BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI YURISDIKSI...

25
12 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI YURISDIKSI, TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN KAWASAN TUMPANG TINDIH 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Yurisdiksi Negara Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan negara. Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, namun kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 20 . Berdasarkan hukum internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek yaitu 21 : a. Aspek ekstern yaitu hak negara untuk melakukan hubungan dengan berbagai negara tanpa ganguan maupun campur tangan dari negara lain b. Aspek intern yaitu hak dan wewenang suatu negara untuk menentukan segala urusan dalam negeri di berbagai bidang. c. Aspek teritorial yaitu kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu dan benda di wilayah negara tersebut. Dengan adanya kedaulatan, negara memiliki wewenang untuk menetapkan dan menegakkan hukum nasionalnya. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi dalam hukum internasional. 2.1.1 Pengertian Yurisdiksi Negara Negara memiliki kedaulatan yang kemudian melahirkan hak dan kewenangan untuk mengatur hal-hal internal dan eksternal negara itu, termasuk menetapkan ketentuan hukum nasional terhadap suatu peristiwa. Kewenangan ini 20 Boer Mauna, Op.cit, h. 23. 21 Ibid, h. 24.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI YURISDIKSI...

12

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI YURISDIKSI, TANGGUNG JAWAB

NEGARA DAN KAWASAN TUMPANG TINDIH

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Yurisdiksi Negara

Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan negara.

Kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara

untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, namun kegiatan

tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional20. Berdasarkan hukum

internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek yaitu21:

a. Aspek ekstern yaitu hak negara untuk melakukan hubungan dengan

berbagai negara tanpa ganguan maupun campur tangan dari negara lain

b. Aspek intern yaitu hak dan wewenang suatu negara untuk menentukan

segala urusan dalam negeri di berbagai bidang.

c. Aspek teritorial yaitu kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh

negara atas individu dan benda di wilayah negara tersebut.

Dengan adanya kedaulatan, negara memiliki wewenang untuk menetapkan

dan menegakkan hukum nasionalnya. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi

dalam hukum internasional.

2.1.1 Pengertian Yurisdiksi Negara

Negara memiliki kedaulatan yang kemudian melahirkan hak dan

kewenangan untuk mengatur hal-hal internal dan eksternal negara itu, termasuk

menetapkan ketentuan hukum nasional terhadap suatu peristiwa. Kewenangan ini

20Boer Mauna, Op.cit, h. 23. 21Ibid, h. 24.

13

dikenal sebagai yurisdiksi negara dalam Hukum Internasional. Kata Yurisdiksi

berasal dari kata yurisdictio. Yurisberarti kepunyaan hukum atau kepunyaan

dalam hukum, sedangkan dictio berarti ucapan, sabda, atau sebutan22. Maka

dilihat dari asal katanya, yurisdiksi berarti masalah hukum, kepunyaan menurut

hukum, atau kewenangan menurut hukum. Dalam Piagam PBB sering digunakan

istilah domestic jurisdiction yaitu kewenangan domestik. Meskipun dalam

praktek, yurisdiksi lebih sering digunakan untuk menyatakan kewenangan yang

dimiliki oleh negara terhadap orang, benda, atau peristiwa. Adapun beberapa

pendapat para ahli mengenai yurisdiksi, adalah sebagai berikut :

a. Menurut Wayan Parthiana, apabila yurisdiksi dikaitkan dengan negara

maka berarti kekuasaan atau kewenangan negara untuk menetapkan

dan memaksakan hukum yang dibuat oleh negara itu sendiri23.

b. Menurut Imre Anthony Csabafi, yurisdiksi negara dalam hukum

internasional publik berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan

mepengaruhi dengan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan

yudikatif atas hak-hak individu, harta kekayaan, dan peristiwa yang

tidak hanya mencakup masalah dalam negeri24.

c. Menurut Shaw, yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum

negara terhadap orang, benda, dan peristiwa hukum. Yurisdiksi

22Sefriani, 2014, Hukum Internasional : Suatu Pengantar, Cetakan IV, Rajawali Pers,

Jakarta, h. 232. 23I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung,

h.294. 24Anthony Csabafi, 1971, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law,

The Hague, h. 45.

14

merupakan refleksi dari kedaulatan negara, persamaan derajat negara,

dan prinsip non intervensi25.

d. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua)

pengertian, yaitu :

1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu

wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum26.

e. Menurut John O’Brien, yurisdiksi yang dimiliki oleh negara yang

berdaulat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Kewenangan negara untuk membuat ketentuan hukum terhadap

orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya

(legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction).

2. Kewenangan negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-

ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or

enforcement jurisdiction).

3. Kewenangan pengadilan negara untuk mengadili dan memberikan

putusan hukum (yudicial jurisdiction)27

2.1.2 Prinsip Yurisdiksi Negara

A. Yurisdiksi Teritorial

Semua Negara merdeka yang berdaulat memiliki yurisdiksi terhadap

semua orang dan benda di dalam batas teritorialnya dan dalam semua perkara

25Sefriani, Op.cit, h.233. 26Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,

Balai Pustaka, Jakarta, h. 1278 27Sefriani, Op.cit, h. 234.

15

pidana dan perdata yang timbul di wilayah teritorialnya, prinsip ini dikemukakan

oleh Lord Macmillan.

Jika terjadi suatu kejahatan di wilayah teritorial suatu Negara, maka

pengadilan Negara tersebut memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan :

a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah negara yang ketertiban

sosialnya paling terganggu.

b. Biasanya pelaku kejahatan ditemukan di mana kejahatan dilakukan.

c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti sehingga proses

persidangan dapat lebih efisien dan efektif.

d. Seorang WNA yang datang ke wilayah suatu negara dianggap

menyerahkan diri pada sistem hukum nasional negara tersebut, sehingga

ketika ia melakukan pelanggaran maka ia harus tunduk pada hukum

setempat meskipun mungkin saja apa yang dilakukan sah (lawful) menurut

sistem hukum nasional negaranya sendiri28.

Seiring dengan perkembangan teknologi, prinsip yurisdiksi teritorial

dianggap kurang relevan karena seseorang dapat melakukan kejahatan terhadap

suatu negara padahal ia sedang berada di negara lain. Oleh sebab itu dilakukan

perluasan terhadap prinsip ini guna memberikan pembenaran terhadap tindakan

yang dilakukan oleh negara dalam kasus-kasus dimana satu atau lebih unsur

penyusun tindakan atau perbuatan yang terjadi di luar wilayah negara tersebut.

Secara teknis, perluasan yurisdiksi teritorial adalah sebagai berikut :

a. Prinsip Teritorial Subjektif (Subjective Territorial Principle)

28Ibid, h. 239.

16

Dengan menerapkan prinsip ini, maka negara dapat menuntut dan

menghukum pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di wilayah

negaranya tetapi tindakan itu diselesaikan atau menimbulkan kerugikan di

negara lain. Penerapan prinsip ini tidak secara umum melainkan secara

khusus oleh negara-negara yang terlibat dalam Konvensi Jenewa untuk

Memberantas Pemalsuan Mata Uang (Genewa Convention for Suppression

of Counterfeiting Currency) 1929 dan Konvensi Jenewa untuk

Memberantas Obat Bius (Genewa Convention for Suppression of Illicit

Traffic Drug) 1936. Konvensi ini mengatur setiap negara peserta

berkewajiban menghukum tindak kejahatan dimanapun akhir tindakan itu

dilakukan.

b. Prinsip Teritorial Objektif (Objective Territorial Principle)

Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan

yang menimbulkan kerugian di negaranya meskipun perbuatan itu dimulai

dari negara lain, tetapi dengan syarat perbuatan tersebut dilaksanakan atau

diselesaikan di dalam wilayah mereka dan menimbulkan akibat yang

sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial ekonomi di wilayah mereka.

Hyde mengemukakan definisi teori teritorial objektif adalah perbuatan

yang digerakan dari luar suatu negara yang menimbulkan akibat yang

berbahaya sebagai konsekuensi langsungnya yang karena itu

17

membenarkan yang berdaulat di wilayah itu untuk menuntut pelaku jika

pelaku itu memasuki wilayah negara tersebut29.

Meskipun yurisdiksi ini penting dan kuat, tetapi dalam prakteknya tidak

bersifat multak karena terdapat beberapa pembatasan atau pengecualian terhadap

penerapan yurisdiksi ini. Imunitas tersebut dapat dinikmati oleh :

a. Pejabat diplomatik negara asing

Pejabat diplomatik memiliki imunitas hukum nasional negara dimana

mereka ditempatkan. Imunitas ini meliputi imunitas dari yurisdiksi

kriminal negara tuan rumah, yurisdiksi sipil, dan yurisdiksi administratif.

Imunitas ini tercantum dalam Konvensi Wina tentang Hubungan-

hubungan Diplomatik Pasal 31-32.

b. Terhadap negara dan kepala negara asing

Berdasarkan prinsip par in parem non habet imperium maka suatu negara

yang berdaulat tidak dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap negara lain

yang berdaulat kecuali terhadap yang lebih rendah. Kepala negara

merupakan suatu negara dimanapun berada oleh sebab itu kepala negara

mendapatkan imunitas30.

c. Kapal publik negara asing

Terdapat dua teori mengenai imunitas dari yurisdiksi negara terhadap

kapal publik negara asing, yaitu :

a. Teori pulau terapung (floating island), teori ini menyatakan bahwa

kapal negara harus dianggap sebagai bagian dari wilayah negara sesuai

29J.G Starke, 2014, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 273-274. 30Ibid, h. 279.

18

bendera kapal. Maka kapal tersebut dapat dikatakan sebagai wilayah

ekstrateritorial negara bendera.

b. Pengadilan lokal memberikan imunitas kepada kapal, awak kapal dan

isi kapal yang tidak bergantung pada floating island theory. Imunitas

ini diberikan atas dasar hukum nasional negara tersebut. Imunitas ini

dapat dihapus oleh negara pemilik kapal31.

d. Organisasi internasional

Tiap organisasi internasional memiliki imunitas di walayah-wilayah

negara anggotanya32.

B.Yurisdiksi Terhadap Individu

Yurisdiksi terhadap individu bergantung pada kualitas orang yang terlibat

dalam suatu peristiwa hukum. Kualitas orang ini dapat membenarkan suatu negara

atau beberapa negara melakukan tindakan hukum terhadap orang yang memasuki

wilayah negara tersebut. Berdasarkan praktek internasional, yurisdiksi ini

dilaksanakan menurut prinsip-prinsip berikut :

a. Prinsip nasionalitas aktif

Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap warga

negaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Prinsip ini

diberikan oleh hukum internasional kepada setiap negara yang ingin

memberlakukannya. Prinsip ini juga memberikan hak kepada negara yaitu

negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan

tindak pidana yang mengikutsertakan negara lain kepada negara tersebut.

31Ibid, h. 293. 32Sefriani, Op.cit, h. 241.

19

b. Prinsip Nasionalitas Pasif

Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi guna

melindungi warga negaranya yang menjadi korban kejahatan oleh orang

asing di luar negeri. Dasar pembenar yurisdiksi ini adalah bahwa setiap

negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan apabila

negara asal pelaku kejahatan tidak bisa atau tidak memungkinkan untuk

menghukum pelaku tersebut maka negara asal korban berwenang untuk

memberikan hukuman dengan syarat yaitu pelaku harus berada di wilayah

teritorialnya33.

C. Yurisdiksi Menurut Prinsip Perlindungan

Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing

yang melakukan kejahatan serius yang mengancam kepentingan vital negara,

keamanan, kedaulatan, dan ekonomi. Alasan-alasan pembenar yurisdiksi dengan

prinsip perlindungan adalah sebagai berikut :

a. Dampak yang timbul dari kejahatan tersebut sangat besar bagi negara yang

dituju.

b. Jika yurisdiksi suatu negara tidak dilaksanakan menurut prinsip

perlindungan, maka pelaku kejahatan dapat lolos dari hukuman. Karena

negara dimana kejahatan itu dilakukan menganggap perbuatan itu tidak

melanggar hukum atau karena ekstradisi yang akan ditolak dengan alasan

bahwa kasus bersifat politis.

33J.G. Starke, Op.cit, h. 303.

20

Prinsip ini sangat berbahaya karena setiap negara bebas

menginterpretasikan perbuatan apa saja yang dapat dikatakan membahayakan

kepentingan negaranya. Hal ini menyebabkan negara bersikap sewenang-

wenang34.

D. Yurisdiksi Menurut Prinsip Universal

Berdasarkan prinsip ini setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili

pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa harus

memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Menurut Amnesti

Internasioanal, yurisdiksi universal adalah yurisdiksi dimana pengadilan nasional

dimanapun berhak menginvestigasi dan menuntut seseorang yang dituduh

melakukan kejahatan internasional tanpa memperhatikan nasionalitas pelaku,

korban maupun hubungan lain dengan negara dimana pengadilan itu berada.

Beberapa ciri unik dari yurisdiksi universal adalah :

a. Setiap negara berhak untuk melaksankan yurisdiksi universal dengan

bertanggung jawab untuk tidak mencoba memberikan perlindungan di

wilayah negaranya.

b. Setiap negara yang melaksanakan yurisdiksi ini tidak perlu

mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku dan korban serta dimana

kejahatan itu dilakukan. Satu-satunya yang harus dipastikan adalah pelaku

kejahatan berada dalam wilayah territorial negaranya.

c. Yurisdiksi universal hanya berlaku bagi kejahatan internasional35.

34Sefriani, Op.cit, h. 251. 35Ibid, h. 244.

21

2.1.3 Macam – Macam Yurisdiksi Negara

Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi

suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi oleh kekuasaan atau

kewenangan sebagai berikut :

1. Yurisdiksi Legislatif.

Kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur

hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam

wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif

sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif

(legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).

2. Yurisdiksi Eksekutif.

Kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar

subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan

eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya

kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain.

Yurisdiksi ini disebut sebagai yurisdiksi eksekutif (executive jurisdiction).Ada

pula sarjana yang menyebutnya dengan enforcement jurisdiction (yurisdiksi

pengadilan).

22

3. Yurisdiksi Yudikatif.

Kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang

melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial

jurisdiction36.

Berdasarkan objek yang diatur, yurisdiksi negara terbagi menjadi :

1. Yurisdiksi Personal

Yurisdiksi suatu Negara terhadap orang atau badan hukum, baik warga Negaranya

sendiri maupun warga negara asing dan badan hukum nasional atau asing.

Yuridiksi personal ini dapat dibagi menjadi :

a. Yurisdiksi personal berdasarkan prinsip nasionalitas atau kewarganegaraan

aktif, maksudnya berdasarkan suatu anggapan bahwa setiap warga negara

dari satu negara akan membawa hukum negaranya kemanapun ia pergi dan

dimanapun ia berada.

b. Yurisdiksi personal berdasarkan prinsip nasionalitas atau kewarganegaraan

pasif, yaitu suatu negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili orang

asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar

negeri.

c. Yurisdiksi personal berdasarkan prinsip perlindungan (protected

principle), yaitu suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap

warga negara asing yang melakukan kegiatan di luar negeri dan diduga

dapat mengancam kepentingan, keamanan, integritas, kemerdekaan atau

36Huala Adolf, 1991, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Cetakan

Pertama, Rajawali Press, Jakarta, h. 184.

23

kepentingan umum Negara tersebut. Penerapan prinsip ini disertai alasan-

alasan :

(a) akibat kejahatan tersebut sangat besar bagi Negara yang menjadi

korban

(b) bila yurisdiksi tidak dijalankan, maka kejahatan tersebut besar

kemungkinan akan lolos dari tuntutan, karena tidak melanggar

hukum dari negara pelaku tersebut atau penyerahan ekstradisi

ditolak karena kejahatan tersebut bersifat politik

2. Yurisdiksi Kebendaan

Persoalan yang muncul adalah negara manakah yang berhak mengatur dan

hukum negara manakah yang berlaku terhadap suatu benda yang berada pada

suatu tempat tertentu. Titik beratnya pada benda itu sendiri. Sehubungan dengan

penggolongan benda bergerak dan tidak bergerak, timbul kemungkinan-

kemungkinan yaitu :

a. Bahwa untuk selamanya benda tersebut berada dalam wilayah suatu

negara

b. Pada suatu waktu, berada di atas negara tertentu dan pada waktu yang lain

berada di negara-negara yang berbeda.

c. Sebagian dari benda tersebut berada di suatu negara dan sebagian lagi

berada di wilayah lain.

3. Yurisdiksi Kriminal

Yurisdiksi negara terhadap peristiwa pidana yang terjadi pada suatu negara

tertentu. Penekanannya pada peristiwa pidana atau tindak pidana.

24

4. Yurisdiksi Sipil

Yurisdiksi negara atas peristiwa-peristiwa hak sipil atau perdata yang

terjadi pada suatu tempat tertentu dan di dalamnya tercantum aspek internasional.

Yurisdiksi Negara berdasarkan ruang atau tempat objek masalah dapat dibagi

menjadi :

1. Yurisdiksi Teritorial

Yurisdiksi suatu negara untuk mengatur, menerapkan dan memaksakan hukum

nasional negara tersebut terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam lingkup

wilayah negara bersangkutan.

2. Yurisdiksi Quasi Teritorial

Yurisdiksi negara yang diterapkan pada wilayah yang bukan wilayah negara yang

bersangkutan.

3. Yurisdiksi Ekstrateritorial

Yurisdiksi suatu negara yang diberikan oleh hukum internasional untuk

melaksanakan kedaulatannya di wilayah yang tidak termasuk yurisdiksi teritorial

dan yurisdiksi kuasi teritorialnya.

4. Yurisdiksi Universal

Yurisdiksi negara yang tidak semata-mata didasarkan pada tempat, waktu maupun

pelaku dari peristiwa hukum tersebut tetapi lebih menitikberatkan pada

kepentingan umat manusia sehingga jika terjadi suatu kejahatan yang menyakiti

hati umat manusia di dunia maka setiap negara berhak menangkap pelaku.

25

5. Yurisdiksi Eksklusif

Yurisdiksi negara yang timbul akibat adanya keinginan dibalik kemampuan yang

dimiliki oleh negara untuk mengeksploitasi dasar laut dan kekayaan alam yang

ada di dalamnya37.

2.2 Tinjauan Umum Mengenai Tanggung jawab Negara

2.2.1 Sifat Tanggung jawabNegara

Negara dalam interaksinya tidak dapat dihindarkan dari kemungkinan

terjadinya kesalahan atau pelanggaran yang merugikan negara lain. Kemungkinan

ini memunculkan pemikiran bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat

menikmati hak-haknya tanpa memikirkan hak-hak negara lain, inilah alasan

munculnya Tanggung jawab negara.Tanggung jawab negara menurut A

Dictionary of Law adalah “The obligation of a state to make reparation arising

from a failure to comply with a legal obligation under international law”38.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa tanggung jawab negara untuk

melakukan perbaikan (reparation) timbul ketika suatu negara melakukan

kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional.

Hukum Tanggung jawab negara dikembangkan melalui hukum kebiasaan yang

muncul dari praktik negara, pendapat para ahli, juga putusan internasional. Pada

37Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2011, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum

Internasional, Garaha Ilmu, Yogyakarta, h.55-59. 38Elizabeth A. Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New

York, h. 477.

26

umumnya, para pakar mengemukakan karakteristik timbulnya Tanggung jawab

negara adalah sebagai berikut39 :

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua

negara tertentu

2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum

internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara

3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang

melanggar hukum atau kelalaian

Karakteristik diatas belum pernah disepakati secara universal, namun

dalam prakteknya telah banyak diikuti oleh hukum internasional klasik. Dengan

menyimpulkan secara sederhana uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa

pertanggungjawaban negara hanya bisa dituntut dalam hubungan antar negara

ketika satu negara merasa dirugikan oleh negara lain akibat pelanggaran

kewajiban/kelalaian yang muncul dari treaty, hukum kebiasaan internasional, atau

akibat tidak memenuhi suatu putusan pengadilan.

Dalam hal membahas mengenai tanggung jawab negara, maka dalam

praktiknya perlu mengingat batas-batas antara hukum nasional dan hukum

internasional. Batasan antara kedua hukum ini berkaitan dengan40:

a. Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah

tindakan oleh suatu negara yang dianggap menimbulkan tanggung jawab

b. Kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan kesalahan

39Sefriani, Op.cit, h. 267. 40J.G Starke, Op.cit, h. 395.

27

Penjelasan butir (a) adalah bahwa setiap tindakan harus berupa

pelanggaran kewajiban atau tidak memenuhi beberapa kaidah tanggung jawab

negara secara internasional. Selanjutnya, negara tidak dapat melepaskan tanggung

jawab dengan mengatakan bahwa tidak ada hukum nasional yang dilanggar

padahal secara bersamaan telah terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional.

Komisi Hukum Internasional menyatakan, fakta bahwa suatu tindakan memenuhi

karakteristik pelanggaran hukum internasional tidak dapat dipengaruhi oleh

tindakan yang sama namun menurut karakteristik hukum nasional diangggap

suatu tindakan yang sah.

Penjelasan butir (b) adalah negara tidak dapat melepaskan diri dari

pertanggung jawaban negara dengan menyatakan bahwa badan negara yang telah

melakukan pelanggaran telah melakukan tindakan diluar kewenangannya menurut

hukum nasional, dikenal sebagai doktrin imputabilitas. Setiap negara tidak dapat

menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk melepaskan diri dari

Tanggung jawab. Hal ini tertuang dalam Draft articles on Responsibility of State

for Internationally Wrongful Acts, ILC Pasal 1-3.

Dalam hukum internasional klasik, pihak yang dapat menuntut Tanggung

jawab negara hanya negara yang dirugikan saja. Namun, Draft ILC 2001 tentang

Tanggung jawab Negara membawa perkembangan dalam hal ini, karena

membedakan antara negara yang dirugikan (injured states) diatur dalam Pasal 42

dengan negara yang tidak dirugikan (noninjured states) diatur dalam Pasal 48.

Pasal 42

A state is entitled as injured state to invoke the responsibility of another State if

the obligation breached is owed to:

28

1. that state individually; or

2. a group of states including that state, or the international community as a

whole, and the breach of the obligation:

a. specially affects that state or

b. is of such a character as readily to change the position of all the other

states to which the obligation is owed with respect to the further

performance of the obligation.

Berdasarkan Pasal 48, selain injured states dapat mengajukan tuntutan

pertanggung jawaban dalam dua hal :

a. Kewajiban yang dilangggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk

negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk perlindungan

kepentingan kelompok tersebut. Mencakup perjanjian regional bidang

keamanan, perlindungan HAM, dan lingkungan.

b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat internasional

keseluruhan. Mencakup perlindungan HAM seperti genosida, perbudakan,

diskriminasi dan perlindungan lingkungan seperti larangan penggunaan

bom di lautan.

2.2.2 Macam-Macam Tanggung jawab Negara

1. Terhadap harta milik asing dan orang asing

Negara memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi warga negaranya di

luar negeri, hak dan kewajiban ini tidak jarang menimbulkan konflik.Perlakuan

buruk negara terhadap warga negara asing menimbulkan tangggungjawab negara.

Perlakuan buruk tersebut dapat berupa pengingkaran keadilan, pengambilalihan

harta benda secara paksa, atau tindakan organ negara yang merugikan. Garcia

Amador pada tahun 1956 merumuskan dua prinsip. Pertama, orang asing harus

dapat menikmati hak-hak fundamental yang diakui dalam hukum internasional

29

serta jaminan perlakuan yang sama. Kedua, jika hak tersebut dilanggar maka akan

menimbulkan Tanggung jawab negara41.

2. Terhadap aktifitas ruang angkasa

Aktifitas ruang angkasa memiliki resiko yang sangat tinggi sehingga

negara akan selalu dianggap bertanggungjawab secara mutlak artinya apabila

terjadi sesuatu yang menyebabkan kerugian maka pihak yang dirugikan tidak

perlu membuktikan kesalahan yang merugikan tersebut42.

3. Terhadap pelanggaran kontraktual dan hutang

Suatu pelanggaran kewajiban perjanjian akan menimbulkan Tanggung

jawab negara sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Menurut Permanent Court of

International Justice, yang menjadi prinsip dalam hukum internasional adalah

bahwa setiap pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk

memberikan ganti rugi.

Dalam klaim yang menuntut Tanggung jawab negara terhadap hutang,

terdapat tiga teori yang telah dikemukakan.Pertama oleh Lord Palmerston, dapat

menggunakan jalur diplomatik dan kekerasan. Kedua oleh Drago (MenLu

Argentina), melalui jalur diplomatik dan hukum. Dan ketiga, yang paling banyak

diikuti saat ini yaitu tidak ada ketentuan maupun metode karena pembayaran

hutang dianggap sebagai suatu kewajiban perjanjian sama halnya seperti

pemenuhan kewajiban perjanjian-perjanjian lainnya43.

41Sefriani, Op.cit, h. 283-285. 42Ibid, h. 287. 43Ibid.

30

4. Terhadap Kejahatan Internasional

Kejahatan Internasional ialah pelanggaran kewajiban internasional negara

yang bukan pelanggaran kewajiban kontrak. Untuk menentukan adanya

pertanggung jawaban negara atas kejahatan internasional maka dikenal ajaran

pembebanan kesalahan kepada negara. Ajaran ini menyatakan bahwa kejahatan

yang dilakukan oleh petugas atau orang yang bertindak atas nama negara dapat

dibebankan kepada negara sehingga menimbulkan pertanggungjawaban negara.

Ajaran pembebanan dapat digunakan apabila hukum internasional menyatakan

perbuatan tersebut termasuk pelanggaran dan menyatakan bahwa perbuatan

tersebut dapat dibebankan.Apabila terdapat perbedaan pendapat antara hukum

internasional dengan hukum nasional maka hukum internasional yang berlaku44.

5. Tanggung jawab Negara dan Teori Kesalahan (Fault)

Suatu perbuatan dikatakan mengandung unsur kesalahan apabila perbuatan

tersebut dilakukan secara sengaja dengan tujuan yang buruk atau kelalaian yang

tidak dapat dibenarkan. Sulit untuk membuktikan suatu negara melakukan

perbuatan secara sengaja dengan tujuan yang buruk. Oleh sebab itu, dalam

praktiknya teori ini digunakan dalam keadaan spesifik tertentu dimana unsur

kesengajaan diperlukan agar negara dapat dimintai pertanggung jawabannya45.

2.2.3 Pembebasan Dari Tuntutan Pertanggungjawaban

1. Tindakan dibawah paksaan

Tindakan yang dilakukan oleh suatu negara dimana negara tersebut tunduk

terhadap negara lain. Jadi negara yang melakukan tindakan pelanggaran

44Sugeng Istanto, Op.cit, h. 81. 45Ibid, h. 82.

31

dibawah paksaan dan perintah tersebut tidak dapat dituntut pertanggung

jawabannya.

2. Atas Dasar Hukum Internasional

Kekerasan dalam hukum internasional diperbolehkan dengan syarat-syarat

yang juga telah ditetapkan oleh hukum internasional. Negara yang

menggunakan kekerasan terhadap negara lain tidak dapat dituntut

pertanggung jawabannya apabila kekerasan tersebut bertujuan untuk

memberikan sanksi dan untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan

negara lain tersebut.

3. State Necessity

Pembebasan dari pertanggung jawaban negara dapat terjadi jika terdapat

kepentingan negara yang sangat darurat dan mengharuskan negara

melakukan tindakan satu-satunya yang bisa dilakukan guna menghindari

kerugian yang lebih besar lagi, namun dengan catatan tidak mengancam

keadaan negara lain. Jadi tindakan dilakukan secara sengaja dan telah

memperhitungkan dampak yang akan timbul. State necessity terdapat

dalam Pasal 25 draft Articles on the Responsibility of States for

Internationally Wrongful Acts.

4. Exhaustion of Local Remedies

Negara yang merasa dirugikan tidak dapat melakukan klaim atau tuntutan

sebelum upaya penyelesaian sengketa dengan menggunakan hukum

nasional negara tergugat ditempuh terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan

agar negara tergugat dapat memperbaiki kesalahan yang

32

dilakukan.Namun, ketentuan ini tidak berlaku terhadap kesalahan atau

pelanggaran yang mengakibatkan kerugian secara langsung oleh satu

negara ke negara yang lain. Dalam bukunya Starke mengemukakan

beberapa prinsip mengenai local remedies, adalah sebagai berikut:

1. Local remedies tidak perlu digunakan jika bukti-bukti menunjukan

bahwa tidak ada etikad baik dari pengadilan setempat untuk

memberikan ganti rugi.

2. Penggugat tidak bisa mengupayakan local remedies apabila negara

tersebut menganggap bahwa local remedies di negara tersebut tidak

dapat diandalkan atau memang tidak disediakan.

3. Tidak digunakannya local remedies dapat diterima apabila telah

disepakati terlebih dahulu dalam perjanjian antar negara tersebut.

5. Keadaan memaksa (Force Majeur)

Negara dapat membebaskan diri dari tuntutan pertanggungjawaban apabila

terbukti bahwa terdapat keadaan yang sangat darurat dan menyebabkan

negara harus melakukan tindakan yang tidak dapat dihindari. Tindakan

tersebut harus bersifat tidak disengaja dan tidak diprediksi sebelumnya.

Keadaan ini tercantum dalam Pasal 23 draft Articles on the Responsibility

of States for Internationally Wrongful Acts46.

46Sefriani, Op.cit, h. 288-292.

33

2.3 Tinjauan Umum Mengenai Kawasan Tumpang Tindih

2.3.1 Dasar Penentu Keabsahan Kawasan Tumpang Tindih

Kawasan tumpang tindih (overlapping) merupakan kawasan yang diakui

oleh lebih dari satu negara. Setiap negara yang berkonflik memilliki kepentingan

untuk menguasai wilayah yang masih tumpang tindih demi menjalankan

kedaulatannya atas wilayah tersebut sehingga negara dapat mengeksplorasi

wilayah itu. Konflik mengenai kawasan tumpang tindih tidak dapat diselesaikan

secara sepihak. Negara-negara yang berkonflik harus menyelesaikan secara

bersama-sama melalui perjanjian para pihak, baik bilateral maupun multilateral.

Terhadap kawasan yang mengalami overlapping telah diatur dalam UNCLOS

(United Nations Convention of the Law of the Sea) 1982 dan Statuta Mahkamah

Internasional.

2.3.2 Status Hukum Kepemilikan Kepulauan Spratly

Pasal 122 UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the Sea)

menyatakan bahwa "laut tertutup atau setengah tertutup" berarti suatu teluk,

lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih Negara dan

dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau

yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi

eksklusifnya dua atau lebih Negara pantai. Berdasarkan definisi ini maka Laut

Cina Selatan dikatakan sebagai laut tertutup atau setengah tertutup. UNCLOS

juga mengatur bahwa setiap negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau

setengah tertutup untuk bekerja sama dalam melaksanakan hak dan kewajiban.

Setiap wilayah harus memiliki status hukum yang jelas karena hal ini akan

34

berkaitan dengan tindakan yang diambil jika terjadi sesuatu di wilayah tersebut,

baik secara administrasi maupun pidana.

Status kepemilikan yang belum jelas ini sering mendapatkan itikad yang

kurang baik dari negara-negara yang mengklaim kepulauan Spratly. Hal ini

terbukti dari tindakan negara-negara pengklaim yang menempatkan armada

perang dan melakukan latihan militer di kepulauan Spratly. Tentu saja tindakan

ini membuat konflik perebutan wilayah semakin memanas. Tiap negara

pengklaim memiliki dasar pengklaim yang berbeda, antara lain : Tiongkok

berdasarkan pendudukan dan hak-hak historis, Taiwan berdasarkan pendudukan

dan hak-hak historis, Filipina berdasarkan pendudukan, Landasan Kontinen, dan

kedekatan geografis, Vietnam berdasarkan pendudukan dan hak-hak historis,

Malaysia berdasarkan alasan keamanan, Landasan Kontinen, dan kedekatan

geografis, dan yang terakhir adalah Brunei Darussalam berdasarkan Landasan

Kontinen.

Berdasarkan dasar pengklaiman dari tiap negara, Landasan Kontinen dan

alasan keamanan adalah dasar pengklaiman yang paling lemah. Hal ini

dikarenakan kedua alasan tersebut tidak termasuk dalam prinsip hukum

internasional mengenai penentu kepemilikan pulau. Sehingga dasar pengklaiman

Brunei Darussalam, Malaysia dan Filipina termasuk lemah. Disisi lain, Taiwan

juga memiliki dasar pengklaiman yang tidak dapat dibenarkan karena Taiwan ada

karena Pemerintahan Tiongkok Nasionalis kalah dari Pemerintahan Republik

Rakyat Tiongkok sedangkan pengajuan klaim dilakukan atas namaTiongkok.

35

Sehingga Taiwan tidak bisa menggunakan hak-hak historis Tiongkok untuk

melakukan klaim.

Tiongkok telah melakukan klaim sejak tahun 1887 dan pada tahun 1910

dan 1921 Tiongkok melakukan pengelolaan di Kepulauan Spratly. Pada tahun

1951 dan 1958 Tiongkok juga telah melakukan klaim secara terbuka atas

kepemilikan Kepulauan Spratly dan pada saat itu Filipina tidak melakukan protes.

Ditinjau dari hukum internasional, tindakan Filipina dianggap telah mengakui

klaim dari Tiongkok. Kedekatan geografis merupakan salah satu dasar

pengklaiman Filipina, alasan ini juga dianggap lemah karena hampir semua

negara yang mengklaim memiliki kedekatan geografis.

Vietnam telah melakukan klaim sejak abad 17, tetapi pada abad 19

Perancis datang menjajah IndoTiongkok sehingga Perancis yang melanjutkan

untuk melakukan pengelolaan dan eksplorasi terhadap kepulauan Spratly.

Kemudian Jepang berhasil memukul mundur Perancis tetapi penguasaan Jepang

terhadap Kepulauan Spratly hanya sementara karena pada tahun 1946 Tiongkok

berhasil mengusir Jepang. Jepang menyerahkan semua wilayah jajahannya kepada

Tiongkok namun Kepulauan Spratly tidak disebut didalamnya. Meskipun

demikian, pada perjanjian Sino-Perancis telah disebutkan bahwa Kepulauan

Spratly merupakan bagian wilayah Tiongkok. Selain itu, Pada tahun 1992

Vietnam Utara juga telah mengakui bahwa Kepulauan Spratly adalah bagian dari

Tiongkok. Vietnam yang dewasa ini melakukan klaim adalah kelanjutan dari

Pemerintahan Vietnam Selatan. Hal ini menjelaskan bahwa Tiongkok memiliki

36

hak historis yang besar terhadap kepulauan Spratly. Dalam melakukan klaim

kepemilikan wilayah, hak historis baru dianggap sah apabila :

a. Negara yang mengklaim menerapkan kedaulatannya secara nyata, damai

dan terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang.

Tiongkok mempertahankan kedaulatannya dengan memperlihatkan sikap

yang tegas pada saat menolak kedatangan Jerman tahun 1883, pada tahun

1910 dan 1921 Tiongkok mendatangkan investor serta secara terus

menerus menempatkan pasukan militernya di Kepulauan Spratly. Secara

de jure Tiongkok mengukuhkan melalui Deklarasi Laut Teritorial 1958,

Undang-Undang Laut Teritorial dan Contiguous Zone tahun 1992.

b. Tidak ada perlawanan terhadap klaim yang diajukan Negara pengklaim

terhadap klaim yang dilakukan secara terbuka maupun diam.

Klaim yang diajukan Tiongkok tidak mendapatkan penolakan dari negara

lain pada awalnya. Jerman juga mengakuin kedaulatan Tiongkok dengan

membatalkan kunjungan ke Kepulauan Spratly.

Konflik Laut Cina Selatan hingga saat ini masih bergejolak dan belum

terdapat putusan pengadilan internasional yang menyatakan secara resmi status

kepemilikan Kepulauan Spratly. Namun Dewan Keamanan PBB memiliki

wewenang untuk tetap menjaga keamanan kawasan kepulauan Spratly

berdasarkan Pasal 290 UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the

Sea) 1982 yang menyatakan bahwa “…….untuk memelihara hak masing-masing

pihak dalam sengketa atau untuk mencegah kerugian yang berat terhadap

lingkungan laut, sambil menunggu keputusan akhir (final decision)”.