BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ... II.pdf · Undang-Undang Nomor 8 Tahun...

30
27 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KLAUSULA EKSONERASI 2.1 Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa, “konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.” Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah, dan undangan. 2 Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang 1 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 3. 2 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ... II.pdf · Undang-Undang Nomor 8 Tahun...

27

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN

KLAUSULA EKSONERASI

2.1 Perlindungan Konsumen

2.1.1 Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer, secara

harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang

menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan

termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus

Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau

konsumen.1

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa, “konsumen

adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk

kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.”

Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai

akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain,

seperti pemberian, hadiah, dan undangan.2 Mariam Darus Badrul Zaman

mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang

1 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,

Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 3. 2 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.

28

digunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu: “Semua individu yang menggunakan

barang dan jasa secara konkret dan riil”.3

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, “konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.”

Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi

dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah

pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara

adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses

suatu produk lainnya. Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang

yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan

kembali dengan tujuan mencari keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

adalah konsumen akhir.

Setiap orang dapat dikatakan sebagai konsumen, karena setiap orang

tentunya selalu membutuhkan berbagai barang dan jasa untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya sendiri, maupun keluarganya. Maka dari itu, sudah

selayaknya konsumen yang notabenenya berada dalam posisi lemah, mendapatkan

perlindungan agar kerugian yang dialami oleh konsumen akibat pemakaian suatu

3 Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan

Permasalahannya, Alumni, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II), Bandung, h.

48.

29

produk barang dan/atau jasa dapat diminimalisir. Selain untuk meminimalisir

terjadinya kerugian, perlindungan terhadap konsumen juga bertujuan untuk

mensejajarkan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha.

Pada berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah

mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan

hukum perlindungan konsumen. Az Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu

berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum

konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah: “keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai

pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam

pergaulan hidup.” Kemudian hukum perlindungan konsumen dapat diartikan

sebagai: “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan

melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia

barang dan/atau jasa konsumen.”4

Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az Nasution menjelaskan sebagai

berikut.

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan

masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan

sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah

sekalipun tidak terlalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian,

maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan

hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila

kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam

masyarakat itu tidak seimbang.

Menurut N.H.T. Siahaan, hukum perlindungan konsumen adalah

“serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen

4 Az. Nasution II, op. cit., h. 64

30

atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.”5

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa perlindungan

konsumen adalah segala upaya yang dilakukan guna menjamin terpenuhinya hak-

hak konsumen selaku pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat. Perlindungan terhadap konsumen diwujudkan dengan adanya hukum

perlindungan konsumen yang memiliki pengertian sebagai seperangkat kaidah-

kaidah hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen selaku pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat.

1.1.2 Dasar hukum perlindungan konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada

dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak

bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Maka dari itu, penting

untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang konsumen dan/atau

perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-

undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi

hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.6

Adapun yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum

adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan

yang berwenang untuk itu, baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.

5 N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,

Panta Rei, h. 34. 6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., h. 47.

31

Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang

Dasar 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah

(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan

sebagainya).7

Selain pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen

“ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkan pada

tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64

(Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela” kepentingan

konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum

yang berlaku. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat

juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun

peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau

perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia juga merupakan sumber dari hukum

konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan

diuraikan berikut ini.

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Landasan dari Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan

Konsumen terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Alinea ke-4, yang

menyatakan sebagai berikut.

7 Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.

32

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.

Pada umumnya, hingga saat ini orang-orang akan bertumpu pada

kata “segenap bangsa” sehingga kata tersebut diambil sebagai asas

tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa).

Akan tetapi, di samping itu, terdapat kata “melindungi” yang menurut

Az. Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum)

pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap

bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali.

Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang

kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha/pelaku

usaha atau konsumen.

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan dalam Pasal 27

ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut.

Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan.

Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau

diganggu oleh pihak/pihak lain, maka alat-alat negara akan turun

tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan/atau mencegah

terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga

negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat

secara menyeluruh.

33

2. Ketetapan MPR (TAP-MPR)

Selanjutnya, dalam melaksanakan perintah UUD 1945 untuk

melindungi segenap bangsa, yang dalam hal ini khususnya mengenai

perlindungan konsumen, sejak tahun 1978 Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR. Melalui

ketetapan MPR (TAP-MPR) tahun 1993, telah memperjelas kehendak

rakyat Indonesia terkait adanya perlindungan konsumen, sekalipun

dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.

Jika pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan”

konsumen, dan pada TAP-MPR 1988 digunakan istilah “menjamin”

kepentingan konsumen, maka pada TAP-MPR 1993 digunakan istilah

“melindungi kepentingan konsumen”. Hanya saja, pada masing-

masing TAP-MPR tersebut tidak mancantumkan penjelasan mengenai

apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindung

kepentingan konsumen tersebut.

Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah

disusunnya dalam satu baris kalimat, mengenai kaitan antara produsen

dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi:

“………meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi

kepentingan konsumen.”

Dengan susunan kalimat tersebut, terlihat lebih jelas arahan

Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan

34

produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan

kepentingan konsumen.

Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku

usaha adalah dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam

hubungannya dengan para konsumen, kegiatan usaha pengusaha

adalah dalam rangka memproduksi, menawarkan, dan/atau

mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang

diperlukan oleh pelaku usaha adalah agar penghasilan dalam berusaha

dapat meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali baik

karena:

a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau

tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu

ketentuan-ketentuan tentang pembinaan) atau

b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau

menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktik

persaingan melawan hukum, penguatan pasar yang dominan,

dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).

Kepentingan konsumen terkait dengan penggunaan barang

dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh,

bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan

harta benda, diri, keluarga, dan/atau rumah tangganya (tidak

membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol dalam

35

perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada

jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

Perbedaan prinsipil antara kepentingan pelaku usaha dan

konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa serta pelaksanaan

kegiatan, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan

perlindungan dan dukungan yang berbeda pula.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan

hubungan hukum dan masalah antar pelaku usaha penyedia barang

dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa

tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat

memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen

dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. 8

1.1.3 Asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh

pihak yang terkait, mulai dari masyarakat, pelaku usaha, hingga pemerintah

berdasarkan lima asas, yang menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen ini adalah:

1. Asas manfaat;

2. Asas keadilan;

3. Asas keseimbangan;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; serta

8 Az. Nasution II, op. cit., h. 30-52.

36

5. Asas kepastian hukum.

Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-

besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas

ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak

lain atau sebaliknya, melainkan untuk memberikan kepada masing-masing pihak

(konsumen dan pelaku usaha), apa yang menjadi haknya. Dengan demikian,

diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen

bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi

kehidupan berbangsa.9

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum

perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha dapat berlaku adil

melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Oleh karena itu,

undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku

usaha.10

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan

spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah

9 Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cet. IV, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 26. 10

Ibid.

37

dapat memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum

perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha, dan

pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan

kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak

ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih

besar dari pada pihak lain.11

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen

akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan

sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan

keselamatan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, undang-undang ini

membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah

larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan

mengedarkan produknya.12

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya,

undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban

yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan

11

Ibid. 12

Ibid., h. 27.

38

sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu,

negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini.13

Selanjutnya terkait dengan tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini sebagaimana

disebut dalam Pasal 3 adalah:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggungjawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Memperhatikan tujuan dan asas yang terkandung dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, terlihat jelas bahwa

undang-undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan

kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.1.4 Hak dan kewajiban konsumen

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah

kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah

tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya

13

Ibid.

39

mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam

melaksanakannya.14

Secara tradisional dikenal dua macam pembedaan atau pengelompokan

hak, yaitu hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia

(disebut hak asasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yaitu

hak yang berdasarkan undang-undang (disebut hak hukum).15

Hak asasi tidak perlu direbut karena ada dan selalu ada, selama ia masih

manusia; keberadaannya tidak bergantung pada persetujuan orang ataupun

undang-undang negara. Terhadap hak asasi, hukum negara hanya boleh dan

bahkan wajib mengatur pemenuhannya, sedangkan untuk meniadakan atau

menghapuskan hak asasi melalui hukum, tidak dapat dibenarkan.

Hak hukum adalah hak yang bersumber, baik dari hukum maupun

perjanjian itu dibedakan menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Hak

kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatu benda yang dapat

dipertahankan terhadap setiap orang, misalnya, hak milik. Sedangkan hak

perorangan memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seseorang. Dalam

hukum Romawi, keduanya disebut dengan actiones in rem untuk tuntutan

kebendaan dan actiones in personam untuk tuntutan perseorangan.16

Berdasarkan pemahaman di atas maka dapat dipahami pula bahwa hak-hak

konsumen terdiri atas hak konsumen sebagai manusia (yang perlu hidup), hak

konsumen sebagai subjek hukum dan warga negara (yang bersumber dari undang-

14

Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, h. 40. 15

Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta, h. 94-95. 16

Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XII, Intermasa, Jakarta, h. 63.

40

undang/hukum), dan hak konsumen sebagai pihak-pihak dalam kontrak (dalam

hubungan kontrak dengan pelaku usaha).

Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya di hadapan

Kongres Amerika Serikat pada tahun 1962, pada saat menyampaikan gagasan

tentang perlunya perlindungan konsumen, menyebutkan empat hak konsumen

yang perlu mendapat perlindungan secara hukum, yaitu:

1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety);

2. Hak memilih (the right to choose);

3. Hak mendapat informasi (the right to be informed); dan

4. Hak untuk didengar (the right to be heard).17

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat

jaminan dan perlindungan hukum, yaitu:

a. hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau

penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

17 Janus Sidabalok, op. cit., h. 31.

41

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih luas

daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh

Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy.

Selain hak-hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga terdapat hak-hak

konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal

7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan

antinomi hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak

konsumen.18

Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari

akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, bahwa

kegiatan bisnis yang dilakukan pelaku usaha seringkali tidak secara jujur, yang

dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair

competition).19

Pada akhirnya, dengan memperhatikan hak-hak yang telah disebutkan di

atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak-

hak konsumen, yaitu sebagai berikut.

a. Hak atas keamanan dan keselamatan;

18

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., h.32 19

Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.

42

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk

menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan

barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat

terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi

suatu produk.

b. Hak untuk memperoleh informasi;

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar

konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu

produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih

produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari

kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

c. Hak untuk memilih;

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan

kepada konsumen kepada konsumen untuk memilih produk-produk

tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak

luar.

d. Hak untuk didengar;

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak

dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari

kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang

berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang

diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, atau berupa

pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat

43

penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan/pendapat

tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan

kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara

perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara

langsung maupun diawali oleh suatu lembaga tertentu, misalnya

melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut

hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak

untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk

mempertahankan hidupnya (secara layak).

f. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan

yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya

penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan

konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang

telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi,

maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan

kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus

melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di

luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

44

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar

konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang

diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan

produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen

akan dapat menjadi kritis dan lebih teliti dalam memilih suatu

produk yang dibutuhkan.

h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi

setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh

lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi

tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1997.

i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya;

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian

akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan

tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang

jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas

barang atau jasa yang diperolehnya.

j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

45

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan

konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan

malalui jalur hukum. 20

Ahmadi Miru menyatakan bahawa bagaimanapun ragamnya rumusan hak-

hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi

dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:

1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik

kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

2. hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;

3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi. 21

Selanjutnya mengenai kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan

sebagai berikut.

Kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi

keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Adanya kewajiban konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk

informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi

keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting karena seringkali pelaku

20

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, cet. I, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 40-46. 21

Ibid, h. 46.

46

usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun

konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan

pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak

bertanggungjawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat

mengabaikan kewajiban tersebut.

Terkait kewajiban konsumen untuk beritikad baik hanya tertuju pada

transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha,

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).

2.2 Klausula Eksonerasi

2.2.1 Pengertian klausula eksonerasi

Mariam Darus Badrulzaman, dengan istilahnya klausul eksonerasi,

memberikan definisi terhadap klausul tersebut sebagai klausul yang berisi

pembatasan pertanggungjawaban dari kreditor, terhadap resiko dan kelalaian yang

mesti ditanggungnya.22

Demikian juga David Yates, yang lebih memilih menggunakan istilah

exclusion clause, memberikan definisi any term in a contract restricting,

excluding or modifying aremedy or a liability arising out of breech of a

22

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., h. 141.

47

contractual obligation23

yang diterjemahkan sebagai setiap bagian dari suatu

perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau

tanggung jawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.

Dalam pengertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada

yurisprudensi dalam kasus Bentsen v. Taylor, Sons & Co (1893) dan Bahama

International Trust Co. V. Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa

exemption clause diartikan sebagai …..a clause in a contract or a term in a notice

which appears to exclude or restrict a liability or a legal duty that would

otherwise arise, yang jika diterjemahkan adalah klausul yang kehadirannya untuk

membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.24

Menurut Rijken, klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan

dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk

memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang

terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.25

Shidarta menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang

mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung

jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk

(penjual).26

Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai

klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya

ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang

23

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-3,

Sinar Grafika, Jakarta, h. 141. 24

Ibid. 25

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, h. 47 26

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, h. 120.

48

sangat merugikan konsumen yang pada umumnya memiliki posisi lebih lemah

jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh

produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.27

Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku

berarti patokan atau acuan. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan

perjanjian baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam

bentuk formulir.28

Sutan Rehmi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian

yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak

yang lain pada dasarnya tidak memiliki peluang untuk merundingkan atau

meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya

yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal

yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang

dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.29

2.2.2 Dasar hukum larangan pencantuman klausula eksonerasi

Pitlo menggolongkan klausula baku sebagai perjanjian paksa (dwang

contract). Walaupun secara teoritis yuridis, klausula baku tidak memenuhi

ketentuan undang-undang dan ditolak keberadaannya sebagai perjanjian oleh

beberapa ahli hukum, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat terhadap

klausula baku berjalan ke arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.30

27

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., h. 114 28

Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank (selanjutnya disingkat

Mariam Darus Badrulzaman III), Alumni, Bandung, h. 48. 29 Shidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta. 30

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit, h. 117.

49

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku

pada setiap perjanjian dan dokumen apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli

oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan

segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli

oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa

atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual

beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha

untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Pencantuman klausul yang menyatakan bahwa “barang yang sudah dibeli

tidak dapat dikembalikan” pada nota pembelian atau tanda bukti pembelian

lainnya, tentu telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1)

huruf b Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang

membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

perjanjian apabila menyatakan bahwa pelaku usaha berhak untuk menolak

penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.

50

Tidak hanya melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1)

huruf b, Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

pencantuman klausul yang menyatakan bahwa “barang yang sudah dibeli tidak

dapat dikembalikan” pada nota pembelian secara tidak langsung telah menyatakan

adanya pengalihan beban tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen.

Hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat

(1) huruf a Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Selanjutnya, pada Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen juga melarang pelaku usaha mencantumkan

klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca

secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku

yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan

batal demi hukum, dengan amar bahwa pelaku usaha wajib menyesuaikan

klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen.31

Ahmadi Miru berpendapat bahwa perjanjian baku merupakan perjanjian

yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui

bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban

tanggung jawab dari pihak perancang klausula baku kepada pihak lawannya.

Namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh

para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan klausula perjanjian

31

Zulham, op. cit., h. 75.

51

tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang

berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.32

2.2.3 Hubungan antara klausula eksonerasi dengan klausula baku

Untuk dapat mengetahui hubungan antara klausula eksonerasi dengan

klausula baku, maka selain memahami pengertian dari klausula eksonerasi, perlu

juga dipahami pengertian dari klausula baku.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa klausula baku adalah setiap aturan

atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih

dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen

dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut.

1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif

lebih kuat dari konsumen.

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi

perjanjian.

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal.

4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh

faktor kebutuhan. 33

32

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, loc.cit. 33

Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.

93.

52

Berdasarkan pengertian dari klausula baku di atas, dan juga klausula

eksonerasi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat diketahui

bahwa klausula eksonerasi merupakan bagian dari klausula baku. Baik klausula

baku maupun klausula eksonerasi sama-sama dibuat secara sepihak oleh pelaku

usaha. Namun, hanya kalusula baku yang ditujukan untuk membatasi atau bahkan

menghilangkan tanggung jawab pelaku usaha saja yang dapat disebut sebagai

klausula eksonerasi. Berbagai macam perjanjian yang memuat klausula eksonerasi

dibuat oleh pelaku usaha dengan tujuan untuk membatasi hingga menghilangkan

tanggung jawab dirinya atas akibat yang mungkin ditimbulkan.

Kalau perjanjian dengan syarat-syarat baku meniadakan pembicaraan

terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, maka perjanjian dengan syarat-syarat

eksonerasi menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari

persetujuan. Kesamaan dari keduanya adalah syarat-syarat itu tidak dibicarakan

terlebih dahulu dengan siapa perjanjian itu dilakukan. Orang atau pihak lain itu,

dan umumnya mereka adalah konsumen, dapat menerimanya atau tidak

menerimanya sebagai suatu perjanjian (take it or leave it).34

Bentuk perjanjian dengan klausula-klausula baku ini umumnya dapat

terdiri atas:

a. Dalam Bentuk Dokumen

Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk-bentuk lain, yaitu syarat-

syarat khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan

atau tanda penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan-papan

34

Az. Nasution, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,

Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution III) h. 109.

53

pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di

lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam kemasan

atau pada wadah produk bersangkutan.

Dalam bentuk termuat pada secarik kuitansi, bon, selembar

kertas tertentu, tanda penerimaan atau penyerahan barang lainnya, ia

berbentuk tulisan dengan kalimat-kalimat antara lain: “Barang yang

sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” (biasanya termuat pada

bon/kuitansi pembelian barang-barang dari toko dan/atau kedai),

“ganti rugi maksimum 10 x ongkos pengiriman” (pada bon atau

kuitansi dari perusahaan transportasi pengangkut barang atau orang),

“ganti rugi dalam bentuk penggantian satu rol film baru” (biasanya

pada toko pencuci dan pembuat foto atau foto-foto studio), “barang-

barang dalam mobil yang diparkir dana tau mobil hilang di luar

tanggung jawab kami” (biasanya pada penyedia tempat-tempat parkir

kendaraan bermotor), “barang-barang yang dicuci tidak dijamin

apabila terjadi hal-hal tertentu” (biasanya pada toko/perusahaan

pencuci pakaian atau laundry), “barang-barang yang dijamin sesuai

dengan ketentuan-ketentuan tercantum pada surat/kartu garansi ini”,

dan sebagainya. Biasanya huruf yang digunakan kecil-kecil dan halus,

sehingga sulit diketahui, kecuali mereka yang telah memahami tentang

persoalannya.

b. Dalam Bentuk Perjanjian

54

Dalam bentuk perjanjian, ia memang merupakan suatu perjanjian

yang konsep atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh

salah satu pihak; biasanya penjual dan/atau produsen. Perjanjian ini di

samping memuat aturan-aturan yang umumnya biasa tercantum dalam

suatu perjanjian, memuat pula persyaratan-persyaratan khusus baik

berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu

dan/atau berakhirnya perjanjian itu.

Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan

suatu perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi

(syarat-syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya, memuat

ketentuan tentang syarat berlakunya kontrak baku, syarat-syarat

berakhirnya, syarat-syarat tentang resiko tertentu, hal-hal tertentu yang

tidak ditanggung dan/atau berbagai persyaratan lain yang pada

umumnya menyimpang dari ketentuan yang umum berlaku. Berkaitan

dengan masalah berlakunya ketentuan syarat-syarat umum yang telah

ditentukan atau ditunjuk oleh perusahaan tertentu, termuat pula

ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-jaminan tertentu dari suatu

produk.

Contoh-contoh perjanjian dengan syarat-syarat baku antara lain

adalah: perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian

pembelian perumahan, perjanjian pembelian kendaraan bermotor, dan

sebagainya. 35

35

Ibid, h. 109-111.

55

Sampai saat ini berlakunya perjanjian dengan syarat-syarat baku itu antara

lain dengan cara-cara:

1. Memuatnya dalam butir-butir perjanjian yang konsepnya telah

dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak biasanya oleh

kalangan pengusaha, baik itu produsen, distributor, atau pedagang

eceran produk bersangkutan. Pokoknya disediakan oleh si penyedia

barang atau jasa yang ditawarkan pada orang banyak (perhatikan

kontrak-kontrak jual beli atau beli-sewa kendaraan bermotor,

perumahan, alat-alat elektronik, dan lain-lain).

2. Dengan memuatnya dalam carik-carik kertas baik berupa tabel,

kuitansi, bon, tanda terima barang atau lain-lain bentuk penjualan

dan/atau (perhatikan pada carik kertas/bon/atau tanda penyerahan

barang dari toko, kedai, supermarket, dan sebagainya).

3. Dengan pembuatan pengumuman tentang berlakunya syarat-syarat

baku di tempat-tempat tertentu, seperti di tempat-tempat parkir,

atau di hotel/penginapan dengan meletakkan atau menempelkan

pengumuman itu di meja/ruang penerima tamu atau di ruang duduk

kamar yang disewakan. 36

Mereka yang menyediakan ketentuan-ketentuan syarat-syarat baku

tersebut menganggap dengan telah ditanda-tanganinya perjanjian dengan syarat-

syarat baku, para pihak tersebut dengan sendirinya terikat pada ketentuan-

ketentuan yang termuat dalam perjanjian itu. Begitu pula dengan berbagai bentuk

36

Ibid, h. 111-112.

56

lainnya sepanjang telah dibuat secara tertulis dan/atau diumumkan di tempat-

tempat yang terbuka dan jelas terlihat oleh masing-masing pihak.