BAB II TINJAUN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/55504/3/BAB II.pdfsistem pendengaran, sistem pernafasan,...
Transcript of BAB II TINJAUN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/55504/3/BAB II.pdfsistem pendengaran, sistem pernafasan,...
12
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. Definisi Usia
Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang yang diukur
dalam satuan waktu dan di pandang dari segi kronologik, individu normal yang
memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama (Nugroho,
2000).
Batasan-batasan usia pada lansia dari waktu ke waktu menurut
Kemenkes 2015 :
a. Kelompok usia virilitis atau presenium yaitu seseorang yang berusia (55-
59 tahun)
b. Kelompok usia lanjut dini atau senescen yaitu seseorang yang berusia
(60-64ahun)
c. Kelompok lansia yang berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit
degeneratif byaitu seseorang yang berusia > 65 tahun
B. Konsep Lansia (Lanjut Usia)
1. Definisi Lansia
Lansia merupakan proses alamiah setelah tiga tahap kehidupan yaitu
masa anak-anak, masa dewasa, dan masa tua yang tidak dapat dihindari oleh
setiap individu (Wahit, 2006). Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari waktu tertentu tapi dimulai dari sejak
permulaan kehidupan (Fatmah, 2002).
Rifa (2013) menjelaskan bahwa seseorang telah mencapai tahap
praenisium pada usia 55-65 tahun yang dimana usia tersebut sudah
mengalami berbagai penurunan fungsional secara fisiologis, baik fisik
13
maupun mental secara psikologi. Timbulnyai permasalahani pada tubuh
disebakan oleh beberapa gangguan di musclosceletal, cardiovascular, dan
neurophschiatry hal tersebut mengakitbatkan lansia terisolasi akibat
disabilitas dari berbagai penyakit seperti, dementia, stroke, osteoarthritis,
dan berbagai penyakit degeneratifi lainnyai (Anies, 2018).
Bahwa 1% setiap tahunnya fungsi organ di dalam tubuh mengalami
penurunan fungsional (Martono, 2014). Secara fisiologis pada usia 20-30
tahun kekuatan otot akan mencapai maksimal, setelah umur 35 tahun ke atas
otot akan mengalami penurunan secara progresif (Anies, 2018).
2. Teori Proses Penuaan
Nugroho (2000) secara individual tahap proses menua terjadi pada
orang dengan usia yang berbeda-beda karena masing-masing lansia
mempunyai kebiasaan yang berbeda dan tidak ada satu faktor pun ditemukan
untuk mencegah proses menua. Adapun teori yang mendasari terjadinya
proses penuaan seperti teori kejiwaan sosial sebagai berikut:
a. Aktivitas atau kegiatan
1) Lansia akan merasakan kepuasan terendiri apabila dapat melakukan
aktivitas dan mempertahankan aktivitas selama mungkin secara
mandiri.
2) Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dengan sistem
individu agar tetap stabil dari usia pertengahan dan ke lanjut usia.
3) Ketentuan yang terjadi akan meningkatnya pada penurunan jumlah
kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut
usia yang dikatakan sukses apabila mereka aktif dan ikut banyak
dalam kegiatan sosial.
14
b. Teori Kepribadian Berlanjut
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada seseorang
yang berusia lanjut. Teorii inii merupakan gabungan dari teori
sebelumnya, pada teori ini mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi
pada seseorang yang berusia lanjut sangat dipengaruhi oleh tipe
personaliti yangi dimilikinyai.
c. Teori Pembebasan
Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat serta
kemunduran individu dengan individu lainnya, pada usia lanjut pertama
diajukan oleh Cumming dan Henry, teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia seseorang secara berangsur-angsur dimulai dari
melepas diri dengan kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
sekitarnya. Sehingga pada keadaan ini akan mengakibatkan interaksi
sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas dimana
sering terjadi kehilangan ganda (triple loss), yakni: kehilangan peran,
hambatan kontak sosial, berkurangnya komitmen. Triple loss akan
mempengaruhi konsep diri seseorang yang artinya mereka merasa tidak
berarti karena kehilangan peran dan cendrung menarik diri dari
lingkungan yang menyebabkan lansia memiliki harga diri rendah.
3. Proses Penuaan
Proses penuaan dianggap suatu proses yang mengubabh orang dewasa
dengan fisik sehat menjadi fisik yang rapuh ditandai berkurangnya sebagian
besar cadangan dari sistem fisiologis serta meningkatnya keretanan terhadap
bermacam penyakit seiring dengan bertambahnya usia (Stanley, 2006).
Proses menua bukanlah suatu hal yang terjadi hanya pada lansia, melainkan
15
suatu proses yang terjadi secara alami serta berlangsung sejak maturitas dan
berakhir dengan kematian, namun efek dari penuaan tersebut umumnya akan
muncul setelah berusia 40 tahun. Ketika proses penuaan terjadi penurunan
kapasitas fungsional, sistem integument atau kulit lansia, sistem penglihatan,
sistem pendengaran, sistem pernafasan, sistem reproduksi, sistem jantung dan
pembuluh darah, sistem pencernaan, sistem perkemihan, peruahan pada
sistem saraf serta perubahan otot dan tulang (Potter, 2003).
4. Perubahan yang terjadi akibat proses penuaan
Perubahan dalam suatu sistem fisiologis akan berpengaruh dan
memberikan dampak pada proses penuaan diantaranya perubahan struktur
dan fungsi fisiologis (Stanley, 2006). Efek perubahan fisiologis secara umum
yaitu:
a. Sistem Intergumen
Pada lansia terjadi perubahan kulit, seperti kulit menjadi atropi,
kendur, tidak elastis, kering dan berkerut. Berkurangnya cairan pada kulit
menyebabkan kulit menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan yang
terjadipada kulit disebabkan karena atropi glandula sebasea dan glandula
sudoritera, serta timbul pigmen berwarna coklat pada kulit yang dikenal
dengan liver spot.
b. Sistem Kardiovaskuler
Proses penuaan yang terjadi pada lansia berpengaruh terhadap
penurunan aktivitas, dampak yang ditimbulkan dari menurunnya aktivitas
fisik yaitu menurunnya kebutuhan darah yang terorganisir (Stanley dan
Bare, 2006).
16
c. Sistem Sensoris
Terjadinya kerusakan fungsi pendengaran yang berpengaruh dan
memberikan dampak pada pendengaran serta respon yang tidak sesuai
sehingga menimbulkan rasa malu dan gangguan komunikasi (Bare, 2006).
d. Sistem Musculoskeletal
Perubahan yang terjadi pada musculoskletal berpengaruh pada
tulang rawan di sendi sehingga menjadi tipis, komponen tulang rawan
mengalami perubahan yang menyebabkan sendi lebih rentan terhadap
kerusakan atau pengapuran. Perubahani sistemi musculoskletal terjadi
secara normal terkait usia pada lansia. Seperti penurunan tinggi badan,
radistribusi massa otot dan lemak sub kutan, atropi otot, pengurangan
kekuatan, atropi otot, pergerakan yang lamabat, kekauan pada sendi,
perubahan pada otot tulang dan sendi mengakibatkan perubahan
penampilan, srta lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan (Stanley
dan Bare, 2006). Tejadinya suatu penyakit degeneratif seperti
osteoarthritis dimana lapisan kartilago normal yang lembut dan ulet
menjadi tipis sehingga menyebabkan kerusakan berupa berlubang, kasar
dan rapuh. Sehingga hal ini menyebabkan ruang sendi menyempit dan
akhirnya tulang-tulang sendi bergesekan sehingga menimbulkan rasa
sakit, bengkak serta kesulitan dalam bergerak. Beberapa perubahan
muscloscletal yang terjadi padai lansiai (Pudjiastuti dan Utomo, 2003)
yaitu sebegai berikut:
1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sendiri memiliki fungsi sebagai protein pendukung
utama pada kulit, tulang, kartilago, serta tendon. Jaringan pengikat
17
mengalami perubahan sebagai bentangan cross linking yang tidak
teratur. Terjadinya perubahan pada kolagen akan mengakibatkan
turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak
berupa nyeri, menurunnya kemampuan dalam meningkatkan kekuatan
otot, kesulitan dalam bergerak dari posisi duduk ke berdiri, jongkok,
dan berjalan serta terdapat hambatan dalam beraktivitas.
2) Kartilago
Jaringan kartilago di persendian akan menjadi lunak dan
mengalami granulasi yang menyebabkan permukaan sendi menjadi
rata, kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang serta
degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikani
merupakani suatu komponen dasar dalam matriks kartilago yang akan
berkurang atau hilang secara bertahap. Ketika matriks mengalami
deteriorasi, maka jaringan fibril yang terdapat di kolagen akan
kehilangan kekuatan, yang artinya kartilago cenderung mengalamii
fibarasii.
3) Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang merupakan bagian dari
penuaan fisiologis. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara
terus menerus akan mengakibatkan penurunan pada kekuatan dan
kekakuan tulang.
4) Otot
Dampak yang ditimbulakn dari perubahan morfologis otot
yaitu penurunan kekuatan, menurunnya flksibilitas, peningkatan
waktu reaksi, serta menurunnya kemampuan fungsional otot. Secara
18
morfologis otot mengalami perubahan ketika penuaan yaitu
penurunan jumlah serabut otot, penumpukan lipofusin, sert
meningkatnya jaringan lemak dan jaringan penghubung.
5) Sendi
Pada lansia jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen,
dan fasia mengalami penurunan elastisitas yang artinya sendi
kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak
sendi.
e. Sistem Perkemihan dan Pencernaan
Proses penuaan tidak langsung meyebabkan gangguan
kontinensia, kondisi yang sering ditemui pada lansia dikombinasikan
dengan perubahan terkait usia yang memicu inkontinesia karena
hilangnya irama di urnal pada reproduksi urin dan penurunan filtrasi
ginjal (Stanley dan Bare, 2006). Perubahan fungsi tersebut melipit
perlambatan pristalik dan sekresi, sehingga mengakibatkan lansia
mengalami intoleransi pada makanan tertentu dan gangguan pengosongan
lambung serta perubahan pada gastrointestinal akan menyebabkan
konstipasi, distensi lambung, dan intestina atau diare (Stanley, 2006).
f. Sistem Pernafasan
Akibat dari proses penuaan yang terjadi pada lansia, akan
berpengaru terhadap implikasi klinis yang mengakibatkan terjadinya
kerentanan terhadap kegagalan respirasi, kanker paru, emboli pulmonal
serta penyakit kronis seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik
(Stanley dan Bare, 2006).
19
C. Indeks Massa Tubuh
IMT merupakan perbandingan antara berat badan (dalam kg) dibagi
tinggi badan (dalam meter) kuadrat. IMT bermanfaat untuk mengkategorikan
berat badan. Mengetahui indeks massa tubuh orang dewasa menggunakan
timbangan untuk mengetahui berat badan, micro toys merupakan alat untuk
mengukur tinggi badan seseorang. Pengukuran IMT merupakan alat yang
sederhana untuk menentukan status berat badan seseorang (Wahyuningsih,
2009). Manfaat penghitungan pada IMT, bertujuan untuk mngetahui apakah
seseorang mengalami kekurangan, kelebihan, atau berat badan yang sehat
(Annas, 2015).
Nilai pada Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Wahyuningsih (2009)
dihitung dengan menggunakan rumus:
Berat Badan (kg)
Indeks Massa Tubuh = ———————
( IMT ) Tinggi Badan (m)2
Table 2.1 Klasifikasi IMT untuk orang Indonesia (Sumber :
Kemenkes, 2010)
No Kategori IMT
1 Kurus (underweight) < 18,5
2 Berat badan normal 18,5 – 22,9
3 Berat badan berlebih (overweight) 23,0 – 24,9
4 Obesitas 35,0 – > 30,0
Terjadinya obesitas disebabkan karena penumpukan lemak yang
berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan. Obesitasi
terjadii bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang,
berertambahnya jumlah sel lemak pada tubuh seseorang akan menyababkan
terjadinya suatu penyakit multifaktorial yang mengakibatkan akumulasi
20
jaringan lemak berlebihan sehingga dapat mengganggui kesehatani (Arovah,
2012).
Distribusi lemak dapat meningkatkan resiko yang akan berhubungan
dengan berbagai macam penyakit degenerative. Obesitas merupakan keadaan
ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar
dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi energi dari makanan
yang dicerna tidak seimbang dengan energi yang digunakan untuk
metabolisme dan juga menjalani aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi inilah
yang akan disimpan dalam bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga akan
berakibat pada pertambahan berat badan (Arovah, 2012).
Obesitas saat ini merupakan permasalahan yang mendunia. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapan obesitas sebagai epidemik global.
Menurut Lembaga obesitas Internasional di London Inggris diperkirakan
sebanyak 1,7 milyar orang di bumi ini mengalami kelebihan berat badan.
Obesitas juga dianggap sebagai salah satu faktor yang meningkatkan
intensitas nyeri pada osteoarthritis lutut, peningkatan dari rasa nyeri serta
ketidakmampuan fungsi pada osteoarthritis semakin meningkat seiring
dengan berjalannya waktu (Rifa, 2013).
D. Anatomi Sendi Lutut
1. Definisi Sendi Lutut
Knee joint atau sendi lutut merupakan salah satu sendi yang
mempunyai fungsi komplek (Smith, et al., 2010). Gerakan yang
ditimbulkan oleh sendi lutut yaitu menekuk dan meluruskan serta
membantu setiap pergerakan misalnya berjalan, berlari, serta naik turun
tangga. Sebagian besar berat badan dan pergerakannya ditumpu oleh knee
21
joint (Jain, 2013). Knee joint tersusun dari Os Fibula, Os Tibia, dan Os
Femur kemudian disatukan dan diikat oleh ligamen Sehingga
permasalahan yang biasanya banyak terjadi pada sendi lutut salah satunya
gangguan musculoskeletal (Snell, 1998). Salah satu gangguan yang sering
muncul pada sendi lutut yaitu arthritis.
Table 2.2 Otot-Otot Pada Sendi Lutut (Snell Tahun, 1993)
No Muscle Origo Insersio Innervasi Fungsi
1 m. rectus femoris Spina illiaca
Anterior
Inferior
Superior
Patella n. femoris
L2-4
Ekstensi
sendi
lutut
2 Acetabulum
m. vastus lateralis
Dataran lateral
dan
anterior
trochantor
mayor femoris,
labium
lateralis linia
aspera
Lateral os
patella
n. femoris
L2-4
Ekstensi
sendi
lutut
3 m. vastus medialis Labium medial
linea aspera
Setengah
bagian
atas
os patella
n. femoris
L2-4
Ekstensi
sendi
lutut
4 m. vastus
intermedius
Dataran
Anterior
corpus femoris
Tuborisita
s
tibiae
n. femoris
L2-4
Ekstensi
sendi
lutut
5 m. bicep femoris Tuber
Isciadicum
Caput brevis,
pada labium
laterale linea
aspera
Fibula
bagian
lateral
dan
condylus
tibia
Condylus
medialis
tibia
n.peroneu
s
communis
Exorota
si sendi
lutut
6 m. semitendinosus Tuber
Ischiadicum
Condylus
medialis
tibia
n. tibialis Flexi
dan
endorot
asi
sendi
lutut
7 m.
semimembranosus
Tuber
Ischiadicum
Posterior
os
Calcaneu
s
n. tibialis Flexi
dan
endorot
asi
sendi
lutut
22
8 m. gastrocnemius Caput medial:
pada condylus
medialis
femuris
Caput lateral:
Pada condylus
lateral femoris
Posterior
os
Calcaneu
s
n. tibialis Flexi
sendi
Lutut
9 m. sartorius SIAS Tubersita
s
Tibia
n.
femoralis
L2-3
Fkexi
Internal
rotator
sendi
lutut
10 m. gracilis Ramus inferior
osis pubis dan
osis ischii
Tuberosit
as
tibia
dibelakan
g
tendo m.
Sartorius
n.
femoralis
L2-4
Fkexi
external
rotator
sendi
lutut
11 m. tensorfacia
latae
Spina iliaca
anterior
inferior dan
fascialatae
Tractus
illio
Tibialis
m. gluteus
superior
cabang n.
femoralis
L4-5, S1-
2
Flexor,
abdukto
r,
internal
rotasi
hip
Gambar 2.1 Anatomi Sendi Lutu
Sumber: Muslihah 2014
Arthritis merupakan penyakit sendi yang banyak dikeluhkan. Salah
satu bentuk arthritis yang ditemukan pada sandi lutut adalah
osteoarthritis. Osteoarthritisi sendirii merupakan suatu gangguan yang
ada di persendian lutut, yang artinya mengalami suatu perubahan atau
berkurangnya tulang rawan sendi, sehingga terbentuk tonjolan tulang
23
pada permukaani sendii (osteofit) (Felson, 2008). Beberapa penyusun
sendi lutut yang mengelilingi ruang synovial ialah sebagai berikut:
a. Lateral Tibiofemoral Joint
Sendi yang berfungsi sebagai penghubung antara kondilus lateral
femur, meniscus lateral, dan kondilus lateral tibia.
b. Medial tibiofemoral joint
Sendi ini berfungsi sebagai penghubung anatara kondilus medial
femur, meniscus medial dan kondilus medial tibia.
c. Patellofemoral joint
Merupakan sendi yang berfungsi sebagai penghubung patellar
surface pada femur dan patella.
Beberapa komponen penyususun sendi lutut (Muthiii’ah, 2017)
adalah sebagai berikut:
a. Kapsul Sendi
Merupakan bagian terluar yang rmenghubungkan sendi dan
tulang. Penebalan pada kapsul (ligamentum capsular) berfungsi
mengelilingi sendi untuk menjaga stabilitas sendi
b. Retinakula patella medial dan lateral
Merupakan tendon yang berfungsi sebagai gabungan dari
insersio m. quadriceps femoris dan tendon fascia lata yang
menguatkan bagian anteriori sendi.
c. Ligamen patella
Merupakan perpanjangan dari tendon besar ke insersio musculus
quadriceps femoris yang membentang dari patella ke tuberositas tibia.
Berfungsi menguatkan bagian anterior sendi. Infrapatellar fat pad
24
sebagai pemisah ligament dibagian posterior dengan membran
sinovial.
d. Ligamen popliteal oblique
Merupakan ligament datar yang membentang dari fossa
interkondilus femur ke caput tibia dan dari kondilus lateral femur ke
kondilus medial tibia. Fungsinya menguatkan bagian posterior sendi.
e. Ligamen popliteal arkuata
Membentang mulai dari kondilus lateral femur ke prosessus
styloideus caput fibula. Berfungsi untuk menguatkan bagian bawah
lateral posterior sendi.
f. Ligamen tibia kolateral
Merupakan sebuah ligamen yang berada di bagian medial sendi
serta membentang dari kondilus medial femur sampai ke kondilus
medial tibia. Ligament ini menempel kuat pada meniskus medial.
Robekan berulang yang terjadi pada ligamen akan menyebabkan
robekan meniskus dan kerusakan pada ligamentum krusiatum anterior.
g. Ligamen fibula kolateral
Ligamen kuat yang mengelilingi bagian lateral sendi. Ligament
ini membentang mulai dari kondilus lateral femur sampai ke lateral
caput fibula. Berfungsi untuk menguatkan bagian lateral sendi, dan
Ligamen ini ditutupi oleh tendon biseps femoris.
h. Ligamen Intrakapsular
Merupakan ligament antarkapsular yang menghubungkan os
tibia dengan os femur. Darii asalnyai, berjalan menyilang ke femur.
Ada dua ligament, yaitu Anterior Cruciate Ligaments (ACL) yang
25
membentang dari area interkondilar tibia ke bagian posteromedial
kondilus lateral femur, fungsinya untuk mencegah hiperekstensi lutut
dan yang kedua Posterior Cruciate Ligaments (PCL) yang
membentang dari area cekungan interkondilus tibia dan meniscus
lateral ke bagian anterior serta permukaan lateral kondilus medial
femur. Fungsinya mencegah sliding posterior tibia ketika fleksi lutut
saat beraktivitas khususnya ketika berjalan naik turuni tangga.
i. Meniscus Sendi
Merupakan dua cakram fibrokartilago diantara kondilus tibia
dan femur yang membantu mengkompensasi bentuk ireguler tulang
dan sirkulasi cairan sinovial. Terdapat dua meniskus yaitu meniskus
medial dan meniskus lateral. Meniskus medial adalah bagian
semisirkular dari fibrokartilago, berbentuk seperti huruf C. Bagian
anteriornya berakhir dengan menempel ke anterior fossa interkondilar
tibia dan anterior ligamentum krusiatum. Bagian posteriornya berakhir
dengan menempel pada ligamentum krusiatum posterior dan meniscus
lateral.
Meniskus lateral merupakan bagian sirkular fibrikartilago yang
berebntuk mirip huruf O. Bagian anterior berakhir dengan menempel
pada eminensia interkondilar anterior tibia, dan lateral dan posterior
ligamentum krusiatum anterior. Bagian posteriornya berakhir dengan
menempel pada eminensia interkondilar posterior tibia, dan berjalan
ke depan sampai ujung posterior meniskus. Sedangkan permukaan
anterior dari meniskus lateral dan medial saling dihubungkan oleh
ligamentum transversum lutut.
26
2. Fisiologi Sendi Lutut
Sendi lutut juga termasuk hinge joint atau sendi engsel karena
struktur dan lingkup gerak sendi yang menyerupai engsel. Fungsi dasar
sendi lutut yaitu, menstabilkan tumpuan berat badan, memungkinkan
adanya pergerakan pada tungkai, serta meneruskan atau mentrasmisi
beban dari bagian atas tubuh dan paha ke tungkai bawah. Sendi lutut
terdapat gerakan fleksi, ekstensi, rotasi ekternal dan rotasi internal.
Gerakan rotasi sendi lutut terjadi ketika posisi sendi sedikit fleksi,
terutama antara tibia dan meniskus. Dalam keadaan istirahat lutut
membentuk gerakan sedikit fleksi (Muthii’ah, 2017).
Gambar: 2.2 Fisiologi Sendi Lutut
Sumber: Muthii’ah, 2017
Otot-otot utama sendi lutut yang bertindak sebagai ekstensor
adalah m. rectus femoris, vastus lateralis, vastus medialis dan vastus
intermedius (m.quadriceps femoris). Sedangkani otot- ototi yang
bertindak sebagai fleksor yaitu m. hamstring yang dibantu oleh m.
gracilis, m. gastrocnimeus, dan m. sartorius. sementara otot yang
bertindak sebagai rotator medial adalah m. popliteai (Muthii’ah, 2017).
Ketika posisi berdiri, sendi lutut berada pada posisi ekstensi penuh
dan bersifat lebih rigid atau kaku karena kondilus medial tibia lebih besar
daripada kondilus lateral dan berada di depan kondilus medial femoral
sehingga mengunci sendi. Pada saat posisi tubuh tegak, berat badan akan
27
menumpu pada garis vertikal yang akan jatuh melewati tepat dari bagian
tengah sendi lutut. Namun hal ini dapat dicegah dengan adanya daya
tegang dari ligament krusiatum anterior, popliteal oblik, dan kolateral
(Muthii’ah, 2017).
Patella berfungsi sebagai protektor sendi dan juga mengurangi
friksi antara tulang dan otot yang menyusun sendi lutut. Patella juga
dapat meningkatkan tumpuan mekanik m.quadriceps. Sedangkan
meniskus berfungsi sebagai shock-absorber dan bantalan sendi lutut.
Selain itu, terdapat juga cairan synovial sebagai shock-absorber yang
dapat mengurangi friksi sendi (Muthii’ah, 2017).
E. Konsep Osteoarthritis (OA)
1. Definisi Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang
bersifat kronis, dimana keseluruhan struktur dari sendi mengalami
perubahan patologis. Ditandai dengan adanya nyeri, kekakuan sendi dan
kerusakan pada tulang rawan (kartilago) hyalin sendi. Meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada
tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, serta
melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi (Maharani, 2007).
Gambar 2.3 Lutut Normal dan Lutut Osteoarthritis
Sumber: Muthii’ah, 2017
28
2. Efidemiologi Osteoarthritis
WHO melalui publikasinya Global Burden of OA pada tahun
2002, telah memaparkan bahwa kurang lebih 10% populasi dunia yang
berusia ≥ 60 tahun memiliki gangguan sistomatis yang berhubungan
dengan osteoarthritis. Pravalensi di negara berkembang sangat beragam
(berbeda anatar hasil riset). Menurut studi COPCORD yang dilakuan di
Asia, prevalensi osteoarthritis ditemukan meningkat sesuai dengan usia
dan lebih banyaknya lagi ditemukan pada wanita. Studi COPCORD yang
dilakukan di Asia Tenggara meliputi negara Filipina, Thailand, Vietnam,
dan Malaysia. Pada studi COPCORD tidak dicantumkan data usia
spesifiknya (penulis hanya menuliskan bahwa data yang didapat yaitu
pada populasi berusia di atas 15 tahun). Indonesia sendiri memiliki
prevalensi ostearthritis mencapai 5% pada usia < 40 tahun, pada usia 40-
60 tahun mencapai 30%, dan pada usia ≥ 61 tahn mencapai 65%.
3. Faktor Resiko Osteoarthritis
a. Usia
Proses penuaan dianggap sebagai salah satu penyebab
peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi,
kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang
semuanya mendukung terjadinya osteoarthritis. Studi Framingham
menunjukkan bahwa seseorang yang berusia 63-70 tahun memiliki
bukti radiografik menderita osteoarthritis lutut sebesar 27%, yang
meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih. Studi lain
membuktikan bahwa risiko seseorang mengalami gejala timbulnya
osteoarthritis lutut mulai usia 50 tahun. Studi mengenai kelenturan
29
pada osteoarthritis, telah memaparkan bahwa terjadinya penurunan
kelenturan osteoarthritis lutut ditemukan pada pasien usia tua
(Maharani, 2007).
b. Jenis Kelamin
Pada orang tua yang berumur di atas 55 tahun, prevalensi
terkenanya osteoarthritis pada wanita lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki, hal ini disebabkan karena wanita memasuki masa
menopouse yang mengakibatkan berkurangnya hormon estrogen pada.
Akan tetapi usia kurang dari 45 tahun osteoarthritis lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita (Anisa, 2015).
c. Ras atau Etnis
Prevalensi penderita osteoarthritis lutut di negara Eropa dan
Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan
bahwa ras Afrika-Amerika memiliki resiko menderita osteoarthritis
lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia
juga memiliki resiko menderita osteoarthritis lutut lebih tinggi
dibandingkan Kaukasia (Maharani, 2007)
d. Faktor Genetik
Faktor genetik juga berperan sebagai resiko terajdinya
osteoarthritis lutut, hal tersebut berhubungan dengan abnormalitas
kode genetik untuk sintesis kolagen yang bersifat diturunkan
(Maharani, 2007).
e. Gaya Hidup atau Kebiasaan Merokok
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan
positif antara merokok dengan kejadian osteoarthritis lutut. Merokoki
30
mnyebabkani meningkatknya kandungan racun dalam darah dan
mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen, sehingga
menyebabkan terjadinya kerusakan tulang rawan. Rokok juga dapat
merusak sel tulang rawan sendi. Hubungan antara merokok dengan
hilangnya tulang rawan pada osteoarthritis lutut disebaban oleh
beberapa faktor yaitu, merokok dapat merusak sel dan menghambat
proliferasi sel tulang rawan sendi, merokok dapat meningkatkan
tekanan oksidan yang mempengaruhi hilangnya tulang rawan, serta
rokok juga dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida dalam
darah, yang menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat
menghambat pembentukan tulangi rawani (Annas, 2015).
f. Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko terkuat yang dapat
dimodifikasi. Selama berjalan, setengah dari berat badan bertumpu
pada sendi lutut. Meningkatnya berat badan akan melipatgandakan
beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford menunjukkan
bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2
unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk penderita
osteoarthritis lutut secara radiografik meningkat. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa semakin berat beban tubuh, maka akan semakin
besar resiko terjadinya osteoarthritis lutut (Annas, 2015).
Menurut WHO (2000) dalam Mutiawara (2016) berat badan dan
Obesitas dapat diklasifikasikan berdasarkan IMT, yaitu apabila IMT
<18, 5 maka dapat dikatakan berat badan kurang, dikatakan normal
bila IMT 18,5 - 22, 9 dan dikatakan memiliki berat badan lebih jika
31
nilai IMT >23,0. Seseorang dikatakan beresiko terkena obese jika nilai
IMT 23,0 – 24,9 dan dikategorikan obese I jika nilai IMT 25,0 – 29,9
serta dikatakan kategori obese II apabila nilai IMT >30,0.
g. Aktivitas Fisik
Melakukan aktivitas fisik berat seperti berdiri lama selama 2 jam
atau lebih setiap harinya, berjalan jarak jauh kurang lebih 2 jam setiap
hari, mengangkat barang berat (10 kg-50 kg selama 10 kali atau lebih
setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg-50 kg selama 10
kali atau lebih setiap minggu), serta melakukan aktivitas sehari-hari
seperti naik turun tangga merupakan faktor resiko terjadinya
osteoarthritis lutut (Erminawati, 2017).
h. Riwayat Trauma
Riwayat trauma pada lutut, merupakan salah satu faktor risiko
timbulnya osteoarthritis lutut yang akut termasuk robekan pada
ligamentum krusiatum dan meniskus. Studi Framingham menemukan
bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki resiko lebih tinggi
5-6 kali lipat untuk menderita osteoarthritis lutut. Hal tersebut
biasanya terjadi pada sekelompok usia yang lebih muda serta dapat
menyebabkan kecacatan yang lama (Maharani, 2007).
i. Kelainan Anatomis
Kelainan anatomis juga merupakan salah satu faktor resiko
timbulnya osteoarthritis lutut antara lain kelainan lokal pada sendi
lutut seperti genu varum, genu valgus, Legg-Calve -Perthes disease
dan displasia asetabulum. Kelemahan otot kuadrisep dan laksiti
32
ligamentum pada sendi lutut termasuk kelainan lokal yang juga
menjadi faktor risiko osteoarthritis lutut (Maharani, 2007).
4. Klasifikasi Osteoarthritis
a. Berdasarkan Patogenesisnya (Erminawati, 2017)
1) Osteoarthritis primer
Osteoarthritis primer disebut juga sebagai osteoarthritis
idiopatik, yang artinya penyebab dari osteoarthritis primer tidak
diketahui secara pasti dan tidak ada hubunganya dengan penyakit
sistemik, inflamasi maupun perubahan lokal pada sendi.
2) Osteoarthritis sekunder
Osteoarthritis sekunder merupakan Osteoarthritis yang
disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya seperti penggunaan
sendi secara berlebihan dalam aktivitas sehari-hari , olahraga
berat, penyakit sistemik, inflamasi, dan adanya cedera
sebelumnya.
b. Berdasarkan daerah yang sering terkena osteoarthritis (Ketut, 2012)
1) Panggul
Penjepitan rongga sendi pada awalnya terlihat pad superior
aspek penyangga berat badan maksimum disertai dengan adanya
osteofit.
2) Tulang Belakang
Penjepitan terjadi pada rongga discus, sehingga membentuk
tulang baru antara vetebral yang berdekatan menyebabkan
terjadinya penjepitan saraf atau akan menyebaban terjadinya
33
kompresi pada medulla spinalis, sclerosis, dan osteofit
(terbentuknya tulang baru) pada intervetebral.
3) Lutut
Lutut merupakan sendi yang paling sering terkena
osteoarthritis. Sendi lutut disertai dengan hilangnya femurotibial
pada rongga sendi. Komponen medial merupakan bagian
penyangga berat badan dengan tekanan besar, sehingga hampir
selau menunjukkan adanya penjepitan paling dini, serta perubahan
yang hebat dapat menyebaban terbentuknya tulang baru.
5. Patofisiologi dan Patogenesis Osteoarthritis
Kartilago dibentuk oleh matriks ekstrasel dan komposisi
predominan kolagen tipe II serta proteoglikan. Dalam kondisi normal,
matriks-matriks tersebut mengalami remodelling yang dinamis, yang
artinya terdapat keseimbangan antara degradasi dan aktivitas sintesis
enzim sehingga volume kartilago tetap. Ketika terjadi ketidakseimbangan
antara metabolisme kolagen dengan berbagai faktor, dimana terjadi
peningkatan enzim yang mendegradasi kolagen sehingga terjadi
kehilangan kolagen proteoglikans dari matriks (Muthii’ah, 2017).
Sebagai hasil dari peningkatan degradasi matriks maka terjadi
akumulasi produk hasil degradasi di cairan sinovial, sehingga
menginduksi terjadinya respon inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan
nyeri. Responi darii degradasi yang terjadi yaitu kondrosit akan
berproliferasi dan mensintesis kolagen serta proteoglikans. Bila respon
ini tidak dapat mengimbangi perjalanan penyakit, maka akan terjadi erosi
kartilago. Hasilnya adalah degenerasi fokus trabecular dan pembentukan
34
kista, serta peningkatan vaskularisasi dan reaktif sklerosis di zona
pembebanan yangi maksimali (Muthii’ah, 2017).
6. Tanda dan Gejala
Soeroso (2006) dalam (Rifhan, 2011) adanya krepitasi merupakan
salah satu tanda umum yang bisa dijumpai dalam osteoarthritis,
kemudian pada tingkat lanjut pembekakan sendi yang simetris,
perubahan pola jalan (gait patalogis) dan deformitas. Pada penelitian
terdahulu ditemukan tanda dan gejala terjadinya osteoarthritis yang
mungkin terjadi yaitu sebagai berikut:
a. stiffness
Pada osteoarthritis salah satu yang khas adalah terdapat stiffness
yang terjadi pada pagi hari umumnya terjadi selama 30 menit dan
pada malam hari sebelum tidur, hal ini terjadi ketika ekstremitas tidak
digunakan tapi secara bertahap akan hilang (Sinusas, 2012).
b. Unstable
Unstable joint sudah menjadi hal umum yang sering dikeluhkan
oleh pasien, kemungkinan dikarenakan oleh patologis yng terjadi
pada osteoarthritis sehingga menggangu pergerakan sendi (Sinusas,
2012).
c. Nyeri
Pada pasien osteoarthritis nyeri yang dirasakan semakin lama
akan semakin meningkat ketika melakukan aktivitas dan diikuti saat
istirahat (Sinusas, 2012).
35
d. Pembekakan dan Deformitas
Pembekakan biasanya terjadi secara intermiten dan adanya
deformitas pada varus dan valgus kemungkinan menandakan adanya
kontraktur pada kapsul sendi dan joint instability yang berhubungan
dengan osteoarthritis (Creamer, 2000).
e. Krepitasi
Terjadinya krepitasi akibat dari adanya penekanan pada
kartilago yang mengindikasikan sinovitis (Porter, 2003).
f. Kehilangan Fungsi
Gejala yang sering kita jumpai pada osteoarthritis yaitu seperti
gangguan pola jalan, kesulitan dalam menaiki anak tangga serta
kegiatan rekreasi (Porter, 2003).
g. Arthropy Otot
Terjadinya arthropy pada otot disebabkan karena jarang
digerakkan akibat respon patalogi atau inhibisi nyeri, sehingga
menyebabkan terjadinya kelemahan otot (Creamer, 2000).
h. Joint Instability
Hal ini terjadi akibat dari kehilangan respon propioseptif serta
kontrol ligamen (Porter, 2003).
i. Muscle Spasme
Spasme merupakan respon protektif, sehingga ketika bergerak
menyebabkan nyeri, maka tubuh mencoba untuk berhenti bergerak
sehingga spasme terjadi. Spasme juga dapat menyebabkan nyeri
dalam akumulasi metabolis sehingga otot lelah dan akan
menyebabkan keterbatasan gerak sendi (Porter, 2003).
36
7. Diagnosis
Mendiagnosis osteoarthritis pada lutut menggunakan kriteria dari
American Collage Of Rheumatology (Wahyuningsih, 2009). Pasien
positif terkena osteoarthritis apabila mengalami nyeri sendi dengan
minimal 3 dari 6 kriteria berikut:
a. Umur > 50 Tahun
b. Kaku pagi < 30 menit
c. Krepitus
d. Nyeri tekan
e. Pembesaran tulang
f. Ada rasa hangat saat dipalpasi
Selain itu dapat juga dilakukan beberapa pemeriksaan fisik seperti
anamnesis sistem, pmeriksaan gerak dasar, pemeriksaan vital sign,
palpasi serta pemeriksaan khusus ( tes ballottment, hipermobilitas varus
dan hipermobilitas valgus) (Muslihah, 2014).
a. Tes Ballottment
Tes ini betujuan untuk melihat apakah terdapat cairan di dalam
lutut. Pada pemeriksaan posisi tungkai full ekstensi. Prosedurnya,
recessus suprapatellaris di kosongkan dengan menekannya satu
tangan, sementara itu dengan jari tangan lainnya patella ditekan ke
bawah. Dalam keadaan normal patella tidak dapat ditekan ke bawah
karena sudah terletak di atas kedua condyli dari femur. Bila banyak
cairan di dalam lutut, maka patella sepertinya terangkat, yang
memungkinkan adanya sedikit gerakan (Muslihah, 2014).
37
Gambar: 2.4 Tes Ballottmen
Sumber: Muslihah, 2014
b. Varus Test
Tes ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas dari sendi lutut oleh
ligamen collateral lateral. Pada pemeriksaan dapat dilakukan dengan
cara full ekstensi dan fleksi 300. Cara pemeriksaannya yaitu pasien
berbaring terlentang dengan salah satu tungkai yang akan diperiksa
berada di luar bed, salah satu tangan terapis berada di sisi medial
sendi lutut dan tangan yang lain berada di sisi luar sendi pergelangan
kaki untuk memberikan tekanan ke arah dalam.
Gambar 2.5 Varus Test
Sumber: Muslihah, 2014
c. Valgus Test
Tes ini bertujuan untuk mengetahui lesi ligamen collateral medial.
Cara pemeriksaannya sama dengan tes hipermobilitas varus hanya
38
saja posisi salah satu tangan terapis berada di sisi lateral sendi lutut
dan tangan yang lain berada pada sisi dalam sendi pergelangan kaki
yang berfungsi untuk memberikan tekanan ke arah luar.
Gambar 2.6 Valgus Test
Sumber: Muslihah, 2014
8. Penatalaksaan Osteoarthritis
Tujuan pengobatan pada pasien osteoarthritis yaitu untuk
mengurangi gejala dan mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi otot.
Penanganan pertama yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan
terapi non farmakologis berupa edukasi mengenai penyakitnya secara
lengkap, selanjutnya memberikan terapi farmakologis yang bertujuan
untuk mengurangi nyerinya yaitu dengan memberikan analgetik lalu
dilanjutkan dengan fisioterapi (Anisa, 2015). Treatment untuk
penatalaksanaan osteoarthritis dibedakan menjadi menajadi 3 macam
yaitu farmakologis, non-farmakologis, dan pembedahan (Sinuas, 2012).
a. Farmakologis
Terapi farmakologis yang biasa diberikan pada osteoarthritis
yaitu NSAID, sulindac, oxaprozin, naproxen, nabumetone, meloxicam,
celebrex, diclofenac, ibuprofen, dan acetaminophen (Sinuas, 2012).
39
b. Non-farmakologis
Terapi non-farmakologis yang dilakukan untuk mengatasi
permasalahan yang terdapat pada osteoarthritis yaitu memakai
modalitas dan berbagai exercise. Modalitas terapi yang biasa dipakai
yaitu ultrasound serta TENS (Transcutaneus Electrical Nerve
stimulation). Menuruti Americani College of Rheumatology (ACR)
treatment secara non-farmakologis untuk osteoarthritis pada lutut
yaitu denan aerobic exercise, strengthening exercise, dan
hydrotherapyi exercisei (Imayati, 2012).
c. Pembedahan
Pembedahan diberikan apabila pasin memiliki gejala yang tidak
cocok untuk diberikan treatment lain. Tindakan pembedahan yang
diberikan yaitu, berupa total joint replacement.