BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI ...
42
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSUL EKSONERASI,
PERJANJIAN BAKU, JUAL BELI DAN PERUMAHAN
2.1 Klausul Eksonerasi Dan Perjanjian Baku
2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Perjanjian Baku
Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Kamus terminologi
hukum (Inggris-Indonesia) karangan Ranuhandoko bahwa perjanjian atau yang
dikenal juga dengan contract dapat diartikan “Suatu persetujuan antara dua pihak
atau lebih yang karenanya masing-masing akan melakukan atau tidak melakukan
suatu tidakan tertentu”48
Subekti mengemukakan pendapatnya mengenai
perjanjian sebagai, “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari suatu
peristiwa tersebut timbul suatu hubungan perikatan.”49
Suatu perjanjian yang dibuat pada umumnya memuat empat bagian yang
terdiri dari:
1. Nama Perjanjian
2. Komparisi
3. Batang Tubuh
4. Penutup
48
Ranuhandoko, I.P.M, 2000, Terminologi Hukum (Inggris-Indonesia), Cet.II, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 168 49
Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 5
43
Klausul baku di dalam suatu perjanjian baku merupakan batang tubuh dari
perjanjian tersebut.Latar belakang timbulnya perjanjian baku di masyarakat
karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar dan perusahaan pemerintah
mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka,
ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada umumnya
mempunyai kedudukan yang lemah baik karena posisinya maupun karena
ketidaktahuannya, mereka hanya menerima apa yang disodorkan dan apabila
debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap
menerima atau tidak menerimanya sama sekali kemungkinan untuk mengadakan
perubahan itu sama sekali tidak ada. Dengan penggunaan perjanjian baku ini,
maka pihak pengusaha akan memperoleh efesiensi dalam pengeluaran biaya,
tenaga atau waktu.
Perjanjian baku merupakan perjanjian standar yang bentuknya telah
ditetapkan oleh satu pihak, sedangkan pihak yang lain hanya menandatangani
sebagai tanda persetujuan. Perjanjian standar berkembang cepat dalam dunia
bisnis, karena dianggap efesien dan efektif. Perjanjian standar diresmikan oleh
pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dengan menggunakan istilah Klausul baku yang terdapat
pada Pasal 1 angka 10, sebagai berikut : “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara pihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”
44
Perjanjian standar atau perjanjian baku menurut Sutan Remy Sjahdeini
yaitu suatu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh
pemakaiannya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya
beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat,
waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Syahjdeini
menekankan yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan
klausul-klausulnya.50
Istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam
bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak
ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang
mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam
perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.51
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo mengemukakan bahwa, klausula baku
merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian. Suatu perjanjian yang
menggunakan klausula baku ini disebut dengan perjanjian baku. Di dalam suatu
perjanjian tercantum klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang memiliki kedudukan yang lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan
pihak yang lemah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.52
Pada suatu perjanjian apabila kedudukan para pihak tidak seimbang maka
pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas
untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Pihak yang memiliki
50
Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Op.cit, hal. 66 51
Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 87 52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hal. 115
45
posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan
klausul-klausul tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang
seharusnya dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak
ditemukan lagi di dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian
dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Karena yang merancang
format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kekuataan atau kedudukan
yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat
klausula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan/
menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya
menjadi tanggung jawabnya.53
Perjanjian semacam itu cenderung secara substansi
hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang
berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu
karenanya posisinya yang lemah.54
Perjanjian baku (standar contract) merupakan perjanjian yang hampir
seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
Adapun yang belum dibakukan adalah beberapa hal lainnya yang sifatnya sangat
spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian baku
(standar) adalah perjanjian yang diterapkan secara sepihak oleh produsen/pelaku
usaha/penjual yang mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) sehingga
pihak konsumen hanya mempunyai 2 pilihan saja yaitu menyetujui atau
menolaknya.
53
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hal. 145 54
Rahman Hasanudin, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 134
46
Perjanjian baku atau standar contract memiliki karakteristik sebagai ciri-
ciri dari suatu perjanjian baku sebagai berikut:
1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat;
2) Masyarakat (debitur/konsumen) sama sekali tidak bersama-sama
menetukan perjanjian;
3) Terdorong oleh kebutuhannya debitur/konsumen terpaksa menerima
perjanjian itu;
4) Bentuk tertentu (tertulis)
5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif.55
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat diketahui karakteristik
perjanjian baku atau standar contract yaitu merupakan perjanjian yang telah
distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya
diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur/konsumen
menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi
apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur/konsumen
tidak menandatangani perjanjian tersebut. Praktek jual beli perumahan pada
umumnya perjanjian standar yang oleh pengusaha real estate senantiasa
dipandang sebagai model yang ideal, praktis dan sekaligus siap pakai sesuai
dengan rumus efisiensi yang semangat didambakan diantara kalangan mereka.
Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih
kebebasan para pihak sesuai dengan asas kebebasan untuk membuat perjanjian
55
Salim H.S., 2003, Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 146
47
sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh
pelaku usaha adalah melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para pihak
mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar
keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep
yang tidak dapat ditawar.
2.1.2 Jenis-Jenis Perjanjian yang Menggunakan Klausul Baku
Menurut pendapat Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip oleh
Salim H.S., bahwa suatu perjanjian standar atau perjanjian baku dapat
dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu:
1. Perjanjian baku sepihak
Adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya di dalam perjanjian itu Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditor
yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi yang lebih kuat dibandingkan pihak
debitur.
2. Perjanjian baku timbal balik
Adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak,
misalnya perjanjian baku yang pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan
pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,
misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
Ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap
perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian - perjanjian yang
48
mempunyai objek hak-hak atas tanah. Terkait dengan pertanahan dapat dilihat
formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam
Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli.
4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokad adalah
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris
atau advokad yang bersangkutan.56
Salim H.S mengemukakan bahwa suatu kontrak baku dapat dikaji dari
objeknya sebagai berikut:
1. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan minyak
dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya, kontrak production
sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara, kontrak bantuan teknis, dan
lain-lain.
2. Kontrak baku yang dikenal dalam praktek bisnis. Seperti kontrak baku dalam
perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.
3. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan seperti perjanjian kredit
bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.
4. Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan non-bank seperti
perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan modal ventura,
perjanjian pembiayaan konsumen.
56
Ibid,hal 156
49
5. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian asuransi
yang dibuat oleh perusahaan asuransi.57
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa penggunaan
perjanjian baku atau standard contract merupakan hal yang umum dan banyak
ditemui dalam praktek kehidupan sehari-hari, agar menghemat waktu dan juga
efisiensi karena klausul-klausulnya telah dibakukan. Namun tentunya penggunaan
perjanjian baku tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
2.1.3 Pengertian dan Tujuan Pencantuman Klausul Eksonerasi
Eksonerasi (exoneration) adalah membebaskan seseorang atau badan
usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab hukum. Berarti klausul ini
mengecualikan kewajiban atau tanggung jawab di dalam perjanjian. Klausul
eksonerasi yang dicantumkan dalam perjanjian bilamana satu pihak
menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi
seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan
hukum,58
sehingga dapat membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah
satu pihak, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya
dibebankan kepadanya.
Klausul eksonerasi yang bisanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausul
tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan
dalam perjanjian baku. Klausul tersebut merupakan klausul yangsangat merugikan
57
Ibid, hal. 157 58
Mariam Darus Badrulzaman, 2008, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, hal. 47
50
konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan
produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya
klausul tersebut menjadi beban konsumen.
Mengenai unsur-unsur dari suatu perjanjian J.Satrio juga memberikan
pendapatnya yaitu dalam suatu perjanjian memuat unsur-unsur:
a. Esentialia
Unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur
mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.
Contohnya : “Sebab yang halal” merupakan esensialia untuk adanya
perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga barang yang disepakati kedua
belah pihak harus ada. Pada perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek
perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan
essensialia dari perjanjian formal.
b. Naturalia
Unsur Naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasar sifatnya dianggap ada
tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.Bagian dari perjanjian
ini yang bersifat mengatur termuat didalam ketentuan peraturan perundang-
undangan untuk masing-masing perjanjian bernama.Disini unsur tersebut oleh
undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah
(regelend/aanvullend recht).
Contohnya : kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan dan
untuk menjamin/vriwaren dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah
pihak.
51
c. Accidentalia
Unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri
tidak mengatur hal tersebut.
Contohnya : di dalam suatu perjanjian jual beli, benda-benda pelengkap
tertentu dapat dikecualikan, seperti dalam jual beli rumah para pihak sepakat
untuk tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman rumah.59
Klausula Eksonerasi (Exemption Clause) adalah klausul yang mengandung
kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang
semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).
Klausula eksonerasi sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggungjawaban
dari pelaku usaha, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya.60
Klausul eksonerasi dapat membebaskan seseorang atau badan usaha dari
suatu tuntutan atau tanggung jawab. Klausul eksonerasi berarti suatu klausul
pengecualian kewajiban atau tanggung jawab dalam perjanjian. Menurut Sutan
Remy Sjahdeini, klausula eksonerasi membebaskan atau membatasi tanggung
jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang
bersangkutan tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang telah
ditentukan di dalam perjanjian.61
Tujuan pencantumannya adalah untuk
membebaskan dirinya dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab
atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen. Hal
ini tentunya akan berdampak pada kerugian bagi pihak konsumen.
59
J. Satrio, 2002, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 57. 60
Celina Tri Siwi Kristianti, op.cit, hal. 141 61
Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, hal. 75
52
2.1.4 Larangan Pencantuman Klausul Eksonerasi
Klausul baku menjadi tidak patut ketika kedudukan para pihak menjadi
tidak seimbang karena pada dasarnya, suatu perjanjian adalah sah apabila
menganut asas konsensualisme disepakati oleh kedua belah pihak dan mengikat
kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagai undang-undang.
Dengan demikian, pelanggaran terhadap asas konsensualisme tersebut dapat
mengakibatkan perjanjian antara kedua belah pihak menjadi tidak sah. Oleh
karena itu, klausul baku yang mengandung klausul eksonerasi dilarang oleh
hukum. Meskipun perjanjian baku yang mengandung klausul eksonerasi telah
diperjanjikan sebelumnya, perjanjian tersebut tidak dapat dianggap sah karena
mengandung ketentuan/klausul yang bertentangan dengan undang-undang.
Larangan penggunaan klausul eksonerasi dapat dilihat dari ketentuan Pasal 18 UU
Perlindungan Konsumen.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 UU Perlindungan
Konsumen mengatur mengenai ketentuan klausul baku dalam suatu perjanjian
sebagai berikut:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsunguntuk melakukan segal
53
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa pada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti yang dapat mengakibatkan perjanjian yang
mengandung klausul baku dinyatakan batal demi hukum. Pelaku usaha wajib
menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan Antara
klausul baku dengan klausul eksonerasi. Artinya klausul baku merupakan klausul
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada
klausul eksonerasi. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU
Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa klausul baku harus diletakkan pada
tempat yang mudah terlihat dan jelas dapat dibaca dan mudah dimengerti, jika hal-
hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausul baku
itu menjadi batal demi hukum. Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h adalah syarat-syarat eksonerasi yang
54
digunakan oleh pelaku usaha sebagai dalil untuk membebankan diri dari
tanggungjawabnya melalui syarat-syarat pengalihan tanggungjawab ataupun
mengurangi tanggungjawab pelaku usaha kepada konsumen terkait barang yang
dijualnya.
Tujuan larangan pencantuman klausul eksonerasi karena berupaya
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan
pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya.Tujuan
lain dari larangan pencantuman klausul eksonerasi dalam perjanjian dimaksudkan
untuk menempatkan para pihak setara di hadapan hukum yaitu dalam hal
perjanjian.62
Bila kondisi ini terjadi maka posisi kedudukan konsumen dan pelaku
usaha tidak lagi setara sesuai asas kebebasan berkontrak, seharusnya para pihak
bebas menentukan klausul dalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh menekan
pihak lain, harus sama-sama merasa puas dengan perjanjian yang dibuat. Menurut
asas kebebasan berkontrak idealnya para pihak yang terikat dalam perjanjian
berada dalam posisi tawar yang seimbang antara satu sama lain.
2.1.5 Hubungan Antara Perjanjian Baku dengan Klausul Eksonerasi
Secara yuridis perbuatan yang mencantumkan klausul eksonerasi di dalam
suatu perjanjian merupakan perbuatan yang dilarang, namun pencantuman itu
sering kali terjadi dalam praktik perjanjian. Sebagian pelaku usaha cenderung
mencantumkan klausul eksonerasi dalam format (formulir) perjanjian baku.
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang
menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausul yang terdapat dalam
62
ibid
55
perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung jawab dari pihak perancang
klausul baku kepada pihak lawannya. Namun setiap kerugian yang timbul di
kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung
jawab berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut
merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.63
Pasal 1331 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
apabila perjanjian yang dilakukan obyek atau perihalnya tidak ada atau tidak
didasari pada itikad yang baik,maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal
demi hukum.”Pada penggunaan klausul baku hal yang perlu dikhawatirkan adalah
dicantumkannya klausul eksonerasi pada perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi
mempunyai tujuan utama, yaitu mencegah pihak konsumen merugikan
kepentingan pelaku usaha. Agar dapat menghindari kerugian yang dialami oleh
kepentingan pelaku usahanya maka, pelaku usaha menciptakan syarat baku yang
disebut eksonerasi.
Klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung pembatasan bahkan
menghapus sama sekali tanggungjawab yang semestinya dibebankan kepada
pihak produsen atau penyalur produk (penjual).64
Klausul eksonerasi dapat berasal
dari rumusan pelaku usaha secara sepihak dan dapat juga berasal dari rumusan
pasal undang-undang. Klausula eksonerasi rumusan pelaku usaha membebankan
pembuktian pada konsumen dan menyatakan dirinya tidak bersalah dan inilah
yang menyulitkan konsumen. Klausul eksonerasi rumusan undang-undang
63
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, hal. 118 64
Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal. 120
56
membebankan pembuktian pada pelaku usaha eksonerasi biasa terdapat di dalam
suatu perjanjian standar yang bersifat sepihak.65
2.2 Jual Beli
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
Adanya jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan di sebut
menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Barang yang
menjadi objek dari jual beli tersebut harus cukup tertentu yang artinya ditentukan
wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si
pembeli sehingga menjadi sah menurut hukum.
Jual beli diatur dalam ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata bahwa “jual beli
adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.” Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa jual beli
adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak pembeli berjanji untuk
membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Hak milik suatu barang yang semula
dimiliki pihak penjual, akan berpindah tangan kepada si pembeli apabila sudah
ada penyerahan secara yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata.
Pihak penjual dalam hal ini berkewajibanmenyerahkan kebendaan yang
dimilikinya kepada pembeli dan pihak pembeliberkewajiban membayar harga
kebendaan tersebut berdasarkan perjanjian yang telahdisepakati. Pihak penjual
berhak menerima sejumlah materi/uang dari pihak pembeliatas kewajiban pihak
65
ibid
57
penjual yang telah menyerahkan kebendaan yang dimilikinya kepada pembeli,
sedangkan pihak pembeli berhak menerima kebendaan berikut hakatas kebendaan
tersebut dari pihak penjual dengan jaminan sepenuhnya dari penjual,bahwa
kebendaan dan hak kebendaan yang diserahkan itu merupakan hak
miliksepenuhnya dari penjual tersebut.66
Jual beli menujukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan
menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Barang yang
menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya
ditentukkan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya
kepada si pembeli, dengan demikian adalah sah menurut hukum.67
Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa “perjanjian jual beli adalah
perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak
milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut
harga.68
Jual beli merupakan suatu perjanjian yang timbul disebabkan oleh adanya
hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak atau
lebih.Pendukung perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu,
masing-masing orang menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak
kreditur dan yang lain menjadi pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang
menjadi subjek perjanjian.Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib
memenuhi pelaksanaan prestasi terhadap kreditur.69
66
Winanto, 2005, Asas Keadilan dalam Hukum Perjanjian berdasarkan KUH Perdata,
Bina Cipta, Jakarta, hal. 19 67
Subekti, 2002, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1 68
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 243 69
R. Setiawan, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, hal. 5
58
2.2.2 Para Pihak dan Syarat-syarat Jual Beli
Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata mengenai pihak-pihak
yang terdapat dalam perjanjian diatur secara sporadik di dalam ketentuan Pasal
1315, 1317, 1318, 1340 KUHPerdata antara lain:
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya.
3. Pihak ketiga.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1468, 1469 dan 1470 KUHPerdata
apabila subjek-subjek tersebut (usaha dagang dan pembeli) mengandung larangan-
larangan sebagaimana diatur dalam pasal–pasal tersebut diatas maka para pihak
tidak dapat melaksanakan perjanjian jual beli. Usaha dagang yang berperan
sebagai penjual dalam melayani pembeli dapat bertindak langsung tanpa
keterikatan dengan perusahaan sebagai pihak yang memproduksi barang. Namun
ada pula penjual yang berkedudukan sebagai penyalur resmi yang bertindak dan
bergerak atas nama perusahaan atau agen resmi, seperti dalam perjanjian jual beli
tersebut disini. Agen tersebut diartikan sebagai pihak yang menjalankan tugas
sebagai penyalur untuk melayani konsumen dalam memenuhi kebutuhannya.70
Jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik Antara pihak penjual
dengan pihak pembeli yang terdiri dari71
:
a. Natuurlijke persoon atau manusia tertenntu.
Subjek jual beli berupa orang atau manusia harus memenuhi syarat
tertentu untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara
70
Achmad Ichsan, 20056, Duni Usaha Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 113 71
M. Yahya Harahap, 2008, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 16
59
sah.Seseorang harus cakap untuk melakukan tindakan hukum, tidak
lemah pikirannya, tidak berada dibawah pengampuan atau
perwalian.Apabila anak belum dewasa, orang tua atau wali dari anak
tersebut yang harus bertindak.
b. Rechts persoon atau badan hukum.
Subjek jual beli yang merupakan badan hukum, dapat berupa kooperasi
dan yayasan.Kooperasi adalah suatu gabungan orang yang dalam
pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum
tersendiri.Sedangkan yayasan adalah suatu badan hukum dilahirkan
oleh suatu pernyataan untuk suatu tujuan tertentu.Dalam pergaulan
hukum, yayasan bertindak pendukung hak dan kewajiban tersendiri.
c. Persoon yang dapat diganti. Mengenai persoon kreditur yang dapat
diganti, berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan
dalam perjanjian, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan
kreditur baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam
bentuk perjanjian “aan order” atau perjanjian atas perintah. Demikian
juga dalam perjanjian “aan tonder” atau perjanjian atas nama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata maka dapat diketahui
bahwa jual beli termasuk di dalam Perjanjian, sehingga syarat-syarat suatu jual
beli juga haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dengan adanya kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya
suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika syarat mengenai kesepakatan
60
dan kecakapan (syarat subyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian jual beli
dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada sampai adanya keputusan dari
hakim.Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian jual beli adalah
menjadi batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada perjanjian
jual beli tersebut.
Syarat lain dari jual beli juga dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1332
KUHPerdata yaitu “hanya benda yang berada dalam perdagangan saja yang dapat
menjadi obyek suatu perjanjian jual beli. “Berdasarkan uraian diatas maka obyek
dari perjanjian jual beli tidak hanya benda yang berupa hak milik saja, tetapi
benda yang menjadi kekuasaannya dan dapat diperdagangkan, asalkan pada waktu
penyerahan dapat ditentukan jenis dan jumlahnya.
2.2.3 Unsur-Unsur Jual Beli
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata “jual beli
dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum
diserahkan maupun harganya belum dibayar. “Berdasarkan ketentuan di atas maka
dapat diketahui bahwa dengan adanya kesepakatan di antara para pihak yang
bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak yang artinya apa yang
dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain, dan
tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan
perkataan-perkataan., misalnya “setuju”, “accoord”, “oke” dan lain-lain
sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan dibawah
61
pernyataaan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak
telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.72
Unsur-unsur pokok (essentialia) dalam suatu perjanjian jual beli adalah
adanya barang dan harga. Perjanjian jual beli tersebut sudah lahir pada saat
adanya kata sepakat di antara pihak-pihak mengenai barang dan harga sehingga
lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
a. Barang atau benda yang diperjual belikan
Barang adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek harta benda atau
harta kekayaan, sehingga yang harus diserahkan dalam persetujuan jual
beli adalah barang berwujud benda. Ketentuan dalam Pasal 1332 KUH
Perdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang biasa
diperdagangkan saja yang boleh dijadikan objek persetujuan. Pasal 503-
Pasal 505 KUHPerdata mengenal tiga macam barang yaitu:
a) Ada barang yang bertubuh dan ada barang yang tak bertubuh.
b) Ada barang yang bergerak dan ada barang yang tak bergerak.
c) Ada barang yang bergerak yang dapat dihabiskan, dan ada yang tidak
dapat dihabiskan; yang dapat dihabiskan adalah barang-barang yang
habis karena dipakai.
Mengenai penyerahan dari barang-barang tersebut di atas, maka
KUHPerdata juga mengatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas
barang itu (Pasal 612 KUHPerdata)
72
Ibid, hal. 3
62
b) Untuk barang tidak bergerak penyerahan dilakukan dengan
pengumuman akta yang bersangkutan yaitu dengan perbuatan yang
di namakan balik nama di muka pegawai kadaster yang juga
dinamakan pegawai balik nama (Pasal 616 dan Pasal 620
KUHPerdata).
c) Untuk barang tidak bertubuh dilakukan dengan membuat akta
otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas
barang-barang itu kepada orang lain (Pasal 613 KUHPerdata).
b. Harga
Suatu kesepakatan jual beli pasti mengandung harga yang telah disepakati
untuk barang yang dibelinya. Harga sebagaimana dikemukakan oleh
Yahya Harahap adalah suatu jumlah yang harus dibayarkan dalam bentuk
uang. Pembayaran harga dalam bentuk uang yang dikategorikan jual beli.
Harga ditetapkan oleh para pihak.73
Pembayaran harga yang telah
disepakati merupakan kewajiban utama dari pihak pembeli dalam suatu
perjanjian jual beli. Terdapat beberapa metode yang dapat dipergunakan
untuk melakukan pembayaran dalam transaksi jual beli sebagai berikut:
a) Jual Beli Tunai Seketika
Metode jual beli dimana pembayaran tunai seketika ini merupakan
bentuk yang sangat klasik, tetapi sangat lazim dilakukan dalam
melakukan jual beli.Dalam hal ini harga rumah diserahkan semuanya,
73
Yahya Harahap, Op.cit, hal. 182
63
sekaligus pada saat diserahkannya rumah sebagai objek jual beli
kepada pembeli.
b) Jual Beli dengan Cicilan/Kredit
Metode jual beli dimana pembayaran dengan cicilan ini dimaksudkan
bahwa pembayaran yang dilakukan dalam beberapa termin, sementara
penyerahan rumah kepada pembeli dilakukan sekaligus di muka, meski
pun pada saat itu pembayaran belum semuanya dilunasi. Dalam hal ini,
menurut hukum, jual beli dan peralihan hak sudah sempurna terjadi,
sementara cicilan yang belum dibayar menjadi hutang piutang.
c) Jual Beli dengan Pemesanan/Indent
Merupakan metode jual beli perumahan dimana dalam melakukan
transaksi jual beli setelah indent atau pemesanan (pengikatan
pendahuluan) dilakukan, maka kedua belah pihak akan membuat suatu
perjanjian pengikatan jual beli yang berisi mengenai hak-hak dan
kewajiban keduanya yang dituangkan dalam akta pengikatan jual
beli.74
2.3 Perumahan
2.3.1 Pengertian Perumahan
Pengertian mengenai rumah oleh Amirudin lebih digambarkan sebagai
sesuatu yang bersifat fisik (house, dwelling, shelter) atau bangunan untuk tempat
tinggal/bangunan pada umumnya (seperti gedung dan sebagainya). Jika ditinjau
74
Munir Fuady I, Op.cit, hal. 25
64
secara lebih dalam rumah tidak sekedar bangunan melainkan konteks sosial dari
kehidupan keluarga di mana manusia saling mencintai dan berbagi dengan orang-
orang terdekatnya.75
Ketentuan mengenai perumahan dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disebut
UU Perumahan).Pengertian mengenai rumah dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1
angka 7 UU Perumahan, “Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai
tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan
martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.”Terdapat beberapa konsep
tentang rumah sebagaimana dikemukakan oleh Hendrawan sebagai berikut:
1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri; rumah sebagai simbol dan
pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya
2. Rumah sebagai wadah keakraban ; rasa memiliki, rasa kebersamaan,
kehangatan, kasih dan rasa aman
3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi; tempat melepaskan
diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan, dari dunia rutin
4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan; rumah merupakan tempat
kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam
untaian proses ke masa depan
5. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari
6. Rumah sebagai pusat jaringan sosial
7. Rumah sebagai Struktur Fisik.76
75
Amirudin, 2007, Peran Rumah Dalam Kehidupan Manusia, Kanisius, Semarang, hal.12
65
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perumahan, yang
dimaksud dengan perumahan adalah “kumpulan rumah sebagai bagian dari
permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
layak huni. “Perumahan merupakan salah satu bentuk sarana hunian yang
memiliki kaitan yang sangat erat dengan masyarakatnya. Hal ini berarti
perumahan di suatu lokasi sedikit banyak mencerminkan karakteristik masyarakat
yang tinggal di perumahan tersebut.
Pasal 3 UU Perumahan menyatakan bahwa perumahan dan kawasan
permukiman diselenggarakan untuk:
a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman;
b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran
penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian
dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan
keseimbangan kepentingan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR);
c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi
pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan
pedesaan;
d. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman;
e. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, social, dan budaya;
f. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan
berkelanjutan.
Perumahan dapat diartikan sebagai suatu cerminan dari diri pribadi
manusia, baik secara perorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan
dengan lingkungan alamnya dan dapat juga mencerminkan taraf hidup,
76
Hendrawan, 2004, Pembangunan Perumahan Berwawasan Lingkungan, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 54
66
kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban manusia penghuninya, masyarakat
ataupun suatu bangsa.
2.3.2 Persyaratan Pendirian Perumahan
Pemerintah dan swasta telah melakukan berbagai program pengadaan
perumahan. Namun yang dilakukan belum mencukupi baik dari segi kualitas
maupun kuantitas yang hanya mampu menyediakan kurang lebih 10 % saja
kebutuhan rumah, sisanya dibangun sendiri oleh masyarakat. Dari segi kualitas,
banyak pihak yang berpendapat bahwa program yang ada belum menyentuh
secara holistik dimensi sosial masyarakat, sehingga masih perlu diupayakan
perbaikan-perbaikan.77
Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 47 ayat (3) UU
Perumahan:
a. Kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;
b. Keterpaduan antara prasarana, sarana, dan utilitas umum dan
lingkungan hunian; dan
c. Ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 134 UU Perumahan menyatakan
bahwa “Pihak pengembang (developer) dilarang menyelenggarakan pembangunan
perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi,
persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.”
77
Widyaningsih, 2006, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Perumahan, Tarsito, Bandung,
hal. 15
67
Pembangunan Perumahan dan kawasan permukiman tersebut ditunjukan
untuk menciptakan kawasan permukiman dan mengintegrasikan secara terpadu
dan meningkatkan kualitas lingkungan, yang dihubungkan oleh jaringan
transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan
berbagai pelayanan dan kesempatan kerja. Pembangunan perumahan dan
permukiman diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah berfungsi
sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan
dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan.
2.3.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli
Perumahan
Para pihak dalam perjanjian jual beli perumahan terdiri dari konsumen dan
pelaku usaha.Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu
perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir.Adapun yang menarik di
sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan
sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.Menurut pendapat Hondius,
seorang pakar masalah konsumen di Belanda menyatakan bahwa, para ahli hukum
pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari
benda dan jasa.Jasa adalah “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.78
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen bahwa,
“konsumen ialah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
78
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar
Maju, Bandung, hal. 18
68
masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Konsumen yang dimaksud
dalam UU Perlindungan Konsumenn ini adalah konsumen akhir, yaitu konsumen
yang menggunakan produk untuk keperluan pribadi, keluarga dan tidak untuk
diperdagangkan.Adapun unsur-unsur konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 2 UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
a. Konsumen adalah setiap orang
Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk juga badan usaha
(badan hukum atau non badan hukum).
b. Konsumen sebagai pemakai
Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen hendak menegaskan bahwa
UU Perlindungan Konsumen menggunakan kata “pemakai” untuk
pengertian Konsumen sebagai Konsumen akhir (end user). Hal ini
disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang
mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.
c. Barang dan jasa
Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk
diperdagangkan) dan dipergunakan oleh Konsumen.Jasa yaitu layanan
berupa pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh
Konsumen.
d. Barang dan jasa tersebut tersedia dalam masyarakat
Barang dan/jasa yang akan diperdagangkan telah tersedia di pasaran,
sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya.
69
e. Barang danjasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain atau mahluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori
kepentingan pribadi terhadap pemakaian suatu barang dan/jasa
f. Barang dan jasa tidak untuk diperdagangkan
Pengertian Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen dipertegas,
yaitu hanya Konsumen akhir, sehingga maksud dari pengertian ini adalah
konsumen tidak memperdagangkan barang dan/jasa yang telah
diperolehnya. Namun, untuk dikonsumsi sendiri.
Menurut pendapat AZ Nasution, bahwa konsumen diklasifikasikan
menjadi tiga bagian yaitu:
a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pemakai, pengguna
dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau
pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain
untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial.
Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.
c. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat
dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah
tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir
inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UU
Perlindungan Konsumen.79
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Apabila tujuan pembelian produk tersebut untuk
dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor.
79
AZ. Nasution, 2005, Konsumen dan Hukum, Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum
Pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 72
70
Adapun mengenai hak-hak daripada konsumen selaku pembeli perumahan
menurut ketentuan yang diatur KUHPerdata dalam hal tidak terlaksananya
ketentuan Pasal 1495 KUHPerdata, dan hal tersebut tidak dicantumkan dalam
perjanjian, maka si pembeli berhak menuntut kembali dari si penjual:
1. Pengembalian uang harga pembelian
2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu
kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan
3. Biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pembeli untuk
ditanggung begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh penggugat asal.
4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan
penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli.
5. Barang yang harus diserahkan kepada pembeli adalah dalam keadaan utuh
seperti pada saat penjualan atau saat perjanjian diadakan dan sejak
penyerahan barang, segala yang dihasilkan dari barang tersebut menjadi
hak pembeli.
(Pasal 1481 dan Pasal 1483 KUHPerdata)
6. Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki barang itu
dengan aman dan tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi
dan sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian
(Pasal 1491, 1504, 1506, 1509, 1510 KUHPerdata).
7. Pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan barang
tidak dapat dilaksanakan karena akibat kelalaian penjual (Pasal 1480
KUHPerdata).
71
8. Dalam ketentuan Pasal 1514 KUHPerdata dinyatakan bahwa “jika pada
waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan hal-hal itu, pembeli harus
membayar di tempat dan pada waktu penyerahan.” Berdasarkan uraian ini
maka daat diketahui bahwa hak-hak dari si pembeli yaitu :
a. Untuk menerima barang yang dibelinya dari penjual;
b. Untuk mendapat jaminan dari penjual mengenai kenikmatan dan tidak
adanya kerusakan tersembunyi.
Menurut ketentuan Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menentukan
bahwa yang menjadi hak-hak konsumen yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi,
mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun
rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada
kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir
bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati,
bukan pelaku usaha.80
Pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan
dan keselamatan konsumen, justru akanmenguntungkan semua pihak.
Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong
bagi kebijakan-kebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah, sehingga
menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu
80
Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,RajaGrafindo Persada, hal. 3
72
penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui
ekspor ke luar negeri.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan
materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi
konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relative rendah,
maka hal ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini
umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa.
Sekalipun mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang
dikonsumsi tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi
barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya belinya.Mengkonsumsi suatu
barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan kecocokan konsumen.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam menyampaikan informasi.
Antara lain dapat dilakukan melalui: (a). Disampaikan secara langsung; (b).
Melalui media komunikasi, seperti iklan; (c). Dicantumkan dalam label barang
atau jasa. Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik
disampaikan secara langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk
perluasan pasar saja, tetapi juga menyangkut masalah informasi secara
73
keseluruhan menyangkut kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut,
terutama dalam hal keamanan dan keselamatan konsumen
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara
mengadu kepada produsen/penjual/instansi yang terkait. Konsumen perlu
memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal.Hal ini dirasa
perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar
ini belum dimanfaatkan. Keselamatan dan keamanan yang terancam, serta
wujud yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang
dijajakan, cukup banyak terjadi. Keadaan ini meresahkan serta merugikan
konsumen, dalam hal ini konsumen berhak mengeluh dan menyampaikan
masalah tersebut pada pelaku usaha bersangkutan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa
merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Dalam
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup juga kewajiban
untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran, pengetahuan,
kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat
konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk
berlaku jujur dan bertanggung jawab.
74
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan,
terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang
konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil
guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif,
seperti membiasakan untuk membaca label.Sangat diharapkan peran serta
pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan
konsumen. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang
pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga
swadaya masyarakat.81
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha
yang suka membeda-bedakan pelayanan terhadap seorang konsumen dengan
konsumen lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen.Secara
keseluruhan telah diantisipasi oleh UU Perlindungan Konsumen, dimana
konsumen dibekali hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku usaha.82
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
81
Sidharta, Op.cit, hal. 24-25 82
Sidharta, Op.cit, hal. 27
75
UU Perlindungan Konsumen memperhatikan dasar-dasar acuan untuk
mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan hukum antara
penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak penjual dan
konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku
perekonomian, keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat
mendapat ganti rugi yang memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian
sengketa kepada para pihak. Keempat dasar tersebut telah menekankan pada
pentingnya pemberian hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila ternyata tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan maupun tidak dalam kondisi sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Termasuk kedalam hak-hak ini yaitu diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lain yaitu:
- Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam
pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal 5
ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan
sehat ini dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini.
Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism)
yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.
- Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hak konsumen
untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan
76
sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh
Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang
merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah
selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1)
perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam
pasal 17 sampai dengan pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang
dilarang adalah ologopoli, penetapan harga, pembagian wilayah,
pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian
tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.
Selain hak konsumen sebagaimana diatur dalam ketentuan UU
Perlindungan Konsumen, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo juga
mengemukakan pendapatnya mengenai hak-hak dari konsumen yaitu:
1. Hak atas keamanan dan keselamatan; Hak atas keamanan dan
keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik
maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.
2. Hak untuk memperoleh infomasi; Hak atas informasi ini sangat
penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada
77
konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk,
yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau dengan cacat karena
informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan
benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang
benar untuk suatu produk, karena dengan informasi tersebut,
konsumen dapat memilih produk yang diinginkan / sesuai
kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam
penggunaan produk.
3. Hak untuk memilih; Hak untuk memilih dimaksudkan untuk
memberikan kebebasan kepada kosumen untuk memilih produk-
produk tertetu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari
pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak
memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk,
demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun
kuantitas jenis produk yang dipilihnya.
4. Hak untuk didengar; Hak untuk didengar ini merupakan hak dari
konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk
menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu
apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut
kurangmemadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang
telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa
pertanyaan atau pendapat tentang suatu produk, atau yang berupa
78
pertanyaan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan kepentingan konsumen.
5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; Hak ini merupakan hak yang
sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan
demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh
kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya
secara layak.
6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian; Hak atas ganti kerugian ini
dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak
(tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang
tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan
penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik berupa
kerugian materi, maupun kerugian yang menyakut diri (sakit,cacat,
bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja
harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai
(di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.
7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; Hak untuk memperoleh
pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh
pengetahuan maupun ketrampilan yang diperlukan agar dapat terhindar
dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan
konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti
dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.
79
8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat; Hak atas
lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap
konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih
dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan
ini diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997.
9. Hak mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat
permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu
konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih
tinggi dari pada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/atau
jasa yang diperolehnya.
10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut; Hak
ini tentu saja dimaksud untuk memulihkan keadaan konsumen yang
telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur
hukum.83
Hak-hak yang dimiliki oleh konsumen tentunya juga dibarengi dengan
kewajiban yang harus dipenuhi juga oleh konsumen dalam perjanjian jual beli.
Adapun kewajiban pembeli yang diatur oleh KUHPerdata adalah :
1. Pasal 1513 KUHPerdata : “kewajiban utama pembeli adalah
membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan
dalam persetujuan.
83
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, hal. 41
80
2. Pasal 1514 KUHPerdata : “jika pada waktu membuat persetujuan tidak
ditetapkan hal-hal itu pembeli harus membayar di tempat dan pada
waktu penyerahan.”
3. Pasal 1515 KUHPerdata : “Pembeli walaupun tidak ada suatu
perjanjian yang tegas, wajib membayar bunga dari harga pembelian,
jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau pendapatan
lain.”
Lebih lanjut mengenai kewajiban dari pada konsumen diatur dalam
ketentuan Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa konsumen memiliki
kewajiban untuk membaca dan mengikuti petunjuk informasi dari barang yang
dibelinya. Konsumen juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran atas
barang yang telah dibelinya sesuai dengan kesepakatan dengan pihak penjual atau
pelaku usaha.
Pihak penjual selaku pelaku usaha juga memiliki hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhinya. Pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1
angka 3 UU Perlindungan Konsumen adalah :
Setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
81
Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa, pelaku usaha yang masuk di
dalam pengertian ini adalah perusahaan, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
korporasi, importer, pedagang, distributor dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas
dapat diketahui bahwa pembentuk UU Perlindungan Konsumen memasukkan
beberapa unsur untuk memenuhi kriteria pelaku usaha yaitu ada subyeknya,
bentuk badan hukum, tempat kedudukan badan hukum, bentuk kerjasama,
kegiatan yang dilakukan.
Ketentuan dalam KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban daripada
penjual yang diatur dalam Pasal 1474 KUHPerdata menjelaskan bahwa sebagai
pihak penjual memiliki dua kewajiban penting dalam pelaksanaan perjanjian.
Kewajiban tersebut adalah menyerahkan suatu barang dan menanggungnya.
Terkait penyerahan atau levering dalam KUHPerdata menganut sistem kausal
yaitu suatu system yang menggantungkan sahnya penyerahan tersebut pada dua
syarat yaitu:
1. Penyerahan atau levering telah dilaksanakan oleh yang berhak berbuat
bebas (beschikking sbevoegd) terhadap orang yang di-levering.
2. Sahnya titel dalam perjanjian jual beli yang menjadi dasar levering
(penyerahan).
Terkait dengan penanggungan terhadap suatu barang dan atau barang yang
kondisinya rusak (cacat produk) diatur dalam ketentuan Pasal 1504 KUHPerdata
yaitu:
Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada
barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk
pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian
itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacatcacat itu, ia sama
sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain
dengan harga yang kurang.
82
Cacat yang dimaksud dalam hal ini berarti cacat yang membuat barang
tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud dan cacat tersebut
tidak diketahui oleh pembeli secara normal atau wajar pada saat ditutupnya
perjanjian, dalam hal ini perjanjian jual beli. Disebut cacat tersembunyi karena
cacat tersebut tidak mudah kelihatan apabila tidak dilihat secara jeli dan teliti.
Tetapi apabila cacat yang dimaksud sudah terlihat sebelumnya, maka barang
tersebut tentu bukan lagi disebut sebagai cacat tersembunyi, melainkan
dikategorikan sebagai cacat yang nampak atau kelihatan.
Ketentuan pasal 1504 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1506
KUHPerdata dapat diketahui bahwa penjual harus bertanggung jawab apabila
barang tersebut mengandung cacat tersembunyi, lepas dari penjual mengetahui
adanya cacat atau tidak melihat, kecuali jika dalam hal yang sedemikian telah
meminta diperjanjikan bahwa, ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.
Menurut ketantuan yang tercantum dalam Pasal 1508 KUHPerdata,
apabila si penjual mengetahui adanya cacad tersembunyi yang tidak ia
beritahukan kepada pembeli, maka penjual wajib untuk :
a. Mengembalikan uang harga pembelian.
b. Mengembalikan hasil-hasil, jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil
itu kepada si pemilik sejati yang melakukan penuntutan penyerahan.
c. Mengganti segala biaya kerugian dan bunganya kepada pembeli.
Mengenai pelaku usaha, menurut ketentuan Pasal 6 UU Perlindungan
Konsumen menentukan hak pelaku usaha adalah :
83
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
tidak beritikad baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Selanjutnya kewajiban bagi para pelaku usaha dalam Pasal 7 UU
Perlindungan Konsumen adalah :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau jasa
yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau jasa yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi atas barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha
merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan
tentang itikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Di dalam UUPK pelaku usaha
selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu
menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar
84
pelaku usaha. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap suatu
konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen
tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
Keberadaan konsumen bagi para pelaku usaha memiliki hubungan timbal
balik yang bersifat mutlak. Hubungan Antara konsumen dengan pelaku usaha
tidak mungkin dipisahkan dalam kaitannya untuk mewujudkan hak dan kewajiban
para pihak. Adanya kewajiban di sisi konsumen ada pula hak di sisinya produsen
sebaliknya adanya hak pada produsen merupakan kewajiban di sisi konsumen.
Dalam hubungan yang demikian itu sudah seharusnya kedua belah pihak ada pada
posisi yang berimbang tidak merugikan karena saling mempunyai
ketergantungan.Oleh karena itulah sangat diperlukan pengaturan tentang hak dan
kewajiban konsumen disatu sisi dengan hak dan kewajiban produsen/pelaku usaha
di sisi lainnya.