BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

43
42 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI, PERJANJIAN BAKU, JUAL BELI DAN PERUMAHAN 2.1 Klausul Eksonerasi Dan Perjanjian Baku 2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Perjanjian Baku Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Kamus terminologi hukum (Inggris-Indonesia) karangan Ranuhandoko bahwa perjanjian atau yang dikenal juga dengan contract dapat diartikan “Suatu persetujuan antara dua pihak atau lebih yang karenanya masing-masing akan melakukan atau tidak melakukan suatu tidakan tertentu” 48 Subekti mengemukakan pendapatnya mengenai perjanjian sebagai, suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari suatu peristiwa tersebut timbul suatu hubungan perikatan.” 49 Suatu perjanjian yang dibuat pada umumnya memuat empat bagian yang terdiri dari: 1. Nama Perjanjian 2. Komparisi 3. Batang Tubuh 4. Penutup 48 Ranuhandoko, I.P.M, 2000, Terminologi Hukum (Inggris-Indonesia), Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 168 49 Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 5

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

42

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI,

PERJANJIAN BAKU, JUAL BELI DAN PERUMAHAN

2.1 Klausul Eksonerasi Dan Perjanjian Baku

2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Perjanjian Baku

Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Kamus terminologi

hukum (Inggris-Indonesia) karangan Ranuhandoko bahwa perjanjian atau yang

dikenal juga dengan contract dapat diartikan “Suatu persetujuan antara dua pihak

atau lebih yang karenanya masing-masing akan melakukan atau tidak melakukan

suatu tidakan tertentu”48

Subekti mengemukakan pendapatnya mengenai

perjanjian sebagai, “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

atau dimana dua orang itu saling untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari suatu

peristiwa tersebut timbul suatu hubungan perikatan.”49

Suatu perjanjian yang dibuat pada umumnya memuat empat bagian yang

terdiri dari:

1. Nama Perjanjian

2. Komparisi

3. Batang Tubuh

4. Penutup

48

Ranuhandoko, I.P.M, 2000, Terminologi Hukum (Inggris-Indonesia), Cet.II, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 168 49

Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 5

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

43

Klausul baku di dalam suatu perjanjian baku merupakan batang tubuh dari

perjanjian tersebut.Latar belakang timbulnya perjanjian baku di masyarakat

karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar dan perusahaan pemerintah

mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka,

ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada umumnya

mempunyai kedudukan yang lemah baik karena posisinya maupun karena

ketidaktahuannya, mereka hanya menerima apa yang disodorkan dan apabila

debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap

menerima atau tidak menerimanya sama sekali kemungkinan untuk mengadakan

perubahan itu sama sekali tidak ada. Dengan penggunaan perjanjian baku ini,

maka pihak pengusaha akan memperoleh efesiensi dalam pengeluaran biaya,

tenaga atau waktu.

Perjanjian baku merupakan perjanjian standar yang bentuknya telah

ditetapkan oleh satu pihak, sedangkan pihak yang lain hanya menandatangani

sebagai tanda persetujuan. Perjanjian standar berkembang cepat dalam dunia

bisnis, karena dianggap efesien dan efektif. Perjanjian standar diresmikan oleh

pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen dengan menggunakan istilah Klausul baku yang terdapat

pada Pasal 1 angka 10, sebagai berikut : “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-

syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara pihak oleh

pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

44

Perjanjian standar atau perjanjian baku menurut Sutan Remy Sjahdeini

yaitu suatu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh

pemakaiannya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk

merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya

beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat,

waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Syahjdeini

menekankan yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan

klausul-klausulnya.50

Istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam

bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak

ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang

mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam

perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.51

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo mengemukakan bahwa, klausula baku

merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian. Suatu perjanjian yang

menggunakan klausula baku ini disebut dengan perjanjian baku. Di dalam suatu

perjanjian tercantum klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak

yang memiliki kedudukan yang lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan

pihak yang lemah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.52

Pada suatu perjanjian apabila kedudukan para pihak tidak seimbang maka

pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas

untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Pihak yang memiliki

50

Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Op.cit, hal. 66 51

Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 87 52

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hal. 115

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

45

posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan

klausul-klausul tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang

seharusnya dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak

ditemukan lagi di dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian

dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Karena yang merancang

format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kekuataan atau kedudukan

yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat

klausula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan/

menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya

menjadi tanggung jawabnya.53

Perjanjian semacam itu cenderung secara substansi

hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang

berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu

karenanya posisinya yang lemah.54

Perjanjian baku (standar contract) merupakan perjanjian yang hampir

seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada

dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.

Adapun yang belum dibakukan adalah beberapa hal lainnya yang sifatnya sangat

spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian baku

(standar) adalah perjanjian yang diterapkan secara sepihak oleh produsen/pelaku

usaha/penjual yang mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) sehingga

pihak konsumen hanya mempunyai 2 pilihan saja yaitu menyetujui atau

menolaknya.

53

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hal. 145 54

Rahman Hasanudin, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 134

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

46

Perjanjian baku atau standar contract memiliki karakteristik sebagai ciri-

ciri dari suatu perjanjian baku sebagai berikut:

1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)

kuat;

2) Masyarakat (debitur/konsumen) sama sekali tidak bersama-sama

menetukan perjanjian;

3) Terdorong oleh kebutuhannya debitur/konsumen terpaksa menerima

perjanjian itu;

4) Bentuk tertentu (tertulis)

5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif.55

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat diketahui karakteristik

perjanjian baku atau standar contract yaitu merupakan perjanjian yang telah

distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya

diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur/konsumen

menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi

apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur/konsumen

tidak menandatangani perjanjian tersebut. Praktek jual beli perumahan pada

umumnya perjanjian standar yang oleh pengusaha real estate senantiasa

dipandang sebagai model yang ideal, praktis dan sekaligus siap pakai sesuai

dengan rumus efisiensi yang semangat didambakan diantara kalangan mereka.

Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih

kebebasan para pihak sesuai dengan asas kebebasan untuk membuat perjanjian

55

Salim H.S., 2003, Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 146

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

47

sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh

pelaku usaha adalah melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para pihak

mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar

keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep

yang tidak dapat ditawar.

2.1.2 Jenis-Jenis Perjanjian yang Menggunakan Klausul Baku

Menurut pendapat Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip oleh

Salim H.S., bahwa suatu perjanjian standar atau perjanjian baku dapat

dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu:

1. Perjanjian baku sepihak

Adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat

kedudukannya di dalam perjanjian itu Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditor

yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi yang lebih kuat dibandingkan pihak

debitur.

2. Perjanjian baku timbal balik

Adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak,

misalnya perjanjian baku yang pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan

pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,

misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah

Ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap

perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian - perjanjian yang

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

48

mempunyai objek hak-hak atas tanah. Terkait dengan pertanahan dapat dilihat

formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam

Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli.

4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokad adalah

perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris

atau advokad yang bersangkutan.56

Salim H.S mengemukakan bahwa suatu kontrak baku dapat dikaji dari

objeknya sebagai berikut:

1. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan minyak

dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya, kontrak production

sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara, kontrak bantuan teknis, dan

lain-lain.

2. Kontrak baku yang dikenal dalam praktek bisnis. Seperti kontrak baku dalam

perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.

3. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan seperti perjanjian kredit

bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.

4. Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan non-bank seperti

perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan modal ventura,

perjanjian pembiayaan konsumen.

56

Ibid,hal 156

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

49

5. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian asuransi

yang dibuat oleh perusahaan asuransi.57

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa penggunaan

perjanjian baku atau standard contract merupakan hal yang umum dan banyak

ditemui dalam praktek kehidupan sehari-hari, agar menghemat waktu dan juga

efisiensi karena klausul-klausulnya telah dibakukan. Namun tentunya penggunaan

perjanjian baku tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

2.1.3 Pengertian dan Tujuan Pencantuman Klausul Eksonerasi

Eksonerasi (exoneration) adalah membebaskan seseorang atau badan

usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab hukum. Berarti klausul ini

mengecualikan kewajiban atau tanggung jawab di dalam perjanjian. Klausul

eksonerasi yang dicantumkan dalam perjanjian bilamana satu pihak

menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi

seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan

hukum,58

sehingga dapat membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah

satu pihak, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya

dibebankan kepadanya.

Klausul eksonerasi yang bisanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausul

tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan

dalam perjanjian baku. Klausul tersebut merupakan klausul yangsangat merugikan

57

Ibid, hal. 157 58

Mariam Darus Badrulzaman, 2008, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, hal. 47

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

50

konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan

produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya

klausul tersebut menjadi beban konsumen.

Mengenai unsur-unsur dari suatu perjanjian J.Satrio juga memberikan

pendapatnya yaitu dalam suatu perjanjian memuat unsur-unsur:

a. Esentialia

Unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur

mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.

Contohnya : “Sebab yang halal” merupakan esensialia untuk adanya

perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga barang yang disepakati kedua

belah pihak harus ada. Pada perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek

perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan

essensialia dari perjanjian formal.

b. Naturalia

Unsur Naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasar sifatnya dianggap ada

tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.Bagian dari perjanjian

ini yang bersifat mengatur termuat didalam ketentuan peraturan perundang-

undangan untuk masing-masing perjanjian bernama.Disini unsur tersebut oleh

undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah

(regelend/aanvullend recht).

Contohnya : kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan dan

untuk menjamin/vriwaren dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah

pihak.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

51

c. Accidentalia

Unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri

tidak mengatur hal tersebut.

Contohnya : di dalam suatu perjanjian jual beli, benda-benda pelengkap

tertentu dapat dikecualikan, seperti dalam jual beli rumah para pihak sepakat

untuk tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman rumah.59

Klausula Eksonerasi (Exemption Clause) adalah klausul yang mengandung

kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang

semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).

Klausula eksonerasi sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggungjawaban

dari pelaku usaha, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya.60

Klausul eksonerasi dapat membebaskan seseorang atau badan usaha dari

suatu tuntutan atau tanggung jawab. Klausul eksonerasi berarti suatu klausul

pengecualian kewajiban atau tanggung jawab dalam perjanjian. Menurut Sutan

Remy Sjahdeini, klausula eksonerasi membebaskan atau membatasi tanggung

jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang

bersangkutan tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang telah

ditentukan di dalam perjanjian.61

Tujuan pencantumannya adalah untuk

membebaskan dirinya dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab

atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen. Hal

ini tentunya akan berdampak pada kerugian bagi pihak konsumen.

59

J. Satrio, 2002, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 57. 60

Celina Tri Siwi Kristianti, op.cit, hal. 141 61

Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia,

Jakarta, hal. 75

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

52

2.1.4 Larangan Pencantuman Klausul Eksonerasi

Klausul baku menjadi tidak patut ketika kedudukan para pihak menjadi

tidak seimbang karena pada dasarnya, suatu perjanjian adalah sah apabila

menganut asas konsensualisme disepakati oleh kedua belah pihak dan mengikat

kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagai undang-undang.

Dengan demikian, pelanggaran terhadap asas konsensualisme tersebut dapat

mengakibatkan perjanjian antara kedua belah pihak menjadi tidak sah. Oleh

karena itu, klausul baku yang mengandung klausul eksonerasi dilarang oleh

hukum. Meskipun perjanjian baku yang mengandung klausul eksonerasi telah

diperjanjikan sebelumnya, perjanjian tersebut tidak dapat dianggap sah karena

mengandung ketentuan/klausul yang bertentangan dengan undang-undang.

Larangan penggunaan klausul eksonerasi dapat dilihat dari ketentuan Pasal 18 UU

Perlindungan Konsumen.

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 UU Perlindungan

Konsumen mengatur mengenai ketentuan klausul baku dalam suatu perjanjian

sebagai berikut:

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada

setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh

konsumen;

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsunguntuk melakukan segal

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

53

tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh

konsumen secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa

atau mengurangi harta kekayaaan konsumen yang menjadi obyek jual

beli jasa;

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa pada pelaku usaha

untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti yang dapat mengakibatkan perjanjian yang

mengandung klausul baku dinyatakan batal demi hukum. Pelaku usaha wajib

menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana

diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan uraian di atas, menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan Antara

klausul baku dengan klausul eksonerasi. Artinya klausul baku merupakan klausul

yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada

klausul eksonerasi. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU

Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa klausul baku harus diletakkan pada

tempat yang mudah terlihat dan jelas dapat dibaca dan mudah dimengerti, jika hal-

hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausul baku

itu menjadi batal demi hukum. Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam

Pasal 18 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h adalah syarat-syarat eksonerasi yang

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

54

digunakan oleh pelaku usaha sebagai dalil untuk membebankan diri dari

tanggungjawabnya melalui syarat-syarat pengalihan tanggungjawab ataupun

mengurangi tanggungjawab pelaku usaha kepada konsumen terkait barang yang

dijualnya.

Tujuan larangan pencantuman klausul eksonerasi karena berupaya

membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan

pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya.Tujuan

lain dari larangan pencantuman klausul eksonerasi dalam perjanjian dimaksudkan

untuk menempatkan para pihak setara di hadapan hukum yaitu dalam hal

perjanjian.62

Bila kondisi ini terjadi maka posisi kedudukan konsumen dan pelaku

usaha tidak lagi setara sesuai asas kebebasan berkontrak, seharusnya para pihak

bebas menentukan klausul dalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh menekan

pihak lain, harus sama-sama merasa puas dengan perjanjian yang dibuat. Menurut

asas kebebasan berkontrak idealnya para pihak yang terikat dalam perjanjian

berada dalam posisi tawar yang seimbang antara satu sama lain.

2.1.5 Hubungan Antara Perjanjian Baku dengan Klausul Eksonerasi

Secara yuridis perbuatan yang mencantumkan klausul eksonerasi di dalam

suatu perjanjian merupakan perbuatan yang dilarang, namun pencantuman itu

sering kali terjadi dalam praktik perjanjian. Sebagian pelaku usaha cenderung

mencantumkan klausul eksonerasi dalam format (formulir) perjanjian baku.

Perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang

menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausul yang terdapat dalam

62

ibid

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

55

perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung jawab dari pihak perancang

klausul baku kepada pihak lawannya. Namun setiap kerugian yang timbul di

kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung

jawab berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut

merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.63

Pasal 1331 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

apabila perjanjian yang dilakukan obyek atau perihalnya tidak ada atau tidak

didasari pada itikad yang baik,maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal

demi hukum.”Pada penggunaan klausul baku hal yang perlu dikhawatirkan adalah

dicantumkannya klausul eksonerasi pada perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi

mempunyai tujuan utama, yaitu mencegah pihak konsumen merugikan

kepentingan pelaku usaha. Agar dapat menghindari kerugian yang dialami oleh

kepentingan pelaku usahanya maka, pelaku usaha menciptakan syarat baku yang

disebut eksonerasi.

Klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung pembatasan bahkan

menghapus sama sekali tanggungjawab yang semestinya dibebankan kepada

pihak produsen atau penyalur produk (penjual).64

Klausul eksonerasi dapat berasal

dari rumusan pelaku usaha secara sepihak dan dapat juga berasal dari rumusan

pasal undang-undang. Klausula eksonerasi rumusan pelaku usaha membebankan

pembuktian pada konsumen dan menyatakan dirinya tidak bersalah dan inilah

yang menyulitkan konsumen. Klausul eksonerasi rumusan undang-undang

63

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, hal. 118 64

Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal. 120

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

56

membebankan pembuktian pada pelaku usaha eksonerasi biasa terdapat di dalam

suatu perjanjian standar yang bersifat sepihak.65

2.2 Jual Beli

2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

Adanya jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan di sebut

menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Barang yang

menjadi objek dari jual beli tersebut harus cukup tertentu yang artinya ditentukan

wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si

pembeli sehingga menjadi sah menurut hukum.

Jual beli diatur dalam ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata bahwa “jual beli

adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan.” Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa jual beli

adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk

menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak pembeli berjanji untuk

membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Hak milik suatu barang yang semula

dimiliki pihak penjual, akan berpindah tangan kepada si pembeli apabila sudah

ada penyerahan secara yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata.

Pihak penjual dalam hal ini berkewajibanmenyerahkan kebendaan yang

dimilikinya kepada pembeli dan pihak pembeliberkewajiban membayar harga

kebendaan tersebut berdasarkan perjanjian yang telahdisepakati. Pihak penjual

berhak menerima sejumlah materi/uang dari pihak pembeliatas kewajiban pihak

65

ibid

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

57

penjual yang telah menyerahkan kebendaan yang dimilikinya kepada pembeli,

sedangkan pihak pembeli berhak menerima kebendaan berikut hakatas kebendaan

tersebut dari pihak penjual dengan jaminan sepenuhnya dari penjual,bahwa

kebendaan dan hak kebendaan yang diserahkan itu merupakan hak

miliksepenuhnya dari penjual tersebut.66

Jual beli menujukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan

menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Barang yang

menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya

ditentukkan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya

kepada si pembeli, dengan demikian adalah sah menurut hukum.67

Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa “perjanjian jual beli adalah

perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak

milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut

harga.68

Jual beli merupakan suatu perjanjian yang timbul disebabkan oleh adanya

hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak atau

lebih.Pendukung perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu,

masing-masing orang menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak

kreditur dan yang lain menjadi pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang

menjadi subjek perjanjian.Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib

memenuhi pelaksanaan prestasi terhadap kreditur.69

66

Winanto, 2005, Asas Keadilan dalam Hukum Perjanjian berdasarkan KUH Perdata,

Bina Cipta, Jakarta, hal. 19 67

Subekti, 2002, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1 68

Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 243 69

R. Setiawan, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, hal. 5

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

58

2.2.2 Para Pihak dan Syarat-syarat Jual Beli

Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata mengenai pihak-pihak

yang terdapat dalam perjanjian diatur secara sporadik di dalam ketentuan Pasal

1315, 1317, 1318, 1340 KUHPerdata antara lain:

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.

2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya.

3. Pihak ketiga.

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1468, 1469 dan 1470 KUHPerdata

apabila subjek-subjek tersebut (usaha dagang dan pembeli) mengandung larangan-

larangan sebagaimana diatur dalam pasal–pasal tersebut diatas maka para pihak

tidak dapat melaksanakan perjanjian jual beli. Usaha dagang yang berperan

sebagai penjual dalam melayani pembeli dapat bertindak langsung tanpa

keterikatan dengan perusahaan sebagai pihak yang memproduksi barang. Namun

ada pula penjual yang berkedudukan sebagai penyalur resmi yang bertindak dan

bergerak atas nama perusahaan atau agen resmi, seperti dalam perjanjian jual beli

tersebut disini. Agen tersebut diartikan sebagai pihak yang menjalankan tugas

sebagai penyalur untuk melayani konsumen dalam memenuhi kebutuhannya.70

Jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik Antara pihak penjual

dengan pihak pembeli yang terdiri dari71

:

a. Natuurlijke persoon atau manusia tertenntu.

Subjek jual beli berupa orang atau manusia harus memenuhi syarat

tertentu untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara

70

Achmad Ichsan, 20056, Duni Usaha Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 113 71

M. Yahya Harahap, 2008, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 16

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

59

sah.Seseorang harus cakap untuk melakukan tindakan hukum, tidak

lemah pikirannya, tidak berada dibawah pengampuan atau

perwalian.Apabila anak belum dewasa, orang tua atau wali dari anak

tersebut yang harus bertindak.

b. Rechts persoon atau badan hukum.

Subjek jual beli yang merupakan badan hukum, dapat berupa kooperasi

dan yayasan.Kooperasi adalah suatu gabungan orang yang dalam

pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum

tersendiri.Sedangkan yayasan adalah suatu badan hukum dilahirkan

oleh suatu pernyataan untuk suatu tujuan tertentu.Dalam pergaulan

hukum, yayasan bertindak pendukung hak dan kewajiban tersendiri.

c. Persoon yang dapat diganti. Mengenai persoon kreditur yang dapat

diganti, berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan

dalam perjanjian, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan

kreditur baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam

bentuk perjanjian “aan order” atau perjanjian atas perintah. Demikian

juga dalam perjanjian “aan tonder” atau perjanjian atas nama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata maka dapat diketahui

bahwa jual beli termasuk di dalam Perjanjian, sehingga syarat-syarat suatu jual

beli juga haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dengan adanya kesepakatan mereka yang

mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya

suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika syarat mengenai kesepakatan

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

60

dan kecakapan (syarat subyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian jual beli

dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada sampai adanya keputusan dari

hakim.Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang

halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian jual beli adalah

menjadi batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada perjanjian

jual beli tersebut.

Syarat lain dari jual beli juga dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1332

KUHPerdata yaitu “hanya benda yang berada dalam perdagangan saja yang dapat

menjadi obyek suatu perjanjian jual beli. “Berdasarkan uraian diatas maka obyek

dari perjanjian jual beli tidak hanya benda yang berupa hak milik saja, tetapi

benda yang menjadi kekuasaannya dan dapat diperdagangkan, asalkan pada waktu

penyerahan dapat ditentukan jenis dan jumlahnya.

2.2.3 Unsur-Unsur Jual Beli

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata “jual beli

dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka

mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum

diserahkan maupun harganya belum dibayar. “Berdasarkan ketentuan di atas maka

dapat diketahui bahwa dengan adanya kesepakatan di antara para pihak yang

bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak yang artinya apa yang

dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain, dan

tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan

perkataan-perkataan., misalnya “setuju”, “accoord”, “oke” dan lain-lain

sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan dibawah

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

61

pernyataaan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak

telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.72

Unsur-unsur pokok (essentialia) dalam suatu perjanjian jual beli adalah

adanya barang dan harga. Perjanjian jual beli tersebut sudah lahir pada saat

adanya kata sepakat di antara pihak-pihak mengenai barang dan harga sehingga

lahirlah perjanjian jual beli yang sah.

a. Barang atau benda yang diperjual belikan

Barang adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek harta benda atau

harta kekayaan, sehingga yang harus diserahkan dalam persetujuan jual

beli adalah barang berwujud benda. Ketentuan dalam Pasal 1332 KUH

Perdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang biasa

diperdagangkan saja yang boleh dijadikan objek persetujuan. Pasal 503-

Pasal 505 KUHPerdata mengenal tiga macam barang yaitu:

a) Ada barang yang bertubuh dan ada barang yang tak bertubuh.

b) Ada barang yang bergerak dan ada barang yang tak bergerak.

c) Ada barang yang bergerak yang dapat dihabiskan, dan ada yang tidak

dapat dihabiskan; yang dapat dihabiskan adalah barang-barang yang

habis karena dipakai.

Mengenai penyerahan dari barang-barang tersebut di atas, maka

KUHPerdata juga mengatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a) Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas

barang itu (Pasal 612 KUHPerdata)

72

Ibid, hal. 3

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

62

b) Untuk barang tidak bergerak penyerahan dilakukan dengan

pengumuman akta yang bersangkutan yaitu dengan perbuatan yang

di namakan balik nama di muka pegawai kadaster yang juga

dinamakan pegawai balik nama (Pasal 616 dan Pasal 620

KUHPerdata).

c) Untuk barang tidak bertubuh dilakukan dengan membuat akta

otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas

barang-barang itu kepada orang lain (Pasal 613 KUHPerdata).

b. Harga

Suatu kesepakatan jual beli pasti mengandung harga yang telah disepakati

untuk barang yang dibelinya. Harga sebagaimana dikemukakan oleh

Yahya Harahap adalah suatu jumlah yang harus dibayarkan dalam bentuk

uang. Pembayaran harga dalam bentuk uang yang dikategorikan jual beli.

Harga ditetapkan oleh para pihak.73

Pembayaran harga yang telah

disepakati merupakan kewajiban utama dari pihak pembeli dalam suatu

perjanjian jual beli. Terdapat beberapa metode yang dapat dipergunakan

untuk melakukan pembayaran dalam transaksi jual beli sebagai berikut:

a) Jual Beli Tunai Seketika

Metode jual beli dimana pembayaran tunai seketika ini merupakan

bentuk yang sangat klasik, tetapi sangat lazim dilakukan dalam

melakukan jual beli.Dalam hal ini harga rumah diserahkan semuanya,

73

Yahya Harahap, Op.cit, hal. 182

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

63

sekaligus pada saat diserahkannya rumah sebagai objek jual beli

kepada pembeli.

b) Jual Beli dengan Cicilan/Kredit

Metode jual beli dimana pembayaran dengan cicilan ini dimaksudkan

bahwa pembayaran yang dilakukan dalam beberapa termin, sementara

penyerahan rumah kepada pembeli dilakukan sekaligus di muka, meski

pun pada saat itu pembayaran belum semuanya dilunasi. Dalam hal ini,

menurut hukum, jual beli dan peralihan hak sudah sempurna terjadi,

sementara cicilan yang belum dibayar menjadi hutang piutang.

c) Jual Beli dengan Pemesanan/Indent

Merupakan metode jual beli perumahan dimana dalam melakukan

transaksi jual beli setelah indent atau pemesanan (pengikatan

pendahuluan) dilakukan, maka kedua belah pihak akan membuat suatu

perjanjian pengikatan jual beli yang berisi mengenai hak-hak dan

kewajiban keduanya yang dituangkan dalam akta pengikatan jual

beli.74

2.3 Perumahan

2.3.1 Pengertian Perumahan

Pengertian mengenai rumah oleh Amirudin lebih digambarkan sebagai

sesuatu yang bersifat fisik (house, dwelling, shelter) atau bangunan untuk tempat

tinggal/bangunan pada umumnya (seperti gedung dan sebagainya). Jika ditinjau

74

Munir Fuady I, Op.cit, hal. 25

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

64

secara lebih dalam rumah tidak sekedar bangunan melainkan konteks sosial dari

kehidupan keluarga di mana manusia saling mencintai dan berbagi dengan orang-

orang terdekatnya.75

Ketentuan mengenai perumahan dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disebut

UU Perumahan).Pengertian mengenai rumah dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1

angka 7 UU Perumahan, “Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai

tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan

martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.”Terdapat beberapa konsep

tentang rumah sebagaimana dikemukakan oleh Hendrawan sebagai berikut:

1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri; rumah sebagai simbol dan

pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya

2. Rumah sebagai wadah keakraban ; rasa memiliki, rasa kebersamaan,

kehangatan, kasih dan rasa aman

3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi; tempat melepaskan

diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan, dari dunia rutin

4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan; rumah merupakan tempat

kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam

untaian proses ke masa depan

5. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari

6. Rumah sebagai pusat jaringan sosial

7. Rumah sebagai Struktur Fisik.76

75

Amirudin, 2007, Peran Rumah Dalam Kehidupan Manusia, Kanisius, Semarang, hal.12

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

65

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perumahan, yang

dimaksud dengan perumahan adalah “kumpulan rumah sebagai bagian dari

permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan

prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang

layak huni. “Perumahan merupakan salah satu bentuk sarana hunian yang

memiliki kaitan yang sangat erat dengan masyarakatnya. Hal ini berarti

perumahan di suatu lokasi sedikit banyak mencerminkan karakteristik masyarakat

yang tinggal di perumahan tersebut.

Pasal 3 UU Perumahan menyatakan bahwa perumahan dan kawasan

permukiman diselenggarakan untuk:

a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan

kawasan permukiman;

b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran

penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian

dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan

keseimbangan kepentingan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan

rendah (MBR);

c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi

pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian

fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan

pedesaan;

d. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan

perumahan dan kawasan permukiman;

e. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, social, dan budaya;

f. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam

lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan

berkelanjutan.

Perumahan dapat diartikan sebagai suatu cerminan dari diri pribadi

manusia, baik secara perorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan

dengan lingkungan alamnya dan dapat juga mencerminkan taraf hidup,

76

Hendrawan, 2004, Pembangunan Perumahan Berwawasan Lingkungan, Rineka Cipta,

Jakarta, hal. 54

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

66

kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban manusia penghuninya, masyarakat

ataupun suatu bangsa.

2.3.2 Persyaratan Pendirian Perumahan

Pemerintah dan swasta telah melakukan berbagai program pengadaan

perumahan. Namun yang dilakukan belum mencukupi baik dari segi kualitas

maupun kuantitas yang hanya mampu menyediakan kurang lebih 10 % saja

kebutuhan rumah, sisanya dibangun sendiri oleh masyarakat. Dari segi kualitas,

banyak pihak yang berpendapat bahwa program yang ada belum menyentuh

secara holistik dimensi sosial masyarakat, sehingga masih perlu diupayakan

perbaikan-perbaikan.77

Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus

memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 47 ayat (3) UU

Perumahan:

a. Kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;

b. Keterpaduan antara prasarana, sarana, dan utilitas umum dan

lingkungan hunian; dan

c. Ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 134 UU Perumahan menyatakan

bahwa “Pihak pengembang (developer) dilarang menyelenggarakan pembangunan

perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi,

persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.”

77

Widyaningsih, 2006, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Perumahan, Tarsito, Bandung,

hal. 15

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

67

Pembangunan Perumahan dan kawasan permukiman tersebut ditunjukan

untuk menciptakan kawasan permukiman dan mengintegrasikan secara terpadu

dan meningkatkan kualitas lingkungan, yang dihubungkan oleh jaringan

transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan

berbagai pelayanan dan kesempatan kerja. Pembangunan perumahan dan

permukiman diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah berfungsi

sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan

dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan.

2.3.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli

Perumahan

Para pihak dalam perjanjian jual beli perumahan terdiri dari konsumen dan

pelaku usaha.Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu

perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir.Adapun yang menarik di

sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan

sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.Menurut pendapat Hondius,

seorang pakar masalah konsumen di Belanda menyatakan bahwa, para ahli hukum

pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari

benda dan jasa.Jasa adalah “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi

yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.78

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen bahwa,

“konsumen ialah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam

78

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar

Maju, Bandung, hal. 18

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

68

masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun

mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Konsumen yang dimaksud

dalam UU Perlindungan Konsumenn ini adalah konsumen akhir, yaitu konsumen

yang menggunakan produk untuk keperluan pribadi, keluarga dan tidak untuk

diperdagangkan.Adapun unsur-unsur konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1

angka 2 UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

a. Konsumen adalah setiap orang

Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk juga badan usaha

(badan hukum atau non badan hukum).

b. Konsumen sebagai pemakai

Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen hendak menegaskan bahwa

UU Perlindungan Konsumen menggunakan kata “pemakai” untuk

pengertian Konsumen sebagai Konsumen akhir (end user). Hal ini

disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang

mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.

c. Barang dan jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk

diperdagangkan) dan dipergunakan oleh Konsumen.Jasa yaitu layanan

berupa pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh

Konsumen.

d. Barang dan jasa tersebut tersedia dalam masyarakat

Barang dan/jasa yang akan diperdagangkan telah tersedia di pasaran,

sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

69

e. Barang danjasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

lain atau mahluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori

kepentingan pribadi terhadap pemakaian suatu barang dan/jasa

f. Barang dan jasa tidak untuk diperdagangkan

Pengertian Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen dipertegas,

yaitu hanya Konsumen akhir, sehingga maksud dari pengertian ini adalah

konsumen tidak memperdagangkan barang dan/jasa yang telah

diperolehnya. Namun, untuk dikonsumsi sendiri.

Menurut pendapat AZ Nasution, bahwa konsumen diklasifikasikan

menjadi tiga bagian yaitu:

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pemakai, pengguna

dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau

pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain

untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial.

Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat

dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah

tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir

inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UU

Perlindungan Konsumen.79

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa konsumen adalah setiap

orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan. Apabila tujuan pembelian produk tersebut untuk

dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor.

79

AZ. Nasution, 2005, Konsumen dan Hukum, Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum

Pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 72

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

70

Adapun mengenai hak-hak daripada konsumen selaku pembeli perumahan

menurut ketentuan yang diatur KUHPerdata dalam hal tidak terlaksananya

ketentuan Pasal 1495 KUHPerdata, dan hal tersebut tidak dicantumkan dalam

perjanjian, maka si pembeli berhak menuntut kembali dari si penjual:

1. Pengembalian uang harga pembelian

2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu

kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan

3. Biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pembeli untuk

ditanggung begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh penggugat asal.

4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan

penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli.

5. Barang yang harus diserahkan kepada pembeli adalah dalam keadaan utuh

seperti pada saat penjualan atau saat perjanjian diadakan dan sejak

penyerahan barang, segala yang dihasilkan dari barang tersebut menjadi

hak pembeli.

(Pasal 1481 dan Pasal 1483 KUHPerdata)

6. Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki barang itu

dengan aman dan tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi

dan sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian

(Pasal 1491, 1504, 1506, 1509, 1510 KUHPerdata).

7. Pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan barang

tidak dapat dilaksanakan karena akibat kelalaian penjual (Pasal 1480

KUHPerdata).

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

71

8. Dalam ketentuan Pasal 1514 KUHPerdata dinyatakan bahwa “jika pada

waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan hal-hal itu, pembeli harus

membayar di tempat dan pada waktu penyerahan.” Berdasarkan uraian ini

maka daat diketahui bahwa hak-hak dari si pembeli yaitu :

a. Untuk menerima barang yang dibelinya dari penjual;

b. Untuk mendapat jaminan dari penjual mengenai kenikmatan dan tidak

adanya kerusakan tersembunyi.

Menurut ketentuan Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menentukan

bahwa yang menjadi hak-hak konsumen yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa.

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi,

mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun

rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada

kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir

bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati,

bukan pelaku usaha.80

Pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan

dan keselamatan konsumen, justru akanmenguntungkan semua pihak.

Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong

bagi kebijakan-kebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah, sehingga

menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu

80

Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,RajaGrafindo Persada, hal. 3

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

72

penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui

ekspor ke luar negeri.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan.

Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan

materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi

konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relative rendah,

maka hal ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini

umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa.

Sekalipun mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang

dikonsumsi tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi

barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya belinya.Mengkonsumsi suatu

barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan kecocokan konsumen.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa.

Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam menyampaikan informasi.

Antara lain dapat dilakukan melalui: (a). Disampaikan secara langsung; (b).

Melalui media komunikasi, seperti iklan; (c). Dicantumkan dalam label barang

atau jasa. Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik

disampaikan secara langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk

perluasan pasar saja, tetapi juga menyangkut masalah informasi secara

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

73

keseluruhan menyangkut kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut,

terutama dalam hal keamanan dan keselamatan konsumen

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan.

Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara

mengadu kepada produsen/penjual/instansi yang terkait. Konsumen perlu

memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal.Hal ini dirasa

perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar

ini belum dimanfaatkan. Keselamatan dan keamanan yang terancam, serta

wujud yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang

dijajakan, cukup banyak terjadi. Keadaan ini meresahkan serta merugikan

konsumen, dalam hal ini konsumen berhak mengeluh dan menyampaikan

masalah tersebut pada pelaku usaha bersangkutan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa

merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Dalam

memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup juga kewajiban

untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran, pengetahuan,

kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat

konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk

berlaku jujur dan bertanggung jawab.

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

74

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

Konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan,

terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang

konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil

guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif,

seperti membiasakan untuk membaca label.Sangat diharapkan peran serta

pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan

konsumen. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang

pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga

swadaya masyarakat.81

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha

yang suka membeda-bedakan pelayanan terhadap seorang konsumen dengan

konsumen lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen.Secara

keseluruhan telah diantisipasi oleh UU Perlindungan Konsumen, dimana

konsumen dibekali hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku usaha.82

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.

81

Sidharta, Op.cit, hal. 24-25 82

Sidharta, Op.cit, hal. 27

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

75

UU Perlindungan Konsumen memperhatikan dasar-dasar acuan untuk

mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan hukum antara

penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak penjual dan

konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku

perekonomian, keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat

mendapat ganti rugi yang memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian

sengketa kepada para pihak. Keempat dasar tersebut telah menekankan pada

pentingnya pemberian hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi

ganti rugi dan/atau penggantian, apabila ternyata tidak sesuai dengan yang

diperjanjikan maupun tidak dalam kondisi sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Termasuk kedalam hak-hak ini yaitu diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lain yaitu:

- Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam

pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal 5

ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan

sehat ini dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini.

Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism)

yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.

- Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hak konsumen

untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

76

sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh

Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang

merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah

selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1)

perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam

pasal 17 sampai dengan pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang

dilarang adalah ologopoli, penetapan harga, pembagian wilayah,

pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian

tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.

Selain hak konsumen sebagaimana diatur dalam ketentuan UU

Perlindungan Konsumen, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo juga

mengemukakan pendapatnya mengenai hak-hak dari konsumen yaitu:

1. Hak atas keamanan dan keselamatan; Hak atas keamanan dan

keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan

keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang

diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik

maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.

2. Hak untuk memperoleh infomasi; Hak atas informasi ini sangat

penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

77

konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk,

yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau dengan cacat karena

informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan

benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang

benar untuk suatu produk, karena dengan informasi tersebut,

konsumen dapat memilih produk yang diinginkan / sesuai

kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam

penggunaan produk.

3. Hak untuk memilih; Hak untuk memilih dimaksudkan untuk

memberikan kebebasan kepada kosumen untuk memilih produk-

produk tertetu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari

pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak

memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk,

demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun

kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

4. Hak untuk didengar; Hak untuk didengar ini merupakan hak dari

konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk

menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan

tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu

apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut

kurangmemadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang

telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa

pertanyaan atau pendapat tentang suatu produk, atau yang berupa

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

78

pertanyaan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang

berkaitan dengan kepentingan konsumen.

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; Hak ini merupakan hak yang

sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan

demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh

kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya

secara layak.

6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian; Hak atas ganti kerugian ini

dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak

(tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang

tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan

penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik berupa

kerugian materi, maupun kerugian yang menyakut diri (sakit,cacat,

bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja

harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai

(di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; Hak untuk memperoleh

pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh

pengetahuan maupun ketrampilan yang diperlukan agar dapat terhindar

dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan

konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti

dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

79

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat; Hak atas

lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap

konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih

dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan

ini diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997.

9. Hak mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat

permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu

konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih

tinggi dari pada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/atau

jasa yang diperolehnya.

10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut; Hak

ini tentu saja dimaksud untuk memulihkan keadaan konsumen yang

telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur

hukum.83

Hak-hak yang dimiliki oleh konsumen tentunya juga dibarengi dengan

kewajiban yang harus dipenuhi juga oleh konsumen dalam perjanjian jual beli.

Adapun kewajiban pembeli yang diatur oleh KUHPerdata adalah :

1. Pasal 1513 KUHPerdata : “kewajiban utama pembeli adalah

membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan

dalam persetujuan.

83

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, hal. 41

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

80

2. Pasal 1514 KUHPerdata : “jika pada waktu membuat persetujuan tidak

ditetapkan hal-hal itu pembeli harus membayar di tempat dan pada

waktu penyerahan.”

3. Pasal 1515 KUHPerdata : “Pembeli walaupun tidak ada suatu

perjanjian yang tegas, wajib membayar bunga dari harga pembelian,

jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau pendapatan

lain.”

Lebih lanjut mengenai kewajiban dari pada konsumen diatur dalam

ketentuan Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan

keselamatan.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa konsumen memiliki

kewajiban untuk membaca dan mengikuti petunjuk informasi dari barang yang

dibelinya. Konsumen juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran atas

barang yang telah dibelinya sesuai dengan kesepakatan dengan pihak penjual atau

pelaku usaha.

Pihak penjual selaku pelaku usaha juga memiliki hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang harus dipenuhinya. Pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1

angka 3 UU Perlindungan Konsumen adalah :

Setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

81

Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa, pelaku usaha yang masuk di

dalam pengertian ini adalah perusahaan, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,

korporasi, importer, pedagang, distributor dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas

dapat diketahui bahwa pembentuk UU Perlindungan Konsumen memasukkan

beberapa unsur untuk memenuhi kriteria pelaku usaha yaitu ada subyeknya,

bentuk badan hukum, tempat kedudukan badan hukum, bentuk kerjasama,

kegiatan yang dilakukan.

Ketentuan dalam KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban daripada

penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata menjelaskan bahwa sebagai

pihak penjual memiliki dua kewajiban penting dalam pelaksanaan perjanjian.

Kewajiban tersebut adalah menyerahkan suatu barang dan menanggungnya.

Terkait penyerahan atau levering dalam KUHPerdata menganut sistem kausal

yaitu suatu system yang menggantungkan sahnya penyerahan tersebut pada dua

syarat yaitu:

1. Penyerahan atau levering telah dilaksanakan oleh yang berhak berbuat

bebas (beschikking sbevoegd) terhadap orang yang di-levering.

2. Sahnya titel dalam perjanjian jual beli yang menjadi dasar levering

(penyerahan).

Terkait dengan penanggungan terhadap suatu barang dan atau barang yang

kondisinya rusak (cacat produk) diatur dalam ketentuan Pasal 1504 KUHPerdata

yaitu:

Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada

barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk

pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian

itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacatcacat itu, ia sama

sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain

dengan harga yang kurang.

Page 41: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

82

Cacat yang dimaksud dalam hal ini berarti cacat yang membuat barang

tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud dan cacat tersebut

tidak diketahui oleh pembeli secara normal atau wajar pada saat ditutupnya

perjanjian, dalam hal ini perjanjian jual beli. Disebut cacat tersembunyi karena

cacat tersebut tidak mudah kelihatan apabila tidak dilihat secara jeli dan teliti.

Tetapi apabila cacat yang dimaksud sudah terlihat sebelumnya, maka barang

tersebut tentu bukan lagi disebut sebagai cacat tersembunyi, melainkan

dikategorikan sebagai cacat yang nampak atau kelihatan.

Ketentuan pasal 1504 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1506

KUHPerdata dapat diketahui bahwa penjual harus bertanggung jawab apabila

barang tersebut mengandung cacat tersembunyi, lepas dari penjual mengetahui

adanya cacat atau tidak melihat, kecuali jika dalam hal yang sedemikian telah

meminta diperjanjikan bahwa, ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.

Menurut ketantuan yang tercantum dalam Pasal 1508 KUHPerdata,

apabila si penjual mengetahui adanya cacad tersembunyi yang tidak ia

beritahukan kepada pembeli, maka penjual wajib untuk :

a. Mengembalikan uang harga pembelian.

b. Mengembalikan hasil-hasil, jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil

itu kepada si pemilik sejati yang melakukan penuntutan penyerahan.

c. Mengganti segala biaya kerugian dan bunganya kepada pembeli.

Mengenai pelaku usaha, menurut ketentuan Pasal 6 UU Perlindungan

Konsumen menentukan hak pelaku usaha adalah :

Page 42: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

83

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

tidak beritikad baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya kewajiban bagi para pelaku usaha dalam Pasal 7 UU

Perlindungan Konsumen adalah :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau jasa

yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau jasa yang diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan.

g. Memberi kompensasi, ganti rugi atas barang dan/atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha

merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan

tentang itikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Di dalam UUPK pelaku usaha

selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu

menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar

Page 43: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...

84

pelaku usaha. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap suatu

konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran

mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen

tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.

Keberadaan konsumen bagi para pelaku usaha memiliki hubungan timbal

balik yang bersifat mutlak. Hubungan Antara konsumen dengan pelaku usaha

tidak mungkin dipisahkan dalam kaitannya untuk mewujudkan hak dan kewajiban

para pihak. Adanya kewajiban di sisi konsumen ada pula hak di sisinya produsen

sebaliknya adanya hak pada produsen merupakan kewajiban di sisi konsumen.

Dalam hubungan yang demikian itu sudah seharusnya kedua belah pihak ada pada

posisi yang berimbang tidak merugikan karena saling mempunyai

ketergantungan.Oleh karena itulah sangat diperlukan pengaturan tentang hak dan

kewajiban konsumen disatu sisi dengan hak dan kewajiban produsen/pelaku usaha

di sisi lainnya.