BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN HUKUM … II zainal.pdf · terdapat dalam suatu pasal....
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN HUKUM … II zainal.pdf · terdapat dalam suatu pasal....
34
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP PERKEMBANGAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL
2.1. Dasar Pemikiran Teori Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal
policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan
perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy).1
Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana
mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana
yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian
1Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 24.
35
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.2 Sama halnya dengan pendapat Marc
Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus
seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik.3
Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah
garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.4
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal
merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi
atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
2Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II),
hal. 153.
3Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 23.
4Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
36
Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum,
tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan
legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu,
kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang
dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan
pada tahap aplikasi dan eksekusi.5
1.2 . Sifat Melawan Hukum
1.2.1 Pemahaman Mengenai Sifat Melawan Hukum
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah
sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu
adalah wederrechtelijk (weder = bertentangan dengan, melawan; recht
= hukum). Dalam menentukan perbuatan dapat dipidana, pembentuk undang-
undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa
unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu,
sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukan dalam rumusan delik, yaitu
dalam delik cupla.
5Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hal. 78-79.
37
Pompe mengatakan bahwa pembentuk undang-undang mempunyai
alasan untuk tidak mencantumkan dengan tegas istilah itu justru karena
sebagai perbuatan yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana atau delik itu
bersifat melawan hukum.
Pompe, mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seorang yang telah
dituduh melakukan tindak pidana, ada ketentuan di dalam hukum acara.6
1. Tindak pidana yang dtuduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan.
2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua
unsur yang terdapat di dalam rumusannya;
Dikatakan Selanjutnya bahwa jika unsur melawan hukum itu dengan
tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur itu juga harus dibuktikan,
sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Syarat
bahwa unsur melawan hukum itu selalu harus dibuktikan di dalam acara
peradilan akan merupakan beban yang berat sekali dan mempersulit proses itu
sendiri. Karena pada umumnya membuktikan sifat melawan hukum itu sulit.
Justru dicantumkan sebagai unsur delik itu berakibat jaksa harus menyebutkan
di dalam surat dakwaan dan harus di buktikan, ini pekerjakan yang cukup
sulit.
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak
dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh undang-
undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan.
6 Teguh, Prasetyo, Hukum Pidana, 2011, Pt Raja Grapindo Persada, Jakarta, Hal. 67-75.
38
Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar
sehimgga tidak terjadi eignticthing seperti yang sering terjadi sekarang.
Perbuatan eigenricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan
hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan
pelaku kejahatan.
Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remedium atau sebagai alat
terkhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena
sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto
mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari
penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Namun, tidak
semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan,
setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu
mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.
Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat
melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang
implisit ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang
implisit dan eksplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak
diasingkan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak
dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan
penuturan dan pembuktian di pengadilan.
39
Penilitian ini bermaksud untuk mengkaji lebih lanjut tentang
perkembangan ajaran sifat melawan hukum ini secara terus-menerus
mengalami perubahan sikap baik dari pembuat undang-undang maupun hakim
yang terwujud dalam yurisprudensi. Apalagi dikaitkan dengan adanya
rancngan atau konsep baru kitab undang-undang Hukum Pidana yang juga
mendapat porsi dalam pasal tersendiri.
Pada umumnya para sarjana hukum menanyakan bahwa melawan
merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit
atau tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP mencantumkan unsur
melawan hukum ini terulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum
sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu
dunyatakan secara eksplisit.
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa seseorang melanggar atau
melanggar atau bertentanngan dengan kaidah material yang berlaku
bginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana
orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzining, tidak
masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu
syarat pemidanaan.
Dalam pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana,
yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf, sifat melawan hukum
merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari
40
suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan.
Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang
bersifat formal (formale wederrechtelijkhedi) dan maupun sifat melawan
hukum yang material (materiele wederrechtelijkheid).
Pembicaraan mengenai sifat melawan hukum terutama dalam bidang
hukum perdata lebih dahulu dilakukan, terutama dengan adanya HR 30
Januari 1919 yang selalu menjadi acuan dalam pembicaraan asas-asas hukum
perdata, sedangkan dalam lapangan hukum pidana baru dimulai tahun 1933
dengan adanya arrest HR 20 Februari 1993, Veearts arrst. Bagi hukum pidana
mengikat luasnya sifat melawan hukum dalam bidang hukum perdata, terjadi
suatu keadaan yang tidak menguntungkan terutama terhadap perbuatan-
perbuatan yang menurut pergaulan masyarakat tidak tertulis sebagai perbuatan
yang patut. Padahal dengan adanya asas legalitas arti sifat melawan hukum
dalam hukum pidana menjadi dipersempit.
1.2.2 Paham-Paham Sifat Melawan Hukum
Berdasarkan paham-paham sifat melawan hukum, doktrin membedakan
perbautan melawan hukum atas:
1. Perbuatan melawan hukum formil, yaitu suatu perbuatan melawan
hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang.
Jadi, sandarannya adalah hukum tertlis.
41
2. Perbuatan melawan hukum material, yaitu terdapat mungkin suatu
perbuatan melawan hukum walaupun belum diatur dalam undang-
undang. Sandarannya adalah asas umum yang terdapat di lapangan
hukum.
Membahas mengenai perbuatan melawan hukum seyogyanya membahas
mengenai asas legalitas, dimana asas ini mengandung perlindungan yang secara
histotris merupakan reaksi terhadap kewesewenang -wenangan penguasa di
zaman Ancient Regime, serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap
kepastian hukum yang menjadi keharusan dalam suatu negara liberal pada waktu
itu.
Roeslan Saleh menyatakan dengan tegas “nyata bahwa penolakan atas
asas legalitas, suatu asas dan pengertian dalam lapangan hukum pidana adalah
bertentangan dengan makna hukum pidana itu sendiri”. 7Keberadaan sifat
melawan hukum formil tidak menjadi persoalan karena ini secara eksplisit
menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga di belanda untuk menentukan apakah
seseorang itu melawan hukum atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah
perbuatan itu telah memenuhi semua unsur terdapat dalam rumusan delik atau
tidak.
Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang material di Indonesia
ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumya Mahkamah
7 Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana), Centra, Jakarta, Hal 23.
42
Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut
paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya
menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan
Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi
ini secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang material
(materiele wederrechtelijheid) sebagai alasan pembenar.
Kaidah hukum ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut: Suatu
tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan
suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-
asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai misalnya tiga faktor:8
1. Negara tidak dirugikan
2. Kepentingan umum dilayani; dan
3. Terdakwa tidak mendapat untuk menuntut.
Dengan perluasan perumusan asas legalitas dalam konsep KUHP
tahun 2013, maka batas-batas tindak pidana juga diperluas, tidak hanya yang
secara tegas dirumuskan dalam undang-undang, tetapi juga meliputi
perbuatan-perbautan yang menunrut hukum yang hidup dipandang sebagai
suatu delik. Jadi tidak hanya kreteria formaal menurut hukum yang hidup.
Ajaran sifat melawan hukum menjadi lebih dilegalisasi dan masa mendatang
tidak hanya terdapat dalam yurisprudensi, tetapi juga sudah diakui dalam
8 R. Wiyono, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, edisi kedua,
2009, Sinar Grafika, Jakarta, hal 34.
43
suatu perundang-undangan tertulis yang merupakan induk dari perundang-
undangan yang lain. Langkah yang nyata sebenarnya telah dirumuskan dalam
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
seperti telah disebut di atas, sedangkan dalam berbagai Konsep KUHP yang
ada hal ini sudah diakomodasi.
1.2.3 Sifat Melawan Hukum Material dalam UU Tindak Pidana
Korupsi
Rumusan tindak pidana adalah definisi tentang kejahatan, sehingga
perumusannya harus sedefinitif mungkin. Sekalipun demikian, pembentuk
undang-undang tidak selalu dapat mendefinisikan semua tindak pidana,
seperti tidak dapat didefinisikannya “penganiayaan” sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 351 KUHP. Definisi suatu tindak pidana disusun sedemikian rupa
sehingga hal itu dapat dikenali, dibedakan satu dengan yang lainnya ataupun
diuraikan dalam bagian perbuatan-perbuatan yang menyusunnya. Dengan
memahami “kenmerk” (ciri),“elemen” (unsur) dan “bestanddeel” (bagian
inti),9 suatu tindak pidana maka pada dasarnya sasaran norma yang dimaksud
pembentuk undang-undang dengan melarang dan mengancam dengan pidana
sutau perbuatan menjadi terang benderang.
9 Ketiga istilah ini digunakan untuk menggambarkan substansi perbuatan yang dengan itu
ternyata definisi suatu tindak pidana. Bahkan khusus berkenaan dengan“elemen” (unsur)
dan “bestanddeel” (bagian inti) digunakan secara ‘terbolak-balik’ oleh para ahli. Seorang ahli
hukum pidana menyebut sesuatu sebagai “elemen”, tetapi hal yang sama menurut ahli yang
lain sebagai “bestanddeel”. Begitu sebaliknya. Sekalipun demikian,
istilah “elemen” atau “elementen”, yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan “unsur”
atau “unsur-unsur”, adalah istilah yang paling popular.
44
Definisi suatu tindak pidana harus tercermin adanya perbuatan
melawan hukum. Rumusan tindak pidana harus disusun dalam kata-kata yang
menggambarkan perbuatan berkonotasi negatif, sehingga dengannya saja sifat
melawan hukum dari perbuatan itu menjadi nyata. Dalam hal pembentuk
undang-undang tidak menemukan istilah yang dari arti leksikonnya saja sudah
mencerminkan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, maka rumusan delik
itu harus ditambahkan dengan kata-kata “melawan hukum”.
Hal ini menjadi konsekuensi dari keyakinan bahwa “melawan hukum”
selalu menjadi unsur mutlak setiap tindak pidana, seperti pada umumnya
selalu dianut para ahli hukum pidana. Namun demikian, dalam konteks
hukum pidana formil, “melawan hukum” baru harus dibuktikan apabila
menjadi “bagian inti” dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan kata lain,
baru dibuktikan “melawan hukum” jika perkataan tersebut disebutkan dalam
rumusan tindak pidana. Apabila tidak disebutkan maka, dipandang melawan
hukum sepanjang dapat dibuktikan unsur-unsur lain dari suatu tindak pidana,
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.
Tindak pidana korupsi dalam prumusan “melawan hukum” hanya
menjadi bagian inti yang harus dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan kata lain, dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sifat melawan hukum perbuatan itu
direpresentasikan dengan kata-kata “secara melawan hukum” itu sendiri,
sedangan dalam pasal yang lain digunakan istilah yang lain lagi. Misalnya
45
dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sifat melawan
hukumnya termaktub dari istilah “menyalahgunakan kewenangan, sarana atau
kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Demikian
pula misalnya Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sifat
melawan hukumnya direpresentasikan dengan perkataan “dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Mengingat melawan hukum menjadi sifat umum dari suatu delik,
maka tidak terpenuhinya unsur melawan hukum dalam suatu perbuatan
menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana. Apabila suatu perbuatan
bukan tindak pidana, maka dengan kriteria apapun perbuatan itu tidak akan
menjadi suatu tindak pidana. Misalnya, jika majelis hakim dalam suatu
putusan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur
melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan itu pasti bukan tindak pidana apapun,
termasuk bukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi ataupun ketentuan pidana lainnya. Begitu penting
sebenarnya posisi pertimbangan tentang terpenuhi atau tidak terpenuhinya
46
unsur melawan hukum ini dalam suatu tindak pidana, yang boleh jadi tanpa
disadari mempengaruhi penerapan ketentuan pidana lainnya dalam kasus itu.
Sementara itu, pada saat sekarang ini perlu didiskusikan secara lebih
mendalam, apakah tindak pidana adalah “species” dari suatu kelompok
(genus) perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum, atau justru
sebaliknya, melawan hukum itu hanya menjadi ciri, unsur atau bagian inti
utama dalam setiap tindak pidana. Kecenderungan praktek peradilan telah
menempatkan bahwa suatu tindak pidana adalah salah satu jenis dari
sekelompok perbuatan yang melawan hukum. Konstruksi ini menyebabkan
tidak ada lagi pengertian khusus ”melawan hukum” dalam hukum pidana,
melainkan sama dan sebangun dengan melawan hukum pada umumnya,
termasuk pemaknaan yang diberikan dalam bidang hukum perdata ataupun
hukum administrasi. Dengan kata lain, memandang pengertian melawan
hukum dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam
bidang hukum lain, seperti misalnya dipersamakan dengan perbuatan
melawan hukum dalam hukum perdata, menyebabkan tindak pidana
dipandang sebagai species dari suatu kelompok (genus) perbuatan, yaitu
perbuatan yang melawan hukum.
Hal ini berakibat tindakan penegakan hukum yang diambil atas suatu
peristiwa, boleh jadi merupakan “keputusan politik” semata. Artinya,
kalaupun digunakan instrumen hukum pidana dalam menyelesaikan suatu
peristiwa konkrit, maka hal itu bukan karena perbuatan yang dipersoalkan
47
bersifat melawan hukum dalam hukum pidana (wedderechtelijk heid), tetapi
hal itu semata-mata sebagai “plilihan tindakan yang mungkin dilakukan”
pemerintah. Apakah pilihan menggunakan hukum pidana adalah pilihan
pertama (primum remedium) ataukah sebagai alat pertahanan paling
akhir(ultimum remedium), menjadi tidak lagi penting. Pilihan bebas demikian
menyebabkan penegakan hukum selalu berada dibawah bayang-bayang
keputusan politik, tidak benar-benar sebagai pelaksanaan tujuan bernegara
berlandaskan hukum.
Konsekuensi di atas sepertinya tidak selalu disadari oleh para
akademisi hukum yang mendukung pemikiran pengertian melawan hukum
dalam hukum pidana sama dengan pengertian melawan hukum dalam bidang
hukum lain, maupun oleh para praktisi hukum (advokat, penyidik, penuntut
umum dan hakim). Mehilangkan pengertian khusus melawan hukum dalam
hukum pidana menyebabkan hukum digadaikan pada kepentingan di luar
hukum itu sendiri. Kesewenang-wenangan menjadi ciri tindakan demikian,
yaitu memaksakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana karena telah
memiliki sifat melawan hukum yang umum itu. Dalam lintasan sejarah
memang dapat disaksikan fase pemikiran tersebut benar-benar dipraktekkan.
Hal ini tergambar dari praktek peradilan menunjukkan adanya pergeseran
paradigma ketika memberi arti tentang unsur “dengan melawan hukum”.
Mulanya melawan hukum diartikan secara formiel (bertentangan dengan
48
perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser kearah material, yaitu juga
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Pergeseran selanjutnya, melawan hukum material diartikan pada
pengertian dalam fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti
sekalipun tidak bertentangan dengan perundang-undangan (melawan hukum
formiel), tetapi sepanjang perbuatan Terdakwa adalah “tindakan-tindakan
yang bersifat perbuatan tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan,
bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan
kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan”, sudah dapat dikatakan
melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif).
Mengartikan melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif
sama artinya memaknai hal itu sama dengan perbuatan melawan hukum
dalam hukum perdata.Berbeda dengan para praktisi (praktek peradilan),
kalangan akademisi justru umumnya menolak penerapan melawan hukum
materiel dalam fungsinya yang positif. Roeslan Saleh menyatakan sebagai
berikut:
Pandangan mengenai melawan hukum material hanya mempunyai arti
memperkecualikan perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan
undang-undang dan karenanya diangap sebagai perbuatan pidana. Jadi suatu
perbuatan perbuatan yang dilarang undang-undang dapat dikecualikan oleh
aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi perbuatan pidana.
Biasanya inilah yang disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan
49
hukum material. Fungsinya yang positif, yaitu walapun tidak dilarang undang-
undang tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dipandang tercela dan dengan itu
perlu menjadikannya perbuatan pidana tidak mungkin dilakukan menurut
sistem hukum kita mengingat bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP”.10
Sementara itu, sekalipun Komariah E. Sapardjaja mengakui adanya
pergesaran paradigma melawan hukum, dari melawan hukum formil kepada
melawan hukum material (kasus Machrus Efendi), dan melawan hukum
material dari fungsinya yang negatif menjadi melawan hukum material dalam
fungsinya yang positif (kasus Sonson Natalegawa), tetapi beliau tetap
memandang sebaiknya melawan hukum hanya diterapkan dalam fungsinya
yang negatif. Hal ini didasarkan pada pernyataan beliau: “Khusus bagi
Indonesia, walaupun penafsiran itu dimungkinkan bahkan karena mengingat
keadaan perundang-undangan pidana Indonesia sekarang kadang-kadang
diperlukan untuk mengantisipasi bentuk-bentuk kejahatan baru, tetapi
penafsiran ekstensif ini perlu dibatasi. Hendaknya untuk membatasi
penafsiran ekstensif tentang arti sifat melawan hukum, setidak-tidaknya untuk
menetapkan hilangnya sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar….” 11
Dengan ini, berarti Komariah E. Sapardjaja, juga berpendapat bahwa
praktek peradilan yang menerapkan pengertian melawan hukum material
10 Roeslan Saleh, 1987, Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta hal. 18.
11 Komarian E Sapardjaja, 2002, Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam hukum Pidana
Indonesia; Studi Tentang Penerapan dan perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, , Bandung,
hal, 225-226.
50
dalam fungsinya yang positif, harus dibatasi. Bahkan dengan menerima hal itu
sebagai alasan pembenar, maka hal ini berarti keinginan beliau
mengembalikannya kepada penerapan ajaran melawan hukum material dalam
fungsinya yang negatif.
Sebenarnya tidak satupun ahli-ahli hukum pidana (akademisi) dapat
membenarkan penerapan pengertian melawan hukum material dalam
fungsinya yang positif. Bahkan Indriyanto Seno Adji menyatakan hal-hal
sebagai berikut:
“Bagi pandangan materiel, ditemukan suatu kesamaan pendapat bahwa
sifat melawan hukum materiel hanyalah digunakan melalui fungsi negatifnya
saja, sehingga penerapannya hanya diperlukan untuk meniadakan suatu tidak
pidana dengan mempergunakan alasan-alasannya di luar undang-undang.”12
Mengenai praktek hukum yang menerapkan pengertian melawan hukum
material dalam fungsinya yang positif, memang mulanya memiliki dasar
dalam undang-undang yaitu penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999. Namun demikian, perlu diingat dalam sistem hukum Indonesia,
selalu menjadi keyakinan bahwa “hukum” tidak selalu identik dengan
“undang-undang”. suatu ‘aturan undang-undang’ dapat kehilangan kekuatan
mengikatnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai ‘aturan hukum’,
misalnya jika hal itu oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan
12 Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara Oemar Seno Adji,
Jakarta, hal, 306.
51
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Demikian pula hanya, apabila
suatu “aturan undang-undang” yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan
hukum pidana. Berkenan dengan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 yang menjadi dasar diterapkanya pengertian melawan hukum
materiel dalam fungsinya yang positif, “telah ditertibkan” dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006,
yang menyatakan bahwa hal itu “bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Namun demikian,
berpangkal tolak pada kekebasan hakim, Mahkamah Agung tetap memakai
pengertian materiel dalam fungsinya positif, seperti yang diperlihatkan dalam
putusan Mahkamah Agung No. 103 J/Pid/2007 tanggal 28 Pebruari 2007,
yang tidak jarang membuat pengadilan dibawahnya dan berikutnya menjadi
contoh atau yurisprudnesi yang nantinya diggunakan kembali penafsiran
demikian.
Salah satu keberatan mendasar dari pengertian melawan hukum
material dalam fungsi positif, termasuk yang digunakan dalam memaknai
unsur “dengan melawan hukum” dalam Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah adanya kecenderungan untuk menerapkan
“setiap perbuatan yang tidak hukum” (unlawfully) sebagai perbuatan melawan
hukum untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi
dalam tindak pidana korupsi.
52
Sebenarnya Oemar Seno Adji telah mengingtakan ekses dari
penerapan unsur melawan hukum tersebut sebagai berikut: “Tidak dapat
dipungkiri, bahwa ada suat bahwa ada suatu kecenderungan pada para
penegak,”hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi
suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan
mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan, apabila tidak terapat
hambatan, pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak
eksessif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul
apa yang dikatakan oleh Pompe“overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang
meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang
dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan dengan rumus yang
luas dan terbuka itu.” “Timbullah suatu kesan, seolah-olah peraturan pidana
yang luas/umum tersebut merupakan suatu “all purposes act”, suatu
perundang-undangan Pidana yang sifatnya adalah “all embracing” dan yang
menggiring lain perbuatan pidana ke dalam lingkungan peraturan pidana
yang umum/luas dan terbuka, walaupun bukanlah maksud semula untuk
memperlakukan tindak pidana lain sebagai tindak pidana yang luas itu “.13
Kiranya tidak berlebihan bila dikemukakan juga pendapat PAF.
Lamintang terhadap hubungan antara sifat melawan hukum dalam hukum
perdata dengan sifat melawan hukum dalam hukum pidana yang menurut
13 Oemar, Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta: 1985, hal, 247.
53
beliau belum tepat untuk menyamakan kedua hal tersebut di Indonesia.
"Apabila di dalam bidang hukum Perdata orang berpendapat bahiwa
setiap"onrechtmatige daad " atau setiap perilaku yang bersifat melawan
hukum itu dapat menjadi dasar untuk menuntut ganti rugi seperti yang
dimaksud Pasal 1365 BW, maka saya kira tidak akan seorang pun akan
mengajukan keberatannya, akan tetapi masalahnya menjadi lain apabila setiap
perilaku yang di dalam bidang hukum perdata itu dapat dikualifikasikan
sebagai onrechtmatige daad itu secara material harus dianggap sebagai
bersifat "wederrechtelijk" hingga pelakunya dapat dihukum, walaupun
tindakanya itu tidak diatur di dalam sesuatu ketentuan pidana menurut
undang-undang, oleh karena hal tersebut sudah jelas akan bertentangan
dengan usaha manusia yang telah berjalan berabad-abad lamanya untuk
mendapatkan suatu kepastian hukum bagi setiap manusia, dan bagi kita di
Indonesia hal tersebut sudah jelas bertentangan dengan bunyinya Pasal 1 ayat
(1) KUHP".
Dewasa ini dalam praktek peradilan yang menerapkan pengertian
melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif atau mengartikan
melawan hukum dalam hukum pidana sama dengan perbuatan melawan
hukum perdata, bukan saja sebagai suatu bentuk perbuatan yang menurut
ukuran-ukuran umum sebagai tidak hukum, karena bertentangan dengan
kepatutan atau moral umum dalam suatu masyarakat, tetapi pelanggaran-
pelanggaran hubungan kontraktual juga dipandang sebagai suatu perbuatan
54
melawan hukum dalam hukum pidana. Disini cidera janji/wanprestasi, yang
dalam ranah keperdataan saja dipadang secara berbeda dengan perbuatan
melawan hukum justru dalam lingkup hukum pidana juga dipandang sebagai
perbuatan melawan hukum (wedderchtelijk heid).
Apabila pada bagian awal dari tulisan ini telah penulis kemukakan
bahwa adanya kecenderungan untuk menjadikan seluruh tidak pidana sebagai
bagian dari kumpulan perbuatan yang melawan hukum, maka lebih parah lagi
disini, dilanggarnya suatu kewajiban (prestasi) dalam suatu perjanjian juga
dipandang sebagai melawan hukum. Tidak lagi bisa dibedakan antara
melawan hukum dalam lingkup hukum perdata(onrechtmatige daad),
melawan hukum dalam lingkup hukum pidana (wedderechtelijk heid),
maupun peristiwa cidera janji/wanprestasi. Kontrak yang tadinya hanya
dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat “layaknya undang-undang
bagi yang membuatnya” (pacta sunc servanda), kini dipandang kontrak
sebagai ”identik dengan undang-undang”. Sama kekuatannya antara undang-
undang, yang tidak lain merupakan pengejawatahan kehendak rakyat melalui
parlemen, dengan kontrak yang menjadi kehendak pribadi dari individu-
idividu yang melaksanakan kontrak.
Pelanggaran kontrak semata seharusnya tidak akan menjadi suatu
perbuatan melawan hukum, baik dalam lingkup hukum perdata maupun
dalam lingkup hukum pidana. Kalaupun terjadi perbuatan melawan hukum
terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan suatu kontrak, maka peristiwa itu
55
bukan pelanggaran kontraknya, tetapi aturan hukum yang menjadi dasar
diadakannya hubungan-hubungan kontraktual tersebut. Perbuatan melawan
hukumnya terjadi karena adanya pelanggaran dari peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan objek yang diperjanjikan dalam kontrak
tersebut.
Product Sharing Contract (PSC) adalah bentuk kontrak yang dapat
diadakan berkenaan kegiatan hulu minyak dan gas bumi, berdasarkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001. Dengan demikian, pelanggaran suatu
PSC semata tidak dapat dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum,
baik dalam lingkup hukum perdata maupun dalam lingkup hukum
pidana Pelanggaran PSC tidak dpat dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum secara materiel dalam fungsinya yang positif. Kalaupun terdapat
kemungkinan adanya perbuatan yang melawan hukum dalam pembuatan dan
pelaksanaan PSC, maka pelanggaran yang terjadi terletak pada tidak
diturutinya perintah maupun prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 22 Tahun 2001 berserta peraturan pelaksanaannya.