadari bahwa mereka harus benar-benar member perhatian penuh selama
presentasi kelas, karena dengan demikian akan sangat membantu mereka
mengerjakan kuis-kuis, dan skor kuis mereka menentukan skor tim mereka.
Lebih jelasnya bahwa pada tahap ini guru memulai dengan menyampaikan
tujuan pembelajaran khusus dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi
24
yang akan dipelajari. Dilanjutkan dengan member apersepsi dengan tujuan
mengingatkan siswa terhadap materi pra syarat yang telah dipelajari agar siswa
dapat menghubungkan materi yang akan disajikan dengan pengetahuan yang
dimiliki.
2. Tahap Kerja Kelompok/Tim
Tim adalah fitur yang paling penting dalam STAD. Pada tiap pointnya, yang
ditekankan adalah membuat anggota tim melakukan yang terbaik untuk tim, dan
tim pun harus melakukan yang terbaik untuk memabntu tiap anggotanya. Tim
terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam
hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnitas. Fungsi utama dari tim ini
adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih
khusus lagi adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bias mengerjakan
kuis dengan baik. “Dalam kelas kooperatif para siswa diharapkan dapat saling
membantu, saling mendiskusikan, dan beragumentasi, untuk mengasah
pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam
pemahaman masing-masing” (Slavin, 2009:144).
Tahap kerja kelompok ini merupakan tahapan yang paling penting dan
merupakan cirri khas dari model STAD. Kerja kelompok ini memerlukan satu
atau dua jam pelajaran untuk masing-masing kelompok menuntaskan materi yang
telah diberikan. Anggota kelompok bekerja sama untuk menyelesaikan LKS yang
telah disiapkan dan guru perlu memeriksa bahwa setiap anggota kelompok dapat
menjawab semua pertanyaan dalam LKS. Guru perlu memotivasi para siswa
25
dalam kelompok untuk saling bekerja sama karena selama sesi kelompok inilah
para siswa akan saling mengajari dan belajar dari temannya.
Dalam tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Sehingga
untuk membantu proses ini, guru berkeliling dari satu kelompok ke kelompok
lainnya sambil mengajukan pertanyaan dan memotivasi siswa untuk menjelaskan
jawabannya.
3. Kuis
Pada tahap ini guru menyelenggarakan tes untuk mengukur pengetahuan yang
diperoleh siswa dalam bentuk sebuah kuis. Kuis dilakukan setelah sekitar satu
atau dua periode setelah guru memberikan presentasi dan sekitar satu atau dua
periode praktik tim, para siswa akan mengerjakan kuis individual. “Para siswa
tidak dibolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis. Sehingga, tiap
siswa bertanggung jawab secara individual untuk memahami materinya”. (Slavin,
2008:144). Tanggung jawab individual ini memotivasi siswa untuk member
penjelasan satu sama lain, karena satu-satunya cara bagi tim untuk berhasil adalah
dengan membuat semua anggota tim menguasai informasi atau kemampuan yang
diajarkan (Slavin, 2008:12).
4. Skor kemajuan individual
Skor perkembangan individu diperoleh dari perbandingan antara skor awal
(pretest) sebelum diadakan pembelajaran dengan skor yang diperoleh siswa
setelah diadakan pembelajaran model kooperatif STAD (posttest). Berdasarkan
pretest, setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan
26
sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang
diperolehnya.
Tabel 2.3Kriteria pemberian skor perkembangan individu
No. Skor tes Skor Perkembangan
1. Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 52. Antara 10 sampai 1 poin di bawah skor awal 103. Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 204. Lebih dari 10 poin di atas skor awal 305. Kertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal) 30
Sumber: Slavin (2009:159)
Contoh perhitungan: Seorang siswa dalam kelompok belajar memperoleh skor
awal (pretest) yaitu 20 dari skor maksimal yang harus diperoleh (misalnya skor
maksimal adalah 30). Kemudian setelah melaksanakan posttest siswa tersebut
mendapatkan nilai 25 maka nilai perkembangan yang disumbangkan siswa
tersebut untuk kelompoknya adalah 20 (karena nilai posttest yang diperoleh
adalah 5 poin di atas skor pretest).
5. Rekognisi Tim/Penghargaan
Salah satu hal yang dapat membangkitkan motivasi belajar siswa adalah
dengan memberikan sebuah penghargaan. Begitupun dalam kelompok,
penghargaan yang diberikan dapat membuat sebuah kelompok lebih kompak dan
lebih aktif lagi untuk belajar. Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk
penghargaan lain apabila skor rata-rata mereka mencapai criteria tertentu (Slavin,
2009:146). Adapun kriterianya dapat ditunjukkan dalam Tabel 2.4.
27
Tabel 2.4Kriteria Tingkat Penghargaan KelompokKriteria (Rata-rata Tim) Predikat
0 ≤ x ≤ 5 -5 ≤ x ≤ 15 Tim baik15 ≤ x ≤ 25 Tim hebat25 ≤ x ≤ 30 Tim super
Sumber: Trianto (2007:56)
Dari Tabel 2.4 skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-
masing sumbangan skor individu anggota dalam kelompok dan hasilnya dibagi
sesuai dengan jumlah anggota kelompoknya, sehingga didapat rata-rata skor
perkembangan individu dalam kelompok yang disebut rata-rata kelompok/tim.
2.3 Hasil Belajar
2.3.1 Pengertian Belajar
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki
arti “berusaha memiliki kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki pengertian
bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu yang
belum dipunyai sebelumnya. Sehingga dengan belajar itu manusia menjadi tahu,
memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki pengalaman yang baru.
Menurut Hilgard dan Bower, dalam bukunya Theories of Learning yang
dikutip oleh Purwanto (2002:82) mengemukakan:
"Belajar berhubungan dengan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulangulang dalam situasi ini, dimana perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan, respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang."
Hal lain dikemukakan oleh Mudzakir (2001:34) bahwa: "belajar
merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di
28
dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap kebiasaan, ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan lain sebagainya."
Definisi lain seperti yang diungkapkan oleh Abdurrahman (2003:28) bahwa
belajar dapat diartikan sebagai: "suatu proses dari seorang individu yang berupaya
mencapai tujuan belajar yaitu suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif
menetap."
Belajar juga merupakan proses pengumpulan atau penghafalan suatu fakta
dalam bentuk informasi atau materi pelajaran, demikianlah sebagian orang
menafsirkan arti belajar (2004:64).
Menurut Gagne yang dikutip Ibrahim (2001:487), memaparkan bahwa :
“Belajar sebagai suatu perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia. Perubahan dalam menunjukkan kinerja (perilaku) berarti belajar itu menentukan semua keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai yang diperoleh siswa. Dalam belajar dihasilkan berbagai macam tingkah laku yang berlainan, seperti pengetahuan sikap, keterampilan, kemampuan, informasi, dan nilai”.
Sementara Wittig seperti dikutip oleh Syah (2006:90) mengemukakan
bahwa belajar : merupakan perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam
segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai
pengalaman. Perubahan yang menyangkut seluruh aspek psikofisik organisme
yang didasarkan pada kepercayaan bahwa tingkah laku lahiriyah organisme itu
sendiri bukan indikator adanya peristiwa belajar, karena proses belajar itu tidak
dapat diobservasi langsung (Syah, 2006:60).
Sedangkan menurut Witrock (dalam Ibrahim, 2003:734-735), belajar
adalah suatu terminologi yang menggambarkan proses perubahan melalui
pengalaman. Proses tersebut mempersyaratkan perubahan yang relatif permanen
29
berupa sikap, pengetahuan, informasi, kemampuan, dan keterampilan melalui
pengalaman.
2.3.2 Hakikat Hasil Belajar
Hasil belajar didefinisikan sebagai suatu hasil yang diharapkan dari
pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rumusan perilaku tertentu sebagai
akibat dari proses belajarnya (Riva’i, 2003:130).
Menurut Rusyan (2000:65) dalam bukunya Pendekatan Dalam Proses
Belajar Mengajar berpendapat : "Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai oleh
seorang siswa setelah ia melakukan kegiatan belajar mengajar tertentu atau setelah
ia menerima pengajaran dari seorang guru pada suatu saat."
Menurut Sudjana (2000:28) hasil belajar pada dasarnya merupakan akibat
dari suatu proses belajar.
Menurut aliran psikologi kognitif memandang hasil belajar adalah
(Rosyada, 2004:92):
Mengembangkan berbagai strategi untuk mencatat dan memperolehinformasi, siswa harus aktif menemukan informasi-informasi tersebut dan guru menjadi partner siswa dalam proses penemuan berbagai informasi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang dibahas dan dikaji bersama.
Dari pengertian hasil belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli maka
intinya adalah "perubahan". Oleh karena itu seseorang yang melakukan aktivitas
belajar dan memperoleh perubahan dalam dirinya dengan memperoleh
pengalaman baru, maka individu itu dikatakan telah belajar.
Perubahan-perubahan tingkah laku yang terjadi dalam hasil belajar memiliki ciri-
ciri (Slameto, 2003:3-4):
30
1. Perubahan terjadi secara sadar2. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional3. Perubahan bersifat positif dan aktif4. Perubahan bukan bersifat sementara5. Perubahan bertujuan dan terarah6. Mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Hasil belajar menempatkan seseorang dari tingkat abilitas yang satu ke
tingkat abilitas yang lain. Mengenai perubahan tingkat abilitas menurut Bloom
meliputi tiga ranah, yaitu (Sardiman, 2004, 23-24):
1. Kognitif: Knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas), analysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), evaluation (menilai), application (menerapkan)
2. Affective: receiving (sikap menerima), responding (memberi respon), valuing (menilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi).
3. Psychomotor: initiatory level, pre-routine level, routinized level.
Sedangkan menurut Hewindati dan Suryanto (2004:63) hasil belajar
merupakan suatu proses di mana suatu organisme mengalami perubahan perilaku
karena adanya pengalaman dan proses belajar telah terjadi jika di dalam diri anak
telah terjadi perubahan, perubahan tersebut diperoleh dari pengalaman sebagai
interaksi dengan lingkungan.
Sebenarnya hasil belajar merupakan realisasi pemekaran dari kecakapan
atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dari seseorang
dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan
pengetahuan, keterampilan berpikir, maupun keterampilan motorik (Sukmadinata,
2003:102-103).
Hasil belajar akan menumbuhkan pengetahuan dan pengertian dalam diri
31
seseorang sehingga ia dapat mempunyai kemampuan berupa keterampilan dalam
bentuk kebiasaan, sikap dan cita-cita hidupnya. Orang yang telah berhasil dalam
belajar akan menjadi orang yang mandiri dan dapat meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, serta dapat menentukan arah hidupnya (Koster, 2000:26). Bahar (dalam
Yusmaida, 2002:2) mengemukakan bahwa ada dua hal yang sangat penting untuk
dijadikan sasaran evaluasi dalam pelaksanaan kurikulum, yaitu hasil belajar siswa
tiap catur wulan dan daya capai kurikulum pada tiap sekolah.
Dengan menilai hasil belajar murid-muridnya sebenarnya guru tidak hanya
menilai hasil usaha muridnya saja tetapi sekaligus juga menilai hasil usahanya
sendiri. Menilai hasil belajar siswa berfungsi untuk dapat membantu guru dalam
menilai kesiapan anak pada suatu mata pelajaran, mengetahui status anak dalam
kelas, membantu guru dalam usaha memperbaiki metode belajar mengajar. Selain
bagi guru kegunaan hasil belajar bagi administrator adalah untuk memberi laporan
kemajuan murid kepada orang tua, member ikhtisar mengenai hasil usaha yang
dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan (Suryabrata, 2002:299-302).
Untuk lebih jelasnya mengenai hasil belajar biologi dapat dilihat pada
bagan dibawah ini :
Gambar 2.1Hasil Belajar Siswa
Pengetahuan
Perilaku
Belajar Tes Hasil Belajar
Nilai
32
Dari bagan di atas mencerminkan, bahwa hasil belajar diakibatkan oleh
adanya kegiatan evaluasi belajar (tes) dan evaluasi belajar dilakukan karena
adanya kegiatan belajar. Baik buruknya hasil belajar sangat tergantung dari
pengetahuan dan perubahan perilaku dari individu yang bersangkutan terhadap
apa yang dipelajarinya.
Jadi hasil belajar siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pengetahuan yang dicapai siswa pada mata pelajaran biologi setelah mengalami
proses pengajaran di sekolah dari hasil tes atau ujian yang diberikan setelah
melewati proses belajar pada akhir rumusan tertentu.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar
dapat dilakukan melalui tes. Tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-
pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapatkan jawaban dari siswa
dalam bentuk lisan, tertulis ataupun tindakan (Sudjana, 2005:35). Tes pada
umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa terutama
hasil belajar kognitif yang berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai
dengan tujuan pendidikan dan pengajaran.
Djamarah dan Zain (2006:106) menggolongkan penilaian keberhasilan
belajar ke dalam tiga jenis penilaian, diantaranya sebagai berikut:
a) Tes Formatif, digunakan untuk mengukur suatu atau beberapa pokok
bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
daya serap siswa terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil tes ini
dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan
tertentu dalam waktu tertentu.
33
b) Tes Subsumatif, meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang
telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk
memperoleh gambaran daya serap siswa untuk meningkatkan tingkat
prestasi belajar. Hasil tes ini dimanfaatkan untuk memperbaiki proses
belajar mengajar yang diperhitungkan dalam menentukan nilai rapor.
c) Tes Sumatif, untuk mengukur daya serap siswa terhadap pokok
bahasan yang telah diajarkan selama satu semester, satu atau dua
tahun pelajaran. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat atau
taraf keberhasilan belajar siswa dalam satu periode belajar tertentu.
Hasil tes ini dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyusun ranking
atau sebagai ukuran mutu sekolah.
Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan hasil
belajar pada mata pelajaran IPA Biologi. Hasil belajar tersebut adalah berupa
perolehan skor yang didapat oleh siswa setelah proses belajar mengajar. Skor
tersebut diperoleh berdasarkan kemampuan siswa menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh guru dalam bentuk tes tertulis. Tes tertulis diberikan kepada siswa
dalam bentuk pilihan ganda. Berdasarkan hasil tersebut dilihat apakah ada
peningkatan hasil belajar siswa setelah menggunakan metode cooperative learning
tipe STAD dalam pembelajaran Biologi.
34
2.4 Penerapan Model Coperative Learning Tipe STAD (Student Teams
Achievement Divisions) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Penerapan model cooperative learning tipe STAD secara tepat
memungkinkan siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran Biologi yang
ditargetkan di dalam kurikulum Biologi khususnya yang berhubungan dengan
hasil belajar.
Beberapa ahli pendidikan telah banyak melakukan penelitian mengenai
penerapan meode cooperative learning. Menurut Trend dalam Kunaedi (2006:38)
bahwa metode pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan
pembelajaran yang penting yakni prestasi akademik, penerimaan akan
penghargaan dan pengembangan keterampilan sosial. Dalam belajar kooperatif
meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau
tugas-tugas akademik penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model
ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para
pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan
kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan
perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah
norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat
member keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas
yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Tujuan penting lain
dari pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan
bekerja sama dan kolaborasi. Keteampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki
oleh siswa sebab saat ini banyak remaja masih kurang dalam keterampilan sosial.
35
Sudrajat (2004:1120 menyatakan bahwa dengan pembelajaran kooperatif,
siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika
mereka saling mendiskusikan dengan temannya. Hal ini dikarenakan dalam
pembelajaran kooperatif, pengajaran dilakukan dengan tutor sebaya (peer
teaching). Dengan kesamaan daya nalar antara siswa dengan yang lainnya, dan
dibawah bimbingan guru, maka proses penerimaan dan pemahaman pengetahuan
materi pelajaran akan semakin mudah dan cepat. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran kooperatif juga mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama
dan kolaborasi. Keterampilan ini penting untuk dimiliki di masyarakat di mana
banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling
bergantung satu sama lain di mana masyarakat secara budaya semakin beragam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Webb dalam Solihatin dan
Rahardjo (2007:12) menemukan bahwa dalam pembelajaran dengan
menggunakan metode pembelajaran kooperatif, sikap dan perilaku siswa
berkembang kea rah suasana yang demokratis dalam kelas. Selain itu, hasil
penelitian Snider dalam Solihatin dan Rahardjo (2007:13) yang dilakukan pada
siswa grade-9 pada mata pelajaran Geografi di Amerika, menemukan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif sangat mendorong peningkatan
prestasi belajar siswa yang diajar dengan menggunakan system kompetisi.
36
2.5 Kerangka Pemikiran
Proses belajar mengajar merupakan proses komunikasi aktif antara siswa
dengan guru dalam kegiatan pendidikan. Interaksi disini yaitu saling member dan
menerima informasi atau pengetahuan antara guru dengan siswa maupun antara
sesame siswa.
Suatu proses belajar mengajar (PBM) dapat berjalan efektif bila seluruh
unsur yang berpengaruh dalam PBM saling mendukung dalam rangka mencapai
tujuan. Seorang guru hendaknya mampu memberikan motivasi dan bimbingan
kepada siswa agar perubahan tingkah laku yang diharapkan sebagai hasil belajar
tercapai dengan baik, dalam hal ini guru harus benar-benar pandai dalam memilih
metode, serta pendekatan serta model pembelajaran.
Untuk mencapai hasil belajar yang memuaskan terdapat banyak faktor
yang mempengaruhinya, terkadang bagi sebagian siswa mencapai hasil belajar
yang memuaskan sangatlah sulit. Dalam belajar ada beberapa factor yang
mempengaruhi hasil belajar siswa baik factor yang berasal dari diri siswa, seperti
kesehatan, kecerdasan, bakat, minat, motivasi maupun faktor yang berasal dari
luar diri siswa, seperti lingkungan dan alat instrument (kurikulum, metode/model
pembelajaran, sarana dan fasilitas serta guru/pengajar).
Di dalam model pembelajaran teacher centered siswa bertindak pasif,
monoton sehingga kegiatan belajar menjadi kurang menarik. Berawal dari
kegiatan pembelajaran yang kurang menarik menyebabkan siswa menjadi malas
belajar, tidak ada motivasi dan akhirnya tidak senang mengikuti pelajaran
tersebut. Jika dalam kegiatan belajar mengajar, terdapat unsur paksaan pada diri
37
siswa maka sudah dipastikan hasil belajarnya rendah. Dengan kata lain bahwa
tinggi rendahnya hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh ketepatan guru dalam
menggunakan model pembelajaran di dalam proses belajar mengajar.
Melihat masih rendahnya hasil belajar di SMP Negeri 5 Palolo, maka perlu
adanya proses penyempurnaan pembelajaran dengan tepat, agar berdaya dalam
membangkitkan motivasi dan menanamkan sikap positif terhadap siswa.
Rendahnya hasil belajar siswa tersebut disebabkan oleh rendahnya motivasi dan
sikap positif siswa dalam proses pembelajaran. Kondisi tersebut disebabkan oleh
beberapa hal, seperti proses pembelajaran yang belum terlaksana secara maksimal,
kurang efektifnya strategi motivasi yang diterapkan guru, kegiatan pembelajaran
yang masih bersifat hafalan dan verbalistik.
Sesuai dengan hasil wawancara dan observasi awal terhadap pelaksanaan
pembelajaran di SMP Negeri 5 Palolo dengan guru mata pelajaran, diperoleh
gambaran mengenai situasi pembelajaran di kelas, yakni berkaitan dengan proses
dan hasil belajar yang relatif rendah. Guru sering mengalami kendala dalam
memotivasi siswa agar berani dalam mengemukakan pendapatnya dalam
pembelajaran. Dari hasil observasi yang telah dilakukan juga menunjukkan
adanya kecenderungan pola pembelajaran yang terpusat pada guru (teacher
centered), dimana siswa kurang berkesempatan untuk mengembangkan
kreativitas, dan belum terlihat secara maksimal dalam proses pembelajaran.
Banyak sekali jenis model pembelajaran yang dapat digunakan dan
divariasikan dalam proses belajar mengajar. Salah satu model yang diharapkan
dapat meningkatkan partisipasi siswa agar lebih aktif dalam kegiatan belajar
38
mengajar adalah model pembelajaran cooperative tipe Student Teams
Achievement Divisions (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin (2008)
yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling
memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna
mencapai hasil belajar yang maksimal sehingga mendorong siswa untuk
berdiskusi, saling bantu menyelesaikan tugas, menguasai dan pada akhirnya
menerapkan keterampilan yang diberikan.
Dari uraian di atas, maka permasalahan tersebut dapat ditarik kerangka
pemikiran seperti terlihat pada Gambar 2.2 berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
2.5 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
Teacher Centered
Rendahnya Hasil Belajar Siswa di SMPN 5 Palolo
Hasil Belajar Rendah Paradigma Pembelajaran
Pembelajaran Model Cooperative Learning Tipe STAD
Teacher Centered ke Student Centered
Meningkatnya Hasil Belajar
39
1). Terdapat perbedaan hasil belajar siswa sebelum dan sesudah diberi perlakuan
(treatment) dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning
Tipe STAD.
2). Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas ekperimen dengan model
pembelajaran Cooperative Learning Tipe STAD dengan siswa kelas control
yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional.