BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEMORANDUM OF … II.pdf · merupakan sharing singkat tentang MoU...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEMORANDUM OF … II.pdf · merupakan sharing singkat tentang MoU...
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI MEMORANDUM OF
UNDERSTANDING
2.1 Memorandum Of Understanding
2.1.1 Pengertian Memorandum Of Understanding
Istilah memorandum of understanding berasal dari dua kata, yaitu
memorandum dan understanding. Secara gramatikal, memorandum of
understanding diartikan sebagai nota kesepahaman. Dalam Black’s Law
Dictionary, yang dimaksud memorandum adalah: “Is to serve as the basic of
future formal contract or deed”, Yang artinya adalah dasar untuk memulai
penyusunan kontrak atau akta secara formal pada masa datang.
Dan yang dimaksud dengan understanding adalah: “An implied agreement
resulting from the express term of another agreement, wheter written or oral”,
Yang artinya adalah pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap
hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun tertulis.
Dari terjemahan kedua kata tersebut, dapat dirumuskan pengertian:
“Memorandum of understanding adalah dasar penyusunan kontrak pada masa
datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis
maupun lisan”.1
Munir Fuady mengartikan memorandum of understanding sebgai berikut :
1 Salim H.S. 2007. Perancangan Kontrak & Memorandum of understanding, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 46.
“Suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti oleh dan
akan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya lebih detail,
karena itu dalam memorandum of understanding hanya berisikan hal-hal
yang pokok saja. Sedangkan mengenai lain-lain aspek dari memorandum
of understanding relatif sama saja dengan perjanjian perjanjian lainnya”.2
Erman Rajagukguk dalam Salim H.S., mengartikan memorandum of
understanding adalah :
“Dokumen yang memuat saling pengertian diantara para pihak sebelum
perjanjian dibuat. Isi dari memorandum of understanding harus
dimasukkan kedalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan
mengikat”.3
I Nyoman Sudana, dkk dalam Salim H.S., mengartikan memorandum of
understanding adalah “Perjanjian pendahuluan, dalam arti akan diikuti perjanjian
lainnya”.4 Ketiga definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagaimana
dikemukakan di atas hanya difokuskan pada sifat dari memorandum of
understanding, yaitu sebagai perjanjian pendahuluan. Dalam ketiga definisi
tersebut juga tidak dirumuskan tentang bagaimana hubungan para pihaknya dan
yang menjadi substansi dari memorandum of understanding tersebut. Oleh karena
ketiga definisi tersebut kurang lengkap, maka perlu dilengkapi dan
disempurnakan.5
Kata atau istilah MoU atau Memorandum Of Understanding pasti tidak
asing di telinga kita. MoU sering menjadi dasar bagi suatu kerjasama dua pihak.
Tapi apakah sebenarnya tujuan dan/atau kegunaan MoU, pengaturan, jenis, para
pihak bahkan objek MoU, tidak banyak yang memahami hal itu. Tulisan berikut
2 Munir Fuady. 2002. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Buku Keempat, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 91. 3 Salim H.S., Loc.Cit.
4 Salim H.S, Op.Cit, h. 47.
5 Salim H.S., Loc.Cit.
merupakan sharing singkat tentang MoU berdasarkan pengalaman saya sebagai
independen lawyer dan beberapa sumber.
MoU berasal dari kata memorandum dan understanding. Dalam Blacks
Law dictionary memorandum di defenisikan sebagai a brief written statement
outlining the terms of agreement or transaction (terjemahan bebas: sebuah
ringkasan pernyataan tertulis yang menguraikan persyaratan sebuah perjanjian
atau transaksi). Sedangkan understanding adalah an implied agreement resulting
from the express terms of another agreement, whether written ambiguous terms,
unless it is accompanied by some expression that it is constituted a meeting of the
minds of parties upon something respecting which they intended to be bound
(terjemahan bebas: sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak
langsung atas perjanjian lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu
materi yang bersifat informal atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan
tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan pemikiran
dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat).
Munir Fuady dalam memberikan definisi MoU sebagai perjanjian
pendahuluan, yang nanti akan dijabarkan dan diuraikan dengan perjanjian lainnya
yang memuat aturan dan persyaratan secara lebih detail. Sebab itu materi MoU
berisi hal-hal yang pokok saja. Adapun Erman Radjagukguk menyatakan MoU
sebagai dokumen yang memuat saling pengertian dan pemahaman para pihak
sebelum dituangkan dalam perjanjian yang formal yang mengikat kedua belah
pihak. Oleh sebab itu muatan MoU harus dituangkan kembali dalam perjanjian
sehingga menjadi kekuatan yang mengikat.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur yang terkandung
dalam MoU, yaitu:
1. Merupakan perjanjian pendahuluan;
2. Muatan materi merupakan hal-hal yang pokok;
3. Muatan materi dituangkan dalam kontrak / perjanjian.
Definisi lain dikemukakan oleh Salim H.S. yang menyatakan bahwa
memorandum of understanding adalah: “Nota kesepahaman yang dibuat antara
subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik dalam suatu negara
maupun antarnegara untuk melakukan kerja sama dalam berbagai aspek
kehidupan dan jangka waktunya tertentu”.6
Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, meliputi:
1) Para pihak yang membuat memorandum of understanding tersebut
adalah subjek hukum, baik berupa badan hukum publik maupun badan
hukum privat.
2) Wilayah keberlakuan dari memorandum of understanding itu, bisa
regional, nasional, maupun internasional.
3) Substansi memorandum of understanding adalah kerja sama dalam
berbagai aspek kehidupan.
4) Jangka waktunya tertentu.
6 Salim H.S., Loc.Cit.
Hingga saat ini tidak dikenal pengaturan khusus tentang MoU. Hanya saja,
merujuk dari defenisi dan pengertian di atas, dimana MoU tidak lain adalah
merupakan perjanjian pendahuluan, maka pengaturannya tunduk pada ketentuan
tentang perikatan yang tercantum dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Hubungan antara perjanjian dengan perikatan dapat digambarkan sebagai
berikut: Menurut KUH Perdata, perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain, dimana kedua orang tersebut saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan
itu. Perjanjian akan menerbitkan perikatan antara dua orang yang membuatnya
untuk melakukan suatu hal.
Pengaturan MoU pada ketentuan buku III KUH Perdata yang sifatnya
terbuka membawa konsekuensi pada materi muatan atau substansi dari MoU yang
terbuka pula. Artinya para pihak diberi kebebasan untuk menentukan materi
muatan MoU akan mengatur apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum, dan norma kepatutan, kehati-hatian dan susila yang hidup dan diakui
dalam masyarakat, serta sepanjang penyusunan MoU itu memenuhi syarat-syarat
sahnya sebuah perjanjian sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya perjanjian
adalah (i) adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri; (ii) para pihak
yang membuat perjanjian adalah pihak yang cakap; (iii) perjanjian dibuat karena
ada hal tertentu; dan (iv) serta hal tersebut merupakan hal yang halal. Kekuatan
mengikat MOU terdapat dua pendapat. Pertama, pendapat yang menyatakan
bahwa MoU kekuatan mengikat dan memaksa sama halnya dengan perjanjian itu
sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi
muatan MoU itu diserahkan kepada pra pihak yang membuatnya serta bahwa
MoU adalah merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut
tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak unttuk
mentaatinya dan/atau melaksanakannya.
Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata menjadi dasar hukum bagi kekuatan
mengikat MoU itu. Menurut Pasal 1338, setiap perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Dengan kata lain jika
MoU itu telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana disebut dalam Pasal 1320, maka kedudukan dan/atau keberlakuan
MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang
mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya
menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.
Kedua, pendapat yang menyatakan dengan menitikberatkan MoU sebagai
sebuah perjanjian pendahuluan sebagai bukti awal suatu kesepakatan yang
memuat hal-hal pokok, serta yang harus diikuti oleh perjanjian lain, maka
walaupun pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan dalam KUHPerdata,
kekuatan mengikat MoU hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain pula MoU
merupakan gentlement agreement.
Penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis.
Secara teoritis dokumen MoU bukan merupakan dokumen yang mengikat para
pihak. Agar mengikat secara hukum, harus ditindak lanjuti dengan perjanjian.
Kesepakatan dalam MoU hanya bersifat ikatan moral. Secara praktis MoU
disejajarkan dengan perjanjian. Ikatan yang terjadi tidak hanya bersifat moral,
tetapi juga hukum.
Pelanggaran terhadap MoU jika menganut pendapat yang pertama, yang
menyatakan bahwa kekuatan mengikat MoU sama dengan perjanjian bersifat
memaksa bagi para pihak, maka dalam hal terjadi wan prestasi atau kelalaian dari
para pihak atas kesepakatan mengenai hal-hal pokok tadi, pihak yang lain dapat
melakukan upaya hukum perdata atas dasar gugatan wan prestasi atau ingkar janji.
Sedangkan jika kita menganut pendapat kedua, dimana kekuatan menikat MoU
hanya sebatas moral obligation saja, maka para pihak cenderung akan
menghindari melakukan upaya hukum.
Atas kedua pendapat tersebut di atas, pilihan diserahkan pada masing-
masing pihak. Yang pasti jika ada perbedaan penafsiran dari para pihak tentang
kekuatan mengikat MoU ini, maka menurut saya pihak yang menganut pendapat
pertama tetap dapat melakukan upaya hukum perdata ke pengadilan jika pihak
yang lain yang melakukan ingkar janji atas MoU menjadi penganut pendapat yang
kedua.
2.1.2 Tujuan Dibuatnya Memorandum Of Understanding
Pada prinsipnya, ada beberapa alasan mengapa dibuat suatu memorandum
of understanding dalam suatu transaksi bisnis. Yaitu sebagai berikut:
1) Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan
apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti. Untuk menghindari
kesulitan dalam hal pembatalan suatu agreement nantinya, dibuatlah
memorandum of understanding yang memang mudah dibatalkan.
2) Karena dianggap penandatangan kontrak masih lama dengan negosiasi yang
alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandantangani
kontrak tersebut, dibuatlah memorandum of understanding yang akan berlaku
untuk sementara waktu.
3) Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih
perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga
untuk sementara dibuatlah memorandum of understanding.
4) Karena memorandum of understanding dibuat dan ditandantangani oleh pihak
eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang telah
rinci mesti dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-stafnya yang lebih rendah
tetapi lebih menguasai teknis.7
Di dalam suatu perjanjian yang didahului dengan membuat memorandum of
understanding dimaksudkan supaya memberikan kesempatan kepada pihak yang
bersepakat untuk memperhitungkan apakah saling menguntungkan atau tidak jika
diadakan kerja sama, sehingga agar memorandum of understanding dapat
ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan sanksi-sanksi. Jika salah
satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi jika sanksi-sanksi sudah di-cantumkan
7 Munir Fuady, Op.Cit, h. 92.
dalam memorandum of understanding akan berakibat bertentangan dengan hukum
perjanjian/ perikatan, karena dalam memorandum of understanding belum ada
suatu hubungan hukum antara para pihak, yang berarti belum mengikat.
2.1.3 Karakter Memorandum Of Understanding
Menurut Munir Fuady, ciri-ciri memorandum of understanding adalah
sebagai berikut:
1) Isinya ringkas, bahkan sering sekali hanya satu halaman saja;
2) Berisikan hal yang pokok-pokok saja;
3) Hanya bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti perjanjian lain yang
lebih rinci;
4) Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya satu bulan, enam bulan,
atau satu tahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti
dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka perjanian
tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak;
5) Biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan saja;
6) Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak
untuk harus membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah
penandatanganan memorandum of understanding, walaupun secara
reasonable kedua belah pihak tidak punya rintangan untuk membuat dan
menandatangani perjanjian yang detail tersebut.8
8 Munir Fuady, Loc.Cit.
William F. Fox, Jr. dalam Salim H.S. juga mengemukakan ada enam ciri
memorandum of understanding, yaitu:
1) Bentuk dan isinya terbatas;
2) Untuk mengikat pihak lainnya terhadap berbagai persoalan, untuk
menemukan dan mempelajari tentang beberapa persoalan;
3) Sifatnya sementara dengan batas waktu tertentu;
4) Dapat digunakan sebagai dasar untuk mendatangkan keuntungan selama
tercapainya kesepakatan;
5) Menghindari timbulnya tanggung jawab dan ganti rugi;
6) Sebagai dasar untuk membuat perjanjian untuk kepentingan berbagai
pihak, yaitu kreditor, investor, pemerintah, pemegang saham, dan lainnya.9
Memorandum of understanding dapat dibagi menurut negara yang
membuatnya dan menurut kehendak para pihaknya. Menurut negara yang
membuatnya, memorandum of understanding dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu :
1) Memorandum of understanding yang bersifat nasional, merupakan
memorandum of understanding yang kedua belah pihaknya adalah warga
negara atau badan hukum Indonesia.
2) Memorandum of understanding yang bersifat internasional, merupakan
nota kesepahaman yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan
9 Salim H.S.,Op.Cit, h. 53.
pemerintah negara asing dan/atau antara badan hukum Indonesia dengan
badan hukum asing.10
Menurut Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Bandung dalam Salim H.S., memorandum of understanding berdasarkan
kehendak para pihaknya, dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1) Para pihak membuat memorandum of understanding dengan maksud
untuk membina ikatan moral saja diantara mereka, dan karena itu tidak ada
pengikatan secara yuridis diantara mereka.
2) Para pihak memang ingin mengikatkan diri dalam suatu kontrak, tetapi
baru ingin mengatur kesepakatan-kesepakatan yang umum saja, dengan
pengertian bahwa hal-hal yang mendetail akan diatur kemudian dalam
kontrak yang lengkap.
3) Para pihak memang berniat untuk mengikatkan diri satu sama lain
dalam suatu kontrak, tapi hal itu belum dapat dipastikan, mengingat
adanya keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi tertentu yang belum dapat
dipastikan.11
2.2 Perjanjian
2.2.1 Pengertian Perjanjian
10
Salim H.S., Op.Cit, h. 50. 11
Salim H.S., Op.Cit, h. 51.
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum dilapangan harta kekayaan,
dalam hal ini seseorang (salah satu pihak) berjanji atau dianggap berjanji kepada
seseorang (salah satu pihak) yang lain atau kedua orang (pihak) saling berjanji
melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Perjanjian merupakan
suatu peristiwa di mana salah satu pihak (subjek hukum) berjanji kepada pihak
lainnya atau yang mana kedua belah dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disebut KUHPer).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa suatu
perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
a) Perbuatan
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum”
atau “tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana
dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum
bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut.
b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak
tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum).
c) Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang
satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena
kehendaknya sendiri.
2.2.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka
perjanjian dimaksud haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai
hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri
pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang
tersebut;.
2) Cakap untuk membuat perikatan.
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak
tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu
perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap
sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal
1446 KUHPer).
3) Suatu hal tertentu.
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal
suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian.
Selain itu, berdasarkan Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-
undang secara tegas.
4) Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian
dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer
menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau
dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.12
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,
disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak,
lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang
perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana
sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan.
Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan
yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang lahir dari "undang-undang".
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan di
mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal
dalam lapangan harta kekayaan. Sedangkan menurut Setiawan, perjanjian adalah
suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengingatkan dirinya atau
saling mengingatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih13
.
12
R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-4, Citra Aditya Bhakti,
Jakarta, h. 6.
13
Abdulkadir Muhammad,2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.6
Perjanjian menurut Communis Opinio Doctorum (pendapat para ahli)
adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu
akibat hukum, Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa ketika
seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu sesuatu hal14
.
Adapun unsur-unsur dari perjanjian adalah,
1. Ada pihak-pihak (subyek), sedikitnya dua pihak
Pihak subyek dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan
diadakannya suatu perjanjian. Subyek perjanjian dapat berupa orang
atau badan hukum. Syarat menjadi subyek adalah harus mampu atau
berwenang melakukan perbuatan hukum.
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.
Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan
(kesepakatan) antara pihak. Sifat persetujuan dalam suatu perjanjian
di sini haruslah tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu di
tunjukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran,
3. Ada tujuan yang akan dicapai. Tujuan mengadakan perjanjian
terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak itu, kebutuhan
dimana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan
pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang-Undang.
14
R.Subekti, loc.cit.
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Prestasi merupakan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat
perjanjian.
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Bentuk perjanjian perlu
ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang bahwa hanya
dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan
mengikat dan kekuatan terbukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta.
6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Syarat-syarat tersebut
biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan
kewajiban pokok.
Menurut hukum kontrak (law of contract) ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian yaitu:
a. Adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)
b. Adanya persesuaian kehendak (metting of minds)
c. Adanya konsiderasi/presirasi
d. Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties) dan
pokok persoalan yang sah (legal subject matter)
Berbeda dengan hukum inggris, menurut KUH Perdata (pasal 1320 atau
pasal 1365 buku IV NBW). Syarat sahnya perjanjian meliputi dua hal yaitu: syarat
subyektif dan syarat obyektif.
1) Syarat Subyektif
Syarat subyektif adalah syarat yang berkaitan dengan subyek perjanjian.
Syarat subyek perjanjian meliputi:
a) Adanya kesepakatan / izin (toesteming) kedua belah pihak.
Kesepakatan antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan kehendak
antara kedua belah pihak, tidak ada paksaan dan lainnya.
b) Kedua belah pihak harus cakap bertindak
Cakap bertindak adalah kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak
untuk melakukan perbuatan hukum. Beberapa golongan orang yang oleh
Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti: orang dibawah umur,
orang di bawah pengawasan (curatele).
2) Syarat Obyektif
Syarat obyektif adalah syarat yang berkaitan dengan obyek perjanjian.
Syarat obyektif meliputi:
a) Adanya obyek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)
Benda yang dijadikan obyek perjanjian harus memenuhi beberapa
ketentuan, yaitu:
(1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan
(2) Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara
lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, dan sebagainya tidaklah dapat
dijadikan obyek perjanjian,
(3) Dapat ditentukan jenisnya
(4) Barang yang akan datang
b) Adanya sebab yang halal (georloofde oorzak)
Dalam perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal, artinya ada sebab-
sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan,
keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.
Undang-Undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab (oorzaak,
cause). Menurut Abdulkadir Muhammad, sebab adalah suatu yang menyebabkan
orang membuat perjanjian, tetapi yang dimaksud cause yang halal dalam pasal
1320 KUH Perdata bukanlah sebab yang menyebabkan atau mendorong orang
membuat perjanjian, melainkan isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan
dengan causa adalah isi atau maksud dari perjanjian.
Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah
sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Di dalam hukum perjanjian dikenal tiga asas, yaitu asas konsensualisme,
asas pacta sunt servada, dan asas kebebasan berkontrak.
1) Asas konsensualisme
Asas konsensualisme artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi sejak
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Berdasarkan pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak.
2) Asas pacta sunt servada
Asas ini disebut sebagai asas kepastian hukum karena perjanjian yang
dibuat sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya. Asas ini dapat disimpulkan dari kata “berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuat” dalam pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata.
3) Asas kebebasan berkontrak
Menurut salim H.S, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu
asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
(1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
(2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
(3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan.
(4) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Menurut Much. Nurachmad, S.T. Asas perjanjian ada empat, yaitu
ditambah dengan Asas itikad baik. Asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat 3 KUH
Perdata yang berbunyi “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas
ini ada dua yaitu subyektif dan objektif. Subjektif adalah kejujuran pada diri
seseorang atau niat baik yang bersih dari para pihak, sedangkan objektif adalah
pelaksanaan perjanjian itu harus mematuhi peraturan yang berlaku serta norma-
norma kepatutan dan kesusilaan.
2.2.3 Bentuk-Bentuk Perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga jenis
perjanjian tertulis:
1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para
pihak.
3. Perjanjian ynag dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hdapan dan di muka
pejabat yang berwenang untuk itu.
Penafsiran tentang perjanjian diatur dalam pasal 1342-1351 KUH Perdata.
Pada dasarnya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dimengeti dan
dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak yang isinya tidak
dimengerti oleh para pihak. Dengan demikian, maka isi perjanjian ada yang kata-
katanya jelas dan tidak jelas sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Untuk
melakukan penafsiran haruslah dilihat beberapa aspek, yaitu:
1. jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran,
maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian
(pasal 1343)
2. jika suatu janji dalam memberikan berbagai penafsiran, maka harus
diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksnakan
(pasal 1344)
3. jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian, maka
harus dipilih pengertian yang paling selaras dnegan sifat perjanjian (pasal
1345)
apabila terjadi keraguan-keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas
kerugian orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk
keuntungan orang yang mengikatkan dirnya untuk itu (pasal 1349)
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam Hukum Perdata
perjanjian memiliki 14 jenis, diantaranya adalah:
1. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak.
2. Perjanjian Cuma-Cuma
Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat
dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
3. Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
4. Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri,
maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi
nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak
terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan
Bab XVIII KUHPerdata.
5. Perjanjian tidak bernama (Onboemde Overeenkomst)
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di
dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian
ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-
pihak yang mengadakannya.
6. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban
(oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering, transfer).
7. Perjanjian Obligator
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban
diantara para pihak.
8. Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak
telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut
KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal
1338).
9. Perjanjiaan Riil
Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan
perjanjian, yaitu pemindahan hak.
10. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada
(Pasal 1438 KUHPerdata).
11. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang
berlaku di antara mereka.
12. Perjanjian Untung-untungan
Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untung-
untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya,
baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu.
13. Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah
pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan
atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang
sama (co-ordinated).
14. Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai
unsure perjanjian di dalamnya.
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh satu pihak yang membuat perjanjian
ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh satu pihak biasanya
terjadi karena:
1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki
dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami
kebangkrutan atau secara finansial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat hukum
5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam
melaksanakan perjanjian.
Isi perjanjian pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat
yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak. Menurut pasal 1347 KUH Perdata,
elemen-elemen dari suatu perjanjian meliputi, (1) isi perjanjian itu sendiri, (2)
kepatutan, (3) kebiasaan, (4) Undang-Undang.
Sedangkan hapusnya perjanjian berbeda dengan hapusnya perikatan,
karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan
sumbernya masih tetap ada. Suatu perjanjian akan berahir (hapus) apabila:
1) Karena pembayaran.
2) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang
hendak dibayarkan itu di suatu tempat.
3) Pembaharuan hutang.
4) Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik.
5) Percampuran hutang.
6) Pembebasan Hutang.
7) Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian.
8) Pembatalan Perjanjian.
9) Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan.
10) Lewat Waktu.
2.2.4 Fungsi Perjanjian
Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yurudis
dan fungsi ekonomis. Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan
kepastian hukum para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan
(hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai
yang lebih tinggi.