BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ... II.pdf · Undang-Undang Nomor 8 Tahun...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ... II.pdf · Undang-Undang Nomor 8 Tahun...
27
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
KLAUSULA EKSONERASI
2.1 Perlindungan Konsumen
2.1.1 Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer, secara
harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan
termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau
konsumen.1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa, “konsumen
adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.”
Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai
akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain,
seperti pemberian, hadiah, dan undangan.2 Mariam Darus Badrul Zaman
mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang
1 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 3. 2 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.
28
digunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu: “Semua individu yang menggunakan
barang dan jasa secara konkret dan riil”.3
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, “konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.”
Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi
dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
suatu produk lainnya. Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang
yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan
kembali dengan tujuan mencari keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah konsumen akhir.
Setiap orang dapat dikatakan sebagai konsumen, karena setiap orang
tentunya selalu membutuhkan berbagai barang dan jasa untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya sendiri, maupun keluarganya. Maka dari itu, sudah
selayaknya konsumen yang notabenenya berada dalam posisi lemah, mendapatkan
perlindungan agar kerugian yang dialami oleh konsumen akibat pemakaian suatu
3 Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan
Permasalahannya, Alumni, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II), Bandung, h.
48.
29
produk barang dan/atau jasa dapat diminimalisir. Selain untuk meminimalisir
terjadinya kerugian, perlindungan terhadap konsumen juga bertujuan untuk
mensejajarkan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha.
Pada berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah
mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan
hukum perlindungan konsumen. Az Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu
berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum
konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah: “keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai
pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam
pergaulan hidup.” Kemudian hukum perlindungan konsumen dapat diartikan
sebagai: “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia
barang dan/atau jasa konsumen.”4
Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az Nasution menjelaskan sebagai
berikut.
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan
masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan
sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah
sekalipun tidak terlalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian,
maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan
hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila
kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam
masyarakat itu tidak seimbang.
Menurut N.H.T. Siahaan, hukum perlindungan konsumen adalah
“serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen
4 Az. Nasution II, op. cit., h. 64
30
atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.”5
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang dilakukan guna menjamin terpenuhinya hak-
hak konsumen selaku pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat. Perlindungan terhadap konsumen diwujudkan dengan adanya hukum
perlindungan konsumen yang memiliki pengertian sebagai seperangkat kaidah-
kaidah hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen selaku pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat.
1.1.2 Dasar hukum perlindungan konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada
dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Maka dari itu, penting
untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang konsumen dan/atau
perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-
undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi
hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.6
Adapun yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum
adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan
yang berwenang untuk itu, baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.
5 N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,
Panta Rei, h. 34. 6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., h. 47.
31
Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan
sebagainya).7
Selain pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen
“ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkan pada
tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64
(Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela” kepentingan
konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum
yang berlaku. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat
juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun
peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau
perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia juga merupakan sumber dari hukum
konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan
diuraikan berikut ini.
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Landasan dari Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan
Konsumen terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Alinea ke-4, yang
menyatakan sebagai berikut.
7 Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.
32
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.
Pada umumnya, hingga saat ini orang-orang akan bertumpu pada
kata “segenap bangsa” sehingga kata tersebut diambil sebagai asas
tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa).
Akan tetapi, di samping itu, terdapat kata “melindungi” yang menurut
Az. Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum)
pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap
bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali.
Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang
kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha/pelaku
usaha atau konsumen.
Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan dalam Pasal 27
ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut.
Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau
diganggu oleh pihak/pihak lain, maka alat-alat negara akan turun
tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan/atau mencegah
terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga
negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat
secara menyeluruh.
33
2. Ketetapan MPR (TAP-MPR)
Selanjutnya, dalam melaksanakan perintah UUD 1945 untuk
melindungi segenap bangsa, yang dalam hal ini khususnya mengenai
perlindungan konsumen, sejak tahun 1978 Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR. Melalui
ketetapan MPR (TAP-MPR) tahun 1993, telah memperjelas kehendak
rakyat Indonesia terkait adanya perlindungan konsumen, sekalipun
dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.
Jika pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan”
konsumen, dan pada TAP-MPR 1988 digunakan istilah “menjamin”
kepentingan konsumen, maka pada TAP-MPR 1993 digunakan istilah
“melindungi kepentingan konsumen”. Hanya saja, pada masing-
masing TAP-MPR tersebut tidak mancantumkan penjelasan mengenai
apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindung
kepentingan konsumen tersebut.
Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah
disusunnya dalam satu baris kalimat, mengenai kaitan antara produsen
dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi:
“………meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi
kepentingan konsumen.”
Dengan susunan kalimat tersebut, terlihat lebih jelas arahan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan
34
produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan
kepentingan konsumen.
Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku
usaha adalah dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam
hubungannya dengan para konsumen, kegiatan usaha pengusaha
adalah dalam rangka memproduksi, menawarkan, dan/atau
mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang
diperlukan oleh pelaku usaha adalah agar penghasilan dalam berusaha
dapat meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali baik
karena:
a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau
tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu
ketentuan-ketentuan tentang pembinaan) atau
b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau
menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktik
persaingan melawan hukum, penguatan pasar yang dominan,
dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).
Kepentingan konsumen terkait dengan penggunaan barang
dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh,
bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan
harta benda, diri, keluarga, dan/atau rumah tangganya (tidak
membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol dalam
35
perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada
jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.
Perbedaan prinsipil antara kepentingan pelaku usaha dan
konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa serta pelaksanaan
kegiatan, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan
perlindungan dan dukungan yang berbeda pula.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan
hubungan hukum dan masalah antar pelaku usaha penyedia barang
dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa
tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat
memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen
dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. 8
1.1.3 Asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh
pihak yang terkait, mulai dari masyarakat, pelaku usaha, hingga pemerintah
berdasarkan lima asas, yang menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen ini adalah:
1. Asas manfaat;
2. Asas keadilan;
3. Asas keseimbangan;
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; serta
8 Az. Nasution II, op. cit., h. 30-52.
36
5. Asas kepastian hukum.
Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas
ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak
lain atau sebaliknya, melainkan untuk memberikan kepada masing-masing pihak
(konsumen dan pelaku usaha), apa yang menjadi haknya. Dengan demikian,
diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen
bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi
kehidupan berbangsa.9
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha dapat berlaku adil
melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Oleh karena itu,
undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku
usaha.10
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan
spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah
9 Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cet. IV, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 26. 10
Ibid.
37
dapat memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan
kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak
ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih
besar dari pada pihak lain.11
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen
akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan
sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan
keselamatan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, undang-undang ini
membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah
larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan
mengedarkan produknya.12
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya,
undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban
yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan
11
Ibid. 12
Ibid., h. 27.
38
sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu,
negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini.13
Selanjutnya terkait dengan tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini sebagaimana
disebut dalam Pasal 3 adalah:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Memperhatikan tujuan dan asas yang terkandung dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, terlihat jelas bahwa
undang-undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.1.4 Hak dan kewajiban konsumen
Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah
kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah
tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya
13
Ibid.
39
mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam
melaksanakannya.14
Secara tradisional dikenal dua macam pembedaan atau pengelompokan
hak, yaitu hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia
(disebut hak asasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yaitu
hak yang berdasarkan undang-undang (disebut hak hukum).15
Hak asasi tidak perlu direbut karena ada dan selalu ada, selama ia masih
manusia; keberadaannya tidak bergantung pada persetujuan orang ataupun
undang-undang negara. Terhadap hak asasi, hukum negara hanya boleh dan
bahkan wajib mengatur pemenuhannya, sedangkan untuk meniadakan atau
menghapuskan hak asasi melalui hukum, tidak dapat dibenarkan.
Hak hukum adalah hak yang bersumber, baik dari hukum maupun
perjanjian itu dibedakan menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Hak
kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatu benda yang dapat
dipertahankan terhadap setiap orang, misalnya, hak milik. Sedangkan hak
perorangan memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seseorang. Dalam
hukum Romawi, keduanya disebut dengan actiones in rem untuk tuntutan
kebendaan dan actiones in personam untuk tuntutan perseorangan.16
Berdasarkan pemahaman di atas maka dapat dipahami pula bahwa hak-hak
konsumen terdiri atas hak konsumen sebagai manusia (yang perlu hidup), hak
konsumen sebagai subjek hukum dan warga negara (yang bersumber dari undang-
14
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, h. 40. 15
Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta, h. 94-95. 16
Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XII, Intermasa, Jakarta, h. 63.
40
undang/hukum), dan hak konsumen sebagai pihak-pihak dalam kontrak (dalam
hubungan kontrak dengan pelaku usaha).
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya di hadapan
Kongres Amerika Serikat pada tahun 1962, pada saat menyampaikan gagasan
tentang perlunya perlindungan konsumen, menyebutkan empat hak konsumen
yang perlu mendapat perlindungan secara hukum, yaitu:
1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety);
2. Hak memilih (the right to choose);
3. Hak mendapat informasi (the right to be informed); dan
4. Hak untuk didengar (the right to be heard).17
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat
jaminan dan perlindungan hukum, yaitu:
a. hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
17 Janus Sidabalok, op. cit., h. 31.
41
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih luas
daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy.
Selain hak-hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal
7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan
antinomi hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak
konsumen.18
Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari
akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, bahwa
kegiatan bisnis yang dilakukan pelaku usaha seringkali tidak secara jujur, yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair
competition).19
Pada akhirnya, dengan memperhatikan hak-hak yang telah disebutkan di
atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak-
hak konsumen, yaitu sebagai berikut.
a. Hak atas keamanan dan keselamatan;
18
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., h.32 19
Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.
42
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk
menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan
barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat
terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi
suatu produk.
b. Hak untuk memperoleh informasi;
Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar
konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu
produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih
produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari
kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.
c. Hak untuk memilih;
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada konsumen kepada konsumen untuk memilih produk-produk
tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak
luar.
d. Hak untuk didengar;
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari
kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, atau berupa
pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat
43
penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan/pendapat
tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara
perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara
langsung maupun diawali oleh suatu lembaga tertentu, misalnya
melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut
hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak
untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk
mempertahankan hidupnya (secara layak).
f. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya
penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan
konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang
telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi,
maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan
kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus
melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di
luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
44
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar
konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang
diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan
produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen
akan dapat menjadi kritis dan lebih teliti dalam memilih suatu
produk yang dibutuhkan.
h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi
setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh
lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi
tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997.
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya;
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian
akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan
tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang
jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas
barang atau jasa yang diperolehnya.
j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
45
Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan
malalui jalur hukum. 20
Ahmadi Miru menyatakan bahawa bagaimanapun ragamnya rumusan hak-
hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi
dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:
1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
2. hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan
yang dihadapi. 21
Selanjutnya mengenai kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan
sebagai berikut.
Kewajiban konsumen adalah:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi
keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Adanya kewajiban konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi
keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting karena seringkali pelaku
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, cet. I, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 40-46. 21
Ibid, h. 46.
46
usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun
konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan
pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak
bertanggungjawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat
mengabaikan kewajiban tersebut.
Terkait kewajiban konsumen untuk beritikad baik hanya tertuju pada
transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena
bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat
melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha,
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
2.2 Klausula Eksonerasi
2.2.1 Pengertian klausula eksonerasi
Mariam Darus Badrulzaman, dengan istilahnya klausul eksonerasi,
memberikan definisi terhadap klausul tersebut sebagai klausul yang berisi
pembatasan pertanggungjawaban dari kreditor, terhadap resiko dan kelalaian yang
mesti ditanggungnya.22
Demikian juga David Yates, yang lebih memilih menggunakan istilah
exclusion clause, memberikan definisi any term in a contract restricting,
excluding or modifying aremedy or a liability arising out of breech of a
22
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., h. 141.
47
contractual obligation23
yang diterjemahkan sebagai setiap bagian dari suatu
perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau
tanggung jawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.
Dalam pengertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada
yurisprudensi dalam kasus Bentsen v. Taylor, Sons & Co (1893) dan Bahama
International Trust Co. V. Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa
exemption clause diartikan sebagai …..a clause in a contract or a term in a notice
which appears to exclude or restrict a liability or a legal duty that would
otherwise arise, yang jika diterjemahkan adalah klausul yang kehadirannya untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.24
Menurut Rijken, klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan
dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk
memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang
terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.25
Shidarta menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang
mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung
jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk
(penjual).26
Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai
klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya
ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang
23
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-3,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 141. 24
Ibid. 25
Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, h. 47 26
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, h. 120.
48
sangat merugikan konsumen yang pada umumnya memiliki posisi lebih lemah
jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh
produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.27
Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku
berarti patokan atau acuan. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan
perjanjian baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam
bentuk formulir.28
Sutan Rehmi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian
yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak
yang lain pada dasarnya tidak memiliki peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya
yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal
yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang
dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.29
2.2.2 Dasar hukum larangan pencantuman klausula eksonerasi
Pitlo menggolongkan klausula baku sebagai perjanjian paksa (dwang
contract). Walaupun secara teoritis yuridis, klausula baku tidak memenuhi
ketentuan undang-undang dan ditolak keberadaannya sebagai perjanjian oleh
beberapa ahli hukum, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat terhadap
klausula baku berjalan ke arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.30
27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., h. 114 28
Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank (selanjutnya disingkat
Mariam Darus Badrulzaman III), Alumni, Bandung, h. 48. 29 Shidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta. 30
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit, h. 117.
49
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku
pada setiap perjanjian dan dokumen apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pencantuman klausul yang menyatakan bahwa “barang yang sudah dibeli
tidak dapat dikembalikan” pada nota pembelian atau tanda bukti pembelian
lainnya, tentu telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf b Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila menyatakan bahwa pelaku usaha berhak untuk menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
50
Tidak hanya melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf b, Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
pencantuman klausul yang menyatakan bahwa “barang yang sudah dibeli tidak
dapat dikembalikan” pada nota pembelian secara tidak langsung telah menyatakan
adanya pengalihan beban tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen.
Hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Selanjutnya, pada Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen juga melarang pelaku usaha mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku
yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum, dengan amar bahwa pelaku usaha wajib menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.31
Ahmadi Miru berpendapat bahwa perjanjian baku merupakan perjanjian
yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui
bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban
tanggung jawab dari pihak perancang klausula baku kepada pihak lawannya.
Namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh
para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan klausula perjanjian
31
Zulham, op. cit., h. 75.
51
tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang
berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.32
2.2.3 Hubungan antara klausula eksonerasi dengan klausula baku
Untuk dapat mengetahui hubungan antara klausula eksonerasi dengan
klausula baku, maka selain memahami pengertian dari klausula eksonerasi, perlu
juga dipahami pengertian dari klausula baku.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih
dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut.
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif
lebih kuat dari konsumen.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi
perjanjian.
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal.
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh
faktor kebutuhan. 33
32
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, loc.cit. 33
Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
93.
52
Berdasarkan pengertian dari klausula baku di atas, dan juga klausula
eksonerasi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat diketahui
bahwa klausula eksonerasi merupakan bagian dari klausula baku. Baik klausula
baku maupun klausula eksonerasi sama-sama dibuat secara sepihak oleh pelaku
usaha. Namun, hanya kalusula baku yang ditujukan untuk membatasi atau bahkan
menghilangkan tanggung jawab pelaku usaha saja yang dapat disebut sebagai
klausula eksonerasi. Berbagai macam perjanjian yang memuat klausula eksonerasi
dibuat oleh pelaku usaha dengan tujuan untuk membatasi hingga menghilangkan
tanggung jawab dirinya atas akibat yang mungkin ditimbulkan.
Kalau perjanjian dengan syarat-syarat baku meniadakan pembicaraan
terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, maka perjanjian dengan syarat-syarat
eksonerasi menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari
persetujuan. Kesamaan dari keduanya adalah syarat-syarat itu tidak dibicarakan
terlebih dahulu dengan siapa perjanjian itu dilakukan. Orang atau pihak lain itu,
dan umumnya mereka adalah konsumen, dapat menerimanya atau tidak
menerimanya sebagai suatu perjanjian (take it or leave it).34
Bentuk perjanjian dengan klausula-klausula baku ini umumnya dapat
terdiri atas:
a. Dalam Bentuk Dokumen
Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk-bentuk lain, yaitu syarat-
syarat khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan
atau tanda penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan-papan
34
Az. Nasution, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution III) h. 109.
53
pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di
lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam kemasan
atau pada wadah produk bersangkutan.
Dalam bentuk termuat pada secarik kuitansi, bon, selembar
kertas tertentu, tanda penerimaan atau penyerahan barang lainnya, ia
berbentuk tulisan dengan kalimat-kalimat antara lain: “Barang yang
sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” (biasanya termuat pada
bon/kuitansi pembelian barang-barang dari toko dan/atau kedai),
“ganti rugi maksimum 10 x ongkos pengiriman” (pada bon atau
kuitansi dari perusahaan transportasi pengangkut barang atau orang),
“ganti rugi dalam bentuk penggantian satu rol film baru” (biasanya
pada toko pencuci dan pembuat foto atau foto-foto studio), “barang-
barang dalam mobil yang diparkir dana tau mobil hilang di luar
tanggung jawab kami” (biasanya pada penyedia tempat-tempat parkir
kendaraan bermotor), “barang-barang yang dicuci tidak dijamin
apabila terjadi hal-hal tertentu” (biasanya pada toko/perusahaan
pencuci pakaian atau laundry), “barang-barang yang dijamin sesuai
dengan ketentuan-ketentuan tercantum pada surat/kartu garansi ini”,
dan sebagainya. Biasanya huruf yang digunakan kecil-kecil dan halus,
sehingga sulit diketahui, kecuali mereka yang telah memahami tentang
persoalannya.
b. Dalam Bentuk Perjanjian
54
Dalam bentuk perjanjian, ia memang merupakan suatu perjanjian
yang konsep atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh
salah satu pihak; biasanya penjual dan/atau produsen. Perjanjian ini di
samping memuat aturan-aturan yang umumnya biasa tercantum dalam
suatu perjanjian, memuat pula persyaratan-persyaratan khusus baik
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu
dan/atau berakhirnya perjanjian itu.
Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan
suatu perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi
(syarat-syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya, memuat
ketentuan tentang syarat berlakunya kontrak baku, syarat-syarat
berakhirnya, syarat-syarat tentang resiko tertentu, hal-hal tertentu yang
tidak ditanggung dan/atau berbagai persyaratan lain yang pada
umumnya menyimpang dari ketentuan yang umum berlaku. Berkaitan
dengan masalah berlakunya ketentuan syarat-syarat umum yang telah
ditentukan atau ditunjuk oleh perusahaan tertentu, termuat pula
ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-jaminan tertentu dari suatu
produk.
Contoh-contoh perjanjian dengan syarat-syarat baku antara lain
adalah: perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian
pembelian perumahan, perjanjian pembelian kendaraan bermotor, dan
sebagainya. 35
35
Ibid, h. 109-111.
55
Sampai saat ini berlakunya perjanjian dengan syarat-syarat baku itu antara
lain dengan cara-cara:
1. Memuatnya dalam butir-butir perjanjian yang konsepnya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak biasanya oleh
kalangan pengusaha, baik itu produsen, distributor, atau pedagang
eceran produk bersangkutan. Pokoknya disediakan oleh si penyedia
barang atau jasa yang ditawarkan pada orang banyak (perhatikan
kontrak-kontrak jual beli atau beli-sewa kendaraan bermotor,
perumahan, alat-alat elektronik, dan lain-lain).
2. Dengan memuatnya dalam carik-carik kertas baik berupa tabel,
kuitansi, bon, tanda terima barang atau lain-lain bentuk penjualan
dan/atau (perhatikan pada carik kertas/bon/atau tanda penyerahan
barang dari toko, kedai, supermarket, dan sebagainya).
3. Dengan pembuatan pengumuman tentang berlakunya syarat-syarat
baku di tempat-tempat tertentu, seperti di tempat-tempat parkir,
atau di hotel/penginapan dengan meletakkan atau menempelkan
pengumuman itu di meja/ruang penerima tamu atau di ruang duduk
kamar yang disewakan. 36
Mereka yang menyediakan ketentuan-ketentuan syarat-syarat baku
tersebut menganggap dengan telah ditanda-tanganinya perjanjian dengan syarat-
syarat baku, para pihak tersebut dengan sendirinya terikat pada ketentuan-
ketentuan yang termuat dalam perjanjian itu. Begitu pula dengan berbagai bentuk
36
Ibid, h. 111-112.